Disusun Oleh :
Fatma Aufa Zahro (I1C015007)
Abdillah Hanif Al-Faruqi (I1C015017)
Nur Laili Zuhriyyah (I1C015029)
Novi Amalia Nursyafitri
Azizah Nurul Qani’ah (I1C015055)
Irfansyah Septian Nur F (I1C015069)
Nindyasti Prameswari I (I1C015081)
Nur Aini Indah F (I1C015093)
Nindita Rachmania (I1C015107)
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2018
A. PATOFISIOLOGI
Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan bersifat sangat
dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara bertahan hidup dengan
berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok dan mampu mencari reservoir lainnya
yang baru dengan cara menyebar atau berpindah. Salah satunya adalah jamur atau fungi.
Infeksi jamur dapat superfisial, subkutaneus atau sistemik tergantung karakteristik
organisme dan host -nya. Infeksi jamur superfisial merupakan infeksi yang terbatas pada
stratum korneum, rambut dan kuku . Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial
disebabkan oleh dermatofita yang memiliki kemampuan untuk melekat pada keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi, dengan menyerang jaringan berkeratin, seperti
stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku (Widyanto, 2000) . Dermatofitosis
disebut juga dengan istilah infeksi “tinea” yang dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan
lokasi infeksinya :
Gambar 1. Tabel Klasifikasi Dermatofitosis Berdasarkan Lokasi atau Ciri tertentu dan
Jamur Penyebab (Rosita and Kurniati, 2008).
Gambar 2. Mekanisme Infeksi Jamur Superfisial jenis Dermatofitosis
(Lakshmipathy and Kannabiran, 2010).
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan
melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu 4–6 jam
untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat pada keratin.
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk tersebut,
jamur patogen menggunakan beberapa cara:
Terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami yang memberikan respons cepat
dan imunitas adaptif yang memberikan respons lambat. Pada kondisi individu dengan
sistem imun yang lemah (immunocompromized), cenderung mengalami
dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-obatan
transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkina terinfeksi oleh
dermatofit non patogenik (Rosita and Kurniati, 2008).
Gambar 4. Tinea Capitis
2. Tinea Pedis
a. Iritasi seperti gatal, menyengat, dan panas di antara jari kaki.
b. Terasa gatal, menyengat pada telapak kaki.
c. Kulit melepuh akibat gatal pada kaki.
d. Kulit terlihat pecah-pecah dan mengelupas pada kaki, paling sering di antara jari
kaki dan pada telapak kaki.
e. Kulit menjadi kering pada telapak atau sisi kaki.
f. Kuku berubah warna, tebal, dan rapuh.
(Soekandar, 2004)
3. Tinea Unguium
a. Kusam dan tidak cerah.
b. Menebal.
c. Berubah bentuk.
d. Berwarna kehitaman (akibat penumpukan kotoran di bawah kuku).
e. Rapuh atau retak.
(Anugrah R, 2016)
2. Tinea Pedis
a. Lebih banyak menginfeksi laki-laki dibandingkan perempuan.
b. Insidensi meningkat sesuai dengan bertambah usia.
c. Pemakaian sepatu tertutup untuk waktu yang lama.
d. Bertambahn kelembapan karena keringat.
e. Pecahnya kulit karena mekanis.
f. Paparan jamur di gedung olahraga atau kolam renang.
g. Pemakaian kaos kaki yang tidak menyerap keringat.
h. Kurangnya kebersihan diri.
(Soekandar, 2004)
3. Tinea Unguium
a. Kurangnya menjaga kebersihan kuku.
b. Menurunnya kemampuan merawat kuku.
c. Trauma kuku.
d. Bertambahnya usia.
e. Pejanan lebih lama terhadap kuku.
f. Imunitas yang menurun.
(Anugrah R, 2016)
D. PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Tinea Capitis
a. Terapi Topikal
b. Terapi Oral
1. Griseofulvin
Griseofulvin adalah obat fungistatik yang menghambat sintesis asam
nukleat, menahan pembelahan sel pada metafase dan merusak sintesis dinding
sel. Tersedia dalam beberapa bentuk (micronized, ultramicronized dan
suspensi). Efek samping yang mungkin terjadi adalah gangguan
gastrointestinal terutama diare, selain itu dapat menyebabkan ruam dan sakit
kepala. Griseofulvin sebagai first line therapy karena memiliki bukti efikasi
yang baik dan tetap menjadi perawatan lini pertama yang paling banyak
digunakan.
Keuntungan : suspensi lebih cocok untuk anak-anak dan memungkinkan
penyesuaian dosis yang lebih akurat.
Kekurangan : semakin mahal, pengobatan berkepanjangan diperlukan
dengan potensi untuk mempengaruhi kepatuhan.
Kontraindikasi : wanita hamil, lupus eritematosus, porfiria, penyakit hati
berat.
Interaksi obat : termasuk warfarin, ciclosporin dan pil kontrasepsi oral.
2. Terbinafine
Terbinafine adalah allylamine yang bekerja pada membran sel dan
bersifat fungisidal. Ini menunjukkan aktivitas melawan semua dermatofit,
tetapi memiliki efektivitas yang jauh lebih tinggi terhadap spesies
Trichophyton daripada Microsporum. Pada dosis yang lebih tinggi
terbinafine lebih efektif terhadap M. canis tetapi tidak memberikan
keuntungan atas griseofulvin, dan memperpanjang pengobatan tidak
meningkatkan efikasi. konsentrasi hambat minimum terbinafine untuk infeksi
M. canis dapat melebihi konsentrasi maksimum pada rambut sehingga
menjadi salah satu penyebab kegagalan pengobatan terbinafine. Selain itu,
terbinafine tidak diekskresikan dalam keringat atau sebum anak-anak
prapubertas, dan tidak dapat dimasukkan ke dalam batang rambut pada anak-
anak, jadi tidak secara efektif mencapai permukaan kulit kepala di mana
arthroconidia berada Infeksi microsporum, terhitung karena
ketidakefisienannya.
Efek samping : gangguan gastrointestinal dan ruam.
Keuntungan : fungisida, rejimen pengobatan yang lebih pendek, sehingga
berpotensi meningkatkan kepatuhan; biaya; keamanan.
Kekurangan : tidak ada formulasi suspensi (tetapi di AS, granul
memberikan alternatif yang cocok); tidak berlisensi untuk perawatan
anak-anak di Inggris.
Interaksi obat : konsentrasi plasma menurun oleh rifampicin dan
meningkat oleh simetidin
Terbinafine juga sebagai first line therapy setelah Griseofulvin karena
memiliki bukti efikasi yang baik dan tetap menjadi perawatan lini pertama
yang paling banyak digunakan. Sebagai aturan umum, terbinafine lebih
berkhasiat terhadap spesies Trichophyton (T. tonsurans, L. violaceum, T.
soudanense), dan griseofulvin lebih efektif terhadap spesies Microsporum (M.
canis, M. audouinii).
3. Itraconazole
Itrakonazol menunjukkan aktivitas fungisidal dan fungistatik tergantung
pada konsentrasi jaringan obat, tetapi, seperti azoles lainnya, cara kerja
utamanya adalah fungistatik, melalui penipisan ergosterol membran sel, yang
mengganggu permeabilitas membrane.
Keuntungan : protokol pengobatan yang lebih pendek, tersedia dalam
bentuk cair, memiliki lisensi untuk digunakan pada anak-anak berusia> 12
tahun.
Kekurangan : tidak berlisensi di Inggris untuk anak-anak berusia ≤ 12
tahun dengan tinea capitis.
Interaksi obat : peningkatan toksisitas warfarin, beberapa anti- histamin
(khusus terfenadine, astemizole), antipsikotik (sertindole), anxiolytics
(midazolam), digoxin, cisapride, ciclosporin dan simvastatin (peningkatan
risiko miopati), menurunkan efikasi dengan penghambat H2 bersamaan,
fenitoin dan rifampicin.
Itraconazole sebagai second line therapy karena aman, efektif dan memiliki
aktivitas melawan spesies Trichophyton dan Microsporum.
4. Fluconazole
2. Tinea Pedis
Selain itu ada alternatif pengobatan untuk terapi Tinea Pedis, yaitu larutan
topikal efinaconazole 10 %. Keterkaitan antara onikomikosis dan tinea pedis adalah
hal yang biasa dalam praktik medis pada pediatrik. Keamanan dan efektivitas larutan
topikal efinaconazole 10%, dalam mengobati onikomikosis ringan sampai sedang
telah dilaporkan. Secara keseluruhan, lebih dari 21% pasien juga mengalami
interdigital tinea pedis
Gambar 9. Tingkat efektivitas efinaconazole
3. Tinea Unguium
Onikomikosis merupakan infeksi jamur pada kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita (tinea unguium), kapang nondermatofita, dan ragi. Penyakit ini dapat
terjadi pada matriks, nail bed, atau nail plate. Onikomikosis dapat mengakibatkan rasa
nyeri, tidak nyaman, dan terutama tampilan kurang baik.
1. Terapi topikal
Produk antijamur topikal konvensional tersedia dalam bentuk krim, salep,
bubuk, dan larutan (Dipiro, 2008). Secara umum, kuku resisten terhadap obat
antijamur topikal Karena formulasi antijamur topikal tidak dapat menembus ke
dasar kuku (Asz-Sigall, 2016). Produk antijamur topikal paling tepat digunakan
ketika lempeng kuku telah dilepas. Produk antijamur topikal juga memiliki
tingkat penyembuhan yang masih rendah dan bervariasi, serta dipengaruhi oleh
kepatuhan pasien (Dipiro, 2008). Penggunaan agen topikal harus dibatasi pada
kasus-kasus yang melibatkan kurang dari setengah lempeng kuku distal atau jika
tidak dapat mentoleransi pengobatan sistemik. Agen antijamur topikal yang
tersedia adalah amorolfine, ciclopirox, tioconazole, dan efinaconazole.
a. Amorolfine
Amorolfine termasuk obat antijamur golongan morpholine sintetis
dengan spektrum fungisida yang luas. Obat ini menghambat enzim delta 14
reduktase dan delta 8 dan delta 7 isomerase dalam jalur biosintesis ergosterol
dan bersifat fungisida terhadap C. Albicans dan T. mentagrophytes. Obat ini
dioleskan pada kuku yang terkena sekali atau dua kali seminggu selama 6-12
bulan. Amorolfine telah terbukti efektif pada sekitar 50% kasus infeksi jamur
kuku distal. Efek samping lacquer amorolfine jarang dan terbatas, berupa rasa
terbakar, pruritus, dan eritema.
b. Ciclopirox
Ciclopirox merupakan turunan hydroxypyridone dengan aktivitas
antijamur spektrum luas terhadap T. rubrum, S. brevicaulis, dan Candida
spesies. Obat dioleskan pada kuku sekali sehari selama 48 minggu. Ciclopirox
sekali sehari terbukti lebih efektif daripada plasebo (34% ciclopirox vs 10%
plasebo).10 Durasi pengobatan yang dianjurkan adalah hingga 24 minggu
untuk kuku tangan dan sampai 48 minggu untuk kuku kaki. Tidak ada uji
klinik yang membandingkan amorolfine dengan ciclopirox untuk
onikomikosis. Efek samping yang sering adalah eritema periungual.
c. Tioconazole
Tioconazole adalah antijamur imidazole, tersedia sebagai larutan 28%.
Dalam sebuah studi terbuka atas 27 pasien onikomikosis, kesembuhan klinik
dan mikologi dicapai pada 22% pasien. Efek samping yang sering adalah
dermatitis kontak.
d. Eficonazole
Eficonazole 10% adalah obat antijamur golongan triazole. Obat ini
diaplikasikan sekali sehari pada kuku. Sebuah uji klinik barubaru ini
menunjukkan bahwa eficonazole menghasilkan tingkat kesembuhan mikologi
mendekati 50% dan kesembuhan klinik mencapai 15% setelah penggunaan
selama 48 minggu (Anugrah, 2016).
2. Terapi Sistemik
a. First line
Terbinafine adalah turunan allylamine fungisidal yang biasanya
diberikan dengan dosis 250 mg setiap hari selama 6 minggu untuk kuku tangan
dan selama 12 minggu untuk kuku kaki (Asz-Sigall, 2016). Terbinafine
bekerja menghambat enzim squalene epoxidase yang penting untuk biosintesis
ergosterol, komponen integral dinding sel jamur. Lebih dari 70% terbinafine
diserap setelah pemberian oral, dan tidak terpengaruh asupan makanan.
Terbinafine dimetabolisme sebagian besar melalui ginjal dan diekskresikan
dalam urin. Terbinafine sangat lipofilik, sehingga terdistribusi dengan baik di
kulit dan kuku (Anugrah, 2016). Interaksi obat sangat jarang dan toksisitas hati
kadang-kadang dapat terjadi. Wajib dilakukan Evaluasi enzim hati sebelum
memulai pengobatan jangka panjang menggunakan obat ini. Efek samping
utama dari penggunaan terbinafine melibatkan fungsi gastrointestinal. Pada
pasien AIDS, terbinafine lebih disukai daripada obat golongan Azole karena
penyerapannya lebih baik. Tingkat kesembuhan klinis lengkap berkisar antara
60 hingga 70%, dan tingkat kesembuhan mikologi sekitar 76%.
b. Second line
Itraconazole adalah turunan triazole spektrum luas dengan aktivitas
fungistatik. Biasanya diberikan secara oral dengan dosis harian 200 mg selama
6 minggu untuk kasus yang mengenai kuku tangan dan selama 12 minggu
untuk kasus yang mengenai kuku jari kaki. Itraconazole juga dapat diberikan
sebagai pulse therapy dengan dosis 400 mg setiap hari selama 1 minggu dalam
sebulan. Terapi ini dilakukan selama 3–4 bulan. Untuk meningkatkan
penyerapan, Itraconazole harus diberikan dengan makanan tinggi lemak dan /
atau minuman asam. Itraconazole memiliki interaksi obat yang lebih besar
dibandingkan terbinafine dan lebih hepatotoksik. Tingkat kesembuhan klinis
lengkap berkisar dari 65 hingga 75%, dan tingkat kesembuhan mikologi adalah
sekitar 63% (Asz-Sigall, 2016). Itraconazole aktif terhadap berbagai jamur
termasuk ragi dan dermatofita. Mekanisme kerja itraconazole sama dengan
antijamur azole lainnya, yaitu menghambat mediasi sitokrom P450 oksidase
untuk sintesis ergosterol, yang diperlukan untuk dinding sel jamur (Anugrah,
2016).
c. Third line
Terapi fotodinamik untuk onikomikosis setelah penggunaan larutan asam
metil ester 5-aminolevulinic (ALA) dalam krim aqueous pada kuku baru-
baru ini dilaporkan efektif untuk T. rubrum. Perawatan harus didahului oleh
avulsi lempeng kuku menggunakan 40% urea. Beberapa perangkat telah
dipasarkan untuk mengobati onikomikosis, termasuk garnet aluminium
neodymium-doped yttrium (Nd: YAG) dan laser dioda. Metodologi studi ini
tidak homogen, dan data tidak berdasarkan bukti. Khasiatnya masih belum
ditentukan (Asz-Sigall, 2016).
Terapi laser sejak tahun 2010 diteliti baik secara in vitro maupun in vivo.
Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui beberapa jenis laser
untuk onikomikosis, di antaranya: PinPointeTM FootLaserTM (PinPointe
USA, Inc.), Cutera GenesisPlusTM (Cutera, Inc.), Q-ClearTM (Light Age,
Inc.), CoolTouch VARIATM (CoolTouch, Inc.), dan JOULE ClearSenseTM
(Sciton, Inc.). Laser mempunyai efek bakterisidal. Energi yang disalurkan
menyebabkan hipertermia lokal, destruksi mikroorganisme patogen, dan
stimulasi proses penyembuhan.
Amanah et all. 2015. Isolasi dan Identifikasi Mikrofungi Dermatofita Pada Penderita Tinea
Pedis. Cirebon: Fakultas Kedokteran Universitas Swadaya Gunung Jati.
Anugrah, Radityo. 2016. Diagnostik dan Tatalaksana Onikomikosis. Barned Skin Care Vol
43 No 9.
Asz-sigall Daniel, Antonella Tosti, Roberto Arenas. 2016. Tinea Unguium:Diagnosis and
Treatment in Practice. Mycopathologia.1(1).1-6.
Dipiro, J.T.,Yee, G.C., Talbert, R.L., Matzke, G.r., Wells, B.G&posey L.M. 2008.
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition.MC Graw. Hill
Education.
Dr.King-Man HO., Dr. Tin-Sik Cheng. 2010. Common Superficial Fungal Infections – a
Short Review. Medical Bulletin. Hong Kong
Ho, King-Man and Tin Sik Chen. 2010. Common Superficial Fungal Infections – a Short
Review. Medical Buletin, Vol 15 No 11: 1-5.
Nora Ramkita. 2014. Management Tinea Capitis Graypatch Ringworm Type On Toddler Ages
14 Month With Severe Underweight. Lampung: J Medula Unila.
Li, Ruo Yu, et al. 2014. Efficacy and Safety of 1 % Terbinafine Film-Forming Solution in
Chinese Patients with Tinea Pedis: A Randomized, Double- Blind, Placebo-
Controlled, Multicenter, Parallel-Group Study. Clinical Drug Investigation, 34:223–
230.
Markinson, Bryan and Bryan Caldwell. 2015. Efinaconazole Topical Solution, 10% Efficacy
in Patients with Onychomycosis and Coexisting Tinea Pedis. Journal of the American
Podiatric Medical Association, Vol 105 No 5 : 407-411.
Rosita, C. and Kurniati. 2008. ‘Etiopatogenesis Dermatofitosis ( Etiopathogenesis of
Dermatophytoses )’, Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 20(318), pp. 243–
250.
Soekandar, TM. 2004. Angka kejadian dan pola jamur penyebab Tinea pedis di asrama
Brimob Semarang , Ilmu kesehatan kulit dan kelamin FK Undip, 1-6.
Widyanto, A. H. 2002. ‘Mengenal penyakit jamu kulit yang sering ditemukan di Indonesia’,
Mengenal penyakit jamur, 8(Mekdite), pp. 46–59.