Anda di halaman 1dari 18

● BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit cacingan merupakan penyakit yang diakibatkan infeksi cacing atau helminth.
Penyakit ini merupakan penyakit endemik kronik dan cenderung tidak mematikan namun
menimbulkan berbagai masalah seperti menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan
produktivitas. Penyakit kecacingan banyak menimbulkan kerugian karena menyebabkan
berkurangnya penyerapan zat gizi makronutrien seperti karbohidrat dan protein, serta
menimbulkan berkurangnya jumlah darah dalam tubuh. Penderita penyakit cacingan biasanya
mempunyai gejala lemah, lesu, pucat, kurang bersemangat, berat badan menurun, batuk, dan
kurang konsentrasi dalam belajar. Tentunya hal ini akan menurunkan kualitas sumber daya
manusia karena menyebabkan gangguan tumbuh kembang serta mempengaruhi kognitif
manusia. (Halleyantoro, Riansari and Dewi, 2019)

Salah satu bentuk penyakit kecacingan adalah terinfeksi oleh cacing melalui tanah atau
disebut Soil Transmitted Helminths (STH) yang kemudian berkembang di dalam usus. Jenis
cacing yang banyak menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris
trichiura). (Halleyantoro, Riansari and Dewi, 2019)

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki berbagai faktor risiko
untuk dapat menyebabkan infeksi STH menjadi berkembang, yaitu seperti iklim tropis yang
lembab, kebersihan perorangan dan sanitasi yang kurang baik, tingkat pendidikan dan sosial
ekonomi yang rendah, kepadatan penduduk yang tinggi serta kebiasaan hidup yang kurang baik.
(Noviastuti, 2015)

Untuk di Indonesia sendiri, insidensi infeksi STH terutama yang diakibatkan cacing
tambang cukup tinggi di daerah pedesaan, khususnya terjadi pada pekerja di daerah perkebunan
yang setiap harinya berkontak langsung dengan tanah. (Noviastuti, 2015)
Penyebaran infeksi cacing tambang tersebut berhubungan erat dengan kebiasaan Buang
Air Besar (BAB) masyarakat desa di tanah. Hal tersebut dalam memicu terbentuknya tanah yang
gembur, berpasir dan bertemperatur sekitar 23-32 °C, yang merupakan tempat yang paling sesuai
untuk pertumbuhan larva cacing tambang. (Noviastuti, 2015)

Selain itu kebiasaan mereka yang tidak menggunakan alas kaki saat bekerja dan tidak
mencuci tangan sebelum makan yang akan menyebabkan para petani terinfeksi cacing tersebut.
Selain petani, anak-anak umur sekolah dasar merupakan golongan yang paling sering terinfeksi
STH dengan cara penularan yang sama. (Noviastuti, 2015)

Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi yakni bervariasi
antara 2,5%-62%, terutama penduduk yang kurang mampu, sanitasi yang kurang baik. Secara
global di Asia 819 juta orang terinfeksi Ascaris lumbricoides, 464,6 juta orang terinfeksi
Trichuris trichiura dan 438,9 juta orang terinfeksi hookworm, mencapai 67% kemudian infeksi
STH yang mengenai anak usia 6-12 tahun (usia anak SD) mencapai 189 juta anak. (Sanuriza et
al., 2021)

B. Rumusan Masalah

Bagaimana cara menanggulangi kejadian infeksi cacing tambang di Desa Rejoso?


C. Tujuan

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian infeksi cacing
tambang di Desa Rejoso dan bagaimana cara mengatasi masalah tersebut

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui apakah perilaku masyarakat berhubungan dengan
kejadian infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
b. Untuk mengetahui apakah pendidikan berhubungan dengan kejadian
infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
c. Untuk mengetahui apakah pengetahuan masyarakat berhubungan dengan
kejadian infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
d. Untuk mengetahui apakah sosial ekonomi masyarakat berhubungan
dengan kejadian infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
e. Untuk membuat program dalam mengatasi masalah penyakit akibat cacing
tambang (hookworm)
BAB II

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. SKENARIO

HOOKWORM DISEASE

(Ancylostomiasis, Uncinariasis, Necatoriasis).

Desa Rejoso adalah salah satu desa di Kecamatan Karang Kabupaten Damai. Di desa
tersebut terdapat Sekolah Dasar (SDN) dengan 173 siswa. Data tahun kemarin menunjukkan
bahwa kejadian infeksi cacing tambang pada siswa SDN Rejoso 20,5%. Perilaku buang air
besar di sekitar rumah 44,2% perilaku anak-anak yang biasa bermain dengan tanah sebesar
54,2%.
Kota Damai khususnya Kecamatan Karang memiliki wilayah perkebunan seluas 5.000 hektar,
berupa tanah kering yang merupakan tanah yang sesuai dengan perkembangan cacing
tambang. Kepala keluarga (KK) umumnya (65%) berpendidikan sekolah menengah pertama
dan dasar, dengan pekerjaan umumnya (67%) tani atau buruh tani. Penghasilan orang tua
siswa sebagian besar (66%) masih di bawah upah minimum kota (UMK), 83% rumah mereka
memiliki lahan pekarangan atau lahan pertanian. Dalam kegiatan pekerjaan mereka KK
umumnya (76%) tidak menggunakan alas kaki.

Bagaimana cara penanggulangan penyakit yang terdapat di desa tersebut?

Inventarisasi masalah dari scenario diatas dapat diperoleh sebagai berikut :

Hygiene yang buruk di desa Rejoso

Sosial ekonomi yang rendah


Masyarakatnya sebagian besar sebagai petani dan buruh tani

Perilaku buang air besar di sekitar rumah

Perilaku anak-anak yang biasa bermain dengan tanah

Banyak yang tidak menggunakan alas kaki saat melakukan kegiatan

Masyarakatnya sebagian besar berpendidikan rendah

Sebagian besar rumahnya memiliki lahan pekarangan atau lahan pertanian

Tanah kering
DIAGRAM FISH BONE
B. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

1. INPUT

a. Kurangnya Ketersediaan Jamban

Jamban merupakan tempat buang air buangan yang berfungsi menyimpan atau
menampung sementara. Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding
dengan area permukiman, maka masalah pembuangan kotoran manusia meningkat
dilihat dari segi kesehatan masyarakat yang menjadi masalah pokok untuk dapat
diatasi karena kotoran manusia (feaces) adalah sumber penyebaran penyakit. Solusi
yang dapat dilakukan yaitu dengan bisa diberikan bantuan melalui pemerintah untuk
dapat dibuatkan toilet atau jamban umum. Kemudian edukasi terkait pentingnya
menggunakan jamban dalam buang air besar supaya tidak menularkan atau terjadi
penyebaran penyakit.

b. Pekerjaan

Pekerjaan buruh tani adalah seseorang yang bergerak di bidang pertanian, utamanya
dengan cara pengelolaan pada tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan atau
memelihara tanaman. Kebanyakan di daerah pedesaan itu warga bekerja sebagai
buruh tani karena banyak memiliki lahan. Pada pekerja buruh tani ini karena sering
sekali berada di lokasi tanah maka sangat mudah dapat terkontaminasi atau terjadi
penumbuhan penyakit infeksi cacing contohnya yang dimana akan menyebabkan
untuk pekerja para buruh tani mudah terinfeksi dari penyakit tersebut atau
penumbuhan cacing maupun larva. Solusi yang dapat dilakukan adalah kita
mengedukasi para buruh tani warga agar menggunakan APD pada saat bekerja di
lokasi. terutama memakai sepatu boots pada saat bekerja agar terhindar dari
kontaminasi atau kontak secara langsung dengan tanah.

c. Pendidikan Rendah

Pendidikan yang rendah adalah pendidikan yang tidak mencapai tahap sarjana atau
SMA yang hanya sampai di tingkat SD atau SMP. Banyak masyarakat kurang akan
pendidikan karena terkait pembiayaan atau jangkauan akses pendidikan atau
pengetahuannya. Di masyarakat tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan
seseorang untuk kurang dalam pengetahuan dan pola pemikirannya maupun wawasan
mengenai kesehatan maupun yang lainnya. Sehingga masyarakat tersebut kurang
akan pola pikir penjagaan mengenai kebersihan atau kesehatan. Solusinya adalah
dengan cara diberikan edukasi atau sosialisasi terhadap masyarakat tersebut. Lalu
dapat membantu dengan cara meningkatkan pendidikan melalui kejar paket dan
bekerja sama dengan pemerintah terkait pembangkitan pendidikan.

d. Sosial Ekonomi Rendah

Status sosial ekonomi yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status
kesehatan masyarakat. Masyarakat yang tingkat sosial ekonominya rendah akan sulit
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena sosial ekonomi rendah tersebut
maka kemampuan masyarakat untuk menjangkau pelayanan kesehatan itu sangat
sulit. Solusinya yaitu dengan cara bekerja sama dengan lintas sektor dalam upaya
meningkatkan SDA. Solusi lainnya bisa mengajak pemerintah untuk membuat akses
jalan yang mudah untuk para warga yang susah akan jangkauan dari pelayanan
kesehatan maupun mencari peluang ekonomi.
2. PROSES

a. Tidak menggunakan alas kaki

Kulit adalah tempat masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh seseorang.

Aktivitas anak-anak atau petani yang dilakukan tanpa menggunakan alas kaki

membuat kaki melakukan kontak langsung dengan tanah. Hal tersebut

menyebabkan kaki menjadi pintu utama masuknya kuman penyakit ke dalam

tubuh terutama larva cacing tambang atau Hookworm. Tingginya prevalensi

infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) dapat terjadi akibat kebiasaan jarang

menggunakan alas kaki saat beraktivitas, baik ketika bekerja atau aktivitas lain di

luar rumah. Kebersihan dan perawatan kaki sangat penting karena dapat

mencegah dan memutus hubungan bibit penyakit ke dalam tubuh, sehingga dapat

menghindari infeksi kecacingan ataupun infeksi pada suatu luka (Abe et al., 2015;

Wijaya et al., 2016).

Solusinya adalah melakukan penyuluhan atau sosialisasi terhadap warga desa

tersebut mengenai pentingnya penerapan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat) dalam aktivitas sehari-hari, terutama mengenai resiko penyakit yang dapat

terjadi apabila tidak menggunakan alas kaki saat beraktivitas. Selain itu, juga

dapat memberikan bantuan alas kaki (sandal untuk anak-anak atau sepatu boot

untuk petani) sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya infeksi cacing.


b. Perilaku BABS (Buang Air Besar Sembarangan)

BABS (Buang Air Besar Sembarangan) yang sering dilakukan masyarakat

yaitu di empang atau kolam lele dan sungai (Hayana, Marlina and Kurnia, 2018).

Kebiasaan tersebut dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi cacing karena

adanya tinja sembarangan akan mengundang kedatangan lalat dan hewan-hewan

lainnya. Lalat yang hinggap di atas tinja yang mengandung kuman penyakit dapat

menularkan telur cacing dan kuman lainnya melalui makanan yang dihinggapinya

yang nantinya makanan tersebut akan dimakan oleh manusia (Ali, Zulkarnaini

and Affandi, 2016).

Solusinya adalah melakukan penyuluhan atau sosialisasi terhadap warga desa

tersebut mengenai pentingnya penerapan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat) dalam aktivitas sehari-hari, terutama mengenai akibat dari perilaku BABS

(Buang Air Besar Sembarangan) seperti penyakit infeksi yang dapat terjadi.

Selain itu juga bisa dilakukan pembangunan jamban untuk masyarakat umum

sehingga masyarakat tidak lagi BABS (Buang Air Besar Sembarangan).

Pembangunan jamban bisa melakukan kerja sama dengan kepala desa setempat

ataupun mengajukan bantuan pada pemerintah.

c. Kebiasaan bermain di tanah

Tanah merupakan tempat bermain paling disukai oleh anak-anak. Namun


tanah juga menjadi tempat berkembang biaknya larva cacing terutama pada
kondisi tanah yang kering. Apabila tanah yang digunakan bermain anak-anak
mengandung larva cacing tambang atau Hookworm maka peluang anak-anak
untuk terinfeksi cacing tambang semakin besar.

Solusinya adalah melakukan penyuluhan atau sosialisasi terhadap warga desa


terutama orang tua dan anak-anak mengenai resiko yang dapat terjadi apabila
terlalu sering main di tanah, menjelaskan juga mengenai mekanisme infeksi
cacing yang ditularkan melalui tanah. Mengingatkan kepada orang tua untuk
melakukan pengawasan pada anaknya agar tidak bermain lagi di tanah.

3. LINGKUNGAN

a. Kurangnya Kebijakan yang Mendukung Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Perilaku Hidup Bersih dan sehat adalah sekumpulan perilaku yang


dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan
seseorang, keluarga, kelompok atau masyarakat mampu menolong dirinya
sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan
kesehatan masyarakat. Penerapan PHBS diperlukan adanya peran aktif dari
tingkat terendah hingga tertinggi (Permenkes,2011)

Solusi dalam menerapkan PHBS yaitu melakukan sosialisasi dan edukasi


melalui pendekatan pimpinan masyarakat, pembinaan suasana dan juga
pemberdayaan masyarakat yang dimulai dari tingkatan rumah tangga, sekolah,
tempat kerja, sarana kesehatan dan tempat umum. contoh edukasi yang dapat
diberikan yaitu mencuci tangan dengan air bersih dan sabun dan menggunakan
jamban sehat.

b. Tanah Kering

Kondisi geografis mempengaruhi topografi sebuah daerah. Tanah kering


pada umumnya terletak pada dataran rendah. Tanah kering disebabkan curah
hujan yang sangat rendah, sehingga keberadaan air sangat terbatas, suhu udara tinggi
dan kelembabannya rendah (Alim dkk,2022). Kurangnya pemanfaatan lahan dari
masyarakat sehingga lahan kering dijadikan tempat bermain bagi anak-anak.

Solusinya adalah bekerjasama dengan dinas pertanian untuk sosialisasi


pemanfaatan lahan dalam bentuk bercocok tanam dengan ditanami tanaman
hortikultura, perkebunan, dan pangan seperti jagung, ubi, dan kacang tanah.
Meminta bantuan pada dinas pekerjaan umum untuk dibuatkan irigasi.

c. Peran Masyarakat

Peran masyarakat dibutuhkan dalam suatu penyusunan dan


implementasi program pembangunan. Karena masyarakat yang mengetahui
masalah dan kebutuhan untuk mengembangkan suatu wilayah dan masyarakat
nantinya yang akan memanfaatkan dan menilai berhasil tidaknya sebuah
program.
Solusinya adalah kepala desa bekerja melakukan kerja sama lintas
sektoral misalnya dengan dinas kesehatan dalam memberikan sosialisasi PHBS.
Mengembangkan sarana dan prasarana yang menunjang terlaksananya program.
Serta melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan program.
BAB III

PENYUSUNAN PROGRAM

3.1 Upaya / Kegiatan Pencegahan

a) Sosialisasi PHBS

Sosialisasi mengenai pentingnya penggunaan alas kaki, cara mencuci tangan yang baik dan
benar, serta sosialisasi tidak boleh BAB sembarangan yang akan disampaikan oleh Dokter /
Tenaga Kesehatan atau sukarelawan atau mahasiswa. Disini akan dijelaskan secara teoritis
mengenai faktor resiko, pencegahan dan akibat yang dapat ditimbulkan dari masing - masing
materi.

b) Pembuatan Aturan

Setelah dilakukan sosialisasi maka aparat desa harus menyusun aturan untuk
meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap PHBS yang telah disampaikan agar mengurangi
dan mencegah terjadinya infeksi yang disebabkan oleh cacing tambang.

c) Penyediaan alas kaki, tempat cuci tangan, dan poster dilarang BAB sembarangan

Penyediaan alas kaki, tempat cuci tangan dan poster dilarang BAB sembarangan. upaya
tersebut dilakukan untuk mencegah masyarakat setempat terinfeksi cacing tambang.

3.2 Upaya/ Kegiatan Perbaikan Lingkungan

a) Pembuatan Jamban Umum

Berkoordinasi lintas sektoral untuk membangun tempat jamban umum untuk masyarakat
setempat, dimana hal ini diharapkan dapat menurunkan tingkat penularan dan infeksius dari
cacing tambang. Sehingga terjadi penurunan angka kejadian infeksi cacing tambang di wilayah
tersebut.
3.3 Upaya/ Kegiatan Perbaikan Sosio - Ekonomi

a) Pemberdayaan Sumber daya Manusia (SDM)

Berkoordinasi dengan lintas sektoral sesuai dengan keadaan dan keahlian SDM setempat,
seperti melakukan Kerjasama dengan bidang pertanian untuk bercocok tanam yang dimana
hasilnya dapat dijual untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Ataupun bekerjasama antar
masyarakat untuk membuat suatu kerajinan atau olahan makanan yang dapat dijual sebagai
upaya meningkatkan ekonomi masyarakat. Sehingga hal ini diharapkan dapat menunjang
Pendidikan masyarakat, dan ketersediaan fasilitas untuk pola hidup yang lebih sehat.
BAB IV

PENYUSUNAN KEGIATAN PRIORITAS

A. Scoring

Parameter Masalah

A B

Prevalence 5 3

Severity 2 4

Rate % Incraese 4 3

Degree of unmeet need 3 5

Social Benefit 5 4

Public Concern 5 3

Technical Feasibility Study 3 5

Resources Availability 5 4

Total 32 : 8 = 4 31 : 8 = 3,9

Keterangan :

Masalah A : Perilaku tidak sehat

Masalah B : Infeksi cacing tambang


Tabel Skoring untuk Menentukan Urutan Prioritas Kegiatan

Untuk mempermudah penyelesaian masalah pada skenario diatas dapat menggunakan sistem
skoring. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyelesaian masalah berdasarkan skala
prioritas dari yang tertinggi sampai yang terendah.

Efektifitas Efisiensi Hasil


No Kegiatan
MxIxV
M I V C
P=
C

1 Sosialisasi PHBS 4 4 3 2 24

2 Pembuatan Jamban 4 3 2 4 6
Umum

3 Perbaikan Sosio- 3 4 4 3 16
ekonomi

Keterangan :

M : Magnitude, yaitu besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi/ kegiatan ini
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain).
I : Implementasi, yaitu sensitifnya dalam mengatasi masalah;
V : Viability, yaitu kelanggengan selesainya masalah apabila kegiatan ini dilaksanakan.
C : Cost, biaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah.
P : Prioritas kegiatan atau pemecahan masalah dengan rumus P = (M x I x V)/C

Berdasarkan tabel perbaikan prioritas masalah yang dilakukan dengan metode skoring,

maka prioritas pertama penyelesaian masalah yang kami lakukan adalah sosialisasi PHBS

( perilaku hidup bersih dan sehat )


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

a) Faktor resiko penyebab tingginya angka kesakitan pada desa Rejoso


1. Kurangnya Perilaku hidup bersih
2. Lingkungan tempat tinggal yang berada di tanah kering memicu
kebiasaan main tanah oleh anak anak di desa Rejoso
3. Kurangnya penggunaan alas kaki sebagai pemicu port de entry dari
masuknya banyak mikroorganisme penyebab infeksi
4. Kurangnya keterjangkauan fasilitas kesehatan yang menyebabkan
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap perilaku hidup bersih
5. Kurangnya fungsi jamban sebagai tempat pembuangan akhir
6. Rendahnya sosial, ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat memicu
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan
b) Upaya meningkatkan angka kesehatan di desa Rejoso ialah dengan pemberian langkah awal
sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat
c) Rencana program untuk mengurangi angka kesakitan di desa Rejoso adalah dengan
menerapkan perilaku hidup berih dan sehat di lingkungan rumah tangga lalu dilanjutkan di
lingkungan masyarakat

B. SARAN

Pelaksanaan sosialisasi perilaku hidup bersih dan sehat yang dilaksanakan di


desa Rejoso sangat berjalan lancar dan dirasakan dampaknya oleh seluruh aspek
masyarakat yang terlibat baik kepada masyarakat desa Rejoso, tenaga kesehatan yang
bertugas di dekat desa Rejoso. Masyarakat desa Rejoso sebagai sasaran utama
mendapatkan banyak sekali manfaat terkait ilmu pengetahuan dan sangat mudah
diterapkan oleh seluruh masyarakat desa Rejoso. Tenaga masyarakat yang terlibat di
dalam proses ini pun juga dapat secara langsung mendapatkan manfaat salah satunya
yaitu melalui sosialisasi PHBS ini angka kesakitan infeksi cacing tambang mulai menurun.
Dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi sudah sangat baik selanjutnya apabila
diadakan kembali maka harus dipersiapkan dengan sangat matang dan diharapkan
dapat melibatkan banyak aspek masyarakat lainnya guna meningkatkan kesejahteraan
desa Rejoso dari berbagai aspek.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, R.U., Zulkarnaini, Z. and Affandi, D., 2016. Hubungan personal hygiene dan sanitasi
lingkungan dengan angka kejadian kecacingan (soil transmitted helminth) pada petani sayur di
kelurahan maharatu kecamatan marpoyan damai kota pekanbaru. Dinamika Lingkungan
Indonesia, 3(1), pp.24-32.

Alim, N., Simarmata, M. M., Gunawan, B., Purba, T., Juita, N., Herawati, J., ... & Inayah, A. N.
(2022). Pengelolaan Lahan Kering. Yayasan Kita Menulis.

Abe, N. et al. (2015) ‘Hubungan Higiene Perorangan dengan Kejadian Kecacingan


pada Murid SD Negeri Abe Pantai Jayapura Relation Between Personal Hygiene and
Worm Infection Among Students in SD’, Plasma, 1(2), pp. 87–96.

Halleyantoro, R., Riansari, A. and Dewi, D. P. (2019) ‘INSIDENSI DAN ANALISIS FAKTOR
RISIKO INFEKSI CACING TAMBANG PADA Abstrak’, Jurnal Kedokteran Raflesia, 5(1), pp.
2622–8344.

Noviastuti, A. R. (2015) ‘Infeksi Soil Transmitted Helminths’, Majority, 4(8), pp. 107–116.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor:


2269/MENKES/PER/XI/2011 Pedoman pembinaan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS),-- Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2011

Sanuriza, I. Il et al. (2021) ‘Prevalensi Infeksi Cacing Usus Golongan Soiltransmittedhelmints


( STH ) Pada Siswa Sekolah Dasar Di Kelurahan Abiantubuh Baru Mataram’, Jurnal Evolusi,
FMIPA, Universitas Nahdlatul Wathan Mataram, Mataram, 5(April), pp. 1–5.

Wijaya, N.H., Anies, A., Suhartono, S., Hadisaputro, S. and Setyawan, H., 2016. Faktor risiko kejadian
infeksi cacing tambang pada petani pembibitan albasia di Kecamatan Kemiri Kabupaten Purworejo.
Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 1(1), pp.15-24.

Anda mungkin juga menyukai