Anda di halaman 1dari 13

Laporan Praktikum Demonstrasi Klinik

PENYAKIT NEONATAL PADA ANAK ANJING


( DISTEMPER, PARVOVIRUS, DAN PARAINFLUENZA)

DISUSUN OLEH :
NAMA

: NATALIA IRENE RUMPAISUM

NIM

: O111 13 701

KELOMPOK

: X (SEPULUH)

ASSISTEN

: ELPHAN AUGUSTA

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anjing merupakan salah satu hewan kesayangan, yang banyak
diminati oleh masyarakat terkhusus kalangan pecinta hewan kesayangan
seperti anjing. Selain itu,bukan hanya kalangan tertentu tetapi anjing juga di
gunakan sebagai anjing kepolisian. Karena bisa di nilai dari kelebihan yang
dimiliki seekor anjing.
Anjing memiiki kemampuan penciuman serta pendengaran yang baik
sehingga dapat dimanfaatkan apabila dapat mendidiknya dengan baik. Dengan
kemampuan penciuman yang baik serta dilatih dari pihak kepolisian maka,
anjing ini di manfaatkan sebagai anjing pelacak untuk melacak bahan-bahan
berbahaya seperti obat-obatan terlarang narkoba, narkotika, dan lain
sebagainya yang sering perdagangkan secara ilegal.
Maka pemeliharaan yang baik sangat penting untuk di perhatikan,
mulai dari makanan, kesehatan secara fisik, sanitasi kandang dan
lingkungan,untuk menjaga kondisi dari anjing ini. Karena, jika pemeliharaan
yang buruk, akan mempengaruhi kondisi tubuh secara keseluruhan.
Penyakit yang menginfeksi hewan, bisa disebabkan oleh bakteri, virus,
candida, dan parasite. Pada makalah ini akan membahas tentang penyakit
menular asal hewan,disebabkan oleh virus.adapun beberapa penyakit yang
disebabkan oleh virus dan sering menginfeksi anak anjing yaitu distemper,
parvovirus dan parainfluenza.
Penyakit ini memiliki gejala yang sama, maka penting untuk kita
memeriksa dari amnanesis, sinyalemen, pemeriksaan secara fisik hewan,
membandingkan differensial diagnose dan pemeriksaan lanjutan yang dapat
menegakkan diagnose yaitu pemeriksaan lab.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana mengetahui perubahan klinik dan patologis ?
b. Bagaimana merumuskan diagnosis dan diagnosis banding ?
c. Bagaimana tindakan penanganan penyakit seperti kasus Distemper
anjing, parvovirus, parain fluenza pada anjing ?
C. Tujuan Praktikum
a. Untuk mengenal berbagai ragam perubahan klinik dan patologis
b. Untuk merumuskan diagnosis dan diagnosis banding
c. Untuk mengetahui tindakan penanganan penyakit seperti kasus
Distemper anjing, parvovirus, parain fluenza pada anjing.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DISTEMPER
a) Etiologi
Menurut Steiner JM, et al (2005), Distemper anjing disebabkan
oleh virus RNA Paramyxovirus yang berukuran 150-300 m dengan
nukleokasid simetris dan berbungkus lipoprotein. Virus distemper
terdiri atas enam struktur protein yaitu nucleoprotein (N) dan dua
enzim (P dan L) pada nukleoplasmidnya, juga membrane protein (M)
disebelah dalam dan dua protein lagi (H dan F) pada bungkus
lipoprotein sebelah luar. Pembungkus lipoprotein mudah dihancurkan
oleh pelarut lemak yang menjadikan virus tidak menular lagi.
b) Patogenesis
Menurut Headley et al (1999), Distemper dapat menyerang
pada semua ras dan umur anjing. Anjing muda yang tidak divaksin
paling sering terinfeksi distemper yang parah. Pada infeksi akut, anjing
akan mengeluarkan sekresi dari saluran pernafasan. Sekresi tersebut
biasanya akan menjadi sumber penularan virus. Virus distemper diluar
induk semang tidak dapat bertahan dan akan segera mati.
Penularan virus distemper biasanya terjadi secara aerogen dari
batuk hewan yang terinfeksi. Penularan virus lewat udara (per inhalasi)
menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag saluran pernafasan. Pada
hampir semua kasus, virus masuk melalui hidung dan mulut. Virus
mula mula akan berkembang di dalam limfonodus terdekat. Dalam
satu minggu virus menjalani replikasi dan menyebabkan viremia
(beredarnya virus dalam sirkulasi), yang selanjutnya virus akan
menyebar menuju organ limfoid, sumsum tulang, dan lamina propria
dari epitel. Virus distemper akan tinggal dalam nucleus (intranukleus)
maupun dalam sitoplasma (intrasitoplasma) serta akan menyebar ke
seluruh jaringan karena virus distemper termasuk pantropik (menyukai
seluruh jaringan).
Menurut Headley et al (1999), Apabila antibodi tidak terbentuk
maka virus akan menyebar dengan cepat ke semua sel epitel dan
system saraf pusat. Suhu tubuh akan segera naik, anoreksia, depresi
dan sel-sel kelenjar di saluran pernapasan dan mata akan menghasilkan
sekreta secara berlebihan (epifora). Batuk, dysnoep, disertai suara
cairan dari paru-paru akan segera terjadi. Pada saluran cerna terdapat
sel-sel epitel yang mengalami kerusakan sehingga menyebabkan diare,
muntah, serta nafsu makan tertekan.

c) Gejala Klinis
Menurut Subronto (2006), masa inkubasi dari virus ini selama
6-8 hari, dengan gejala yang kurang jelas dan baru jelas setelah 2-3
minggu. Gejala awal yang timbul berupa kenaikan suhu pada hari ke 13, diikuti dengan penurunan suhu selama beberapa hari, kemudian naik
lagi selama satu minggu atau lebih. Saat awal kejadian segera diikuti
dengan leukopenia dan limfopenia. Selanjutnya terjadi netrofilia yang
berlangsung selama beberapa minggu. Keadaan ini menandakan
adanya peradangan dan respon dari tubuh untuk melawan infeksi.
Gangguan respirasi ditandai dengan pengeluaran leleran hidung kental,
mukopurulen dan leleran air mata yang meningkat (epifora) yang lama
kelamaan akan bersifat mukopurulen pada sudut medial (canthus
medialis) mata.
Menurut Headley et al (1999), Anjing yang menderita
distemper akan tampak lesu, depresi, batuk batuk, anoreksia, dan
mungkin juga disertai diare dengan feces yang berbau busuk. Pada
telapak kaki anjing akan terjadi perubahan menjadi keras karena
kurangnya cairan, hal itu yang kemudian menjadi ciri khas dari
distemoer yang dinamakan Hardpad disease.Pada anjing muda (2-6
bulan) yang tidak divaksin merupakan yang paling sering diinfeksi
distemper yang parah. Pada anjing ini didapati gejala non neurologis
termasuk ocular discharge, batuk, dysnoep, vomit, dan diare. Anjing
yang terserang menghasilkan bau yang khas. Gejala dehidrasi sangat
menonjol dan mungkin penderita mengalami kematian dan gagal ginjal
sebagai kompensasi dari dehidrasi yang sangat hebat. Pada anjing yang
muda terinfeksi terjadi ketika gigi permanennya berkembang, ditandai
dengan enamel, hypoplasia (gigi yang berwarna coklat).
Gejala saraf bagi yang sembuh berupa (1) tick atau chorea,
kejang kronik teratur dari sekelompok otot kaki, wajah, dada, atau
bagian tubuh lainnya. (2) paresis atau paralysis yang dimulai dari
tubuh bagian belakang. Kalau berjalan terlihat adanya innkordinasi
kaki kaki dan ataxia. (3) gerak mengunyah yang makin lama makin
sering dan diikuti oleh hipersalivasi. Kalau penderita tidak mampu
bangun, ia memperlihatkan gerakan mengunyah, berputar ke satu arah,
kanan atau kiri atau mencoba bangun. Gejala saraf berlangsung
beberapa minggu atau bulan. Anjing tidak mampu mengontrol miksi
(pengeluaran urin). Pada stadium akhir terlihat adanya kejang kejang
atau tanpa kejang dengan bola mata mengalami nystagmus.

d) Diagnosis
Menurut Fenner FJ et al. (1995), Diangosa dilakukan
berdasarkan gejala klinis yang terlihat serta dibantu dengan annamese
dari pemilik anjing. Apabila ada anak anjing yang demam perlu
dicurigai apakah anjing tersebut dilahirkan dari induk yang tidak
divaksinasi distemper ataukah anjing tersebut belum pernah divaksin
distemper. Untuk membedakannya dapat dilakukan pemeriksaan
patologi dan histology, selain dilakukan uji laboratorium IFAT dari
cairan mata, trachea, vagina ataupun buffy coat. Juga dapat dilakukan
pemeriksaan cytopathogenik (CPE) pada pemeriksaan biakan sel.
Pemeriksaan antibodi terhadap distemper perlu dilakukan dua kali,
dengan selang waktu tiga minggu. Kenaikan lebih dari tiga kali pada
pemeriksaan kedua memiliki arti diagnostik.
e) Diferensial Diagnosis
Sebagai diagnosa banding dari penyakit ini yang penting adalah
Caninde parvovirus memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan
beberapa penyakit seperti parvovirus,parainfluenza,dan penyakit
helmeintiasis, salah satu contohnya ialah ancylostomiasis.
f) Prognosis
Pada anjing dengan infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah
divaksin, progonosanya buruk tetapi bila anjing tidak memiliki
antibodi yang baik serta belum pernah divaksin maka prognosanya
buruk sampai infausta.
g) Terapi
Untuk terapi yaitu dengan pemberian antibiotik harus digunakan untuk
mencegah infeksi bakteri sekunder meskipun mereka tidak
berpengaruh
pada
virus
distemper.
Pengobatan suportif termasuk cairan intravena untuk menangani kasus
dehidrasi, obat-obatan untuk mencegah muntah dan diare dan
antikonvulsan dan obat penenang untuk mengontrol kejang.
B. PARVOVIRUS
a) Etiologi
Canine Parvovirus atau Parvoviral Enteritis. Virus tersebut tumbuh di
dalam pembelahan sel yang cepat. Canine Parvovirus type 2 (CPV-2)
merupakan virus yang menyebabkan penyakit yang sangat serius dan
sangat menular pada anak anjing (puppy) dan anjing dewasa. Virus ini
menyerang saluran pencernaan (gastrointestinal) pada hewan bahkan

menyebabkan kerusakan pada otot jantung hewan muda, bahkan anak


anjing yang belum lahir (unborn).
b) Patogenesis
CPV-2 merupakan virus yang sangat mudah menular dan menyebar
melalui kontak langsung antara anjing tertular dan anjing beresiko dan
secara tidak langsung yaitu dari feses, lingkungan, bahkan manusia
yang tidak sengaja kontak dengan anjing yang beresiko. Virus ini juga
dapat mengkontaminasi kandang, makanan dan tempat air minum
anjing, bahkan rantai juga bisa menjadi tempat transmisi virus ini. Pada
manajemen yang buruk, seseorang yang sedang merawat pasien
parvovirus yang tidak mencuci tangan dan mengganti baju setelah
menangani pasien yang terinfeksi, juga dapat sebagai transmisi
penularan dari virus ini. CPV-2 dapat bertahan terhadap panas, dingin,
kelembaban tinggi dan kering sekalipun serta dapat bertahan di
lingkungan dalam waktu yang lama.
c) Gejala Klinis
Menurut Nelson RW (2006), Anjing atau puppy yang terserang
oleh CPV-2 biasanya akan menunjukkan gejala anjing lemas,
dehidrasi, demam, nafsu makan menurun, muntah, bahkan muntah
yang ditimbulkan adalah muntah darah yang diikuti oleh diare
berdarah dan baunya menyengat (anyir) yang disebabkan karena virus
ini menyerang saluran pencernaan dari anjing. Kemudian muntah dan
diare ini akan menyebabkan hewan dehidrasi, dan kebanyakan hewan
yang terserang penyakit yang disebabkan oleh parvovirus akan mati
setelah 48-72 jam setelah gejala klinis muncul dan tidak tertangani
dengan baik. Sehingga, jika hewan Anda memiliki gejala seperti CPV2.
h) Diagnosis
Menurut Nelson RW (2006),CPV type 2 didiagnosa melalui
sejarah hewan dan pemeriksaan fisik serta beberapa pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium atau rapid test terhadap
parvovirus. Sedangkan untuk pengobatannya, belum ada obat yang
secara spesifik membunuh virus Canine Parvovirus type 2 ini dan
terapi yang diberikan dokter hewan adalah terapi yang bersifat
suportif, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh hewan dan
mengembalikan kondisi tubuh hewan lebih baik agar antibodi hewan
dapat bertahan terhadap serangan virus ini.
d) Diferensial Diagnosis
Canine parvovirus memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan
beberapa penyakit seperti feline panleukopenia, minute virus enteritis,
canine distemper, koksidiosis, ancylostomiasis.

e) Prognosis
Prognosa ditegakkan dengan memperhatikan beratnya infeksi yang
diperoleh dari hasil uji serologi dan ELISA. Biasanya prognosanya
sangat Dubius.
f) Terapi

Penanganan secara spesifik untuk menghilangkan virusnya seperti


penggunaan obat antiviral belum tersedia. Penanganan suportif
dilakukan untuk membantu menjaga kondisi umum anjing. Penanganan
meliputi pemberian terapi cairan (infus) baik melalui subcutan
(dibawah kulit) ataupun melalui intravena (melalui pembuluh darah)
untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit yang hilang karena
muntah dan diare. Penanganan lainnya melalui pemberian antimuntah,
antibiotik dan pemberian injeksi suplemen protein dan nutrisi.
Perawatan rata-rata membutuhkan waktu 1-2 minggu.

C. PARAINFLUENZA

a) Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh family paramyxoviridae lainnya,
partikel virus parainfluenza anjing dari hasil pengamatan mikroskop
elektron oleh ajiki et al (1982) berbentuk pleomorf dengan ukuran
bervariasi dan merupakan partikel yang tidak memiliki kapsul.
Struktur ribonukleoprotein virus parainfluenza beruntai
tunggal, berbentuk helix, berisi genom RNA tak bersegmen (Choppin
dan compans, 1975).
b) Patogenesis
Menurut Lopes A (1995), Virus ditularkan langsung melalui
kontak aerosol atau inhalasi. Replikasi virus parainfluenza pada
epitel pernafasan. Viremia, jika terjadi, jarang ditemukan. Infeksi
hanya dapat melibatkan hidung dan tenggorokan atau saluran
respiratori bagian atas. Namun infeksi dapat lebih ekstensif
khususnya pada jika mengenai laring dan trakea yang dapat
menimbulkan laryngotracheitis . infeksi dapat menyebar lebih dalam
pada trakea bagian bawah dan bronkus sehingga menimbulkan
pneumonia dan bronkiolitis.
c) Gejala

Virus ini akan menyebabkan gejala ringan hingga 6 hari sampai


adanya infeksi sekunder oleh bakteri. Gejala. Gejala klinis dari infeksi
ini terjadi 2-14 hari setelah masuknya bakteri dalam tubuh. Jika tidak
ada infeksi dari agen lain, gejala klinis akan hilang pada hari ke-10.
Namun setelah infeksi teratasi, anjing penderita akan berusaha
mengeluarkan bakteri yang keluar melalui dahaknya dalam waktu 614 minggu dan di masa inilah biasanya akan memudahkan anjing lain
tertular. Anjing yang terserang penyakit ini akan batuk setiap beberapa
menit selama sehari penuh. Terkadang tidak diikuti dengan perubahan
kondisi kesehatan anjing, seperti suhu tubuh tetap normal dan nafsu
makan tetap bagus. Parainfluenza dan Bordetella sering menginfeksi
bersamaan pada kasus infectious tracheobronchitis, yang akan
menimbulkan batuk yang akan sembuh dengan sendirinya dalam 1420 hari.
d) Diagnosis
Diagnosa didasarkan atas pemeriksaan klinis, Diagnosa didasarkan
pada anamnesa,gejala klinis yang ditemukan dan pemeriksaan
laboratorium seperti pemeriksaan darah PCR, immunofluororesensi,
isolasi virus, analisa ciran serebrospinal, serologi dan tes ELISA .
e) Diferensial Diagnosis
Canine parainfluenza memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan
beberapa penyakit seperti Bronkhitis dan pneumonia.
f) Prognosis
Prognosa ditegakkan dengan memperhatikan status cairan
tubuh, tingkat anemia, serta beratnya infeksi yang diperoleh dari
pemeriksaan lab. Biasanya prognosanya sangat dubius.

g) Terapi
Terapi yang dapat dilakukan yaitu : virus ini biasanya diobati secara
agresif dengan antibiotik dan obat antivirus. Jika perlu, penekan batuk
dapat digunakan. Cairan intravena dapat membantu untuk menjaga
anjing terhidrasi dan memperkuat sistem kekebalan tubuh, mencegah
infeksi bakteri sekunder atau komplikasi lain.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari hasil makalah ini yaitu. :
1. Penyakit yang berhubungan dengan respiratory, yaitu penyakit yang
sangat kompleks disebabkan dapat di temukan gabungan beberapa
gejala. Dan adapun beberapa penyakit yang sama gejalanya pada
anjing yaitu Distemper, Parvovirus dan Perinfluenza.
2. Penyakit neonatal merupakan suatu penyakit pada anak yang baru lahir
seperti distemper, parvovirus, dan parainfluenza.
3. Distemper merupakan penyakit yang disebabkan oleh Canine
Distemper Virus yang termasuk famili Paramyxoviridae, dan
merupakan penyakit yang menular dapat menyebabkan kematian pada
anjing. Anjing muda umumnya sangat rentan terserang virus ini,
dengan gejala yang bervariasi.
4. Parvovirus merupakan penyakit yang disebabkan oleh Canine Parvo
Virus. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh CPV antara lain diare
berdarah, vomit, serta anorexia.
5. Parainfluenza pada umumnya menyerang saluran pernafasan. Gejala
klinis yang ditimbulkan antara lain pembengkakan pada glandula
tyroid, mengeluarkan suara saat bernapas (ngorok), dyspnoe
6. Pencegahan yang dapat dilakukan dengan memberikan vaksin, pada
anak anjing dan sebaiknya divaksinasi pada umur 6-12 minggu,
kemudian diulang pada umur 12minggu, setelah itu baru diulang setiap
tahun sekali.
B. Saran
Pentingnya memperhatikan kesehatan anjing dengan memanagement
makanan, pemberian vaksin, menjaga sanitasi lingkungan, sehingga kesehatan
anjing terjamin dan bebas dari penyakit tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Ajiki, M., K. Takamura, K. Hiramatsu, M. Nakai, N. Sasaki. 1982. Isolation and
characterization of parainfluenza 5 virus from dog. Japanese Journal of Veterinary
Science, 44: 607-618.
Choppin, P. W. and R. W. Compans.1975. Reproduction of paramyxoviruses, In
comprehensive Virology 4, ed. H. F. Conrad and R.R. Wagner. Plenum Publishing
Corp., New York, P, 95.
Fenner FJ et al. 1995. Virologi of Veteriner ed. Ke-2. Harya DK; penerjemah. Virology of
Veteriner. USA: Academic Pr.
Headley et al. 1999. Canine Distemper Virus Infection With Secondary Bordotella
bronchispetica Pneumonia In Dogs. Cincia Rural: v. 29 n. 4
Lopes A, 1995. Respiratory System di dalam Thomson Special Veterinary Pathatology 2nd Ed.
USA: Mosby Year Book Inc
Nelson RW, Couto CG. 2003. Small Animal Internal Medicine. Ed-3. Missouri : Mosby
Steiner JM, Williams DA. 2005. Canine Distemper Virus. In Ettinger SJ, Feldman EC (eds):
Textbook of Veterinary Internal Medicine, Diseases of the Dog and Cat, 6th ed. St.
Louis, Elsevier Saunders, pp. 1489- 1491.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Ed-1.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press

LAMPIRAN

A. CONJUNGTIVITIS DAN
B. HIPERKERATOSIS PADA
DERMATITIS DAERAH FACIAL TELAPAK KAKI

D. MUNTAH DAN DIARE


C. HIPOKALSIUM PADA BAGIAN
BERDARAH
SALAH SERTA BAU
EKSTERMITAS CAUDALIS
YANG KHAS (ANYIR) SALAH
SATU CIRI KHAS PADA ANJING
YANG TERINFEKSI PARVOVIRUS

E. PEMERIKSAAN FISIK
PADA
E. CAPLAK
YANG DITEMUKAN
PUTIH
SAAT PEMERIKSAAN

Anda mungkin juga menyukai