Anda di halaman 1dari 14

Penyakit Schistosomiasis pada Manusia

Sabrina Fortunella Toding


102018004
D6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
sabrina.2018fk004@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Schistosomiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit jenis schistosoma.
Terdapat lima sepsis cacing schistosoma, yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni,
Schistosoma haematobium, Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum. Infeksi cacing
schistosma pada manusia dimulai dengan penetrasi kulit secara langsung melalui air yang
terkontaminasi dengan serkaria, yaitu bentuk infektif dari cacing schistosoma. Schistosomiasis
dapat menimbulkan gejala mudah lelah, diare disertai darah, eosinofilia, hepatomegali,
splenomegali dan ditemukan telur S. japonicum dan S. mansoni pada pemeriksaan tinja, serta
telur S. haematobium pada pemeriksaan urin. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian
praziquantel dan oxamniquine. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari kontak lebih
jauh dengan air mengalir pada daerah endemis. Penularan schistosomiasis pada daerah endemis
dapat menurun dengan cara mengurangi beban parasite pada populasi.

Kata kunci: Schistosomiasis, Schistosoma japonicum, praziquantel

Abstract
Schistosomiasis is a disease caused by a schistosoma worm. There are five species of
schistosoma worm, Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium,
Schistosoma mekongi and Schistosoma intercalatum. Schistosoma infections in humans begin
with direct skin penetration through water contaminated with cercariae, which is an infective
form of schistosoma worms. Schistosomiasis can cause symptoms of fatigue, diarrhea
accompanied by blood, eosinophilia, hepatomegaly, splenomegaly, S. japonicum and S. mansoni
eggs found in stool examination, and S. haematobium eggs in urine examination. Treatment can
be done by giving praziquantel and oxamniquine. Prevention can be done by avoiding further
contact with running water in endemic areas. Transmission of cystosomiasis in endemic areas
can be reduced by reducing the parasite burden on the population.

Key words: Schistosomiasis, Schistosoma japonicum, praziquantel

Pendahuluan
Parasitologi adalah ilmu yang mempelajari organisme (jasad-jasad) yang hidup untuk
menumpang sementara atau selamanya di dalam atau pada permukaan organisme lain dengan
maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh fasilitas hidupnya dari organisme lain tersebut
hingga organisme lain tersebut dirugikan. Organisme atau makhluk hidup yang menumpang
tersebut disebut dengan parasit. Ada berbagai macam penyakit yang timbul akibat gangguan
parasite, salah satunya adalah Schistosomiasis.
Schistosomiasis merupakan suatu penyakit pada manusia dan vertebrata yang disebabkan
oleh parasit, yaitu cacing sistosoma. Schistosoma merupakan cacing darah atau trematoda yang
sering menimbulkan penyakit kronik pada lebih dari 200 juta orang di negara berkembang.
Terdapat lima spesies schistosoma yang ada di dunia, yaitu Schistosoma mansoni, Schistosoma
japonicum, Schistosoma haematobium, Schistosoma mekongi, dan Schistosoma intercalatum.
Tiga spesies utama cacing trematoda yang menjadi penyebab schistosomiasis adalah
Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, dan Schistosoma haematobium. Sedangkan
Schistosoma mekongi dan Schistosoma intercalatum jarang ditemui kasus infeksinya.
Infeksi yang disebabkan oleh parasit sistosoma ini masih menjadi masalah kesehatan di
masyarakat terutama di daerah-daeah endemik. Pada umumnya orang yang terinfeksi adalah
orang-orang yang mempunyai kehidupan dekat dengan perairan atau tidak terpisahkan dengan
lingkungan air karena schistosomiasis merupakan suatu penyakit yang ditularkan melalui air
(water-borne-disease) oleh hospes perantaranya, yaitu siput. Penyakit ini berjalan kronis dan
menimbulkan penderitaan selama bertahun-tahun, menurunkan kapasitas kerja dan dapat
berakhir pada kematian. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai
asal mula penyebab penyakit, perjalanan penyakit dalam tubuh manusia, serta pengobatan dan
pencegahan yang dibutuhkan mengenai schistosomiasis.1

Anamnesis
Anamnesis merupakan pengambilan data yang dilakukan oleh seorang dokter dengan
cara melakukan serangkaian wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau dalam keadaan
tertentu dengan penolong pasien. Berdasarkan skenario yang didapat, seorang perempuan berusia
25 tahun datang ke klinik dengan keluhan demam sejak 1 bulan yang lalu. Melalui anamnesis
diketahui bahwa perempuan tersebut adalah seorang wisatawan dan relawan yang membantu
korban bencana gempa bumi di Palu, Sulawesi Barat. Demam yang diderita tidak menentu
dengan suhu dalam batas normal, mudah lelah (malaise) batuk tidak produktif dan diare yang
disertai darah. Pasien diketahui sudah berobat ke dokter dan minum antibiotik, namun keluhan
lesu, batuk, dan diare yang disertai darah tidak berkurang.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien datang dalam kesadaran compos mentis, yaitu
kesadaran normal, sadar sepenuhnya dan dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya. Pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan toraks dalam batas normal.
Namun pada pemeriksaan abdomen ditemukan pasien mengalami hepatomegali, yaitu
pembesaran organ hepar dan juga ditemukan splenomegali pada pasien, yaitu kondisi
pembesaran pada organ lien.

Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus, ketika pasien melakukan pemeriksaan tinja di dapatkan telur berbentuk bulat
dengan tonjolan kecil pada bagian kutub lateral (lateral knob). Untuk pemeriksaan penunjang
dari schistosoma bisa dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu ditemukannya telur-telur dalam
tinja dan urin. Pada Schistosoma hematobium lebih sering ditemukan dalam sedimen urin, tetapi
kurang dalam tinja. Urin dikumpulkan 24 jam atau berkisar antara jam 09.00 pagi hingga jam
14.00 siang. Pada infeksi S. mansoni dan S. japonicum telur-telur dapat ditemukan dengan
pemeriksaan tinja secara langsung atau dengan cara konsentrasi atau kuantitatif Kato-Katz. Dapat
dikatakan infeksi berat apabila ditemukan telur lebih dari 400 butir dalam 1 gr tinja.
Selain itu, uji serologi juga dapat dilakukan apabila hasil pemeriksaan urin atau tinja
negatif. Hasil yang akurat akan didapat setelah terpajan 6-8 minggu dengan air yang tercemar
dengan sekaria. Disini diperiksa antibodi terhadap cacing dewasa, sistosomula, dan serkaria
dengan tes-tes sebagai berikut: Enzyme Linked Immune Sorbent Assay (ELISA),
radioimmunoassay (RIA), immunoblot, Fascon Assay Screening Test (FAST) dan lain-lain.
Kemudian pemeriksaan penunjang yang lain, bisa dilakukan foto dada atau EKG pada infeksi S.
mansoni dan S. Japonicum. Gambaran USG pada hepar memberi gambaran patognomonis
berupa fibrosis periportal, sehingga tidak diperlukan biopsi. Pada infeksi S. hematobium
dilakukan pemeriksaan sistoskopi dapat ditemukan ulkus sady patches dan adanya daerah-daerah
yang mengalami metaplasia.2
WD (Working Diagnosis)
Berdasarkan gejala yang timbul, maka diagnosis dalam skenario tersebut kemungkinan
besar terkena schistosomiasis akut yang disebabkan oleh Schistosoma japonicum. Diagnosis
ditunjang dengan ditemukannya telur pada tinja (Schistosoma japonicum dan Schistosoma
mansoni) dan urin (Schistosoma haematobium). Diagnosis schistosomiasis harus
mempertimbangkan apakah individu tersebut tinggal di daerah endemis dengan kontak air
terkontaminasi yang jelas. Dalam anamnesis didapatkan bahwa pasien adalah seorang wisatawan
dan relawan yang membantu korban bencana di Palu, Sulawesi Tengah. Sesuai dengan daerah
distribusi cacing schistosoma, Schistosoma japonicum merupakan satu-satunya schistosoma yang
ditemukan di Indonesia yaitu di danau Lindu dan lembah Napu Sulawesi Tengah. Gejala klinis
pasien, yaitu mengalami diare disertai darah, mudah lelah, dan didukung dengan pemeriksaan
fisik dimana terdapat pembesaran hepar dan lien. Diagnosis schistosoma yang disebabkan oleh
Schistosoma japonicum semakin diperkuat dengan pemeriksaan penunjang yang sudah dilakukan
dimana ditemukan telur berbentuk bulat berwarna kuning kecoklatan dengan tonjolan kecil
dibagian kutub lateral.
Schistosomiasis akut mempunyai kaitan dengan rangsangan telur dan antigen cacing yang
diakibatkan oleh terbentuknya kompleks imun, 4-6 minggu setelah infeksi, yaitu ketika terjadi
pelepasan telur. Telur yang telah dikeluarkan cacing betina diletakkan di dalam pembuluh darah
kemudian masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan akhirnya dapat mencapai lumen dengan cara
menembus mukosa, biasanya mukosa usus. Sindrom schistosomiasis akut berkaitan dengan
reaksi imunologis telur sistosoma yang terjerat di jaringan. Antigen yang terlepas dari telur
merangsang suatu reaksi granulomatosa terdiri atas sel T, makrofag, dan eosinophil yang
mengakibatkan manifestasi klinis.
Tanda dan gejala tergantung dari beratnya infeksi, yaitu banyaknya telur yang
dikeluarkan yang berhubungan langsung dengan jumlah cacing betina. Dengan demikian gejala
yang terjadi berupa demam, malaise, berat badan menurun, banyak keringat, menggigil dan
batuk-batuk, limfadenopati generalisata, dan hepatosphenomegali. Keluhan ini mulai dari ringan
sampai berat, jarang menimbulkan kematian. Sindrom disentri biasanya ditemukan pada infeksi
berat, sedangkan pada infeksi ringan hanya diare. Hepatomegali timbul lebih dini lalu disusul
dengan splenomegali. Hal ini dapat terjadi dalam waktu 6-8 bulan setelah infeksi. Selanjutnya
pasien memasuki periode asimtomatis 2-8 minggu, namun secara umum gejalanya bersifat
ringan. Pada pemeriksaan laboratorium mungkin didapatkan leukositosis dan eosinofilia berat
karena infeksi parasit.3,4,5

DD (Differential Diagnosis)
 Schistosomiasis Mansoni
Penyakit ini disebabkan oleh cacing Schistosoma mansoi. Hospes definitifnya adalah
manusia dan kera. Pada manusia dapat menyebabkan schistosomiasis usus karena
menyerang usus. Distribusi cacing ini terdapat di Afrika, Arab, Amerika Selatan dan
Tengah. Pada badan cacing jantan terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandingkan dengan
S. japonicum dan S. haematobium. Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1 cm dan
betina 1,4 cm, tempat hidupnya di vena, kolon, dan rektum. Telur S. mansoni berbentuk
oval dengan duri di salah satu sisi lateral (lateral spine) dan terlihat jelas. Kelainan dan
gejala yang ditimbulkan sama seperti S. japonicum tetapi lebih ringan dan splenomegaly
dapat menjadi berat sekali.
 Schistosomiasis Haematobium
Penyakit ini disebabkan oleh cacing Schistosoma haemaobium. Hospes definitifnya
adalah manusia. Cacing ini dapat menyebabkan schistosomiasis kandung kemih karena
menyerang kandung kemih. Distribusi cacing ini terdapat di Afrika, Spanyol dan
diberbagai negara Arab (Timur Tengah, Lembah Nil) dan tidak ditemukan di Indonesia.
Cacing dewasa jantan berukuran 1,3 cm dan betina 2 cm, tempat hidupnya di vena
panggul kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur dengan duri dibagian posteriornya
dapat ditemukan di urin, alat kelamin dan juga rektum. Gejala yang ditemukan adalah
hematuria dan dysuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan bila terjadi
kelainan di rektum.5

Etiologi
Schistosomiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing Schistosoma
sp. Schistosoma sp merupakan parasit dalam klas Trematoda, familia Schistosomatidae, genus
Schistosoma. Terdapat 3 spesis sistosoma yang dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis,
yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni dan Schistosoma haematobium.1
Schistosoma dewasa betina dan jantan terpisah, namun biasanya ditemukan berpasangan. Cacing
jantan dewasa lebih pendek dan tebal, mempunyai celah disepanjang tubuhnya yang disebut
canalis gynecophorus, yaitu tempat menempelnya cacing betina pada cacing jantan, sedangkan
cacing betina dewasa lebih panjang dan langsing daripada cacing jantan. Keduanya berbentuk
silindris dan intestinumnya berwarna hitam karena menelan eritrosit. Cacing schistosoma dewasa
mempunyai 2 buah sucker (alat hisap), yaitu oral sucker dan ventral sucker serta terdapat sebuah
mulut yang terletak di tengah alat hisap dan berujung buntu.3,5
1. Schistosoma japonicum
S. japonicum menginfeksi manusia melalui penetrasi kulit oleh serkaria, yaitu stadium
infektif dari cacing schistosoma. Hospes dari S. japonicum adalah manusia, kucing dan
anjing. S. japonicum tumbuh menjadi bentuk infektif yang siap ditularkan kepada
manusia di dalam tubuh keong Oncomelania sebagai hospes perantaranya. Oleh karena
itu penyakit yang disebabkan oleh S. japonicum juga dikenali dengan penyakit Katayama
atau penyakit demam keong. Telur S. japonicum berbentuk bulat berukuran 70-100x50-
65 mikron dengan duri atau spina dibagian lateral (lateral knob) namun kadang sulit
terlihat. Telur S. japonicum ditemukan di dinding usus halus dan juga di alat-alat dalam
seperti hati, paru dan otak.
2. Schistosoma mansoni
S. mansoni menginfeksi manusia melalui penetrasi kulit oleh serkaria. Hospesnya adalah
manusia dan kera serta menjadikan keong air tawar Biomphalaria spp sebagai hospes
perantaranya. Penyakit yang disebabkan oleh S. mansoni ini disebut juga dengan
schistosomiasis mansoni atau sistosomiasis usus. Telur S. mansoni berukuran 155x65
mikron, berbentuk oval pada bagian anterior, sempit pada bagian anterior dan memiliki
duri pada salah sau sisi bagian lateral (lateral spine) yang terlihat jelas. Tempat hidupnya
di vena, kolon dan rektum. Telur juga tersebar ke alat-alat lain seperti hati, paru dan otak.
3. Schistosoma haematobium
S. haematobium juga menginfeksi manusia melalui penetrasi kulit oleh serkaria.
Hospesnya adalah manusia dan kera, menjadikan keong air tawar Bulinus dan
Biomphalaria sebagai hospes perantaranya. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini
disebut dengan schistosomiasis haematobium atau schistosomiasis vesica urinaria. Telur
S. haematobium berukuran 150x60 mikron, berbentuk seperti spindle shape, pada bagian
anteriornya tumpul dan terdapat duri dibagian posteriornya (terminal spine). Telur
ditemukan di urin dan alat-alat dalam lainnya serta di alat kelamin dan juga rektum.4,6

Gambar 1. Telur S. japonicum3 Gambar 2. Telur S. mansoni3

Gambar 3. Telur S. haematobium3

Infeksi pada penyakit ini umumnya dimulai saat penderita melakukan kontak dengan air
yang terkontaminasi saat berenang, menyeberangi sungai ataupun saat mencuci, sehingga
penyakit ini dipindahkan melalui penetrasi kulit secara langsung. Telur schistosoma yang ada
dalam tubuh manusia dapat keluar bersama tinja atau urin lalu masuk ke dalam air tawar,
kemudian larvanya (mirasidium) akan keluar dari telur dan selanjutnya menginfeksi siput
sebagai hospes perantara. Di dalam siput, sistosoma akan berkembang menjadi sporokista I dan
sporokista II dan selanjutnya berkembang menjadi serkaria yang merupakan bentuk infektif
cacing sistosoma. Serkaria yang infektif ini akan meninggalkan siput dan masuk berenang dalam
air tawar yang hanya dapat bertahan hidup selama 48 jam sehingga cacing dapat segera
melakukan penetrasi melalui kulit secara langsung saat manusia melakukan kontak dengan air
yang terkontaminasi. Di dalam tubuh manusia, serkaria segera menjadi larva sistosomula yang
akan sampai pada sirkulasi portal dalam hepar dan disinilah segera menjadi cacing dewasa.
Cacing dewasa yang telah berpasangan dan kawin akan bermigrasi ke veula terminalis usus, lalu
betina meletakkan telurnya. Dalam hospes (manusia atau hewan), telur tidak dapat menetas,
namun bila mendapat lingkungan yang baik seperti suhu, pH, kadar garam dan cahaya maka telur
akan pecah dan dengan adanya semacam sekresi zat lisis, beberapa telur dapat sampai ke lumen
usus atau buli-buli dan dengan demikian telur-telur dapat masuk tinja atau urin.5,6

Gambar 4. Daur Hidup Sistosoma7

Epidemiologi
Schistosomiasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara. WHO
(World Health Organization) memperkirakan 800 juta penduduk dunia yang berisiko terkena
schistosomiasis dengan 200 juta sudah terinfeksi dan 120 juta yang bergejala. Schistosomiasis
berhubungan dengan faktor kemiskinan, sanitasi yang buruk dan tempat tinggal yang kumuh.
Prevalensi berhubungan dengan umur, dimana mulai cukup besar pada umur 3-4 tahun dan
meningkat sampai 100% pada umur 15-20 tahun, lalu kemudian turun kembali setelah umur 40
tahun.
Beratnya infeksi ditentukan menurut jumlah telur dalam urin atau tinja, serta dengan
banyaknya cacing dewasa. Penurunan prevalensi pada berbagai kelompok ini mungkin akibat
dari timbulnya resistensi atau karena adanya perubahan-perubahan dalam kontaminasi dengan
air, karena pada orang yang lebih tua sudah kurang terpajan dengan air yang tercemar dengan
telur-telur schistosoma. Infeksi schistosoma pada populasi manusia memiliki pola yang aneh.
Sebagian besar orang yang terinfeksi memiliki beban cacing yang rendah, dan hanya sebagian
kecil yang menderita infeksi dengan intensitas tinggi. Pola ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan infektivitas cacing atau spektrum kerentanan genetis pada populasi manusia.
Terdapat lima spesies schistosoma yang distribusi dan prevalensinya berbeda menurut
lokasinya di dunia serta melibatkan gejala yang berbeda pula, yaitu 1) Schistosoma mansoni
yang paling luas penyebarannya di dunia, distribusinya dapat ditemukan di Afrika, Arab, Mesir,
Amerika Selatan dan Tengah. Schistosoma ini hanya dapat menginfeksi manusia dan rodensia, 2)
Schistosoma haematobium ditemukan di Afrika dan Laut Tengah bagian Timur, 3) Schistosoma
japonicum distribusinya dapat ditemukan di Cina, Filipina, dan Asia Tenggara (Kamboja, Laos,
Thailand, dan Indonesia) yang dapat menginfeksi manusia, babi, dan anjing. Schistosoma
japonicum merupakan satu-satunya schistosoma yang ditemukan di Indonesia, yaitu di danau
Lindu dan lembah Napu Sulawesi Tengah. Penyakit ini berhubungan erat dengan pertanian yang
mendapatkan air dari irigasi. Fokus keong air Oncomelania hupensis lindoensis sebagai hospes
perantara dan hospes reservoir spesies tikus sawah (Rattus) yang biasanya ditemukan di daerah
pertanian tersebut. Dengan meluasnya daerah pertanian dan irigasi maka dapat terjadi
penyebaran hospes perantara dan penyakitnya. Infeksi biasanya berlangsung pada waktu orang
tersebut bekerja di sawah. 4) Schistosoma mekongi yang hanya terdapat di sungai Mekong
Thailand, Kamboja, dan Laos, dan 5) Schistosoma intercalatum yang ditemukan di Afrika
Tengah.5,8

Patofisiologi
Patofisiologi infeksi cacing schistosoma berhubungan dengan siklus hidup dari parasit
tersebut, yaitu sekaria, sistosomula, cacing dewasa dan telur.
 Serkaria
Penetrasi serkaria pada kulit dapat menyebabkan dermatitis alergika di tempat masuknya.
Pada stadium ini kelainan kulit berupa eritema dan papula dengan rasa gatal dan panas 2-
3 hari pasca-infeksi dan disebut “swinner’s itch” dan paling sering disebabkan oleh S.
mansoni dan S. japonicum. Bila jumlah serkaria yang menembus kulit berjumlah cukup
banyak, maka dapat terjadi dermatitis (cercarial dermatitis) yang akan sembuh dalam
lima hari. Gambaran klinis toksemia berat disertai demam tinggi dapat terjadi, terutama
pada infeksi yang berulang. Keluhan seperti lemah, malaise, anoreksia, mual, muntah,
sefalgia, mialgia dan arthralgia dapat pula terjadi. Terkadang juga ditemukan diare akibat
adanya keadaan hipersensitifitas terhadap cacing, serta sakit perut dan tenesmus. Gejala
toksemia dapat berlangsung sampai tiga bulan dan dapat pula ditemukan
hepatosplenomegali yang disertai nyeri tekan.
 Sistosomula
Sistosomula merupakan serkaria tidak berekor yang diangkut melalui darah atau limfatik
ke paru-paru dan jantung. Infeksi berat dapat menyebabkan gejala seperti demam dan
batuk serta dapat ditemukan eosinofilia.
 Cacing Dewasa
Schistosoma dewasa tidak memperbanyak diri dalam tubuh manusia. Di dalam darah
vena, cacing jantan dan betina kawin dan kemudian cacing betina akan bertelur 4-6
minggu setelah penetrasi serkaria. Cacing dewasa jarang yang bersifat patogen. Cacing
betina dewasa dapat hidup sekitar 3-8 tahun bahkan lebih dari 30 tahun dan bertelur
sepanjang hidupnya, namun tidak akan merusak organ karena hanya telur-telurnya saja
yang dapat merusak organ.
 Telur
Telur-telur inilah yang dapat menyebabkan schistosomiasis dan demam Katayama.
Hingga saat ini, patofisiologi yang tepat mengenai demam Katayama belum diketahui.
Demam Katayama dilaporkan paling sering pada S. japonicum, tetapi juga telah
dilaporkan bahwa terjadi pada S. mansoni dan jarang dirasakan pada schistosomiasis
haematobium. Terkumpulnya telur dalam hati dapat mengakibatkan fibrosis periportal
dan selanjutnya hipertensi portal, namun fungsi hati tetap normal bahkan sampai tahap
lanjut dari penyakit. Kolateralalisasi sistem portal karena hipertensi portal dapat
mengakibatkan embolisasi telur-telur ke dalam paru, selanjutnya dapat terjadi hipertensi
pulmonal dan korpulmonal. S. japonicum sering dianggap menimbulkan penyakit yang
lebih berat karena lebih banyak mengeluarkan telur. Cacing dewasa S. haematobium akan
matang dalam pleksus venosa buli-buli, ureter, rektum, prostat dan usus. Adanya jaringan
granulomatosa dan fibrosis pada dinding buli-buli memudahkan terjadinya ulkus dan
polip, dan sisa-sisa dari telur dapat mengalami klasifikasi. Struktur orifisium uretralis
atau ureter terminalis dapat mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis dan infeksi asenden
saluran kemih. Lesi organ-organ lain dalam pelvis jarang mengakibatkan fibrosis berat
dan infeksi. Telur-telur diangkut ke hati atau paru, tetapi perubahan patologis jarang
terjadi pada S. japonicum dan S. mansoni.5,10,11

Tatalaksana
 Praziquantel
Pengobatan untuk penyakit schistosomiasis pilihan utama obatnya adalah
Praziquantel. Prazikuantel adalah suatu turunan isokuinolon-pirazin sintetik. Obat ini
cepat diserap, dengan ketersediaan-hayati sekitar 80% setelah pemberian oral.
Konsentrasi serum puncak tercapai 1-3 jam setelah dosis terapeutik. Kosentrasi di cairan
serebrospinal mencapai 14-20% dari konsentrasi obat dalam plasma. Sekitar 80% obat
terikat ke protein plasma. Waktu-paruh adalah 0,8-1,5 jam. Eksresi utama melalui ginjal
(60-80%) dan empedu (15-35%). Konsentrasi prazikuental dalam plasma meningkat jika
obat diminum bersama dalam makanan tinggi karbohidrat atau simetidin; ketersediaan-
hayati sangat berkurang jika obat diberkan bersama dengan obat antiepilepsis (fenitoin,
karbamazepin) atau kortikosteroid.4
Dosisnya adalah 20mg/kg per dosis untuk dua dosis (Schistosoma mansoni dan
Schistosoma haematobium) atau tiga dosis (Schistosoma japonicum) dengan interval 4-6
jam. Dalam evaluasi setelah 3-6 bulan, tercapai angka kesempatan yang tinggi (75-95%);
terjadi penurunan jumlah telur pada pasien yang belum sembuh. Obat ini efektif pada
pasien dewasa dan anak serta umumnya ditoleransi baik oleh pasien dalam stadium lanjut
penyakit hepatosplenik. Untuk schistosomiasis akut dianjurkan dosis standar dan sering
digunakan bersama kortikosteroid untuk mengurangi peradangan akibat respons imun
akut dan cacing yang mati. Resistensi Schistosoma mansoni terjadi, tetapi jarang.
Efek samping yang paling umum ditimbulkan setelah meminum prazikuantel adalah
nyeri kepala, pusing bergoyang, mengantuk dan lesu; yang lain mencakup mual, muntah,
nyeri abdomen, tinja cair, pruritus, urtikaria, artralgia, mialgia, dan demam ringan. Gejala
ini mulai dari ringan sampai sedang, berlangsung beberapa jam sampai satu hari. Menurut
WHO obat ini bisa diberikan pada ibu hamil.
 Niridazol
Obat niridazol infektif secara oral dapat membunuh cacing dewasa dan telurnya.
Lebih infektif untuk infeksi Schistosomiasis haematobium dan Schistosomiasis mansoni
dari pada Schistosomiasis japonicum. Percobaan binatang menunjukan bahwa obat ini
menghambat berteluarnya cacing dewasa Schistosoma mansoni membunuh cacing
dewasa jantan dan betina pada dosis yang tepat. Obat diserap cacing betina Schistosoma
mansoni menyebabkan digenerasi ovarium dan merusak kelenjar vitelina. Cacing jantan
kurang sensitif terhadap obat niridazol namun spermatogenesis di hambat. Dosis yang
dipakai 25 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari berturut-turut. Efek samping yang di
timbulkan berupa gangguan gastrointestinal (mual, muntah, tidak nafsu makan dan diare),
ganguan psikis yang dapat terjadi secara akut, berupa psikosis, halusinasi, pusung, sakit
kepala, anxiety dan dapat menimbulkan serangan epilepsi.
 Oxamniquine.
Obat ini sangat efektif hanya untuk S. mansoni. Dosis sekali 12-15mg/kg/hari. Ada
juga yang memberikan 40-60mg/kg/hari dosis terbagi 2 atau 3 selama 2-3 hari, diberikan
bersama makanan. Efek samping yang terjadi dalam beberapa jam berupa pusing, vertigo,
mual, muntah, diare, sakit perut, dan sakit kepala. Walaupun jarang terjadi dapat terjadi
perubahan tingkah laku, halusinasi, kejang-kejang setelah 2 jam obat ditelan. Obat ini
mempunyai efek mutagenik dan teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu
hamil.
 Artemisinin.
Obat ini selektif terhadap sistosomula dan mungkin bermanfaat untuk profilaksis.
Pada terapi terhadap S. haematobium, efektifitasnya jauh di bawah prazikuantel.5

Prognosis
Melalui terapi pada infeksi dini hasilnya sangat baik. Kelainan patologi dari hepar, ginjal
dan usus membaik dengan pengobatan. Angka kesembuhan untuk pengobatan per oral berkisar
70-100% tergantung pada pengobatan obat. Pengidap (karier) sistosomiasis hepatosplenik relatif
baik karena fungsi hepar tetap baik sampai akhir dari penyakit. Karier sistosomiasis medulla
spinalis harus diwaspadai. Pemberian praziquantel harus diberikan secepatnya. Pada
schistosomiasis akut, prognosisnya adalah dubia ad bonan, sedangkan pada schistosomiasis
kronis, prognosis menjadi dubia ad malam.5,9

Pencegahan
Pencegahan dengan menghindari berenang atau menyebrangi air tawar di negeri-negeri
dimana terjadi schistosomiasis, hindari mandi dan mencuci dengan air yang mengandung
serkaria pada daerah endemik, menggunakan jamban yang memenuhi standar kesehatan, hindari
tempat habitat keong penular atau jika beraktifitas di sekitar habitat keong penular sebaliknya
memakai sepatu boots dan menggunakan air yang berasal dari sumber air yang terjamin kualitas
kebersihannya sebagai kebutuhan sehari-hari. Kemudian untuk air minum gunakan air dari
sumber air panas, sudah dididihkan minimal satu menit atau air saringan yang aman diminum.
Selain itu dengan pemutusan rantai penularan dengan penemuan dini penderita dengan
pemeriksa tinja penduduk dan pengobatan dan pemberantasan fokus keong penular baik melalui
kegiatan lintas sektor maupun swadaya yang berkelanjutan.5

Kesimpulan
Pasien perempuan berusia 25 tahun di diagnosis menderita schistosomiasis oleh cacing
Schistosoma Japonicum. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya telur berbentuk bulat
berwarna kecoklatan dan memiliki duri di bagian lateral pada pemeriksaan tinja, serta keadaan
diare disertai darah, keadaan eosinoflia, hepatomegali dan splenomegali. Schistosomiasis
japonicum terjadi karena pasien terinfeksi oleh serkaria schistosoma yang mengkontaminasi air
saat pasien menjadi relawan bencana alam di Palu, Sulawesi Tengah. Pengobatan dapat
dilakukan dengan pemberian praziquantel dengan dosis 3 x 20mg/kg berat badan/hari.

Daftar Pustaka
1. Rusjdi SR. Schistosomiasis, Hubungan Respon Imun dan Perubahan Patologi. Jurnal
Kedokteran Andalas. 2011;35(2):81-8.
2. Soeharsono. Zoonosis 2, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta : Penerbit
Kanisius; 2005.
3. Ideham B, Pusarawati S. Penuntun Praktis Parasitologi Kedokteran. Ed 2. Surabaya :
Airlangga University Press; 2009.
4. Nurwidayati A, Triwibowo AG, Phetisya PFS, Risti. Kerentanan Schistosoma japonicum
terhadap Praziquantel di Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah Indonesia. Jurnal Balaba.
2016;12(1):1-6.
5. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Ed 6. Jakarta : InternaPublishing; 2014.
6. Nurwidayati A. Strategi Pengendalian Hospes Perantara Schistosomiasis. Jurnal Spirakel.
2015;7(2):38-45.
7. Daur Hidup Sistosoma. Available from: https://medlab.id/schistosoma-japonicum/
8. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Ed 4.
Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 2008.
9. Kurniawan H. Buku Ajar Parasitologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Yogyakarta :
Penerbit Deepublish; 2019.
10. Longo DL, et al. Harrison’s: Principles of Internal Medicine. USA : McGraw-Hill
Companies; 2007.
11. Prianto J, Tjahayu, Darwanto. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; 2010.

Anda mungkin juga menyukai