b. Etiologi Patofisiologi
Tinea ini paling sering disebabkan oleh spesies anthropophilik
seperti Trichophyton rubrum (80 %), Tricophyton mentagrophytes
(20%), Epidermophyton floccosum (10%) dan oleh M. canis dan T.
Tonsurans jarang terjadi yang diteliti oleh British Infection Association
(Chadwick P, 2013).
Tinea pedis merupakan keadaan yang disebabkan oleh jamur yang
menginfeksi jaringan keratin seperti pada kulit, rambut, dan kuku.
Infeksi dimulai dengan perlekatan dermatofit pada jaringan keratin dan
kemudian terjadi penetrasi ke stratum korneum yang dibantu oleh
enzim keratolitik proteinase, lipase dan enzim musinolitik yang
dihasilkan oleh jamur (Wolff, et al,. 2008). Infeksi dimulai dengan
kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam jaringan keratin yang
mati. Hifa tersebut yang menghasilkan enzim keratolitik proteinase
berdifusi ke lapisan epidermis dan menimbulkan reaksi inflamasi.
Pertumbuhan jamur dengan pola radial menyebabkan timbulnya lesi
kulit melingkar, batas tegas dan meninggi yang disebut ringworm atau
tinea (Mansjoer dkk, 2000)
c. Gejala
1. Kulit atau telapak kaki retak, mengelupas sering terdapat pada sela-
sela jari kaki atau lipatan dari kaki
2. Kulit kemerahan dan gatal
3. Perih, nyeri terutama ketika terkena air
4. Lepuh pada kaki bisa berkerak atau menjadi borok
5. Kuku menjadi tebal dan berubah warna
d. Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan kultur. Identifikasi fungi superfisial
didasarkan pada makroskopik, mikroskopis dan karakteristik dari
organisme. Sabourad Dextrose Agar (SDA) merupakan medium isolasi
yang paling umum digunakan karena menampilkan deskripsi morfologi.
Pemeriksaan dengan lampu wood (365 nm) dapat menunjukkan
fluorosence pada jamur pathogen tertentu. Pada tinea pedis ditemukan
fluoresensi negative diluar eritrasma pada infeksi interdigital (Vhisnu et
al., 2015)
e. Reaksi Imun
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan
respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada
kondisi individu dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian
kemoterapi, obat-obatan transplantasi dan steroid membawa dapat
meningkatkan kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.
f. Uraian Obat
1. P
2. Pengobatan Tradisional
- Bawang Putih
Sebanyak 3 atau 4 siung ditumbuk kasar campur dengan air sampai
bisa merendam kaki atau tangan yang terkena kutu air, rendam
selama 30 menit kemudian kaki dikeringkan dengan handuk kering
dan bersih. Dalam bawang putih mengandung Aliin atau Ajoene
yang berfungsi sebagai antibacterial.
- Larutan Cuka
Asam asetat yang terkandung dalam cuka diyakini memiliki sifat
antijamur, sehingga mampu mengatasi kutu air ditelapak kaki.
Untuk mendapatkan manfaat cuka ini, anda dapat mencampur 1
cangkir cuka dengan 2 gelas air. Lalu, rendam kaki Anda yang
telah dibersihkan ke dalam larutan cuka tersebut.
- Garam
Larutkan satu cangkir garam ke dalam air hangat, kemudian
rendam kaki anda dengan larutan air garam tersebut selama 20
menit, lalu keringkan. Garam memiliki sifat antibakteri dan
antijamur yang kuat, sehingga dapat mengatasi kutu air di telapak
kaki sekaligus menghambat penyebarannya.
2. Tinea Fasialis
a. Definisi
Tinea fasialis adalah suatu dermatofitosis superfisial yang terbatas pada
kulit yang tidak berambut, yang terjadi pada wajah, memiliki
karakteristik sebagai plak eritema yang melingkar dengan batas yang
jelas (Suryantara, dkk. 2014)
a. Definisi
Skabies (kudis) ialah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh
infestasi dan sensitisasi tungua sejenis kutu yang bernama Sarcoptes
scabisi. yang berada di dalam terowongan-terowongan di lapisan
tanduk ( stratum koreum) kulit manusia pada tempat-tempat predileksi
(Hermawan, 2014).
Gambar Kudis
b. Etiologi Patofisiologi
Patofisiologinya yaitu setelah terjadi perkawinan (kopulasi) biasanya
tungau jantan akan mati, namun kadang-kadang masih dapat hidup
beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh betina. Setelah
tungau betina dibuahi, tungau ini akan membentuk terowongan pada
kulit sampai perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum
dengan panjangnya 2-3 mm perhari serta bertelur sepanjang
terowongan sampai sebanyak 2 atau 4 butir sampai sehari mencapai
40-50 butir. Telur-telur ini akan menetas dalam waktu 3-5 hari dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva tersebut sebagian
ada yang tetap tinggal dalam terowongan dan ada yang keluar dari
permukaan kulit, kemudian setelah 2-3 hari masuk ke stadium nimfa
yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki.
Waktu yang diperlukan mulai dari telur menetas sampai menjadi
dewasa sekitar 8-12 hari (Burns, 2004; Itzhak, 1995).
c. Gejala
Gejala yang ditunjukkan adalah warna merah, iritasi dan rasa gatal
pada kulit yang umumnya muncul di sela-sela jari, selangkangan dan
lipatan paha, dan muncul gelembung berair pada kulit (Djuanda, 2010)
d. Pemeriksaan
- Pruritus noktural yaitu gatal pada malam hari karena aktifitas
tungau yang lebih tinggi pada suhu yang lembab dan panas.
- Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya dalam
keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga, begitu pula dalam
sebuah perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar
tetangga yang berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut.
Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang seluruh anggota keluarganya
terkena.
- Adanya kunikulus (terowongan) pada tempat-tempat yang
dicurigai berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus
atau berkelok, rata-rata 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan
papula (tonjolan padat) atau vesikel (kantung cairan). Jika ada
infeksi sekunder, timbul polimorf (gelembung leokosit).
- Menemukan tungau merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Gatal yang
hebat terutama pada malam sebelum tidur. Adanya tanda : papula
(bintil), pustula (bintil bernanah), ekskoriasi (bekas garukan).
(Ariawati dan Ni, 2016)
e. Reaksi Imun
Kelainan berupa rasa gatal dan papul/papulo-vesikel merupakan
manifestasi proses imunologis. Pada kasus tinea scabies terjadi
hipersensitivitas tipe IV. Yang merupakan antigen adalah tubuh, secret
da ekstreta tungau; antibodi yang terbentuk akan menimbulkan reaksi
sesudah satu bulan (masa sensitisasi- masa inkubasi) pada infeksi
pertama, tetapi memerlukan waktu lebih singkat pada infeksi ulangan.
Faktor yang menentukan berat ringannya gejala tergantung jumlah
tungau yang berinfestasi, status imun pejamu serta cara dan frekuensi
mandi.
f. Uraian obat
1. Belerang endap (sulfur presipitatum), dengan kadar 4-20% dalam
bentuk salep atau krim. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori
pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai
pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.
2. Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium,
diberikan setiap malam selama tiga hari. Obat ini sulit diperoleh,
sering memberi iritasi, dan kadangkadang makin gatal setelah
dipakai.
3. Gama benzena heksa klorida (gameksan = gammexane) kadarnya
1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif
terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi
iritasi. Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala
diulangi seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat
pilihan, mempunyai dua efek sebagai anti skabies dan anti gatal.
Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.
5. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, kurang toksik
dibandingkan gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali
dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh diulangi setelah
seminggu. Tidak anjurkan pada bayi di bawah umur 12 bulan.
a. Definisi
Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang
disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare dan
ditandai dengan adanya makula di kulit, skuama halus dan disertai rasa
gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa
peradangan. Pityriasis versicolor biasanya mengenai wajah, leher,
badan, lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha (Madani A, 2000).
Penyakit ini terutama terdapat pada orang dewasa muda, dan
disebabkan oleh ragi Malassezia, yang merupakan komensal kulit
normal pada folikel pilosebaseus. Ini merupakan kelainan yang biasa
didapatkan di daerah beriklim sedang, bahkan lebih sering lagi terdapat
di daerah beriklim tropis. Alasan mengapa multipikasi ragi tersebut
sampai terjadi dan dapat menimbulkan lesi kulit pada orang-orang
tertentu belum diketahui (Graham-Brown, 2005).
Gambar. Panu
b. Etiologi Patofisiologi
Penyebab penyakit ini adalah Malassezia furfur, yang dengan
pemeriksaan morfologi dan imunoflorensi indirek ternyata identik
dengan Pityrosporum orbiculare . Prevalensi Pityriasis versicolor lebih
tinggi (50%) di daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab
(Radiono, 2001).
Pityriasis versicolor timbul disebabkan oleh organisme dimorfik,
lipofilik yaitu Malassezia furfur, yang dibiakan hanya pada media kaya
asam lemak rantai C12 – C14. Pityrosporon orbiculare,pityrosporon
ovale, dan malassezia furfur merupakan sinonim dari M.Furftur
merupakan flora normal kutaneus manusia, dan ditemukan pada 18%
bayi dan 90-100% dewasa (Partogi, 2008). Pada pasien dengan
stadium klinis jamur tersebut dapat ditemukan dalam bentuk spora dan
dalam bentuk filament (hifa). Faktor-faktor yang menyebabkan
berkembangnya menjadi parasit sebagai berikut:
- Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan keringat.
Hal ini merupakan penyebab sehingga pityriasis versicolor
banyak di jumpai di daerah tropis dan pada musim panas
didaerah subtropis. Faktor eksogen lain adalah penutupan kulit
oleh pakaianatau kosmetik dimana akan mengakibatkan
peningkatan konsentrasi CO2, mikroflora dan pH (Partogi,
2008).
- Sedangkan faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis
seboroik,sindrom cushing, terapi imunosupresan, hiperhidrosis,
dan riwayat keluarga yang positif. Disamping itu bias juga
karena Diabetes Melitus, pemakaian steroid jangka panjang,
kehamilan, dan penyakit-penyakit berat lainnya yang dapat
mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor (Partogi, 2008).
c. Gejala
- Bercak putih pada kulit dengan batas tegas, bersisik halus
- Gatal terutama bila berkeringat
d. Pemeriksaan
Kelainan kulit Pityriasis versicolor sangat superficial dan ditemukan
terutama dibadan. Kelainan ini terlihat sebagai bercak-bercak,
berwarna-warna, bentuk tidak teratur sampai teratur,batas jelas sampai
difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat dengan lampu
Wood. Bentuk papulo-vaskular dapat terlihat walaupun jarang.
Kelainan biasanya asimtomatik sehingga ada kalanya penderita tidak
mengetahui bahwa ia bepenyakit tersebut. Kadang-kadang penderita
dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan berobat.
Pseudoakromia akibat tidak terkena sinar matahari atau kemungkinan
pengaruh tokis jamur terhadap pembentukan pigmen sering dikeluhkan
penerita. Penyakit ini sering dilihat pada remaja walaupun anak-anak
dan orang dewasa tua tidak luput dari infeksi (Burke,2006).
e. Reaksi Imun
Pada kasus-kasus tertentu dapat timbul syok anafilaktik. Dapat
ditimbulkan oleh berbagai jenis makanan dan lateks. Ada dua fase
terjadinya respon imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi
dermatitis kontak alergik (Trihapsoro, 2003).
f. Uraian Obat
1. Pengobatan
Obat OWA
Nistatin Keterangan
Indikasi infeksi jamur lokal
Pemberian maksimal 1 tube (Menkes RI, 1990).
Efek Samping mual, muntal, diare pada dosis tinggi, iritasi oral dan
sensitisasi, ruam (termasuk urtikaria) dan dilaporkan terjadi
sindroma Stevens-Johnson (jarang).
Keterangan nistatin kurang efektif mengobati tinea
Sediaan Dewasa : salep, krim, mengandung 100.000 U/g
Anak-anak : sama seperti dewasa (MIMS Indonesia)
Dosis Oleskan atau taburkan di kulit yang terinfeksi panu.
Dewasa : Gunakan 2 – 4 kali / hari
Anak-anak : Gunakan 2 – 4 kali / hari
Kontraindikas Hipersensitif terhadap nistatin
i
Mikonaznoilrat
Keterangan
/ Mikonazol
Indikasi Infeksi jamur lokal
Pemberian Maksimal 1 tube (Menkes RI, 1990).
Sediaan Krim, lotion, atau bedak yang mengandung 2% miconazole.
Dosis Dewasa dan anak-anak 2 tahun ke atas, Oleskan 2 kali sehari
selama 2-6 minggu.
Cara pakai Oleskan tipis di seluruh permukaan yang terinfeksi panu
Kontraindikasi Hipersensitif mikonazol
Efek samping (Jarang) Iritasi, terbakar, maceration, alergi kontak dermatitis.
Tolnaftat Keterangan
Indikasi Infeksi jamur lokal
Pemberian Maksimal 1 tube (Menkes RI, 1990).
Dosis Topikal 1%, Oleskan 2 kali sehari
Cara pakai Oleskan tipis di seluruh permukaan yang terinfeksi panu
Efek samping Iritasi, alergi, kontak dermatitis, pruritus, stinging
Sediaan gel, powder, krim
Kontraindikasi Hipersensitif
Ekonazole Keterangan
Indikasi Infeksi jamur lokal
Pemberian Maksimal 1 tube (Menkes RI, 1990).
Efek Samping Erithema (3%), (frekuensi tidak ditetapkan) : rasa terbakar
dan menyengat, pruritus
Keterangan Lanjutkan terapi sampai waktu regimen tuntas walaupun
infeksi hilang.
Sediaan Krim, sabun
Dosis 1%, pakai setiap hari, selama 2 minggu.
Interaksi + warfarin : ekonazol topikal meningkatkan efek warfarin
dengan cara menurunkan metabolisme. Lakukan monitor.
Kontraindikasi Hipersensitivitas
Gambar
Merk dagang Ecoza, econazole
Hidroquinon Keterangan
Indikasi Hiperpigmentasi kulit
Pemberian Maksimal 1 tube (Menkes RI, 1990).
Efek Samping Frekuensi tidak ditetapkan : iritasi dan sensitisasi kulit ringan
(terbakar, menyengat), infeksi kulit, kekeringan, eritema,
reaksi inflamasi.
Dosis Dewasa : krim topikal (2%, 4%), lotion (2%), emulsi (4%),
larutan topikal (2%, 3%), gel topikal (2%, 4%)
Terapkan ke daerah yang terkena dan gosokkan secara
menyeluruh 2 kali sehari.
Peringatan Kontraindikasi : hipersensitivitas, terbakar sinar
matahari, use as depilatory drug.
Perhatian : mengandung sulfit yang dapat menyebabkan
reaksi tipe-alergi, hindari paparan sinar matahari yang tidak
perlu, jangan mengaplikasikan dekat mata, kulit yang luka,
terkelupas, atau terbakar sinar matahari, setelah bercukur atau
menggunakan obat penghilang rambut; atau pun pada miliaria
rubra (biang keringat).
Kehamilan dan Kategori Kehamilan: C
laktasi Laktasi: tidak diketahui jika didistribusikan dalam ASI;
Gunakan dengan hati-hati
Ketokonazol Keterangan
Kelas obat Topikal
Pemberian Kadar ≥ 2%, krim 1 tube, scalp sol. 1 btl. (Menkes RI, 1993).
Indikasi Sebagai obat luar untuk infeksi jamur lokal
Dosis dan cara Shampoo (2%) : Oleskan ke area kulit lembap yang terkena,
penggunaan gosok, tunggu 5 menit dan bilas (satu kali biasanya cukup)
Krim (2%) : Gunakan satu kali setiap hari untuk melindungi
area sekitarnya dan sekitarnya selama 2 minggu.
Penyimpanan Simpan di suhu 15 – 25 ˚C
Efek samping Dampak buruk 1-10% :Iritasi parah, pruritus, menyengat.
Frekuensi tidak ditetapkan : (Sampo) Kerontokan rambut /
alopecia, gangguan tekstur rambut tidak normal, scalp
pustules, kulit kering, pruritus, ketertarikan / kekeringan pada
rambut dan kulit kepala.
Postmarketing reports : sensasi terbakar, rasa sakit, iritasi
kulit, eritema.
Peringatan Kontraindikasi : Hipersensitivitas, kulit kepala yang rusak
atau meradang (OTC self-medication)
Perhatian : Hentikan jika iritasi terjadi, angioedema pernah
dilaporkan, shampoo dapat menghitamkan rambut dan
mengubah tekstur rambut, beberapa formulasi mengandung
sulfit, yang dapat menyebabkan reaksi tipe-alergi; juga dapat
menyebabkan episode asthma yang berat yang mengancam
jiwa atau berat pada beberapa pasien, hindari kontak dengan
mata dan selaput lendir lainnya; bukan untuk penggunaan
oral, intravaginal atau ophthalmic; hentikan penggunaan dan
hubungi petugas kesehatan profesional jika kondisi
memburuk atau tidak membaik
Kehamilan & Kehamilan : Infertilitas
Laktasi Laktasi : dalam studi hewan ketoconazole ditemukan dalam
susu setelah pemberian oral
Obat OTC
2. Pengobatan Tradisional
- Lengkuas
Lengkuas adalah salah satu bahan alami yang dapat diolah
menjadi obat untuk pengidap panu. Kandungan dari lengkuas
yang terdiri dari natrium, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan
lainnya yang baik untuk kesehatan tubuh. Senyawa dari
lengkuas dapat menghambat oksida dan produksi
lipopolysaccharides. Cara menggunakannya yaitu dengan
memotong lengkuas tersebut, lalu gosok pada panu selama 5
menit dan lakukan dua kali sehari.
- Bawang Putih
Bawang putih adalah salah satu bahan alami yang dapat
digunakan untuk menghilangkan panu. Kandungan allicin pada
bawang putih dapat menjadi zat biologis yang berguna sebagai
antibakteri. Selain itu, bawang putih juga kaya akan kandungan
antoksidan dan baik untuk anti-bakteri serta anti-jamur. Cara
pakainya, yaitu potong bawang putih menjadi dua bagian, lalu
gosokkan pada panu selama 5 menit dan lakukan dua kali
sehari.
- Minyak Kelapa
Salah satu pengobatan dengan bahan rumah tangga yang efektif
untuk menghilangkan panu adalah minyak kelapa. Bahan
tersebut mengandung asam laurat yang merupakan zat anti-
jamur dan anti-bakteri. Selain itu, minyak kelapa juga dapat
menjadi pelembap alami kulit. Cara pemakaiannya adalah
campurkan minyak kelapa dengan minyak kayu manis, lalu
oleskan pada bagian yang terserang panu.
a. Definisi
Ketombe adalah kelainan kulit kepala, dimana terjadi perubahan pada
sel stratum korneum epidermis dengan ditemukannya hiperproliferasi,
lipid intraseluler dan interseluler yang berlebihan, serta parakeratosis
yang menimbulkan skuama halus, kering, berlapis-lapis, sering
mengelupas sendiri serta terasa gatal (Ervianti, 2006)
Gambar ketombe
b. Etiologi Patofisiologi
Etiologi dari ketombe ini belum diketahui secara pasti, sekalipun
diperlihatkan adanya jamur lipofilik (Misalnya, Malassezia furfur)
pada preparat antifungal. Tumpukan parakeratosis yang bercampur
dengan sel-sel radang akut berkumpul disekitar folikel rambut dengan
infiltrate sel-sel neutrophil dan limfosit di seluruh daerah perivascular
superfisial. Malassezia sp. Merupakan flora normal kulit dan
berjumlah 46% dari populasi, sedangkan pada penderita ketombe
jumlah tersebut meningkat menjadi 74%. Pityrosporum ovale,
termasuk golongan jamur, sebenarnya adalah flora normal di rambut.
Akan tetapi berbagai keadaan seperti suhu, kelembaban, kadar minyak
tinggi, dan penurunan imunitas dapat memicu pertumbuhan berlebihan
dari jamur ini.
Terdapat beberapa urutan patofisiologi terjadinya ketombe :
1. Ekosistem Malassezia dan interaksi Malassezia pada epidermis
2. Inisiasi dan perkembangan dari proses infamasi
3. Proses kerusakan, proliferasi, dan diferensiasi pada epidermis
4. Kerusakan barrier secara fungsional maupun struktural
c. Gejala
Timbul sisik yang berlebihan di kulit kepala. Ketombe ditandai oleh
warna kemerahan pada kulit dengan batas tidak jelas disertai skuama
halus sampai agak kasar, dimulai pada salah satu bagian kulit kepala,
kemudian dapat meluas hingga seluruh kulit kepalaskuama kering,
halus, berwarna putih keabu-abuan tanpa tanda-tanda inflamasi dan
skuama dapat bertebaran diantara batang rambut atau jatuh pada kerah
baju ataupun bahu penderita, sehingga kulit kepala penuh dengan
skuama seperti bubuk halus. Ketombe biasanya asimtomatik, tapi bisa
juga menimbulkan rasa gatal yang hebat. Pada kasus yang kronis dapat
disertai sedikit kerontokan rambut yang reversibel.
d. Pemeriksaan
1) Gambaran atau gejala klinis yang khas
Berupa sisik-sisik halus atau serbuk kering yang berwarna putih
abuabu dan mengumpul pada beberapa lokasi permukaan kulit
kepala atau menyeluruh. Penderita biasanya mengeluh rasa gatal
pada kulit kepala terutama bila udara panas dan berkeringat dan
disertai kerontokan rambut.
2) Pemeriksaan lampu wood
Pemeriksaan ini dilakukan di kamar atau ruangan yang gelap
sehingga metode ini klinisi harus mempersiapkan ruangan yang
sesuai beserta lampu wood yang akan digunakan untuk
mendiagnosis pasien. Hasil dari pemeriksaan lampu wood ini akan
tampak fluoresensi biru keputihan pada area kulit kepala yang
berketombe
3) Pemeriksaan laboratorium semikuantitatif
Dengan cara pewarnaan KOH 10-20% + tinta parker blue black
pada spesimen dari hasil kerokan kulit kepala berambut atau
dengan menempelkan selotip pada daerah kulit kepala yang
berketombe dan segera diamati di mikroskop cahaya pembesaran
1000x. Hasil positif bila di dapatkan jumlah rerata jamur
Malassezia sp. lebih dari atau sama dengan 10 spora per lapangan
pandang besar.
e. Respon Imun
f. Uraian Obat
1. Sulfur
Sulfur memiliki sejarah panjang pada pengobatan kulit seperti
untukacne ointment, sampo anti ketombe dan antidote karena
terpapar materialradioaktif secara akut. Efek anti ketombe karena
kemampuannya sebagaikeratolitik. Sulfur dapat digunakan sebagai
anti ketombe sampai dengan kadar10% dan dapat dikombinasi
dengan asam salisilat untuk meningkatkan efekanti ketombenya
2. Asam salisilat
Asam salisilat merupakan zat yang sering ditambahkan pada
produk perawatan kulit untuk perawatan jerawat dan psoriasis.
Efek pada kulit sebagaikeratolitik, dijadikan dasar penambahan
asam salisilat pada produk sampo perawatan ketombe. Pada kulit
dapat mempercepat regenerasi sel. Dalam peraturan Ka Badan
POM No. HK.00.05.42.1018 kadar asam salisilat dibatasi3% untuk
produk bilas dan 2% untuk produk lainnya
3. Selenium sulfide
Selenium sulfida dengan kadar 1% dan 2,5% digunakan pada
kulitkepala untuk mengontrol gejala ketombe dan seborrheic
dermatitis.Mekanisme kerjanya sebagai anti ketombe dengan
menghambat pertumbuhansel baik yang hiperproliferatif atau
normal. Selenium sulfida 1% digunakansebagai anti ketombe
sedang selenium sulfida mikronisasi 0,6%. Efek samping dari
penggunaan selenium sulfida adalah iritasi kulit, rambut kering
atau berminyak, rambut rontok.
4. Seng pirition
Bekerja sebagai anti mitosis, bakteriostatik dan fungistatik (drugs).
Seng pirition merupakan anti ketombe yang efektif dan bersifat anti
fungi. Efek antiketombe berdasarkan kemampuan molekul pirition
yang tak terionisasi untukmengganggu transpor membran dengan
menghambat mekanisme energi pompa proton sehingga dapat
menghambat pertumbuhan jamur. Dalam peraturan Ka Badan
POM No. HK.00.05.42.1018, kadar Seng pirition sebagaianti
ketombe dibatasi 2% untuk produk dibilas dan 0,1% produk non-
bilas.
5. Pirokton olamine
Pirokton olamin atau Octopirox adalah suatu senyawa digunakan
sebagaiterapi infeksi jamur. Seringkali digunakan sebagai salah
satu komponen sampoanti ketombe sebagai pengganti seng
pirition.
DAFTAR PUSTAKA
Chadwick, P., & Podiatrist, S. R. (2013). Fungal infection of the diabetic foot: the often
ignored complication. The Diabetic Foot Journal, 16, 102-7.
Ariawati N. L. dan Ni Luh P. E. D. 2016.Tinjauan Pustaka Penyakit Scabies.
Hermawan, Danny A. 2014. “Mengenal Penyakit Scabies”. Forum Penelitian.
Miftahurohmah, dkk. 2013. “Hubungan Kejadian Tinea Pedis (Kutu Air) dengan Praktik
Personal Hygiene pada Pemulung di TPA Tanjunggrejo Kudus”. Forum
Penelitian, 1 (2) STIKES Cendekia Utama Kudus.
Mansjoer, A, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1990, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
347/MenKes/SK/VlI/1990 Tentang Obat Wajib Apotik, Menteri Kesehatan,
Jakarta, Indonesia.
Murray, C. K., Loo, F. L., Hospenthal, D. R., Cancio, L. C., Jones, J. A., Kim, S. H., ... &
Wolf, S. E. (2008). Incidence of systemic fungal infection and related mortality
following severe burns. Burns, 34(8), 1108-1112.
Sharma, Vishnu, et al, 2015, ‘Dermatophytes: Diagnosis of dermatophytosis and its
Treatment’, African Journal of Microbiology Research, Vol. 9, No. 19, pp. 1286-
1293.
Suryantara, I Pt Agus, dkk. 2014. “Diagnosis dan Tatalaksana Tinea Fasialis”. Forum
Penelitian, FKUNUD.