Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PENYAKIT TETANUS

DI RUANG ICU RSU dr. H. KOESNADI BONDOWOSO

Oleh :

NANANG JANUANWAR
NIM. 2031800073

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN-UNIVERSITAS NURUL JADID
PAITON PROBOLINGGO
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
TETANUS

I. TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Tetanus adalah penyakit infeksi yang ditandai oleh kekakuan dan kejang
otot, tanpa disertai gangguan kesadaran, sebagai akibat dari toksin kuman
closteridium tetani .Penyakit ini mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram
positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini
menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran
tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan
terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat
dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda.
Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk
vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan
menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung
saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.
Terdapat beberapa sistem pembagian derajat keparahan yang
dilaporkan.Klasifikasi beratnya tetanus oleh :
1. Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitasgeneralisata,
tanpa gangguan pernafasan, tanpaspasme, sedikit atau tanpa disfagia.
2. Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas,spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguanpernafasan sedang dengan frekuensi
pernafasanlebihd dari 30 disfagia ringan.
3. Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas generalsata, spasmerefleks
berkepanjangan, frekuensi pernafasan lebihdari 40, serangan apnea, disfalgia
berat dantakikardia lebih dari 120.
4. Derajat IV (sangat berat) : Derajat tiga dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardi terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

B. Etiologi
Sering kali tempat masuk kuman sukar diketahui tetepi suasana anaerob
seperti pada luka tusuk, luka kotor, adanya benda asing dalam luka yang
menyembuh , otitis media, dan cairies gigi, menunjang berkembang biaknya
kuman yang menghasilkan endotoksin.
C. Patofisiologi
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat luka bakar dan patah tulang yang
terbuka juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang ideal untuk
pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh,
memperbanyak diri dan mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-
reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang terinfeksi. Plasmid membawa gena toksin.
Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya
lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium) di gabung oleh ikatan disulfit.
Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan kemudian
diendositosis oleh saraf motoris, sesudah ia mengalami ia mengalami
pengangkutan akson retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar
motoneuron dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron
penghambat spinal. Dimana toksi ini menghalangi pelepasan neurotransmitter .
Toksin tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal otot antagonis
yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi, akibatnya otot
yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system saraf otonom juga
dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi
bentuk vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam
jaringan yang anaerobic ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi
jaringan dan turunnya tekanan oxigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis
jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra axonal toxin
disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan panjang
axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi
sel saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang
toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan
ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin
menimbulkan gangguan pada inhibitory transmitter dan menimbulkan kekakuan.
Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.
D. Pathway
E. Gambaran Klinik
 Masa tunas biasanya antara 5 – 10 hari.
 Yang pertama terserang adalah otot rahang sehingga rahang kaku dan sulit
dibuka (trismus ). Penderita kemudian mengalami kesulitan menelan, dan
gelisah.
 Selanjutnya muncul kaku kuduk, kaku tangan dan kaki, sakit kepala, demam
menggigil dan kejang umum.
 Otot muka khas kejangnya sehingga muka penderita seperti orang
menyeringai ( risus sardonikus ).
 Kejang otot perut, leher, dan punggung menyebabkan badan melengkung ke
belakang disebut epistotonus.
 Spasme otot spincter kandung kemih dan anus menyebabkan retensi urine dan
konstipasi.
 Kesadaran penderita baik, demikian juga saraf sensorik.
 Selama kejang, otot dada, otot pernafasan, dan glotis ikut kaku sehingga
pernafasan terganggu dan penderita mengalami sianosis sampai asfiksia yang
sering fatal.

F. Penatalaksanaan
1. Umum :
a. Merawat dan membersihkan luka dgn sebaik-baiknya
b. Diet cukup kalori dan protein ( bentuk makanan tergantung pada
kemampuan membuka mulut dan menelan )
c. Isolasi klien untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tidakan
terhadap klien lainnya.
d. Oksigen dan pernapasan buatan dan tracheotomy kalau perlu.
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan :
a. Anti toksin. Tetanus Imun Glubolin (TIG ) lebih dianjurkan pemakainnya
di bandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Disis initial
TIG adalah 5000 U IM ( disis harian 500 – 6000 U ). Kalau tidak adaTIG
diberi ATS dgn dosis 5000 U IM dan 5000 U IV.
b. Anti kejang.
Beberapa obat yg dapat diberikan :
Obat Dosis Efek samping
- Diasepam 0,5 – 10 mg/kg BB /24 jam IM - Sopor, koma
- Meprobamat 300 – 400 mg/4 jam IM - Tidak ada
- Klorpromasin 25 – 75 mg /4 jam IM - Hipotensi
- Fenobarbital 50 – 100 mg / 4 jam IM - Depresi nafas
G. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat, pemeriksaannya
meliputi :
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N <
200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian
obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi
kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi
3. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui
tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya
normal.

H. Prognosis :
Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan
yang tepat dan dilakukan secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus
mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila tetanus dapat
didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan
angka kematian.

I. Komplikasi
1. Spasme otot faring
2. Asfiksia
3. Atelektasis
4. Fraktur kompresi
5. Jalan nafas : Aspirasi, Laringuspasme/obstruksi, Obstruksi berkaitan dengan
sedatif.
6. Respirasi : Apnea, Hipoksia ,Gagal nafas tipe 1 (atelektasis,
aspirasi,pneumonia), Gagal nafas tipe 2 ( spasme laringeal,spasme trunkal
berkepanjangan, sedasi berlebihan) ARDSK, komplikasi bantuan ventilasi
berkepanjangan (seperti pneumonia), komplikasi traneotomi (seperti
stenosistrachea)
7. Kardiovaskuler: Takikardia, hipertensi, iskemiaHipotensi, bradikardia
Takiaritma, bradiaritma, Asistol, gagal jantung.
8. Ginjal : Gagal ginjal curah tinggi, gagal ginjal oliguria,.
9. Gastrointestinal : Statis gaster, ileus, pendarahan, diare
10. Ruptur tendon akibat spasme

J. Pencegahan
1. Imunisasi aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat paad usia 3,4
dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.
2. Bila mendapat luka
a. Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci
dengan H2O2.
b. Pemberian ATS 1500 iu secepatnya.
c. Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi dasar.
d. Bila luka berta berikan pp selama 2-3 hari (50.000 iu/kg BB/hari).

II. ASUHAN KEPERWATAN


A. Pengkajian
Pengkajian Umum
a. Riwayat penyakit sekarang; adanya luka parah atau luka bakar dan imunisasi
yang tidak adekuat.
b. Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat kontaksi otot
pernafasan
c. Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan perdarahan, suhu
tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-44 C
d. Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir) konvulsi,
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
e. Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing dan urine out put
tidak ada/oliguria)
f. Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan usus.
g. Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat luka,
berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului trismus, spasme oto muka
dengan meningkatnya kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan
kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan
kejang umum.
h. Pengkajian Fungsi Serebral
 Status mental : Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,
ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien.Pada klien tetanus tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami berubahan.
 Pengkajian saraf Kranial.Pemeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan
saraf kranial I- XII.
 Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
 Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
 Saraf III, IV, VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus
mengeluh mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap
cahaya.Respon kejang umum akibat stimulus merangsang cahaya perlu
diperhatikan perawat guna memberikan intervensi untuk menurunkan
stimulasi cahaya tersebut.
 Saraf V. Reflek maseter meningkatkan.Mulut condong kedepan seperti
mulut ikan ( ini adalah gejala khas dari tetanus).
 Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
 Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka
mulut (trismus).
 Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk, ketegangan otot rahang dan leher
( mendadak).
 Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada defiasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, indra pengecapan.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea dan spame otot pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot-otot pernafasan.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin
(bakterimia)
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot
pengunyah.

C. Rencana Keperawatan
1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis,
dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil
pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah abnormal(Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria Hasil :
 Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
 Pernafasan 16-18 kali/menit
 Tidak ada pernafasan cuping hidung
 Tidak ada tambahan otot pernafasan
 Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas
normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Intervensi dan Rasional
a. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R/ Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk
meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respiransi tetap berjalan
lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
b. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan suara nafas
(adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
R/ Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan
atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga
perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
c. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir dengan
melakukan suction
R/ Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan sekret,
sehingga mempermudah proses respirasi.
d. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
e. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill
time yang memanjang/lama.
f. Observasi timbulnya gagal nafas.
g. R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi
yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical
ventilation).
h. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer sekresi(mukolitik)
R/ Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental sehingga
mempermudah pengeluaran dan memcegah kekentalan.

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat


spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng,
kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria Hasil :
 Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn
oksigen
 Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
 Tidak sianosis
Intervensi dan rasional :
a. Monitor irama pernafasan dan respirati rate
R/ Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari pernafasan dapat
dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
b. Atur posisi luruskan jalan nafas.
R/ Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi dapat
berjalan dengan lancar.
c. Observasi tanda dan gejala sianosis
R/ Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan
suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
d. Oksigenasi
R/ Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
e. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R/ Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill
time yang memanjang/lama.
f. Observasi timbulnya gagal nafas.
R/ Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi
yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical
ventilation).
g. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
R/ Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi
jaringan.

3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin


(bakterimia) yang ditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel
darah putih lebih dari 10.000 /mm3.
Tujuan : Suhu tubuh normal
Kriteria :
 36-37oC,
 hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
Intervensi dan rasional :
a. Atur suhu lingkungan yang nyaman
R/ Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh
individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan
konveksi.
b. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam.
R/ Identifikasi perkembangan gejala-gejala ke arah syok exhaution.
c. 3 . Berikan hidrasi atau minum yang cukup .
R/ Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi
badan dari dalam.
d. Lakukan tindakan teknik aseptik dan antiseptik pada perawatan luka.
R/ Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih
berada disekitar luka.
e. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi ekternal rangsangan kejang.
R/ Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu
tubuh dengan cara proses konduksi.
f. Laksanakan program pengobatan antibiotik dan antipieretik.
R/ Obat-obat antibakterial dapat mempunyai spektrum lluas untuk
mengobati bakteeerria gram positif atau bakteria gram negatif.
Antipieretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi
panas.
g. Kolaboratif dalam pemeriksaan lab leukosit.
R/ Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 10.000 /mm3
mengindikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan
pengobatan yang diprogramkan.

4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot


pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang
masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan
menurun ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg
%.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil :
 BB optimal
 Intake adekuat
 Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi dan rasional:
a. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesulitan dalam makan dan
pentingnya makanan bagi tubuh
R/ Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah
sehingga klien mengalami kesulitan menelan dan kadang timbul refflek
balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang adequat diharapkan
klien dapat berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
b. Kolaboratif :
Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur kasar.
R/ Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka
mulut dan proses mengunyah.
c. Pemberian carian per IV line
R/ Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan
ketidakmampuan mengunyak atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
d. Pemasangan NGT bila perlu
R/ NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk
memberikan obat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta :EGC
Doengoes, ME .2000 Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 2, Jakarta : EGC.
Lynda Juall C, 2003. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerjemah
Monica Ester, EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzane C.2002 . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8 vol
3.Jakarta :EGC
http://firwanintianur93.blogspot.com/2020/05/laporan-pendahuluan-tetanus.html

Anda mungkin juga menyukai