PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit cacingan merupakan penyakit yang diakibatkan infeksi cacing atau helminth.
Penyakit ini merupakan penyakit endemik kronik dan cenderung tidak mematikan namun
menimbulkan berbagai masalah seperti menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktivitas. Penyakit kecacingan banyak menimbulkan kerugian karena menyebabkan
berkurangnya penyerapan zat gizi makronutrien seperti karbohidrat dan protein, serta
menimbulkan berkurangnya jumlah darah dalam tubuh. Penderita penyakit cacingan biasanya
mempunyai gejala lemah, lesu, pucat, kurang bersemangat, berat badan menurun, batuk, dan
kurang konsentrasi dalam belajar. Tentunya hal ini akan menurunkan kualitas sumber daya
manusia karena menyebabkan gangguan tumbuh kembang serta mempengaruhi kognitif
manusia. (Halleyantoro, Riansari and Dewi, 2019)
Salah satu bentuk penyakit kecacingan adalah terinfeksi oleh cacing melalui tanah atau
disebut Soil Transmitted Helminths (STH) yang kemudian berkembang di dalam usus. Jenis
cacing yang banyak menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris
trichiura). (Halleyantoro, Riansari and Dewi, 2019)
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki berbagai faktor risiko
untuk dapat menyebabkan infeksi STH menjadi berkembang, yaitu seperti iklim tropis yang
lembab, kebersihan perorangan dan sanitasi yang kurang baik, tingkat pendidikan dan sosial
ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk yang tinggi serta kebiasaan hidup yang kurang baik.
(Noviastuti, 2015)
Untuk di Indonesia sendiri, insidensi infeksi STH terutama yang diakibatkan cacing
tambang cukup tinggi di daerah pedesaan, khususnya terjadi pada pekerja di daerah perkebunan
yang setiap harinya berkontak langsung dengan tanah. (Noviastuti, 2015)
Penyebaran infeksi cacing tambang tersebut berhubungan erat dengan kebiasaan Buang
Air Besar (BAB) masyarakat desa di tanah. Hal tersebut dalam memicu terbentuknya tanah yang
gembur, berpasir dan bertemperatur sekitar 23-32 °C, yang merupakan tempat yang paling sesuai
untuk pertumbuhan larva cacing tambang. (Noviastuti, 2015)
Selain itu kebiasaan mereka yang tidak menggunakan alas kaki saat bekerja dan tidak
mencuci tangan sebelum makan yang akan menyebabkan para petani terinfeksi cacing tersebut.
Selain petani, anak-anak umur sekolah dasar merupakan golongan yang paling sering terinfeksi
STH dengan cara penularan yang sama. (Noviastuti, 2015)
Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi yakni bervariasi
antara 2,5%-62%, terutama penduduk yang kurang mampu, sanitasi yang kurang baik. Secara
global di Asia 819 juta orang terinfeksi Ascaris lumbricoides, 464,6 juta orang terinfeksi
Trichuris trichiura dan 438,9 juta orang terinfeksi hookworm, mencapai 67% kemudian infeksi
STH yang mengenai anak usia 6-12 tahun (usia anak SD) mencapai 189 juta anak. (Sanuriza et
al., 2021)
B. Rumusan Masalah
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi cacing
tambang di Desa Rejoso dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apakah perilaku masyarakat berhubungan dengan
kejadian infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
b. Untuk mengetahui apakah pendidikan berhubungan dengan kejadian
infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
c. Untuk mengetahui apakah pengetahuan masyarakat berhubungan dengan
kejadian infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
d. Untuk mengetahui apakah sosial ekonomi masyarakat berhubungan
dengan kejadian infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
e. Untuk membuat program dalam mengatasi masalah penyakit akibat cacing
tambang (hookworm)
BAB II
A. SKENARIO
HOOKWORM DISEASE
Desa Rejoso adalah salah satu desa di Kecamatan Karang Kabupaten Damai. Di desa
tersebut terdapat Sekolah Dasar (SDN) dengan 173 siswa. Data tahun kemarin menunjukkan
bahwa kejadian infeksi cacing tambang pada siswa SDN Rejoso 20,5%. Perilaku buang air
besar di sekitar rumah 44,2% perilaku anak-anak yang biasa bermain dengan tanah sebesar
54,2%.
Kota Damai khususnya Kecamatan Karang memiliki wilayah perkebunan seluas 5.000 hektar,
berupa tanah kering yang merupakan tanah yang sesuai dengan perkembangan cacing
tambang. Kepala keluarga (KK) umumnya (65%) berpendidikan sekolah menengah pertama
dan dasar, dengan pekerjaan umumnya (67%) tani atau buruh tani. Penghasilan orang tua
siswa sebagian besar (66%) masih di bawah upah minimum kota (UMK), 83% rumah mereka
memiliki lahan pekarangan atau lahan pertanian. Dalam kegiatan pekerjaan mereka KK
umumnya (76%) tidak menggunakan alas kaki.
Tanah kering
DIAGRAM FISH BONE
B. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
1. INPUT
Jamban merupakan tempat buang air buangan yang berfungsi menyimpan atau
menampung sementara. Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding
dengan area permukiman, maka masalah pembuangan kotoran manusia meningkat
dilihat dari segi kesehatan masyarakat yang menjadi masalah pokok untuk dapat
diatasi karena kotoran manusia (feaces) adalah sumber penyebaran penyakit. Solusi
yang dapat dilakukan yaitu dengan bisa diberikan bantuan melalui pemerintah untuk
dapat dibuatkan toilet atau jamban umum. Kemudian edukasi terkait pentingnya
menggunakan jamban dalam buang air besar supaya tidak menularkan atau terjadi
penyebaran penyakit.
b. Pekerjaan
Pekerjaan buruh tani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian, utamanya
dengan cara pengelolaan pada tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan atau
memelihara tanaman. Kebanyakan di daerah pedesaan itu warga bekerja sebagai
buruh tani karena banyak memiliki lahan. Pada pekerja buruh tani ini karena sering
sekali berada di lokasi tanah maka sangat mudah dapat terkontaminasi atau terjadi
penumbuhan penyakit infeksi cacing contohnya yang dimana akan menyebabkan
untuk pekerja para buruh tani mudah terinfeksi dari penyakit tersebut atau
penumbuhan cacing maupun larva. Solusi yang dapat dilakukan adalah kita
mengedukasi para buruh tani warga agar menggunakan APD pada saat bekerja di
lokasi. terutama memakai sepatu boots pada saat bekerja agar terhindar dari
kontaminasi atau kontak secara langsung dengan tanah.
c. Pendidikan Rendah
Pendidikan yang rendah adalah pendidikan yang tidak mencapai tahap sarjana atau
SMA yang hanya sampai di tingkat SD atau SMP. Banyak masyarakat kurang akan
pendidikan karena terkait pembiayaan atau jangkauan akses pendidikan atau
pengetahuannya. Di masyarakat tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan
seseorang untuk kurang dalam pengetahuan dan pola pemikirannya maupun wawasan
mengenai kesehatan maupun yang lainnya. Sehingga masyarakat tersebut kurang
akan pola pikir penjagaan mengenai kebersihan atau kesehatan. Solusinya adalah
dengan cara diberikan edukasi atau sosialisasi terhadap masyarakat tersebut. Lalu
dapat membantu dengan cara meningkatkan pendidikan melalui kejar paket dan
bekerja sama dengan pemerintah terkait pembangkitan pendidikan.
Status sosial ekonomi yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status
kesehatan masyarakat. Masyarakat yang tingkat sosial ekonominya rendah akan sulit
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena sosial ekonomi rendah tersebut
maka kemampuan masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan itu sangat
sulit. Solusinya yaitu dengan cara bekerja sama dengan lintas sektor dalam upaya
meningkatkan SDA. Solusi lainnya bisa mengajak pemerintah untuk membuat akses
jalan yang mudah untuk para warga yang susah akan jangkauan dari pelayanan
kesehatan maupun mencari peluang ekonomi.
2. PROSES
Aktivitas anak-anak atau petani yang dilakukan tanpa menggunakan alas kaki
infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) dapat terjadi akibat kebiasaan jarang
menggunakan alas kaki saat beraktivitas, baik ketika bekerja atau aktivitas lain di
luar rumah. Kebersihan dan perawatan kaki sangat penting karena dapat
mencegah dan memutus hubungan bibit penyakit ke dalam tubuh, sehingga dapat
menghindari infeksi kecacingan ataupun infeksi pada suatu luka (Abe et al., 2015;
Sehat) dalam aktivitas sehari-hari, terutama mengenai resiko penyakit yang dapat
terjadi apabila tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas. Selain itu, juga
dapat memberikan bantuan alas kaki (sandal untuk anak-anak atau sepatu boot
yaitu di empang atau kolam lele dan sungai (Hayana, Marlina and Kurnia, 2018).
lainnya. Lalat yang hinggap di atas tinja yang mengandung kuman penyakit dapat
menularkan telur cacing dan kuman lainnya melalui makanan yang dihinggapinya
yang nantinya makanan tersebut akan dimakan oleh manusia (Ali, Zulkarnaini
Sehat) dalam aktivitas sehari-hari, terutama mengenai akibat dari perilaku BABS
(Buang Air Besar Sembarangan) seperti penyakit infeksi yang dapat terjadi.
Selain itu juga bisa dilakukan pembangunan jamban untuk masyarakat umum
Pembangunan jamban bisa melakukan kerja sama dengan kepala desa setempat
3. LINGKUNGAN
a. Kurangnya Kebijakan yang Mendukung Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
b. Tanah Kering
c. Peran Masyarakat
PENYUSUNAN PROGRAM
a) Sosialisasi PHBS
Sosialisasi mengenai pentingnya penggunaan alas kaki, cara mencuci tangan yang baik dan
benar, serta sosialisasi tidak boleh BAB sembarangan yang akan disampaikan oleh Dokter /
Tenaga Kesehatan atau sukarelawan atau mahasiswa. Disini akan dijelaskan secara teoritis
mengenai faktor resiko, pencegahan dan akibat yang dapat ditimbulkan dari masing - masing
materi.
b) Pembuatan Aturan
Setelah dilakukan sosialisasi maka aparat desa harus menyusun aturan untuk
meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap PHBS yang telah disampaikan agar mengurangi
dan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh cacing tambang.
c) Penyediaan alas kaki, tempat cuci tangan, dan poster dilarang BAB sembarangan
Penyediaan alas kaki, tempat cuci tangan dan poster dilarang BAB sembarangan. upaya
tersebut dilakukan untuk mencegah masyarakat setempat terinfeksi cacing tambang.
Berkoordinasi lintas sektoral untuk membangun tempat jamban umum untuk masyarakat
setempat, dimana hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat penularan dan infeksius dari
cacing tambang. Sehingga terjadi penurunan angka kejadian infeksi cacing tambang di wilayah
tersebut.
3.3 Upaya/ Kegiatan Perbaikan Sosio - Ekonomi
Berkoordinasi dengan lintas sektoral sesuai dengan keadaan dan keahlian SDM setempat,
seperti melakukan Kerjasama dengan bidang pertanian untuk bercocok tanam yang dimana
hasilnya dapat dijual untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Ataupun bekerjasama antar
masyarakat untuk membuat suatu kerajinan atau olahan makanan yang dapat dijual sebagai
upaya meningkatkan ekonomi masyarakat. Sehingga hal ini diharapkan dapat menunjang
Pendidikan masyarakat, dan ketersediaan fasilitas untuk pola hidup yang lebih sehat.
BAB IV
A. Scoring
Parameter Masalah
A B
Prevalence 5 3
Severity 2 4
Rate % Incraese 4 3
Social Benefit 5 4
Public Concern 5 3
Resources Availability 5 4
Total 32 : 8 = 4 31 : 8 = 3,9
Keterangan :
Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada skenario diatas dapat menggunakan sistem
skoring. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyelesaian masalah berdasarkan skala
prioritas dari yang tertinggi sampai yang terendah.
1 Sosialisasi PHBS 4 4 3 2 24
2 Pembuatan Jamban 4 3 2 4 6
Umum
3 Perbaikan Sosio- 3 4 4 3 16
ekonomi
Keterangan :
M : Magnitude, yaitu besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi/ kegiatan ini
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain).
I : Implementasi, yaitu sensitifnya dalam mengatasi masalah;
V : Viability, yaitu kelanggengan selesainya masalah apabila kegiatan ini dilaksanakan.
C : Cost, biaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah.
P : Prioritas kegiatan atau pemecahan masalah dengan rumus P = (M x I x V)/C
Berdasarkan tabel perbaikan prioritas masalah yang dilakukan dengan metode skoring,
maka prioritas pertama penyelesaian masalah yang kami lakukan adalah sosialisasi PHBS
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Ali, R.U., Zulkarnaini, Z. and Affandi, D., 2016. Hubungan personal hygiene dan sanitasi
lingkungan dengan angka kejadian kecacingan (soil transmitted helminth) pada petani sayur di
kelurahan maharatu kecamatan marpoyan damai kota pekanbaru. Dinamika Lingkungan
Indonesia, 3(1), pp.24-32.
Alim, N., Simarmata, M. M., Gunawan, B., Purba, T., Juita, N., Herawati, J., ... & Inayah, A. N.
(2022). Pengelolaan Lahan Kering. Yayasan Kita Menulis.
Halleyantoro, R., Riansari, A. and Dewi, D. P. (2019) ‘INSIDENSI DAN ANALISIS FAKTOR
RISIKO INFEKSI CACING TAMBANG PADA Abstrak’, Jurnal Kedokteran Raflesia, 5(1), pp.
2622–8344.
Noviastuti, A. R. (2015) ‘Infeksi Soil Transmitted Helminths’, Majority, 4(8), pp. 107–116.
Wijaya, N.H., Anies, A., Suhartono, S., Hadisaputro, S. and Setyawan, H., 2016. Faktor risiko kejadian
infeksi cacing tambang pada petani pembibitan albasia di Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo.
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 1(1), pp.15-24.