Anda di halaman 1dari 8

Nama Anggota Kelompok :

1. Amni Hamid (K1A018004)


2. Anisa Febriani (K1A018006)
3. Baiq Sopiatul Apriani (K1A018018)

PLASMODIUM FALCIPARUM (MALARIA)

1. ASPEK BIOLOGIS
A. Morfologi Plasmodium falciparum
Pada sediaan darah tebal atau tipis, parasit akan terlihat dalam beberapa
bentuk sesuai dengan stadiumnya, yaitu bentuk cincin atau trofozoit muda,
trofozoit tua (older trofozoit), skizon muda, skizon matang, dan gametosit. Pada
infeksi P. falciparum eritrosit yang terinfeksi tidak membesar. Di dalam darah
bentuk cincin stadium trofozoit muda P. falciparum sangat kecil, halus, dengan
ukuran kira-kira seperenam diameter eritrosit. Dalam satu eritrosit dapat
ditemukan lebih dari satu cincin (double infections atau multiple infections). Pada
membran eritrosit dapat ditemukan parasit dalam bentuk accole atau marginal. Inti
(kromatin) berwarna merah atau violet dan beberapa cincin dapat memiliki inti
lebih dari satu (double dots). Sitoplasma parasit halus, berwarna biru dan dapat
ditemukan pigmen yang disebut Maurer’s dot (Sutanto dan Muljono, 2008;
Pusarawati dan Tantular, 2008).
Stadium skizon muda P. falciparum dapat dikenal dengan mudah oleh
adanya satu atau dua butir pigmen yang menggumpal. Bila skizon sudah matang,
akan mengisi kirakira dua pertiga eritrosit dan membentuk 8-24 buah merozoit,
dengan jumlah rata-rata 16 buah merozoit. Skizon matang P. falciparum lebih
kecil daripada skizon matang parasit malaria yang lain (Sutanto dan Muljono,
2008).
Gametosit muda mempunyai bentuk agak lonjong, kemudian menjadi
lebih panjang atau berbentuk elips dan akhirnya mencapai bentuk khas seperti
sabit atau pisang sebagai gametosit matang. Gametosit untuk pertama kali tampak
di darah tepi setelah beberapa generasi mengalami skizogoni, biasanya 10 hari
setelah parasit pertama kali tampak dalam darah. Gametosit betina atau
makrogametosit biasanya lebih langsing dan lebih panjang dari gametosit jantan
atau mikrogametosit dan sitoplasmanya lebih biru dengan pulasan
Romanowsky/Giemsa. Intinya lebih kecil dan padat, berwarna merah tua dan
butir-butir pigmen tersebar di sekitar inti. Mikrogametosit berbentuk lebih lebar
dan seperti sosis. Sitoplasmanya biru pucat atau agak kemerah-kemerahan dan
intinya berwarna merah muda, besar dan tidak padat, butir-butir pigmen tersebar
di sitoplasma sekitar inti (Sutanto dan Muljono, 2008).
B. Bentuk Hidup
Ketika nyamuk Anopheles betina menggigit manusia, maka air liur nyamuk
tersebut akan masuk ke dalam tubuh manusia. Dalam air liur tersebut terkandung
zat anti pembekuan darah dan sel-sel Plasmodium yang disebut sporozoit.
Sporozoit selanjutnya akan ikut dalam aliran darah menuju ke sel hati. Dalam sel
hati, sporozoit melakukan pembelahan berkalikali membentuk merozoit. Merozoit
selanjutnya akan menginfeksi sel darah merah hingga rusak dan pecah. Merozoit-
merozoit tersebut sebagian akan menginfeksi sel darah merah lainnya, dan
sebagian lagi akan membentuk gametosit.
Ketika berada dalam dinding usus nyamuk Anopheles betina, gametosit akan
menghasilkan gamet jantan (makrogametosit) dan gametosit betina
(mikrogametosit). Jadi, gametosit akan masuk kembali ke dalam tubuh nyamuk
ketika nyamuk tersebut menghisap darah manusia yang telah terinfeksi. Setelah
terjadi pembuahan, maka terbentuklah zigot yang selanjutnya tumbuh menjadi
oosit, dan oosit akan tumbuh membentuk sporozoit kembali.

2. ASPEK EPIDEMIOLOGI
Secara alamiah, penularan malaria terjadi karena adanya interaksi antara
finitive (nyamuk Anopheles spp) dan host intermediate (manusia). Karena itu,
penularan malaria dipengaruhi oleh keberadaan dan fluktuasi populasi vektor
(penular yaitu nyamuk Anopheles spp), yang salah satunya dipengaruhi oleh
intensitas curah hujan, serta sumber parasit Plasmodium spp atau penderita di
samping adanya host yang rentan. Sumber parasit Plasmodium spp. adalah host
yang menjadi penderita positif malaria Tapi di daerah endemis malaria tinggi,
seringkali gejala klinis pada penderita tidak muncul (tidak ada gejala klinis)
meskipun parasit terus hidup di dalam tubuhnya. Ini disebabkan adanya perubahan
tingkat resistensi manusia terhadap parasit malaria sebagai akibat tingginya
frekuensi kontak dengan parasit, bahkan di beberapa negara terjadinya kekebalan
ada yang diturunkan melalui mutasi genetik. Keadaan ini akan mengakibatkan
penderita carrier (pembawa penyakit) atau penderita malaria tanpa gejala klinis
(asymptomatic), setiap saat bisa menularkan parasit kepada orang lain, sehingga
kasus baru bahkan kejadian luar biasa (KLB) malaria bisa terjadi pada waktu yang
tidak terduga.
Selain penularan secara alamiah, malaria juga bisa ditularkan melalui
transfusi darah atau transplasenta dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya.
Kejadian luar biasa (KLB) ditandai dengan peningkatan kasus yang disebabkan
adanya peningkatan populasi vektor sehingga transmisi malaria meningkat dan
jumlah kesakitan malaria juga meningkat. Sebelum peningkatan populasi vektor,
selalu didahului perubahan lingkungan yang berkaitan dengan tempat perindukan
potensial seperti luas perairan, flora serta karakteristik lingkungan yang
mengakibatkan meningkatnya kepadatan larva. Untuk mencegah KLB malaria,
maka peningkatan vektor perlu diketahui melalui pengamatan yang terus menerus
(surveilans). Ketika parasit dalam bentuk sporozoit masuk ke dalam tubuh
manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles spp, kurang lebih dalam waktu 30
menit akan sampai ke dalam sel hati. Selanjutnya akan melakukan siklus dalam
sel hati dengan berubah dari sporozoit menjadi schizon hati muda, kemudian tua
dan matang. Selanjutnya schizon hati yang matang akan melepaskan merozoit
untuk masuk ke dalam sistem sirkulasi.

3. ASPEK PATOGENESIS

A. Siklus Hidup Parasit Plasmodium falciparum


Siklus hidup parasit plasmodium falciparum terjadi dalam dua hospes yang
berbeda,yaitu didalam tubuh hospes definitif Anopheles betina dan didalam tubuh
manusia. Di dalam hospes definitif nyamuk Anopheles sp betina (bertindah
sebagai vektor), terjadi pembiakan seksual (sporogoni), disebut juga fase
ekstrinsik. Pada waktu nyamuk menghisap darah penderita penyakit malaria,
semua stadium yang ada di dalam darah akan terisap masuk ke dalam lambung
nyamuk.Hanya bentuk gametosit (makrogametosit dan mikrogametosit) yang
dapat bertahan dan melanjutkan siklusnya.Kemudian terjadi pematangan
gametosit menjadi gamet (makro dan mikrogamet).mikrogametosis mengalami
pembelahan inti menjadi inti multiple yang matang dengan exflagellasi, yaitu
suatu proses dalam 10-12 menit menjadi mikrogamet,keluar dari eritrosit dan
motil.
Makrogametosit berkembang menjadi makrogamet yang intinya bergeser
kepermukaan yang merupakantempat masuknya mikrogamet kedalam
makrogamet pada waktu fertilisasi. Makrogamet yang telah mengalami fertilisasi
disebut zigot. Kurang lebih 20 menit setelah fertilisasi terbentuk semacam
pseudopodi dan terjadi perubahan bentuk menjadi lebih langsing, bentuk motil ini
disebut ookinet. Ookinet akan bergerak dan menembus dinding usus untuk
menempel pada permukaan luar dinding usus tersebut. Ookinet membentuk
dinding tipis dan tumbuh menjadi ookista yang berukuran kurang lebih 50 m.
Terjadi pematangan ookista dengan pembelahan inti dan transformasi sitoplasma
membentuk beribu-ribu sporozoit yang berada didalam ookista,ookista matang
dalam 4-15 hari (tergantung suhu) setelah nyamuk mengisap gametosit.Ookista
matang akan pecah,sporozoit (berukuran 10-14 m) berhamburan kedalam rongga
tubuh nyamuk,diantaranya ada yang sampai ke kelenjar air liur nyamuk.Nyamuk
infektif, yaitu nyamuk yang siap mengeluarkan sporozoit dengan air
liurnya.Waktu nyamuk mengisap darah yang mengandung gametosit sampai
nyamuk tersebut mengandung sopozoit dalam kelenjar liurnya disebut masa tunas
ekstrinsik.
Di dalam hospes perantara (manusia) terjadi pembiakan aseksual (skizogoni)
disebut juga fase intinsik. Manusia terinfeksi jika melalui gigitan nyamuk,
sporozoit masuk ke dalam tubuhnya. Sporozoit cepat meninggalkan aliran darah
dan setelah kurang lebih 1 jam semuanaya telah meninggalkan aliran darah, pada
waktu ini telah ditemukan dalam sel hati, mulailah stadium dalam sel hati.
Stadium dalam hati disebut skizogoni eksoeritrositer primer (EE schizogony).
Sporozoit menjadi bundar atau oval, disebut skizon eksoeritrositik yang berukuran
24-60m, intinya cepat membelah.Skizogoni eksoeritrositer primer akan berakhir
jika merozoit masuk ke dalam eritrosit. Untuk plasmodium vivax dan plasmodium
ovale, terdapat stadium istirahat atau stadium eritrositik skizozoit (disebut juga
hipnozoit), satu, dua generasi atau lebih dari merozoit EE muncul setelah eritrosit
diinvasi. Invasi pada eritrosit dimulai dengan masuknya merozoit EE ke dalam
eritrositatau retikulosit. Merozoit memiliki permukaan yang lengket untuk
berhubungan dengan eritrosit, dan kompleksapikal dari roptris, mikronem dan
cincin polar untuk invasi,juga memiliki organel metabolik seperti ribosom dan
nukleus kompleks serta struktur lain. Dalam eritrosit merozoit membentuk
vakuola berbentuk cincin, kadang-kadang ameboit dan berinti tunggal disebut
trofozoit sampai inti mulai membelah. Makanannya hemoglobin yang tidak akan
dimetabolisasi sempurna sehingga akan tersisa globin dan Fe.
Pigmen malaria merupakan ikatan hematin (ferrihemic acid) dengan protein.
Trofozoit tumbuh sampe intinya membelah dengan cara mitosis, vakuola berisi,
ameboid motiliti akan terhenti, dan akan berubah menjadi skizon matang. Skizon
matang ini menjadi skizogoni eritrositer, eritrosit pecah keluar merozoit
eritrositer, merozoit masuk ke dalam aliran darah. Banyak diantaranya hancur oleh
kekebalan hospes, tetapi yang lainnya menginvasi eritrosit dan mulai menjalani
siklus skizogoni eritrositer baru. Setelah 2 atau 3 generasi siklus eritrositer,
fenomena gametositogenik dimulai. Beberapa merozoit intraseluler tidak
membentuk skizon akan tetapi berkembang menjadi bakal kelamin jantan
(makrogametosit) atau bakal kelamin betina (mikrogametosit). Waktu antara
nyamuk memasukkan sporozoit ke dalam tubuh manusia sampai ditemukannya
bentuk cincin (sporozoit muda) dalam darah perifer disebut masa tunas intrinsik.

B. Gejala atau Tanda-Tanda Penyakit Malaria


Penyakit malaria diawali gejala prodromal yang tidak sfesifik diantaranya
lesu, sakit kepala, anoreksi, nousea, dan vomitus. Bahkan, terjadi demam yang
tidak teratur. Kemudian diikuti gejala demam yang khas dengan splenomegali dan
anemi yang dikenal sebagai trias malaria.
a. Demam Malaria
Setelah melewati masa tunas intrinsik, muncul gejala malaria yaitu demam.
Demam timbul secara periodik, bersamaan dengan sporulasi. Jenis demam
pada malaria menurut ulangan demamnya ada 2 jenis utama yaitu, tertiana dan
kuartana. Demam paroksimal tertiana, yaitu demam yang berulang setiap 48
jam atau setiap hari ketiga, terjadi pada malaria vivax, falciparum dan ovale;
sedangkan demam paroksimal kuartana, yaitu demam yang berulang setiap 72
jam atau setiap minggu keempat, terjadi pada malaria malariae. Pembagian
demam lainnya (menurut puncak demam), yaitu demam intermittens, demam
remitens atau demam kuotidiana. Demam remiten yaitu berulangnya demam
tanpa ditemukan periode suhu normal, sedangkan demam kuotidiana jika
demam terjadi setiap hari. Munculnya demam juga tergantung jumlah parasit.
Berat infeksi seseorang ditentukan dengan menghitung paarsit pada sediaan
darah.
Serangan demam malaria terjadi selama 2-12 jam.Demamnya khas
terdiri atas 3 stadium, yaitu stadium rigoris (menggigil), penderita menggigil
seperti kedinginan walaupun suhu terus menerus naik,stadium ini berlangsung
selama 15-60 menit.Stadium akme (puncak demam), pada suhu ini suhu tetap
tinggi mencapai 41oC dan berlangsung selama 2-6 jam. stadium sudoris, suhu
mulai turun disertai banyak berkeringat, sampai mencapai suhu normal,
berlangsung selama 2-4 jam.Berbagai teori telah dikemukakan sebagai
penyebab timbulnya demam pada penyakit malaria, antara lain dihubungkan
dengan sporulasi (pecahnya eritrosit dan keluarnya merozoit kedalam cairan
darah) sehingga parasit berdasarkan partikel lainnya yang merupakan antigen
akan masuk ke cairan darah yang diikuti reaksi antigen-antibodi maka
terjadilah demam. Malaria dengan serangan demam dapat bersifat akut, akan
tetapi dapat menjadi kronis dengan eksaserbasi akut.
Splenomegali dan hepatomegali.Terjadinya kongesti aliran darah serta
hipertrofi dan hiperplasi sistem retikuloendotelial (RES) menyebabkan
pembesaran limpa (splebomegali), terkadang disertai pembesaran hati
(hepatomegali). Sel makrofag dalam darah bertambah, terjadi monositosis.
Pembesaran limpa pada awalnya lunak, mudah pecah dan nyeri sehingga
perabaan limpa tersebut harus hati-hati. Pada stadium kronik, limpa kelabu,
besar, dan keras.
b. Anemi
Anemi ini memiliki tipe hemolitik, normokrom, normositer yang
disebabkan oleh hancurnya eritrosit pada waktu sporulasi;derajat fagositosis
RES meningkat,akibatnya lebih banyak eritrosit yang dihancurkan; umur
eritosit menjadi lebih pendek dan depresi eritropoesis (pembentukan eritrosit
berkurang).
4. ASPEK DIAGNOSIS
Dikenal dua jenis diagnosis,yaitu diagnosis klinik dan diagnosis
laboratorium.Diagnosis klinik didasarkan gambaran demamyang khas,adanya
splenomegali dengan atau tanpa hepatomegali serta ditemukannya anemi. Hal ini
diperkuat jika penderita berasal atau berada di daerah endemik malaria ataupun
beberapa waktu yang lalu pernah berkunjung ke daerah endemik.Untuk kepastian
perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosa laboratorium ditegakkan dengan menemukan Plasmodium sp. di
dalam eritrosit . Sediaan darah sebaiknya dibuat setelah puncak demam terutama pada
infeksi oleh plasmodium falciparum sebab untuk plasmodium lainnya dapat dibuat
setiap saat. Untuk menemukan parasit dalam sediaan darah, tergantung pada derajat
parasitemia dan ambang mikroskopis. Dapat juga ditemukan pigmen malaria dalam
sel fagosit dan alat-alat dalam. Pemeriksaan darah dapat dilakukan pada setiap kasus
yang diduga malaria pada saat pertama kali berobat, jika hasilnya negatif, diulang
setiap 6 jam dan baru dinyatakan negatif jika setelah 3-4 hari dilakukan pemeriksaan
dan tidak ditemukan parasitnya. Pemeriksaan darah, sebaiknya dilakukan dengan dua
cara yaitu, apus darah dan tetes darah tebal. Pemeriksaan apus darah dilakukan selama
30 menit sedangkan tetes darah tebal 15 menit. Apus darah berhasil baik pada kasus
malaria berat dan sedang karena kasus ringan parasit dalam eritrosit jumlahnya masih
sedikit. Tetes darah tebal, dapat dilakukan pada malaria ringan.

5. ASPEK PEMBERANTASAN
A. Pencegahan
Pencegahan malaria secara garis besar mencakup tiga aspek sebagai berikut:
a. Mengurangi pengandung gametosit
Mengurangi pengandung gametosit merupakan sumber infeksi
(reservoar). Hal tersebut dapat dicegah dengan jalan mengobati penderita
malaria akut dengan obat yang efektif terhadap fase awal dari siklus eritrosit
aseksual sehingga gametosit tidak sempat terbentuk di dalam darah penderita.
Selain itu, jika gametosit telah terbentuk dapat dipakai jenis obat yang secara
spesifik dapat membunuh gametosit (obat gametosida).
b. Memberantas nyamuk sebagai vektor malaria
Memberantas nyamuk dapat dilakukan dengan menghilangkan tempat-
tempat perindukan nyamuk,membunuh larva atau jentik dan membunuh
nyamuk dewasa. Pengendalian tempat perindukan dapat dilakukan dengan
menyingkirkan tumbuhan air yang menghalangi aliran air, melancarkan aliran
saluran air dan menimbun lubang-lubang yang mengandung air. Jentik
nyamuk diberantas dengan menggunakan solar atau oli yang dituangkan ke
air, memakai insektisida, memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk (ikan
kepala timah atau Gambusia Affinis), memelihara Crustacea kecil pemangsa
jentik (Genus Mesocyclops) atau memanfaatkan bakteri Bacillus thuringiensis
yang menginfeksi dan membunuh jentik nyamuk. Untuk negara-negara
berkembang, telah ditemukan teknologi sederhana untuk mengembangbiakkan
bakteri di atas dengan memakai air kelapa sebagai media kulturnya.
Nyamuk dewasa dapat diberantas dengan menggunakan insektisida,
biasanya dengan cara disemprotkan. Peran DDT sekarang diganti oleh
insektisida sintetis dari golongan kimia lain, yang masih efektif. Akhir-akhir
ini telah dikembangkan teknik genetika untuk mensterilkan nyamuk
Anopheles dewasa (Putu Sutisna, 2003).
c. Melindungi orang yang rentan dan berisiko terinfeksi malaria
Secara prinsip upaya ini dikerjakan dengan cara sebagai berikut:
1) Mencegah gigitan nyamuk
2) Memberikan obat-obat untuk mencegah penularan malaria
3) Memberi vaksinasi (belum diterapkan secara luas dan masih dalam tahap
riset atau percobaan di lapangan).
DAFTAR PUSTAKA

Sutanto, I. dan R. Muljono. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran: Plasmodium


falciparum (edisi ke-4). Balai Penerbit FK UI, Jakarta, Indonesia.

Pusarawati, S., dan I.S. Tantular. 2008. Diagnostik Mikroskopis Malaria Pewarnaan Giemsa
dan Acridine Orange (AO).

Soegijanto,Soegeng.2016.Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia Jilid


1.Airlangga University Press:Surabaya.

Hakim,Lukman. (2011). Malaria: Epidemiologi dan Diagnosis. Aspirator. Vol. 3 (2) : 107-
114.

Agoes,R dan D.Natadisastra.2009. Parasitologi Kedokteran ditinjau dari organ tubuh yang
diserang.EGC:Jakarta.

Arsin, Andi Arsunan. 2002. MALARIA DI INDONESIA: Tinjauan Aspek Epidemiologi.


Makassar : Masagena Press.

Anda mungkin juga menyukai