Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan

yang masih menjadi masalah bagi masyarakat Indonesia hingga saat ini

(Depkes RI, 2006). Infeksi cacing tergolong penyakit neglected disease

yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis

tanpa menimbulkan gejala klinis yang jelas dan dampak yang

ditimbulkannya baru terlihat dalam jangka panjang (Kurniawan, 2010).

Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan,

gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi

banyak menyebabkan kerugian. Cacingan juga menyebabkan kehilangan

karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan

kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 2006).

Sebagian besar infeksi cacing disebabkan oleh nematoda usus (cacing

usus). Nematoda usus mempunyai jumlah spesies yang terbesar diantara

cacing-cacing yang hidup sebagai parasit. Cacing-cacing ini berbeda-beda

dalam habitat, daur hidup dan hubungan hospes-parasit (host-parasite

relationship). Manusia merupakan hospes beberapa nematoda usus.

Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui

tanah dan disebut “soil transmitted helminths” yang terpenting bagi

manusia adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma

1
duodenale, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis. Nematoda

usus lainnya yang penting bagi manusia adalah Enterobius vermicularis

dan Trichinella spiralis (Gandahusada, 2004).

Berdasarkan survei yang dilakukan ditemukan bahwa pada golongan

usia anak sekolah dasar prevalensi kecacingan cukup tinggi, yakni berkisar

60-80% (Depkes RI, 2006). Tingginya angka kecacingan tersebut pada

usia anak sekolah dasar dikarenakan mereka sering bermain atau kontak

dengan tanah yang merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya cacing-

cacing usus. Meskipun angka kecacingan masih tergolong tinggi, namun

pencegahan dan pemberantasan terhadap infeksi penyakit tersebut belum

juga dapat dilakukan secara maksimal. Hal ini disebabkan infeksi cacing

ini biasanya kurang mendapat perhatian yang cukup, terutama dari pihak

orang tua, karena akibat yang ditimbulkan infeksi cacing tersebut secara

langsung tidak dapat terlihat (Dachi, 2005).

Sekolah Dasar Inpres (SDI) Noelbaki adalah salah satu Sekolah Dasar

(SD) di Desa Noelbaki yang terletak di Kecamatan Kupang Tengah

Kabupaten Kupang. Dari observasi yang dilakukan data mengenai angka

kecacingan pada murid SD di Desa Noelbaki belum pernah dilaporkan.

Keadaan sanitasi lingkungan di SDI Noelbaki juga sangat memprihatinkan

terutama keadaan WC yang kurang diperhatikan kebersihannya. Selain itu,

murid SDI Noelbaki juga kurang memperhatikan kebersihan perseorangan

seperti tidak memakai alas kaki waktu bermain dan sering bermain tanah

di halaman sekolah. Sebagian besar murid SDI Noelbaki merupakan

2
penduduk dari Dusun Kuanoah yang berpotensi besar menularkan infeksi

cacing pada murid SD lainnya. Hal ini diperkuat oleh adanya penelitian

sebelumnya di Dusun Kuanoah Desa Noelbaki oleh (Bouk,2012) yang

menunjukkan prevalensi Enterobiasis sebesar 25% dari 76 sampel yang

diambil. Kemudian oleh (Ndaomanu, 2013) diketahui bahwa prevalensi

nematoda usus pada anak-anak di Dusun Kuanoah sebesar 39,2%

(Enterobius vermicularis dan Ascaris lumbricoides) dari 79 sampel yang

diambil. Berdasarkan uraian di atas peneliti ingin mengetahui “Prevalensi

Infeksi Nematoda Usus di Sekolah Dasar Inpres Noelbaki Desa Noelbaki

Tahun 2014”.

B. Rumusan Masalah

Berapa prevalensi Infeksi Nematoda Usus di SDI Noelbaki Desa Noelbaki

tahun 2014?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Prevalensi Infeksi Nematoda Usus di SDI Noelbaki

Desa Noelbaki tahun 2014.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menghitung prevalensi infeksi Soil Transmitted Helminth

(Askariasis, Trichuriasis, Strongyloidiasis, Ancylostomiasis dan

Necatoriasis) di SDI Noelbaki Desa Noelbaki Kecamatan Kupang

Tengah Kabupaten Kupang tahun 2014.

3
b. Untuk menghitung prevalensi infeksi Non Soil Transmitted

Helminth (Enterobiasis) di SDI Noelbaki Desa Noelbaki

Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang tahun 2014.

c. Untuk mengetahui sikap, perilaku dan pengetahuan anak-anak SDI

Noelbaki Desa Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten

Kupang mengenai infeksi cacing.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Poltekkes Kemenkes Kupang

Sebagai sumber pustaka berkaitan dengan Kejadian Infeksi Nematoda

Usus di SDI Noelbaki Desa Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah

Kabupaten Kupang.

2. Bagi Pihak Sekolah SDI Noelbaki

Sebagai bahan masukan atau informasi untuk memberikan pendidikan

kesehatan bagi anak-anak SDI Noelbaki Desa Noelbaki Kecamatan

Kupang Tengah Kabupaten Kupang.

3. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah wawasan, pengalaman dan dapat

mengaplikasikan materi yang telah didapat selama masa perkuliahan

khususnya di bidang Parasitologi.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang telah dilakukan antara lain adalah :

No Judul/Peneliti/Lokasi Tahun Desain Hasil


1. Faktor-faktor Risiko 1998 Cross Infeksi cacing
Infeksi Cacing Tambang sectional tambang
pada Murid Sekolah Dasar berhubungan
4
di Kabupaten bermakna
Karanganyar/ dengan kondisi
Suhartono, Sri Hendratno, ekonomi
Satoto, Apoina Kartini orangtua murid dan
/Karanganyar kondisi
sanitasi lingkungan
rumah
2. Hubungan Antara Status 2003 Cross Status sosial
Sosial Ekonomi Dengan sectional ekonomi
Kejadian Kecacingan Pada berhubungan
Anak Sekolah Dasar di dengan
Desa Suka kejadian infeksi
Kecamatan Tiga Panah kecacingan.
Kabupaten Karo Sumatera Infeksi campuran
Utara/Sri Alemina antara A.
Ginting/Sumatera Utara lumbricoides, T.
trichiura
dan cacing
tambang,
sebesar 55,8%
3. Hubungan Perilaku Sehat 2004 Cross Infeksi kecacingan
dan Sanitasi Lingkungan sectional berhubungan
dengan Infeksi Cacing negatif
yang Ditularkan Melalui signifikan dengan
Tanah / Aria Gusti/ Nagari perilaku
Kumanis Kab. Sawahlunto sehat
Sijunjung Ascaris
lumbricoides 2 %
Trichuris trichiura
1%
cacing tambang 30
%
4. Infestasi Kecacingan pada 2005 Case Prevalensi
Anak SD di Kecamatan Sei control kecacingan 30-
Bingai Langkat Sumut 60 %.
2005/Limin Ginting Faktor yang
/Sumatera Utara ditemukan :
tingkat sosial
ekonomi (OR
: 2,0), sarana air
bersih (OR
: 44,6),
pengetahuan ibu
(OR : 13,9) dan
perilaku
anak (OR : 20,9)

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Nematoda Usus

Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi

masyarakat Indonesia karena masih banyak yang mengidap cacing ini

sehubungan banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup suburnya

cacing parasiter ini. Faktor penunjang ini antara lain keadaan alam

serta iklim, sosial ekonomi, pendidikan, kepadatan penduduk serta

masih berkembangnya kebiasaan yang kurang baik. Berdasarkan

fungsi tanah pada siklus hidup cacing ini, Nematoda usus dibagi atas

dua kelompok yaitu:

Soil Transmitted Helminths adalah nematoda usus yang dalam

siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan

sehingga terjadi perubahan dari stadium non-infective menjadi stadium

infective. Yang termasuk kelompok nematoda ini adalah Ascaris

lumbricoides menimbulkan askariasis, Trichuris trichiura

menimbulkan trichuriasis, cacing tambang (ada dua spesies yaitu

Necator americanus menimbulkan nekatoriasis dan Ancylostoma

duodenale menimbulkan ankilostomiasis) serta Strongyloides

stercoralis menimbulkan strongiloidiasis.

Nematoda usus lain atau disebut juga nematoda usus Non Soil

Transmitted Helminths adalah nematoda yang dalam siklus hidupnya

tidak membutuhkan tanah yaitu Enterobius vermicularis menimbulkan


6
enterobiasis dan Trichinella spiralis menimbulkan trichinosis

(Natadisastra, 2009).

1. Ascaris lumbricoides

a. Hospes dan nama penyakit

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides.

Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis (Sutanto, 2009).

b. Distribusi geografik

Kosmopolit, terutama di daerah tropik dengan udara yang lembab

serta sangat erat hubungannya dengan keadaan higiene dan sanitasi

(Natadisastra, 2009). Di Indonesia infeksi cacing ini endemis

dibanyak daerah dengan jumlah penderita lebih dari 60%

(Soedarto, 2010).

c. Morfologi dan daur hidup

Cacing nematoda ini adalah cacing berukuran besar, berwarna

putih kecoklatan atau kuning pucat. Cacing jantan berukuran

panjang antara 10-31 cm, sedangkan cacing betina panjang

badannya antara 22-35 cm (Soedarto, 2010).

Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000

butir sehari, terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi

(Sutanto, 2009).

7
Gambar 1. Telur Ascaris lumbricoides (Purnomo, 2005)

Telur yang dikeluarkan oleh cacing betina ada empat tipe, yaitu

dibuahi, tidak dibuahi, berembrio dan dekortikasi. Telur berembrio

menjadi infektif setelah kurang lebih 3 minggu di tanah dan bila

tertelan manusia, di dalam usus halus menetas mengeluarkan larva.

Larva selanjutnya menembus dinding usus halus menuju pembuluh

darah sampai ke jantung dan paru-paru. Mulai telur matang

(berembrio) tertelan sampai menjadi cacing dewasa membutuhkan

waktu kurang lebih 2 bulan (Onggowaluyo, 2003).

d. Patologi dan gejala klinis

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing

dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi pada

saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan

kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang

disertai batuk, demam dan eosinofilia (Sutanto, 2009).

Gangguan yang disebabkan cacing dewasa kadang-kadang

penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,

nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Pada infeksi berat,

8
terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga

memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila

cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi

obstruksi usus (Natadisastra, 2009).

e. Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan

tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan

diagnosis askariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing

dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena

muntah maupun melalui tinja (Sutanto, 2009).

f. Epidemiologi

Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi terutama pada anak.

Frekuensinya 60-90%. Kurangnya pemakaian jamban, kebiasaan

memakai tinja sebagai pupuk. Tanah liat, kelembaban tinggi dan

suhu yang berkisar antara 25º-30ºC merupakan hal-hal yang sangat

baik untuk berkembangnya telur Ascaris lumbricoides menjadi

bentuk infektif (Sutanto, 2009).

2. Trichuris trichiura

a. Hospes dan nama penyakit

Hospes definitif cacing ini adalah manusia. Penyakit yang

disebabkan cacing ini disebut trikuriasis (Onggowaluyo, 2003).

9
b. Distribusi geografik

Kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab. Tanah yang

paling baik untuk perkembangan telur, yaitu tanah yang hangat,

basah dan teduh (Natadisastra, 2009).

c. Morfologi dan daur hidup

Cacing betina panjangnya 35-50 mm, sedangkan yang jantan 30-

45mm. Parasit ini sering disebut cacing cambuk, karena bagian

anterior (kepala) panjang dan sangat halus, pada bagian posterior

(ekor) lebih tebal (Onggowaluyo, 2003).

Bentuk telur Trichuris trichiura khas bentuknya, mirip biji melon

yang berwarna coklat, berukuran sekitar 50x25 mikron dan

mempunyai dua kutub jernih dan menonjol (Soedarto, 2010).

Gambar 2. Telur Trichuris trichiura (Purnomo, 2005)

Telur cacing ini mengalami pematangan dan menjadi infektif di

tanah dalam waktu 3-4 minggu lamanya. Jika manusia tertelan

telur cacing yang infektif, maka di dalam usus halus dinding telur

pecah dan larva keluar menuju sekum lalu berkembang menjadi

cacing dewasa. Dalam waktu satu bulan sejak masuknya telur

10
infektif ke dalam mulut, cacing telah menjadi dewasa dan cacing

betina sudah mulai mampu bertelur. Trichuris trichiura dewasa

dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia

(Soedarto, 2010).

d. Patologi dan gejala klinis

Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum,

akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens (Sutanto,

2009).

Cacing ini paling sering menyerang anak usia 1-5 tahun, infeksi

ringan biasanya tanpa gejala, ditemukan secara kebetulan pada

waktu pemeriksaan tinja rutin. Infeksi kronis dan sangat berat

menunjukkan gejala-gejala anemi berat, Hb rendah sekali dapat

mencapai 3 gr %. Diare dengan tinja sedikit disertai darah. Sakit

perut, mual, muntah serta berat badan menurun. Mungkin disertai

sakit kepala dan demam (Natadisastra, 2009).

e. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, atau

menemukan cacing dewasa pada penderita prolapsus rektum

terutama pada anak-anak (Onggowaluyo, 2003).

f. Epidemiologi

Faktor penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi

tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan

teduh dengan suhu optimum kira-kira 30ºC. Pemakaian tinja

11
sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di

Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia

frekuensinya berkisar antara 30-90%.

Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan

pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik,

pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama

anak-anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik

sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di daerah-

daerah yang memakai tinja sebagai pupuk (Entjang, 2003).

3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus

a. Hospes dan nama penyakit

Hospes kedua spesies cacing ini adalah manusia. Tempat hidup di

dalam usus halus, terutama jejunum dan duodenum. Penyakit yang

disebabkan cacing ini disebut ankilostomiasis dan nekatoriasis

(Onggowaluyo, 2003)

b. Distribusi geografik

Cacing ini tersebar luas di seluruh dunia, terutama di daerah tropis

dan subtropis yang bersuhu panas dan mempunyai kelembaban

yang tinggi (Soedarto, 2010).

c. Morfologi dan daur hidup

Cacing tambang dewasa berbentuk silindris berwarna putih

keabuan. Ukuran panjang cacing betina antara 9-13 mm, sedang

cacing jantan berukuran panjang antara 5-11 mm. Di ujung

12
posterior tubuh cacing jantan terdapat bursa kopulatriks yaitu suatu

alat bantu kopulasi. Bentuk telur cacing tambang mirip satu dengan

yang lainnya, sehingga sukar dibedakan. Telur cacing tambang

berbentuk lonjong, tidak berwarna, berukuran sekitar 65x40

mikron (Soedarto, 2010).

Gambar 3. Telur cacing Necator americanus dan

Ancylostoma duodenale (Purnomo, 2005)

Daur hidup cacing ini mulai dari larva filariform menembus kulit

manusia kemudian masuk kapiler darah berturut-turut menuju ke

jantung kanan, paru-paru, bronkus, trakea, laring dan menuju usus

halus sampai menjadi dewasa (Onggowaluyo, 2003).

d. Patologi dan gejala klinis

Infeksi cacing tambang hakikatnya adalah infeksi menahun

sehingga tidak menunjukkan gejala akut. Kerusakan jaringan dan

gejala penyakit dapat disebabkan baik oleh larva maupun cacing

dewasa. Larva menembus kulit sering menimbulkan rasa gatal

yang hebat disebut ground itch. Cacing dewasa melukai dan

melekat di mukosa usus, menimbulkan perasaan tidak enak di

perut, mual dan diare (Natadisastra, 2009)

13
e. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar.

Dalam tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk

membedakan spesies Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale dapat dilakukan biakan misalnya dengan cara Harada-

Mori (Sutanto, 2009).

f. Epidemiologi

Di Indonesia insiden nekatoriasis dan ankilostomiasis cukup tinggi.

Kasusnya banyak terjadi di daerah pedesaan, yaitu banyak

menginfeksi para pekerja di daerah-daerah perkebunan yang

kontak langsung dengan tanah.

Penyebaran infeksi ada hubungannya dengan kebiasaan defekasi

di tanah. Habitat yang cocok untuk pertumbuhan larva cacing ini

adalah tanah-tanah gembur, misalnya humus dan pasir. Pencegahan

dapat dilakukan dengan menghindari defekasi sembarangan dan

pemakaian alas kaki (Onggowaluyo, 2003).

4. Strongyloides stercoralis

a. Hospes dan nama penyakit

Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Parasit ini dapat

menyebabkan strongiloidiasis (Sutanto,2009).

b. Distribusi geografik

Kosmopolit, terutama di daerah tropik dan subtropik (Natadisastra,

2009)

14
c. Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa yang diketahui hanya yang betina, panjangnya 2

mm, berbentuk filiform, halus dan tidak berwarna. Diduga cacing

ini berkembang biak secara parthenogenesis. Cacing ini hidup di

dalam villi duodenum dan jejunum. Telur menetas dalam usus,

sehingga dalam feses ditemukan larva rhabditiform dan di tanah

tumbuh menjadi larva filariform yang infektif lalu menembus kulit

hospes, kemudian menjalani lung migration dan selanjutnya

berkembang menjadi cacing dewasa di dalam usus penderita

(Soedarto, 2010).

d. Patologi dan gejala klinis

Gejala biasanya ringan bahkan kadang-kadang tanpa gejala dan

dapat timbul gejala rasa terbakar dan menusuk-nusuk di daerah

duodenum, dimana cacing betina bersarang. Biasanya rasa terbakar

ini di daerah epigastrium dan tidak menjalar. Pada infeksi berat

atau kronis dapat menimbulkan kematian (Sutanto, 2009).

e. Diagnosis

Diagnosis pasti strongiloidiasis dapat ditegakkan jika dapat

ditemukan larva rhabditiform pada tinja segar penderita (Soedarto,

2010).

15
Gambar 4. Telur cacing Strongyloides stercoralis (Purnomo, 2005)

f. Epidemiologi

Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang,

sangat menguntungkan cacing Strongyloides stercoralis (Sutanto,

2009).

5. Enterobius vermicularis

a. Hospes dan nama penyakit

Manusia adalah satu-satunya hospes dan penyakitnya disebut

enterobiasis (Sutanto, 2009).

b. Distribusi geografik

Parasit ini kosmopolit tetapi lebih banyak ditemukan di daerah

dingin daripada di daerah panas. Hal itu mungkin disebabkan pada

umumnya orang di daerah dingin jarang mandi dan mengganti baju

dalam. Penyebaran cacing ini juga ditunjang oleh eratnya

hubungan antara manusia satu dengan yang lainnya serta

lingkungan yang sesuai (Sutanto, 2009).

16
c. Morfologi dan daur hidup

Cacing betina berukuran 8-13 mm dan lebar 0,3-0,5 mm.

Sedangkan cacing jantan panjangnya 2-5 mm dan lebar 0,1-0,2

mm. Warna cacing putih. Manusia mendapat infeksi apabila

menelan telur matang (infektif). Telur yang tertelan menetas di

sekum dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Cacing betina mampu

menghasilkan kurang lebih 11.000-15.000 butir telur. Telur

berbentuk lonjong dan dinding lainnya cembung, sehingga

menyerupai topi. Dinding telur dua lapis, tipis dan jernih. Telur

beberapa saat berubah menjadi matang (berembrio).

Untuk mengeluarkan telurnya cacing betina menuju ke kolon dan

keluar melalui anus. Telur diletakkan di perianal dan perineum.

Kadang-kadang cacing bermigrasi ke vagina, sehingga sering

menimbulkan vaginitis (Onggowaluyo, 2003).

d. Patologi dan gejala klinis

Enterobius vermicularis dewasa jarang menimbulkan kerusakan

jaringan organ penderita. Migrasi induk cacing untuk bertelur di

daerah perianal dan perineal menimbulkan gatal-gatal yang dapat

mengganggu tidur penderita, dan bila digaruk dapat menimbulkan

infeksi sekunder. Cacing betina yang mengadakan migrasi ke

vagina dan tuba fallopi dapat menimbulkan radang ringan di

daerah tersebut (Soedarto, 2010).

17
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu

makan, berat badan turun, aktivitas meninggi, cepat marah, gigi

menggeretak, insomnia dan masturbasi, tetapi kadang-kadang

sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi

(Sutanto, 2009).

e. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur yang diperoleh

melalui anal swab. Diagnosis dapat dibuat juga dengan

menemukan cacing dewasa dari bahan tinja atau langsung dari

permukaan perianal (Onggowaluyo, 2003).

f. Epidemiologi

Penyebaran cacing kremi lebih luas daripada cacing lain. Penularan

dapat terjadi pada keluarga atau kelompok yang hidup dalam satu

lingkungan yang sama (asrama, rumah piatu).

Penularan dapat dipengaruhi oleh:

1) Penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah

perianal (autoinfeksi).

2) Debu merupakan sumber infeksi karena mudah diterbangkan

oleh angin sehingga telur melalui debu dapat tertelan.

3) Retrofeksi melalui anus, larva dari telur yang menetas di sekitar

anus kembali masuk ke anus (Gandahusada, 2004).

18
Gambar 5. Telus cacing Enterobius vermicularis

(http://www.studyblue.com/notes/note/n/helminths/dec

k/2438970)

19
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian deskriptif yang

bertujuan untuk menjelaskan atau menggambarkan kejadian infeksi

nematoda usus serta gambaran sikap, pengetahuan dan perilaku murid SDI

Noelbaki mengenai infeksi cacing (Machfoedz, 2005).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Tempat dilakukan penelitian di SDI Noelbaki Desa Noelbaki,

selanjutnya dilakukan pemeriksaan di laboratorium Parasitologi

Jurusan Analis Kesehatan.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2014.

C. Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah :

1. Kejadian infeksi nematoda usus.

2. Pengetahuan, sikap dan perilaku.

D. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh anak kelas 1 A-B SDI Noelbaki Desa

Noelbaki dengan jumlah 41 orang.

20
E. Sampel dan Teknik Sampel

1. Sampel

Besar sampel dihitung menggunakan rumus sampel menurut

Notoatmodjo (2005) :
𝑁 41 41
n = 1+𝑁 (𝑑2 ) = = 1+ 0,1025 = 37 orang
1+41 (0,052 )

Keterangan :

N = Besar populasi

n = Besar sampel

d = Tingkat kepercayaan (0,05)

Untuk menghitung jumlah sampel yang akan diambil per kelas

maka digunakan perhitungan sebagai berikut:

𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (37) 𝑥 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑖𝑠𝑤𝑎 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑠


= jumlah sampel per kelas
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 (41)

Sehingga didapat hasil yang telah dilampirkan dalam tabel sebagai

berikut:

Tabel 1. Distribusi Jumlah Sampel Per Kelas Di SDI Noelbaki Desa


Noelbaki Tahun 2014
Kelas 1 Jumlah Siswa Jumlah Sampel Per
Kelas
A 21 19
B 20 18
Total 41 37

2. Teknik sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Simple Random

Sampling. Teknik sampling ini diambil secara acak dari populasi yang

homogen.

21
F. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Cara Ukur Skala Klasifikasi


Operasional
1. Kejadian Kejadian Uji Lab Nominal 1.Terinfeksi
infeksi Ascaris kecacingan (+)
lumbricoides pada manusia 2. Tidak
yang terinfeksi (-)
disebabkan
oleh cacing
Ascaris
lumbricoides
2. Kejadian Kejadian Uji Lab Nominal 1.Terinfeksi
infeksi kecacingan (+)
Trichuris pada manusia 2. Tidak
trichiura yang terinfeksi (-)
disebabkan
oleh cacing
Trichuris
trichiura
3. Kejadian Kejadian Uji Lab Nominal 1.Terinfeksi
infeksi kecacingan (+)
Hookworm pada manusia 2. Tidak
yang terinfeksi (-)
disebabkan
oleh cacing
Hookworm
(Ancylostoma
duodenale dan
Necator
americanus)
4. Kejadian Kejadian Uji Lab Nominal 1.Terinfeksi
infeksi kecacingan (+)
Strongyloides pada manusia 2. Tidak
stercoralis yang terinfeksi (-)
disebabkan
oleh cacing
Strongyloides
stercoralis
5. Kejadian Kejadian Uji Lab Nominal 1.Terinfeksi
infeksi kecacingan (+)
Enterobius pada manusia 2. Tidak
vermicularis yang terinfeksi (-)
disebabkan
oleh cacing
Enterobius
vermicularis
6. Pengetahuan Pengetahuan Kuisioner Nominal 1.Sesuai
murid kelas 1 2. Tidak
SDI Noelbaki sesuai
22
mengenai
penyakit,
penyebab, cara
penularan dan
pencegahan
infeksi cacing
7. Sikap Sikap / Kuisioner Nominal 1. Baik
pendapat 2. Tidak baik
murid kelas 1
SDI Noelbaki
mengenai
pencegahan
dan
pengobatan
infeksi cacing
8. Perilaku Perilaku / Kuisioner Nominal 1.Baik
kebiasaan 2. Tidak baik
murid kelas 1
SDI Noelbaki
mengenai
pencegahan
dan
pengobatan
infeksi cacing

G. Prosedur Penelitian

1. Cara pembagian dan pengumpulan tinja

a. Sebelum pot tinja dibagi perlu dilakukan penyuluhan tentang

pengetahuan cacingan, kebiasaan hidup sehat dengan

menggunakan kuisioner sikap, perilaku dan pengetahuan murid

SDI Noelbaki

b. Setelah penyuluhan, responden dibagikan pot tinja yang telah

diberi kode sesuai dengan kode yang tertulis pada kuisioner sikap,

perilaku dan pengetahuan murid SDI Noelbaki. Pot tersebut diisi

dengan tinjanya sendiri dan dikumpulkan pada keesokan harinya

23
c. Jumlah tinja yang dimasukkan dalam pot sekitar 100 mg (sebesar

kelereng atau ibu jari tangan)

d. Spesimen harus segera diperiksa pada hari yang sama, sebab jika

tidak telur cacing tambang akan rusak atau menetas menjadi larva.

Jika tidak memungkinkan tinja harus diberi formalin 5-10% sampai

terendam

2. Pemeriksaan telur cacing metode Kato-Katz

a. Alat

1) Objek glass

2) Potongan bambu atau lidi

3) Selofan (selebar ± 2,5x3 cm)

b. Bahan

1) Tinja

2) Larutan kato

c. Cara membuat larutan kato

1) Untuk membuat larutan kato diperlukan campuran dengan

perbandingan: aquadest 100 bagian, glycerin 100 bagian dan

larutan malachite green 3% sebanyak 1 bagian

2) Malachite green ditimbang sebanyak 3 gram, dimasukkan ke

dalam beaker glass dan ditambahkan aquadest 100 cc sedikit

demi sedikit lalu diaduk hingga homogen, maka akan diperoleh

larutan malachite green 3%

24
3) Aquadest 100 cc dimasukkan ke dalam beaker glass, lalu

ditambahkan 100 cc glycerin sedikit demi sedikit dan

ditambahkan 1 cc larutan malachite green 3%, lalu diaduk

hingga homogen, maka akan diperoleh larutan kato 201 cc

d. Cara merendam atau memulas selofan

1) Dibuat bingkai kayu segi empat sesuai ukuran waskom plastik

kecil

2) Selofan dililitkan pada bingkai tersebut

3) Direndam selama ± 18 jam dalam larutan kato

4) Pada waktu akan dipakai, selofan yang sudah direndam

digunting sepanjang 3 cm

e. Cara pemeriksaan kualitatif teknik kato

1) Cara membuat preparat

a) Sarung tangan dipakai untuk mengurangi kemungkinan

infeksi berbagai penyakit

b) Nomor kode ditulis pada objek glass dengan spidol sesuai

dengan yang tertulis di pot tinja

c) Tinja diambil dengan lidi sebesar kacang hijau dan letakkan

di atas objek glass

d) Ditutup dengan selofan yang telah direndam dalam larutan

kato dan tinja diratakan di bawah selofan dengan tutup

botol karet atau objek glass

e) Sediaan dibiarkan selama 20-30 menit

25
f) Diperiksa dengan perbesaran 10x atau 40x di bawah

mikroskop

g) Hasil pemeriksaan tinja berupa positif atau negatif tiap jenis

telur cacing

3. Pemeriksaan telur cacing metode Harada-Mori

a. Alat dan bahan

1) Kantong plastik es mambo yang dibuat ujungnya sempit

tertutup berukuran ± 17x3 cm

2) Kertas saring yang dibuat ujungnya runcing berukuran ±

15x2,5 cm

3) Lilin, bambu/ lidi, kardus, tali rafia, air bersih dan tinja

b. Prosedur kerja

1) Tinja dioleskan secukupnya pada bagian tengah kertas saring

2) Kertas saring yang sudah dioles tinja dimasukkan ke dalam

kantong plastik es lebih dahulu

3) Air ± 2 cc dimasukkan ke dalam kantong plastik es, kertas

saring dengan olesan tinja menjadi basah dan air akan

tertampung diujung sempit kantong plastik es

4) Kantong plastik es ditutup dengan memakai api lilin

5) Kantong plastik es digantungkan dengan jepitan kertas di

dalam kardus

6) Dibiarkan selama 4-7 hari pada suhu kamar (25-300 C)

26
7) Larva diperiksa dalam air diujung sempit kantong dengan

menggunakan mikroskop

4. Pemeriksaan telur cacing metode pita plastik perekat

a. Alat

1) Mikroskop

2) Objek glass

3) Selotip

b. Prosedur kerja

1) Alat dan bahan yang akan digunakan disiapkan

2) Selotip transparan diambil kemudian ditempel pada anus atau

perianal pasien

3) Kemudian selotip tersebut diangkat dan ditempelkan pada

objek glass

4) Preparat siap diperiksa di bawah mikroskop

5. Pembuangan limbah laboratorium

a. Wadah dari kertas, plastik, lidi/ stik diberi desinfektan (sodium

hipoklorit) kemudian dibakar

b. Wadah dari gelas/ kaca atau metal ditambahkan formalin 10%,

didiamkan 1 jam atau lebih kemudian dicuci dengan air bersih

c. Kaca objek bekas pakai direndam dalam larutan yang diberi

desinfektan ± 1 jam, kemudian dicuci dengan air bersih. Digunakan

lidi untuk melepas kaca penutup

27
H. Analisis Data

1. Data karakteristik subjek penelitian dan kuisioner yang diperoleh

dianalisis secara deskriptif dimana data yang diperoleh dari hasil

penelitian disajikan dalam bentuk tabel. Penilaian kuisioner dilakukan

dengan skala guttman. Menurut Sugiyono (2010), skala guttman

adalah skala pengukuran dengan data yang diperoleh berupa data

interval atau rasio dikotomi (dua alternatif). Jawaban dapat dibuat

dengan skor tertinggi 1 (satu) dan terendah 0 (nol).

Tipe cara pemberian bobot nilai yaitu:

Nilai 1 untuk jawaban yang benar

Nilai 0 untuk jawaban yang salah atau tidak diketahui

2. Data prevalensi dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut :

a. Prevalensi infeksi nematoda usus

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑎𝑐𝑖𝑛𝑔 𝑛𝑒𝑚𝑎𝑡𝑜𝑑𝑎 𝑢𝑠𝑢𝑠


x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

b. Prevalensi infeksi STH

1) Prevalensi ascariasis

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑎𝑐𝑖𝑛𝑔 𝐴.𝑙𝑢𝑚𝑏𝑟𝑖𝑐𝑜𝑖𝑑𝑒𝑠


x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

2) Prevalensi trichuriasis

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑎𝑐𝑖𝑛𝑔 𝑇.𝑡𝑟𝑖𝑐ℎ𝑖𝑢𝑟𝑎


x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

3) Prevalensi strongyloidiasis

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑎𝑐𝑖𝑛𝑔 𝑆.𝑠𝑡𝑒𝑟𝑐𝑜𝑟𝑎𝑙𝑖𝑠


x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

28
4) Prevalensi ancylostomiasis dan necatoriasis

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑎𝑐𝑖𝑛𝑔 𝐻𝑜𝑜𝑘𝑤𝑜𝑟𝑚


x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

c. Prevalensi infeksi Non STH

1) Prevalensi enterobiasis

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑡𝑒𝑙𝑢𝑟 𝑐𝑎𝑐𝑖𝑛𝑔 𝐸.𝑣𝑒𝑟𝑚𝑖𝑐𝑢𝑙𝑎𝑟𝑖𝑠


x 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑡𝑖𝑛𝑗𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

I. Jadwal Penelitian

Jadwal Penelitian Prevalensi Infeksi Nematoda Usus Di SDI Noelbaki


Desa Noelbaki Tahun 2014
No Jenis Kegiatan Waktu Pelaksanaan Bulan
Apr Mei Jun Jul Ags
1. Penyusunan dan
konsultasi proposal
2. Seminar proposal
penelitian
3. Perbaikan proposal
penelitian
4. Persiapan penelitian
5. Penelitian

6. Penyusunan hasil
penelitian
7. Seminar hasil
penelitian
8. Perbaikan hasil
seminar penelitian
9. Jilid istimewa KTI
dan pengumpulan
KTI

J. Rincian Biaya

No Rincian Biaya
1. Biaya alat dan bahan penelitian Rp. 700.000
2. Biaya penelitian Rp. 200.000
3. Biaya ATK Rp. 200.000
4. Biaya transportasi Rp. 200.000
5. Biaya lain-lain Rp. 300.000
Total Rp. 1.600.000

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Lokasi Penelitian

Sekolah Dasar Inpres Noelbaki (SDI) Noelbaki adalah salah satu

Sekolah Dasar (SD) di Desa Noelbaki yang terletak di Kecamatan Kupang

Tengah Kabupaten Kupang. Jumlah seluruh murid SDI Noelbaki kelas 1-6

sebanyak 778 orang. Populasi penelitian yang diambil adalah seluruh

murid kelas 1 A-B sebanyak 41 orang dengan perincian kelas 1 A

sebanyak 21 orang dan kelas 1 B sebanyak 20 orang.

Data yang dikumpulkan berupa data primer yang terdiri dari kuisioner

pengetahuan, sikap dan perilaku murid SDI Noelbaki dan hasil

pemeriksaan sampel menggunakan metode kato dan metode pita plastik

perekat. Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Jurusan Analis

Kesehatan dengan sampel penelitian sebanyak 37 orang.

B. Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini, jumlah subyek penelitian yang direkrut sebanyak

37 orang. Dari 37 orang itu terdiri dari laki-laki 22 orang dan perempuan

15 orang. Subyek penelitian diambil dari kelas 1 A-B yakni kelas 1 A

sebanyak 19 orang dan kelas 1 B sebanyak 18 orang. Karakteristik subyek

penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini :

30
Tabel 2. Karakteristik Subyek Penelitian
Jenis Kelamin, Usia, Jumlah Subyek Persentase (%)
Kelas Penelitian
Laki-laki 22 orang 59
Perempuan 15 orang 41
Total 37 orang 100
6 tahun 4 orang 11
7 tahun 24 orang 65
8 tahun 9 orang 24
Total 37 orang 100
1A 19 orang 51
1B 18 orang 49
Total 37 orang 100

C. Hasil Penelitian Nematoda Usus

Sampel diambil dari 37 murid SDI Noelbaki yang berjenis kelamin

laki-laki dan perempuan. Hasil pemeriksaan mikroskopis ditemukan 2

spesies nematoda usus yaitu Ascaris lumbricoides dan Enterobius

vermicularis. Spesies lain dari nematoda usus tidak ditemukan. Hasil

pemeriksaan infeksi nematoda usus di SDI Noelbaki Desa Noelbaki tahun

2014 dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Infeksi Nematoda Usus Di SDI Noelbaki Desa


Noelbaki Tahun 2014
No Kelas Jumlah Murid Hasil Pemeriksaan
positif Negatif
N % N %
1. A 19 2 11 17 89
2. B 18 1 6 17 94
Jumlah 37 3 8 34 92

Data tabel 3 menunjukkan bahwa prevalensi infeksi nematoda usus di

SDI Noelbaki sebesar 8%. Namun jika dilihat dari masing-masing kelas,

persentase positif infeksi nematoda usus terbesar ada pada kelas A dengan

persentase 11%, sedangkan kelas B dengan persentase 6%.

31
Nematoda usus terdiri atas dua kelompok yaitu Soil Transmitted

Helminths, nematoda usus yang dalam siklus hidupnya membutuhkan

tanah diantaranya Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongyloides

stercoralis, Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Non Soil

Transmitted Helminths, nematoda usus yang dalam siklus hidupnya tidak

membutuhkan tanah diantaranya Enterobius vermicularis.

Hasil pemeriksaan infeksi nematoda usus di SDI Noelbaki Desa

Noelbaki tahun 2014 terdapat 3 orang yang positif terinfeksi nematoda

usus. Distribusi jumlah sampel yang positif terinfeksi nematoda usus dapat

dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Infeksi Nematoda Usus Di SDI Noelbaki Desa


Noelbaki Tahun 2014 Berdasarkan Hasil Positif Nematoda Usus
No Kelas Jumlah Hasil Pemeriksaan
Murid AL TT AD NA SS EV
N % N % N % N % N % N %
1. A 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 100
2. B 1 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Jumlah 3 1 33 0 0 0 0 0 0 0 0 2 67

Berdasarkan hasil pemeriksaan infeksi nematoda usus yang positif di

SDI Noelbaki Desa Noelbaki tahun 2014 terdapat 2 jenis cacing yang

ditemukan yaitu Ascaris lumbricoides sebanyak 1 orang dengan persentase

33% dan Enterobius vermicularis sebanyak 2 orang dengan persentase

67%. Jika dilihat dari masing-masing kelas, jenis cacing yang paling

banyak menginfeksi murid SDI Noelbaki adalah Enterobius vermicularis

kemudian Ascaris lumbricoides. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya :

32
1. Kebiasaan bermain tanah di luar sekolah.

2. Kebiasaan tidak memakai alas kaki ketika beraktifitas di luar ruangan.

3. Kontak langsung dengan teman bermain sehingga telur cacing mudah

berpindah.

4. Kebersihan perseorangan yang kurang diperhatikan.

D. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

Aspek yang perlu diperhatikan dalam masalah infeksi cacing

diantaranya adalah pengetahuan, sikap dan perilaku. Dalam penelitian ini

digunakan kuisioner untuk mengukur pengetahuan, sikap dan perilaku

murid SDI Noelbaki mengenai infeksi cacing. Pada kuisioner yang

diberikan pada murid SDI Noelbaki terdapat 8 soal untuk pengetahuan

responden, 8 soal untuk sikap responden dan 6 soal untuk perilaku

responden. Jumlah seluruh soal yang diberikan sebanyak 22 soal. Hasil

perhitungan kuisioner dari murid SDI Noelbaki dapat dilihat pada tabel

berikut ini :

Tabel 6. Pengetahuan Responden


Item Pertanyaan % Jawaban Ya % Jawaban Tidak
P1 19 18
P2 3 34
P3 17 20
P4 8 29
P5 13 24
P6 14 23
P7 7 30
P8 13 24
Total 94 202
Rata-rata 11,75 25,25
Persentase 32 68

33
Tabel 2. Sikap Responden
Item Pertanyaan % Jawaban Ya % Jawaban Tidak
P1 30 7
P2 11 26
P3 34 3
P4 33 4
P5 35 2
P6 30 7
P7 34 3
P8 31 6
Total 238 58
Rata-rata 29,75 7,25
Persentase 80 20

Tabel 3. Perilaku Responden


Item Pertanyaan % Jawaban Ya % Jawaban Tidak
P1 33 4
P2 18 19
P3 24 13
P4 23 14
P5 18 19
P6 34 3
Total 150 72
Rata-rata 25 12
Persentase 68 32

Untuk persentase dari jawaban “ya” yang diperoleh dari kuisioner

maka dihitung terlebih dahulu kemudian ditempatkan dalam rentang skala

persentase sebagai berikut :

Nilai jawaban ya = 1

Nilai jawaban tidak = 0

Dikonversikan dalam persentase :

Jawaban ya = 1 x 100% = 100%

Jawaban tidak = 0 x 100% = 0% (sehingga tidak perlu dihitung)

34
Dari hasil perhitungan kuisioner untuk pengetahuan responden didapat

hasil 32%, sehingga dapat dikatakan pengetahuan murid SDI Noelbaki

mengenai infeksi cacing mendekati tidak sesuai.

Sehingga bila digambarkan dalam skala :

Tidak sesuai Sesuai

0 32 50 100

Perhitungan kuisioner untuk sikap responden didapat hasil 80%,

sehingga dapat dikatakan sikap murid SDI Noelbaki mengenai infeksi

cacing mendekati baik.

Sehingga bila digambarkan dalam skala :

Buruk Baik

0 50 80 100

Kemudian untuk perhitungan perilaku responden didapat hasil 68%,

sehingga dapat dikatakan perilaku murid SDI Noelbaki mengenai infeksi

cacing mendekati baik.

Sehingga bila digambarkan dalam skala :

Buruk Baik

0 50 68 100

35
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Prevalensi infeksi nematoda usus di Sekolah Dasar Inpres Noelbaki

tahun 2014 adalah sebesar 8% (Ascaris lumbricoides dan Enterobius

vermicularis).

2. Prevalensi infeksi STH di Sekolah Dasar Inpres Noelbaki tahun 2014

untuk Ascaris lumbricoides sebesar 3% sedangkan prevalensi

Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, Necator americanus dan

Strongyloides stercoralis adalah 0%.

3. Prevalensi Non STH di Sekolah Dasar Inpres Noelbaki tahun 2014

untuk Enterobius vermicularis adalah sebesar 5%.

4. Pengetahuan murid Sekolah dasar Inpres Noelbaki mengenai penyakit,

penyebab, cara penularan dan pencegahan infeksi cacing adalah sebesar

32% mendekati tidak sesuai. Untuk sikap murid SDI Noelbaki

mengenai pencegahan dan pengobatan infeksi cacing adalah sebesar 80%

mendekati baik. Perilaku murid SDI Noelbaki mengenai pencegahan dan

pengobatan infeksi cacing adalah sebesar 68% mendekati baik.

B. Saran

1. Perlunya menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat guna mencegah

terjadinya penyakit kecacingan

36
2. Pihak sekolah perlu memberikan penyuluhan atau pendidikan kesehatan

bagi murid SDI Noelbaki guna menambah pengetahuan mengenai

informasi-informasi kesehatan khususnya tentang infeksi cacing.

3. Perlunya pemberian obat cacing minimal enam bulan sekali guna

mencegah terjadinya infeksi cacing.

37

Anda mungkin juga menyukai