EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan lebih banyak terjadi pada daerah-
daerah tropis dengan temperatur dan kelembaban yang tinggi. Tinea fasialis
banyak terjadi pada anak-anak. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa wanita
mungkin lebih sering terinfeksi daripada pria . Pada wanita, infeksi dermatofit
pada wajah dapat didiagnosis sebagai tineafasialis, sedangkan infeksi-infeksi lain
yang terjadi pada pria di daerah yang sama didiagnosis sebagai tinea barbae.2
Tinea fasialis dapat terjadi pada semua umur, dengan dua usia insiden
puncak.Usia insiden pertama meningkat pada anak-anak karena kebiasaan mereka
kontak dengan hewan peliharaan. Kasus yang jarang dapat terjadi pada neonatus
1
yang mungkin terinfeksi dari kontak langsung dari saudara mereka yang terinfeksi
atau kontak langsung dari hewan peliharaan. Usia insiden yang lain dapat
meningkat pada usia 20-40 tahun.1,2
ETIOLOGI
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang berasal dari genus
Microsporum,Trichophyton dan Epidermophyton. Organisme-organisme ini, yang
disebut dermatofit, adalah agen patogenik yang keratinofilik. Klasifikasi
dermatofit, antara lain:3,4
2
b. Spesies yang terbatas pada letak geografis : M. ferrugineum (tersebar di Afrika,
India, Eropa Timur, Asia, dan Amerika Selatan, T. concentricum (tersebar di Pulau
Pasifik, India, dan Amerika Selatan), T. gourvilii (tersebar di Afrika Tengah dan
Afrika Selatan), T. megninii, T. schoenleinii, T. soudanense, dan T. violaceum.
Agen penyebab tinea fasialis juga sangat bervariasi dan tergantung pada
letak geografisnya: 1,2,5
1. Secara umum, reservoir hewan pada zoophilic dermatofit, terutama
Microsporum canis, terdapat pada hampir semua hewan peliharaan.
2. Di Asia, Trichophyton violaceum dan Trichophyton rubrum yang tersering.
3. Di Amerika Utara, Trichophyton tonsurans adalah pathogen yang utama.
4. Di Brazil, Trichophyton rubrum yang tersering. Namun, Trichophyton raubitschekii
yang merupakan spesies jamur baru di Brazil, yang memiliki kesamaan sifat
dengan Trichophyton rubrum , telah diteliti dapat menjadi agen penyebab tinea
fasialis.
PATOMEKANISME
Invasi epidermis oleh dermatofit mengikuti pola biasa pada infeksi yang
diawali dengan pelekatan antara artrokonidia dan keratinosit yang diikuti dengan
penetrasi melalui sel dan antara sel serta perkembangan dari respon penjamu.6
Perlekatan
Pada stratum korneum, fase pertama dari invasi dermatofit melibatkan infeksi
artrokonidia ke keratinosit. Secara in vitro , proses ini komplit dalam waktu 2 jam
setelah kontak, dimana stadium germinasi dan penetrasi keratinosit timbul.
3
Perkecambahan arthroconidia dan perpanjangan hifa yang mengikuti proses
adhesi radial dan in vitro, ada bukti lekukan keratinosit di bawah tempat hifa
tumbuh, mungkin sebagai akibat aksi enzimatik. Berbagai dermatofit
menunjukkan kerja yang sama, yang tidak terpengaruhi oleh sumber keratinosit.
Dermatofit ini harus bertahan dari efek sinar ultraviolet, temperatur dan
kelembaban yang bervariasi, kompetisi dengan flora normal, dan dari asam lemak
yang bersifat fungistatik.4,6
Penetrasi
Diketahui secara luas dermatofit bersifat keratinofilik. Kerusakan yang
ditimbulkan di sekitar penetrasi hifa diperkirakan berasal dari proses digesti
keratin. Dermatofit akan menghasilkan enzim-enzim tertentu (proteolitik),
termasuk enzim keratinase dan lipase, yang dapat mengakibatkan dermatofit
tersebut akan menginvasi stratum korneum dari epidermis. Proteinase lainnya dan
kerja mekanikal akibat pertumbuhan hifa mungkin memiliki peran. Meskipun
demikian, masih sulit untuk membuktikan mekanisme produksi enzim oleh
dermatofit dengan aktivitas keratin-specific proteinase. Trauma dan maserasi juga
memfasilitasi proses penetrasi ini.1,4,6
4
Hipersensitivitas tipe IV atau delayed-type hypersensitivity memegang peran yang
penting dalam menyembuhkan dermatofitosis. Kemampuan imunitas seluler ini
diatur oleh sekresi interferon dari limfosit T-helper tipe 1. Pada pasien tanpa
paparan dermatofit sebelumnya, infeksi primer menyebabkan infeksi minimal, dan
tes trichophytin negative. Infeksi ini menimbulkan eritema ringan dan skuama,
sebagai akibat dari meningkatnya turn-over keratinosit. Terdapat hipotesis bahwa
antigen dermatofit diproses oleh sel epidermal Langerhans dan dipresentasikan
dalam limfonodus lokal ke limfosit T. LimfositT kemudian akan berprolifeasi dan
akan bermigrasi ke dermis dan epidermis untuk melawan jamur. Pada saat ini, lesi
akan mengalami inflamasi, dan epidermis akan menjadi permiabel terhadap
transferin dan sel-sel yang bermigrasi, sehingga dengan segera jamur dapat
dibersihkan dan lesi menyembuh secara spontan. Tes trichophytin sekarang
menjadi positif.4
DIAGNOSIS
Penderita tinea fasialis biasanya datang dengan keluhan rasa gatal dan
terbakar,dan memburuk setelah paparan sinar matahari (fotosensitivitas). Namun,
kadang-kadang,penderita tinea fasialis dapat memberikan gejala yang
asimptomatis. Tanda klinis yang dapat ditemukan pada tinea fasialis, antara lain:
5
bercak, makulasampai dengan plak, sirkular, batas yang meninggi, dan regresi
sentral memberi bentuk seperti ring-like appearance. Kemerahan dan skuama tipis
dapat ditemukan. 1,7,8
1. Anamnesis
Hal-hal yang dapat kita temukan dari anamnesis, antara lain:1,7
Rasa gatal di bagian wajah, disertai sensasi terbakar dan memburuk setelah
paparan sinar matahari.
Ada riwayat kontak dengan hewan peliharaan
Ada riwayat kontak langsung dengan penderita dermatofitosis
Ada riwayat penggunaan bersama barang-barang penderita dermatofitosis,
misalnya handuk.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisis dapat kita temukan makula sampai dengan plak yang
berbatas tegas, batas yang meninggi, dan regresi sentral. Skuama biasanya
nampak,namun minimal. Lesi berwarna merah sampai merah muda. Pada
penderita yang berkulit hitam, terjadi lesi hiperpigmentasi. Lesi bisa terdapat pada
seluruh bagian wajah, tetapi biasanya tidak simetris.1
Gambar 2. Lesi asimetris, berbatas tegas, plak eritema, dengan skuama dan krusta
(dikutip dari kepustakaan 1)
6
Gambar 3. Plak eritema dengan skuama minimal, tetapi cukup untuk melakukan
pemeriksaan KOH (dikutip dari kepustakaan 1)
3.Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada tinea
fasialis,antara lain:6,7,9,10
7
Gambar 5. Preparat KOH yang diambil dari seseorang dengan dermatofitosis epidermal.
Tampak struktur hifa dan formasi spora (dikutip dari kepustakaan 15)
Gambar 6. Kiri: pemeriksaan KOH positif (dikutip dari kepustakaan 16) - Kanan: dalam
chlorazol black stain, gambar dermatofit Trichophyton tonsurans (dikutip dari
kepustakaan 2)
8
sayangnya, pemeriksaan ini kadang tidak terlalu bermanfaat sebab
beberapa dermatofit yang hidup di daerah Amerika Serikat,tidak dapat
terfluoresensi.
c. Pemeriksaan Kultur
Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang mahal,
tetapi pemeriksaan ini sangat berguna ketika pemeriksaan yang lain
meragukan. Spesimen dibiakkan pada Saborauds dextrose agar dan
penambahan obat sikloheksimid atau kloramfenikol untuk mencegah
bakteri lain tumbuh. Dibutuhkan waktu 7-21 hari untuk membiakkannya..
d. Biopsi kulit
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding pada tinea fasialis, antara lain:1,2,11
Dermatitis seboroik
Dermatitis seboroik adalah dermatosis kronik yang tersering, yang
memiliki gambaran kemerahan dan skuama yang terjadi pada daerah-
daerah yang memiliki kelenjar keringat yang aktif, seperti wajah dan kulit
kepala, juga di daerah dada. Gejala yang timbul berupa gatal, sangat
bervariasi, biasanya gatal semakin memburuk dengan meningkatnya
perspirasi. Pada pemeriksaan fisis ditemukan makula atau papul berwarna
kemerahan atau keabu-abuan dengan skuama kering berwarna putih.
Ukurannya bervariasi, antara 5-20 mm. Berbatas tegas, sering terdapat
9
krusta dan celah pada telinga luar bagian belakang. Skuama yang terdapat
pada kulit kepala inilah yang sering disebut sebagai ketombe.
Gambar 7. Dermatitis seboroik pada wajah. Terlihat eritema dan skuama kekuningan pada
dahi, pipi, plica nasolabialis, dan dagu (dikutip dari kepustakaan 1)
10
Gambar 10. A) subtipe eritematotelangiektasis. B) subtipe papulopustular. Tampak
eritema persisten dengan papul dan pustul kecil. C) subtipe papulopustular yang parah
(severe). D) subtipe phymatous berat (dikutip dari kepustakaan 11)
PENATALAKSANAAN
1. Sistemik1,2
Untuk pengobatan sistemik dalam mengeradikasi dermatofit, obat-obatan
oralyang digunakan, antara lain:
11
solusiooral (10 mg/ml) dalam intravena. Untuk Triazole, kerjanya
membutuhkan pH asam pada lambung agar kapsulnya larut. Dapat
menimbulkan aritmia ventricular bila dikonsumsi bersama terfenadine/
astemizole, meskipun jarang. Golongan azole lainnya, yaitu ketokonazole
juga memiliki potensial interaksi dengan obatlain, seperti agen
hipoglikemik oral, kalsium antagonis, fenitoin, dan lain-lain.
Terbinafin: dosis untuk dewasa adalah 250 mg/hari selama 2 minggu, dan
dosis anak-anak adalah 62,5 mg/hari (<20 kg), 125 mg/hari (20 40 kg)
atau 250mg/hari (>40 kg) selama 2 minggu. Sediaannya 250 mg dalam
tablet. Dapat menyebabkan mual, dispepsia, nyeri perut, kehilangan
pengecapan. Pengobatan topikal dinilai memiliki respon yang baik
terhadap infeksi yang terjadi, apalagi bila tidak terjadi folikulitis.
Ketokonazol (Nizoral)
Ekonazol (Spectazole)
Oxikonizol (Oxistat)
12
Sulkonizol (Exelderm)
Naftifin (Naftin)
Allylamines Terbinafin (Lamisil)
DAFTAR PUSTAKA
13
2. Starova A, Stefanova MB, Skerlev M. Tinea Faciei- Hypo Diagnosed
Facial Dermatoses. In: Macedonian Journal of Medical Sciences.
Macedonia; 2010. p. 28-30.
3. Anonymous. Dermatophytosis. In: Institute for International Cooperation
in Animal Biologics. Iowa; 2005. p. 1-6.
4. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial Fungal Infections:
Dermatophytosis, onychomycosis, tinea nigra, piedra. In: Freedberg IM,
Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, editors.
Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 6 th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies; 2009. p. 1993-4.
5. Costa AR, Criado PR, Valente NYS, Sittart JAS, Stelmach RS,
Vasconcellos C. Trichophyton Raubitschekii A New Agent of
Dermatophytosis in Brazil?. In: Dermatology Online Journal. Vol. 9.
Brazil: 2003; 9(1): 6.
6. Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, editors. Rooks Textbook of Dermatology. 7th ed. USA:
BlackwellPublishing; 2004. p. 5-6, 22-3.
7. Hainer BL. Dermatophyte infections. Carolina: Medical University of
South Carolina; 2003. p. 101-8.
8. Khaled A, Chtourou O, Zeglaoui F, Fazaa B, Jones M, Kamoun MR. Tinea
Faciei: A Report on Four Cases. Acta Dermatoven APA 2007; 16 (4): 170-
3.
9. Trozak DJ, Tennehouse DJ, Russell JJ. Dermatology Skills for Primary
Care, An Illustrated Guide. New Jersey: Humana Press; 2006. p. 121-6.
10. Thomas B. Clear Choices in Managing Epidermal Tinea Infections. The
Journal of Family Practice 2003; 52 (11): 850-4, 861.
11. Wolff K, Johnson RA. Rosacea. In: Fitzpatricks Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology. 6 th ed. United states: McGraw Hill; 2009. p. 707-
8.
14