Anda di halaman 1dari 9

Fasciola hepatica

I. KLASIFIKASI
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Echinostomiformes
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica

II. SIKLUS HIDUP


Seekor cacing hati (Fasciola hepatica) dalam sehari dapat memproduksi rata-
rata 1.331 butir telur pada domba dan 2.628 butir telur pada sapi (Dixon, 1964).
Jumlah cacing di dalam pembuluh-pembuluh empedu tidak dapat ditentukan
hanya berdasarkan jumlah telur dalam tinja. Jumlah telur dalam tinja akan
mencapai maksimum dalam waktu 2 bulan setelah periode prepaten, kemudian
menurun lagi secara pesat (Soulsby, 1986). Telur tidak dapat berkembang di
bawah suhu 100oC, tetapi dapat berkembang dengan baik pada suhu 100-260oC
(Levine, 1977).
Perkembangan dari stadium telur sampai metacercaria hanya dapat terjadi
pada lingkungan yang tergenang air yang bertindak sebagai faktor pembatas siklus
hidup cacing di luar tubuh ternak (Noble dan Elmer, 1989). Apabila telur masuk
ke dalam air, operculum membuka dan miracidia yang bersilia dibebaskan.
Miracidia hanya dapat keluar apabila mendapat cukup cahaya. Cahaya
mengaktifkan miracidium yang kemudian mengubah permeabilitas suatu bantalan
kental yang terletak di bawah operculum. Telur yang sudah menetas menghasilkan
miracidium. Tubuh miracidium diliputi ciliae yang berfungsi sebagai alat
penggerak di air. Gerakan miracidium dipengaruhi oleh cahaya (fototaksis)
(Brown, 1979). Miracidium berenang selama beberapa jam dan kemudian
menebus tubuh siput (Lymnaea rubiginosa).
Miracidium hanya hidup dalam waktu singkat (24 jam) untuk mencari siput
sebagai induk semang antara. Apabila ditemukan siput yang sesuai, miracidium
akan melekat dan menusukkan papilla-nya. Setelah miracidium berhasil
menembus jaringan siput, ciliae dilepaskan, kemudian menempati rumah siput
tersebut. Setelah 36 jam, miracidium berbentuk gelembung dengan dinding
transparan yang disebut sporocyst. Di dalam tubuh siput, setiap miracidium
berkembang menjadi sebuah sporocyst (Noble dan Elmer, 1989). Selanjutnya
sporocyst berubah bentuk menjadi oval setelah 3 hari berada di dalam hati siput.
Sporocyst memperbanyak diri dengan pembelahan transversal, sehingga dari
satu miracidium terbentuk banyak sporocyst. Setelah 10 hari tubuh siput terinfeksi
miracidium, terlihat gumpalan sel di dalam sporocyst yang kemudian tumbuh
manjadi redia (Brown, 1979). Pada hari ke-12 redia induk mulai tampak. Pada
hari ke-23 redia anak mulai terbentuk, hari ke-25 redia anak membebaskan diri.
Setelah redia anak terbentuk kemudian berkembang sendiri-sendiri untuk
membentuk cercaria. Tubuh redia berbentuk silinder dengan otot kalung leher
(collar). Di dalam kalung redia terdapat sel ekskresi dan sel pertumbuhan.
Cercaria dihasilkan melalui pembelahan sel pertumbuhan. Satu redia induk
biasanya mengadung 3 redia anak yang sudah berkembang sempurna. Selama
musim panas, biasanya hanya terdapat satu generasi redia. Redia menghasilkan
cercaria yang akan meninggalkan siput (Noble dan Elmer, 1989). Tubuh cercaria
berbentuk bulat telur dan memiliki ekor untuk berenang. Cercaria yang keluar
dari tubuh siput membebaskan diri dan berenang kemudian mencari tumbuh-
tumbuhan air untuk melekat dan melepaskan ekornya. Cercaria dapat dilihat
dengan mata telanjang sebagai bintik-bintik putih yang bergerak-gerak dan akan
terlihat lebih jelas pada air jernih dengan alas stoples yang gelap yang disinari
cahaya terang.
Cercaria hidupnya terbatas kecuali menemukan tumbuh-tumbuhan atau
hewan yang sesuai untuk menjadi kista dan kemudian berubah menjadi
metacercaria (Brown, 1979). Setelah melekatkan diri pada tumbuhan air
contohnya batang padi dengan jarak 10 cm dari batang kemudian ekor dilepaskan.
Selanjutnya cercaria berubah menjadi kista dengan cara mensekresikan substansi
viskus untuk melapisi tubuhnya. Cercaria yang telah menjadi kista disebut
metacercaria. Proses pembentukan dinding kista disertai 7 pembentukan alat-alat
dalam tubuh, berupa alat tubuh cacing dewasa, proses ini berlangsung 2-3 hari,
setelah itu metacercaria bersifat infeksius serta tahan kering dan panas (Noble dan
Elmer, 1989).
III. DIAGNOSTIK
Pendekatan diagnostik yang paling banyak digunakan adalah deteksi langsung
telur Fasciola dengan pemeriksaan sinar-mikroskopis terhadap tinja atau aspirasi
duodenum atau empedu. Namun, produksi telur biasanya tidak mulai sampai 3-4
bulan setelah paparan, sedangkan antibodi terhadap parasit dapat terdeteksi 2-4
minggu pasca pajanan. Bahkan selama fase kronis infeksi, lebih dari satu
spesimen tinja mungkin perlu diperiksa untuk menemukan parasit, terutama pada
orang dengan infeksi ringan.
Telur Fasciola dapat sulit dibedakan atas dasar kriteria morfologi dari telur.
Perbedaan ini memiliki implikasi pengobatan. Infeksi Fasciolopsis buski diobati dengan
praziquantel, yang biasanya tidak terapi yang efektif untuk fascioliasis.
Pseudofascioliasis mengacu pada keberadaan telur Fasciola dalam tinja karena ingesti
dari hati yang terkontaminasi (mengandung telur noninfektif). Potensi misdiagnosis dapat
dihindari dengan menyarankan pasien mengikuti diet bebas-hati selama beberapa hari
sebelum mengulangi tes pemeriksaan tinja. Selain itu, uji serologi mungkin berguna
untuk memeriksa terjadinya infeksi.
Berbagai jenis tes imunodiagnostik untuk Fasciola telah dikembangkan. Terdapat uji
serologi menggunakan uji imunoblot yang mendeteksi antibodi IgG untuk FhSAP2,
antigen rekombinan berasal dari Fasciola hepatica. Hasil tes harus diinterpretasikan
dalam konteks dengan konsultasi ahli. Secara umum, uji serologi dapat berguna:
 selama fase akut infeksi, sebelum timbulnya produksi telur;
 selama fase kronis, dalam kasus-kasus dengan tingkat rendah atau
produksi sporadis telur;
 dalam kasus-kasus infeksi ektopik, di mana telur tidak ditemukan
dalam tinja.
 jenis lain dari pengujian dapat memberikan bukti yang mendukung
(seperti eosinofilia) atau konfirmasi parasitologis (misalnya, jika
cacing dilihat oleh pencitraan atau histopatologi)

Berikut ini adalah contoh tambahan jenis pengujian:


 pemeriksaan cara kerja darah rutin, termasuk hitung darah lengkap
(dengan diferensial jumlah sel darah putih) dan kimia darah;
 abdominal imaging, seperti ultrasonography, komputerisasi axial
tomography (CAT scan), magnetic resonance imaging (MRI scan), dan
endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP); dan
 pemeriksaan histopatologi dari spesimen biopsi hati atau jaringan
terkait lainnya.

IV. PENGENDALIAN & PENCEGAHAN


Pencegahan:
 Tidak memakan sayuran mentah.
 Pemberantasan penyakit fasioliasis pada hewan ternak.
 Kandang harus dijaga tetap bersih, dan kandang sebaiknya tidak dekat kolam atau
selokan.
 Siput-siput disekitar kandang dimusnakan untuk memutus siklus hidupFasciola
hepatica.
Pengobatan:
 Heksakloretan
 Heksaklorofan
 Rafoxamide
 Niklofolan
 Bromsalan yang disuntikkan di bawah kulit
Fasciola gigantica
I. KLASIFIKASI
Kingdom : Animalia
Filum : Platyhelminthes
Kelas : Trematoda
Subkelas : Digenea
Ordo : Echinostomiformes
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola gigantica

II. SIKLUS HIDUP


Cacing dewasa hidup dalam saluran empedu hospes definitif (terutama
ruminantia, kadang juga orang). Cacing bertelur dan keluar melalui saluran
empedu dan keluar melalui feses. Telur berkembang membentuk miracidium
dalam waktu 9-10 hari pada suhu optimum. Miracidium mencari hospes
intermediate siput Lymnea rubiginosa dan berkembang menjadi cercaria.
Cercaria keluar dari siput dan menempel pada tanaman air/rumput/sayuran.
Cercaria melepaskan ekornya membentuk metacercaria. Bila rumput/tanaman
yang mengandung metacercaria dimakan oleh ternak/orang, maka cacing akan
menginfeksi hospes definitif dan berkembang menjadi cacing dewasa (Arifin,
2006).
Cacing dalam saluran empedu menyebabkan peradangan sehingga
merangsang terbentuknya jaringan fibrosa pada dinding saluran empedu.
Penebalan saluran empedu menyebabkan cairan empedu mengalir tidak lancar. Di
samping itu pengaruh cacing dalam hati menyebabkan kerusakan parenkim hati
dan mengakibatkan sirosis hepatis. Hambatan cairan empedu keluar dari saluran
empedu menyebabkan ikterus. Bila penyakit bertambah parah akan menyebabkan
tidak berfungsinya hati (Mohammed, 2008).
Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing
tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya
berada pada kondisi yang basah atau lembab. Pada kondisi lingkungan yang basah
atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang
perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak (Arifin, 2006).

III. DIAGNOSTIK
Tidak ada gejala yang benar-benar khas dan mudah dikenali dari infeksi
cacing hati pada ternak atau hewan lainnya. Gejala utama terkait dengan
peradangan hati (hepatitis) dan saluran empedu (kolangitis) yang dapat juga
karena gangguan lain. Organ-organ vital lainnya biasanya tidak terpengaruh.
Infeksi dengan beberapa cacing dewasa mungkin tidak menyebabkan tanda-tanda
klinis selain kelemahan umum dan penurunan produktivitas.
Fasciolosis kronis adalah bentuk yang lebih umum pada domba, kambing dan
sapi. Ini mengembangkan bersama pembentukan bertahap dari cacing dewasa di
dalam saluran empedu. Hal ini ditandai dengan perkembangan progresif dari
gejala seperti anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah), edema
(pembengkakan lokal karena kelebihan cairan), gangguan pencernaan (diare,
sembelit dll), dan cachexia ( buang, yaitu penurunan berat badan, kelelahan,
kelemahan, kehilangan nafsu makan, dll).
Fasciolosis akut jarang pada ternak tetapi dapat terjadi pada domba. Hal ini
disebabkan oleh migrasi tiba-tiba banyak cacing dewasa melalui hati, yang
mengarah untuk melakukan kegagalan organ. Hal ini dapat berkembang pada
hewan yang sehat yang mungkin tewas dalam beberapa hari.
Deteksi telur dalam tinja menegaskan diagnosis. Namun, karena telur
dilewatkan ke usus hanya ketika kandung empedu dikosongkan, jumlah telur tinja
negatif tidak konklusif, yaitu bisa ada negatif palsu. Seperti yang sudah
disebutkan telur Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica yang sangat mirip. Hal
ini juga penting untuk membedakan telur Fasciola dari Paramphistomum telur
yang memiliki aspek yang sama.

IV. PENGENDALIAN & PENCEGAHAN


Pencegahan:
Untuk mengendalikan infeksi cacin fasciola ada tiga jalan, yaitu
mengendalikan/memberantas induk semang antara (siput), memperbaiki
manajemen dan memberikan obat antelmentik secara periodik. Untuk
mengendalikan populasi siput dapat digunakan berbagai zat kimia (molluscicida)
atau dikendalikan secara biologis dengan menggunakan predator, misalnya
dengan memelihara itik. Hindari penggunaan pupuk kandang (di sawah) dalam
keadaan basah, sebab sebagian telur cacing Fasciola mungkin masih mampu
menetas bila dalam keadaan lembab (Ngurah dan Putra, 1997).

Pengobatan:
Keberhasilan pengobatan fascioliasis tergantung kepada efektifitas obat terhadap
stadia perkembangan cacing, pada fase migrasi atau pada fase menetap di hati dan
sifat toksik dari obat harus rendah karena jaringan hati yang terlanjur mengalami
kerusakan. Yang paling baik suatu obat adalah mampu membunuh fasciola yang
sedang migrasi dan cacing dewasa, serta tidak toksik pada jaringan (Subronto dan
Tjahajati, 2004). Pemberian obat antelmentik selama dua kali dengan interval 2 -3
minggu pada akhir musim kemarau atau pada awal musim hujan cukup untuk
mengendalikan parasit ini (Ngurah dan Putra, 1997). Beberapa obat yang
digunakan untuk mengendalikan Fascioliasis pada kerbau memiliki efek dan
spesifikasi yang berbeda. Oxyclozanide sangat efektif untuk membunuh Fasciola
tahap dewasa dengan dosis 10 -15 mg/kg BB. Rafoxanide juga efektif terhadap
cacing Fasciola tahap dewasa, juvenil dan anak dengan dosis 7,5 mg/kg BB (Staf
Pengajar Parasitologi Unsyiah, 2003).

Anda mungkin juga menyukai