Anda di halaman 1dari 19

1.

Trematoda darah
Trematoda darah memiliki perbedaan dengan trematoda lainnya, diantaranya cacing dewasa
tidak memiliki otot faring serta memiliki kelamin terpisah (ada cacing jantan dan betina). Saluran
pencernaan setelah caecum bercabang dua, di sebelah distal, caecum bersatu kembali dan buntu.
Pada trematoda darah hanya memerlukan satu hospes perantara. Telur tidak beroperkulum,
menetas saat kontak dengan air. Serkaria ekornya bercabang, masuk ke dalam tubuh hospes
definitif dengan cara serkaria menembus kulit. Perubahan yang terjadi pada hospes perantara
miracidium menjadi sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria
Penamaan Schistosoma berasal dari bentuk cacing jantan dewasanya, yang tampak pada
tubuhnya memiliki saluran genitalia memanjang berlekuk-lekuk, yang merupakan tempat kontak
dengan cacing betina pada saat kopulasi. Schistosoma terdiri atas tiga spesies pathogen yang
terutama menginfeksi manusia yaitu : Schistosoma japonicum; habitatnya adalah pada vena
mesentrika superior, Schistosoma mansoni; habitatnya adalah pada vena mesentrika interior,
Schistosoma haematobium; habitatnya adalah pada vena mesentrika inferior, terutama pada vena
sebelum vesica urinaria.
Terdapat spesies pathogen lainnya yang mirip Schistosoma japonicum yaitu
Schistosoma. mekongi yang merupakan cacing dengan penyebaran terbatas pada lembah sungai
di daerah Mekong dan Schistosoma intercalatum dengan telur mirip Schistosoma haematobium
tetapi secara klinis gejalanya seperti S.mansoni, merupakan cacing endemis di daerah Afrika
barat dan Afrika tengah. Siklus hidup Schistosoma tidak memerlukan hospes perantara kedua
untuk penularan penyakitnya.
Schistosoma japonicum habitatnya pada vena mesenterica superior. Schistosoma mansoni
habitatnya pada vena mesentrica inferior, sedangkan Schistosoma haematobium pada vena
mesentrica inferior, vena haemorrhoidalis, vena pudendalis dan sering terdapat pada plexus vena
vesicalis.
Secara umum penyakitnya disebut schistosomiasis (Bilharziasis). Ada dua macam
schistosomiasis , yaitu schistosomiasis intestinalis yang disebabkan oleh Schistosoma mansoni
dan Schistosoma japonicum dan schistosomiasis vesikalis yang disebabkan oleh Schistosoma
haematobium
Distribusi geografik bagi schistosomiasis berlainan bagi trematoda darah, antar lain untuk
Schistosoma japonicum di daerah Formosa (hanya enzootic/terbatas pada binatang) daerah lain
di Timur Jauh yang bersifat endemik dan enzootic. Untuk Schistosoma mansoni di daerah Mesir,
Afrika barat, Puertorico, Venezuela dan Brazil. Sedangkan untuk Schistosoma haematobium di
daerah Mesir, Afrika Barat, Maroko dan Portugal.
Schistosomiasis di Indonesia, terdapat disekitar danau Lindu, Lembah Napu dan daerah
Besoa (propinsi Sulawesi Tengah) yang merupakan daerah penyebaran endemis di Indonesia.
Penyakitnya Schistosomiasis japonica dengan hospes perantara Oncomelania hupensis lindoensis
yang ditemukan oleh Davis dan Carney, 1973.

Gambar 1. Morfologi cacing dewasa Schistosoma spp dengan dua buah batil isap oral dan ventral
sucker
Sumber : www.altered-states.net/.../schistosoma.jpg
Siklus hidup.
Telur yang sudah matang diletakkan dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan
mukosa usus dan kandung kencing (tergantung spesies cacing). Telur dapat menembus keluar
dari pembuluh darah, bermigrasi ke jaringan untuk kemudian sampai pada lumen usus dan
kandung kencing, akhirnya telur akan ditemukan dalam tinja atau urine. Telur segera menetas
dalam air dan keluar miracidium. Didalam tubuh keong, miracidium berkembang menjadi
sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria. Serkaria memiliki kemampuan
menembus kulit, masuk ke dalam kapiler darah, akhirnya sampai ke dalam vena kecil usus atau
kandung kencing.

Siklus hidup Schistosoma spp


Telur keluar bersama urne atau faeces . Pada kondisi optimum (berada dalam air) telur menetas
menjadi miracidia , miracidia masukke dalam hospes perantara yaitu keong air tawar . Dalam
tubuh keong (moluska) miracidium berkembang dalam dua tahapan menjadi sporokista
sporokista berkembang menjadi serkaria . Ketika serkaria keluar dari tubuh keong, serkaria
infektif berenang bebas dan menginfeksi manusia dengan cara penetrasi ke dalam melalui kulit ,
serkaria melepaskan ekornya dan menjadi schistosomulae . Schistosomulae bermigrasi melewati
beberapa jaringan dan menetap pada habitatnya dalam vena mesentrica atau vena saluran kemih (
, ). Cacing dewasa tinggal pada lokasi vena spesifik yang berbeda sesuai spesies S. japonicum
lebih sering ditemukan pada vena mesentrica superior pada usus halus , and S. mansoni biasa
terjadi ditemukan pada vena mesentrika superior pada usus besar . S. haematobium biasa
ditemukan pada vena flexus vesicalis , tetapi dapat pula ditemukan pada vena sekitar retum.

a. Schistosomiasis japonica
Etiologi

Schistosoma japonicum (Katsurada, 1904)

Penyebaran geografi.

Cacing terbatas penyebarannya di daerah Timur Jauh, Jepang, China, Taiwan, Philipina,
Thailand. Fokus infeksi ditemukan oleh Brug dan Tesch (1937) dipertegas oleh Faust dan Boone
(1948) di daerah Palu, Sulawesi Tengah (Indonesia)
Hospes definitif selain manusia juga anjing, kucing, tikus, sapi, kerbau, babi, kuda, kambing
dan biri-biri. Membutuhkan hospes perantara siput air tawar spesies Oncomelania nosophora,
O.hupensis, O.formosana, O.hupensis linduensis di Danau Lindu (Sulawesi Tengah) dan O.
quadrasi. Siput berukuran kecil, operculate, amphibi serta dapat bertahan hidup beberapa bulan
dalam keadaan relatif kering.

Morfologi dan siklus hidup.


Cacing dewasa, menyerupai S. mansoni dan S. haematobium akan tetapi tidak memiliki
integumentary tuberculation. Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm.
integument ditutupi duri-duri sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan
kanalis ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis.
Cacing betina panjang ±26 mm dengan diameter ±0,3 mm. Ovarium dibelakang pada
pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas si daerah lateral; pada ¼ bagian posterior tubuh.
Uterus merupakan saluran panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur.

Telur.
Berhialin, subsperis/oval dilihat dari lateral, dekat salah satu kutubnya terdapat daerah
melekuk tempat tumbuh semacam duri rudimenter (tombol) . telur berukuran 70-100 x 50-65
µm.
Telur khas diletakkan dipusatkan pada vena kecil pada submukosa atau mukosa organ
yang berdekatan. Tempat telur S. japonicum biasa pada percabangan vena mesentrica superior
yang mengalirkan darah dari usus halus. Telur keluar menembus submukosa dan mukosa,
kemudian dibebaskan ke dalam lumen usus bersama-sama darah. Tebalnya dinding dan jaringan
parut pada mukosa usus merupakan penghambat bagi telur untuk menembus jaringan tersebut
sehingga ini merupakan saringan dari dinding usus.

Miracidium menyerupai S. mansoni dan S. haematobium, perbedaannya ukuran yang


lebih kecil serta beberapa struktur kecil internal lainnya. Selanjutnya jika kontak dengan siput
yang sesuai, larva menembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama
dan kedua sporokista. Pada perkembangan selanjutnya dibentuk serkaria bercabang. Serkaria ini
dikeluarkan jika siput berada pada atau dibawah permukaan air. Dalam waktu 24 jam, serkaria
menembus kulit sebagai hasil kerja kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik,
menuju jalinan kapiler, ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru terbawa ke
jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute ini dilalui oleh schistosomula
(muda). Pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati. Mungkin seperti S. mattheei, schistosomula
merayap melawan aliran darah sepanjang dinding arteri pulmonalis, jantung kanan, dan vena
cava menuju ke hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang tidak
terbatas, dapat mencapai 47 tahun.

Epidemiologi.

Strain bersifat geografikal. Telah diketahui ada dua strain yaitu strain Thailand-Malaysia
dan strain Sulawesi. Perbedaan dari dua strain tersebut, yaitu hospes siput yang sesuai. Di
Indonesia, di pulau Sulawesi, keadaan endemik tinggi di daerah Danau Lindu. Pada tahun 1971
dari pemeriksaan tinja terdapat S japonicum 53% dari 126 penduduk pada usia 7 sampai 70 tahun
(Pinardi, dkk, 1972) dan dilembah Napu dilaporkan infection rate 8 dan 12% pada dua desa serta
7% pada Rattus exulans, tikus liar (Carney,dkk, 1978). Pada tahun 1972, dari hasil survey
Departemen Kesehatan. Sub-Direktorat Schistosomiasis dari beberpa desa di sekitar danau lindu,
Lembah Napu dan daerah Besoa prevalensi S. japonicum antara 1-67%. Setelah melalui program
pemberantasan secara terpadu di daerah Danau Lindu dan Lembah Napu, terlihat sekali
penurunan prevalensi di Danau Lindu menjadi 1,9% dan di Napu menjadi 1,5% (1993).
Patologi dan klinik.

Penyakit oleh spesies ini disebut schistosomiasis japonica atau dinamakan juga oriental
schistosomiasis atau penyakit Katayama. Organ yang paling serius diserang, saluran pencernaan
makanan dan hati. Jika terjadi infeksi oleh ketiga spesies bersama-sama, parahnya penyakit
tergantung kepada parasit yang utama. Penyakit ini memperlihatkan tiga stadium, yaitu stadium
inkubasi, stadium peletakkan telur dan ekstrusi serta stadium proliferasi jaringan dan perbaikan.
Selama terjadi migrasi dan pematangan (stadium inkubasi), lesi yang mungkin timbul
terdiri atas 1) Dermatitis, pada tempat penetrasi serkaria, tampak pada 24-36 jam setelah infeksi,
tidak diikuti infiltrasi seluler yang istimewa, 2) Perubahan pada paru-paru akibat trauma dan
infiltrasi, berupa perdarahan pada paru-paru serta penimbunan lokal eosinofil, terdapat sel
epiteloid dan giant cells sekeliling pembuluh darah pulmoner pada migrasi larva yang lemah, 3)
Hepatitis akut mengikuti masuknya larva serta selama pertumbuhannya dalam pembuluh darah
portal intrahepatik, 4) Hiperemi pada dinding usus halus mengikuti masuk serta pematangan
cacing pada vena mesentrica superior, 5) Trauma dengan perdarahan setelah telur diletakkan
oleh cacing betina, melepaskan diri dari venule kemudian menembus sub mukosa dan mukosa
intestinal masuk ke dalam lumen usus dan 6) Biasanya ditandai dengan meningkatnya eosinofil
dalam perdaran darah sebagai akibat perkembangan proses sensitizing-toxic patologi akibat
absorbsi sistemik dari metabolit cacing.
Sekali peletakkan telur dimulai, telur akan ditimbun dalam kelompok kecil-kecil, pendek
dalam rangkaian seperti sosis atau berupa gumpalan pada pembuluh venule mesentrica terkecil
dalam sub mukosa. Terjadi penyumbatan aliran darah sehingga telur muncul dari vena
mesentrica. Saat ini terjadi hipermotiliti dari segmen intestinal yang mengandung parasit dan
terjadi rangsangan sekresi lendir oleh larva yang sedang mengalami pematangan di dalam telur,
yang mengakibatkan telur melepaskan diri dari pembuluh darah masuk ke jaringan perivaskuler
disertai pengeluaran darah, untuk kemudian dilepaskan ke lumen usus dan dikeluarkan bersama
tinja. Sementara itu dengan semakin banyaknya jumlah telur, mukosa dan submukosa mengalami
infiltrasi sel hospes, infiltrasi eosinofil yang jelas, akan menimbulkan terbentuknya granuloma
makroskopis yang disebut pseudotuberkel. Diameter pseudotuberkel beberapa kali lipat dari
diameter sebuah telur atau gumpalan telur yang terletak di sentral yang kesemuanya bertanggung
jawab terhadap pembentukkan lesi. Sementara telur diletakkan terus menerus, induk cacing
cenderung untuk meninggalkan tempat lama untuk bermigrasi pada vena mesentrica yang baru
pada usus, sedangkan telur yang berada pada venule yang lebih besar akan menjadi bebas dan
terbawa ke dalam pembuluh porta intrahepatik dan kemudian mereka akan disaring dan akan
ditemukan perivaskular yang akan merangsang pembentukan pseudotuberkel milier.

Pengobatan.
S.japonicum lebih pathogen dan lebih resisten terhadap pengobatan dibanding
S. mansonia dan S. haematobium. Agar pengobatan schistosomiasis japonica berhasil dengan
baik, dianjurkan untuk memperhatikan beberapa hal, 1) Penderita diusahakan dalam stadium
awal dari penyakit sebelum menyerang hati dengan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki
ataupun menyerang organ-organ vital, 2) Mencegah terjadinya reinfeksi, 3) Meningkatkan daya
tahan tubuh misalkan dengan pemberian makanan dengan gizi tinggi, 4) Dapat diberikan
pengobatan dengan tartar emetik serta pengobatan ulang pada kekambuhan ringan dan 5) karena
tartar emetik bersifat hepatotoksik, selama pengobatan dianjurkan untuk dilakukan tes fungsi
hati. Pemberian tartar emetik (kalium antimonium tartrat) dengan suntikan intravena serta dalam
waktu lama merupakan obat efektif dan obat pilihan pada pengobatan penyakit ini.
Praziquantel merupakan obat schistosomiasis yang baru dari komponen
pyrazinoquinoline, diberikan per-oral dalam sehari pemberian, ternyata cukup efekif dengan
toleransi yang relatif baik diberikan per-oral dalam 3 dosis, masing-masing 20 mg/kgBB dengan
waktu antara 4 jam, menghasilkan angka penyembuhan 80%. Efek sampingan terdapat pada 50-
60% penderita yang diberi pengobatan dengan dosis ini, tetapi efeknya ringan serta sementara,
tidak enak perut, sakit kepala, sakit punggung, demam , berkeringat dan pening. Kemoterapi
lainnya, yaitu oxamniquine dan metrifonate, memiliki efektifitas tinggi, berturut-turut terhadap
schistosomiasis mansoni dan schistosomiasis haematobia sedangkan untuk schistosomiasis
japonica tidak efektif, sedangkan niridazole dapat mengurangi jumlah telur tetapi tidak
mengurangi infeksi.

Pencegahan dan kontrol.

Kontrol pada schistosomiasis japonica dipersulit dengan dipergunakannya secara umum


tinja manusia untuk pupuk pada daerah endemik. Dianjurkan tinja terlebih dahulu disimpan
dalam waktu lebih lama dalam penampungan tinja atau dengan penambahan desinfektan dengan
garam pupuk seperti ammonium nitrat yang dapat membunuh telur sebelum disebarkan ke
ladang. Petani dan pekerja di air kanal, di sungai secara prinsip tertulari, akan tetapi dapat pula
manusia pada semua usia terutama anak-anak, tertulari selama mandi atau menyebrang daerah
ini, demikian juga pada orang yang menggunakan air yang telah terinfeksi untuk mencuci
pakaian. Banjir membawa siput yang terinfeksi ke hilir dengan melewati perkotaan. Faktor lain
adalah hospes perantara siput yang memiliki operculum, bersifat amphibi dan dapat bertahan
terhadap pengeringan selama sebulan atau lebih. Siput yang terinfeksi dapat bertahan hidup
beberapa minggu dalam kekeringan dan jika terkena air kembali, akan menjadi aktif dan
mengeluarkan serkaria yang infektif.
Strategi pemberantasan schistosomiasis di Indonesia (Adyatma, 1980) sebagai berikut: 1)
Meningkatkan pemberantasan penyakit untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke daerah
lain, 2) metode intervensi , yaitu metode kombinasi pengobatan penderita, pemberantasan keong,
perbaikan sanitasi lingkungan dan agroengineering (mengeringkan daerah rawa-rawa) yang
merupakan focus keong, 3) mengadakan kerjasama lintas sektoral khususnya untuk
agroengineering, kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian untuk menunjang
pemberantasan
Pemberantasan Schistosomiasis di Sulawesi Tengah telah dilakukan sejak 1988 secara
terpadu yang melibatkan semua instansi terkait yaitu Departemen PU, Pertanian, Kehutanan,
Dalam Negeri, Transmigrasi, Kesehatan Tingkat 1 Sul-Teng serta Tim Penggerak PKK. Hasil
yang dicapai dari pemberantasan secara terpadu ini adalah turunnya prevalensi penderita
Schistosomiasis menjadi 1,5% di dataran tinggi Napu dan 2,5% di Danau Lindu (1993).

b. Schistosomiasis mansoni
Etiologi
Schistosoma mansoni (Sambon,1907)

Epidemiologi

Penyakit oleh S. mansoni dinamakan schistosomiasis mansoni, Manson’s intestinal


schistosomiasis atau bilharziasis. Infeksi pada manusia hampir semua berasal dari sumber
manusia yang lain, walaupum kera dan baboon pada daerah endemik kadang-kadang ditemukan
terinfeksi. Cacing ini terutama tersebar di Afrika dan Brazil serta daerah lainya yaitu Mesir,
Puerto Rico dan Venezuela.

Habitat dan hospes

Habitat pada vena mesentrica inferior yang mengalirkan darah dari usus besar dan segmen
posterior ileum. Telur ditimbun pada venule di submukosa usus, sebagai hospes definitif,
disamping pada manusia juga pada kera dan rodensia. Sedangkan sebagai hospes perantara siput
air tawar genus Biomphalaria, Australorbis, Tropicobis, terutama Biomphalaria glabrata dan
Biomphalaria alexandrina.

Morfologi dan siklus hidup.

Morfologi cacing jantan panjangnya 6,4-12 mm, tuberkulasi jelas, duri kasar, testis 6-9 buah,
pinggir lateral saling mengunci oleh duri acuminate, pada tempat ini lebih panjang dari tepat lain.
Cacing betina panjangnya 7,2-17 mm, letak ovarium di anterior pertengahan tubuh, kelenjar
vitellaria memenuhi pinggiran lateral dan pertengahan tubuh, uterus pendek diisi beberapa butir
telur (1-4 butir)
Gambar 7. Cacing dewasa Schistosoma mansoni

Telur
Berukuran 114-175 x 45-68 µm, berwarna coklat kekuningan, transparan, dekat salah satu
kutubnya terdapat duri lateral yang spesifik. Telur menghasilkan enzim untuk memudahkan
keluar melewati jaringan masuk ke dalam lumen usus. Telur sudah matang, akan segera pecah
setelah kontak dengan air karena sifatnya yang menyerap air.

Siklus hidup
Siklus hidup S mansoni, pada kondisi yang menguntungkan, waktu minimum yang dibutuhkan ±
4 minggu. Serkaria memiliki beberapa pasang kelenjar penetrasi pada bagian kepalanya,
menembus kulit hospes pada lipatan, lubang rambut atau dibawah selaput tanduk. Perjalanan
selanjutnya sama dengan S. japonicum.

Gejala klinik

Granuloma oleh S. japonicum lebih besar, lebih eksudatif, lebih destruktif serta
meninggalkan sisa jaringan parut yang lebih besar. Organ yang lebih serius diserang kolon dan
rectum, akan tetapi pada hati juga akan terjadi proses patologis terutama fibriosis hati. Sama
seperti S. japonicum, S.mansoni juga menunjukkan tiga stadium : 1) Periode inkubasi, 2) Periode
deposisi dan ekstrusi telur dan 3) Periode proliferasi jaringan dan perbaikan. Ekstrusi telur yang
pertama terjadi pada 5-7 minggu setelah infeksi, diikuti disentri schistosomiasis yang klasik
dengan lendir dan darah pada tinjanya. Hati dan limpa juga sangat membesar dengan perabaan
lunak, mula-mula disebabkan oleh infiltrasi telur. Telur mungkin masuk ke jaringan paru-paru,
pankreas, limpa, ginjal, adrenal, miokardium atau kadang-kadang sumsum tulang belakang dan
memulai proses patologi dari organ-organ ini dengan gejala-gejala yang sesuai. Pada sekitar
0,1% penderita, telur dengan duri lateral sampai pada vesica urinaria yang akan dikeluarkan
bersama urine. Komplikasi pulmoner pada schistosomiasis mansoni termasuk tipe
bronchopulmoner menyerupai TBC lanjut, dengan enarteritis pembuluh darah pulmoner serta
bentuk cardiopulmoner yang berakhir dengan lemah jantung kongestif

Diagnosis

Selama fase prodromal sampai akhir periode prepaten, diagnosis dapat dilakukan dengan
tes serologis. Segera setelah ekstrusi telur dimulai, diagnosis dengan menemukan telur dalam
tinja dengan metode konsentrasi jika telur tidak ditemukan pada sediaan langsung atau pada
“Kato thick fecal film”. Dilakukan dengan sedimentasi pada 0,5% gliserin dalam air atau dengan
metode konsentrasi lain. Penderita dengan disertai komplikasi pulmoner yang disebabkan oleh
schistosomiasis, maka diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, visualisasi dari lesi pada sinar
rontgen dan pada waktunya menemukan telur dalam sputum. Jika telur pada pemeriksaan tidak
dapat ditemukan, dilakukan pemeriksaan serologis. Untuk survey di masyarakat, dapat
digunakan metode Kato dengan hasil yang cukup baik.

Pengobatan

Tartar emetik seperti pada S japonicum cukup efektif, hanya sulit dalam pemberian dan
toleransinya rendah sehingga bukan merupakan obat pilihan. Obat-obat lainnya yaitu Stibofen
(Fuadin), pemberian intramuscular dalam larutan 6,3% 40-75 ml yang diberikan dalam 10-16
kali pemberian. Niridazole (CIBA 32.644 Ba atau Ambilhar) efektif mengobati Schistosomiasis
mansoni dengan dosis perhari 25 mg/kgBB, diberikan dalam waktu 5-10 hari. Obat lainnya yang
cukup baik adalah nitroquinoline, Oxamniquine,yang diberikan per-oral. Dosis optimim belum
dapat ditentukan, disarankan dosis 15 mg/kgBB dalam dosis tunggal. Niridazole lebih efektif
pada anak-anak daripada Oxamniquine yang efektif pada orang dewasa. Pengobatan dengan
Praziquantel aman dan efektif pada dosis tunggal 40 mg/kgBB. Oltripaz merupakan obat baru
yang dilaporkan juga efektif untuk Schistosomiasis mansoni.

Pencegahan

Pencegahan sama dengan S japonicum, pada prinsipnya penggunaan Moluscisida pada


beberapa keadaan dapat efektif mengurangi atau secara lengkap memutuskan transmisi parasit,
akan tetapi membutuhkan waktu lama. Program kesehatan masyarakat dengan menyediakan
tempat mandi umum, mencuci pakaian serta system pembuangan yang sehat memberikan
pencegahan yang baik terhadap penyakit ini.
c. Schistosomiasis haematobium
Etiologi

Schistosoma haematobium (Bilharz, 1852 dan Weiland, 1858)

Epidemiologi.

Merupakan trematoda darah yang dapat menyebabkan Schistosomiasis vesikalis (penyakit


parasit pada organ genitourinari), schistosomiasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis,
Schistosomal hematuria. Schistosomiasis haematobium sering terjadi di hulu sngai Nil.
Sebagian besar Afrika termasuk kepulauan di Pantai Timur Afrika, ujung Selatan Eropa, Asia
barat dan India

Habitat dan hospes

S. haematobium dewasa hidupnya terutama di flexus vena vesikalis dan pelvic, mungkin pada
aliran darah porta, vena mesentrica inferior, vena pudendalis, vena haemorroidalis, jarang pada
venula lainnya. Hospes definitif selain manusia juga kera (Cercocebus torquatus atys), baboon
(Papio doguera dan Papio rhodesiae), Chimpanzee (Pan satirus). Hospes perantara siput air dari
genus Bulinus dan Planorbarius.

Morfologi dan siklus hidup

Cacing jantan gemuk, berukuran 10-15 x 0,8-1 mm, ditutupi integument tuberkulasi kecil,
memiliki dua batil isap berotot, yang ventral lebih besar. Di belakang batil isap ventral, melipat
ke arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Persis di balakang
batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis tepat dibawah batil isap ventral.
Cacing betina panjang silindris, ukuran 20 x 0,25 mm, batil isap kecil, ovarium terletak posterior
dari permukaan tubuh. Uterus panjang sekitar 20-30 telur berkembang pada satu saat dalam
uterus. Oviposisi biasa terjadi dalam venule kecil pada vesica urinaria dan pelvicus seperti
venule rectalis. Tempat-tempat ektopik ditemukan pada kelenjar prostat dan jaringan subkutan
lipat paha dan scrotum, jaringan kulit sekitar umbilicus, conjunctiva dan kelenjar lakrimalis.
Telur dapat menembus dinding pembuluh darah menembus mukosa sampai ke lumen bersama
darah yang keluar dari luka, keluar bersama urine terutama pada akhir miksi atau pada tinja
disentri.

Morfologi telur Schistosoma haematobium


Berwarna coklat kekuningan, memiliki duri terminal, transparan, berukuran 112-170 x 40-70
µm. pada siput yang sesuai dalam 4-8 minggu terbentuk sporokista generasi pertama dan kedua,
akhirnya akan menjadi serkaria yang setiap hari akan lolos dari tubuh siput secara berkelompok
selama beberapa minggu atau bulan, setelah meninggalkan siput serkaria berenang aktif mencari
hospes. Serkaria kontak dengan kulit, air menguap, menembus kulit, ekornya dilepaskan.
Keadaan hidup bebas ini tidak lebih dari 3 hari (biasanya 24 jam atau kurang), selama dapat
bertahan tidak makan. Kemudian menembus ke bawah permukaan epidermis dengan lincah
dalam waktu kurang dari 30 menit. Biasanya dalam 1-2 hari, larva telah sampai venule perifer,
terbawa ke jantung kanan, masuk ke dalam pembuluh darah pulmoner. Menjelang dewasa
memerlukan waktu 20 hari sejak penetrasi ke dalam kulit. Mereka masuk ke dalam vena
mesentrica inferior, tinggal dan matang dalam vena rektalis, akan tetapi biasanya bermigrasi
melalui vena haemorroidalis dan vena pudendalis menuju vena vesicalis dan plexus pelvicus,
mereka sampai dalam waktu 3 bulan setelah menembus kulit. Periode prepaten biasanya
memerlukan waktu 10-12 minggu.

Gejala klinik

Setelah kontak dengan kulit manusia, serkaria masuk ke dalam pembuluh darah kulit. Lebih
kurang 5 hari setelah infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena porta dan hati. Kira-kira tiga
minggu setelah infeksi, pematangan cacing dimulai sejak keluar dari vena porta. Setelah 10-12
minggu cacing betina mulai meletakkan telur pada venule. Pada schistosomiasis vesicalis, primer
kerusakan jaringan pada dinding vesica urinaria, sekunder pada bagian distal ureter, organ
urinarius dan genital yang berdekatan atau rectum dan akhirnya pada paru-paru dan organ yang
lebih jauh. Bila jumlah telur lebih banyak maka akan diinfiltrasi dan ditahan dalam jaringan,
menjadi pusat pembentukkan pseudoabses. Abses dekat lumen vesica urinaria atau organ lain,
mungkin pecah dan mengeluarkan telurnya , berlanjut dengan pembentukkan jaringan fibrosis
berakhir dengan pembentukkan pseudotuberkel yang akhirnya akan terjadi fibrosis seluruh
organ. Efek S.haematobium terdiri atas: 1) Reaksi lokal dan umum terhadap metabolit cacing
yang sedang tumbuh dan matang, 2) Trauma dengan perdarahan akibat telur keluar dari venule,
3) Pembentukkan pseudoabses dan psudotuberkel mengelilingi telur terbatas pada jaringan
perivaskular dan 4) Obstruktif uropati. Aspek klinik infeksi terbagi menjadi tiga periode : masa
inkubasi, deposisi dan ekstruksi telur, proliferasi jaringan dan perbaikan.
Deposisi dan ekstrusi telur, inflamasi dan pembentukkan pseudotuberkel pada sekeliling telur
diikuti: (1) hyperplasia dan fibrosis umum dinding vesica dan ureter bagian bawah.(2) infeksi
sekunder. Gejalanya berupa sistitis kronis. Pemeriksaan sitoskopis menjadi lebih sulit. Lesi yang
terjadi pada laki-laki dapat sampai penis dan elephantiasis organ akibat penyumbatan
limphaticus scrotalis. Lesi pada wanita biasanya kurang berat meskipun cervix, vagina dan vulva
mungkin dikenai.

Diagnosis.

Diagnosis spesifik hanya dapat dibuat : 1) setelah telur dilepaskan ke dalam lumen vesica
urinaria dan muncul dalam urine atau 2) setelah telur dilepaskan ke dalam lumen usus dan
ditemukan bersama tinja atau 3) dari bahan aspirasi atau biopsi yang diperoleh melalui cytoscope
atau proctoscope dan diperiksa secara mikroskopik terhadap adanya telur. Immunodiagnosis
umumnya hanya merupakan group specific sering dilakukan pada kasus dengan gejala-gejala
selama prepaten yang terlambat.
Telur S. haematobium biasanya terdapat dalam urine, meskipun pada infeksi berat dapat
ditemukan pada faeces. Bahan pemeriksaan urine hematuri dapat terdiri dari banyak telur
terperangkap dalam lendir dan nanah. Puncak eksresi telur terjadi antara siang dan jam tiga sore.
Specimen yang dikumpulkan pada waktu tersebut atau urine 24 jam tanpa pengawet,dapat
digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis setelah disentrifuge atau sedimentasi. Yang harus
diperhatikan dalam diagnosis Schistosoma haematobium :
Telur tidak terdapat dalam urine sampai cacing dewasa ( memerlukan waktu 5 sampai 13
minggu setelah awal infeksi)
Pada infeksi ringan atau kronis telur akan sulit didapat dalam urine, sehingga dibutuhkan
pemeriksaan berulang-ulang atau pemeriksaan serologis akan sangat membantu
Kadangkala terdapat juga dalam faeces sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urine dan faeces
Teknik membrane filtrasi menggunakan saringan nukleopore akan sangat membantu dalam
penegakkan diagnosa
Pasien yang telah menjalani pengobatan harus di follow-up dan pemeriksaan terus dilakukan
sampai 1 tahun untuk mengevaluasi pengobatan
Pada infeksi aktif, telur dapat mengandung miracidia

Pengobatan

Obat merrifonate (Bilarcil), organoposfor cholinesterase inhibitor, tidak efektif terhadap S


japonicum dan S mansoni tetapi unggul dalam pengobatan terhadap Schistosomiasis vesikalis
karena murah, manjur dan mudah diterima oleh penderita. Dengan dosis 5-15 mg/kgBB
diberikan dengan interval 2 minggu untuk 3 dosis membutuhkan waktu 4 minggu. Oxamniquine
tidak efektif untuk schistosomiasis vesikalis

Pencegahan.

Mengurangi sumber infeksi dari cacing ini dilakukan dengan pengobatan penderita, terutama
pengobatan massal di daerah endemik. Dapat dilakukan pencegahan dengan tiga program, yaitu:
1) eradikasi tuan rumah molusca, paling sedikit untuk satu siklus transmisi, dengan penanganan
air dan kampanye moluscasida pada daerah endemic. 2) perbaikan sanitasi lingkungan untuk
mengurangi kepadatan habitat siput dimana telur schistosoma dikeluarkan pada urine dan
faeces manusia yang merupakan sumber infeksi untuk siput, 3) pengobatan secara efektif pada
penderita terutama carrier untuk mengurangi kontaminasi pada air.

2. Trematoda usus
Yang termasuk Trematoda usus, yaitu: Fasciolopsis buski, Metagonimus yokogawai,
Echinostoma ilocanum, Gastrodiscoides hominis, Heterophyes heterophyes, dan watsonius
watsoni. Siklus hidup pada umumnya memerlukan dua hospes perantara tempat telur keluar
bersama tinja hospes definitif, dan telur yang keluar dapat sudah matang atau belum matang
tergantung jenis spesies.
Habitatnya di usus halus. Umumnya gejala klinis disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya oleh trauma yang dapat menimbulkan inflamasi serta ulserasi mukosa usus. Cacing
dalam jumlah banyak dapat menimbulkan obstruksi walaupun jarang obstruksi total, faktor
lainnya dan dapat menimbulkan gejala klinis adalah akibat zat racun yang dihasilkan oleh
parasit. Gejala klinik ringan berupa diare, sakit perut, sedangkan pada penyakit yang lebih berat,
nyeri perut akan lebih hebat , astenis kemudian timbul gejala toksis umum dan keluhan
alergi.Diagnosis umumnya dengan menemukan telur dalam tinja.

d. Fasciolopsis buski
Penyakit yang disebabkan oleh trematoda usus Fasciolopsis buski disebut dengan
fasciolopsiasis. (Lancester,1857, Odher ,1902, ditemukan di RRC, Taiwan, Vietnam, Thailand
dan juga Indonesia)

Habitat dan Hospes

Melekat terutama pada dinding mukosa duodenum dan jejunum. Pada infeksi berat dapat
ditemukan pada phylorus atau usus besar. Hospes definitif selain manusia juga ditemukan pada
babi dan anjing.
Yang bertindak sebagai hospes perantara I yaitu : keong air tawar genus Hippeutis,
Gyraulus, Segmentia, Lymnaea, sedangkan sebagai hospes perantara II adalah tumbuhan air
diantaranya Trapa bicornus, Trapa natans, Eliocharis tuberose (water chestnut), Salvinia natans,
Eichornia (eceng gondok) dan Zizania (bambu air).

Morfologi dan siklus hidup.

Ukuran 20-75 mm x 8-20 mm dengan ketebalan 0,5-3 mm, diameter batil isap kepala, sedangkan
batil isap perut 2-3 mm. porus genitalia terletak sebelah depan dari asetabulum. Khas integument
berduri serta tidak memiliki chepalic cone. Caecum tidak bercabang, testis dua bentuk
bercabang letaknya berurutan sebelah posterior ovarium, dengan uterus berkelok

Telur.
Telur menyerupai Fasciola hepatica, memiliki operculum, berukuran 130-140 x 80-85 µm. telur
terus menerus dikeluarkan ke dalam rongga usus hospes, membutuhkan pematangan di air
dalam waktu 3-7 minggu.
Perubahan yang terjadi pada hospes perantara I dari miracidium berturut-turut berubah menjadi
sporokista, selanjutnya terjadi dua tingkatan redia yaitu redia I, redia II dan akhirnya menjadi
serkaria. Akhirnya dalam tubuh hospes perantara II berubah menjadi metaserkaria. Dalam tuibuh
hospes terjadi eksistasi di dalam duodenum dan akan menjadi dewasa dalam tiga bulan.

Gejala klinik

Penyakit yang ditimbulkan oleh Fasciolopsis buski disebut fasciolopsiasis. Trauma oleh cacing
dewasa menimbulkan inflamasi dan ulserasi mukosa usus di tempat menempel cacing cacing
dewasa. Pada infeksi ringan atau sedang tidak menimbulkan gejala spesifik. Jika parasit
jumlahnya banyak, terjadi peningkatan produksi sekresi mucus dan dapat mengakibatkan
obstruksi partial usus serta illeus partial. Pada dinding usus dapat terjadi abses. Selanjutnya
dapat timbul gejala intoksikasi dan sensitisasi akibat penyerapan metabolit cacing oleh tubuh.
Gejala awal berupa toxic diarrhea dengan hunger pain yang timbul setelah berakhirnya masa
inkubasi. Diare diawali konstipasi, kemudian diare akan persisten, tinja hijau kekuningan dan
berisi makanan yang tidak dicerna. Ascites sering terjadi disertai nyeri abdomen. Kematian
biasanya disebabkan karena intoksikasi. Gambaran pada apus darah 45% menunjukkan
leukositosis dengan eosinofil absolute serta neutrofilik leucopenia. Kadang-kadang terjadi
limfositosis sedangkan pada erirosit tidak mengalami perubahan.

Diagnosis

Dipastikan dengan menemukan telur dalam tinja

Pengobatan

Dapat diberikan obat-obat anthelmintik, sebagai obat pilihan hexylrecorcinol dengan dosis
tunggal 0,4 gr (1-7 tahun), sampai 1 gr untuk 13 tahun ke atas tapi sekarang jarang tersedia.
Tetracloroethylene , seperti pada pengobatan cacing kait dengan dosis tunggal 0,12 ml/kgBB
(dosis maksimal 5 ml), setelah puasa tanpa diberi pencahar. Pengobatan ini efektif juga untuk
fascilopsiasis. Diclorophen menunjukkan pengurangan jumlah cacing pada 2/3 kasus dengan
pengurangan jumlah telur lebih dari 80%. Pemberian per-oral dengan dosis sesuai berat badan
hospes. Praziquantel menjadi obat pilihan dengan dosis tunggal 40 mg/kgBB

Pencegahan

Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan antara lain dengan mengobati
penderita, juga babi yang terifeksi dengan maksud menghilangkan sumber infeksi.
Memusnahkan keong, tumbuhan air yang menjadi hospes perantara. Dan memasak hospes
perantara dengan baik sebelum dimakan.

3. Trematoda hati
Trematoda hati terdiri dari beberapa spesies yaitu; Clonorchis sinensis, Opisthorchis viverini,
Dicrocoelium dendriticum, Fasciola hepatica,dan Opisthorchis felineus. Umumnya trematoda
hati habitatnya tidak pada sel hati melainkan pada saluran empedu dan hanya sekali-kali
menginfiltrasi jaringan hati.

Siklus hidup.

Trematoda hati juga membutuhkan dua hospes perantara. Hospes I adalah siput air tawar serta
hospes perantara II ikan, tumbuhan air atau yang lainnya tergantung spesies. Pada hospes
perantara I juga seperti trematoda usus yakni dari miracidium sporokista, redia dan serkaria,
sedangkan pada hospes II terjadi perubahan serkaria menjadi metaserkaria yang menyerupai
“kista” dengan larva di dalamnya. Selanjutnya dalam perjalanan siklus hidupnya untuk sampai di
habitat dengan melalui dua jalan. Jika “kista” tertelan bersama hospes perantara II di dalam
duodenum “kista” pecah dan keluar larva ada yang langsung masuk saluran empedu sebelah
distal ada juga species yang masuk ke cabang-cabangnya melalui ampula vateri

Gejala klinik

Gejala klinik yang timbul umumnya terjadi akibat penyumbatan saluran empedu oleh cacing
dewasa atau oleh telur.

Diagnosis.

Ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, kadang-kadang diperlukan imunodiagnosis.

e. Fascioliasis
Etiologi

Fasciola hepatica

Gejala klinik

Menyebabkan penyakit fascioliasis/fasciolosis, terutama menyerang domba dan ternak, yang


mengakibatkan anemia, penurunan berat badan, kadang disertai diare dan odema sub
mandibularis.

Morfologi dan siklus hidup.

Cacing dewasa
Ukuran panjang 30 mm x lebar 13 mm
Berbentuk menyerupai daun
Bagian anterior lebih lebar dibandingkan bagian posterior
Memiliki oral sucker pada anterior, dan ventral sucker tempat melekat pada saluran empedu
Memiliki ovarium dan testis sehingga dapat memproduksi telur sendiri

Telur
Ukuran panjang 140 µm dan lebar 75 µm
Memiliki operkulum

Siklus hidup

Untuk menyempurnakan siklus hidupnya Fasciola hepatica membutuhkan keong air sebagai
hospes perantara seperti Galba truntacula (parasit dapat bereproduksi aseksual). Dari keong,
serkaria timbul dan berenang di air dan terjadi enkistasi sebagai metaserkaria pada tumbuhan air.
Metaserkaria dimakan oleh ruminansia atau dapat terjadi pada manusia yang memakan sayuran
mentah, kontak dengan pH yang rendah di lambung terjadi ekskistasi. Di duodenum parasit
keluar dari metaserkaria dan menuju rongga peritoneal. Pada tahap ini serkaria tidak makan
tetapi setelah ditemukan di parenkim hati, setelah beberapa hari fase makan terjadi. Stadium
jaringan hati merupakan stadium patogenik penyebab anemia dan timbul gejala klinis. Parasit
berada di jaringan hati selama 5-6 minggu dan kadang ditemukan di saluran empedu, ketika
matang dan dewasa akan bertelur lebih dari 25.000 dalam satu hari.
Immature eggs are discharged in the biliary ducts and in the stool . Eggs become
embryonated in water , eggs release miracidia , which invade a suitable snail intermediate
host , including the genera Galba, Fossaria and Pseudosuccinea. In the snail the parasites
undergo several developmental stages (sporocysts , rediae , and cercariae ). The cercariae
are released from the snail and encyst as metacercariae on aquatic vegetation or other
surfaces. Mammals acquire the infection by eating vegetation containing metacercariae.
Humans can become infected by ingesting metacercariae-containing freshwater plants,
especially watercress . After ingestion, the metacercariae excyst in the duodenum and
migrate through the intestinal wall, the peritoneal cavity, and the liver parenchyma into the
biliary ducts, where they develop into adults . In humans, maturation from metacercariae
into adult flukes takes approximately 3 to 4 months. The adult flukes (Fasciola hepatica: up
to 30 mm by 13 mm; F. gigantica: up to 75 mm) reside in the large biliary ducts of the
mammalian host. Fasciola hepatica infect various animal species, mostly herbivores.

Diagnosa

Diagnosa pasti dengan ditemukannya telur Fasciola hepatica pemeriksaan langsung pada
spesimen faeces, aspirat usus atau aspirat empedu, akan tetapi cacing belum bertelur empat
bulan setelah infeksi, sehingga untuk pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan
serologis ELISA dengan sensitifitas 95% dapat mendeteksi antibody terhadap Fasciola hepatica
dua minggu setelah infeksi.

Pengobatan.

Obat terpilih untuk pengobatan fasciolosis adalah triklabendazol, anggota dari benzimidazol dan
merupakan antelmintik. Kerja obat dengan mencegah polimerisasi molekul tubulin ke dalam
struktur sitokeletal, mikrotubul.

f. Clonorchiasis
Etiologi : Clonorchis sinensis (Cobbold, 1875, Looss 1907).

Epidemiologi. Parasit ini terdapat endemic di RRC, Jepang, Korea, Vietnam dan Taiwan.

Habitat dan hospes

Clonorchis sinensis habitatnya dalam saluran empedu kadang-kadang bersama-sama saluran


pancreas. Cacing ini dapat hidup selama 20-25 tahun. Hospes definitifnya terutama manusia
dapat juga kucing dan anjing. Membutuhkan dua hospes perantara, yaitu hospes perantara I siput
air tawar genus Bulimus, Parafossarulus, Alocinma serta spesies Melanoides tuberculatus
mungkin juga dari genus Thiara, Semisulcospira. Bertindak sebagai hospes perantara II adalah
ikan dari family Cyprinidae (terutama di Jepang), salmonidae, gobbidae, dan Anabantidae.

Morfologi dan siklus hidup.

Cacing dewasa
Bentuk cacing pipih memanjang, transparan dan bagian posterior membulat. Memiliki ukuran
10-25 x 3-5 mm dengan integument tidak berduri, batil isap kepala sedikit lebih besar
dibandingkan batil isap perut dan terletak pada 1/3 anterior tubuh. Gambaran khas pada besar
dan dalamnya lekuk lobus/cabang testis, dengan cabang ke lateral. Letak testis berurutan, sebelah
posterior dari ovarium yang lebih kecil dan juga berlobus. Ovarium ini terletak digaris tengah,
pada pertemuan 1/3 posterior dan 1/3 tengah tubuh, uterus tampak berkelok-kelok, bermuara
pada porus genitalis berdampingan dengan muara alat kelamin jantan.

Telur.
Telur berbentuk oval dengan ukuran 28-35 x 12-19 µm, ukuran dinding sedang, memiliki
operculum konveks, bagian posterior menebal.

Telur diletakkan dalam saluran empedu dalam keadaan sudah matang kemudian keluar bersama
tinja dan baru menetas apabila ditelan oleh hospes perantara I. telur dalam tinja dapat bertahan
selama 2 hari pada suhu 26⁰C dan 5 hari pada suhu 4-8⁰C. dalam hospes perantara I miracidium
berubah menjadi sporokista, redia dan serkaria. Serkaria memiliki kelenjar penetrasi pada bagian
kepala untuk menembus ikan tempat akan membentuk metaserkaria dalam otot atau kulit ikan
tersebut. Perkembangan dalam tubuh ikan berlangsung selama 23 hari. Jika daging ikan yang
mengandung cacing tersebut (“kista”) dimasak kurang sempurna, jika dimakan hospes maka di
dalam duodenum, larva keluar dari “kista” masuk ke saluran empedu sebelah distal dan cabang-
cabangnya melalui ampula vateri. Untuk menjadi cacing dewasa diperlukan waktu satu bulan,
sedangkan seluruh siklus diperlukan sekitar 3 bulan.

Gejala klinik
Penyakitnya clonorchiasis yang akan terjadi proliferasi epitel dan reaksi inflamasi pada
tempat melekat cacing, kemudian disini dibentuk jaringan fibrosis. Ternyata penyakit ini 9%
menimbulkan cirrhosis hepatis dan 6% obstruksi ductus billiaris communis oleh cacing dewasa
atau oleh batu yang terbentuk karena adanya parasit ini atau keduanya. Mungkin cacing
menginfiltrasi jaringan hati sehingga terjadi destruksi sel parenchym hati.
Gejala clonorchiasis terdiri dari tiga stadium : 1) Ringan biasanya tanpa gejala
(asimptomatik) 2). Progresif dengan nafsu makan yang tidak menentu, perut terasa penuh, diare,
edema dan hepatomegali dan 3) Berat dengan syndrome yang yang berhubungan dengan
cirrhosis portal. Ikterus tidak selalu ditemukan. Juga terjadi gejala toksemia akibat cacing dan
produknya berupa palpitasi jantung dan takikardi, vertigo, tremor, kram dan depresi mental.
Terjadi hepatomegali-lunak, sedikit ikterik pada sclera. Dapat juga terjadi splenomegali dan
eosinofilia pada 10-40%. Beberapa minggu kemudian masuk ke stadium kronis dengan
cholecystitis dan hepatitis sekunder. Kematian biasanya disebabkan penyakit kandung empedu
atau hepatitis sekunder.

Diagnosis.

Ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja atau dari aspirasi duodenum, kadang-kadang
diperlukan diagnosis immunologi

Pengobatan

Dapat diberikan klorokuin difosfat dosis 250 mg 3 kali sehari selama 6 minggu. Pengobatan ini
sering gagal disertai optic neuropati, sehingga perlu dicari obat lain yang lebih baik. Praziquantel
lebih efektif dan lebih aman.

Pencegahan

Mengurangi sumber infeksi dengan melakukan pengobatan pada penderita. Menghindarkan


penularan melalui ikan dengan memasak sempurna, pengasinan, pendinginan atau pemberian
cuka bagi ikan yang akan dimakan, selain itu diperlukan pendidikan yang berhubungan dengan
sanitasi.

Distribusi geografik:

Daerah endemis adalah Asia termasuk Korea, China, Taiwan, dan Vietnam. Clonorchiasis juga
dilaporkan terjadi di Negara nonendemis(Amerika Serikat). Kasus infeksi terjadi pada imigran
atau memakan ikan segar mentah yang mengandung metaserkaria .

4. Trematoda paru-paru.
Trematoda yang habitatnya di paru-paru spesies Paragonimus westermani yang menyebabkan
penyakit yang disebut paragonimiasis (Kerbert, 1878, Braun 1899)
Epidemiologi.

Kosmopolit pada mamalia, terutama daerah Timur jauh di Jepang, Philipina, Korea, India,
Muangthai, Taiwan, Afrika dan lain-lain. Di Indonesia merupakan infeksi pada binatang. Hospes
definitif selain manusia juga binatang mamalia antara lain anjing dan kucing. Sebagai hospes
perantara I keong air tawar Semissulcaspira libertina (jepang), Brotia asperata (Phililipina), B.
costula episcopalism (Malaysia), Syncera spp dan Melania. Sedangkan hospes perantara II
ketam air tawar genus Potamon, Eriocheir, sesarma spp dan udang batu (crayfish).

Morfologi dan siklus hidup.

Cacing berwarna coklat, jika sedang aktif menyerupai sendok, kutikulum berduri, batil isap sama
besar. Cacing dewasa hidup dalam kantung (kista) di paru-paru, tiap kista bisa berisi dua ekor
cacing, juga dapat dijumpai pada organ lain. Ukuran 7,5-12 x 4-6 mm dengan tebal 3,5-5 mm,
integument ditumbuhi duri. Oral dan ventral sucker hampir sama besar (0,75-0,8 mm) testis
berlobus dalam, letak berdampingan di garis tengah di antara ventral sucker dan ujung posterior.
Ovarium besar, berlobus, pada sisi kiri atau kanan setinggi asetabulum, uterus berkelok
berbentuk roset pada sisi berlawanan dengan ovarium sedikit anterior dari ovarium. Dari
kantung, telur keluar ke bronchiolus, dibatukkan bersama sputum atau tertelan keluar bersama
tinja

Telur berwarna coklat keemasan, memiliki operkulum, ukuran 80-118 x 48-60 µm. Akan
menetas di air setelah pematangan 2-3 minggu. Di dalam hospes perantara I, miracidium
berubah menjadi redia 1 dan redia 2, akhirnya serkaria. Dalam hospes perantara II serkaria
berkembang menjadi metaserkaria perlu waktu kurang lebih lima bulan. Pada hospes difinitif,
di dalam duodenum terjadi eksitasi, keluar larva kemudian menembus dinding usus (dalam 30-60
menit), memasuki rongga perut 3-6 jam, masuk ke dalam dinding perut tinggal beberapa hari
sebelum menembus diafragma, ke rongga pleura untuk akhirnya masuk ke bronchiolus (paru-
paru). Dibentuk suatu kapsul yang berasal dari epitel bronchiolus yang mengalami hipertropi.
Kadang-kadang sampai ke tempat ektopik, seperti mesenterium, pleura atau otak dan akan
menjadi dewasa di tempat ini . waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus 65-90 hari, infeksi
menetap sampai 20 tahun.

Gejala klinik dan patologi

Cacing ini menimbulkan penyakit paragonimisiasis atau distomiasis paru-paru. Sekeliling


parasit terjadi infiltrasi leukosit diikuti pembentukkan simpai fibrotic, membentuk “kista” berisi
dua ekor cacing, darah purulen serta telur cacing. Disekitar “kista” terjadi infiltrasi sel radang.
“kista” biasa terdapat pada bagian dalam paru-paru dengan diameter ± 1 cm. kelainan dalam
paru-paru dibagi menjadi empat kelompok, yaitu: 1) Tidak bernanah, dengan infiltrasi telur pada
jaringan hospes terutama dikelilingi sel dan reaksi jaringan ikat, biasanya membentuk abses, 2)
Tuberkel-like, abses berisi bahan yang kental, 3) bernanah (supuratif) dan 4) Ulseratif berupa
lesi.
Gejala mula-mula timbul demam, menggigil, batuk kering kemudian hemaptoe dengan
dahak lengket, berwarna coklat karat terutama pada waktu bangun pagi disebut endemic
hemoptysis. Disertai nyeri dada, kadang-kadang hemaptoe diikuti batuk yang paroksismal.
Pemeriksaan fisik menunjukkan suatu bronchopneumonia atau bronchiektasi dengan efusi
pleura. Jika cacing sampai di otak menimbulkan epilepsy Jackson, hemi/monoplegi ataupun
gejala lain tergantung lokasi otak yang diserang. Di Jepang dan Korea terjadi pada usia di bawah
15 tahun, terjadi infantil paralysis, perdarahan otak, ensefalitis atau meningitis disebabkan cacing
bermigrasi ke otak, jika cacing berada di bawah kulit menimbulkan tumor yang bergerak.

Diagnosis.

Dengan menemukan telur dalam sputum, aspirasi cairan pleura, tinja ataupun dari, kadang-
kadang diperlukan tes serologi dengan lesi kulit (teknik intradermal) atau complement fixation
test.

Pengobatan.

Dapat diberikan obat emetin hidroklorida hasilnya cukup baik, merupakan obat pilihan yaitu
bithionol (2,2’-thiobis[4,6-dichlorophenol]) diberikan per-oral 30-50 mg/kgBB selang sehari
dengan 10-15 dosis. Obat lain praziquantel 25 mg/kgBB, 3 kali perhari setelah makan diberikan
3 hari menunjukkan kesembuhan mendekati 100% tanpa efek sampingan yaitu batuk berisi
cacing mati atau hidup setelah 8-20 hari.

Pencegahan

Pengobatan penderita untuk mengurangi sumber infeksi, ketam yang akan dimakan dimasak
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Natadisastra Djaenudin, Ridad Agoes, Parasitologi Kedokteran, Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang, Cetakan 1, EGC, 2009
2. Winn Washington, Stephen Allen, Willian Janda, Elmer Koneman, Gary Procop, Paul
Schreckenberger, Gall Woods, Color Atlas and Textbook of Diagnostic Microbiology, Sixth
edition, Lippincott Williams & Wilkins, 2006
3. Schistosoma, tersedia dari http://www.altered-states.net/.../schistosoma.jpg, diunduh 8 mei 2010
4. Siklus hidup Schistosoma spp, tersedia dari
http://www.medicine.mcgill.ca/tropmed/txt/schistosom. Diunduh 8 mei 2010
5. Telur Schistosoma spp, tersedia dari http://www.medchem.com/Para/ b%2003.htm. Diunduh 8
mei 2010
6. Trematoda hati dan paru-paru, tersedia dari http://
www.medicine.mcgill.ca/tropmed/txt/lecture5%2. Diunduh 8 mei 2010
7. Miracidium dan serkaria , tersedia dari
http://www.biology.ualberta.ca/courses.hp/zool250/Labs/Lab04/Lab04.htm. Diunduh 8 mei 2010

Anda mungkin juga menyukai