Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI INTERNA HEWAN KECIL


yang dilaksanakan di
KLINIK HEWAN DAN RUMAH SAKIT HEWAN PENDIDIKAN FKH UB

Gangguan Sistem Respirasi


“First Report of a Fatal Autochthonous Canine Angiostrongylus vasorum Infection in
Belgium”

Oleh
R.Rr.DIAH NIBRAS I.M.P., S.KH
NIM. 170130100111016

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anjing merupakan salah satu hewan yang sering dijadikan peliharaan bagi manusia.
Anjing dinilai memiliki kecerdasan dan kesetiaan. Anjing banyak digunakan untuk
membantu tugas manusia seperti menjaga rumah karena memiliki kelebihan pada indera
penglihatan, penciuman dan pendengaran. Anjing dapat menjadi teman bermain dan menjadi
sahabat bagi manusia karena sifat setianya. Kesehatan anjing adalah hal penting yang harus
diperhatikan agar kondisinya selalu sehat. Penyakit infeksius pada anjing dapat disebabkan
oleh bakteri, virus, protozoa, fungi, dan riketsia yang menyerang tubuh hewan rentan dan
menyebabkan penyakit. Penyakit tersebut dapat ditularkan dari satu hewan ke hewan lain
melalui kontak dengan urin, feses, dan sekresi tubuh, inhalasi droplet, kontak dengan spora
yang masuk melalui traktus respirasi atau melalui pori-pori kulit.
Hewan kesayangan hampir sama dengan manusia, dapat mengalami gangguan atau
penyakit yang menyerang saluran pernafasan. Gejala klinis yang muncul mirip dengan
manusia yaitu batuk atau bersin. Penyakit-penyakit sistem respirasi sering sekali dijumpai
pada hewan kecil. Kelainan pada sistem respirasi juga dapat disebabkan oleh proses
patologik pada atau di luar sistem respirasi, yang tidak selalu mudah untuk dibedakan. Kerja
sistem respirasi sepenuhnya berada di bawah kontrol sistem syaraf, dan oleh sebab itu lesi
pada Susunan Syaraf Pusat dapat berpengaruh pada sistem respirasi. Kerja sistem respirasi
juga terintegrasi dengan fungsi metabolik yang lain. Karena itu dapat terjadi perubahan yang
nyata pada respirasi meskipun tidak ada kelainan pada sistem respirasi. Salah satu contohnya
adalah infeksi parasit cacing. Salah satu contohnya adalah Angiostrongylus vasorum yang
memunculkan gejala klinis hewan yang aktif seringkali mengalami tachycardia, tachypnoea,
dengan batuk yang berat, sputum terkadang disertai darah.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa


permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana gejala infeksi Angiostrongylus vasorum pada anjing?
2. Bagaimana cara mendiagnosa infeksi Angiostrongylus vasorum pada anjing?
3. Bagaimana pengobatan yang diberikan untuk infeksi Angiostrongylus vasorum pada
anjing?
1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui gejala klinis infeksi Angiostrongylus vasorum pada anjing
2. Untuk mengetahui cara diagnosa infeksi Angiostrongylus vasorum pada anjing
3. Untuk mengetahui pengobatan infeksi Angiostrongylus vasorum pada anjing
1.4 Manfaat
Memberikan pengetahuan dan informasi kepada mahasiswa PPDH mengenai cara
pemeriksaan, penetapan diagnosa dan pengobatan kasus infeksi Angiostrongylus vasorum
pada anjing.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Angiostrongilosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Angiostrongylus vasorum


yang bersinonim dengan Haemostrongylus vasorum, dengan nama umum French heartworm
(Taylor et al., 2007).
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
Superfamili : Metastrongyloidea
Genus : Angiostrongylus
Spesies : Angiostrongylus vasorum
Angiostrongylus vasorum berbentuk ramping dengan panjang tubuh mencapai 2,5 cm.
Pejantannya berukuran sekitar 14-18 mm dengan bursa kecil dan ray yang tak bisa dibedakan
antara satu dengan yang lain. Ventral ray-nya bersatu pada hampir keseluruhan panjang dan
dorsal ray-nya kokoh dengan cabang akhir yang juga kokoh. Betinanya berukuran 18-25 mm
dan ovariumnya yang putih menggulung disekitar ususnya yang merah (memiliki penampakan
"barber pole") dengan vulva terletak pada bagian posterior pertengahan tubuh (Taylor et al.,
2007). Angiostrongylus vasorum menjalani siklus hidup tidak langsung dan bersifat ovo-
vivipar. Telurnya dikeluarkan oleh betinanya dan ditempatkan di bagian kanan jantung, lalu
mencapai kapiler pulmoner dimana telur-telur tersebut menetas menjadi larva stadium pertama
(L1). Larva-larva ini dengan bantuan refleks batuk hewan, mencapai faring, kemudian ditelan
dan dieliminasi dari tubuh melalui feses. Larva L1 yang bebas di tanah kemudian termakan
oleh inang antara dan mencapai stadium L3. Anjing menelan inang antara yang membawa larva
L3, yang kemudian bermutasi menjadi L4 dan L5.
Efek patogenik yang muncul lebih banyak diakibatkan oleh keberadaan cacing dewasa
pada pembuluh darah besar serta telur dan larva pada arteriola serta kapiler pulmonum dan
berakibat pada terjadinya hambatan sirkulatoris, yang mungkin dapat mengakibatkan kegagalan
jantung kongestif (Taylor et al., 2007). Keberadaan cacing dalam jumlah besar, akan
mengakibatkan hewan yang aktif seringkali mengalami tachycardia, tachypnoea, dengan batuk
yang berat, sputum terkadang disertai darah. Pembengkakan tanpa disertai nyeri yang terbentuk
secara perlahan dapat dijumpai pada daerah tertentu, seperti abdomen bagian bawah dan ruang
intermandibular, serta pada kaki dimana memar dapat terjadi.
Infeksi kronis mungkin dapat disertai dengan penurunan nafsu makan, anemia, dan
ascites bahkan kematian. Infeksi akut yang langka, secara normal dijumpai pada hewan yang
muda, menunjukkan adanya dyspnoea serta batuk parah yang disertai dengan sputum yang
putih kekuningan yang terkadang disertai darah (Taylor et al., 2007). Permukaan irisan paru-
paru terlihat burik dan ungu kemerahan. Adanya gangguan pada mekanisme pembekuan darah,
sehingga hematoma subkutan dapat terjadi. Pada pembuluh darah besar, dapat dijumpai
endarteritis dan periarteritis yang berlanjut pada proses fibrosis, serta saat dipalpasi dapat
dirasakan seperti ada batang pipa. Perubahan vaskuler mungkin dapat menyebar ke ventrikel
kanan, dengan adanya endokarditis yang melibatkan katup trikuspidalis. (Taylor et al., 2007).
BAB III

CASE REPORT

3.1 Sinyalemen
Jenis Hewan : Anjing
Ras : Border collie
Jenis Kelamin : Jantan
Umur : 4,5 bulan
3.2 Anamnesa
Anjing Border Collie jantan berusia 4,5 bulan tinggal di kota Liege Belgia datang
pada bulan November 2013 ke praktek dokter hewan karena adanya apathy dan pertumbuhan
tubuh yang buruk (berat badan 14 kg, body score 2/5).
3.3 Pemeriksaan Fisik dan Gejala Klinis
Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan anjing batuk dengan adanya suara berisik pada
pernafasan yang mengarah pada bronkitis. Suhu tubuh dalam batas normal. Setelah adanya
kemajuan singkat, anjing diperiksa ulang karena mengalami hilangnya nafsu makan dan
kelemahan. Tidak ada gejala lain yang mengarah kepada gangguan pencernaan namun anjing
menunjukkan gejala neurologis yang jelas sehingga segera dirujuk kepada spesialis.
Pemeriksaan umum menunjukkan hasil normal walaupun sedikit lambat namun masih
tergolong responsif. Pemeriksaan saraf kranial menunjukkan hasil normal. Anjing
menunjukkan adanya ataksia berat pada kaki belakang dengan hipermetria okasional. Namun
tidak teramati adanya perubahan postur maupun tremor. Ataksia ringan terjadi pada kaki
depan dan kepala. Pada kaki belakang respon refleks mengalami penurunan, bentuk otot
mengalami peningkatan dan refleks peregangan menjadi berlebihan. Lesi mayor yang
terlokalisasi diduga terdapat pada spinal cord segmen T2-L3 meskipun masih ada
kemungkinan terjadinya lesi yang bersifat multifokal ataupun menyebar. Penyebab terjadinya
diduga adalah infeksi ataupun inflamasi. Pada 3 hari kemudian kondisi klinis anjing semakin
parah (terjadi ataksia pada keempat kaki namun kaki belakang merupakan bagian yang
mengalami ataksia paling parah, hipertonisitas, hiperrefleksivitas, sakit saat pergerakan
manual). Anjing kemudian dieutanasia berdasarkan keinginan pemilik. Nekropsi dilakukan di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Liege.
3.4 Pemeriksaan Lanjutan
3.4.1 Pemeriksaan Toxoplasma gondii dan Neospora caninum serta Kreatin Kinase
Muskulus
Sampel darah diambil untuk mendeteksi adanya antibodi Toxoplasma gondii dan
Neospora caninum, kreatin kinase muskulus juga diamati karena adanya kecurigaan
keterlibatan muskulus dan jaringan nervus akibat infeksi protozoa. Sampel cairan
cerebrospinal dikoleksi setelah hewan dianastesi menggunakan medethomidine/ thiopental
dari sisterna lumbalis. Hasil serologi T.gondii dan N.caninum adalah negatif dan hasil
pengukuran kreatinin kinase berada pada batas normal.
3.4.2 Perhitungan Sel Darah Merah dan Sel Darah Putih serta Total Protein
Perhitungan sel darah merah dan putih serta total protein menunjukkan masih
berada dalam batas normal.
3.4.3 Uji PCR (Polimerase Chain Reaction) Virus Distemper
Uji PCR untuk mendeteksi virus distemper dilakukan dengan sampel cairan
serebrospinal dan menunjukkan hasil negatif.
3.4.4 Nekropsi
Pemeriksaan post mortem menunjukkan adanya pneumonia interstitial multifokal
dengan area yang mengalami konsolidasi dan kongesti. Hipertropi esentrik ventricular
kanan disertai kongesti pasif hepatik mengindikasikan adanya gagal jantung kanan. Tidak
ada lesi yang jelas setelah dilakukan pembukaan cranium dan kanal spinal servikal.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukkan pneumonia interstitial kronis yang bersifat
ekstensif disertai adanya dominasi fibroplasia. Ditemukan banyak larva dan telur pada
jaringan yang mengalami inflamasi fibrosa, didominasi sel mononuclear terutama
makrofag. Sklerosis vaskuler ditemukan. Larva fase pertama (L1) ditemukan dengan
ukuran dan morfologi yang mirip dengan A. vasorum pada saluran pernapasan yang lebih
lebar (Gambar 1 dan 2). Namun Crenosoma vulpis dimasukkan ke dalam diagnosa
banding.
Gambar 1. Larva fase pertama (L1) dengan ukuran dan morfologi dibandingkan dengan
Angiostrongylus vasorum, teramati pada saluran nafas

Gambar 2. Pneumonia interstitial kronis dengan fibrosis. Granuloma di sekitar telur dan
larva Angiostrongylus vasorum berhubungan dengan proliferasi pneumosit dan infiltrasi
limfosit/ makrofag
Otak dipotong menjadi 5 bagian. Hanya sebagian perivaskuler kecil dan multifokal
pada leptomenginges yang tampak diinfiltrasi oleh limfosit. Spinal cord servikalis tidak
diamati secara mikroskopis. Sebagian sampel otak kemudian dibekukan untuk dilakukan
pengujian PCR. Sampel serum dikirimkan ke Institut Parasitologi Universitas Zurich dan
dilakukan pengecekan adanya antigen spesifik terhadap A. vasorum yang bersirkulasi.
Hasil menunjukkan positif kuat (OD/ cut off ratio‫ ׃‬5,6). DNA diisolasi dari 25 mg otak dan
dilakukan uji PCR real time yang menargetkan fragmen regio ITS2 dengan ukuran 121 bp
menggunakan probe fluorescent yang sangat spesifik. Hasil menunjukkan sampel positif.
3.5 Diagnosa
Diagnosa pada kasus ini adalah infeksi Angiostrongylus vasorum.
3.6 Terapi
Anjing diberikan terapi antibiotik (amoxicillin dan asam klavulanik) dan mukolitik
(carocystein). Saat menunggu hasil pengujian lanjutan, dilakukan pemberian terapi
clindamycin (AntirobeTM) dosis 300 mg/ hari secara oral dan methylprednisolone
(ModerinTM) dosis 12 mg/hari secara oral. Pada 3 hari kemudian kondisi klinis anjing
semakin parah (terjadi ataksia pada keempat kaki namun kaki belakang merupakan bagian
yang mengalami ataksia paling parah, hipertonisitas, hiperrefleksivitas, sakit saat pergerakan
manual). Anjing kemudian dieutanasia berdasarkan keinginan pemilik. Nekropsi dilakukan di
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Liege.
BAB IV

PEMBAHASAN

Angiostrongylosis pada anjing merupakan infeksi helmintiasis akibat ingesti gastropoda


yang pertama dilaporkan di Prancis pada tahun 1800. Infeksi paten juga pernah teramati pada
rubah merah, serigala dan luwak (Ferdushy and Hasan, 2010; Guilhon, 1963; Segovia et al.,
2001; Torres et al., 2008). Di Eropa, rubah merah merupakan hosper reservoir utama (Bolt et al.,
1992). Iklim dan suhu Eropa Barat sangat sesuai untuk perkembangan siklus hidup
Angiostrongylus vasorum dan Belgia merupakan area yang memiliki kesesuaian sebagai tempat
transmisi parasit. Namun sejauh ini infeksi tidak pernah terjadi pada Negara Belgia. Kasus ini
merupakan infeksi A.vasorum yang terjadi pada anjing yang terjadi di Balgia tanpa adanya
sejarah perjalanan negara lain (Conboy, 2011; Helm et al., 2011; Papazahariadou et al., 2007;
van Doorn et al., 2009; Barutzky and Schaper, 2009; Guardone et al., 2013; Hurnikova et al.,
2013; Schnyder et al., 2013; Majoros et al., 2010; Morgan et al.,2009).

Laporan ini merupakan laporan pertama mengenai angiostrongylus di Belgia. Anjing


masih berusia muda dan diketahui lahir di Belgia membuktikan bahwa infeksi terjadi secara
lokal melalui mekanisme ingesti dari hewan perantara pembawa ataupun sekretnya. Ingesti
hospes paratenik seperti katak juga diketahui memiliki peran namun periode prepaten dari
A.vasorum (47-49 hari pada penelitian menggunakan anjing terinfeksi) (Schnyder et al., 2010)
dan usia anjing yang masih muda ketika dilakukan pemeriksaan awal (4,5 bulan). Diagnosa
definitif terhadap angiostrongylosis ditentukan saat post mortem berdasarkan hasil pemeriksaan
histopatologi dan temuan larva pada parenkim paru-paru. Hal ini juga dikonfirmasi
menggunakan deteksi antigen spesifik yang beredar pada uji ELISA sandwich dan PCR
menggunakan sampel otak. Uji ELISA menggunakan prinsip antibodi monoklonal dan antibodi
poliklonal kelinci yang secara direct melawan antigen ekskret ataupun secret dari A. vasorum.
Sensitivitas dan spesifisitas dari uji ini mencapai 95,7% dan 94% (Schnyder et al., 2011).
A. vasorum merupakan agen yang sering bertanggung jawab terhadap infeksi subklinis
atau ringan ataupun menengah pada saluran pernafasan (Paradies et al., 2013). Namun gejala
klinis akan bertambah parah seperti tampak mudah lelah setelah beraktivitas, diare berdarah,
gagal jantung, gangguan neurologis dan kematian mendadak (Koch and Willesen, 2010). Anjing
pada kasus ini dikarakterisasi dengan gangguan utama saraf dan gangguan pernafasan. Hanya
sedikit kasus dari infeksi A. vasorum (4%) yang terjadi pada anjing menunjukkan gangguan
saraf. Gangguan pada sistem saraf pusat disebabkan oleh adanya hemoragi pada sistem saraf
pusat akibat larva yang bermigrasi (Koch and Willesen, 2010; Chapman et al., 2004; Gredal et
al., 2011; Morgan et al., 2005). Namun pada kasus ini tidak ditemukan lesi akibat larva dan
gangguan pendarahan klinis. Pada kasus ini diagnosa dilakukan berdasarkan serologis dan terapi
yang ingin diberikan terkendala usia anjing, gambaran gejala klinis dan tidak adanya catatan
kasus di Belgia. Gejala gangguan pernafasan pada pasien sangat ringan namun hasil post mortem
menunjukkan adanya lesi pneumonia (Schnyder et al., 2014). Cacing dewasa berukuran kecil
dapat saja terlewat saat pemeriksaan nekropsi. Survei sero-epidemiologis yang dilakukan di
Jerman Barat dilakukan dengan mendeteksi antigen A. Vasorum dan antibodi spesifik
menunjukkan 0,3%, 0,5% dan 2,25% sampel menunjukkan hasil positif menggunakan ELISA,
antigen ELISA dan antibodi ELISA (Schnyder et al., 2013). Beberapa wilayah bagian yang ikut
serta dalam survey ini memiliki perbatasan dengan Belgia. Kota Liege dimana kasus ini
dilaporkan merupakan wilayah yang hanya berjarak 35 km dengan perbatasan Jerman sehingga
memungkinkan terjadinya penularan. Percobaan pengamatan oleh dokter hewan lokal yang tidak
dipublikasikan menunjukkan gangguan respirasi primer yang berhubungan dengan
angiostrongylosis menunjukkan area tersebut merupakan endemic terhadap A. vasorum. Rubah
merah (Vulpes vulpes) dicurigai bertanggung jawab terhadap penularan dan penyebaran parasit
seperti yang pernah dilaporkan di Belanda. Dibutuhkan diskusi tambahan untuk membahas
hospes utama ataupun intermediet. Selain itu dibutuhkan laporan kasus mengenai diagnosa dan
terapi yang diberikan untuk mencari efektivitas terapi. Beberapa obat-obatan yang dapat
digunakan adalah fenbendazole, moxidectin dan milbemycin oxime (Franssen et al., 2014;
Willesen et al., 2007; Schnyder et al., 2009; Bohm et al., 2014; Conboy, 2004).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Diagnosa sulit dilakukan berdasarkan gejala klinis yang muncul yaitu gejala
neurologis yang jelas berupa ataksia tejadi pada kaki depan, belakang dan kepala, pada kaki
belakang respon refleks mengalami penurunan, bentuk otot mengalami peningkatan, refleks
peregangan menjadi berlebihan hipertonisitas, hiperrefleksivitas, sakit saat pergerakan
manual. Diagnosa dikonfirmasi berdasarkan hasil penemuan larva dan telur pada jaringan
yang mengalami inflamasi fibrosa, didominasi sel mononuclear terutama makrofag pada
saluran pernafasan serta PCR real time terhadap sampel otak yang menunjukkan hasil positif
adanya antigen spesifik terhadap A. vasorum yang bersirkulasi. Anjing diberikan terapi
antibiotik (amoxicillin dan asam klavulanik) dan mukolitik (carocystein). Saat menunggu
hasil pengujian lanjutan, dilakukan pemberian terapi clindamycin (AntirobeTM) dan
methylprednisolone (ModerinTM). Anjing kemudian dieutanasia berdasarkan keinginan
pemilik karena gejala yang muncul semakin parah.

5.2 Saran

Dibutuhkan diskusi tambahan untuk membahas hospes utama ataupun


intermediet. Selain itu dibutuhkan laporan kasus mengenai diagnosa dan terapi yang
diberikan untuk mencari efektivitas terapi. Beberapa obat-obatan yang dapat digunakan
adalah fenbendazole, moxidectin dan milbemycin oxime
DAFTAR PUSTAKA

Ferdushy, T, Hasan M.T. 2010. Angiostrongylus vasorum: the “French Heartworm”. Parasitol
Res 2010;107:765–71.
Guilhon, J. 1963. Recherchessur le Cycle Evolutif du Strongle des vaisseaux du Chien. Bull
Acad Vét 1963;36:431–42.
Segovia, J.M, Torres J, Miquel J, Llaneza L, Feliu C. 2001. Helminths in the Wolf Canis Lupus
from North-Western Spain. J Helminthol 2001;75:183–92.
Torres, A, Pantchev N, Vrhovec MG, Bauer C, Hermosilla C. 2008. Lungworm Infections
(Angiostrongylus vasorum, Crenosoma vulpis, Aelurostrongylus abstrusus) in Dogs and
Cats in Germany and Denmark in 2003–2007. Vet Parasitol 2008;159:175–80.
Bolt, G, Monrad J, Henriksen P, Dietz HH, Koch J, Bindseil E, et al. 1992. The Fox (Vulpes
vulpes) as a Reservoir for Canine Angiostrongylosis in Denmark. Field survey and
experimental infections. Acta Vet Scand 1992;33:357–62.
Conboy, G.A. 2011. Canine Angiostrongylosis: the French Heartworm: an Emerging Threat in
North America. Vet Parasitol 2011;176:382–9.
Helm, J.R, Morgan ER, Jackson MW, Wotton P, Bell R. 2010. Canine Angiostrongylosis: an
Emerging Disease in Europe. J Vet Emerg Crit Care (San Antonio) 2010;20:98–109.
Papazahariadou, M., Founta A, Papadopoulos E, Chliounakis S, Antoniadou-Sotiriadou K,
Theodorides Y. 2007. Gastrointestinal Parasites of Shepherd and Hunting Dogs in the
Serres Prefecture, Northern Greece. Vet Parasitol 2007;148:170–3.
Van Doorn, D.C, van de Sande AH, Nijsse ER, Eysker M, Ploeger HW. 2009. Autochthonous
Angiostrongylus vasorum Infection in Dogs in The Netherlands. Vet Parasitol 2009;
162:163–6.
Barutzki, D, Schaper R. 2009. Natural infections of Angiostrongylus vasorum and Crenosoma
vulpis in dogs in Germany (2007–2009). Parasitol Res 2009;105(Suppl. 1):S39–48.
Guardone, L, Schnyder M, Macchioni F, Deplazes P, Magi M. 2013. Serological Detection of
Circulating Angiostrongylus vasorum Antigen and Specific Antibodies in Dogs from
Central and Northern Italy. Vet Parasitol 2013;192:192–8.
Hurnikova, Z, Miterpakova M, Mandelik R. 2013. First Autochthonous Case of Canine
Angiostrongylus vasorum in Slovakia. Parasitol Res 2013;112:3505–8.
Schnyder, M, Schaper R, Pantchev N, Kowalska D, Szwedko A, Deplazes P. 2013. Serological
Detection of Circulating Angiostrongylus vasorum Antigen- and Parasite-Specific
Antibodies in Dogs from Poland. Parasitol Res 2013;112(Suppl. 1):109–17.
Majoros, G., Fukar O, Farkas R. 2010. Autochthonous Infection of Dogs and Slugs with
Angiostrongylus vasorum in Hungary. Vet Parasitol 2010;174:351–4.
Morgan, E.R, Jefferies R, Krajewski M, Ward P, Shaw SE. 2009. Canine Pulmonary
Angiostrongylosis: the Influence of Climate on Parasite Distribution. Parasitol Int 2009;
58:406–10.
Jefferies, R, Morgan ER, Helm J, Robinson M, Shaw SE. 2011. Improved Detection of Canine
Angiostrongylus vasorum Infection Using Real-time PCR and Indirect ELISA. Parasitol
Res 2011;109:1577–83.
Schnyder, M, Fahrion A, Riond B, Ossent P,Webster P, Kranjc A, et al. 2010. Clinical,
Laboratory and Pathological Findings in Dogs Experimentally Infected with
Angiostrongylus vasorum. Parasitol Res 2010;107:1471–80.
Schnyder, M, Tanner I, Webster P, Barutzki D, Deplazes P. 2011. An ELISA for Sensitive and
Specific Detection of Circulating Antigen of Angiostrongylus Vasorum In Serum
Samples Of Naturally And Experimentally Infected Dogs. Vet Parasitol 2011;179:152–8.
Paradies, P, Schnyder M, Capogna A, Lia RP, Sasanelli M. 2013. Canine Angiostrongylosis in
Naturally Infected Dogs: Clinical Approach and Monitoring of Infection After Treatment.
Scientific World Journal 2013. http://dx.doi.org/10.1155/2013/702056 [Article ID
702056, 8 pages, 2013].
Koch, J,Willesen J.L. 2009. Canine Pulmonary Angiostrongylosis: an Update. Vet J
2009;179:348–59.
Chapman, P.S, Boag A.K, Guitian J, Boswood A. 2004. Angiostrongylus vasorum Infection in
23 Dogs (1999–2002). J Small Anim Pract 2004;45:435–40.
Gredal, H, Willesen J.L, Jensen H.E, Nielsen OL, Kristensen AT, Koch J, et al. 2011. Acute
Neurological Signs as the Predominant Clinical Manifestation in Four Dogs with
Angiostrongylus Vasorum Infections In Denmark. Acta Vet Scand 2011;53:43.
Morgan, E.R, Shaw S.E, Brennan S.F, De Waal T.D, Jones B.R, Mulcahy G. 2005.
Angiostrongylus vasorum: a real heartbreaker. Trends Parasitol 2005;21:49–51.
Schnyder, M., Stebler K, Naucke T.J, Lorentz S, Deplazes P. 2014. Evaluation of a Rapid Device
for Serological in-Clinic Diagnosis of Canine angiostrongylosis. Parasit Vectors 2014;
7:72.
Schnyder, M, Schaper R, Bilbrough G, Morgan ER, Deplazes P. 2013. Seroepidemiological
Survey for Canine Angiostrongylosis in Dogs From Germany and The UK Using
Combined Detection Of Angiostrongylus Vasorum Antigen And Specific Antibodies.
Parasitology 2013;140:1442–50.
Franssen, F, Nijss R, Mulder J, Cremers H, Dam C, Takumi K, et al. 2014. Increase in Number
of Helminth Species from Dutch Red Foxes Over a 35-year Period. Parasit Vectors
2014;7:166. http://dx.doi.org/10.1186/1756-3305-7-166 [2014 Apr 3].
Willesen, J.L, Kristensen A.T, Jensen A.L, Heine J, Koch J. 2007.Efficacy and safety of
imidacloprid/moxidectin spot-on solution and fenbendazole in the treatment of dogs
naturally infected with Angisotrongylus vasorum (Baillet, 1866). Vet Parasitol
2007;147:258–64.
Schnyder, M., Fahrion A, Ossent P, Kohler L, Webster P, Heine J, et al. 2009. Larvicidal Effect
of Imidacloprid/moxidectin Spot-on Solution in Dogs Experimentally Inoculated with
Angiostrongylus vasorum. Vet Parasitol 2009;166:326–32.
Bohm, C, Schnyder M, Thamsborg S.M, Thompson C.M, Trout C, Wolken S, et al. 2014.
Assessment of the Combination of Spinosad and Milbemycin Oxime in Preventing the
Development of Canine Angiostrongylus vasorum Infections. Vet Parasitol 2014;
199:272–7.
Conboy, G. 2004. Natural infections of Crenosoma vulpis and Angiostrongylus vasorum in
Atlantic Canada and Their Treatment with Milbemycin Oxime. Vet Rec 2004;155:16–8.
Taylor M.A., Coop R.L., Wall R.L. (2007). Parasites of dogs and cats - Parasites of the
circulatory system. In:Veterinary Parasitology. Third edition, Blackwell Publishing,
Oxford, p. 410-411.

Anda mungkin juga menyukai