Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Cryptospridium
1. Kingdom : Potista
Kingdom protista adalah kingdom yang terdiri dari satu sel atau
banyak sel dan memiliki membran inti (organisme eukariot) serta bersel
tunggal.
2. Filum : Apicomplexa Golongan Koksidia
Apicomplexa adalah protista yang memiliki organel unuk yang
disebut apical complex. Apicomplexa bersifat uniseluler, membentuk
spora dan merupakan parasit. Apicomplexa tidak memiliki flagella atau
pseudopoda kecuali pada beberapa sel gamet. Pada apicomplexa terdapat
organisme seperti coccidia.
3. Kelas : Conoidasida
Conoidasida adalah kelas pada protista. Kelas ini memiliki satu
ordo yaitu eucoccidiorida.
4. Subkelas : Coccidiasina
Coccidiasina adalah parasit bersel satu, pembentuk spora dan
mikroskopik yang masuk ke dalam filum apicomplexa dan kelas
conoidasida. Parasit cocodia menginfeksi usus hewan dan merupakan
group protozoa terbesar.
5. Ordo : Eucoccidiorida
Eucoccidiorida adalah ordo parasit bersel satu, membentuk
mikroskopik yang msuk ke dalam kelas conoidasida. Protozoa dalam ordo
ini meliputu parasit terhadap manusia dan juga binatang baik binatang
peliharaan maupun binatang liar serta burung. Di antara parasit ini
terdapat toxoplasma gondi yang menyebabkan toksoplasmosis dan
isospora belli, yang menyebabkan isisporaiasis.
6. Sub ordo : Eimeriorina
Parasit ini mempunyai penyebaran yang luas di daerah endemi.
Infeksi biasanya berlangsung tanpa gejala atau usus ringan, infeksi berat
dapat menimbulkan diare.
7. Familli : Cryptosporidiidae
8. Genus : Cryptosporidium
Cryptosporidium adalah protozoa yang dapat menyebabkan
penyakit saluran pencernaan dan usus dengan diare pada manusia.
9. Spesies : Cryptosporidium Parvum
Cryptosporidium Parvum terdiri dari 2 genotip yaitu genotip 1
menyerang manusia dan telah diklasifikasikan ulang menjadi
Cryptosporidium Hominis, serta genotip 2 yang menyerang manusia,
lembu dan mamalia lainnya. Sedangkan untuk spesies lain seperti
Cryptosporidium Baileyi (pada burung), Cryptosporidium Felis (pada
kucing), Cryptosporidium Maleagridis (pada kalkun), Cryptosporidium
Muris (pada tikus, lembu), Cryptosporidium Nasorum (pada ikan),
Cryptosporidium Serpentis (pada ular), dan Cryptosporidium Wrairi
(pada babi).

Protozoa Cryptosporidium Parvum


B. Ciri Umum dan Morfologi
1. Ciri umum
Pada manusia infeksi terutama disebabkan oleh Cryptosporidium
Parvum atau Cryptosporidium Hominis.Cryptosporidium Sp mempunyai
beberapa stadium meliputi stadium ookista, skizon dan gametosit.
Cryptosporidium mempunyai ookista yang berbentuk sferis,
dengan diameter sekitar 4 – 6 mikron. Terdapat dua jenis ookista, yaitu
ookista yang berdinding tebal atau ookista yang berdindng tipis. Di dalam
tubuh hospes ookista berdinding tipis mengadakan ekskistasi
(autoinfection) dan mengadakan daur hidup baru, sedangkan ookista
berdinding tebal diekskresi melalui tinja penderita.
Ookista berdinding tebal yang matang mengandung empat
sporozoit, yang tidak terlalu terlihat dan diliputi oleh dinding tebal dua
lapis. Sporokista tidak terlihat, biasanya nampak butiran tercat gelap.
Skizon dan gametosit berukuran kecil antara 2 – 4 mikron
dihasilkan selama daur hidup dari cryptosporidium. Stadium skizon dan
stadium gametosit jarang terlihat di dalam spesimen manusia.
Partikel seperti virus double-stranded RNA (dsRNA) telah
ditemukan di Babesia, Trichomonas, Giardia, Leishmania dan Eimeria
(Hotzel et al, 1995). Dua ukuran dsRNA ekstrachromosomal ditemukan
di sitoplasma sprozoit C. Parvum dan C. Hominis tetapi tidak pada tujuh
spesies Cryptosporidium lainnya (Khramtsov et al, 1997; Khramtsov dan
Upton, 2000). Analisis urutan menunjukkan urutan dsRNA yang sangat
berbeda pada isolat (spesies) dari anak sapi dibandingkan dengan yang
dari manusia (Khramtsov et al, 2000). Urutan dsRNA kecil dari isolat dari
23 anak sapi dan 38 manusia (Xiao et al, 2000) menunjukkan isolat itu
dari wabah yang sama memiliki urutan yang identik; delapan nukleotida
yang berbeda sekuens berasal dari sapi (C. Parvum) dan sepuluh dari
manusia (C. Hominis). Jika setiap dsRNA dalam cryptosporidiosis
berhubungan dengan patogenisitas yang belum di demonstrasikan, tetapi
sebuah penelitian terbaru dengan kolega kami (M, Jenkins dan J. Higgins,
USDA, komunikasi pribadi) telah menunjukkan hubungan dengan
kesuburan. Betis yang terinfeksi ookista C. Parvum-Beltsville diproduksi
secara substansial lebih banyak ookista dari pada anak sapi yang
terinfeksi ookista C. Parvum-Lowa. Peningkatan fekunditas berkolerasi
dengan kadar virus C. Parvum (CPV) yang diukur dengan waktu nyata.
RT-PCR menggunakan primer spesifik CPV RNA. Sinyal CPV
dalam C. parvum-Beltsville sporozoit relatif terhadap C. parvum-Iowa
adalah 3-4 kali lebih besar seperti yang diukur oleh RT-PCR. Intensitas
fluoresensi yang lebih besar dari sporozoit C. parvum-Beltsville diberi
label dengan antibodi terhadap protein kapsid CPV 40 kDa mendukung
pengamatan ini. Temuan ini menunjukkan bahwa CPV memengaruhi
fekunditas, yang pada gilirannya mungkin memengaruhi keparahan
infeksi.
2. Morfologi
Oocyst : bulat hampir menyerupai oval berukuran 4- 6 micrometer.
Ketika matang, oocyst terdiri dari 4 sporozoit yang tidak selalu terlihat,
refraktil, terdiri dari 1 -8 granule yang menonjol, dan dilapisi oleh dua
dinding yang tebal. Oocyst umumnya dapat hidup lama di dalam air,
termasuk di laut, tetapi tidak dapat bertahan hidup pada pengeringan
Schizont dan gametosit : schizont dan gametozit di produksi
selama siklus hidup cryptosporidium parfum tetapi jarang terdapat pada
feses manusia.
C. Siklus Hidup dan Habitat Utama
1. Siklus hidup pada manusia
Cryptosporidium sp. pada manusia tidak hanya di usus halus, tetapi
juga di organ-organ lain seperti faring, esofagus, lambung, duodenum,
yeyunum, ileum, appendiks, kolon, rektum, kandung empedu dan saluran
pankreas. Infeksi terberat ditemukan di 3 yeyunum. Pada individu
immunokompeten, parasit biasanya terbatas di usus halus sedangkan pada
individu imunokompromis dapat ditemukan sepanjang saluran
pencernaan, selain itu juga dapat ditemukan pada sistem hepatobiliary dan
saluran pernafasan.
Cryptosporidium sp. di dalam usus, melekatkan diri di permukaan
sel epitel pada “brush border”. Perkembangan parasit terjadi di dalam
vakuola parasitoforus. Parasit ini intraseluler, tetapi ekstrasitoplasmik
pada brush border sel hospes. Pada pangkal perlekatan antara parasit dan
mikrovili ada daerah yang mengalami fusi. Daerah tersebut mempunyai
struktur sangat tipis dan berbentuk lipatan-lipatan yang disebut feder
organella yaitu tempat terjadinya aliran nutrisi dari sel hospes ke parasit
Cryptosporidium sp.
Infeksi Cryptosporidium sp. terjadi bila tertelan ookista matang yang
dikeluarkan oleh tinja hospes terinfeksi. Masa prepaten yaitu waktu antara
infeksi dan pengeluaran ookista selama 4 – 22 hari untuk manusia dan
dapat lebih dari 30 hari pada individu imunokompeten. Siklus hidup
Cryptosporidium sp. terdiri dari enam tahap perkembangan. Siklus
seksual dan aseksual berlangsung dalam satu tubuh hospes (monoxenous)
di saluran pencernaan. Siklus hidupnya dimulai dengan ekskistasi yang
terjadi di traktus gastrointestinal atas. Sporozoit keluar dari ookista dan
menempel pada sel epitel usus yang kemudian menjadi trofozoit.
Trofozoit dan stadium-stadium selanjutnya hanya terdapat pada
permukaan sel epitel, tidak masuk ke dalam sitoplasma epitel tersebut.
Trofozoit mengalami skizogoni dengan tiga kali pembelahan inti dan
terbentuk skizon generasi pertama yang mengandung delapan merozoit.
Skizon pecah dan keluar delapan merozoit yang dapat menginfeksi sel
epitel lain. Merozoit generasi pertama mengalami skizogoni lagi dengan
dua kali pembelahan inti sehingga terbentuk skizon generasi kedua yang
mengandung empat merozoit. Skizon tersebut pecah dan keluar merozoit
yang dapat menginfeksi sel epitel lain, selain itu merozoit tersebut ada
yang tumbuh menjadi makrogametosit dan mikrogametosit.
Makrogametosit mengalami perkembangan dan berubah menjadi
makrogamet. Satu makrogametosit akan berubah menjadi satu
makrogamet. Mikrogametosit mengalami pembelahan inti beberapa kali
dan berubah menjadi beberapa mikrogamet (12-16 mikrogamet). Satu
mikrogamet akan membuahi satu makrogamet sehingga terbentuk zigot.
Zigot akan berkembang menjadi ookista yang mengandung empat
sporozoit.
2. Siklus hidup khusus Cryptospiridium Parvum
Ciri-ciri utama siklus hidup C. parvum atau C. hominis adalah bahwa
siklus ini dimulai dengan menelan ookista yang sepenuhnya bersporulasi
dan tahan lingkungan. Setelah pengeluaran di usus kecil bagian atas,
sporozoit yang dilepaskan menembus lapisan lendir dan menempel pada
enterosit di sekitarnya, menyebabkan mereka membentuk vakuola
parasitoforous di sekitar parasit, yang kemudian berdiferensiasi menjadi
trofozoit. Ciri yang tidak biasa dari vakuola ini adalah bahwa ia terletak di
dalam membran plasma sel inang, tetapi di luar sitoplasma sel inang,
dipisahkan dari yang terakhir oleh yang disebut organel pengumpan dan
konsentrasi khusus elemen sitoskeletal sel inang. Pembelahan mitosis
parasit pada saat ini menghasilkan tipe I meront dan produksi 6 atau 8
merozoit. Merozoit menyerupai sporozoit. Mereka melarikan diri dari
vakuola parasitophorous dan menempel pada enterosit di sekitarnya,
membentuk siklus infeksi aseksual yang diperkuat. Atau, infeksi merozoit
dapat menyebabkan meront tipe II, dan produksi 4 merozoit. Seperti
halnya merozoit yang berasal dari meront tipe I, merozoit tipe II
melarikan diri untuk menginfeksi enterosit di sekitarnya, menghasilkan
makrogamont (betina) atau microgamont (jantan). Enam belas atau lebih
microgametes dari microgamont dilepaskan dan masing-masing dapat
membuahi macrogamont untuk membentuk zigot diploid, yang
berdiferensiasi menjadi ookista. Meiosis kemudian menghasilkan 4
sporozoit yang terbentuk. Ini merupakan siklus seksual, produk akhir
yang merupakan ookista berdinding tipis yang bersporasi penuh (-20%)
yang mengupas dalam host dan menghasilkan autoinfeksi, atau ookista
berdinding tebal (-80%) yang diekskresikan ke dalam lingkungan.
a. Ookista
Bentuk berdinding tebal berdinding penuh (berdiameter -5 μm) ini
tahan terhadap paparan lingkungan yang berkepanjangan di berbagai
sumber air, dan juga tahan terhadap banyak agen desinfektan yang
umum digunakan, termasuk encer pemutih, yang dapat digunakan saat
mengisolasi yang layak. ookista dari sampel tinja. Protein dinding
cryptosporidium oocyst (COWPs) berperan dalam resistensi
lingkungan terhadap ini dan apicomplexans lainnya. Reseptor
permukaan Oocyst juga berperan dalam memastikan bahwa tahap
parasit ini dekat dengan jaringan target inang di usus kecil.
b. Excystation
In vitro , garam empedu dan suhu 37 ° C sangat efektif dalam
menginduksi eksistasi, sedangkan enzim pankreas tidak. Apa yang
disebut spesies lambung, Cryptosporidium muris (C.
muris) dan Cryptosporidium andersoni (C. andersoni) , distimulasi
untuk unggul secara in vitro di lingkungan asam atau di hadapan asam
taurocholic, sedangkan spesies yang unggul di usus kecil bagian
atas, C. hominis dan C. parvum , hanya unggul dengan stimulus yang
terakhir . Namun, asam taurocholic sangat efektif jika ookista pra-
diasamkan. Enzim yang diturunkan dari sporozoit juga memainkan
peran kunci dalam proses eksistasi.
c. Sporozoit
Sporozoit berbentuk spindel (-4 × 0,6 μm). Seperti halnya parasit
apicomplexan lainnya, kompleks apikal sporozoit memainkan peran
penting dalam motilitas meluncur yang digunakan oleh parasit untuk
mengakses sel target, perlekatan sel target, dan pembentukan vakuola
parasitoforous. Enzim sporozoit membantu lewat melalui selimut
lendir. C. parvum sporozoit bergerak dengan gerakan meluncur yang
ditenagai oleh motor aktin-myosin parasit, meninggalkan jejak terdiri
dari komponen yang disekresikan oleh mikronem kompleks apikal,
yang juga berkontribusi pada pemilihan sel inang. Studi molekuler dan
proteomik telah mengidentifikasi beberapa protein sporozoit dengan
peran potensial dalam motilitas, dan dalam adhesi sel dan invasi sel
inang.
d. Adhesi pada sel inang dan pembentukan vakuola parasitophorous
Propulsi ke depan dari sporozoit menghasilkan pelekatan pada
permukaan apikal enterosit. Ada beberapa kandidat protein parasit
kompleks apikal (asal mikronem, rhoptry, dan granula padat) yang
mungkin berperan dalam perlekatan. Protein terkait membran
sporozoit, CP47, adalah salah satu protein yang mengikat reseptor
pada sel target seperti p57 glikoprotein yang terletak di perbatasan
sikat ileum.Setelah lampiran telah terjadi, ada gerakan umum dari
mikronem dan butiran padat dengan ekstensi rhoptry menuju situs
lampiran. Banyak penelitian ultrastruktural menunjukkan bahwa
sporozoit yang melekat dilalap oleh sel inang dan microvilli elongate
yang berdekatan. Ini menelan parasit dan pembentukan vakuola
parasitophorous melibatkan pembengkakan sel inang sebagai
aquaporin I dan SGLTI symporter natrium-glukosa direkrut ke
antarmuka host-parasit sel. Ada juga renovasi besar sitoskeleton di
daerah yang melibatkan polimerisasi aktin sel inang. Jalur pensinyalan
yang terlibat dalam proses invasi dan pembentukan vakuola
parasitofor telah dipelajari secara luas. Sementara sebelumnya
diyakini bahwa vakuola parasitophorous berasal dari sel inang,
sekarang jelas bahwa ia memiliki kontribusi parasit yang
signifikan. Selain pita padat elektron pada antarmuka sel vakuola
sitoplasma-parasitoforous, parasit plasmalemma invaginate langsung
di atas jaringan terminal, kompres, dan menjadi struktur membran
yang sangat terlipat yang sering disebut sebagai organel pengumpan.
Struktur ini diasumsikan untuk membentuk jalur utama untuk akses
parasit ke nutrisi dalam sitoplasma sel inang, sebuah asumsi yang
didukung oleh kehadiran protein pengikat kaset-ABC. Jalur langsung
ke nutrisi sel inang sangat diperlukan untuk parasit ini. Genom dari C.
parvum dan C. hominis menunjukkan pemadatan dan kedua spesies
tampaknya memiliki kemampuan biosintesis yang terbatas dan karena
itu harus bergantung pada sel inang untuk nutrisi.
e. Trofozoit (diameter 1,5-2,5 μm)
Setelah penutupan sporozoit dalam vakuola parasitofor,
dediferensiasi parasit mulai terjadi, diikuti oleh diferensiasi. Seperti
halnya sporozoit yang menempel, terdapat gangguan dan
pemanjangan microvilli sel inang yang berbatasan langsung dengan
trofozoit.
f. Tipe I meront
Mitosis dalam trofozoit mengawali pembentukan meront tipe I di
mana 8 atau 6 merozoit keluar dari tubuh residual yang terletak di
dekat persimpangan sel inang-parasit dan organel pengumpan. Seperti
halnya trofozoit, mikrovili yang bersebelahan dengan tipe I meront
rusak dan memanjang. Merozoit diproduksi oleh tunas dari tubuh
residu schizont dan memanjang. Membran vakuol parasitophorous
pecah dan merozoit tipe I lolos.
g. Tipe I merozoite
Tahap ini seperti batang (0,4 × 1,0 μm), dengan daerah apikal
runcing. Motilitas, perlekatan pada membran apikal enterosit yang
berdekatan dan pembentukan trofozoit (yaitu pembentukan siklus
aseksual) umumnya dianggap sama atau sangat mirip dengan
sporozoit. Sebagai contoh, CpSUB1, protein serine seperti sutilisin
yang diduga berperan dalam invasi, ditemukan di kutub apikal
sporozoit dan merozoit.
h. Tipe II meront
Sementara merozoit tipe I melanjutkan untuk menghasilkan lebih
banyak tipe I meronts dalam serangkaian siklus aseksual, beberapa
merozoit tipe I menghasilkan meront tipe II. Tahap ini memiliki
ukuran mulai dari 3-5 μm. Perbedaan utama antara ini dan tipe I
meront adalah bahwa hanya 4 merozoit yang berkembang pada tahap
ini. Seperti semua tahap intraseluler Cyptosporidium , ada organel
pengumpan yang berkembang dengan baik.
i. Tipe II merozoite
Merozoit yang dilepaskan dari tipe II meronts kurang seragam
dalam bentuk, sedikit lebih besar dan kurang aktif daripada yang
dirilis dari tipe I meronts.
j. Microgamont dan macrogamont
Sementara beberapa merozoit tipe II memasuki enterocyte dan
menghasilkan makrogamont, struktur bulat sampai oval berdiameter 4
hingga 6 μm dengan inti sentral yang besar, yang lain menghasilkan
microgamont. Nukleus inti dari tubuh residu microgamont untuk
membentuk 16 microgamet non-flagellated terpisah seperti batang
(1,4 × 0,5 μm). Tahap bebas flagel ini keluar dari microgamont dan
membuahi makrogamont yang berdekatan, menghasilkan satu-satunya
tahap diploid dalam siklus hidup, zigot.
k. Zigot
Zigot berkembang menjadi ookista, kemudian mengalami
sporogami, semuanya masih melekat pada membran apikal
enterosit. Saat ookista berdiferensiasi, ia menjadi ookista berdinding
tipis, atau ookista berdinding tebal. Mereka yang berkembang menjadi
ookista berdinding tebal mengandung tipe I dan tipe II badan
pembentuk dinding. Setelah mereka berdiferensiasi, ookista terlepas
ke dalam lumen untuk menginfeksi inang dalam kasus ookista
berdinding tipis, atau diekskresikan ke lingkungan dalam kotoran
dalam kasus ookista berdinding tebal.
D. Penyakit yang Disebabkan
Crytosporidiosis adalah suatu infeksi usus halus yang disebabkan oleh
protoozoa intraselular yaitu Cryptosporidium sp. Cryptosporidium sp.
pertama kali diketahui di dalam lambung dan usus halus tikus oleh Tyzzer
(1907). Sejak itu Cryptosporidium sp. telah diidentifikasi pada lebih dari 170
spesies binatang, termasuk ayam, kalkun, babi, kuda, domba, anjung, tikus
liar, burung, ikan dan reptil. Dua laporan pertama mengenai infeksi yang
terjadi pada manusia yaitu pada tahun 1976, yang menyerang anak berusia 3
tahun dengan keadaan imunokompeten (imunokompetent) dan yang mengenai
orang dewasa dengan imunokompromis (immunocompromised). Dari tahun
1976-1982, dilaporkan peningkatan kejadian infeksi secara drastis setelah
diketahui Cryptoporidiosis adalah suatu infeksi oportunistik yang dapat
terjadi pada penderita AIDS.
Kriptosporidiosis pada penderita HIV/AIDS merupakan infeksi sekunder.
Selain pada penderita HIV/AIDS, infeksi Cryptosporidium sp. pada penderita
TBC/TB di Indonesia juga sudah dilaporkan.
Infeksi Cryptosporidium sp. ini dapat menyebabkan diare akut sampai
diare kronis. Pada individu imunokompeten, diare dapat sembuh sendiri
sedangkan pada individu imonokompromis, diare dapat berlanjut menjadi
kronis dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Di Indonesia, kasus
kriptosporidiosis belum banyak dilaporkan dan belum menjadi perhatian
publik meskipun kasus infeksi Immunodeficiency Virus (HIV) semakin
banyak ditemukan.
Selain menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan, Cryptosporidium
sp. juada menginfeksi sel epitel pernafasan, saluran empedu, pankreas dan
sendi.
E. Epidemiologi
Kriptosporidiosis pada manusia mempunyai distribusi yang luas di seluruh
dunia. Infeksi Cryptosporidium sp. ini dapat terjadi pada semua tingkatan
usia, mulai dari bayi berusia 3 hari sampai pada individu yang berumur 95
tahun, tergantung pada status imun penderita. Kriptosporidiosis rentan terjadi
pada anak-anak berusia 1-5 tahun, wanita hamil dan individu
imunokompromis. Pada penelitian dilaporkan bahwa laki-laki cenderung
lebih banyak terinfeksi daripada perempuan.
Tahun 1997 di Amerika Serikat dilaporkan kasus Kriptosporidiosis pada
penderita AIDS dengan diare sebanyaj 10-20%. Pada penderita HIV positif,
di Eropa dan Los Angeles ditemukan sebanyak 6,6% dan 3,8% kasus
Kriptosporidiosis. Lebih dari 50% infeksi Cryptosporidium sp. pada penderita
AIDS dilaporkan di Afrika dan Haiti.
Prevalensi Kriptosporidiosis di Brazil selama 10 tahun (1990-2000)
ditemukan 1,1%-17,4%. Infeksi Cryptosporidium sp. pada tahun 1997 di
Bolivia mencapai 32%. Sebanyak 63% anak positif Cryptosporidium sp. di
Perusia pada tahun 1997, infeksi tersebut tanpa gejala. Kasus
Kriptosporidiosis positif ditemukan sebanyak 6 dari 522 (1,1%) pada laki-laki
dan 3 dari 420 (0,7%) pada perempuan non HIV di Korea pada tahun 2005.
Cryptosporidium sp. di Indonesia sudah mulai dilaporkan pada tahun
1989, yaitu ditemukannya 4 dari 413 anak positif ookista Cryptosporidium sp.
dengan gejala diare. Sebanyak 1,3% (11 dari 838) anak dengan diare dan
0,65% (4 dari 617) penderita dewasa yang dirawat di beberapa rumah sakit di
Jakarta positif dengan Cryptosporidium sp. pada tahun 1990. Prevalensi
Cryptosporidium sp. di Surabaya pada tahun 1992-1993 sebanyak 2,8% pada
anak dengan diare dan 1,4% pada anak tanpa diare. Tahun 2007 Kurniawan
A, dkk melaporkan sebanyak 34% tinja anak batita (bawah tiga tahun) di
Jakarta positif dengan Cryptosporidium sp.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi Kriptosporidiosis meliputi
indeks epidemiologi (umur populasi, jenis kelamun, status imunologi
individu, distribusi geografis dan kelompok etnis), aktivitas manusia (perilaku
makan dan higiene sanitasi, kontaminasi limbah manusia, pencemaran oleh
ternak, sistem pengolahan air, prosedur dan cara penyiapan makanan,
imigrasi dan perjalanan, dan kondisi desa/kota), lingkungan dan faktor yang
dipengaruhi oleh sosial (geografis, bencana, variasi iklim, polusi, penebangan
hutan, curah hujan, polusi oleh hewan liar, kelaparan, malnutrisi dan
dehidrasi).
F. Patomekanisme
Informasi terbanyak mengenai patogenesis Kriptosporidiosis berasal dari
pemeriksaan histologi dan biopsi usus halus yanh berasal dari individu
memounyai imunodefisiensi (biasanya pada penderita AIDS). Fase
perkembangan dideteksi di dalam faring, esofagus, lambung, duodenum,
jejenum merupakan bagian yang terparah.
Pada penderita dengan imunokompromis, Kriptosporidiosis juga dapat
menyebabkan gangguan pada hati dan saluran empedu, saluran pernafasan,
artritis (radang sendi) dan pankrearitis (radang pankreas).
1. Pada saluran empedu
Walaupun gambaran klinis dan radiologi dari Billiary
Cryptosporidiosis dapat diketahui, namun patogenesisnya belum
sepenuhnya dimengerti. Gambaran histopatologi yang diperoleh dari
biopsi ampulla vateri menunjukkan infiltrasi submukosa, inflamasi
periductus dengan oedema interstisial, inflamasi neutrofil dan hiperplasia
atau dilatasi kelenjar periductus.
2. Imunologi
Imunokompeten adalah faktor terpenting dalam keparahan dan
lamanya Cryptosporidiosis pada manusia. Durasi Cryptosporidiosis
sebagai self-limiting disease biasanya berkisar antara 7-14 hari. Namun
dapat menjadi kronik pada individu dengan imunosuppresive dan
imunocompromised. Kemungkinan respon humoral dan cell-mediated
immunity (CMI) terlibat dalam respon terhadap Cryptosporidiosis,
walaupun keterlibatan CMI lebih penting. Imun respon yang terpenting
terhadap parasit ini tergantung pada sel T limfosit CD4. Keparahan dan
kelangsungan penyakit ini pada penderita AIDS berhungan erat dengan
jumlah CD4 ≤ 180 sel/mm3. Pada satu studi, hanya 5 (13%) dari 39
penderita yang terinfeksi dengan Cryptosporidium Parvum dengan jumlah
CD4 ≤ 180 sel/mm3 yang sembuh dengan sendirinya. 8 orang penderita
dengan CD4 ≤ 180 sel/mm3, infeksinya menghilang dan tidak kambuh
selama periode follow-up 1-24 bulan.
G. Manifestasi Klinis
1. Masa inkubasi berkisar 2-14 hari.
2. Infeksi dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik. Keparahan
penyakit bervariasi berdasarkan pada hitung jumlah sel CD4, dimana
manifestasi yang terberat terjadi pada penderita dengan hitung jumlah sel
CD4 yang rendah.
3. Selain di intestinal, Cryptosporidiosis juga dapat terjadi di ekstraintestinal
yaitu di saluran empedu, pankreas saluran pernafasan dan sendi.
a. Pada saluran cerna
Diare yang encer adalah keluhan utama penderita
Cryptosporidiosis. Bisa berlendir, tetapi tanpa darah dan leukosit
jarang terlihat. Gejala lainnya berupa nyeri epigastrium, nausea,
vomitus dan penurunan berat badan. Demam yang tidak terlalu tinggi
(38ºC) dilaporkan pada penderita dengan imunocompetent tetapi
jarang dilaporkan pada penderita AIDS. Pada penderita
imunocompetent, lamanya diare berkisar antara 2-26 hari. Pengeluaran
ookista masih dapat berlangsung sampai 8-50 hari (rata-rata 12-14
hari) setelah ada perbaikan gejala klinis. Tiga gambaran klinik mayor
pada penderita imunocompetent yaitu asimptomatik, diare akut dan
diare yang persisten yang dapat berlangsung hinggal beberapa
minggu.
Diare dapat terjadi lebih berat dan lebih lama lagi pada penderita
dengan imunocompromised atau dengan imunosuppresive. Sebuah
studi cohort mengenai penderita AIDS dengan Cryptosporidiosis
menunjukkan 4 pola gejala klinis pada saluran cerna, yaitu infeksi
asimptomatik, dimana penderita tidak mengalami perubahan dalam
kebiasaan buang air besar; infeksi transien (lamanya diare kurang dari
2 bulan, dengan remisi sempurna dan hilangnya parasit dari feses);
diare kronik (diare lebih dari 2 bulan dengan tetap dijumpainya parasit
pada feses); dan diare yang fulminan (volume diare 2 liter atau lebih
perhari). Bahkan pernah dilaporkan diare dengan volume lebih dari 20
liter perhari. Pada banyak penderita, diare diiringi dengan nyeri
abdominal yang berat, malabsorbsi, anoreksia dan kehilangan berat
badan yang besar. Gambaran klinis ini tidak dapat sembuh dengan
sendirinya sehingga penderita AIDS dengan Cryptosporidiosis ini
memiliki angka harapan hidup yang lebih rendah dibandingkan
dengan panderita AIDS tanpa Cryptosporidiosis.
b. Pada saluran empedu
Billiary Cryptosporidiosis adalah manifestasi yang paling sering
dari Cryptosporidiosis ekstraintestinal yang terjadi pada penderita
AIDS. Infeksi Cryptosporidium sp. yang dijumpai pada usus halus
dan saluran empedu dinamakan dengan ”AIDS-Associated
Cholangiopathy”. Cryptosporidiosis pada saluran empedu biasanya
terdapat pada penderita dengan jumlah CD4 kurang dari 50 sel/mm3
dan berhubungan dengan meningkatnya angka kematian. Tanda dan
gejala Billiary Cryptosporidiosis dapat berupa acalculous
cholecystitis, sclerosing cholangitis dan hepatitis yang menimbulkan
keluhan nyeri perut kanan atas, mual, muntah dan demam. Jaundice
jarang terjadi yaitu kurang dari 5% penderita. Pada pemeriksaan
laboratorium dijumpai level alkalin phosphatase (ALP) yang biasanya
meningkat, demikian juga dengan level scrum bilirubin dan level
transaminase.
c. Pada saluran pernafasan
Gejalanya dapat berupa sesak nafas, batuk dan serak. Pulmonary
Cryptosporidiosis ini dapat atau tidak dapat disertai dengan diare. F.
Palmieri et al melaporkan sebuah kasus pada seorang penderita AIDS
dengan Pulmonary Cryptosporidiosis tanpa adanya gejala-gejala yang
melibatkan saluran pencernaan. Bahkan pada pemeriksaan feses tidak
dijumpai adanya ookista.
d. Pada sendi
Andreas Sing et al melaporkan sebuah kasus pada seorang anak
laki-laki yang imunocompetent berumur 8 tahun, dengan gejala-gejala
Intestinal Cryptosporidiosis selama 13 bulan. Investasi protozoa
diiringi dengan gejala artritis yang melibatkan beberapa persendian di
waktu-waktu yang berbeda (migratory artritis). Gejala-gejala
menghilang secara spontan setelah 20 bulan bersamaan dengan hasil
pemeriksaan feses yang negatif terhadap Cryptosporidium.
H. Transmisi
Cara penularan melalui rute orofekal, yaitu penularan dari orang ke orang,
dari hewan ke orang, melalui air dan penularan melalui makanan. Parasit
menginfeksi sel epitel saluran pencernaan dan parasit memperbanyak diri
mula-mula dengan cara Schizony, diikuti dengan siklus aseksual dengan
membentuk oocyst dan dapat ditemukan pada tinja. Oocyst dapat hidup di
lingkungan yang jelek dalam waktu yang lama. Oocyst sangat resisten
terhadap desinfektan kimia yang digunakan untuk menjernihkan dan
disinfeksi air minum.
Masa penularannya yaitu, oocyst pada stadium infeksius yang keluar
melalui tinja langsung dapat menular kepada orang lain. Oocyst terus-
menerus masih dikeluarkan melalui tinja selama beberapa minggu sesudah
tidak ada gejala klinis diluar tubuh manusia, oocyst dapat tetap infektif
selama 2-6 bulan pada lingkungan yang lembab.
Orang dengan sistem kekebalan tubuh yang baik mungkin tidak
menunjukkan gejala, atau infeksi ini akan sembuh dengan sendirinya; tidak
diketahui dengan jelas apakah dapat terjadi reinfeksi atau infeksi laten dengan
reaktivasi. Orang dengan gangguan imunitas dapat segera pulih kembali pada
saat penyebab imunopresi (seperti malnutrisi atau infeksi oleh virus yang
berulang terjadi seperti campak) telah disembuhkan. Pada penderita AIDS
dengan gambaran klinis yang bervariasi dan dapat terjadi masa tanpa gejala;
infeksi Cryptosporidium Parvum biasanya bertahan seumur hidup; kira-kira
2% dari penderita AIDS yang dilaporkan , mengalami infeksi dengan
Kriptosporidiosis pada saat di diagnosis AIDS; pengalaman dari rumah sakit
yang merawat penderita AIDS menunjukkan bahwa 10-20% dari penderita
AIDS mendspatkan infeksi Kriptosporidiosis beberapa saat setelah menderita
AIDS.
Salah satu contoh penularan yaitu melaui air.
Dalam 10 tahun terakhir, pentingnya penularan cryptosporidiosis yang
ditularkan melalui air telah diterima di seluruh dunia. Lima wabah
cryptosporidiosis ditularkan melalui air telah didokumentasikan ", dan dalam
satu diperkirakan13.000 orang terpengaruh, menunjukkan sejumlah besar
konsumen yang berisiko tertular penyakit dari air minum yang
terkontaminasi. Dalam dua wabah, kontaminasi pasca perawatan diasumsikan
menjadi penyebabnya, tetapi dua wabah telah terjadi ketika pekerjaan
pengolahan air menghasilkan air akhir yang memenuhi standar kualitas air
yang diterima untuk negara itu ". Dalam dua wabah yang terdokumentasi,
penularan antropozoonosis dari lumpur atau penyebaran kotoran telah
disarankan untuk sementara. Ookista dapat memperoleh akses ke sistem air
minum dengan berbagai rute, dan wabah yang ditularkan melalui air telah
menunjukkan bahwa mereka dapat menyebabkan infeksi setelah konsumsi air
yang mengandung klor, yang mengindikasikan bahwa mereka dapat melewati
sistem filtrasi yang saat ini digunakan dan tidak sensitif terhadap peraturan
standar dan klorinasi yang digunakan dalam industri air. Diperlukan hingga
16.000 mg / l klor bebas untuk mengurangi ekskresi in vitro ookista yang
diturunkan manusia menjadi nol ", Bahwa ookista dapat dideteksi dalam air
terklorinasi dalam jumlah bakteri seperti Escherichia coli, yang sering
digunakan sebagai indikator organisme pencemaran tinja oleh manusia.
industri air, sangat penting, dan menunjuk pada fakta bahwa organisme
indikator bakteri konvensional tidak akan banyak berguna bagi industri air
sebagai indikator kontaminasi parasit protozoa. Walaupun bakteri ini
diekskresikan dalam jumlah besar oleh mamalia yang terinfeksi, pengenceran
dan penumpukannya di badan air, dan penghapusan yang tidak lengkap oleh
proses pengolahan air menunjukkan bahwa ookista biasanya terjadi dalam
jumlah rendah di air minum ". Metode yang digunakan untuk mengisolasi dan
mengidentifikasi mereka itu membosankan dan memakan waktu! ", Dan itu
meremehkan angka ookista, memiliki efisiensi pemulihan antara 9 dan 66%
1l. Hingga 500 liter disaring melalui filter cartridge dengan pori nominal al /
tm ukuran, retentat dielusi dan dikonsentrasikan ke tingkat minimum yang
dianalisis secara mikroskopis. Karena adanya ukuran serupa yang
mengganggu debris, identifikasi mikroskopis dari ookista dalam sampel air
oleh bidang terang atau mikroskop Nomarski sulit dan fluorescein berlabel
monoklonalibodi (Mab), yang dengan demikianmemak membantu
identifikasi ookista sementara menentukan morfometri kista, telah
dikembangkan 12 • 13 • Kemungkinan mendeteksi ookista menggunakan
fluoresens yang tinggi jika menggunakan medan terang atau mikroskop
Nomarski. Selain itu, burung dan ikan yang diekskresikan, yang mungkin
tidak menulari manusia, juga terdeteksi.
I. Pengobatan
1. Farmakologi (Pengobatan dengan Obat)
Cryptosporidium Parvum adalah penyebab penting penyakit diare
pada anak-anak dan orang dewasa di seluruh dunia. Meskipun banyak
obat antimikroba digunakan untuk mengobati infeksi C. parvum, tidak
ada yang terbukti efektif dalam mengobati penyakit ini. Nitazoxanide,
turunan nitrothiazolyl-salicylamide telah menunjukkan aktivitas terhadap
C. parvum dalam kultur sel dan pada model hewan. Pada manusia, kursus
3 hari nitazoxanide efektif dalam mengobati infeksi protozoa enterik yang
disebabkan oleh Giardia intestinalis, Entamoeba histolytica dan E. dispar,
Blastocystis hominis, Balantidium coli, Isospora belli dan Cyclospora
cayetanensis. Ini juga efektif dalam mengobati diare yang disebabkan
oleh C. parvum pada pasien dengan AIDS; aktivitasnya bervariasi,
tergantung pada tingkat imunosupresi dan lamanya pengobatan .
Pada umumnya diare diobati dengan pemberian cairan dan elektrolit
untuk mencegah ataupun mengatasi dehidrasi. Obat antimikroba yang
sering digunakan adalah paromomycin, azithromycn, nitazoxanide, dan
hyperimmune bovine colostrum.
2. Non Farmakologi (Pengobatan tanpa Obat)
PAI untuk cryptosporidiosis adalah strategi perawatan yang telah
dilakukan secara aktif dalam studi laboratorium dan studi klinis tahap
awal selama dekade terakhir. Beberapa pendekatan eksperimental telah
dimulai, termasuk penggunaan kolostrum sapi dan antibodi kolostral,
antibodi monoklonal, antibodi kuning telur ayam, dan bahkan antibodi
plasma manusia yang diberikan secara oral. Sebagian besar penelitian
telah menggunakan pemberian oral untuk mengobati atau mencegah
infeksi usus ini.
Ada sejumlah besar penelitian yang bertujuan untuk
mengembangkan terapi yang memuaskan untuk cryptosporidiosis,
terutama pada pasien dengan AIDS. Meskipun beberapa agen telah
ditemukan memiliki beberapa aktivitas (terutama makrolida seperti
spiramisin dan klaritromisin, paromomisin aminoglikosida, dan ionofor
seperti Lasalocid dan maduramycin), hasilnya telah dicampur. Sebagian
karena kegagalan pendekatan terapeutik lainnya, ada beberapa upaya
imunoterapi berbasis antibodi pasif untuk infeksi cryptosporidial. Ini juga
memiliki keberhasilan yang terbatas. Satu intervensi terapeutik yang
memiliki efek dramatis pada cryptosporidiosis pada pasien AIDS adalah
terapi antiretroviral yang mengarah pada pemulihan jumlah CD4. Dalam
satu penelitian dari dua pasien dengan cryptosporidiosis, keduanya bebas
dari parasit dalam waktu 24 minggu setelah memulai terapi antiretroviral.
Temuan ini dikonfirmasi dalam penelitian lain yang lebih besar, di mana
semua pasien yang memakai obat antiretroviral menunjukkan pemulihan
klinis. Dua pasien kemudian kambuh setelah terapi, kemudian dihentikan.
Para penulis mencatat bahwa resolusi jumlah CD4 yang dilaporkan terkait
dengan peningkatan jumlah CD4 daripada pada viral load. Selain itu,
setidaknya satu klinik telah mencatat penurunan masalah yang terkait
dengan cryptosporidiosis pada pasien AIDS mereka karena penggunaan
lebih luas dari penggunaan inhibitor protease; dan pemberantasan infeksi
pada orang yang menggunakan terapi antiretroviral yang sangat aktif juga
telah diamati. Temuan-temuan ini memberikan dukungan lebih lanjut
pada pengamatan bahwa imunitas selulerlah yang paling penting dalam
membersihkan infeksi Cryptosporidium.
J. Pencegahan
Tidak ada vaksin yang efektif dan obat-obatan profilaksis untuk
kriptosporidiosis, sehingga pencegahan merupakan langkah yang tepat, yaitu
dengan mencegah kontak air minum atau makanan terhadap feses manusia
atau hewan. Oosista Cryptosporidium umumnya dapat hidup lama di air
termasuk di laut, pada lingkungan yang dingin, lembab dan jelek tetapi tidak
dapat bertahan pada pengeringan. Oosista sangat resisten terhadap
desinfektan kimia yang digunakan untuk menjernihkan dan desinfeksi air
minum. Khlor atau monokloramin konsentrasi 80 mg/l diperlukan untuk
inaktivasi 90% dengan waktu kontak 90 menit. Parasit ini tidak mengalami
inaktivasi secara sempurna dengan larutan 3% sodium hipoklorit, dan
oosistanya dapat bertahan 3-4 bulan dalam larutan 2,5% potassium bikromat
menurut Said, bahkan hingga 12 bulan dalam kalium dikromat menurut W.L.
Current. Oosista rentan terhadap amoniak (5% selama 120 menit atau 50%
selama 30 menit), formol saline (formalin dalam larutan garam) 10% selama
120 menit, hidrogen peroksida 3% selama 30 menit, khlorin dioksida (0,4
mg/liter selama 15 menit) dan pemutih komersial dalam larutan 50%.
Pembekuan dan pemaparan suhu dibawah titik beku atau >65°C selama 30
menit, pengeringan (pemaparan terhadap udara kering) selama 4 jam juga
dapat membunuhnya.
Pentingnya menjaga sanitasi lingkungan dan ternak, higiene perseorangan,
pengelolaan air minum dan makanan untuk mencegah penularan
kriptosporidiosis.
Cara paling efektif untuk mencegah penyebaran C. Parvum adalah
menghindari kontak dengan kotoran yang terkontaminasi. Menghindari
kontak ini, terutama dengan anak kecil, adalah penting, karena mereka lebih
cenderung melakukan kontak oral dan parasit diindahkan ke dalam tubuh.
Kebersihan adalah cara paling efektif untuk memerangi parasit yang sulit
dicegah ini. tidak ada vaksin yang efektif dan obat-obatan profilaksis untuk
kriptosporidiosis, sehingga pencegahan merupakan langkah yang tepat, yaitu
dengan mencegah kontak air minum atau makanan terhadap feses manusia
atau hewan. Oosista Cryptosporidium umumnya dapat hidup lama di air
termasuk di laut, pada lingkungan yang dingin, lembab dan jelek tetapi tidak
dapat bertahan pada pengeringan. Oosista sangat resisten terhadap
desinfektan kimia yang digunakan untuk menjernihkan dan desinfeksi air
minum.
Parasit cryptosporidium merupakan salah satu protozoa yang termasuk
dalam waterbone dissease. Oleh karena itu dari aspek kesehatan masyarakat
diperlukan kesadaran masyarakat untuk menjaga kesehatan individu
(kemenkes 2009).
Berdasarkan WSP (2008) strategi untuk menghindari infeksi dari protozoa
ini adalah sebagai berikut :
1. Cuci tangan dengan baik menggunakan sabun selama 10 detik setelah
menggunakan kakus, menangani binatang atau fesesnya, menggantikan
lampin, bekerja di kebun dan jalan sebelum menyiapkan makanan atau
minuman.
2. Untuk air yang dikonsumsi, maka dilakukan pelarangan untuk air yang
belum diolah. Memasak air akan membunuh cryptosporidium.
3. Ketika berenang perlu diketahui unutk tidak menelan air. Sewaktu hujan
lebat disarankan untuk tidak berenang di perairan alam.
4. Ketika melakukan perjalanan di negara berkembang, hindari makanan atau
minuman yang mungkin tercemar.
5. Untuk mencegah penularan kriptosporidiosis, penderita harus tidak
berenang sekurang-kurangnya 2 minggu setelah diare berhenti.

Upaya pencegahan dari orang ke orang atau dari binatang ke manusia


ditekankan pada upaya kebersihan perorangan dan pembuangan tinja yang
saniter (Chin,2000).
K. Komplikasi
Selain di intestinal, C. Parvum juga dapat menyebabkan gangguan di
saluran empedu, pankreas, saluran pernapasan, dan sendi. ( kemenkes, 2009).
Untuk infeksi saluran pernapasan ditemukan pada pasien dengan
immunicompromise. Fase perkembangan parasit dapat dideteksi dalam faring,
laring, esofagus, duodenum, jejunum, illeniu, apendiks, kolon, and rektum
pada manusia.pada pemeriksaan postmortem diketahui bahwa jejunum
merupakan bagian yang terparah (kemenkes, 2009).
Komplikasi yang dapat terjadi akibat kriptosporidiosis adalah:
a. Berat badan turun secara signifikan.
b. Dehidrasi berat.
c. Malnutrisi akibat buruknya penyerapan nutrisi oleh usus.
d. Radang pada saluran empedu, hati, atau pankreas.

L. Prognosis
Dengan penggantian cairan yang adekuat, perawatan yang mendukung,
dan terapi anti mikrobial jika diindikasikan, prognosis diare infeksius
hasilnya sangat baik dengan morbiditas dan mortalitas.

Anda mungkin juga menyukai