Anda di halaman 1dari 4

TINEA UNGUIUM

Onikomikosis merupakan infeksi jamur pada kuku yang disebabkan oleh jamur
dermatofita (tinea unguium), kapang nondermatofita, dan ragi. Penyakit ini dapat terjadi
pada matriks, nail bed, atau nail plate. Onikomikosis dapat mengakibatkan rasa nyeri, tidak
nyaman, dan terutama tampilan kurang baik.
1. Tujuan terapi antijamur adalah penyembuhan mikologi (membunuh jamur penyebab) dan
menormalkan kuku. Biasanya setelah pengobatan dengan terbinafine oral atau itrakonazol
(3–4 bulan).
2. Terapi topikal
Produk antijamur topikal konvensional tersedia dalam bentuk krim, salep, bubuk, dan
larutan (Dipiro, 2008). Secara umum, kuku resisten terhadap obat antijamur topikal Karena
formulasi antijamur topikal tidak dapat menembus ke dasar kuku (Asz-Sigall, 2016).
Produk antijamur topikal paling tepat digunakan ketika lempeng kuku telah dilepas. Produk
antijamur topikal juga memiliki tingkat penyembuhan yang masih rendah dan bervariasi,
serta dipengaruhi oleh kepatuhan pasien (Dipiro, 2008). Penggunaan agen topikal harus
dibatasi pada kasus-kasus yang melibatkan kurang dari setengah lempeng kuku distal atau
jika tidak dapat mentoleransi pengobatan sistemik. Agen antijamur topikal yang tersedia
adalah amorolfine, ciclopirox, tioconazole, dan efinaconazole.
a. Amorolfine
Amorolfine termasuk obat antijamur golongan morpholine sintetis dengan spektrum
fungisida yang luas. Obat ini menghambat enzim delta 14 reduktase dan delta 8 dan delta 7
isomerase dalam jalur biosintesis ergosterol dan bersifat fungisida terhadap C. Albicans dan
T. mentagrophytes. Obat ini dioleskan pada kuku yang terkena sekali atau dua kali seminggu
selama 6-12 bulan. Amorolfine telah terbukti efektif pada sekitar 50% kasus infeksi jamur
kuku distal. Efek samping lacquer amorolfine jarang dan terbatas, berupa rasa terbakar,
pruritus, dan eritema.
b. Ciclopirox
Ciclopirox merupakan turunan hydroxypyridone dengan aktivitas antijamur
spektrum luas terhadap T. rubrum, S. brevicaulis, dan Candida spesies. Obat dioleskan pada
kuku sekali sehari selama 48 minggu. Ciclopirox sekali sehari terbukti lebih efektif daripada
plasebo (34% ciclopirox vs 10% plasebo).10 Durasi pengobatan yang dianjurkan adalah
hingga 24 minggu untuk kuku tangan dan sampai 48 minggu untuk kuku kaki. Tidak ada uji
klinik yang membandingkan amorolfine dengan ciclopirox untuk onikomikosis. Efek samping
yang sering adalah eritema periungual.
c. Tioconazole
Tioconazole adalah antijamur imidazole, tersedia sebagai larutan 28%. Dalam sebuah studi
terbuka atas 27 pasien onikomikosis, kesembuhan klinik dan mikologi dicapai pada 22%
pasien. Efek samping yang sering adalah dermatitis kontak.
d. Eficonazole
Eficonazole 10% adalah obat antijamur golongan triazole. Obat ini diaplikasikan sekali sehari
pada kuku. Sebuah uji klinik barubaru ini menunjukkan bahwa eficonazole menghasilkan
tingkat kesembuhan mikologi mendekati 50% dan kesembuhan klinik mencapai 15% setelah
penggunaan selama 48 minggu (Anugrah, 2016).
3. Terapi Sistemik
a. First line
Terbinafine adalah turunan allylamine fungisidal yang biasanya diberikan dengan
dosis 250 mg setiap hari selama 6 minggu untuk kuku tangan dan selama 12 minggu untuk
kuku kaki (Asz-Sigall, 2016). Terbinafine bekerja menghambat enzim squalene epoxidase
yang penting untuk biosintesis ergosterol, komponen integral dinding sel jamur. Lebih dari
70% terbinafine diserap setelah pemberian oral, dan tidak terpengaruh asupan makanan.
Terbinafine dimetabolisme sebagian besar melalui ginjal dan diekskresikan dalam urin.
Terbinafine sangat lipofilik, sehingga terdistribusi dengan baik di kulit dan kuku (Anugrah,
2016). Interaksi obat sangat jarang dan toksisitas hati kadang-kadang dapat terjadi. Wajib
dilakukan Evaluasi enzim hati sebelum memulai pengobatan jangka panjang menggunakan
obat ini. Efek samping utama dari penggunaan terbinafine melibatkan fungsi
gastrointestinal. Pada pasien AIDS, terbinafine lebih disukai daripada obat golongan Azole
karena penyerapannya lebih baik. Tingkat kesembuhan klinis lengkap berkisar antara 60
hingga 70%, dan tingkat kesembuhan mikologi sekitar 76%.
b. Second line
Itraconazole adalah turunan triazole spektrum luas dengan aktivitas fungistatik.
Biasanya diberikan secara oral dengan dosis harian 200 mg selama 6 minggu untuk kasus
yang mengenai kuku tangan dan selama 12 minggu untuk kasus yang mengenai kuku jari
kaki. Itraconazole juga dapat diberikan sebagai pulse therapy dengan dosis 400 mg setiap
hari selama 1 minggu dalam sebulan. Terapi ini dilakukan selama 3–4 bulan. Untuk
meningkatkan penyerapan, Itraconazole harus diberikan dengan makanan tinggi lemak dan /
atau minuman asam. Itraconazole memiliki interaksi obat yang lebih besar dibandingkan
terbinafine dan lebih hepatotoksik. Tingkat kesembuhan klinis lengkap berkisar dari 65
hingga 75%, dan tingkat kesembuhan mikologi adalah sekitar 63% (Asz-Sigall, 2016).
Itraconazole aktif terhadap berbagai jamur termasuk ragi dan dermatofita. Mekanisme kerja
itraconazole sama dengan antijamur azole lainnya, yaitu menghambat mediasi sitokrom
P450 oksidase untuk sintesis ergosterol, yang diperlukan untuk dinding sel jamur (Anugrah,
2016).
Flukonazol adalah obat fungistatik spektrum luas bis-triazole dengan
bioavailabilitas oral tinggi. Flukonazol diberikan sebagai pulse therapy dalam dosis
antara 150 dan 450 mg seminggu sekali selama 6 bulan untuk kasus yang mengenai
kuku tangan dan selama 9 bulan untuk kasus yang mengenai kuku kaki.bulan. Tingkat
penyembuhan klinis lengkap berkisar antara 35 hingga 50%, dan tingkat kesembuhan
mikologi sekitar 48% (Asz-Sigall, 2016).
Posaconazole adalah triazole baru yang harus dibatasi sebagai pengobatan lini kedua
pada infeksi terbinafine-refraktori (infeksi NDM) atau pada pasien dengan intoleransi
terbinafin. Diberikan secara oral dengan dosis 100, 200 atau 400 mg sekali sehari selama 24
minggu atau 400 mg sekali sehari selama 12 minggu . Angka kesembuhan mikologi sekitar
48% (Asz-Sigall, 2016).
c. Third line
Terapi fotodinamik untuk onikomikosis setelah penggunaan larutan asam metil ester
5-aminolevulinic (ALA) dalam krim aqueous pada kuku baru-baru ini dilaporkan efektif untuk
T. rubrum. Perawatan harus didahului oleh avulsi lempeng kuku menggunakan 40% urea.
Beberapa perangkat telah dipasarkan untuk mengobati onikomikosis, termasuk garnet
aluminium neodymium-doped yttrium (Nd: YAG) dan laser dioda. Metodologi studi ini tidak
homogen, dan data tidak berdasarkan bukti. Khasiatnya masih belum ditentukan (Asz-
Sigall, 2016).
Terapi laser sejak tahun 2010 diteliti baik secara in vitro maupun in vivo. Food and
Drug Administration (FDA) telah menyetujui beberapa jenis laser untuk onikomikosis, di
antaranya: PinPointeTM FootLaserTM (PinPointe USA, Inc.), Cutera GenesisPlusTM (Cutera,
Inc.), Q-ClearTM (Light Age, Inc.), CoolTouch VARIATM (CoolTouch, Inc.), dan JOULE
ClearSenseTM (Sciton, Inc.). Laser mempunyai efek bakterisidal. Energi yang disalurkan
menyebabkan hipertermia lokal, destruksi mikroorganisme patogen, dan stimulasi proses
penyembuhan. Energi laser bekerja melalui mekanisme denaturasi molekul, baik total
maupun parsial pada organisme patogen. Energi laser menghasilkan reaksi fotobiologi atau
fotokimia yang merusak sel patogen atau melalui mekanisme yang memicu respons imun
yang menyerang organisme patogen. Mekanisme kerja laser pada onikomikosis belum
diketahui dengan pasti. Diduga berdasarkan prinsip fototermolisis selektif. Absorpsi laser
tidak sama antara infeksi jamur dan jaringan sekitarnya, menyebabkan konversi energi
tersebut menjadi energi panas atau mekanik.Hasil penelitian menunjukkan laser dapat
memberikan perbaikan sementara pada kasus onikomikosis. Laser belum dikatakan sebagai
terapi onikomikosis serta masih sedikit penelitian mengenai peran laser pada onikomikosis.
Laser yang banyak digunakan pada penelitian onikomikosis antara lain Nd:YAG, titanium
safir (Ti:Sapphire), dan laser diode. Energi laser dapat diberikan secara terpulsasi untuk
menghasilkan energi yang lebih besar dalam waktu lebih singkat. Durasi pulsasi mulai dari
milidetik (10-3 detik) sampai femtodetik (10-15 detik) telah dipelajari penggunaannya pada
kasus onikomikosis (Anugrah, 2016).

Anda mungkin juga menyukai