Anda di halaman 1dari 12

Penyakit Schistosomiasis pada Manusia

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510
Email:

Abstrak
Schistosomiasis adalah penyaktit yang disebabkan oleh tremoda bernama cacing
Schistosoma. Penyakit schistosomiasis atau Bilharziasis dikenal dengan sebutan demam siput
karena reservoirnya adalah siput yang berada di air tawar. Dari air tersebut serkaria masuk ke
tubuh hospes melalui penetrasi langsung. Ada lima jenis sistosoma yaitu s. Mansoni, s.
Japonicum, s. Mekong, dan s. Intercalatum yang menginfeksi usus dan hati dan s.
Hematobium yang menginfeksi urogenital. Sistosoma yang tersebar di daerah asia tenggara
(termasuk Indonesia) adalah jenis s. Japonicum. Schistosomiasis dibagi menjadi tiga stadium
yaitu masa tunas biologik, stadium akut, dan stadium kronik. Pemeriksaan untuk
mendiagnosa pasti Schistosomiasis adalah dengan memeriksa jumlah telur sistosoma pada
tinja dan urin hospes (uji O&P). Penyembuhan penyakit ini yaitu dengan menggunakan obat
prazikuantel untuk membunuh cacing.

Kata kunci: schistosomiasis, schistosoma, uji O&P, prazikuantel

Abstract
Schistosomiasis is a disease caused by tremods called Schistosoma worms. Schistosomiasis
or Bilharziasis disease is known as snail fever because its reservoir is a snail in fresh water.
From the water, cercariae enter the body of the host through direct penetration. There are
five types of cystosoma, namely s. Mansoni, s. Japonicum, s. Mekong, and s. Intercalatum
which infects the intestine and liver and s. Hematobium which infects urogenital. Cystosoma
spread in southeast Asia (including Indonesia) is a type s. Japonicum. Schistosomiasis is
divided into three stages, namely the period of biological shoots, acute stage, and chronic
stage. An examination to diagnose definite Schistosomiasis is to check the number of
cystosoma eggs in the stool and urine of the host (O & P test). Healing this disease is by
using prazikuantel drugs to kill worms.

Keywords: schistosomiasis, schistosoma, O & P test, prazikuantel


Pendahuluan
Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit bernama
schistosoma. Ada lima jenis schistosoma yaitu Schistosoma mansoni, Schistosoma
japonicum, Schistosoma mekongi, dan Schistosoma intercalatum yang menyebabkan
schistosomiasis usus dan hati dan Schistosomiasis haematobium yang menyebabkan
schistosomiasis urogenital. Di daerah asia tenggara tersebar schistosoma Japonicum,
ditemukan di Indonesia pertama kali di danau limbu, lembah napu, Sulawesi Tengah. Cacing
ini biasanya tersebar didaerah kumuh, endemik, yang memiliki sanitasi yang buruk. Sehingga
tinja yang terinfeksi telur cacing tersebar dan dapat menular kesiapapun yang kontak
langsung dengan air tersebut. Makalah ini dibuat untuk mengenal penyakit schistosomiasis,
mulai dari asal penyakitnya, cara menginfeksi, gejala, pencegahan, dan pengobatannya.

Anamnesis
Seorang perempuan berusia 25 tahun datang ke klinik dengan keluhan demam sejak 1
bulan yang lalu. Dari anamnesis didapatkan keluhan pasien malaise, lelah, batuk yang
persisten, dan diare disertai dengan darah. Diketahui pasien merupakan wisatawan yang baru
membantu korban di Palu, sudah ke dokter dan minum antibiotik. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan hepar lien teraba membesar. Pemeriksaan penunjang yaitu hematology lengkap
menemukan hitung jenis eosinophil 8%, sisanya normal, dan pada tinja terdapat telur bentuk
bulat warna kuning kecokelatan pada kutub bagian lateral. Differential diagnosisnya adalah
schistosomiasis yang disebabkan oleh schistosoma hematomicum, schistosoma mansoni, dan
schistosomiasis kronik.

Pemeriksaan Fisik
Pada pasien ditemukan mata anemis, limfadonepati menyeluruh, dan hepatomegali.
Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.

Pemeriksaan Penunjang
Pada kasus, ketika pasien melakukan pemeriksaan tinja di dapatkan telur berbentuk bulat
dengan tonjolan kecil pada bagian lateral kutub.Untuk pemeriksaan penunjang dari
schistosoma bisa dilakukan pemeriksaan laboratorium, yaitu ditemukannya telur-telur dalam
tinja dan urin atau biopsy mukosa merupakan suatu diagnosis pasti. Pada schistosoma
hematobium lebih sering ditemukan dalam sedimen urin, tetapi kurang dalam tinja. Urin
dikumpulkan 24 jam atau antara jam 09.00 pagi hingga jam 14.00 siang. Pada infeksi S.
mansoni dan S. japonicum telur-telur dapat ditemukan dengan pemeriksaan tinja secara
langsung atau dengan cara konsentrasi atau kuantitatif Kato-Katz. Dikatakan berat jika
terdapat lebih 400 butir telur dalam 1 gr tinja. Selain uji telur dalam urin maupun tinja, dapat
pula digunakan uji serologi salah satunya adalah enzyme linked immune sorbent assay
(ELISA), radioimmunoassay (RIA), immunoblot, dan lain-lain. Kemudian, pemeriksaan
penunjang yang lain bisa dilakukan foto dada atau EKG pada infeksi S.mansoni dan S.
Japonicum. Gambaran USG pada hepar memberi gambaran patognomonis berupa fibrosis
periportal, sehingga tidak diperlukan biopsi.2

Working Diagnosis (WD)


Schistosoma merupakan jenis trematoda darah. Kata schistosoma berasal dari kata
“schist” yang berarti suatu alur atau kanal yang panjang. Pada manusia dapat menyebabkan
penyakit schistosomiasis atau bilharziasis. Ada lima jenis schistosoma tapi yang ditemukan
pada manusia ada 3 jenis, yaitu: S.japonicum, S.mansoni, dan S.hematobium. Setiap
schistosoma menimbulkan gejala-gejala pada tubuh manusia, seperti urtikaria (gatal-gatal),
demam, diare, sindrom disentri, gejala pada paru, dan sebagainya. Siklus hidup dari setiap
schistosoma sama hanya berbeda di genus hospes perantaranya yang menyebabkan penyakit
schistosomiasis pada manusia. Penularan dari parasite ini melalui penetrasi kulit, mukosa
mulut, dan saluran cerna.3,5

Etiologi
Infeksi oleh Schistosoma japonicum dengan hospes perantara keong air (Oncomelania
hupensis lindoensis).3

Epidemiologi
Penyebaran schistosoma ini dipengaruhi oleh keberagaman populasi cacing yang ada
didaerah yang terinfeksi tersebut karena bisa saja salah satunya bersifat invasif (lebih
mendominasi). Biasanya terjadi didaerah yang tingkat kemiskinannya tinggi dan kumuh
karena ditempat tersebut sanitasinya kurang diperhatikan. Data yang diterbitkan oleh World
Health Organization (WHO) hari ini menunjukkan bahwa hampir 90 juta orang dirawat
karena schistosomiasis pada tahun 2016, termasuk 70,9 juta anak usia sekolah dan 18,3 juta
orang dewasa. Hal ini terjadi karena orang dewasa lebih sedikit terpapar air yang tercemar.

Siklus hidup parasit


Telur yang berisi mirasidium yang sudah terbentuk lengkap akan menetas jika masuk
ke dalam air. Mirasidium berenang aktif untuk menembus keong yang sesuai (Oncomelania,
Biomphalaria, Tropicorbis, Balinus) . sesudah memasuki keong berubah menjadi sporokista,
kemudian membentuk sporokista II dan akhirnya membentuk serkaria. Semua serkaria
Schistosoma mempunyai 2 ekor yang bercabang 2 dan tidak mempunyai faring. Ekor serkaria
lepas pada waktu menembus hospes dan parasit berubah menjadi schistosomula dalam
jaringan hospes. Pertama-tama schistosomula memasuki aliran darah dan menemukan jalan
ke sirkulasi portal. Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum menjadi dewasa dalam
vena mesenterium dari sirkulasi portal. Schistosoma mansoni dapat ditemukan pada vena
mesenterica inferior, sedangkan Schistosoma japonicum dapat ditemukan pada vena
mesenterica superior. Schistosoma haematobium biasanya tinggal dalam sirkulasi sistemik
dan menjadi dewasa dalam pembuluh darah pleksus vesikalis. Telur Schistosoma mansoni
dan Schistosoma japonicum terutama dikeluarkan bersama tinja dan telur Schistosoma
haematobium terutama dikeluarkan bersama urin (kencing).3-6

Diagnosis
Cara diagnosis yang terpenting adalah menemukan telur dalam tinja (Schistosoma
japonicum dan Schistosoma mansoni) dan dalam urin (Schistosoma haematobium) dengan uji
O&P. Pada infeksi ringan, dapat dipakai biopsi rektum pada Schistosoma japonicum dan
Schistosoma mansoni. Sitoskopi juga bermanfaat pada infeksi Schistosoma haematobium.
Pemeriksaan serologi dapat membantu menegakkan diagnosis. Ada berbagai tes
imunodiagnostik seperti tes intradermal, reaksi serkaria Hullen (CHR), tes antibodi fluoresen
yang menggunakan serkaria (FAT) dan reaksi presipitin sirkumavol (COP).7

Patogenesis dan Gejala Klinis


Schistosomiasis dapat dibagi menjadi tiga stadium yaitu pertama adalah masa tunas
biologik yang menyebabkan gejalah kulit dan alergi, gejalah paru dan gejalah toksemia.
Gejalah kulit dan alergi, waktu antara sekaria menembus kulit sampai menjadi dewasa
disebut masa biologik. Perubahan kulit yang timbul berupa eritema dan papula yang disertai
perasaan gatal dan panas.2,3

Bila banyak jumlah serkaria menembus kulit, maka akan terjadi dermatitis. Biasanya
kelainan kulit hilang dalam waktu dua atau tiga hari. Selanjutnya dapat terjadi reaksi alergi
yang dapat timbul oleh karena adanya hasi metabolik skistosomula atau cacing dewasa, atau
dari protein asing yang disebabkan adanya cacing yang mati. manisfestasi klinisnya dapat
berupa urtikaria atau edema angioneurotik dan dapat disertai demam. Kira-kira 22%
penderita menunjukkan utikaria dan 18% manunjukkan edema angioneurotik kira-kira 10 hari
setelah timbul demam.8

Gejalah paru, batuk sering ditemukan. Kadang-kadang disertai dengan pengeluaran


dahak yang produktif dan pula beberapa kasus bercampur dengan sedikit darah. Pada kasus
yang rentan gejalah dapat menjadi berat sekali sehingga timbul serangan asma.8

Gejalah toksemia, manifestasi akut atau toksik mulai timbul antara minggu ke-2
sampai minggu ke-8 setelah infeksi. Berat gejalah bergantung dari banyaknya serkaria yang
masuk. Pada infeksi berat jika terdapat banyak serkaria yang masuk, terutama infeksi yang
berulang, maka dapat menimbulkan gejalah toksemia yang berat disertai demam tinggi. Pada
stadium ini dapat timbul gejalah seperti: lemah, malaise, tidak nafsu makan, mual dan
muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh. Diare disebabkan oleh keadaan hipersensitif terhadap
cacing. pada kasus berat gejalah tersebut dapat bertahan sampai 3 bulan. Kadang-kadang
terjadi sakit perut dan tenesmus. Hati dan limpa membesar serta nyeri pada perabaan.8

Kemudian stadium kedua yang merupakan stadium akut. Stadium ini dimuali sejak
cacing betina bertelur. telur yang diletakkan di dalam pembuluh darah dapat keluar dari
pembuluh darah, masuk ke dalam jaringan sekitarnya dan akhirnya dapat mencapai lumen
dengan cara menembus mukosa, biasanya mukosa usus. Efek patologis maupun gejalah klinis
yang disebabkan telur bergantung dari jumlah telur yang dikeluarkan yang berhubungan
langsung dengan jumlah cacing betina. Dengan demikian keluhan/gejalah yang terjadi pada
stadium ini adalah demam, malaise, berat badan menurun. Sindrom disentri biasanya
ditemukan pada infeksi berat dan pada kasus yang ringan hanya ditemukan diare.
Hepatomegali timbul lebih dini dan disusul splenomegali. Ini dapat terjadi dalam waktu 6-8
bulan.8

Stadium ketiga yang merupakan stadium menahun. Pada stadium ini terjadi
penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosisi. Hepar yang semula
membesar karena peradangan kemudian mengalami pengecilan karena terjadi fibrosis. Hal ini
disebut sirosis. Pada skistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis hipertensi portal karean
bendungan di dalam jaringan hati. Gejalah yang timbul adalah: splenomegali, edema yang
biasanya ditemukan pada tungkai bawah, bisa pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites
dan ikterus. Pda stadium lanjut sekali dapat terjadi hematemesis yang disebabkan pecahnya
varises pada esofagus.8
Invasi cercaria dikaitkan dengan dermatitis yang timbul dari kulit dan respon
inflamasi subdermal, baik humora maupun diperantarai sel. Sebagai parasit mendekati
kematangan seksual di hati individu yang terinfeksi dan sebagai oviposisi dimulai, acuter
schistosomiasis atau demam Katayama (serum sickness seperti ilnesses) dapat terjadi.9

Dalam schistosomiasis kronis, kebanyakan manifestasi penyakit yang disebabkan


telur disimpan dalam jaringan host. Respon granulomatosa sekitar ini diperantarai sel dan
diatur baik secara positif dan negatif oleh kaskade sitokin, seluler, dan respon humoral oval.
pembentukan granuloma dimulai dengan perekrutan sejumlah sel inflamasi dalam
menanggapi antigen disekresi oleh organisme hidup dalam ovum. Sel direkrut awalnya
termasuk fagosit, sel T antigen-spesifik, dan eosinofil. Fibroblast, sel gian dan limfosit B
mendominasi kemudian. Lesi ini mencapai ukuran berkali-kali bahwa telur parasit, sehingga
merangsang organomegali dan obstraction. Immunomodulation atau downregulation
tanggapan hospes untuk telur Schistosoma memainkan peran penting dalam membatasi
sejauh mana granulomatosa lesi-dan akibatnya penyakit-inchronically terinfeksi hewan
percobaan atau manusia. Mekanisme yang mendasari melibatkan kaskade lain sitokin
peraturan dan antibodi idiotypic. Subsiquent respon granulomatosa, fibrosis diatur dalam,
sehingga lebih sequenlae penyakit permanen. Karena schistosomiasis juga infeksi kronis,
akumulasi kompleks antigen-antibodi hasil di depsits di glomeruli ginjal dan dapat
menyebabkan penyakit ginjal yang signifikan.7,8

Telur yang dibawa oleh blood Portal embolisasi ke hati. Karena ukuran mereka,
mereka mengajukan di situs presinusoidal, di mana granuloma terbentuk. Granuloma ini
berkontribusi pada hepatomegali diamati pada orang yang terinfeksi. pembesaran hati
schistosomal juga terkait dengan kelas I tertentu dan kelas II antigen leukosit manusia (HLA)
haplotype dan spidol. Presinusoidal Portal bock usia menyebabkan beberapa perubahan
hemodinamik, termasuk hipertensi portal dan pengembangan terkait agunan portosystemic di
persimpangan esofagogastrik dan situs lainnya. varises esofagus yang paling mungkin untuk
istirahat dan menyebabkan episode repeted dari hematemesis. Karena perubahan aliran darah
hati terjadi perlahan-lahan, arterialisasi kompensasi dari aliran darah melalui hati didirikan.
Sementara mekanisme kompensasi ini dapat dikaitkan dengan efek samping metabolik
tertentu, retensi hepatosit perfusi memungkinkan maintanence fungsi hati yang normal
selama beberapa tahun.9
Penyebab utama patologi dalam Schistosoma adalah telur. Telur menembus pembuluh
darah dan masuk jaringan hospes dengan mengeluarkan enzim proteolitik, melalui lobang
mikroskopis pada dindingnya. Banyak telur yang terjebak dalam jaringan atau dibawa ke
sirkulasi ke organ lain dalam tubuh. Reaksi hospes terhadap telur bervariasi mulai dari
granuloma yang kecil sampai fibrosisi yang hebat. Adanya kerusakan umumnya berhubungan
dengan jumlah terlur yang masuk ke jaringan.3-6

Infeksi berat Schistosoma haematobium biasanya menyebabkan sistitis kronis dan


uretiritis. Fibrosisi dan bahkan penyumbatan uretra bisa menyebabkan hidronofrosisi dan
gagal ginjal. Infeksi juga bisa merupakan predisposisi batu kandung kencing dan karsinoma.
Telur Schistosoma haematobium menyebar ke berbagai organ tubuh melalui sirkulasi
sistemik. pada Schistosoma mansoni dan Schistosoma japonicum telur mula-mula dibawa ke
hati dan dari sini ia masuk sirkulasi sistemik menyebabkan lesi di berbagai organ tubuh. di
hati ia menyebabkan fibrosis dan hipertensi portal. Ini akan menyebabkan splenomegali,
asites, varises esofagus dan hemoroid. Pada binatang percobaan, granuloma di sekitar telur
Schistosoma japonicum tampak menjadi media antibodi, sebaliknya Schistosoma mansoni
akan menjadi media sel. Pada Schistosoma haematobium sering terjadi de-sensitisasi setelah
suatu respon radang akut dengan suatu perbaikan penyekit dan perbaikan gejalah klinis.7,8

Diagnosis Banding
Ada tiga jenis schistosoma yang dapat menyebabkan penyakit schistosomiasis, yaitu:
(parasit) 1-4

 Schistosoma Japonicum. Jenis trematoda darah ini menyebabkan oriental


schistosomiasis, schistosomiasis japonica, penyakit Katamaya atau penyakit kenong.
Hospesnya adalah manusia dan berbagai macam binatang seperti anjing, kucing, rusa,
tikus sawah (Rattus), dan sapi. Cacing ini ditemukan di daerah Thailand, Malaysia,
laos, Vietnam, dan juga indonesia yang berada di Sulawesi tengah tepatnya di danau
lindu dan lembah napu. Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1,5 cm dan yang
betina 1,9 cm, hidupnya di vena mesenterika superior. Telur ditemukan di dinding
usus halus dan juga alat dalam seperti hati. Kelainan tergantung dari beratnya infeksi.
Kelainan yang ditemukan pada stadium 1 adalah gatal-gatal (urtikaria). Gejala
intoksikasi disertai demam, hepatomegali dan eosinophilia tinggi. Stadium 2
ditemukan sindrom disentri dan stadium 3 ditemukan sirosis hati dan splenomegaly,
biasanya pasien terlihat lemah (emasiasi). Mungkin terdapat gejala saraf, dan paru.
Schistosoma ini satu-satunya jenis trematoda darah yang berada di Indonesia bagian
Sulawesi tengah (danau lindu dan lembah napu). Di sana sudah dilakukan pengobatan
masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh departemen kesehatan melalui
Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman (Subdit, P2M&PLP) dengan hasil yang cukup baik. Prevalensi dari 37%
menjadi 1,5% setelah pemukiman.
 Schistosoma Mansoni. Hospes definitive nya adalah manusia dan kera baboon di
Afrika sebagain hospes reservoir. Pada manusia menyebabkan schistosomiasis usus.
Distribusi cacing ini terdapat di Afrika, Arab, Amerika Selatan dan Tengah. Pada
badan cacing jantan terdapat tonjolan lebih kasar bila dibandinkan dengan
S.hematobium dan S.japonica. Cacing dewasa jantan berukuran kira-kira 1cm dan
yang betina 1,4cm. tempat hidupnya di vena, kolon, dan rectum. Kelainan dan gejala
yang ditimbulkan sama seperti S.japonica tetapi lebih ringan, dan splenomegaly dapat
menjadi berat sekali.
 Schistosoma Hematobium. Hospes definitifnya adalah manusia. Cacing ini
menyebabkan skistosomiasis kandung kemih. Babon dank era lain dilaporkan sebagai
hospes reservoir. Dapat ditemukan di Afrika, Arab bagian timur; lembah Nil, dan
tidak ditemukan di Indonesia. Cacing dewasa jantan berukuran 1,3cm dan untuk
betina 2,0cm. hidupny di vena panggul kecil, terutama di vena kandung kemih. Telur
ditemukan di urin dan alat dalam lain, juga di alat kelamin dan rectum. Kelainan
terutama ditemukan di dinding kandung kemih. Gejalanya dapat berupa kelainan
kandung kemih, hematuria da dysuria bila terjadi sistitis. Sindrom disentri ditemukan
bila terjadi kelainan di rectum.
Pada saat keadaan akut penyakit ini akan mirip dengan disentri basiler, malaria, leptospirosis,
dan sebab lain dari diarea. Saat mengenai traktus urinarius kita juga wajib
mempertimbangkan kanker genitourinarius, infeksi saluran kemih, dan nefrolitiasis.
Sedangkan pada saluran cerna mirip dengan ulkus peptikum, pankreatitis, dan penyakit
traktus biliaris.

Pengobatan dan Pencegahan


Pengobatan untuk penyakit schistosomiasis pilihan utama obatnya adalah
Prazikuantel. Prazikuantel adalah suatu turunan isokuinolon-pirazin sintetik. Obat ini cepat
diserap, dengan ketersediaan-hayati sekitar 80% setelah pemberian oral. Konsentrasi serum
puncak tercapai 1-3 jam setelah dosis terapeutik. Kosentrasi di cairan serebrospinal mencapai
14-20% dari konsentrasi obat dalam plasma. Sekitar 80 persen obat terikat ke protein plasma.
Waktu-paruh adalah 0,8-1,5 jam. Eksresi utama melalui ginjal (60-80%) dan empedu (15-
35%). Konsentrasi prazikuental dalam plasma meningkat jika obat diminum bersama dalam
makanan tinggi karbohidrat atau simetidin; ketersediaan-hayati sangat berkurang jika obat
diberkan bersama dengan obat antiepilepsis (fenitoin, karbamazepin) atau kortikosteroid.
Dosisnya adalah 20mg/kg per dosis untuk dua dosis (Schistosoma mansoni dan Schistosoma
haematobium atau tiga dosis (Schistosoma japonicum) dengan interval 4-6 jam. Dalam
evaluasi setelah 3-6 bulan, tercapai angka kesempatan yang tinggi (75-95%); terjadi
penurunan jumlah telur pada pasien yang belum sembuh. Obat ini efektif pada pasien dewasa
dan anak serta umumnya ditoleransi baik oleh pasien dalam stadium lanjut penyakit
hepatosplenik.Untuk schistosomiasis akut dianjurkan dosis standar dan sering digunakan
bersama kortikosteroid untuk mengurangi peradangan akibat respons imun akut dan cacing
yang mati. Resistensi Schistosoma mansoni terjadi, tetapi jarang.10,11

Reaksi sampingan yang ringan dan sementara setelah meminum prazikuantel dan
dapat menetap selama satu hari. Yang paling umum adalah nyeri kepala, pusing bergoyang,
mengantuk dan lesu; yang lain mencakup mual, muntah, nyeri abdomen, tinja cair, pruritus,
urtikaria, artralgia, mialgia, dan demam ringan. Tidak dianjurkan untuk ibu hamil dan anak
dibawah 4 tahun.10,11

 Prazikuantel. daya sembuh obat ini untuk S.hematobium, S. mansoni dan S. japonica,
63-85% dan dapat menurunkan telur-telur lebih 90% setelah 6 bulan terapi. Obat ini
tidak sensitive pada sistosoma muda (2-5 minggu). Dosis 2x20 mg/mg/kgBB/hari
untuk S.hematobium dan S.mansoni, dan 3x perhari untuk S.japonicum. Efek samping
yang ditimbulkan adalah malese, sakit kepala, anoreksia, pusing, mual, muntah,
urtikaria, diaren, dan lain-lain. Gejala ini mulai dari ringan sampai sedang,
berlangsung beberapa jam sampai satu hari. Menurut WHO obat ini bisa diberikan
pada ibu hamil.

 Oxamniquine. Obat ini sangat efektif hanya untuk S.mansoni. dosis seklai 12-
15mg/kg/hari. Ada juga yang memberikan 40-60mg/kg/hari dosis terbagi 2 atau 3
selama 2-3 hari, diberikan bersama makanan. Efek samping yang terjadi dalam
beberapa jam berupa pusing, vertigo, mual, muntah, diare, sakit perut, dan sakit
kepala. Walaupun jarang terjadi dapat terjadi perubahan tingkah laku, halusinasi,
kejang-kejang setelah 2 jam obat ditelan. Obat ini mempunyai efek mutagenic dan
teratogenik, sehingga tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
 Artemisinin. Obat ini selektif terhadap sistosomula dan mungkin bermanfaat untuk
profilaksis. Pada terapi terhadap S.haematobium, efektifitasnya jauh di bawah
prazikuantel.
Pencegahan degan menghindari mandi dan mencuci dengan air yang mengandung
serkaria, menggunakan jamban yang memenuhi standar kesehatan, hindari tempat habitat
keong penular atau jika beraktifitas di sekitar habitat keong penular sebaliknya memakai
sepatu boot dan menggunakan air yang berasal dari sumber air yang terjamin kualitas
kebersihannya sebagai kebutuhan sehari-hari. Selain itu dengan pemutusan rantai penularan
dengan penemuan dini penderita dengan pemeriksa tinja penduduk dan pengobatan dan
pemberantasan fokus keong penular baik melalui kegiatan lintas sektor maupun swadaya
yang berkelanjutan.12

Komplikasi
Komplikasi gastrointestinal termasuk perdarahan gastrointestinal, obstruksi
gastrointestinal, malabsorpsi dan malnutrisi. Lesi cenderung berdarah dan ada kehilangan
darah dan protein, menyebabkan anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia. Lesi ini
sebagian besar dalam usus besar dan rektum. Fibrosis hati terjadi, memproduksi hipertensi
portal. Infeksi S. mansoni selalu menghasilkan fibrosis hati.8 Hipertensi portal dapat
menghasilkan varises esofagus yang mungkin berdarah, dan ascites. shunting Portocaval
predisposisi infestasi paru dan masalah hipertensi paru. Koinfeksi dengan hepatitis, HIV dan
malaria dapat meningkatkan risiko karsinoma hepatoseluler dan meningkatkan risiko
kematian.9

Kronis salmonellosis septikemia (demam berkepanjangan dengan pembesaran hati


dan limpa) mungkin terjadi pada individu Schistosoma terinfeksi yang ikut terinfeksi
salmonella. Hipertensi pulmonal, kor pulmonal, neuroschistosomiasis (termasuk peningkatan
tekanan intrakranial, myelopathy dan radiculopathy).9

Prognosis
Meskipun schistosomiasis jarang berakibat fatal, menyebabkan morbiditas jangka
panjang seperti anemia dan komplikasi lain . Angka kematian keseluruhan schistosomiasis
adalah sekitar 14.000 kematian per tahun di seluruh dunia. Stadium akhir penyakit
hepatosplenic dengan perdarahan varises, hipertensi pulmonal dengan cor pulmonale, dan
penyakit SSP yang berhubungan dengan angka kematian yang tinggi. awal penyakit biasanya
membaik dengan pengobatan. Pasien dengan infestasi cacing yang lebih besar cenderung
untuk meningkatkan dan lebih mungkin untuk memerlukan perawatan berulang. pengobatan
obat cacing mungkin tidak membalikkan fibrosis. schistosomiasis hepatosplenic memiliki
prognosis relatif baik karena fungsi hati biasanya dipertahankan sampai akhir penyakit.
Pengobatan diindikasikan untuk pasien dengan komplikasi stadium akhir dari hipertensi
portal dan hipertensi pulmonal berat tetapi pasien ini jauh lebih mungkin memperoleh
manfaat dari pengobatan; kor pulmonal biasanya tidak membaik secara signifikan dengan
pengobatan. Infeksi ulang sangat umum pada orang yang baik tinggal di dalam atau kembali
ke daerah endemis. 12

Kesimpulan
Pasien tersebut di diagnosis menderita schistosomiasis oleh Schistosoma japonicum
(karena ditemukan telur dengan tonjolan lateral pada pemeriksaan tinja). Kemungkinan
terinfeksi oleh serkaria schistosoma yang mengkontaminasi air. Gejala yang ditimbulkan
schistosomiasis mulai dari ringan hingga berat (komplikasi). Pengobatan berfungsi untuk
mematikan cacing dewasa maupun telur schistosoma yang menginfeksi manusia.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Media centre: schistosomiasis. Dipublikasi Februari
2016. Diakses dari
https://www.who.int/neglected_diseases/news/WHO_schistosomiasis_reports_substan
tial_treatment_progress_sac/en/, 23 November 2018.
2. Staf Pengajar Departemen parasitologi FKUI. Buku ajar parasitologi kedokteran.
Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia; 2010. h.61-73.
3. Zaman V. Atlas parasitologi kedokteran. Edisik ke-2. Jakarta: Hipokrates; 1984. h.
148-55.
4. Prianto J, Tjahayu, Darwanto. Atlas parasitologi kedokteran. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama; 2010. h. 64-9.
5. Brooks GF, et al. Mikrobiologi kedokteran jawetz, melnick, & aldelberg. Edisik ke-
25. Jakarta: EGC; 2012. h. 728-30.
6. Elliott T, Warthington T, Osman H, Gill M. Lecture notes: medical microbiology &
infection. Edisi ke-4. USA: Blackwell Publishing Ltd; 2007. h. 113-5.
7. Longo DL, et al. Harrison's: principles of internal medicine. USA: McGraw-Hill
Companies, Inc; 2007. h. 1752-7.
8. Danso-Appiah A, Olliaro PL, Donegan S, Sinclair D, Utzinger J. Drugs for treating
schistosoma mansoni infection. Cochrane Database Syst Rev. 2013 Feb 28;
2:CD000528. doi: 10.1002/14651858.CD000528.pub2. Diakses pada 23 November
2018.
9. Shaker Y, Samy N, Ashour E. Hepatobiliary schistosomiasis. J Clin Transl Hepatol.
2014 Sep; 2(3):212-6. doi: 10.14218/JCTH.2014.00018. Epub 2014 Sep 15. Diakses
pada 23 November 2018
10. Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana.
Farmakoterapi aplikasi: buku ajar farmakologi. Edisi ke-1. Jakarta: FK Ukrida; 2016.
h. 43.
11. Katzung B, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar & klinik. Edisi ke-12. Jakarta:
EGC; 2013. h. 1061-70.
12. Departemen Kesehatan Indonesia. Program pengendalian schistosomiasis. Diakses
dari
http://pppl.depkes.go.id/_asset/_download/program_pengendalian_schistosomiasis.pd
f, 23 November 2018.

Anda mungkin juga menyukai