Abstrak
Schistosomiasis adalah penyaktit yang disebabkan oleh tremoda bernama cacing
Schistosoma. Penyakit schistosomiasis atau Bilharziasis dikenal dengan sebutan demam siput
karena reservoirnya adalah siput yang berada di air tawar. Dari air tersebut serkaria masuk ke
tubuh hospes melalui penetrasi langsung. Ada lima jenis sistosoma yaitu s. Mansoni, s.
Japonicum, s. Mekong, dan s. Intercalatum yang menginfeksi usus dan hati dan s.
Hematobium yang menginfeksi urogenital. Sistosoma yang tersebar di daerah asia tenggara
(termasuk Indonesia) adalah jenis s. Japonicum. Schistosomiasis dibagi menjadi tiga stadium
yaitu masa tunas biologik, stadium akut, dan stadium kronik. Pemeriksaan untuk
mendiagnosa pasti Schistosomiasis adalah dengan memeriksa jumlah telur sistosoma pada
tinja dan urin hospes (uji O&P). Penyembuhan penyakit ini yaitu dengan menggunakan obat
prazikuantel untuk membunuh cacing.
Abstract
Schistosomiasis is a disease caused by tremods called Schistosoma worms. Schistosomiasis
or Bilharziasis disease is known as snail fever because its reservoir is a snail in fresh water.
From the water, cercariae enter the body of the host through direct penetration. There are
five types of cystosoma, namely s. Mansoni, s. Japonicum, s. Mekong, and s. Intercalatum
which infects the intestine and liver and s. Hematobium which infects urogenital. Cystosoma
spread in southeast Asia (including Indonesia) is a type s. Japonicum. Schistosomiasis is
divided into three stages, namely the period of biological shoots, acute stage, and chronic
stage. An examination to diagnose definite Schistosomiasis is to check the number of
cystosoma eggs in the stool and urine of the host (O & P test). Healing this disease is by
using prazikuantel drugs to kill worms.
Anamnesis
Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke klinik dengan keluhan demam sejak 1
bulan yang lalu. Dari anamnesis didapatkan keluhan pasien malaise, lelah, batuk yang
persisten, dan diare disertai dengan darah. Diketahui pasien merupakan wisatawan yang baru
membantu korban di Palu, sudah ke dokter dan minum antibiotik. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan hepar lien teraba membesar. Pemeriksaan penunjang yaitu hematology lengkap
menemukan hitung jenis eosinophil 8%, sisanya normal, dan pada tinja terdapat telur bentuk
bulat warna kuning kecokelatan pada kutub bagian lateral. Differential diagnosisnya adalah
schistosomiasis yang disebabkan oleh schistosoma hematomicum, schistosoma mansoni, dan
schistosomiasis kronik.
Pemeriksaan Fisik
Pada pasien ditemukan mata anemis, limfadonepati menyeluruh, dan hepatomegali.
Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.
Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus, ketika pasien melakukan pemeriksaan tinja di dapatkan telur berbentuk bulat
dengan tonjolan kecil pada bagian lateral kutub.Untuk pemeriksaan penunjang dari
schistosoma bisa dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu ditemukannya telur-telur dalam
tinja dan urin atau biopsy mukosa merupakan suatu diagnosis pasti. Pada schistosoma
hematobium lebih sering ditemukan dalam sedimen urin, tetapi kurang dalam tinja. Urin
dikumpulkan 24 jam atau antara jam 09.00 pagi hingga jam 14.00 siang. Pada infeksi S.
mansoni dan S. japonicum telur-telur dapat ditemukan dengan pemeriksaan tinja secara
langsung atau dengan cara konsentrasi atau kuantitatif Kato-Katz. Dikatakan berat jika
terdapat lebih 400 butir telur dalam 1 gr tinja. Selain uji telur dalam urin maupun tinja, dapat
pula digunakan uji serologi salah satunya adalah enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), radioimmunoassay (RIA), immunoblot, dan lain-lain. Kemudian, pemeriksaan
penunjang yang lain bisa dilakukan foto dada atau EKG pada infeksi S.mansoni dan S.
Japonicum. Gambaran USG pada hepar memberi gambaran patognomonis berupa fibrosis
periportal, sehingga tidak diperlukan biopsi.2
Etiologi
Infeksi oleh Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong air (Oncomelania
hupensis lindoensis).3
Epidemiologi
Penyebaran schistosoma ini dipengaruhi oleh keberagaman populasi cacing yang ada
didaerah yang terinfeksi tersebut karena bisa saja salah satunya bersifat invasif (lebih
mendominasi). Biasanya terjadi didaerah yang tingkat kemiskinannya tinggi dan kumuh
karena ditempat tersebut sanitasinya kurang diperhatikan. Data yang diterbitkan oleh World
Health Organization (WHO) hari ini menunjukkan bahwa hampir 90 juta orang dirawat
karena schistosomiasis pada tahun 2016, termasuk 70,9 juta anak usia sekolah dan 18,3 juta
orang dewasa. Hal ini terjadi karena orang dewasa lebih sedikit terpapar air yang tercemar.
Diagnosis
Cara diagnosis yang terpenting adalah menemukan telur dalam tinja (Schistosoma
japonicum dan Schistosoma mansoni) dan dalam urin (Schistosoma haematobium) dengan uji
O&P. Pada infeksi ringan, dapat dipakai biopsi rektum pada Schistosoma japonicum dan
Schistosoma mansoni. Sitoskopi juga bermanfaat pada infeksi Schistosoma haematobium.
Pemeriksaan serologi dapat membantu menegakkan diagnosis. Ada berbagai tes
imunodiagnostik seperti tes intradermal, reaksi serkaria Hullen (CHR), tes antibodi fluoresen
yang menggunakan serkaria (FAT) dan reaksi presipitin sirkumavol (COP).7
Bila banyak jumlah serkaria menembus kulit, maka akan terjadi dermatitis. Biasanya
kelainan kulit hilang dalam waktu dua atau tiga hari. Selanjutnya dapat terjadi reaksi alergi
yang dapat timbul oleh karena adanya hasi metabolik skistosomula atau cacing dewasa, atau
dari protein asing yang disebabkan adanya cacing yang mati. manisfestasi klinisnya dapat
berupa urtikaria atau edema angioneurotik dan dapat disertai demam. Kira-kira 22%
penderita menunjukkan utikaria dan 18% manunjukkan edema angioneurotik kira-kira 10 hari
setelah timbul demam.8
Gejalah toksemia, manifestasi akut atau toksik mulai timbul antara minggu ke-2
sampai minggu ke-8 setelah infeksi. Berat gejalah bergantung dari banyaknya serkaria yang
masuk. Pada infeksi berat jika terdapat banyak serkaria yang masuk, terutama infeksi yang
berulang, maka dapat menimbulkan gejalah toksemia yang berat disertai demam tinggi. Pada
stadium ini dapat timbul gejalah seperti: lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual dan
muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan hipersensitif terhadap
cacing. pada kasus berat gejalah tersebut dapat bertahan sampai 3 bulan. Kadang-kadang
terjadi sakit perut dan tenesmus. Hati dan limpa membesar serta nyeri pada perabaan.8
Kemudian stadium kedua yang merupakan stadium akut. Stadium ini dimuali sejak
cacing betina bertelur. telur yang diletakkan di dalam pembuluh darah dapat keluar dari
pembuluh darah, masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan akhirnya dapat mencapai lumen
dengan cara menembus mukosa, biasanya mukosa usus. Efek patologis maupun gejalah klinis
yang disebabkan telur bergantung dari jumlah telur yang dikeluarkan yang berhubungan
langsung dengan jumlah cacing betina. Dengan demikian keluhan/gejalah yang terjadi pada
stadium ini adalah demam, malaise, berat badan menurun. Sindrom disentri biasanya
ditemukan pada infeksi berat dan pada kasus yang ringan hanya ditemukan diare.
Hepatomegali timbul lebih dini dan disusul splenomegali. Ini dapat terjadi dalam waktu 6-8
bulan.8
Stadium ketiga yang merupakan stadium menahun. Pada stadium ini terjadi
penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosisi. Hepar yang semula
membesar karena peradangan kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis. Hal ini
disebut sirosis. Pada skistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis hipertensi portal karean
bendungan di dalam jaringan hati. Gejalah yang timbul adalah: splenomegali, edema yang
biasanya ditemukan pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites
dan ikterus. Pda stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan pecahnya
varises pada esofagus.8
Invasi cercaria dikaitkan dengan dermatitis yang timbul dari kulit dan respon
inflamasi subdermal, baik humora maupun diperantarai sel. Sebagai parasit mendekati
kematangan seksual di hati individu yang terinfeksi dan sebagai oviposisi dimulai, acuter
schistosomiasis atau demam Katayama (serum sickness seperti ilnesses) dapat terjadi.9
Telur yang dibawa oleh blood Portal embolisasi ke hati. Karena ukuran mereka,
mereka mengajukan di situs presinusoidal, di mana granuloma terbentuk. Granuloma ini
berkontribusi pada hepatomegali diamati pada orang yang terinfeksi. pembesaran hati
schistosomal juga terkait dengan kelas I tertentu dan kelas II antigen leukosit manusia (HLA)
haplotype dan spidol. Presinusoidal Portal bock usia menyebabkan beberapa perubahan
hemodinamik, termasuk hipertensi portal dan pengembangan terkait agunan portosystemic di
persimpangan esofagogastrik dan situs lainnya. varises esofagus yang paling mungkin untuk
istirahat dan menyebabkan episode repeted dari hematemesis. Karena perubahan aliran darah
hati terjadi perlahan-lahan, arterialisasi kompensasi dari aliran darah melalui hati didirikan.
Sementara mekanisme kompensasi ini dapat dikaitkan dengan efek samping metabolik
tertentu, retensi hepatosit perfusi memungkinkan maintanence fungsi hati yang normal
selama beberapa tahun.9
Penyebab utama patologi dalam Schistosoma adalah telur. Telur menembus pembuluh
darah dan masuk jaringan hospes dengan mengeluarkan enzim proteolitik, melalui lobang
mikroskopis pada dindingnya. Banyak telur yang terjebak dalam jaringan atau dibawa ke
sirkulasi ke organ lain dalam tubuh. Reaksi hospes terhadap telur bervariasi mulai dari
granuloma yang kecil sampai fibrosisi yang hebat. Adanya kerusakan umumnya berhubungan
dengan jumlah terlur yang masuk ke jaringan.3-6
Diagnosis Banding
Ada tiga jenis schistosoma yang dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis, yaitu:
(parasit) 1-4
Reaksi sampingan yang ringan dan sementara setelah meminum prazikuantel dan
dapat menetap selama satu hari. Yang paling umum adalah nyeri kepala, pusing bergoyang,
mengantuk dan lesu; yang lain mencakup mual, muntah, nyeri abdomen, tinja cair, pruritus,
urtikaria, artralgia, mialgia, dan demam ringan. Tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan anak
dibawah 4 tahun.10,11
Prazikuantel. daya sembuh obat ini untuk S.hematobium, S. mansoni dan S. japonica,
63-85% dan dapat menurunkan telur-telur lebih 90% setelah 6 bulan terapi. Obat ini
tidak sensitive pada sistosoma muda (2-5 minggu). Dosis 2x20 mg/mg/kgBB/hari
untuk S.hematobium dan S.mansoni, dan 3x perhari untuk S.japonicum. Efek samping
yang ditimbulkan adalah malese, sakit kepala, anoreksia, pusing, mual, muntah,
urtikaria, diaren, dan lain-lain. Gejala ini mulai dari ringan sampai sedang,
berlangsung beberapa jam sampai satu hari. Menurut WHO obat ini bisa diberikan
pada ibu hamil.
Oxamniquine. Obat ini sangat efektif hanya untuk S.mansoni. dosis seklai 12-
15mg/kg/hari. Ada juga yang memberikan 40-60mg/kg/hari dosis terbagi 2 atau 3
selama 2-3 hari, diberikan bersama makanan. Efek samping yang terjadi dalam
beberapa jam berupa pusing, vertigo, mual, muntah, diare, sakit perut, dan sakit
kepala. Walaupun jarang terjadi dapat terjadi perubahan tingkah laku, halusinasi,
kejang-kejang setelah 2 jam obat ditelan. Obat ini mempunyai efek mutagenic dan
teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
Artemisinin. Obat ini selektif terhadap sistosomula dan mungkin bermanfaat untuk
profilaksis. Pada terapi terhadap S.haematobium, efektifitasnya jauh di bawah
prazikuantel.
Pencegahan degan menghindari mandi dan mencuci dengan air yang mengandung
serkaria, menggunakan jamban yang memenuhi standar kesehatan, hindari tempat habitat
keong penular atau jika beraktifitas di sekitar habitat keong penular sebaliknya memakai
sepatu boot dan menggunakan air yang berasal dari sumber air yang terjamin kualitas
kebersihannya sebagai kebutuhan sehari-hari. Selain itu dengan pemutusan rantai penularan
dengan penemuan dini penderita dengan pemeriksa tinja penduduk dan pengobatan dan
pemberantasan fokus keong penular baik melalui kegiatan lintas sektor maupun swadaya
yang berkelanjutan.12
Komplikasi
Komplikasi gastrointestinal termasuk perdarahan gastrointestinal, obstruksi
gastrointestinal, malabsorpsi dan malnutrisi. Lesi cenderung berdarah dan ada kehilangan
darah dan protein, menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia. Lesi ini
sebagian besar dalam usus besar dan rektum. Fibrosis hati terjadi, memproduksi hipertensi
portal. Infeksi S. mansoni selalu menghasilkan fibrosis hati.8 Hipertensi portal dapat
menghasilkan varises esofagus yang mungkin berdarah, dan ascites. shunting Portocaval
predisposisi infestasi paru dan masalah hipertensi paru. Koinfeksi dengan hepatitis, HIV dan
malaria dapat meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler dan meningkatkan risiko
kematian.9
Prognosis
Meskipun schistosomiasis jarang berakibat fatal, menyebabkan morbiditas jangka
panjang seperti anemia dan komplikasi lain . Angka kematian keseluruhan schistosomiasis
adalah sekitar 14.000 kematian per tahun di seluruh dunia. Stadium akhir penyakit
hepatosplenic dengan perdarahan varises, hipertensi pulmonal dengan cor pulmonale, dan
penyakit SSP yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. awal penyakit biasanya
membaik dengan pengobatan. Pasien dengan infestasi cacing yang lebih besar cenderung
untuk meningkatkan dan lebih mungkin untuk memerlukan perawatan berulang. pengobatan
obat cacing mungkin tidak membalikkan fibrosis. schistosomiasis hepatosplenic memiliki
prognosis relatif baik karena fungsi hati biasanya dipertahankan sampai akhir penyakit.
Pengobatan diindikasikan untuk pasien dengan komplikasi stadium akhir dari hipertensi
portal dan hipertensi pulmonal berat tetapi pasien ini jauh lebih mungkin memperoleh
manfaat dari pengobatan; kor pulmonal biasanya tidak membaik secara signifikan dengan
pengobatan. Infeksi ulang sangat umum pada orang yang baik tinggal di dalam atau kembali
ke daerah endemis. 12
Kesimpulan
Pasien tersebut di diagnosis menderita schistosomiasis oleh Schistosoma japonicum
(karena ditemukan telur dengan tonjolan lateral pada pemeriksaan tinja). Kemungkinan
terinfeksi oleh serkaria schistosoma yang mengkontaminasi air. Gejala yang ditimbulkan
schistosomiasis mulai dari ringan hingga berat (komplikasi). Pengobatan berfungsi untuk
mematikan cacing dewasa maupun telur schistosoma yang menginfeksi manusia.
Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Media centre: schistosomiasis. Dipublikasi Februari
2016. Diakses dari
https://www.who.int/neglected_diseases/news/WHO_schistosomiasis_reports_substan
tial_treatment_progress_sac/en/, 23 November 2018.
2. Staf Pengajar Departemen parasitologi FKUI. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia; 2010. h.61-73.
3. Zaman V. Atlas parasitologi kedokteran. Edisik ke-2. Jakarta: Hipokrates; 1984. h.
148-55.
4. Prianto J, Tjahayu, Darwanto. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; 2010. h. 64-9.
5. Brooks GF, et al. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, & aldelberg. Edisik ke-
25. Jakarta: EGC; 2012. h. 728-30.
6. Elliott T, Warthington T, Osman H, Gill M. Lecture notes: medical microbiology &
infection. Edisi ke-4. USA: Blackwell Publishing Ltd; 2007. h. 113-5.
7. Longo DL, et al. Harrison's: principles of internal medicine. USA: McGraw-Hill
Companies, Inc; 2007. h. 1752-7.
8. Danso-Appiah A, Olliaro PL, Donegan S, Sinclair D, Utzinger J. Drugs for treating
schistosoma mansoni infection. Cochrane Database Syst Rev. 2013 Feb 28;
2:CD000528. doi: 10.1002/14651858.CD000528.pub2. Diakses pada 23 November
2018.
9. Shaker Y, Samy N, Ashour E. Hepatobiliary schistosomiasis. J Clin Transl Hepatol.
2014 Sep; 2(3):212-6. doi: 10.14218/JCTH.2014.00018. Epub 2014 Sep 15. Diakses
pada 23 November 2018
10. Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Farmakoterapi aplikasi: buku ajar farmakologi. Edisi ke-1. Jakarta: FK Ukrida; 2016.
h. 43.
11. Katzung B, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar & klinik. Edisi ke-12. Jakarta:
EGC; 2013. h. 1061-70.
12. Departemen Kesehatan Indonesia. Program pengendalian schistosomiasis. Diakses
dari
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/program_pengendalian_schistosomiasis.pd
f, 23 November 2018.