Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

COMPOUNDING DISPENSING

KULIT GATAL INFEKSI JAMUR


Dosen Pengampu
Dr. apt. Titik Sunarni, M.Si.

Disusun Oleh :
Kelas B
Kelompok 12

Maria Anilda Dewi Bastian (2120424750)

Mirja Adi Yaksa (2120424751)

UNIVERSITAS SETIA BUDI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER-42

SURAKARTA

2021
KATA PENGANTAR
Assalamua’laikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusun diberikan kemudahan dalam melaksanakan tugas
compounding dispensing, tak lupa sholawat dan salam kami hantarkan kepada
Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat dan para pengikut
beliau hingga akhir zaman.

Makalah ini adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban dari kami kelompok 12
terhadap penyelesaian tugas compounding dispensing yaitu kulit gatal infeksi
jamur, sehingga penyusun dapat menjelaskan beberapa ilmu yang diperoleh.

Penyelesaian makalah ini dapat terlaksana dengan baik berkat kerjasama, bantuan,
bimbingan dan dukungan dari pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada.

1. Dr. apt. Titik Sunarni, M.Si. selaku dosen pengampu.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun diperlukan demi kesempurnaan
makalah ini. Penyusun mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
dalam penyelesaian makalah ini terdapat kekurangan dan kesalahan. Semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua terutama bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Kalimantan Tengah, September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................3

1.1 Latar Belakang.......................................................................................3

1.2 Rumusan Masalah..................................................................................5

1.3 Tujuan....................................................................................................5

1.4 Manfaat..................................................................................................5

BAB 2 PEMBAHASAN..........................................................................................6

2.1 Landasan Teori.......................................................................................6

2.1.1 Kulit..............................................................................................6

2.1.2 Penyakit Kulit...............................................................................7

2.1.3 Penyakit Kulit Akibat Infeksi Jamur.............................................7

2.1.4 Macam-Macam Penyakit Kulit yang diakibatkan oleh Jamur......7

2.2 Contoh Kasus dan Penyelesaianya.......................................................40

2.2.1 Kasus 1........................................................................................40

2.2.1 Kasus 2........................................................................................43

BAB 3 PENUTUP.................................................................................................46

3.1 Kesimpulan..........................................................................................46

3.2 Saran....................................................................................................46

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................47
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Struktur Kulit......................................................................................6


Gambar 2.2 Tinea Corporis....................................................................................8
Gambar 2.3 Tinea Pedis........................................................................................12
Gambar 2.4 Tinea Fasialis....................................................................................16
Gambar 2.5 Pitiriasis Versicolor..........................................................................21
Gambar 2.6 Pityriasis sika (Ketombe)..................................................................32
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara Indonesia merupakan negara tropis yang merupakan salah satu
tempat yang memiliki berbagai macam sumber daya alam. Jamur merupakan salah
satu mikroorganisme yang dapat bertahan hidup serta berkembangbiak di negara
yang beriklim tropis. Jamur memiliki berbagai macam jenis, termasuk jamur yang
sifatnya menguntungkan dan juga jamur yang sifatnya tidak menguntungkan atau
merugikan makhluk hidup yang ada di sekelilingnya. Manusia merupakan salah
satu makhluk hidup yang akan terganggu oleh jamur tersebut karena dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit (Hermawan & Widyanto, 2000).

Penyakit .jamur pada kulit merupakan salah satu penyakit yang masih
banyak terdapat di Indonesia. Ini disebabkan karena wilayah Republik lndonesia
merupakan negara kepulauan yang beriklim tropis ini mempunyai humiditas yang
tinggi di samping itu sebagian besar rakyat mempunyai tingkat sosial-ekonomi
yang masih rendah, sehingga kurang memperhatikan higiene kulit yang bersih
(Hermawan & Widyanto, 2000). .

Menurut Ramdani (2015) dalam Hidayat (2018), Jamur bisa hidup di mana
saja seperti, udara, air, tempat yang lembap, pakaian, bahkan pada tubuh manusia.
Jamur termasuk golongan mikroorganisme yang tidak dapat dilihat oleh kasat
mata. Jamur dapat kita lihat dengan bantuan alat-alat mikrobiologi seperti
mikroskop. Oleh karena itu, jamur tidak akan terlihat jika ia menempel pada
pakaian. Jamur juga bisa menempel pada makanan, sehingga jika seseorang
memakan makanan yang sudah terkontaminasi dengan jamur, jamur tersebut akan
ikut masuk ke dalam tubuh manusia sehingga menimbulkan berbagai macam
penyakit, seperti penyakit pada sistem pencernaan.

Masalah yang sering kita jumpai saat ini adalah penyakit jamur pada kulit.
Kulit merupakan lapisan pelindung terluar tubuh manusia. Kulit termasuk sistem
pertahanan tubuh manusia yang pertama dalam mencegah masuknya anti gen

3
masuk ke dalam tubuh. Pakaian yang telah terkontaminasi oleh jamur, tentunya
akan memberikan peluang besar bagi mikroorganisme tersebut untuk berpindah
tempat ke tubuh manusia yaitu dengan menempel pada kulit. Jamur yang telah
menempel di kulit, akan berkembangbiak dan tentunya akan mengganggu pada
jaringan-jaringan di kulit. Jaringan yang telah terganggu akan ditandai dengan
adanya bercak- bercak pada kulit, inflamasi, hingga perubahan pada warna kulit.
Selain perubahan fisik, kulit yang telah terinfeksi oleh jamur akan terasa gatal dan
perih (Hidayat, 2018).

Penyakit kulit di Indonesia pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh


infeksi dari bakteri, jamur, virus, parasit, dan penyakit dasar alergi. Hal ini
berbeda dengan negara barat yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor
degeneratif, disamping perbedaan penyebab, faktor lain seperti iklim, kebiasaan
dan lingkungan juga ikut memberikan perbedaaan dalam gambaran klinis penyakit
kulit. Salah satu penyakit kulit yang sering terjadi pada masyarakat adalah
dermatofitosis (Hidayat, 2018).

Prevalensi penyakit dermatofitosis di Asia mencapai 35,6%. World Health


Organization (WHO) 2016 terhadap insiden dari infeksi dermatofitosis
menyatakan 20% orang dari seluruh dunia mengalami infeksi kutaneus dengan
infeksi tinea korporis yang merupakan tipe yang paling dominan dan diikuti
dengan tinea kruris,tinea pedis, dan onikomikosis (Hidayat, 2018).

Penyataan diatas melatar belakangi penyusun untuk membahas tentang


kelainan atau penyakit kulit gatal yang diakibatkan oleh infeksi jamur,
patofisiologi, gejala klinis dan sebagainya, uraian obat dancontoh kasus. Dengan
demikian, makalah ini dibuat untuk menyajikan pemahaman penyusun terkait hal-
hal tersebut. contoh kasus. Dengan demikian, makalah ini dibuat untuk
menyajikan pemahaman penyusun terkait hal-hal tersebut.

4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja macam-macam penyakit kulit karena jamur ?
2. Bagaimana pengobatan atau tata laksana penyakit kulit yang
disebabkan oleh berbagai jenis jamur ?
3. Bagaimana contoh kasus penyakit kulit akibat infeksi jamur ?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui macam-macam penyakit kulit yang disebabkan


oleh berbagai jenis jamur.
2. Untuk mengetahui pengobatan atau tata laksana penyakit kulit yang
disebabkan oleh berbagai jenis jamur.
3. Untuk mengetahui contoh kasus penyakit kulit akibat infeksi jamur .

1.4 Manfaat
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
kita tentang macam-macam penyakit jamur, termasuk penyebab, gejala,
hingga pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita penyakit kulit
karena jamur.

5
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Kulit
Menurut Sayogo, Widodo, & Dachlan (2017), Kulit adalah
sebuah suatu organ yang terletak diluar dan melapisi seluruh
seluruh tubuh. Kulit juga di perkirakan memiliki sekitar 7% dari
total berat tubuh. Pada area kulit bagian luar terdapat sebuah pori-
pori (rongga) yang memiliki fungsi sebagai tempat keluarnya
keringat. Kulit juga mempunyai banyak fungsi, di antaranya
sebagai berikut:
a. Sebagai pelingdung tubuh dari segala macam bahaya dari luar -
Sebagai alat indra peraba
b. Salah satu organ memiliki peran dalam ereksi
c. Sebagai pengatur suhu tubuh
d. Sebagai penyimpan lemak
Kulit juga memiliki 3 lapisan secara umum yaitu Epidermis
(kulit ari), dermis (kulit jangat) dan (Hipodermis) sebuah lapisan
lemak bawah kulit.

Gambar 2.1 Struktur Kulit

6
2.1.2 Penyakit Kulit
Penyakit kulit adalah kelainan kulit akibat adanya jamur,
kuman, parasit, virus maupun infeksi yang dapat menyerang siapa
saja dari segala umur. Penyakit kulit dapat menyerang seluruh
maupun sebagian tubuh tertentu dan dapat memperburuk kondisi
kesehatan penderita jika tidak ditangani secara serius. Gangguan
pada kulit sering terjadi karena adanya faktor-faktor penyebabnya
seperti iklim, lingkungan, tempat tinggal, kebiasaan hidap yang
kurang sehat, alergi dan lain-lain (D. D. Putri, Furqon, & Perdana,
2018).

2.1.3 Penyakit Kulit Akibat Infeksi Jamur


Beberapa jenis jamur dapat terjangkit oleh kulit manusia. Ada
sebagian jamur dapat menyerang jaringan yang terdapat kandungan
zat tanduk misalnya kulit, kuku dan rambut. Namun ada juga
infeksi jamur yang sering disebut dengan panu, pada umumnya
kulit yang berlembab mudah terserang jamur. Area kulit yang
sering terjangkit jamur adalah area lipatan-lipatan tubuh yang
mudah lembab, orang gemuk, lipatan-lipatan perut atau payudara.
Berikut beberapa faktor seseorang rentan terinfeki jamur adalah
kulit lembab, daya tahan tubuh turun, konsumsi obat tertentu,
diabetes mellitus atau kencing manis berlebihan tidak terkontrol
dan lain-lain (D. D. Putri et al., 2018).

2.1.4 Macam-Macam Penyakit Kulit yang diakibatkan oleh


Jamur
2.1.4.1 Tinea Corporis (Kurap)
A. Definisi
Tinea Corporis merupakan penyakit kulit yang
disebabkan oleh jamur. Tinea Corporis sering dikenal
sebagai penyakit kurap. Tinea corporis atau kurap adalah
infeksi dermatofita superfisial yang menyerang pada
glabrous skin (kulit yang tidak berambut) seperti muka,

7
leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal (Saraswati,
2013).

Gambar 2.2 Tinea Corporis

B. Etiologi Patofisiologi
Trichophyton rubrum adalah salah satu dermatofita
penyebab yang paling umum menyebabkan tinea
korporis. Dermatofita adalah golongan jamur yang
menyebabkan dermatofitosis. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus,
yaitu Trichophyton spp, Microsporum spp, dan
Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa
menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling
umum adalah Trichophyton Rubrum dan Trichophyton
Mentagrophytes. Tinea korporis terjadi pada laki-laki
dan perempuan, terjadi pada semua kelompok umur,
tetapi angka kejadian paling tinggi pada remaja. Pada
tinea corporis terlihat reaksi peradangan yang berbentuk
seperti gelang eritema yang ditepinya terlihat meninggi
dan adanya scaling. Terapi topikal direkomendasikan
untuk suatu peradangan yang dilokalisir, dan terapi
sistemik untuk tinea corporis jika didapatkan adanya
peradangan kulit yang luas akibat penyakit
immunosupresi (menekan respon imun) (Saraswati,
2013).

8
C. Gejala
Tinea corporis ditandai sebagai papul eritema
(penonjolan di permukaan kulit yang berwarna
kemerahan) atau suatu rangkaian vesikel. Gejala yang
khas adanya central healing (penyembuhan yang berada
di bagian tengah lesi) dengan bagian tepi terlihat
meninggi dan biasanya lebih aktif. Gejala subyektifnya
yaitu gatal terutama jika berkeringat (Saraswati, 2013).
D. Pemeriksaan
Beberapa kasus membutuhkan pemeriksaan dengan
lampu wood yang mengeluarkan sinar UV dengan
gelombang 3650 Å yang jika didekatkan pada lesi akan
timbul warna kehijauan. Pemeriksaan sediaan langsung
dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan
elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora.
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah untuk
menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan.
Biakan memberikan hasil yang lebih lengkap, akan tetapi
lebih sulit dikerjakan, biayanya lebih mahal, hasil yang
diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya
kutrang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara
pemeriksaan sediaan langsung (Saraswati, 2013).
E. Reaksi Imun
Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type
Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat
penting dalam melawan dermatifita. Pada penderita yang
belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya
inflamasi menyebabkan inflamasi minimal dan
trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan
sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh

9
peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa
antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans
epidermis dan dipresentasikan oleh limfosit T di nodus
limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi
ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada
saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier 6
epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan
sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi
secara spontan menjadi sembuh (Saraswati, 2013).
F. Uraian Pengobatan
1. Terapi Medikamentosa
a. Topikal
 Obat pilihan: Golongan alilamin (krim
terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2
minggu (PERDOSKI, 2017).
 Obat alternative
Golongan azol: misalnya, krim mikonazol,
ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama
4-6 minggu (PERDOSKI, 2017).
b. Sistemik
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
 Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari
(hingga klinis membaik dan hasil pemeriksaan
laboratorium negatif) selama 2 minggu
(PERDOSKI, 2017).
 Obat alternative
o Itrakonazol 2x100 mg/hari selama 2
minggu
o Griseofulvin oral 500 mg/hari atau 10-25
mg/kgBB/hari selama 2-4 minggu
o Ketokonazol 200 mg/hari (PERDOSKI,
2017).

10
Catatan (PERDOSKI, 2017):
 Lama pemberian disesuaikan dengan diagnosis
 Hati-hati efek samping obat sistemik, khususnya
ketokonazol
 Griseofulvin dan terbinafin hanya untuk anak usia di
atas 4 tahun
2. Terapi Non-Medikamentosa
Intervensi yang dapat dilakukan secara non
medikamentosa untuk semua jenis penyakit yang
disebabkan oleh tenia yaitu (M. N. Putri, Burmana, &
Nusadewiarti, 2017):
o Edukasi kepada pasien mengenai penyakit pasien
o Penyuluhan higiene perorangan, keluarga dan
lingkungan serta pola hidup bersih dan sehat
o Edukasi kepada pasien untuk rajin mengganti baju
terutama bila beraktifitas yang menimbulkan
keringat banyak, selalu mencuci baju setelah 1 kali
pemakaian, tidak bertukar handuk atau pakaian,
mengganti sprei tempat tidur, tidak menumpukkan
pakaian diatas tempat tidur dan melakukan
penjemuran pakaian di tempat yang cukup terkena
cahaya matahari, serta mengganti sabun padat
dengan sabun cair
o Edukasi kepada pasien tentang lama pengobatan
dan bagaimana cara pengunaan obat
o Konseling kepada pasien untuk melakukan
tindakan pencegahan penyakit.

2.1.4.2 Tinea Pedis (Kutu Air)


A. Definisi

11
Tinea Pedis atau sering disebut kutu air adalah
infeksi dermatofit pada kaki, terutama di sela jari atau
telapak kaki terutama yang memakai kaus kaki dan
sepatu yang tertutup dan penyebab Tinea Pedis yang
serign ditemukan adalah Trychopyton Rubrum
(Miftahurrohmah & Budiati, 2013).

Gambar 2.3 Tinea Pedis

B. Etiologi Patofisiologi
Tinea ini paling sering disebabkan oleh spesies
anthropophilik seperti Trichophyton rubrum (80 %),
Tricophyton mentagrophytes (20%), Epidermophyton
floccosum (10%) dan oleh M. canis dan T. Tonsurans
jarang terjadi yang diteliti oleh British Infection
Association (Chadwick P, 2013).
Tinea pedis merupakan keadaan yang disebabkan oleh
jamur yang menginfeksi jaringan keratin seperti pada
kulit, rambut, dan kuku. Infeksi dimulai dengan
perlekatan dermatofit pada jaringan keratin dan
kemudian terjadi penetrasi ke stratum korneum yang
dibantu oleh enzim keratolitik proteinase, lipase dan
enzim musinolitik yang dihasilkan oleh jamur (Wolff, et
al,. 2008). Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau
cabang-cabangnya di dalam jaringan keratin yang mati.
Hifa tersebut yang menghasilkan enzim keratolitik

12
proteinase berdifusi ke lapisan epidermis dan
menimbulkan reaksi inflamasi. Pertumbuhan jamur
dengan pola radial menyebabkan timbulnya lesi kulit
melingkar, batas tegas dan meninggi yang disebut
ringworm atau tinea (Mansjoer dkk, 2000).
C. Gejala
1. Kulit atau telapak kaki retak, mengelupas sering
terdapat pada sela-sela jari kaki atau lipatan dari kaki.
2. Kulit kemerahan dan gatal.
3. Perih, nyeri terutama ketika terkena air.
4. Lepuh pada kaki bisa berkerak atau menjadi borok.
5. Kuku menjadi tebal dan berubah warna (Chadwick P,
2013).
D. Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan kultur.
Identifikasi fungi superfisial didasarkan pada
makroskopik, mikroskopis dan karakteristik dari
organisme. Sabourad Dextrose Agar (SDA) merupakan
medium isolasi yang paling umum digunakan karena
menampilkan deskripsi morfologi. Pemeriksaan dengan
lampu wood (365 nm) dapat menunjukkan fluorosence
pada jamur pathogen tertentu. Pada tinea pedis
ditemukan fluoresensi negative diluar eritrasma pada
infeksi interdigital (Vhisnu et al., 2015).
E. Reaksi Imun
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami
yang memberikan respons cepat dan imunitas adaptif
yang memberikan respons lambat. Pada kondisi individu
dengan sistem imun yang lemah (immunocompromized),
cenderung mengalami dermatofitosis yang berat atau
menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan

13
transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan
kemungkinan terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.
F. Uraian Pengobatan
1. Terapi Medikamentosa
a. Topikal
 Obat pilihan: Golongan alilamin (krim
terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2
minggu (PERDOSKI, 2017).
 Obat alternative
o Golongan azol: misalnya, krim mikonazol,
ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama
4-6 minggu.
o Siklopiroksolamin (ciclopirox gel 0,77% atau
krim 1%) 2 kali sehari selama 4 minggu
untuk tinea pedis dan tinea
interdigitalis(PERDOSKI, 2017).
b. Sistemik
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
 Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari
selama 2 minggu. Anak-anak 5 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu(PERDOSKI, 2017).
 Obat alternative
o itrakonazol 2x100 mg/hari selama 3 minggu
atau 100 mg/hari selama 4 minggu
(PERDOSKI, 2017).
2. Terapi Non-Medikamentosa
Intervensi yang dapat dilakukan secara non
medikamentosa untuk semua jenis penyakit yang
disebabkan oleh tenia yaitu (M. N. Putri et al., 2017):
o Edukasi kepada pasien mengenai penyakit pasien
o Penyuluhan higiene perorangan, keluarga dan
lingkungan serta pola hidup bersih dan sehat

14
o Edukasi kepada pasien untuk rajin mengganti baju,
kaos kaki, celana dalam, dan lain-lain terutama bila
beraktifitas yang menimbulkan keringat banyak,
selalu mencuci baju setelah 1 kali pemakaian, tidak
bertukar handuk atau pakaian, mengganti sprei
tempat tidur, tidak menumpukkan pakaian diatas
tempat tidur dan melakukan penjemuran pakaian di
tempat yang cukup terkena cahaya matahari, serta
mengganti sabun padat dengan sabun cair
o Edukasi kepada pasien tentang lama pengobatan
dan bagaimana cara pengunaan obat
o Konseling kepada pasien untuk melakukan
tindakan pencegahan penyakit.
3. Pengobatan Tradisional
 Bawang Putih
Sebanyak 3 atau 4 siung ditumbuk kasar
campur dengan air sampai bisa merendam kaki
atau tangan yang terkena kutu air, rendam selama
30 menit kemudian kaki dikeringkan dengan
handuk kering dan bersih. Dalam bawang putih
mengandung Aliin atau Ajoene yang berfungsi
sebagai antibacterial.
 Larutan Cuka
Asam asetat yang terkandung dalam cuka
diyakini memiliki sifat antijamur, sehingga mampu
mengatasi kutu air ditelapak kaki. Untuk
mendapatkan manfaat cuka ini, anda dapat
mencampur 1 cangkir cuka dengan 2 gelas air.
Lalu, rendam kaki Anda yang telah dibersihkan ke
dalam larutan cuka tersebut.
 Garam

15
Larutkan satu cangkir garam ke dalam air
hangat, kemudian rendam kaki anda dengan larutan
air garam tersebut selama 20 menit, lalu keringkan.
Garam memiliki sifat antibakteri dan antijamur
yang kuat, sehingga dapat mengatasi kutu air di
telapak kaki sekaligus menghambat
penyebarannya.

2.1.4.3 Tinea Fasialis


A. Definisi
Tinea fasialis adalah suatu dermatofitosis superfisial
yang terbatas pada kulit yang tidak berambut, yang
terjadi pada wajah, memiliki karakteristik sebagai plak
eritema yang melingkar dengan batas yang jelas
(Suryantara, dkk. 2014).

Gambar 2.4Tinea Fasialis


B. Etiologi Patofisiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang
menyebabkan dermatofitosis. Dermatofita terbagi dalam
3 genus yaitu: Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Belum banyak penelitian yang
menjelaskan jenis terbanyak dermatofita yang terdapat
pada tinea fasialis tapi ada beberapa sumber mengatakan
di Asia, Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyto
Rubrum merupakan penyebab tersering. Berikut adalah
faktor-faktor risiko timbulnya penyakit ini:
- Kontak dengan pakaian, handuk, atau apapun yang
suda berkontak dengan penderita,

16
- kontak kulit ke kulit dengan penderita atau hewan
peliharaan
- Umur 12 tahun ke bawah,
- lebih sering menghabiskan waktu di tempat yang
tertutup, dan
- penggunaan obat-obatan glukokortikoid topikal
dalam jangka waktu yang lama.
Patologi dari tinea ini juga masih belum begitu
jelas. Dikatakan bahwa dermatofit merilis beberapa
enzim, termasuk keratinases, yang memungkinkan
mereka untuk menyerang stratum korneum dari
epidermis sehingga menyebabkan kerusakan. Ada juga
teori patogenesis yang mengungkapkan adanya invasi
epidermis oleh dermatofit mengikuti pola biasa pada
infeksi yang diawali dengan pelekatan antara
artrokonidia dan keratinosit yang diikuti dengan
penetrasi melalui sel dan antara sel serta perkembangan
dari respon penjamu (Suryantara, dkk. 2014).
C. Gejala
Penderita mengeluh gatal yang kadang-kadang
meningkat waktu berkeringat serta rasa terbakar
memburuk setelah paparan sinar matahari
(fotosensitivitas). Namun, kadang-kadang penderita tinea
fasialis dapat memberikan gejala yang asimptomatis
(Suryantara, dkk. 2014).
D. Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
gambaran klinis, kelainan yang dilihat dari Tinea
fasialis dalam klinik merupakan lesi bulat atau

17
lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama,
kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi.
2. Pemeriksaan dengan lampu Wood
Pemeriksaan dengan lampu Wood yang
mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang
3650 nm. Beberapa spesies dermatofit tertentu yang
berasal dari genus Microsporum menghasilkan
substansi yang dapat membuat lesi menjadi warna
hijau ketika disinari lampu Wood dalam ruangan yang
gelap. Dermatofit yang lain, seperti T. Schoenleinii
memproduksi warna hijau pucat. Ketika hasilnya
positif, ini akan sangat berguna.
3. Pemeriksaan sediaan langsung
Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-
20% bila perlihatkan elemen jamur berupa hifa
panjang dan artrospora. Pada sediaan kulit yang
terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi
oleh sekat dan bercabang maupun spora berderet
(artospora) pada kelainan kulit lama dan atau sudah
diobati.
4. Pemeriksaan dengan pembiakan
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan
untuk menentukan spesies 8 jamur. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu
ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Biakan
memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi
lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil
diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya
kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara

18
pemeriksaan sediaan langsung (Suryantara, dkk.
2014).
E. Respon Imun
Reaksi imunologik penyakit ini yaitu termasuk pada
reaksi tipe IV. Deteksi imun dan kemotaktik dari sel-sel
inflamasi terjadi melalui mekanisme yang umum.
Beberapa jamur memproduksi faktor kemotaktik yang
memiliki berat molekul yang rendah, seperti yang
diproduksi oleh bakteri. Komplemen lainnya yang
teraktivasi, membuat komplemen yang tergantung oleh
faktor kemotaktik. Keratinosit mungkin dapat
menginduksi kemotaktik dengan memproduksi IL-8
sebagai respon kepada antigen seperti trichophytin.
Kandungan serum dapat menghambat pertumbuhan
dermatofit, sebagai contohnya antara lain unsaturated
transferrin dan asam lemak yang diproduksi oleh
glandula sebasea (derivat undecenoic acid) (Suryantara,
dkk. 2014).
F. Uraian Pengobatan
1. Terapi Medikamentosa
a. Topikal
 Obat pilihan: Golongan alilamin (krim
terbinafin, butenafin) sekali sehari selama 1-2
minggu (PERDOSKI, 2017).
 Obat alternative
Golongan azol: misalnya, krim mikonazol,
ketokonazol, klotrimazol 2 kali sehari selama
4-6 minggu (PERDOSKI, 2017).
b. Sistemik
Diberikan bila lesi kronik, luas, atau sesuai indikasi
 Obat pilihan: terbinafin oral 1x250 mg/hari
selama 2-4 minggu (PERDOSKI, 2017).

19
 Obat alternative
o Itrakonazol 1x100 mg/hari selama 2-4
minggu
o Pada pasien anak griseofulvin oral 0-25
mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu
(PERDOSKI, 2017).
2. Terapi Non-Medikamentosa
a. Menjaga kebersihan diri.
b. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk
mencegah resistensi obat.
c. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan
menyerap keringat.
d. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum
menutup area yang rentan terinfeksi jamur.
e. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan
keringkan jari kaki setelah mandi.
f. Hindari penggunaan handuk atau pakaian
bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang
kemungkinan terkontaminasi.
g. Skrining keluarga
h. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk
dan linen lainnya direndam dengan sodium
hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau
menggunakan disinfektan lain (PERDOSKI, 2017).

2.1.4.4 Pitiriasis Versicolor (Panu)


A. Definisi
Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial
pada kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau
Pityrosporum orbiculare dan ditandai dengan adanya
makula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal.
Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa

20
peradangan. Pityriasis versicolor biasanya mengenai
wajah, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan
paha (Madani A, 2000). Penyakit ini terutama terdapat
pada orang dewasa muda, dan disebabkan oleh ragi
Malassezia, yang merupakan komensal kulit normal
pada folikel pilosebaseus. Ini merupakan kelainan yang
biasa didapatkan di daerah beriklim sedang, bahkan lebih
sering lagi terdapat di daerah beriklim tropis. Alasan
mengapa multipikasi ragi tersebut sampai terjadi dan
dapat menimbulkan lesi kulit pada orang-orang tertentu
belum diketahui (Graham-Brown, 2005).

Gambar 2.5 Pitiriasis Versicolor


B. Etiologi Patofisiologi
Penyebab penyakit ini adalah Malassezia furfur, yang
dengan pemeriksaan morfologi dan imunoflorensi
indirek ternyata identik dengan Pityrosporum orbiculare.
Prevalensi Pityriasis versicolor lebih tinggi (50%) di
daerah tropis yang bersuhu hangat dan lembab (Radiono,
2001).
Pityriasis versicolor timbul disebabkan oleh
organisme dimorfik, lipofilik yaitu Malassezia furfur,
yang dibiakan hanya pada media kaya asam lemak rantai
C12 – C14. Pityrosporon orbiculare,pityrosporon ovale,
dan malassezia furfur merupakan sinonim dari
M.Furftur merupakan flora normal kutaneus manusia,
dan ditemukan pada 18% bayi dan 90-100% dewasa

21
(Partogi, 2008). Pada pasien dengan stadium klinis jamur
tersebut dapat ditemukan dalam bentuk spora dan dalam
bentuk filament (hifa). Faktor-faktor yang menyebabkan
berkembangnya menjadi parasit sebagai berikut:
a. Faktor eksogen meliputi suhu, kelembaban udara dan
keringat. Hal ini merupakan penyebab sehingga
pityriasis versicolor banyak di jumpai di daerah tropis
dan pada musim panas didaerah subtropis. Faktor
eksogen lain adalah penutupan kulit oleh pakaianatau
kosmetik dimana akan mengakibatkan peningkatan
konsentrasi CO2, mikroflora dan pH (Partogi, 2008).
b. Faktor endogen meliputi malnutrisi, dermatitis
seboroik,sindrom cushing, terapi imunosupresan,
hiperhidrosis, dan riwayat keluarga yang positif.
Disamping itu bias juga karena Diabetes Melitus,
pemakaian steroid jangka panjang, kehamilan, dan
penyakit-penyakit berat lainnya yang dapat
mempermudah timbulnya Pityriasis versicolor
(Partogi, 2008).
C. Gejala
 Bercak putih pada kulit dengan batas tegas, bersisik
halus
 Gatal terutama bila berkeringat
D. Pemeriksaan
Kelainan kulit Pityriasis versicolor sangat
superficial dan ditemukan terutama dibadan. Kelainan
ini terlihat sebagai bercak-bercak, berwarna-warna,
bentuk tidak teratur sampai teratur,batas jelas sampai
difus. Bercak-bercak tersebut berfluoresensi bila dilihat
dengan lampu Wood. Bentuk papulo-vaskular dapat
terlihat walaupun jarang. Kelainan biasanya
asimtomatik sehingga ada kalanya penderita tidak

22
mengetahui bahwa ia bepenyakit tersebut. Kadang-
kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang
merupakan alasan berobat. Pseudoakromia akibat tidak
terkena sinar matahari atau kemungkinan pengaruh
tokis jamur terhadap pembentukan pigmen sering
dikeluhkan penerita. Penyakit ini sering dilihat pada
remaja walaupun anak-anak dan orang dewasa tua tidak
luput dari infeksi (Burke,2006).
E. Reaksi Imun
Pada kasus-kasus tertentu dapat timbul syok
anafilaktik. Dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis
makanan dan lateks. Ada dua fase terjadinya respon
imun tipe IV yang menyebabkan timbulnya lesi
dermatitis kontak alergik (Trihapsoro, 2003).
F. Uraian Pengobatan
1. Terapi Medikamentosa
a. Topikal (OWA)
Obat topikal yang termasuk daftar obat wajib
apotek yang digunakan untuk penyakit panu yaitu:
 Nistatin
o Indikasi : infeksi jamur local
o Pemberian : maksimal 1 tube (Menkes
RI, 1990).
o Efek Samping : mual, muntal, diare pada
dosis tinggi, iritasi oral dan sensitisasi, ruam
(termasuk urtikaria) dan dilaporkan terjadi
sindroma Stevens-Johnson (jarang).
o Keterangan : nistatin kurang efektif
mengobati tinea
o Sediaan

- Dewasa : salep, krim, mengandung


100.000 U/g

23
- Anak-anak : sama seperti dewasa
(MIMS Indonesia)
o Dosis
Oleskan atau taburkan di kulit yang terinfeksi
panu.
- Dewasa : Gunakan 2 – 4 kali / hari
- Anak-anak : Gunakan 2 – 4 kali / hari
o Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap
nistatin
 Mikonazole
o Indikasi : infeksi jamur local
o Pemberian : maksimal 1 tube (Menkes
RI, 1990).
o Efek Samping : (Jarang) Iritasi,
terbakar, maceration, alergi kontak
dermatitis.
o Sediaan
Krim, lotion, atau bedak yang mengandung
2% miconazole
o Dosis : Dewasa dan anak-anak 2 tahun ke
atas, Oleskan 2 kali sehari selama 2-6
minggu.
o Cara pakai : Oleskan tipis di seluruh
permukaan yang terinfeksi panu
o Kontra Indikasi: Hipersensitif terhadap
mikonazole
 Tolnaftat
o Indikasi : infeksi jamur local
o Pemberian : maksimal 1 tube (Menkes
RI, 1990).

24
o Efek Samping : Iritasi, alergi, kontak
dermatitis, pruritus, stinging
o Sediaan : gel, powder, krim
o Dosis : Topikal 1%, Oleskan 2 kali sehari
o Cara Pakai: Oleskan tipis di seluruh
permukaan yang terinfeksi panu
o Kontra Indikasi : Hipersensitif
 Ekonazole
o Indikasi : infeksi jamur local
o Pemberian : maksimal 1 tube (Menkes
RI, 1990).
o Efek Samping : Erithema (3%), (frekuensi
tidak ditetapkan) : rasa terbakar dan
menyengat, pruritus
o Keterangan : Lanjutkan terapi sampai  waktu
regimen tuntas walaupun infeksi hilang.
o Sediaan : Krim, sabun
o Dosis : 1%, pakai setiap hari, selama 2
minggu
o Interaksi : (+) warfarin : ekonazol topikal
meningkatkan efek warfarin dengan cara
menurunkan metabolisme. Lakukan monitor.
o Kontra Indikasi : Hipersensitif
 Hidroquinon
o Indikasi : Hiperpigmentasi kulit
o Pemberian : maksimal 1 tube (Menkes
RI, 1990).
o Efek Samping : Frekuensi tidak ditetapkan :
iritasi dan sensitisasi kulit ringan (terbakar,
menyengat), infeksi kulit, kekeringan,
eritema, reaksi inflamasi.

25
o Keterangan : Lanjutkan terapi sampai  waktu
regimen tuntas walaupun infeksi hilang.
o Sediaan : Krim, sabun
o Dosis
- Dewasa : krim topikal (2%, 4%), lotion
(2%), emulsi (4%), larutan topikal (2%,
3%), gel topikal (2%, 4%). Terapkan ke
daerah yang terkena dan gosokkan secara
menyeluruh 2 kali sehari.
o Peringatan
- Kontraindikasi : hipersensitivitas, terbakar
sinar matahari, use as depilatory drug.
- Perhatian : mengandung sulfit yang dapat
menyebabkan reaksi tipe-alergi, hindari
paparan sinar matahari yang tidak perlu,
jangan mengaplikasikan dekat mata, kulit
yang luka, terkelupas, atau terbakar sinar
matahari, setelah bercukur atau
menggunakan obat penghilang rambut;
atau pun pada miliaria rubra (biang
keringat).
 Ketokonazole
o Indikasi : Sebagai obat luar untuk
infeksi jamur lokal
o Pemberian : maksimal 1 tube (Menkes
RI, 1990).
o Dosis dan Cara Penggunaan :
- Shampoo (2%) : Oleskan ke area kulit
lembap yang terkena, gosok, tunggu 5
menit dan bilas (satu kali biasanya cukup)

26
- Krim (2%) : Gunakan satu kali setiap hari
untuk melindungi area sekitarnya dan
sekitarnya selama 2 minggu.
o Penyimpanan : Simpan di suhu  15 – 25 ˚C
o Efek Samping
- Dampak buruk 1-10% :Iritasi parah,
pruritus, menyengat.
- Frekuensi tidak ditetapkan : (Sampo)
Kerontokan rambut / alopecia, gangguan
tekstur rambut tidak normal, scalp
pustules, kulit kering, pruritus,
ketertarikan / kekeringan pada rambut dan
kulit kepala.
- Postmarketing reports : sensasi terbakar,
rasa sakit, iritasi kulit, eritema.
o Peringatan
- Kontraindikasi : Hipersensitivitas, kulit
kepala yang rusak atau meradang (OTC
self-medication)
- Perhatian : Hentikan jika iritasi terjadi,
angioedema pernah dilaporkan, shampoo
dapat menghitamkan rambut dan
mengubah tekstur rambut, beberapa
formulasi mengandung sulfit, yang dapat
menyebabkan reaksi tipe-alergi; juga
dapat menyebabkan episode asthma yang
berat yang mengancam jiwa atau berat
pada beberapa pasien, hindari kontak
dengan mata dan selaput lendir lainnya;
bukan untuk penggunaan oral,
intravaginal atau ophthalmic; hentikan
penggunaan dan hubungi petugas

27
kesehatan profesional jika kondisi
memburuk atau tidak membaik

b. Topikal (OTC)
Obat topikal yang termasuk daftar obat OTC yang
digunakan untuk penyakit panu yaitu:
 Selenium Sulfida
o Indikasi : Panu
o Dosis dan Cara Penggunaan
- busa berbasis air & lipid : 2,25% (Tersi
Foam) losion : 2,5% ; sampo : 1%, 2.3%
- Tinea Versicolor : Oleskan lotion / sampo
2,5-2,5% ke area yang terkena dan busa
dengan sedikit air; biarkan kulit selama 10
menit dan bilas sampai bersih;
menerapkan setiap hari selama 7 hari
- Foam : Gosokkan busa ke kulit yang
terkena dampak 2 kali sehari
o Efek Samping : Frekuensi tidak ditetapkan :
Menyengat sementara, pembakaran,
kelesuan, alopecia atau perubahan warna
rambut, getaran, kekeringan yang tidak biasa
atau oilness kulit kepala, diaforesis, sakit
perut, bawang putih, gatal atau iritasi.
o Peringatan
- Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap
selenium sulfida, bukan untuk

28
penggunaan oftalmik, oral, anal atau
intravaginal.
- Perhatian : Hindari kontak dengan semua
selaput lendir, termasuk mata, bibir, kulit
yang pecah / meradang, jangan gunakan
jika ada peradangan atau eksudasi, karena
peningkatan penyerapan dapat terjadi,
risiko toksisitas sistemik, hentikan
kemerahan atau iritasi terjadi
o Penyimpanan
Obat ini paling baik disimpan pada suhu
ruangan, jauhkan dari cahaya langsung dan
tempat yang lembap. Jangan disimpan di
kamar mandi. Jangan dibekukan. Jauhkan
semua obat-obatan dari jangkauan anak-anak
dan hewan peliharaan. Jangan menyiram
obat-obatan ke dalam toilet atau ke saluran
pembuangan kecuali bila diinstruksikan.
Buang produk ini bila masa berlakunya telah
habis atau bila sudah tidak diperlukan lagi
 Zinc Pyrithione
o Indikasi : Seborrhea
o Dosis dan Cara Penggunaan
- Sampo :  0,25%, 1%, 2%, losion : 0,25%,
krim : 0,25%, Kondisioner : 0,5%, sabun
batang : 2%
- Seborrhea : Shampoo : Terapkan ke
rambut basah / kulit kepala, busa, lalu
bilas dengan baik; dapat diikuti dengan
conditioner, Bar : Dapat digunakan pada
tubuh dan atau kulit kepala; usapkan area
basah; pijat dan bilas

29
o Interaksi : Abiraterone acetate,  Alcohol,
Alfentanil, Aliskiren,     Alprazolam,
Aluminium hydroxide and oxide,
Amphotericin B, Aprepitant, Artesunate,
Astemizole,  Beclomethasone, Bosentan,
Carbamazepine, Cimetidine, Cisapride,
Corticotropin, Cyclosporin A, Dabigatran,
Desonide, Didanosine, Docetaxel,
Eplerenone, Erlotinib, Famotidine,
Fexofenadine, Flunisolide, Indinavir, Sodium
calcium edetate.
o Efek Samping
Frekuensi tidak ditetapkan : Menyengat /
membakar kulit kepala, desquamation, Iritasi
pada kulit (jarang)
o Peringatan :
- Kontraindikasi : hipersensitivitas,
- Perhatian : hanya digunakan secara
topikal, hindari kontak dengan mata
o Penyimpanan
Simpan obat di temperatur ruangan, jauh dari
panas dan cahaya langsung. Jangan
membekukan obat kecuali diperlukan oleh
brosur kemasan. Jauhkan obat dari anak-anak
dan hewan peliharaan. Jangan membuang
obat ke toilet atau menuangkannya ke
drainase kecuali diinstruksikan seperti itu
karena apabila dibuang secara sembarangan
dapat mengkontaminasi lingkungan.
2. Terapi Non-Medikamentosa
a. Menjaga kebersihan diri.

30
b. Mematuhi pengobatan yang diberikan untuk
mencegah resistensi obat.
c. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan
menyerap keringat.
d. Pastikan kulit dalam keadaan kering sebelum
menutup area yang rentan terinfeksi jamur.
e. Gunakan sandal atau sepatu yang lebar dan
keringkan jari kaki setelah mandi.
f. Hindari penggunaan handuk atau pakaian
bergantian dengan orang lain. Cuci handuk yang
kemungkinan terkontaminasi.
g. Skrining keluarga
h. Tatalaksana linen infeksius: pakaian, sprei, handuk
dan linen lainnya direndam dengan sodium
hipoklorit 2% untuk membunuh jamur atau
menggunakan disinfektan lain (PERDOSKI, 2017).
3. Pengobatan Tradisional
 Lengkuas
Lengkuas adalah salah satu bahan alami
yang dapat diolah menjadi obat untuk pengidap
panu. Kandungan dari lengkuas yang terdiri dari
natrium, zat besi, vitamin A, vitamin C, dan
lainnya yang baik untuk kesehatan tubuh. Senyawa
dari lengkuas dapat menghambat oksida dan
produksi lipopolysaccharides. Cara
menggunakannya yaitu dengan memotong
lengkuas tersebut, lalu gosok pada panu selama 5
menit dan lakukan dua kali sehari.
 Bawang Putih
Bawang putih adalah salah satu bahan alami
yang dapat digunakan untuk menghilangkan panu.
Kandungan allicin pada bawang putih dapat

31
menjadi zat biologis yang berguna sebagai
antibakteri. Selain itu, bawang putih juga kaya
akan kandungan antoksidan dan baik untuk anti-
bakteri serta anti-jamur. Cara pakainya, yaitu
potong bawang putih menjadi dua bagian, lalu
gosokkan pada panu selama 5 menit dan lakukan
dua kali sehari.

 Minyak Kelapa
Salah satu pengobatan dengan bahan rumah
tangga yang efektif untuk menghilangkan panu
adalah minyak kelapa. Bahan tersebut mengandung
asam laurat yang merupakan zat anti-jamur dan
anti-bakteri. Selain itu, minyak kelapa juga dapat
menjadi pelembap alami kulit. Cara pemakaiannya
adalah campurkan minyak kelapa dengan minyak
kayu manis, lalu oleskan pada bagian yang
terserang panu.

2.1.4.5 Pityriasis sika (Ketombe)


A. Definisi
Ketombe adalah kelainan kulit kepala, dimana
terjadi perubahan pada sel stratum korneum epidermis
dengan ditemukannya hiperproliferasi, lipid intraseluler
dan interseluler yang berlebihan, serta parakeratosis yang
menimbulkan skuama halus, kering, berlapis-lapis,
sering mengelupas sendiri serta terasa gatal (Ervianti,
2006).

32
Gambar 2.6 Pityriasis sika (Ketombe)

B. Etiologi Patofisiologi
Etiologi dari ketombe ini belum diketahui secara
pasti, sekalipun diperlihatkan adanya jamur lipofilik
(Misalnya, Malassezia furfur) pada preparat antifungal.
Tumpukan parakeratosis yang bercampur dengan sel-sel
radang akut berkumpul disekitar folikel rambut dengan
infiltrate sel-sel neutrophil dan limfosit di seluruh daerah
perivascular superfisial. Malassezia sp. Merupakan flora
normal kulit dan berjumlah 46% dari populasi,
sedangkan pada penderita ketombe jumlah tersebut
meningkat menjadi 74%. Pityrosporum ovale, termasuk
golongan jamur, sebenarnya adalah flora normal di
rambut. Akan tetapi berbagai keadaan seperti suhu,
kelembaban, kadar minyak tinggi, dan penurunan
imunitas dapat memicu pertumbuhan berlebihan dari
jamur ini.
Terdapat beberapa urutan patofisiologi terjadinya
ketombe :
1. Ekosistem Malassezia dan interaksi Malassezia pada
epidermis
2. Inisiasi dan perkembangan dari proses infamasi

33
3. Proses kerusakan, proliferasi, dan diferensiasi pada
epidermis
4. Kerusakan barrier secara fungsional maupun struktural
C. Gejala
Timbul sisik yang berlebihan di kulit kepala.
Ketombe ditandai oleh warna kemerahan pada kulit
dengan batas tidak jelas disertai skuama halus sampai
agak kasar, dimulai pada salah satu bagian kulit kepala,
kemudian dapat meluas hingga seluruh kulit kepala,
skuama kering, halus, berwarna putih keabu-abuan tanpa
tanda-tanda inflamasi dan skuama dapat bertebaran
diantara batang rambut atau jatuh pada kerah baju
ataupun bahu penderita, sehingga kulit kepala penuh
dengan skuama seperti bubuk halus. Ketombe biasanya
asimtomatik, tapi bisa juga menimbulkan rasa gatal yang
hebat. Pada kasus yang kronis dapat disertai sedikit
kerontokan rambut yang reversibel.
D. Pemeriksaan
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1) Gambaran atau gejala klinis yang khas
Berupa sisik-sisik halus atau serbuk kering yang
berwarna putih abuabu dan mengumpul pada
beberapa lokasi permukaan kulit kepala atau
menyeluruh. Penderita biasanya mengeluh rasa gatal
pada kulit kepala terutama bila udara panas dan
berkeringat dan disertai kerontokan rambut.
2) Pemeriksaan lampu wood
Pemeriksaan ini dilakukan di kamar atau ruangan
yang gelap sehingga metode ini klinisi harus
mempersiapkan ruangan yang sesuai beserta lampu
wood yang akan digunakan untuk mendiagnosis
pasien. Hasil dari pemeriksaan lampu wood ini akan

34
tampak fluoresensi biru keputihan pada area kulit
kepala yang berketombe
3) Pemeriksaan laboratorium semikuantitatif
Dengan cara pewarnaan KOH 10-20% + tinta
parker blue black pada spesimen dari hasil kerokan
kulit kepala berambut atau dengan menempelkan
selotip pada daerah kulit kepala yang berketombe dan
segera diamati di mikroskop cahaya pembesaran
1000x. Hasil positif bila di dapatkan jumlah rerata
jamur Malassezia sp. lebih dari atau sama dengan 10
spora per lapangan pandang besar.
E. Uraian Pengobatan
1. Terapi Medikamentosa
a. Sulfur
Sulfur memiliki sejarah panjang pada
pengobatan kulit seperti untukacne ointment,
sampo anti ketombe dan antidote karena terpapar
materialradioaktif secara akut. Efek anti ketombe
karena kemampuannya sebagaikeratolitik. Sulfur
dapat digunakan sebagai anti ketombe sampai
dengan kadar 10% dan dapat dikombinasi dengan
asam salisilat untuk meningkatkan efekanti
ketombenya
b. Asam salisilat
Asam salisilat merupakan zat yang sering
ditambahkan pada produk perawatan kulit untuk
perawatan jerawat dan psoriasis. Efek pada kulit
sebagaikeratolitik, dijadikan dasar penambahan
asam salisilat pada produk sampo perawatan
ketombe. Pada kulit dapat mempercepat regenerasi
sel. Dalam peraturan Ka Badan POM No.

35
HK.00.05.42.1018 kadar asam salisilat dibatasi3%
untuk produk bilas dan 2% untuk produk lainnya
c. Selenium sulfide
Selenium sulfida dengan kadar 1% dan 2,5%
digunakan pada kulitkepala untuk mengontrol
gejala ketombe dan seborrheic
dermatitis.Mekanisme kerjanya sebagai anti
ketombe dengan menghambat pertumbuhansel baik
yang hiperproliferatif atau normal. Selenium
sulfida 1% digunakansebagai anti ketombe sedang
selenium sulfida mikronisasi 0,6%. Efek samping
dari penggunaan selenium sulfida adalah iritasi
kulit, rambut kering atau berminyak, rambut
rontok.
d. Seng pirition
Bekerja sebagai anti mitosis, bakteriostatik
dan fungistatik (drugs). Seng pirition merupakan
anti ketombe yang efektif dan bersifat anti fungi.
Efek antiketombe berdasarkan kemampuan
molekul pirition yang tak terionisasi
untukmengganggu transpor membran dengan
menghambat mekanisme energi pompa proton
sehingga dapat menghambat pertumbuhan jamur.
Dalam peraturan Ka Badan POM No.
HK.00.05.42.1018, kadar Seng pirition sebagaianti
ketombe dibatasi 2% untuk produk dibilas dan
0,1% produk non-bilas.
e. Pirokton olamine
Pirokton olamin atau Octopirox adalah suatu
senyawa digunakan sebagaiterapi infeksi jamur.
Seringkali digunakan sebagai salah satu komponen

36
sampoanti ketombe sebagai pengganti seng
pirition.
2. Terapi Non-Medikamentosa
a. Melakukan massage pada kulit kepala saat
keramas.
b. Memberikan diet rendah lemak.
c. Memberikan health education (menjaga kebersihan
kepala).
3. Pengobatan Tradisional
a. Lemon
Penatalaksanaan ketombe di masyarakat
tidak hanya dilakukan secara medis, tetapi juga
dapat menggunakan cara alami, salah satunya
adalah dengan menggunakan air perasan jeruk
lemon. Air perasan jeruk lemon sering dipakai
masyarakat untuk mengobati ketombe karena
diyakini berkhasiat, bahannya mudah didapat, serta
mengandung bahan alami. Martos dkk. telah
meneliti bahwa kandungan d-limonene dalam jeruk
lemon memiliki efek antijamur. Sebelumnya
peneliti telah melakukan uji pendahuluan dan
didapatkan kadar hambat minimum (KHM) air
perasan jeruk lemon terhadap Malassezia sp.
Secara invitro adalah pada konsentrasi 25% .

Lemon merupakan buah yang sering


digunakan masyarakat sebagai penyedap dalam
masakan atau untuk menghilangkan bau amis.
Lemon dapat berpotensi secara biologis sebagai
antibakteri, antidiabetes, antikanker, dan antiviral
Flavanoid di dalam buah lemon membantu
mencegah serangan dari patogen termasuk bakteri,
jamur, dan virus. Selain itu kandungan minyak

37
atsiri, alkaloid, serta sesquiterpen dan senyawa
terpen lain dapat berfungsi sebagai antibakteri dan
antijamur. Pada penelitian lain menunjukkan
bahwa secaramikrobiologi jeruk lemon efektif
untuk menghambat pertumbuhan jamur sebagai
penyebab ketombe (Hindi,2013).

b. Nanas
Nanas (Ananas comosus) memiliki
kandungan air 90% dan kaya akan Kalium,
Kalsium, Iodium, Sulfur, dan Khlor. Selain itu juga
kaya Asam, Biotin, Vitamin B12, Vitamin Eserta
Enzim Bromelin. Bromelin pada buah nanas adalah
enzim proteolitik yang ditemukan pada bagian
batang ,buah, dan kulit nanas (Ananas comosus).
Beberapa kegunaan dari enzim ini adalah
mengurangi pembengkakan karena luka atau
operasi. Enzim ini terus bekerja sampai jaringan
kulit yang sehat menampakkan diri. Enzim ini juga
memiliki fungsi untuk mengangkat jaringan kulit
yang mati terutama pada kulit kepala penyebab
ketombe (Bagus Gunawan Usyan 2014).
Buah nanas (Ananas comosus (L.) Merr)
adalah tanaman obat tradisional yang mempunyai
efek anti inflamasi, anti oksidan, anti cancer, anti
bakteri dan anti fungi. (E.Learning Penanganan
Masalah Sistem Integumen (Kulit, Rambut, Kuku)

Zat-zat kimia yang terkandung di dalam


nanas antara lain adalah vitamin A dan C, kalsium,
fosfor, magnesium, besi, natrium, kalium,
dekstrosa, sukrosa, enzim bromelain, saponin,
flavonoid, polifenol. (E.Learning Penanganan
Masalah Sistem Integumen (Kulit, Rambut,

38
Kuku). Kandungan zat kimia yang berefek anti
fungi :

- Saponin : Menunjukkan efek anti fungi, anti


bakteri, anti inflamasi, dan mempunyai efek
sitotoksik.
- Flavonoid : Mempunyai efek anti inflamasi, anti
bakteri, anti fungi, anti viral, anti cancer dan
anti oksidan.
- Polifenol : Mempunyai efek anti inflamasi, anti
fungi, anti bakteri, anti cancer dan anti oksidan.

c. Pisang
Perawatan kecantikan secara tradisional
dengan bahan yang mudah didapat yaitu buah
Pisang (Musa paradisiaca L.) yang memiliki
kandungan vitamin, mineral, dan elektrolit pada
bagian buahnya (Wardhany, 2014: 54). Terutama
vitamin c yang terkandung pada minyak buah
Pisang (Musa paradisiaca L.) untuk membantu
mengurangi ketombe pada kulit kepala .Tumbuh
baik di daerah beriklim tropis dan di kondisi tanah
manapun dan sangat kaya senyawa yang disebut
fruktooligo-sakarida (Wardhany, 2014)
Komponen aktif yang terdapat pada minyak
essensial memiliki berbagai kemampuan
sepertiinflamasi dan antiseptik/antibakteri. Minyak
essensial merupakan preparat antimikroba alami
yang dapat bekerja terhadap bakteri, virus, dan
jamur yang telah dibuktikan secara ilmiah oleh
banyak peneliti (Yuliani, 2012).

39
2.2 Contoh Kasus dan Penyelesaianya

2.2.1 Kasus 1
Tn Roni (35 tahun) yang merupakan seorang petani datang
ke apotek mengeluhkan gatal-gatal, kulit merah dan mengelupas
serta pecah-pecah pada bagian sela jari manis dan kelingking
kakinya sejak 2 hari yang lalu. Menurut pengakuan Tn Roni, hal
ini selalu terjadi saat musim hujan. Tuan Roni menanyakan kepada
apoteker obat apakah yang tepat untuk menangani keluhannya
tersebut.

Penyelesaian:
Analisis Metode SBAR

 Situation
Pasien merasa gatal-gatal, terlihat kulit merah dan mengelupas
serta pecah-pecah pada bagian sela jari kaki.

 Background
1. Sudah sejak kapan terasa gatal? Sejak 2 hari yang lalu
2. Apakah anda memakai sepatu atau alas kaki lainnya? Ya,
saya menggunakan sepatu boots
3. Apakah anda mencuci kaki sebelum dan setelah
menggunakan sepatu? Hanya setelah menggunakan sepatu
4. Apakah sebelumnya sudah diobati? Belum pernah

40
5. Apakah terjadi pembengkakan atau berdarah? Tidak
6. Apakah terjadi juga pada kuku? Tidak
7. Apakah sebelumnya pernah mengalami gatal seperti ini?
Selalu terjadi setiap musim hujan
8. Apakah terasa nyeri atau panas? Tidak
9. Apakah ada riwayat pengobatan tertentu? Tidak
10. Apakah terdapat alergi terhadap obat-obatan tertentu? Tidak

 Assesment :
a) Gatal-gatal, kulit merah dan mengelupas serta pecah-pecah
pada bagian kaki: sela jari Infeksi oleh jamur Trycophyton
yang menyebabkan kutu air (Harahap, 2000). Keadaan
sepatu dalam kondisi basah dan suhu yang hangat merupakan
tempat yang ideal bagi jamur untuk mengembangkan dirinya
dimana jamur menggunakan serpihan kulit sebagai
makanannya (Arjana, 2018).
b) Patofisiologi
Tinea pedis merupakan keadaan yang disebabkan
oleh jamur yang menginfeksi jaringan keratin seperti pada
kulit, rambut, dan kuku. Infeksi dimulai dengan perlekatan
dermatofit pada jaringan keratin dan kemudian terjadi
penetrasi ke stratum korneum yang dibantu oleh enzim
keratolitik proteinase, lipase dan enzim musinolitik yang
dihasilkan oleh jamur (Wolff, et al,. 2008). Infeksi dimulai
dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam
jaringan keratin yang mati. Hifa tersebut yang menghasilkan
enzim keratolitik proteinase berdifusi ke lapisan epidermis
dan menimbulkan reaksi inflamasi. Pertumbuhan jamur
dengan pola radial menyebabkan timbulnya lesi kulit
melingkar, batas tegas dan meninggi yang disebut ringworm
atau tinea (Mansjoer dkk, 2000).

41
 Recommendation :
Rekomendasi obat yang dapat diberikan berdasarkan
pedoman penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas (2007)
untuk mengobati kutu air adalah obat yang mengandung
mikonazol, salah satunya yaitu daktarin.
o Nama Obat: Daktarin
o Kandungan: Mikonazole Nitrat
o Indikasi: Penyakit kulit karena jamur
o Mekanisme Kerja: Menghambat biosintesa ergosterol
o Interaksi: Interaksi pada bentuk sediaan topical jarang sekali
terjadi namun adanya penyerapan kulit memungkinkan
terjadinya interaksi jika diberikan bersama amfoterisin B
maka akan menghambat efek amfoterisin B (IONI, 2000) –
Pasien tidak mengkonsumsi obat lain maka daktarin dapat
direkomendasikan
o Aturan Pakai: 2x sehari oles tipis
o Cara pakai: Bersihkan daerah yang akan diolesi obat
menggunakan sabun dan dikeringkan, kemudian oleskan tipis
pada lesi 2xsehari, obat dilanjutkan 10 hari setelah gejala
hilang.
o Kontraindikasi: Hipersensitif Mikonazole
o Efek samping: Alergi, iritasi
o Cara penyimpanan: Ditempat kering dan terlindung dari sinar
matahari
o Peringatan : Jika setelah pemakaian terjadi iritasi, segera
hentikan pemakaian dan segera periksa ke dokter.
o Pencegahan :
1. Cuci kaki secara menyeluruh dengan air dan sabun setiap
hari
2. Keringkan kaki setelah mandi, khususnya disela-sela kaki.

42
3. Memakai kaus kaki tipis, dan pastikan untuk sering
menggantinya, agar kaki bersih dan kering
4. Selalu gunakan sandal jepit atau alas kaki yang berongga,
karena kutu air dapat terjadi karena kelembaban dan
pengap yang tinggi.

Terapi Non-Farmakologi:

1. Kaos kaki perlu diganti setiap hari begitu pula handuk, direndam dengan
air panas untuk mematikan spora
2. Tidak menggaruk bagian yang gatal karena akan menimbulkan infeksi
lain
3. Pakaian dicuci bersih
4. Tidak menggunakan pakaian yang terlalu ketat
5. Cuci Kaki sebelum dan sesudah menggunakan sepatu dengan sabun dan
air bersih
6. Keringkan dengan handuk yang bersih sebelum menggunakan sepatu

1.1.1 Kasus 2
Seorang ibu T berumur 37 tahun bekerja sebagai seorang banker
yang sangat sibuk datang ke apotek dengan keluhan gatal-gatal dikulit
kepala, ketombe berlebihan, dan pengelupasan kulit kepala yang terjadi
sejak 3 hari yang lalu. Ibu T mengaku sangat jarang keramas karena
kesibukannya itu. Ibu T mengatakan pada awalnya rambutnya sangat
berminyak dan hanya gatal biasa, sehingga dia tidak mengobatinya
maupun menggunakan shampoo antiketombe. Ibu T juga mengatakan
tidak memiliki alergi apapun dan belum pernah menggunakan obat
apapun sebelumnya. Ibu T menanyakan kepada apoteker bagaimana
cara menghilangkan gatal-gatal dan ketombenya tersebut.

Penyelesaian:
Analisis Metode SBAR

 Situation

43
Pasien merasa gatal-gatal dikulit kepala, disertai dengan ketombe
berlebih, dan pengelupasan kulit kepala

 Background
1. Kenapa bisa terjadi gatal-gatal ? Jarang keramas
2. Sejak kapan mulai merasakan gatal? 3 hari yang lalu
3. Apa yang dirasakan? Gatal-gatal di kulit kepala dan tidak
nyaman
4. Apakah timbul ketombe dan pengelupasan kulit? Ya
5. Apakah sebelumnya pernah mengalami hal seperti ini?
Tidak pernah, hanya berminyak
6. Apakah pernah menggunakan obat-obat untuk terapi
lainnya? Tidak
7. Apakah memiliki alergi terhadap obat tertentu? Tidak
 Assesment :
Ketombe: Jamur
Pengelupasan kulit: Jamur
Gatal: Jamur
Kulit kepala memproduksi minyak yang penting untuk
menjaga kelembapan. Bila tidak dibersihkan, minyak akan
menumpuk dan membuat rambut menjadi lepek, gatal, dan bau.
Jarang mencuci rambut, membuat minyak dan sel-sel kulit mati
pada rambut semakin menumpuk. Kondisi ini memicu jamur
semakin aktif untuk memakannya. Akhirnya, serpihan ketombe
malah semakin bertambah banyak (Everyday Health.com).
Patofisiologi terjadinya ketombe antara lain (Istiqomah, 2016):
1. Infiltrasi Malassezia
Malassezia dapat menginfiltrasi stratum korneum dari
epidermis. Malassezia akan memecah komponen sebum akan
menimbulkan gejala inflamasi dan sisik.
2. Inisiasi dan perkembangan dari proses inflamasi. Timbul
gejala berupa eritema, gatal, panas, rasa terbakar,
terganggunya kualitas dari rambut

44
3. Proses kerusakan, proliferasi, dan diferensiasi pada
epidermis. Setelah Malassezia memicu pengeluaran mediator
inflamasi, kemudian terjadi proliferasi dan diferensiasi serta
kerusakan yang lebih parah pada kulit kepala.
Hiperproliferasi dari epidermis menyebabkan adanya sisik
pada kulit kepala.
4. Kerusakan barrier secara fungsional maupun structural.
Kerusakan barrier pada epidermis dapat menyebabkan
Transpidermal water lossyang dapat menimbulkan rasa
kering pada kulit kepala.
 Recommendation :
Pemberian shampoo antiketombe yang mengandung
selenium sulfide dan Zinc pyrithione yaitu Selsun Yellow
Double Impact.
o Kandungan :
 Selenium sulfide dapat mengurangi gatal, kulit
mengelupas, iritasi, dan kemerahan pada kulit.
 Zinc pyrithione yang dapat bekerja sinergis dengan
selenium sulfide untuk menghilangkan ketombe dan gatal-
gatal.
o Cara Penggunaan: Basahi rambut dan kulit kepala dengan air
bersih, kemudian aplikasikan shampoo pada rambut hingga
kulit kepala, tunggu 2-3 menit, lalu bilas hingga bersih.
Gunakan 2 kali seminggu secara teratur untuk hasil yang
maksimal.
o Kontraindikasi: Inflamasi
o Efek samping: Perubahan warna rambut
o Perhatian: Jika timbul reaksi alergi hentikan penggunaan dan
periksa ke dokter

Terapi Non-Farmakologi:

1. Keramas secara teratur 2-3 kali seminggu

45
2. Hentikan pemakaian produk penata rambut yang tidak cocok
3. Makan makanan sehat yang mengandung zink, vitamin B dan asam lemak
esensial
4. Jaga agar kulit kepala dan rambut tetap bersih

46
47

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Jamur merupakan suatu mikroorganisme yang memiliki sifat dapat
menguntungkan maupun merugikan manusia. Jamur yang merugikan
bisa mengakibatkan timbulnya penyakit pada salah satu tempat yang
dominan yaitu kulit. Penyakit kulit akibat jamur sangat bermacam-
macam, mulai dari yang biasa hingga menyebabkan infeksi berat.

3.2 Saran
Penyakit kulit akibat jamur kini telah menjadi masalah yang sangat
mengganggu aktifitas penderitanya maupun dalam hal estetikanya.
Penyakit kulit akibat jamur harus segera ditangani melalui pemeriksaan
yang memadai hingga memilihkan pengobatan yang paling dianggap
efektif. Oleh karena itu, peran tenaga medis khususnya apoteker yang
bergelut di bidang obat-obatan harus bisa lebih kompetentif dalam
menangani kasus penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur.

47
DAFTAR PUSTAKA
Ariawati N. L. dan Ni Luh P. E. D. 2016.Tinjauan Pustaka Penyakit Scabies.
Arjana, I Komang. 2018. Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD)
dengan Kejadian Tinea Pedis pada Petani Buah dan Sayur di Wilayah
Kerja UPT Puskesmas Bangli Utara,, Bangli, Bali. Fakultas Keperawatan
Universitas Jember. Jember.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2002.
Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: BPOM RI, KOPER
POM dan CV SagungSeto.
Chadwick, P., & Podiatrist, S. R. (2013). Fungal infection of the diabetic foot: the
often ignored complication. The Diabetic Foot Journal, 16, 102-7.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Penggunaan Obat
Bebas dan Obat Bebas Terbatas. Jakarta: Depkes RI.
https://www.everydayhealth.com/news/surprising-facts-about-dandruff/.
Diakses pada 27 Agustus 2021.
Harahap, M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Hermawan, D. A., & Widyanto. (2000). Mengenal Penyakit Jamur Kulit Yang
Sering Ditemukan Di Indonesia. Jurnal Meditek, 8(23), 46–59. Harahap, M.
2000. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates.
Hermawan, Danny A. 2014. “Mengenal Penyakit Scabies”. Forum Penelitian.
Hidayat, R. (2018). Hubungan Kbersihan Diri (Personal Hygiene) dengan
Kejadian Dermatofitosis di Desa Lereng Wilayah Kerja Puskesmas Kuok.
Jurnal Ners, 2(23), 86–94.
Istiqomah MI, Subchan P, S AW. Prevalensi dan faktor risiko terjadinya ketombe
pada polisi lalu lintas kota semarang. Jurnal unimus. 2016;5(4):1276-83.
Shampoo Truth. Diakses pada 2021. A Complete Guide to Choosing the Best
Shampoo for Dandruff.
Mansjoer, A, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Penerbit
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

48
Martos MV, Navajas YR, Lopez JF, Alvarez JP. Antifungal activity of lemon
(Citrus lemon L.), mandarin (Citrus reticulata L.), grapefruit (Citrus paradisi
L.) and orange (Citrus sinensis L.) essential oils. Food Control. 2008; 19(2):
1130-8.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1990, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor: 347/MenKes/SK/VlI/1990 Tentang Obat Wajib Apotik, Menteri
Kesehatan, Jakarta, Indonesia.
Miftahurrohmah, D., & Budiati, R. E. (2013). Hubungan Kejadian Tinea Pedis
(Kutu Air) dengan Praktik Personal Hygiene pada Pemulung di TPA
Tanjungrejo Kudus. Keperawatan Dan Kesehatan Lingkungan, 1, 77.
Murray, C. K., Loo, F. L., Hospenthal, D. R., Cancio, L. C., Jones, J. A., Kim, S.
H., ... & Wolf, S. E. (2008). Incidence of systemic fungal infection and
related mortality following severe burns. Burns, 34(8), 1108-1112.
PERDOSKI. (2017). Panduan praktik klinis bagi dokter spesialis kulit dan
kelamin di indonesia. Panduan praktik klinis.
https://doi.org/10.1021/jo900140t
Putri, D. D., Furqon, M. T., & Perdana, R. S. (2018). Klasifikasi Penyakit Kulit
Pada Manusia Menggunakan Metode Binary Decision Tree Support Vector
Machine (BDTSVM) (Studi Kasus: Puskesmas Dinoyo Kota Malang).
Jurnal Pengembangan Teknologi Informasi Dan Ilmu Komputer, 2(5), 1912–
1920.
Putri, M. N., Burmana, F., & Nusadewiarti, A. (2017). Penatalaksanaan dan
Pencegahan Tinea Korporis pada Pasien Wanita dan Anggota Keluarga.
Agromedunila, 4(1), 103–108.
Saraswati, Yara Egyptha, dkk. 2013. “Tinea Corporis”. Forum Penelitian,
FKUNUD.
Sayogo, W., Widodo, A. D. W., & Dachlan, T. P. (2017). Potensi +Dalethyne
Terhadap Epitelisasi Luka pada Kulit Tikus yang Diinfeksi Bakteri MRSA.
Jurnal Biosains Pascasarjana, 19(1), 68.
https://doi.org/10.20473/jbp.v19i1.2017.68-84

49
Sharma, Vishnu, et al, 2015, ‘Dermatophytes: Diagnosis of dermatophytosis and
its Treatment’, African Journal of Microbiology Research, Vol. 9, No. 19,
pp. 1286-1293.
Suryantara, I Pt Agus, dkk. 2014. “Diagnosis dan Tatalaksana Tinea Fasialis”.
Forum Penelitian, FKUNUD.

50

Anda mungkin juga menyukai