Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH KELOMPOK

ANALISIS KUALITAS LINGKUNGAN TERKAIT VEKTOR

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Kualitas Lingkungan

Dosen Pengampu: Dewi Utami Iriani M.Kes., Ph.d

Disusun Oleh

Kelompok 5

Jihadudin Fisabilillah (11171010000036)

Khusnul Khotimah (11171010000025)

Putri Mulia Hayati (11171010000077)

Fahira Diba (11171010000078)

Ahmad Zebi Al-Tigrisi (11171010000087)

An Nisaa ‘Istiqomah (11161010000103)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, puji syukur kita panjatkan kepada Allah


Subhanahu Wa taa’ala yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita
tim penyusun makalah sehingga makalah yang disusun dapat selesai. Makalah yang
berjudul “Analisis Kualitas Lingkungan terkait Vektor Penyakit dapat disusun dengan
baik. Terimakasih kami sampaikan kepada dosen pengampu matakuliah Analisis
Kualitas Lingkungan yaitu ibu Dewi Utami Iriani M.Kes., Ph.d, karena telah
membimbing kami dalam menyusun makalah ini.

Penyusunan makalah ini tentunya tak terlepas dari kurangnya pengalaman dan
kekurangan baik dalam segi isi yang masih harus dikembangkan dan lain-lain. Oleh
karenanya, penyusun mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun agar
pemyusun mendapatkan pelajaran lebih dalah penyusunan makalah dan ilmu yang
didapat juga menjadi lebih bermanfaat serta luas.

Wassalamualaikum waraaahmatullahi wabarakatuh

Tanggerang Selatan, 11 juni 2019

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kesehatan masyarakat dapat berasal dari berbagai aspek pejanan


dalam peranannya tenaga Kesehatan Masyarakat perlu mengetahui hal-hal yang
menjadi penyebab masalah kesehatan terutama di lingkungan. Vektor penyakit
merupakan suatu penyebab masalah kesehatan yang perlu di ketahui oleh tenaga
kesehatan masyarakat, kualitas lingkungan yang sehat juga menjadikan indikator
vektor penyebab penyakit sebagai salah satu acuan pengendalian kesehatan di
lingkungan. Pengendalian vektor merupakan usaha yang dilakukan guna mengurangi
atau menurunkan mencegah atau bahkan memberantas populasi vektor atau gangguan
yang di akibatkan oleh vektor penyebab penyakit dimana kegiatan tersebut termasuk
pada indikator kualitas lingkungan. Dalam kegiatan analisis kualitas lingkungan, ada
beberapa hal yang harus diketahui mengenai vektor baik cara pengambilan sampel
vektor, alat yang digunakan, siapa yang bertanggung jawab tentang vektor dan
kualitas lingkungan dan hal-hal lain yang berkaitan antara analisis kualitas
lingkungan dengan vektor penyakit. Oleh karena inu, makalah ini disusun bertujuan
mengetahui hal-hal tersebut, guna menjadikan informasi yang berguna bagi
mahasiswa Kesehatan Masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa definisi dan apa saja jenis-jenis vektor penyakit?
b. Adakah standar baku mutu vektor?
c. Apa alat yang digunakan dan bagaimanaprinsip pengambilan sampel
vector?
d. Bagaimana teknik pengujian vektor
e. Siapa yang bertanggung jawab dalam pengambilan sampel vektor?
f. Apa penyakit akibat vektor?
g. Apa hubungan vektor dalam islam
1.3 Tujuan
a. Mendeskripsikan definisi dan apa saja jenis-jenis vektor penyakit?
b. Mendeskripsikan standar baku mutu vektor?
c. Mendeskripsikan alat yang digunakan dan bagaimana prinsip
pengambilan sampel vektor?
d. Mendeskripsikan teknik pengujian vektor
e. Mendeskripsikan Siapa yang bertanggung jawab dalam pengambilan
sampel vektor?
f. Mendeskripsikan penyakit akibat vektor?
g. Mendeskripsikan pandangan vektor penyakit dalam islam

1.4 Manfaat
a. Mengetahui definisi dan apa saja jenis-jenis vector penyakit?
b. Mengetahui standar baku mutu vector?
c. Mengetahui alat yang digunakan dan bagaimana prinsip pengambilan
sampel vektor?
d. Mengetahui teknik pengujian vektor
e. Mengetahui Siapa yang bertanggung jawab dalam pengambilan
sampel vektor?
f. Mengetahui penyakit akibat vektor?
g. Mengetahui psndangan Vektor penyakit dalam islam
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Vektor

Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi


sumber penular penyakit (Kemenkes, 2017).

Vektor adalah organisme apa pun (vertebrata atau invertebrata) yang berfungsi
sebagai pembawa agen infeksius antara organisme dari spesies yang berbeda (Wilson,
dkk,. 2017)

B. Jenis-jenis Vektor

Vektor digolongkan menjadi dua yaitu vektor mekanik dan vektor biologik. Vektor
mekanik yaitu hewan avertebrata yang menularkan penyakit tanpa agen tersebut
mengalami perubahan, sedangkan dalam vektor biologik agen mengalami
perkembangbiakan atau pertumbuhan dari satu tahap ke tahap yang lebih lanjut
(Wijayanti, 2008). Pada penularan penyakit melalui vektor secara mekanik, maka
agen dapat berasal dari tinja, urin maupun sputum penderita hanya melekat pada
bagian tubuh vektor dan kemudian dapat dipindahkan pada makanan atau minuman
pada waktu hinggap/menyerap makanan tersebut. Contoh : lalat merupakan vektor
mekanik penyakit diare. Pada penularan penyakit melalui vektor secara biologi, agen
harus masuk ke dalam tubuh vektor melalui gigitan ataupun melalui keturunannya.
Selama tubuh vektor, agen berkembang biak atau hanya mengalami perubahan
morfologis saja, sampa pada akhirnya menjadi bentuk yang infektis melalui gigitan,
tinja, atau cara lain untuk berpindah ke pejamu potensial. Contoh : Culex
quinquefasciatus merupakan vektor penyakit kaki gajah (filaria) (Wijayanti, 2008).

Berikut ini adalah jenis-jenis vektor :

1. Vektor nyamuk (mosquito borne diseases)


2. Vektor kutu louse (louse borne diseases)
3. Vektor kutu flea (flea borne diseases)
4. Vektor kutu mite (mite borne diseases)
5. Vektor kutu tick (tick borne diseases)
6. Lalat phlebotonus
7. Blackflies genus simulium
8. Lalat tsetse
9. Kutu triatomid

C. Standar Baku Mutu Vektor

Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit di Indonesia telah teridentifikasi


terutama terkait dengan penyakit menular tropis (tropical diseases), baik yang
endemis maupun penyakit menular potensial wabah. Mengingat beragamnya
penyakit-penyakit tropis yang merupakan penyakit tular vektor dan zoonotik, maka
upaya pengendalian terhadap vektor dan binatang pembawa Penyakit menjadi bagian
integral dari upaya penanggulangan penyakit tular vektor, termasuk penyakit-
penyakit zoonotik yang potensial dapat menyerang manusia, yang memerlukan
Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan.

Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan ini


berlaku di tempat permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi dan tempat fasilitas
umum. Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari
satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan
pedesaan, antara lain rumah dan perumahan, lembaga pemasyarakatan dan rumah
tahanan negara, kawasan militer, panti dan rumah singgah. Tempat Kerja adalah
ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja
bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan
dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya. Tempat rekreasi antara lain
tempat bermain anak, bioskop dan lokasi wisata. Tempat dan fasilitas umum adalah
lokasi, sarana, dan prasarana kegiatan bagi masyarakat umum, antara lain fasilitas
kesehatan, fasilitas pendidikan, tempat ibadah, hotel, rumah makan dan usaha lain
yang sejenis, sarana olahraga, sarana transportasi darat, laut, udara, dan kereta api,
stasiun dan terminal, pasar dan pusat perbelanjaan, pelabuhan, bandar udara, dan pos
lintas.

Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan untuk


Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit terdiri atas:

a. Jenis
Jenis dalam hal ini adalah nama/genus/spesies Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit.
b. Kepadatan
Kepadatan dalam hal ini adalah angka yang menunjukkan jumlah Vektor
dan Binatang Pembawa Penyakit dalam satuan tertentu sesuai dengan
jenisnya, baik periode pradewasa maupun periode dewasa.
c. Habitat perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan adalah tempat berkembangnya periode
pradewasa Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit.

Tabel Standar Baku Mutu Vektor


Keterangan:

1. Man Biting Rate (MBR)

Man Biting Rate (MBR) adalah angka gigitan nyamuk per orang per malam,
dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang tertangkap dalam satu
malam (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan waktu
(jam) penangkapan.

Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima orang kolektor,
dengan metode nyamuk hinggap di badan (human landing collection) selama 12 jam
(jam 18.00-06.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan 10
Anopheles sundaicus, dua Anopheles subpictus dan satu Anopheles indefinitus.

Maka MBR Anopheles sundaicus dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah nyamuk Anopheles sundaicus yang didapatkan sebanyak 10

 Jumlah penangkap sebanyak 5 orang

 Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit, sehingga dalam satu malam
(12 jam) sebanyak 8 jam (8/12).

2. Indeks habitat

Indeks habitat adalah persentase habitat perkembangbiakan yang positif larva,


dihitung dengan cara jumlah habitat yang positif larva dibagi dengan jumlah seluruh
habitat yang diamati dikalikan dengan 100%.

Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 30 habitat perkembangbiakan nyamuk


Anopheles spp., setelah dilakukan pencidukan didapatkan 5 habitat positif larva
Anopheles dan 6 habitat positif larva Culex spp. Maka indeks habitat larva Anopheles
dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah seluruh habitat diamati 30 buah

 Jumlah habitat positif larva Anopheles spp. 5 buah.


Indeks habitat larva Culex spp. dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah seluruh habitat diamati sebanyak 30 buah

 Jumlah habitat positif larva Culex spp. sebanyak 6 buah

3. Angka Istirahat

Angka istirahat (resting rate) adalah angka kepadatan nyamuk istirahat (resting) per
jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk Aedes spp. yang tertangkap dalam satu
hari (12 jam) dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali lama penangkapan
(jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit) dalam tiap jamnya.

Contoh, penangkapan nyamuk istirahat siang hari dilakukan oleh lima orang kolektor,
dengan menggunakan aspirator selama 12 jam (jam 06.00-18.00), yang mana setiap
jam menangkap 40 menit, mendapatkan lima nyamuk Aedes spp. dan lima nyamuk
Culex spp. Maka angka istirahat per jam dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah nyamuk Aedes yang didapatkan sebanyak 5

 Jumlah penangkap sebanyak 5 orang

 Lama penangkapan 12 jam

 Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).


4. Angka Bebas Jentik (ABJ)

Angka bebas jentik (ABJ) adalah persentase rumah atau bangunan yang bebas
jentik, dihitung dengan cara jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik dibagi
dengan jumlah seluruh rumah yang diperiksa dikali 100%. Yang dimaksud
dengan bangunan antara lain perkantoran, pabrik, rumah susun, dan tempat
fasilitas umum yang dihitung berdasarkan satuan ruang bangunan/unit
pengelolanya.

Contoh, pengamatan dilakukan terhadap 100 rumah dan bangunan, 6 rumah di


antaranya positif jentik Aedes spp. Maka ABJ dihitung sebagai berikut.
Diketahui:

 Jumlah seluruh rumah yang diperiksa 100 rumah.

 Jumlah rumah yang potifif jentik 6 Aedes spp., artinya yang negatif jentik 94
rumah.

5. Man Hour Density (MHD)

Man Hour Density (MHD) adalah angka nyamuk yang hinggap per orang per
jam, dihitung dengan cara jumlah nyamuk (spesies tertentu) yang tertangkap
dalam enam jam dibagi dengan jumlah penangkap (kolektor) dikali dengan lama
penangkapan (jam) dikali dengan waktu penangkapan (menit).
Contoh, penangkapan nyamuk malam hari dilakukan oleh lima orang kolektor,
dengan metode nyamuk hinggap di badan (human landing collection) selama 6
jam (jam 18.00-12.00), yang mana setiap jam menangkap 40 menit, mendapatkan
10 Culex spp. dan 8 Mansonia spp. Maka MHD Culex spp. dihitung sebagai
berikut. www.peraturan.go.id 2017, No.1592 -29- Diketahui:

 Jumlah nyamuk Culex spp. yang didapatkan sebanyak 10

 Jumlah penangkap sebanyak 5 orang

 Lama penangkapan 6 jam

 Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).

Maka MHD Mansonia spp. dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah nyamuk Mansonia spp. yang didapatkan sebanyak 8

 Jumlah penangkap sebanyak 5 orang

 Lama penangkapan 6 jam

 Waktu penangkapan dalam satu jam selama 40 menit (40/60).

6. Indeks Pinjal

Indeks pinjal khusus adalah jumlah pinjal Xenopsylla cheopis dibagi dengan
jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa. Adapun indeks pinjal umum adalah
jumlah pinjal umum (semua pinjal) dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap
dan diperiksa.
Contoh, hasil penangkapan tikus mendapatkan 50 tikus, setelah dilakukan
penyisiran didapatkan 40 pinjal Xenopsylla cheopis dan 30 pinjal jenis lainnya.
Indeks pinjal Xenopsylla cheopis dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah pinjal Xenopsylla cheopis yang didapatkan sebanyak 40 pinjal

 Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor ,

Indeks pinjal umum dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah seluruh pinjal yang didapatkan sebanyak 70 pinjal

 Jumlah tikus yang diperiksa sebanyak 50 ekor

7. Indeks Populasi Lalat

Indeks populasi lalat adalah angka rata-rata populasi lalat pada suatu lokasi
yang diukur dengan menggunakan flygrill. Dihitung dengan cara melakukan
pengamatan selama 30 detik dan pengulangan sebanyak 10 kali pada setiap titik
pengamatan. Dari 10 kali pengamatan diambil 5 (lima) nilai tertinggi, lalu kelima
nilai tersebut dirata-ratakan. Pengukuran indeks populasi lalat dapat
menggunakan lebih dari satu flygrill.
Contoh, pengamatan lalat pada rumah makan. Flygrill diletakkan di salah satu
titik yang berada di dapur. Pada 30 detik pertama, kedua, hingga kesepuluh
didapatkan data sebagai berikut: 2, 2, 4, 3, 2, 0, 1,1, 2, 1. Lima angka tertinggi
adalah 4, 3, 2, 2, 2, yang dirataratakan sehingga mendapatkan indeks populasi
lalat sebesar 2,6.

8. Indeks Populasi Kecoa

Indeks populasi kecoa adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung
berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan
perangkap lem (sticky trap).

Contoh, penangkapan kecoa menggunakan 4 buah perangkap sticky trap pada


malam hari, dua buah dipasang di dapur dan masingmasing satu buah dipasang di
dua kamar mandi. Hasilnya mendapatkan 6 ekor kecoa. Maka indeks populasi
kecoa dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah kecoa yang didapat sebanyak 6 ekor.

 Jumlah perangkap sebanyak 4 buah.

Tabel Standar Baku Mutu Binatang Pembawa Penyakit


Keterangan:

1. Success Trap

Success trap adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung
dengan cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah perangkap dikalikan
100%.

Contoh, pemasangan 50 perangkap tikus yang dilakukan selama 10 hari


mendapatkan 5 tikus. Maka success trap dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah tikus yang didapatkan 5 ekor.

 Jumlah perangkap yang selama 10 hari sebanyak 50 buah.


2. Indeks Habitat Keong Oncomelania hupensis lindoensis (keong penular
Schistosomiasis/demam keong)

Indeks habitat untuk keong Oncomelania hupensis lindoensis (keong penular


Schistosomiasis/demam keong) adalah jumlah keong dalam 10 meter persegi
habitat, dihitung dengan cara jumlah keong yang didapat dalam 10 meter persegi.

Contoh, survei dilakukan pada 1.000 meter persegi habitat keong mendapatkan 15
keong Oncomelania hupensis lindoensis (keong penular Schistosomiasis/demam
keong). Indeks habitat dihitung sebagai berikut. Diketahui:

 Jumlah keong Oncomelania hupensis lindoensis (keong penular


Schistosomiasis/demam keong) yang didapatkan 15 ekor.

 Luas habitat 1.000 meter persegi.

D. Alat Dan Bahan Pengambilan Sampel Vektor

NO. Nama Alat Gambar Kegunaan


1. Rat Trap Sebagai perangkap
tikus atau Rodentia
lainnya

2. Light Trap Untuk menangkap


serangga yang
terbang pada
malam hari

3. Pit Fall Trap Alat ini berfungsi


untuk menangkap
serangga atau
hewan kecil yang
berada di
permukaan tanah.

4. Insect Net Jaring digunakan


untuk menangkap
serangga terbang
seperti kupu-kupu,
lalat, belalang,
lebah, dan capung.

5. Soil Warm Untuk mengetahui


Extractor adanya serangga
pada tanah.
6. Aspirator Untuk
mengumpulkan
serangga berukuran
kecil
7. Fly Grill Untuk menghitung
kepadatan populasi
lalat.

8. Fly Trap Untuk menangkap


lalat dalam jumlah
besar, dan biasanya
diletakkan diluar
ruangan.
9. Sarung Tangan Sarung tangan
digunakan untuk
melindungi tangan
saat mengambil
sampel tikus
10. Masker Masker digunakan
untuk menutupi
hidung dari bau
yang tidak sedap.
11. kapas Kapas digunakan
untuk dimasukkan
kedalam tabung
sampel dan diberi
air gula untuk
makanan nyamuk
12. Kain kasar Untuk menutup
lubang tabung
sampel
13. Kertas label Untuk memberi
identitas sampel
14. Penggaris Untuk mengukur
(Mistar) sampel

15. Kuas Untuk


memindahkan kutu
tikus
16. Kain putih Untuk alas
menyisir kutu
17. Sisir rapat Untuk menyisir
tikus mendapatkan
kutu

18. Tabung sampel Untuk meletakkan


sampel

19. Gayung Untuk mengambil


jentik nyamuk di
air
20. Pipet hisap Untuk
memindahkan
jentik dari gayung
ke tabung

21. Timbangan Untuk mengukur


beban sampel
22. Spuit (suntik) Untuk
menyuntikkan
suatu zat kedalam
tubuh.

BAHAN
No. Nama Bahan Kegunaan
1. Insektisida Aerosol Sebagai pembasmi
vector atau
serangga.
2. Chlorofom Sebgai Obat bius
3. Umpan Tikus Untuk menarik
tikus keluar dari
sarangnya
4. Tikus Sebagai sampel

E. Teknik pengujian sampel vektor

Dalam melaksanakan pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit harus


dilengkapi dengan pengujian laboratorium dan manajemen resistensi.
1. Pengujian Laboratorium
Pengujian laboratorium dapat dilakukan terhadap sampel Vektor atau
Binatang Pembawa Penyakit maupun terhadap bahan pengendali (pestisida).
Pengujian laboratorium terhadap sampel dilakukan untuk mengetahui status
kevektoran, status resistensi, dan kebutuhan pengujian lainnya. Pengujian
laboratorium terhadap bahan pestisida dilakukan untuk mengetahui
kandungan bahan aktif, toksisitas, dan efikasi. Pengujian laboratorium
dilakukan oleh laboratorium yang memiliki kemampuan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Beberapa jenis pengujian yang diperlukan terhadap sampel Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit adalah:
a. Inkriminasi atau rekonfirmasi Vektor dan Binatang Pembawa
Penyakit
1) Secara mikroskopis
Pengujian ini dilakukan dengan cara melakukan pembedahan
secara langsung menggunakan mikroskop untuk menemukan
adanya parasit dalam tubuh Vektor atau Binatang Pembawa
Penyakit, misalnya pembedahan kelenjar ludah berbagai spesies
nyamuk Anopheles untuk mengidentifikasi adanya sporozoit
dalam kepentingan inkriminasi/rekonfirmasi Vektor malaria dan
pembedahan kepala dan thoraks nyamuk untuk mengidentifikasi
larva stadium tiga dalam kepentingan inkriminasi/rekonfirmasi
Vektor filariasis.
2) Secara serologis
Pengujian ini dilakukan dengan cara mengambil bagian tubuh
tertentu dari sampel untuk dideteksi keberadaan patogen dalam
Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit yang berpotensi sebagai
penular penyakit secara serologis. Saat ini, uji imunologis, baik uji
deteksi antigen maupun uji deteksi antibodi yang paling umum
digunakan diantaranya adalah the enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA), uji hemaglutinasi (HA), uji immunofluorescent
antibody (IFA), maupun uji deteksi cepat/rapid diagnostic tests
(RDT).
3) Secara molekuler
Beberapa keterbatasan penggunaan uji sebelumnya telah
mempengaruhi perkembangan deteksi patogen pada Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit saat ini dengan berkembangnya
metode terkini melalui amplifikasi gen yang dikenal sebagai
metode deteksi molekuler. Saat ini, pendekatan molekuler telah
digunakan dan menjadi bagian dari seluruh deteksi Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit, seperti polymerase chain reaction
(PCR), real-time polymerase chain reaction (RT-PCR), dan loop-
mediated isothermal amplification (LAMP). Beberapa metode
yang lebih komprehensif juga digunakan, seperti analisis
wholegenome dan proteomics, tetapi penggunaannya hanya dalam
skala terbatas untuk keperluan tertentu.
b. Pengujian status resistensi
1) Pengujian secara konvensional dengan menggunakan
bioassay/susceptibility test. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan botol bioassay atau impregnated paper sesuai
standar.
2) Pengujian secara biokimia dilakukan sebagai tindak lanjut
pengujian konvensional untuk mendeteksi kadar enzim yang
mendetoksifikasi pestisida (resistensi metabolik). Enzim yang
sering digunakan sebagai penanda perubahan dalam uji ini
antara lain Cytochrome P450 monooxygenase (P450),
glutathione S-transferase (GTSs) dan Carboxyl/cholinesterases
(CCEs).
3) Pengujian secara molekuler dilakukan setelah dalam pengujian
sebelumnya menunjukkan adanya resistensi dengan tanpa
adanya peningkatan enzim secara biokimiawi. Identifikasi
resistensi secara molekuler dilakukan dengan melihat ada atau
tidaknya mutasi pada target gen pestisida pada Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit, yaitu Acetyl choline esterase
(AchE), Gamma-aminobutyric acid (GABA), dan Voltage –
gated sodium channel (VGSC).
c. Identifikasi spesies kompleks
Dalam perkembangan pengendalian Vektor dan Binatang
Pembawa Penyakit, khususnya malaria, beberapa spesies
dilaporkan mempunyai morfologi yang sama tetapi mempunyai
kapasitas Vektorial yang sangat berbeda. Hal ini dimungkinkan
adanya nyamuk yang secara reproduktif terisolasi di dalam
taksonnya yang dikenal sebagai spesies kompleks. Kajian
mengenai spesies kompleks saat ini menjadi bagian yang penting
dalam kaitannya dengan upaya pengedalian Vektor secara spesifik,
efektif, dan efisien, khususnya pada pengendalian Vektor malaria.
Berbagai teknik telah digunakan dalam identifikasi spesies
kompleks tersebut, diantaranya meliputi:
1) variasi morfologi
2) crossing experiments
3) mitotic dan meiotic karyotypes
4) polytene chromosomes
5) variasi Electrophoretik
6) pendekatan molekuler
7) allele spesific polymerase chain reaction (ASPCR)
F. Penyakit akibat vektor

Beberapa penyakit yang disebabkan karena adanya peran dari vektor penyakit
adalah sebagai berikut.

a. Demam Berdarah Dengue


Demam Berdarah Dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
dengue dimana vektor dari virus tersebut adalah nyamuk aedes aegypti dan
aedes albopictus. Dari beberapa cara penularan virus dengue, yang paling
tinggi adalah penularan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Masa inkubasi
ekstrinsik (di dalam tubuh nya-muk) berlangsung sekitar 8-10 hari, se-
dangkan inkubasi intrinsik (dalam tubuh manusia) berkisar antara 4-6 hari dan
dii-kuti dengan respon imun (Candra, 2010). Faktor lingkungan yang
mendukung teradinya penyakit demam berdarah dengue adalah lingkungan
dengan penampungan air yang berjentik sehingga nyamuk dapat
berkembangbiak di lingkungan tersebut(Muslim, 2004).

b. Filariasis

Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Wucheria Bancrofti


dimana vektor dari virus ini adalah nyamuk Culex, Anopheles, dan Aedes.
Dalam hal lain disebut juga filariasis bahwa Filariasis (penyakit kaki gajah)
adalah penyakit rnenular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dengan
vektor penyebaran oleh nyamuk Mansonia, Anopheles, Culex, Armigeres.
Cacing filariasis hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan
manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan
saluran kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembengkakan di bagian kaki, lengan,payudara dan alat
kelamin (Masrizal, 2013).
c. Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit akut pada usus halus dimana penyakit
ini disebabkan oleh agent bakteri Salmonella typhi yang masuk melewati
mulut dari makanan yang tercemar. Hal tersebut disebabkan karena sanitasi
makanan yang buruk. Vector dari bakteri salmonella typhi ini adalah lalat.
Dimana lalat merupakan serangga yang sering hinggap dimakanan sehingga
makanan tersebut dapat tercemar Penularan demam tifoid dapat terjadi
melalui berbagai cara, biasanya dikenal dengan 5F yaitu food atau makanan,
finger atau jari tangan yang kotor, fomitus atau muntahan dari penderita, fly
atau lalat, feses atau tinja dan urin penderita. Feses dan muntahan dari
penderita demam tifoid dapat menularkan bakteri Salmonella typhi kepada
orang lain (Nuruzzaman and Syahrul, 2016).
d. Leptospirosis
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh agent bakteri
leptospera Sp. Dalam penyebaranya, mamalia merupakan vector dari penyakit
ini. Diantara banyak mamalia yang menjadi reservoir penyebaran penyakit
leptospirosis, tikus merupakan vector utama dalam peranannya (Mulyono et
al., 2016). Leptospira dapat ditularkan melalui urin yang mamalia terinfeksi,
melalui invasi mukosa atau kulit yang tidak utuh. Infeksi dapat terjadi dengan
kontak langsung atau melalui kontak dengan air atau tanah yang tercemar.
Pada keadaan menguntungkan, leptospira dapat bertahan selama 16 hari di air
dan 24 hari di tanah. Petani, pegawai kebersihan (pembuang samapah),
pemelihara binatang, orang yang berolah raga air, dan nelayan merupakan
kelompok risiko tinggi terkena leptospirosis (Bobby Setadi, Andi Setiawan,
Daniel Effendi, & Sri Rezeki S Hadinegoro, 2001)
G. Lembaga yang bertanggung jawab

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit


(B2P2VRP) mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di
bidang pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor, reservoir, dan
zoonosis.

Dalam melaksanakan tugas, B2P2VRP menyelenggarakan fungsi:

a. penyusunan rencana, program, dan anggaran kegiatan 
B2P2VRP;



b. pelaksanaan penelitian dan kajian di bidang pencegahan 
dan
pengendalian penyakit tular vektor, reservoir, dan zoonosis; 

c. pelaksanaan pengembangan metoda, model, dan teknologi di bidang
pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor, reservoir, dan
zoonosis;
d. pelaksanaan pelayanan uji pestisida vektor dan reservoir penyakit; 

e. pengelolaan sarana penelitian dan pengembangan di bidang
pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor, reservoir, dan
zoonosis; 

f. pelaksanaan diseminasi, publikasi, dan advokasi hasil- hasil penelitian
dan pengembangan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit
tular vektor, reservoir, dan zoonosis; 

g. pelaksanaan kerja sama dan jaringan informasi penelitian dan
pengembangan di bidang pencegahan dan pengendalian penyakit tular
vektor, reservoir, dan zoonosis; 

h. pelaksanaan bimbingan teknis penelitian dan pengembangan di bidang
pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor, reservoir, dan
zoonosis; 

i. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan; dan
j. pelaksanaan ketatausahaan Balai Besar. 

k. Dalam rangka penelitian dan pengembangan kesehatan, B2P2VRP
ditetapkan sebagai UPT rujukan pelayanan laboratorium entomologi.
H. Kajian keislaman
Al-Baqarah : 26-27

َ‫ضةا َف َما َف ْو َق َها َفأ َ َّما ا َّلذِينَ َءا َمنُوا فَ َي ْعلَ ُمونَ أَنَّهُ ْال َح ُّق ِم ْن َر ِب ِه ْم َوأَ َّما الَّذِين‬ َ ‫ب َمثَ اًل َما َبعُو‬ َ ‫َّللاَ ََل َي ْستَحْ ِيي أ َ ْن َيض ِْر‬
َّ ‫ِإ َّن‬
َ‫ُض ُّل بِ ِه إِ ََّل ْالفَا ِسقِينَ (*)الَّذِينَ يَ ْنقُضُون‬ ِ ‫يرا َو َما ي‬ ‫يرا َو َي ْهدِي بِ ِه َك ِث ا‬ ‫ُض ُّل بِ ِه َك ِث ا‬ َّ َ‫َكفَ ُروا فَيَقُولُونَ َماذَا أ َ َراد‬
ِ ‫َّللاُ بِ َهذَا َمث َ اًل ي‬
)*( َ‫ض أُولَئِكَ ُه ُم ْالخَا ِس ُرون‬
ِ ‫ص َل َويُ ْف ِسدُونَ فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫َّللاُ بِ ِه أ َ ْن يُو‬
َّ ‫طعُونَ َما أ َ َم َر‬
َ ‫َّللاِ ِم ْن بَ ْع ِد ِميثَاقِ ِه َويَ ْق‬
َّ َ‫َع ْهد‬

“Sesungguhnya Allâh tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk


atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka
yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir
mengatakan: “Apakah maksud Allâh menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan
perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allâh, dan dengan perumpamaan
itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan
Allâh kecuali orang-orang yang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar
perjanjian Allâh sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang
diperintahkan Allâh (kepada mereka)untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi..” (Qs.2:26-27)
Pada kalimat “sesungguhnya Allâh tiada segan membuat perumpamaan
berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” Perkataan ‫ يَ ْستَحْ يِي‬berasal dari ‫ال َحياء‬
yang berarti malu. ‫َّللاَ ََل يَ ْستَحْ يِي‬
َّ ‫ ِِ َّن‬Allâh SWT tidak merasa malu, artinya tidak segan,
tidak canggung, atau tidak takut dicela oleh siapapun. ‫ضةا‬ َ ‫ أ َ ْن يَض ِْر‬untuk
َ ‫ب َمثَ اًل َما بَعُو‬
membuat perumpamaan, perbandingan walau hanya dengan ‫ضةا‬ َ ‫ َبعُو‬yaitu serangga
terkecil seperti agas atau nyamuk atau yang lebih kecil dan lebih lemah dari itu. Kata
‫ فَ ْوقَ َها‬dalam bahasa Arab biasa berarti yang di atas.

Dalam konteks ini berarti yang lebih dari itu, baik dalam bentuk, kedudukan
atau sifatnya. ‫ضةا‬
َ ‫ َبعُو‬yang sering diartikan nyamuk, merupakan mahluk yang perlu
untuk dipelajari bukan hanya nyamuk secara utuh, namun apa saja yang terdapat pada
seekor nyamuk. Diantaranya morfologi, siklus hidup, lingkungan hidup serta penyakit
akibat nyamuk. Apakah nyamuk bisa dilambangkan sumber malapetaka seperti
demam berdarah dan kolera, ataukah sebagai sumber mata pencaharian seperti
produsen obat? Semua itu tergantung pada kemampuan manusia untuk mengambil
hikmah dari ciptaan Allâh SWT tersebut.
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa vektor adalah organisme


apa pun (vertebrata atau invertebrata) yang menyebarkan penyakit. Oleh karena itu,
diperlukan pengendalian vektor yang mencoba menekan jumlah vektor, sehingga
vektor dapat berkurang dan tidak membawa masalah pada kesehatan. Pengendalian
vektor ini memiliki standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan
kesehatan untuk vektor dan binatang pembawa penyakit yang ditetapkan pemerintah
dan digunakan untuk memantau perkembangan vektor agar tidak melampau target
yang telah ditetapkan. Badan yang bertanggungjawab dalam pengendalian vektor ini
adalah Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit
(B2P2VRP), yang bertugas untuk melakukan penelitian dan pengembangan metode,
model, sarana, dan program yang digunakan untuk mengendalikan vektor yang
seringkali menimbulkan masalah dalam kesehatan. Selain itu, dalam mengendalikan
vektor, manusia harus memperhatikan nilai nilai keislaman, sehingga tercipta
keseimbangan dalam lingkungan dan jauh dari kerusakan yang lebih buruk dari
sebelumnya.

3.2 Saran

Disarankan kepada pembaca untuk memberi masukan dan perbaikan kepada


penulis apabila terjadi kesalahan. Selain itu, disarankan untuk banyak membaca
referensi lain apabila makalah ini belum membuat pembaca mengerti dengan baik
tentang analisis lingkungan yang berkaitan dengan vektor.
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 50 Tahun


2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan Persyaratan
Kesehatan Untuk Vektor Dan Binatang Pembawa Penyakit Serta
Pengendaliannya. Jakarta

Kemenkes. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun

2017 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja
 Unit Pelaksana Teknis Di

Lingkungan
 Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta

Wilson, A.J,. dkk. 2017. What is a vector. Philosophical Transactions of the Royal
Society B: Biological Sciences. Vol 372. dalam
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5352812/ , diunduh pada 10
Juni 2019

Wijayanti, Tri. 2008. Vektor dan Resevoir. Balaba : Jurnal Litbang Pengendalian
Penyakit Bersumber Binatang Banjanegara. BALABA, Ed. 007, No. 02, Des
2008:18

Kementrian Kesehatan. 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 50 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan Dan
Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor Dan Binatang Pembawa Penyakit Serta
Pengendaliannya . http://peraturan.kemenkumham.go.id/kementerian-
kesehatan-nomor-50%20tahun%202017-tahun-2017.html

Indra Farida. 2013. Efektivitas Ekstrak Etanol Rimpang Alangalang (Imperata


Cylindrica) Sebagai Larvasida Nyamuk Aedes Aegypti L. Instar Iii.
http://etheses.uin-malang.ac.id/1215/

Bobby Setadi, Andi Setiawan, Daniel Effendi, & Sri Rezeki S Hadinegoro, 2001.
Leptospirosis. Sari Pediatri 3.
Candra, A., 2010. Dengue Hemorrhagic Fever: Epidemiology, Pathogenesis, and Its
Transmission Risk Factors 2, 10.

Masrizal, 2013. Penyakit Filariasis. J. Kesehat. Masy. 7.

Mulyono, A., Ristiyanto, R., Rahardianingtyas, E., Wicaksono putro, D.B., Joharina,
A.S., 2016. PREVALENCE AND IDENTIFICATION OF PATHOGENIC
Leptospira IN COMMENSAL RODENT FROM MAUMERE FLORES ORIGIN.
Vektora J. Vektor Dan Reserv. Penyakit 8, 31–40.
https://doi.org/10.22435/vk.v8i1.4411.31-40

Muslim, A., 2004. Faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Infeksi
Virus Dengue (Studi Kasus Di Kota Semarang) 5.

Nuruzzaman, H., Syahrul, F., 2016. Analisis Risiko Kejadian Demam Tifoid
Berdasarkan Kebersihan Diri dan Kebiasaan Jajan di Rumah. J. Berk. Epidemiol. 4,
13.

Anda mungkin juga menyukai