Anda di halaman 1dari 13

TUGAS 2 ENDOPARASIT (PROTOZOA)

TEKNIK LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER

Dosen Pengampuh: Drh. Debby Fadhila Pazra, M.Si

Disusun Oleh:

Hanny Helen (02.12.22.139)

PROGRAM STUDI KESEHATAN HEWAN

JURUSAN PETERNAKAN

POLITEKNIK PEMBANGUNAN PERTANIAN BOGOR

2024/2025
TUGAS:

Membuat penjelasan terkait jenis spesies protozoa minimal 5 untuk protozoa sarah dan
minimal 5 untuk protozoa selain darah (intensial, sistem reproduksi, dll):

a. Siklus hidup
b. Spesies rentan
c. Cara penularan
d. Gejala klinis
e. Teknik pengambilan sampel
f. Pengendalian dan pencegahan
g. Pengobatan.

JAWABAN:

PROTOZOA DARAH

1. Babesia spp
Protozoa Babesia spp. Adalah parasit intraseluler obligat yang menyebabkan penyakit
babesiosis pada manusia dan hewan. Penyakit ini dapat mengakibatkan gejala ringan
hingga parah, tergantung pada spesies Babesia dan kondisi kesehatan individu yang
terinfeksi.

Siklus Hidup:
Siklus hidup Babesia spp. Melibatkan tahap dalam inang vertebrata (biasanya
mamalia) dan inang vektor (biasanya kutu). Babesia berkembang biak dalam sel darah
merah inang, kemudian ditularkan melalui gigitan kutu yang terinfeksi ke inang
berikutnya.

Spesies Rentan:
Spesies yang rentan terhadap infeksi Babesia spp. Meliputi manusia, anjing, sapi,
kuda, domba, dan beberapa mamalia lainnya.

Cara Penularan:
Babesia spp. Ditularkan melalui gigitan kutu yang terinfeksi, transfusi darah yang
mengandung darah terinfeksi, transmisi plasental dari ibu ke janin, penggunaan
peralatan medis yang tidak steril, dan jarang melalui hubungan seksual.

Gejala Klinis:
Gejala klinis babesiosis bisa beragam, termasuk demam, mialgia, mual, muntah,
kelelahan, sakit kepala, pucat, pembesaran limpa, dan ikterus. Gejala dapat bervariasi
tergantung pada spesies Babesia, tingkat keparahan infeksi, dan kondisi kesehatan
individu.

Teknik Pengambilan Sampel:


Sampel darah diambil dari inang untuk deteksi Babesia spp. Dengan teknik
venipuntur. Darah diambil dari vena, dimasukkan ke dalam tabung vakum dengan
antikoagulan, dan kemudian dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan mikroskopis.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan babesiosis meliputi penghindaran gigitan kutu dengan menggunakan
perlindungan tubuh yang sesuai, pemeriksaan rutin pada hewan peliharaan, transfusi
darah yang teruji, dan sterilisasi peralatan medis. Pengendalian juga termasuk
pengendalian populasi kutu vektor.

Pengobatan:
Pengobatan untuk babesiosis biasanya melibatkan penggunaan obat-obatan
antiprotozoal seperti atovaquone dan azithromycin, atau kombinasi antara atovaquone
dengan proguanil. Pada kasus yang lebih parah, pemberian obat-obatan intravena dan
perawatan suportif mungkin diperlukan.

2. Trypanosoma evansi:
Trypanosoma evansi adalah protozoa parasitik yang menyebabkan penyakit trypanosomiasis,
juga dikenal sebagai surra atau nagana. Penyakit ini umumnya mempengaruhi hewan ternak
dan dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan dalam industri peternakan.

Siklus Hidup:
Trypanosoma evansi memiliki siklus hidup kompleks yang melibatkan inang vertebrata
(biasanya mamalia) dan vektor serangga, seperti lalat tabanid atau lalat tsetse. Parasit ini
berkembang biak dalam darah inang vertebrata dan ditularkan melalui gigitan vektor.

Spesies Rentan:
Trypanosoma evansi dapat menginfeksi berbagai jenis mamalia, termasuk kuda, sapi, kerbau,
kambing, domba, dan babi.

Cara Penularan:
Penularan utama terjadi melalui gigitan lalat vektor yang terinfeksi. Parasit juga dapat
ditularkan melalui transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, atau kontak langsung
dengan jaringan atau cairan tubuh dari hewan yang terinfeksi.

Gejala Klinis:
Gejala klinis dari infeksi Trypanosoma evansi pada hewan dapat bervariasi, termasuk demam,
penurunan berat badan, anemia, pembengkakan kelenjar limfe, dan gangguan sistem saraf
pusat yang mengakibatkan kejang dan gangguan perilaku.

Teknik Pengambilan Sampel:


Teknik pengambilan sampel biasanya melibatkan pengambilan darah untuk pemeriksaan
mikroskopis atau metode diagnostik molekuler seperti PCR (Polymerase Chain Reaction).

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan dan pengendalian trypanosomiasis dapat melibatkan penggunaan insektisida
untuk mengendalikan populasi vektor, pengobatan hewan yang terinfeksi, isolasi hewan yang
terinfeksi, dan tindakan biosekuriti untuk mencegah penularan.

Pengobatan:
Pengobatan trypanosomiasis pada hewan dapat melibatkan penggunaan obat-obatan seperti
suramin, diminazene aceturate, atau isometamidium chloride. Namun, keberhasilan
pengobatan dapat bervariasi tergantung pada tingkat keparahan infeksi dan respons individu
terhadap pengobatan.

3. Theileria spp
Protozoa Theileria spp. Adalah parasit intraseluler obligat yang menyebabkan penyakit
theileriosis pada hewan ternak, seperti sapi dan domba. Penyakit ini dapat menyebabkan
gejala ringan hingga parah, tergantung pada spesies Theileria dan kondisi kesehatan inang.

Siklus Hidup:
Siklus hidup Theileria spp. Melibatkan tahap dalam inang vertebrata (hewan ternak) dan
inang vektor (biasanya kutu atau caplak). Parasit berkembang biak di dalam sel darah inang,
kemudian ditransmisikan melalui gigitan vektor ke inang berikutnya.

Spesies Rentan:
Hewan ternak, terutama sapi dan domba, merupakan spesies rentan terhadap infeksi Theileria
spp.

Cara Penularan:
Theileria spp. Ditularkan melalui gigitan vektor, yaitu kutu atau caplak yang terinfeksi.
Gigitan vektor yang terinfeksi mengirimkan parasit ke dalam darah inang saat menghisap
darah.

Gejala Klinis:
Gejala klinis theileriosis pada hewan ternak meliputi demam, kelemahan, penurunan produksi
susu atau daging, pembesaran limpa dan hati, serta anemia. Infeksi yang parah dapat
menyebabkan kematian.

Teknik Pengambilan Sampel:


Sampel darah diambil dari hewan ternak yang dicurigai terinfeksi Theileria spp. Dengan
menggunakan teknik venipuntur. Darah kemudian diperiksa di laboratorium untuk
mendeteksi keberadaan parasit.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan theileriosis meliputi pengendalian populasi vektor, seperti kutu dan caplak,
dengan penggunaan insektisida dan praktik sanitasi yang baik. Vaksinasi juga tersedia untuk
beberapa spesies Theileria spp.

Pengobatan:
Pengobatan theileriosis pada hewan ternak biasanya melibatkan penggunaan obat-obatan
antiprotozoal, seperti diminazen aceturate, imidocarb, atau buparvaquone. Perawatan suportif
juga dapat diberikan untuk memperbaiki kondisi kesehatan hewan yang terinfeksi.

4. Hepatozoon spp
Hepatozoon spp adalah genus protozoa parasitik yang menyebabkan penyakit
hepatozoonosis pada hewan, terutama anjing dan kucing. Penyakit ini dapat
menyebabkan gejala yang serius pada hewan yang terinfeksi.

Siklus Hidup:
Siklus hidup Hepatozoon melibatkan dua inang, yaitu vertebrata (biasanya mamalia,
seperti anjing atau kucing) dan vektor serangga, seperti caplak. Siklus hidupnya
kompleks dan melibatkan tahap intraseluler di dalam sel darah merah inang dan tahap
ekstraseluler di dalam vektor.

Spesies Rentan:
Hepatozoonosis pada hewan utamanya terjadi pada anjing dan kucing, meskipun
infeksi pada spesies mamalia lainnya juga dapat terjadi dalam beberapa kasus.

Cara Penularan:
Penularan Hepatozoon biasanya terjadi melalui gigitan caplak yang terinfeksi. Caplak
tersebut mengandung sporozoit, bentuk infektif dari parasit, yang memasuki inang
vertebrata saat caplak menggigit.

Gejala Klinis:
Gejala klinis hepatozoonosis pada hewan dapat bervariasi tergantung pada tingkat
keparahan infeksi. Gejala umumnya meliputi demam, kelemahan, penurunan berat
badan, nyeri otot, pembengkakan kelenjar getah bening, dan gangguan pada sistem
pencernaan.

Teknik Pengambilan Sampel:


Teknik pengambilan sampel untuk diagnosis hepatozoonosis meliputi pengambilan
darah untuk pemeriksaan mikroskopis, seperti sediaan darah tipis atau sediaan darah
tebal, guna mendeteksi bentuk-bentuk parasit dalam darah.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan hepatozoonosis melibatkan pengendalian populasi caplak dengan
penggunaan insektisida, penggunaan perlindungan anti-caplak pada hewan peliharaan,
dan mengurangi eksposur hewan terhadap habitat yang dapat menjangkiti caplak.
Pengobatan hewan peliharaan yang terinfeksi juga penting untuk mencegah
komplikasi dan penyebaran penyakit.

Pengobatan:
Pengobatan hepatozoonosis pada hewan biasanya melibatkan pemberian obat-obatan
antiparasit, seperti trimetoprim-sulfonamida, doxycycline, atau clindamycin, untuk
membunuh parasit dalam tubuh inang. Terapi suportif juga dapat diberikan untuk
mengurangi gejala dan meningkatkan kesejahteraan hewan yang terinfeksi.

5. Leishmania spp
Leishmania spp adalah protozoa parasitik yang menyebabkan penyakit leishmaniasis.
Leishmaniasis dapat terjadi dalam beberapa bentuk, termasuk bentuk kutaneus,
mukokutan, dan viseral, yang disebabkan oleh berbagai spesies Leishmania.

Siklus Hidup:
Siklus hidup Leishmania melibatkan dua inang, yaitu vertebrata (sering kali mamalia,
termasuk manusia) dan vektor serangga, seperti nyamuk sandfly. Bentuk promastigota
dari parasit hidup dalam tubuh vektor, sedangkan bentuk amastigota hidup dalam sel
inang vertebrata, biasanya dalam sel makrofag.

Spesies Rentan:
Leishmania spp dapat menginfeksi berbagai jenis mamalia, termasuk manusia dan
hewan peliharaan seperti anjing.

Cara Penularan:
Penularan Leishmania terjadi melalui gigitan nyamuk sandfly yang terinfeksi.
Beberapa spesies Leishmania juga dapat ditularkan melalui transfusi darah atau
kontak langsung dengan jaringan atau cairan tubuh dari individu yang terinfeksi.

Gejala Klinis:
Gejala klinis leishmaniasis bervariasi tergantung pada bentuk penyakitnya.
Leishmaniasis kutaneus ditandai oleh lesi kulit yang dapat menimbulkan luka terbuka
dan parut. Leishmaniasis viseral, bentuk yang paling serius, dapat menyebabkan
demam, penurunan berat badan, pembesaran limpa dan hati, serta gangguan pada
organ dalam seperti limpa, hati, dan sumsum tulang.

Teknik Pengambilan Sampel:


Teknik pengambilan sampel untuk diagnosis leishmaniasis bisa berupa aspirasi dari
lesi kulit atau sumsum tulang, serta pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
mikroskopis atau metode diagnostik molekuler seperti PCR.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan leishmaniasis meliputi pengendalian vektor dengan menggunakan
insektisida, penggunaan pakaian pelindung yang menutupi kulit, penggunaan jaring
anti-nyamuk di tempat tidur, dan pengurangan kontak dengan hewan yang berpotensi
membawa parasit. Pengobatan hewan peliharaan seperti anjing yang terinfeksi juga
merupakan bagian dari strategi pengendalian.
Pengobatan:
Pengobatan leishmaniasis bergantung pada jenis penyakitnya dan keparahannya.
Terapi meliputi penggunaan obat-obatan seperti antimonium pentavalen, amphotericin
B, miltefosine, atau pentamidine. Kombinasi obat atau terapi jangka panjang mungkin
diperlukan untuk mengobati infeksi yang parah atau kronis.

DAFTAR PUSTAKA

Alvar, J., Vélez, I. D., Bern, C., Herrero, M., Desjeux, P., Cano, J., ... & Boer, M. De. (2012).
Leishmaniasis worldwide and global estimates of its incidence. PloS one, 7(5),
e35671.
Baneth, G., Sheiner, A., Eyal, O., Hahn, S., Beaufils, J. P., Anug, Y., & Talmi-Frank, D.
(2013). Redescription of Hepatozoon felis (Apicomplexa: Hepatozoidae) based on
phylogenetic analysis, tissue and blood form morphology, and possible
transplacental transmission. Parasites & vectors, 6(1), 102.
Desquesnes, M., Holzmuller, P., Lai, D. H., Dargantes, A., Lun, Z. R., & Jittapalapong, S.
(2013). Trypanosoma evansi and surra: a review and perspectives on transmission,
epidemiology and control, impact, and zoonotic aspects. BioMed Research
International, 2013.
Morrison, W. I., & McKeever, D. J. (2006). Current status of vaccine development against
Theileria parasites. Parasitology, 133(S1), S169-S187.
World Health Organization (WHO). (2019). Babesiosis. Diakses dari
[https://www.who.int/newsroom/factsheets/detail/babesiosis](https://
www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/babesiosis)

PROTOZOA SELAIN DARAH


1. Entamoeba spp
Entamoeba spp adalah genus protozoa parasitik yang mencakup beberapa spesies, termasuk
Entamoeba histolytica, yang menyebabkan amoebiasis pada manusia dan hewan.

Siklus Hidup:
Siklus hidup Entamoeba dimulai ketika kista (bentuk tahan lingkungan) protozoa ini ditelan
oleh inang melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi. Di dalam usus, kista tersebut
melepaskan bentuk aktif, yaitu trofozoit, yang berkembang biak dan dapat menyebabkan
infeksi.

Spesies Rentan:
Entamoeba histolytica, dalam spesifiknya, adalah spesies yang rentan terhadap infeksi
amoebiasis pada manusia dan beberapa spesies mamalia lainnya.

Cara Penularan:
Penularan amoebiasis terjadi melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan
kista Entamoeba spp. Kontak langsung dengan individu yang terinfeksi juga dapat
menyebabkan penularan melalui fecal-oral.

Gejala Klinis:
Gejala amoebiasis bervariasi, mulai dari diare ringan hingga infeksi usus yang parah dan
berpotensi fatal. Gejala lainnya termasuk perut kembung, nyeri perut, dan dalam kasus yang
parah, abses hati atau infeksi ekstraparasit seperti abses otak.

Teknik Pengambilan Sampel:


Teknik pengambilan sampel untuk diagnosis amoebiasis dapat melibatkan pemeriksaan tinja
untuk mendeteksi kista atau trofozoit Entamoeba spp, atau dapat melibatkan pengambilan
sampel dari lesi atau abses yang terbentuk sebagai akibat dari infeksi.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan amoebiasis melibatkan praktik higienis yang baik, termasuk mencuci tangan
dengan sabun setelah menggunakan toilet dan sebelum menyiapkan makanan. Penggunaan air
minum yang aman dan makanan yang terjamin kebersihannya juga penting. Pengendalian
infeksi dapat dilakukan dengan mengisolasi individu yang terinfeksi dan memberikan
pengobatan yang tepat.

Pengobatan:
Pengobatan amoebiasis biasanya melibatkan penggunaan obat-obatan antiparasit seperti
metronidazole atau tinidazole untuk membunuh Entamoeba spp dalam tubuh. Pada kasus
infeksi yang parah, perawatan tambahan seperti drainase abses atau terapi suportif mungkin
diperlukan.

2. Giardia spp
Giardia spp adalah genus protozoa parasitik yang menyebabkan penyakit giardiasis
pada manusia dan berbagai hewan, terutama mamalia.
Siklus Hidup:
Siklus hidup Giardia dimulai ketika kista (bentuk tahan lingkungan) protozoa ini
ditelan oleh inang melalui makanan, air, atau kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi. Di dalam usus, kista tersebut melepaskan bentuk aktif, yaitu trofozoit, yang
berkembang biak dan dapat menyebabkan infeksi.

Spesies Rentan:
Giardia spp dapat menginfeksi berbagai jenis mamalia, termasuk manusia, anjing,
kucing, sapi, dan hewan peliharaan lainnya.

Cara Penularan:
Penularan giardiasis terjadi melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi
dengan kista Giardia spp. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan individu yang terinfeksi atau kontaminasi dari benda-benda yang
terkontaminasi.

Gejala Klinis:
Gejala giardiasis bervariasi, mulai dari diare ringan hingga diare yang parah, kram
perut, mual, muntah, dan penurunan berat badan. Pada beberapa kasus, infeksi bisa
bersifat asimtomatik.

Teknik Pengambilan Sampel:


Teknik pengambilan sampel untuk diagnosis giardiasis melibatkan pengambilan
sampel tinja untuk pemeriksaan mikroskopis guna mendeteksi kista atau trofozoit
Giardia spp. Penggunaan tes molekuler seperti PCR juga dapat digunakan untuk
diagnosis yang lebih sensitif.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan giardiasis melibatkan praktik higienis yang baik, seperti mencuci tangan
dengan sabun setelah menggunakan toilet, sebelum menyiapkan makanan, dan
sebelum makan. Penggunaan air minum yang aman dan makanan yang terjamin
kebersihannya juga penting. Pengendalian infeksi dapat dilakukan dengan
mengisolasi individu yang terinfeksi, membersihkan lingkungan dengan baik, dan
memperhatikan kebersihan hewan peliharaan.

Pengobatan:
Pengobatan giardiasis biasanya melibatkan penggunaan obat-obatan antiparasit seperti
metronidazole, tinidazole, atau nitazoxanide untuk membunuh Giardia spp dalam
tubuh. Pemberian obat ini biasanya dilakukan selama beberapa hari hingga satu
minggu tergantung pada keparahan infeksi. Terapi lain atau kombinasi obat juga dapat
direkomendasikan dalam beberapa kasus.

3. Toxoplasma Gonddi
Giardia spp adalah genus protozoa parasitik yang menyebabkan penyakit giardiasis pada
manusia dan berbagai hewan, terutama mamalia.

Siklus Hidup:
Siklus hidup Giardia dimulai ketika kista (bentuk tahan lingkungan) protozoa ini ditelan oleh
inang melalui makanan, air, atau kontak langsung dengan individu yang terinfeksi. Di dalam
usus, kista tersebut melepaskan bentuk aktif, yaitu trofozoit, yang berkembang biak dan dapat
menyebabkan infeksi.

Spesies Rentan:
Giardia spp dapat menginfeksi berbagai jenis mamalia, termasuk manusia, anjing, kucing,
sapi, dan hewan peliharaan lainnya.

Cara Penularan:
Penularan giardiasis terjadi melalui konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi dengan
kista Giardia spp. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau kontaminasi dari benda-benda yang terkontaminasi.

Gejala Klinis:
Gejala giardiasis bervariasi, mulai dari diare ringan hingga diare yang parah, kram perut,
mual, muntah, dan penurunan berat badan. Pada beberapa kasus, infeksi bisa bersifat
asimtomatik.

Pengambilan Sampel:
Teknik pengambilan sampel untuk diagnosis giardiasis melibatkan pengambilan sampel tinja
untuk pemeriksaan mikroskopis guna mendeteksi kista atau trofozoit Giardia spp.
Penggunaan tes molekuler seperti PCR juga dapat digunakan untuk diagnosis yang lebih
sensitif.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan giardiasis melibatkan praktik higienis yang baik, seperti mencuci tangan dengan
sabun setelah menggunakan toilet, sebelum menyiapkan makanan, dan sebelum makan.
Penggunaan air minum yang aman dan makanan yang terjamin kebersihannya juga penting.
Pengendalian infeksi dapat dilakukan dengan mengisolasi individu yang terinfeksi,
membersihkan lingkungan dengan baik, dan memperhatikan kebersihan hewan peliharaan.

Pengobatan:
Pengobatan giardiasis biasanya melibatkan penggunaan obat-obatan antiparasit seperti
metronidazole, tinidazole, atau nitazoxanide untuk membunuh Giardia spp dalam tubuh.
Pemberian obat ini biasanya dilakukan selama beberapa hari hingga satu minggu tergantung
pada keparahan infeksi. Terapi lain atau kombinasi obat juga dapat direkomendasikan dalam
beberapa kasus.

4. Cryptosporidium spp
Cryptosporidium spp. Adalah protozoa parasit yang dapat menyebabkan penyakit
pada manusia dan hewan yang disebut kriptosporidiosis.
Siklus Hidup:
Siklus hidup Cryptosporidium melibatkan tahapan aseksual dan seksual di dalam
saluran pencernaan inangnya. Oosit yang matang dilepaskan ke lingkungan melalui
tinja inang dan dapat ditularkan ke inang lain melalui konsumsi air atau makanan
yang terkontaminasi.

Spesies Rentan:
Manusia dan hewan, terutama hewan yang hidup di lingkungan yang terkontaminasi,
rentan terhadap infeksi Cryptosporidium spp.

Cara Penularan:
Penularan terjadi melalui kontak langsung dengan feses yang terkontaminasi,
konsumsi air atau makanan yang terkontaminasi, atau kontak langsung dengan
individu yang terinfeksi.

Gejala Klinis:
Gejala kriptosporidiosis bisa beragam, termasuk diare, kram perut, mual, muntah,
demam ringan, dan penurunan berat badan. Pada individu dengan sistem kekebalan
tubuh yang lemah, infeksi bisa menjadi lebih parah.

Teknik Pengambilan Sampel:


Sampel tinja biasanya diambil untuk mendiagnosis infeksi Cryptosporidium spp.
Metode diagnosa termasuk pemeriksaan mikroskopis langsung, pemeriksaan antigen,
atau PCR (Polymerase Chain Reaction).

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan infeksi melibatkan pengolahan air yang tepat, praktik sanitasi yang baik,
dan menjaga kebersihan tangan. Pengendalian termasuk isolasi individu yang
terinfeksi, penanganan tinja dengan benar, dan sterilisasi lingkungan yang
terkontaminasi.

Pengobatan:
Pengobatan kriptosporidiosis terutama bersifat suportif, dengan fokus pada
pencegahan dehidrasi dan mengatasi gejala. Terkadang, agen antimikroba seperti
nitazoxanide dapat diresepkan untuk mengurangi durasi dan keparahan infeksi.

5. Trichomonas spp
Trichomonas spp adalah genus protozoa parasitik yang menyebabkan infeksi pada
manusia dan hewan. Trichomonas vaginalis adalah spesies yang paling umum dikenal
dan menyebabkan penyakit menular seksual yang disebut trikomoniasis pada
manusia.
Siklus Hidup:
Siklus hidup Trichomonas dimulai ketika trofozoit (bentuk aktif) protozoa ini
ditransmisikan melalui kontak seksual atau kontak langsung dengan benda-benda
yang terkontaminasi. Trofozoit kemudian berkembang biak di dalam tubuh inang,
biasanya pada saluran reproduksi.

Spesies Rentan:
Trichomonas spp dapat menginfeksi berbagai spesies hewan dan manusia.
Trichomonas vaginalis biasanya menyerang manusia dan menyebabkan trikomoniasis,
sementara spesies lainnya dapat menginfeksi hewan seperti burung dan hewan
peliharaan.

Cara Penularan:
Penularan trikomoniasis terutama terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom
dengan individu yang terinfeksi. Selain itu, penularan juga dapat terjadi melalui
kontak langsung dengan benda-benda yang terkontaminasi, meskipun ini jarang
terjadi.

Gejala Klinis:
Gejala trikomoniasis pada wanita bisa meliputi keputihan yang berbusa, berbau tidak
sedap, dan berwarna hijau atau kuning, serta rasa gatal atau terbakar pada vagina.
Pada pria, gejalanya mungkin ringan atau tidak ada, tetapi beberapa pria bisa
mengalami iritasi pada uretra atau rasa terbakar saat buang air kecil.

Teknik Pengambilan Sampel:


Teknik pengambilan sampel untuk diagnosis trikomoniasis meliputi pengambilan
swab dari saluran genital untuk pemeriksaan mikroskopis atau kultur. Selain itu, tes
molekuler seperti PCR juga dapat digunakan untuk diagnosis yang lebih sensitif.

Pencegahan dan Pengendalian:


Pencegahan trikomoniasis melibatkan praktik seks yang aman, seperti penggunaan
kondom. Menghindari hubungan seksual dengan individu yang terinfeksi juga
penting. Pengobatan dan pencegahan infeksi pada hewan peliharaan juga merupakan
bagian dari pengendalian penyakit.

Pengobatan:
Pengobatan trikomoniasis biasanya melibatkan penggunaan obat-obatan antiprotozoa
seperti metronidazole atau tinidazole. Pengobatan biasanya efektif dan dapat
menyembuhkan infeksi dalam beberapa hari. Hal penting yang harus diingat adalah
untuk mendapatkan pengobatan untuk semua pasangan seksual yang terinfeksi untuk
mencegah penularan kembali.
DAFTAR PUSTAKA

Checkley, W., White Jr, A. C., Jaganath, D., Arrowood, M. J., Chalmers, R. M., Chen, X.
M.& Xiao, L. (2015). A review of the global burden, novel diagnostics,
therapeutics, and vaccine targets for cryptosporidium. The Lancet infectious
diseases, 15(1), 85-94

Kissinger, P. (2015). Epidemiology and treatment of trichomoniasis. Current infectious


disease reports, 17(6), 484.

Ryan, U., Paparini, A., Tong, K., Yang, R., & Gibson-Kueh, S. (2015). Oligonucleotide array
for identification of Cryptosporidium spp., Giardia duodenalis, and
Enterocytozoon bieneusi in water samples. Applied and environmental
microbiology, 81(8), 2672-2680.

Stanley, S. L. (2003). Amoebiasis. The Lancet, 361(9362), 1025-1034

Tenter, A. M., Heckeroth, A. R., & Weiss, L. M. (2000). Toxoplasma gondii: from animals to
humans. International journal for parasitology, 30(12-13), 1217-1258.

Anda mungkin juga menyukai