Anda di halaman 1dari 14

TETANUS

Tetanus adalah penyakit yang diakibatkan toksin kuman Clostrydium tetanii, bermanifestasi
sebagai kejang otot proksimal, diikuti kekakuan otot seluruh badan (Hudak and Gallo, 1994 :79).
Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot maseter

EPIDEMIOLOGI

Di Amerika rata-rata usia pasien tetanus berkisar antara 50 s.d 57 tahun. Tetanus juga dapat
menyerang semua golongan umur : bayi (tetanus neonatorum). Dewasa muda (biasanya pecandu
narkotik) Kuman ini bisa tersebar luas diseluruh tanah terutama tanah garapan yang berasal dari
kotoran hewan

KLASIFIKASI

Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme
pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan
menghilang.
2. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul mendadak
dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung daan sakit kepala merupakan
manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi otot somatic meluas. Timbul kejang
tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian
bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan
terpisah oleh periode relaksasi.
3. Tetanus segal: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf
III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.

Berdasarkan berat gejala dapat dibedakan menjadi 3 stadium, yaitu:

1. Trismus (3 cm) tanpa kejang torik umum meskipun dirangsang.


2. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
3. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.

ETIOLOGI

Clostrydium tetanii adalah kuman berbentuk batang, ramping berukuran 2.5 X 0.4
sampai 0.5 milimikron.
Kuman ini berspora termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob.
Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya diujung, penabuh
genderang (drum stick).
Kuman ini mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksin.
Toksin ini (tetanospasmin) mula mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer
setempat, toksin ini labil pada pemanasan. Pada suhu 650 C akan hancur dalam 5 menit.
Toksin bersifat antigen, sangat mudah diikat jaringan saraf dan bila dalam keadaan terikat tidak
dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah
dinetralkan oleh antitoksin spesifik.

PATOGENESIS

Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti; luka tertusuk paku, pecahan kaca
atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui pemotongan
tali pusat.

2. Organisme multipel membentuk dua toksin yaitu tetanopasmin yang merupakan toksin kuat
dan atau neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot dan mempengaruhi
sistem syaraf pusat. Kemudian tetanolysin yang tampaknya tidak signifikan.

3. Exotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem syaraf pusatdengan melewati akson
neuron atau sistem vaskular. Kuman ini menjadi terikatpada sel syaraf atau jaringan syaraf dan
tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toxin yang bebas dalam peredaran
darah sangat mudah dinetralkan oleh arititosin.

4. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toxin; adalah pertama toxin diabsorbsi pada ujung
syaraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat. Kedua
toxin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk
kesusunan syaraf pusat.

5. Toxin bereaksi pada myoneural junktion yang menghasilkan otot menjadi kejang dan mudah
sekali terangsang.

6. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari. Kasus yang sering terjadi adalah 14
hari. Sedangkan untuk neonatus biasanya 5 sampai 14 hari.

MANIFESTASI KLNIK

Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :


1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot otot mastikarotis
2. Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot otot erektor)
3. Kejang otot dinding perut (harus dibedakan dari kolik abdomen akut)
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin yang terdapat di kornu anterior.
5. Rhesus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas) sudut mulut tertarik keluar
dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang kejang, nyeri kepala, nyeri anggota badan
sering merupakan gejala dini.
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan
ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat, spasme mula mula intermitten diselingi
periode relaksasi, kadang-kadang terjadi perdarahan intramuskulus karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urin
dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena
kontraksi yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10. Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian cairan otak.
Menurut beratnya gejala dapat dibedakan 3 stadium yaitu :
DIAGNOSIS

pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang.

2. pemeriksaan darah (kalsium dan fosfat).

3. Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot rahang.

4. Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit

5. Pemeriksaan Ecg dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler

TATALAKSANA

1. Umum :
a. Merawat dan membersihkan luka dgn sebaik-baiknya
b. Diet cukup ka;lori dan protein ( bentuk makanan tergantungpada kemampuan
membuka mulut dan menelan ).
c. Isolasi klien untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tidakan thd
klien lainnya
d. Oksigen dan pernapasan buatan dan tracheotomy kalau perlu.
e. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Obat-obatan :
a. Anti toksin . Tetanus Imun Glubolin (TIG ) lebih dianjurkan pemakainnya di
bandingkan dengan anti tetanus serum (ATS) dari hewan. Disis initial TIG
adalah 5000 U IM ( disis harian 500 6000 U ). Kalau tidak adaTIG diberi ATS
dgn dosis 5000 U IM dan 5000 U IV.
b. Anti kejang.
Beberapa obat yg dapat diberikan :

Obat Dosis Efek samping


- Diasepam 0,5 10 mg/kg BB /24 jam IM - Sopor, koma
- Meprobamat 300 400 mg/4 jam IM - Tidak ada
- Klorpromasin 25 75 mg /4 jam IM - Hipotensi
- Fenobarbital 50 100 mg / 4 jam IM - Depresi nafas

KOMPLIKASI

Patah tulang (fraktur)

Kejang otot berulang-ulang dan kejang-kejang yang disebabkan oleh infeksi tetanus dapat
menyebabkan patah tulang di tulang belakang, dan juga di tulang lainnya. Patah tulang kadang-
kadang dapat menyebabkan kondisi yang disebut myositis circumscripta ossificans, yang mana
tulang mulai terbentuk dalam jaringan lunak, sering di sekitar sendi.

2.6.2 Aspirasi pneumonia

Jika Anda memiliki infeksi tetanus, rigiditas otot dapat membuat batuk dan menelan sulit. Hal ini
dapat menyebabkan pneumonia aspirasi untuk berkembang. Aspirasi pneumonia terjadi sebagai
akibat menghirup sekresi atau isi perut, yang dapat menyebabkan infeksi saluran pernapasan
bawah.

2.6.3 Laryngospasm

Laryngospasm adalah tempat laring (kotak suara) masuk ke dalam kejang, singkat sementara
yang biasanya berlangsung 30-60 detik. Laryngospasm mencegah oksigen dari mencapai paru-
paru Anda, membuat sulit bernapas. Setelah serangan laryngospasm, pita suara Anda biasanya
akan rileks dan kembali normal. Namun, dalam kasus yang sangat parah, laryngospasm dapat
mengakibatkan asfiksia (mati lemas). Tidak ada obat untuk efektif mengobati laryngospasm,
tetapi duduk dan mencoba untuk rileks seluruh tubuh Anda dapat mempercepat pemulihan.

2.6.4 Pulmonary embolism

Suatu emboli paru adalah kondisi serius dan berpotensi mengancam nyawa. Hal ini disebabkan
oleh penyumbatan dalam pembuluh darah di paru-paru yang dapat mempengaruhi pernapasan
dan sirkulasi. Oleh karena itu, penting bahwa pengobatan segera diberikan dalam bentuk obat
anti-pembekuan dan, jika diperlukan, terapi oksigen.

PENCEGAHAN

1) Mencegah terjadinya luka


2) Merawat luka secara adekuat.
3) Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka akan memberikan
kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa inkubasi.
Umumnya diberikan dalam dosis 1500 unit IM setelah dilakukan tes kulit.

PROGNOSIS
Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan yaitu :
1) Masa inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari)
2) Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 tahun)
3) Frekuensi kejang yang sering
4) Kenaikan suhu tubuh yang tinggi
5) Pengobatan
6) Periode trismus dan kejang yang semakin sering
7) Adanya penyulit spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas

ASKARIASIS
Askariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi cacing Ascaris Lumbricoides atau
cacing gelang

EPIDEMIOLOGI

iperikan prevalensinya di dunia sekitar25 % atau 1,25 miliar penduduk di dunia. Biasanya
bersifat asimtomatis. Prevalensi paling besar pada daerah tropis dan di negara berkembang di
mana sering terjadi kontaminasi tanah oleh tinja sebagai pupuk. Masyarakat dengan kondisi
sosial ekonomi yang rendah memiliki prevalensi infeksi yang tinggi, demikian juga pada
masyarakat yang menggunakan tinja sebagai pupuk dan dengan kondisi geografis yang
mendukung. Walaupun infeksi dapat menyerang semua usia, infeksi tertinggi terjadi pada anak-
anak pada usia sebelum sekolah dan usia sekolah. Penyebarannya terutama melalui tangan ke
mulut (hand to mouth) dapat juga melalui sayuran atau buah yang terkontaminasi. Telur askaris
dapat bertahan selama 2 tahun pada suhu 5-10 C

Menurut World Health Organization (WHO), intestinal obstruction pada anak-anak


menyebabkan komplikasi fatal, menyebabkan 8000 sampai 100,000 kematian per tahun.

ETIOLOGI

Etiologi askariasis adalah ascaris lumbricoides, manusia merupakan satu-satunya hospes.


Penyebab dari Ascariasis adalah Ascaris Lumbricoides. Ascaris termasuk Genus Parasit usus dari
kelas Nematoda: Ascaris Lumbricoides: cacing gelang (Garcia, 1996: 138). Menurut Reisberrg
(1994: 339) ascaris adalah cacing gilig usus terbesar dengan cacing betina dengan ukuran
panjang 20-35 cm dan jantan dewasa 15-35 cm. Rata-rata jangka hidup cacing dewasa sekitar 6
bulan.

PATOGENESIS

Cacing betina menghasilkan 240.000 telur setiap hari yang akan terbawa bersama tinja.

Telur fertil jika jatuh pada kondisi tanah yang sesuai, dalam waktu 5-10 hari telur tersebut
dapat menginfeksi manusia.

Telur dapat bertahan hidup di dalam tanah selama 17 bulan. Infeksi umumnya terjadi melalui
kontaminasi tanah pada tangan atau makanan.

Kemudian masuk pada usus dan akan menetas pada usus kecil (deudenum).

Pada tahap kedua larva akan melewati dinding usus dan akan berpindah melalui sistem portal
menuju hepar (4d) dan kemudian paru.

Infeksi yang berat dapat di ikuti pneumonia dan eosinifilia. Larva kemudian dibatukkan dan
tertelan kembali menuju jejunum.

Diperlukan waktu 65 hari untuk menjadi cacing dewasa.

MANIFESTASI KLNIK

Hanya sebagian kecil yang menunjukkan gejala klinis, sebagian besar asymtomatis.

1. Larva pada paru menimbulkan sindroma Loeffler, dari yang ringan seperti batuk sampai yang
berat seperti sesak nafas.
2. Cacing dewasa
- gangguan usus ringan
- infeksi berat : malabsorbsi yang memperberat malnutrisi, ileus, infeksi ektopik ke empedu,
appendiks atau bronkus

Ditemukannya telur askaris lumbricoides dalam tinja atau keluarnya cacing dewasa lewat
muntah atau tinja pasien.
Gejala di sebabkan oleh larva maupun cacing dewasa, adanya larva dalam tubuh akan
menimbulkan batuk, demam, eosinofilia, dan gambaran infiltrat pada poto toraks yang akan
menghilang dalam waktu 3 minggu, dikenal sebagai sindrom loffler. Gejala yang di timbulkan
oleh cacing dewasa adalah mual, nafsu makan berkurang, diare, atau konstipasi. Pada keadaan
berat dapat mengakibatkan malabsorpsi dan obstruksi usus. Cacing dewasa yang mengembara ke
organ-organ lain akan menimbulkan gangguan tersendiri, misalnya ke saluran empedu, apendiks
atau bronkus.
DIAGNOSIS

Pemeriksaan laboratorium merupakan diagnosa pasti dari askariasis. Diagnosa askariasis


ditegakkan dengan pemeriksaan feses pasien dimana dijumpai telur cacing askaris. Setiap satu
ekor cacing askaris mampu memproduksi jumlah telur yang banyak, sehingga biasanya pada
pemeriksaan pertama bisa langsung ditemui.

Saat cacing bermigrasi masuk ke paru biasanya berhubungan dengan eosinophilia dan ditemui
gambaran infitrat pada foto dada. Bahkan pada kasus obstruksi tidak jarang diperlukan foto polos
abdomen, USG atau pemeriksaan lainnya.

Diagnosis askariasis ditegakkan dengan menemukan Ascaris dewasa atau telur Ascaris pada
pemeriksaan tinja.

TATALAKSANA

1. Obat pilihan: piperazin sitrat (antepar) 150 mg/kg BB/hari, dosis tunggal dengan dosis
maksimum 3 g/hari

2. Heksil resorsinol dengan dosis100 mg/tahun (umur)

3. Oleum kenopodii dengan dosis 1 tetes/tahun (umur)

4. Santonin : tidak membinasakan askaris tetapi hanya melemahkan. Biasanya dicampur


dengan kalomel (HgCl= laksans ringan) dalam jumlah yang sama diberikan selama 3 hari
berturut-turut.

Dosis : 0-1tahun = 3 x 5 mg

1-3 tahun = 3 x 10 mg

3-5 tahun = 3 x 15 mg

Lebih dari 5 tahun =3 x 20 mg

Dewasa = 3 x 25 mg

5. Pirantel pamoat (combantrin) dengan dosis 10 mg/ kg BB/hari dosis tunggal.


6. Papain yaitu fermen dari batang pepaya yang kerjanya menghancurkan cacing. Preparatnya
: Fellardon.

7. Pengobatan gastrointestinal ascariasis menggunakan albendazole (400 mg P.O. sekali untuk


semua usia), mabendazole (10 mg P.O. untuk 3 hari atau 500 mg P.O. sekali untuk segala usia)
atau yrantel pamoate (11 mg/kg P.O. sakali, dosis maksimum 1 g). Piperazinum citrate (pertama :
150 mg/kg P.O. diikuti 6 kali dosis 6 mg/kg pada interval 12 hari)

KOMPLIKASI

elama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang berat dan
pneumonitis, dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya pneumonia.

PENCEGAHAN

Program pemberian antihilmitik yang dilakukan dengan cara sebagai berikut.

1. Memberikan pengobatan pada semua individu pada daerah endemis

2. Memberikan pengobatan pada kelompok tertentu dengan frekuensi infeksi tinggi seperti
anak-anak sekolah dasar.

3. Memberikan pengobatan pada individu berdasarkan intensitas penyakit atau infeksi yang
telah lalu.

4. Peningkatan kondisi sanitasi

5. Menghentikan penggunaan tinja sebagai pupuk.

6. Memberikan pendidikan tentang cara-cara pencegahan ascariasis.

ANKILOSTOMIASIS

Ankilostomiasis (infeksi cacing tambang pada manusia) adalah infeksi cacing yang ditularkan
melalui tanah yang disebabkan oleh nematoda parasit Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale.

EPIDEMIOLOGI

i dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing. Prevalensi yang tinggi ditemukan
terutama di negara-negara non industri (negara yang sedang berkembang).Merid mengatakan
bahwa menurut World Health Organization (WHO) diperkirakan 800 juta1 milyar penduduk
terinfeksi Ascaris, 700900 juta terinfeksi cacing tambang, 500 juta terinfeksi trichuris.
Prevalensi dan intensitas tertinggi didapatkan dikalangan anak usia sekolah dasar. nfeksi cacing
tambang juga berhubungan dengan kemiskinan. Menurut Peter Hotez (2008), semakin parah
tingkat kemiskinan masyarakat akan semakin berpeluang untuk mengalami infeksi cacing
tambang. Hal ini dikaitkan dengan kemampuan dalam menjaga higiene perorangan dan sanitasi
lingkungan tempat tinggal (Hotez, 2008 cit Sumanto, 2010).

ETIOLOGI

Penyakit cacing tambang disebabkan oleh cacing Necator americanus, Ancylostoma duodenale,
dan jarang disebabkan oleh Ancylostoma braziliensis, Ancylostoma caninum, Ancylostoma
malayanum. Penyakitnya disebut juga ankilostomiasis, nekatoriasis, unseriasis (Pohan, 2009).

Daur hidup Ancylostoma duodenale:

Telur larva rabditiform larva filariform menembus kulit kapiler darah jantung kanan
paru bronkus trakea laring usus halus (Margono, 2006).

PATOGENESIS

Telur dihasilkan oleh cacing betina dan keluar memalui tinja. Bila telur tersebut jatuh ke tembat
yang hangat, lembab dan basah, maka telur akan berubah menjadi larva yang infektif. Dan jika
larva tersebut kontak dengan kulit, bermigrasi sampai ke paru-paru dan kemudian turun ke usus
halus; di sini larva berkembang menjadi cacing dewasa (Pohan, 2009). Infeksi terjadi jika larva
filariform menembus kulit. Infeksi A.duodenale juga mungkin dengan menelan larva filariform
(Margono, 2006).

MANIFESTASI KLNIK

1. Penetrasi kulit

a. Satu atau dua hari setelah larva menembus kulit terjadi eritema dan gatal (ground itch atau
dew itch) dengan bintik-bintik merah. Dalam 10 hari keadaan ini hilang.

b. Gambaran yang kedua terjadi urtikaria segera larva berada di atas kulit. Kondisi ini terjadi
dalam beberapa jam, setelah itu bintik merah hilang.

2. Pasase paru-paru

Pasase paru-paru dapat menimbulkan bronchitis atau pneumonitis, tergantung pada kepekaan
individu.

3. Stadium dewasa dalam usus

Adanya cacing dewasa dalam usus dapat menyebabkan sakit perut, muntah, kembung, sering
flatus, diare dan malaise umum yang muncul pada beberapa pasien 8 30 hari setelah infeksi.
Symptom utama adalah pallor kulit (kulit pucat), muka pucat, kadang-kadang terdapat udema
pada tungkai bawah. Para penderita kebanyakan kulitnya berwarna kuning.

Ancylostoma duodenale menyebabkan anemia yang lebih cepat daripada Necator americanus.
Patogenitas Ancylostoma brazillensis lebih sederhana. Menurut penelitian, anemia biasanya
muncul 10-20 minggu setelah infeksi dan kemudian perlahan-lahan terus menaik.

4. Bila larva filariform tertelan Akan meinmbulkan Wakana disease.

DIAGNOSIS

Diagnosis pasti infeksi cacing tambang ditetapkan melalui pemeriksaan mikroskopik atas tinja
yang dilakukan untuk memukan telur cacing.

Gambaran klinis infeksi cacing tambang yang tampak dapat berupa:

1. Anemia hikromik mikrositer

2. Gambaran umum kekurangan darah: pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah lepas

3. Rasa tak enak di epigastrium

4. Sembelit, diare atau steatore

5. Ground-itch (gatal kulit di tempat masuknya larva cacing)

6. Gejala bronkitis : batuk, kadang-kadang dahak berdarah

Pemeriksaan darah menunjukan gambaran:

1. hemoglobin, menurun < 11.5 g/dl (wanita) < 13.5 g/dl (pria)

2. MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration), kurang dari dari 31-36 g/dl.

Permeriksaan sumsum tulang, menunjukan gambaran hiperplasi normoblastik.

Pada hapusan darah, terdapat gambaran:

1. Hipokromik mikrositer

2. Terdapat leukopeni dengan limfositosis relatif. Jumlah lekosit kurang dari 4.000/ml

3. Eosinofilia, dapat mencapai 30%


4. Anisositosis, atau poikilositosis

TATALAKSANA

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi anemia maupun untuk memberantas cacingnya, yaitu:

1. Pengobatan anemia mengunakan preparat besi, yang diberikan per oral atau parenteral.

2. Folic acid diberikan, bila terjadi anemia megaloblastik.

3. Obat cacing yang dapat diberikan per oral: Pirantel pamoat, Oxantel pamoat, mebendazol
dan levamisol

PENCEGAHAN

Untuk mencegah terjadinya infeksi baru maupun reinfeksi dilakukan.


1. Pengobatan masal dan perorangan dengan obat cacing
2. Pendidikan kesehatan : membuat jamban yang baik, dan berjalan di tanah selalu
menggunakan alas kaki.

A. PENGERTIAN

Cacing Cambuk. Dalam bahasa latin cacing cambuk disebut Trichuris trichiura. Nama penyakit
yang ditimbulkannya disebut trikuriasis.

Trichuris trichiura (cacing cambuk) adalah salah satu cacing penyebab penyakit cacingan pada
manusia.Cacingan merupakan penyakit yang endemik dan kronik. Tidak mematikan, tetapi
mengganggu kesehatan tubuh manusia dan dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia
(SDM).

B. MORFOLOGI

Cacing betina panjangnya hingga mencapai kira-kira 5 cm, sedangkan untuk cacing jantan kira-
kira 4 cm. pada bagian anterior dari cacing ini memiliki seperti cambuk yang panjangnya 3/5 dari
panjang tubuh cacing ini. Bagian posterior cacing ini bentuknya lebih gemuk, sedangkan pada
cacing betina bentuknya membulat dan tumpul. Pada cacing jantan melingkar dan terdapat satu
spikulum. Hidup cacing ini pada manusia terdapat di colon asendens dan sekumdengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus.

Cacing betina dapat menghasilkan telur setiap harinya hingga berkisar antara 3000-10.000 butir.
Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, yang memiliki bentuk seperti tempayan dengan
semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-
kuningan dengan bagian dalamnya yang jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes dari
tinja hospes. Telur akan menjadi matang setelah 3 6 minggu pada kondisi lingkungan yang
sesuai pada tanah dan lembab serta daerah yang teduh. Telur yang matang merupakan telur yang
didalamnya berisi larva dan merupakan bentuk infektifnya. Cara infektif langsung hanya bila
secara kebetulan hospes tertelan telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan kemudian
akan masuk ke dalam usus halus. Setelah cacing ini dewasa maka cacing ini akan turun ke usus
bagian distal dan akan masuk kedalam kolon yaitu terutama sekum. Jadi cacing ini tidak
mempunyai siklus paru. Lamanya waktu yang dibutuhkan telur ini tumbuh dari telur ini tertelan
sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari.

C. PENYAKIT YANG TIMBUL AKIBAT INFEKSI PARASIT Trichuris trichiura

Cacing trichuris trichiura pada manusia terutama hidup didaerah sekum dan kolon asendens.
Pada infeksi berat terutama pada anak-anak cacing trichuris trichiura ini tersebar diseluruh kolon
dan rectum yang kadang-kadang terlihat terlihat dimukosa rectum yang mengalami prolapsus
akibat dari mengejannya penderita pada waktu melakukan defekasi.

Cacing trichuris trichiura ini memasukan kepalanya dalam mukosa usus hingga dapat menjadi
trauma yang menimbulkan iritasi dan dapat mengakibatkan peradangan dimukosa usus, selain itu
akibatnya dapat menimbulkan perdarahan. Selain itu juga cacing ini menghisap darah dari
hospes sehingga dapat mengakibatkan anemia. Untuk penderita pada anak-anak dengan infeksi
trichuris trichiura yang berat dan menahunmenunjukan gejala-gejala diare yang dapat diselinggi
dengan sindrom disentri, anemia, nyeri ulu hati, berat badan menurun dan kadang- Kadang
rektum menonjol melewati anus (prolapsus rektum), terutama pada anak-anak atau wanita dalam
masa persalinan, selain itu juga dapat menyebabkan peradangan usus buntu (apendisitis).

Pada tahun 1976, bagian parasitologi FKUI telah melaporkan 10 anak dengan trichuris trichiura
berat mengakibatkan diare yang menahun, dapat hingga 2-3 tahun. Infeksi berat trichuris
trichiura dapat diselinggi dengan infeksi cacing yang lainnya atau protozoa. Infeksi ringan tidak
memberikan gejala klinis yang jelas hingga tidak terdapat gejala klinis sama sekali hingga harus
dilakukan pemeriksaan tinja secara rutin.

Selain itu juga Telah dilakukan suatu pemeriksaan tinja dengan metoda langsung, pengapungan
dan sedimentasi yang bertujuan untuk mengetahui metoda yang paling sensitif dalam mendeteksi
adanya telur cacing. Penelitian dilakukan atas murid-murid Sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Alhidayah Sukatani bulan Juni-Juli 1992, dengan jumlah seluruh sampel 130. Hasil
menunjukkan bahwa metoda yang paling tinggi sensitifitasnya adalah metoda sedimentasi, lalu
metoda pengapungan dan yang paling rendah adalah metoda langsung. Untuk kasus trichuris
trichiura didapatkan sebanyak 20,8%.
D. DAMPAK KESEHATAN DARI PARASIT Trichuris trichiura

Untuk mengambil makanan cacing Trichuris trichiura memasukkan tubuh bagian interiornya ke
dalam mukosa usus hospes. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di dalam usus manusia (Faust
et al, 1990). Kerusakan mekanik pada bagian kolon disebabkan oleh kepala cacing yang masuk
ke dalam epitel, tidak dijumpai peradangan kolon yang difus, apabila terjadi disentri, mukosa
menjadi sembab dan rapuh.

Dalam masyarakat, infeksi cacing T. trichiura dengan gejala ringan tidak banyak menimbulkan
perhatian. Pada infeksi berat dengan diare yang terus menerus dengan darah di dalam tinja.
Adanya kasus diare yang sedang berlangsung selama berbulan-bulan menyebabkan pertumbuhan
anak tidak memuaskan, berat badan berkurang dan tidak sesuai dengan umur (Margono, 2001).

Pada kasus infeksi berat, dapat menimbulkan intoksikasi sistemik dan di ikuti anemia yang dapat
menyertai infeksi dengan kadar Hb 3 mg per 100 ml darah. Rupanya cacing ini juga mengisap
darah hospes, perdarahan dapat terjadi pada tempat melekatnya, kira-kira 0,005 ml darah setiap
hari terbuang akibat di isap oleh se ekor cacing ini (Brown, 1993). Berbagai gangguan tersebut di
atas, ternyata dapat mengakibatkan pula gangguan kognitif secara tidak langsung. Dilaporkan
oleh Hadidjaya (1996) bahwa gangguan kognitif bisa terjadi secara langsung, ia menemukan
terdapat hubungan kausal antara infeksi cacing Ascaris lumbricoides dengan fungsi kognitif.
Penelitian Nokes, dkk. (1998) melakukan tes kognitif terhadap anak-anak usia sekolah (9-12
tahun) yang terinfeksi cacing Trichuris trichiura dari sedang sampai berat. Hasil tes menunjukkan
penurunan kandungan cacing cenderung secara bermakna dapat meningkatkan daya ingat dan
pendengaran. Jadi ada hubungan kausal antara anak usia sekolah yang terinfeksi cacing dengan
kemampuan kognitifnya.

Mohammad (2004) menggunakan TONI-tes (tes non verbal intelligence) untuk melihat
gangguan fungsi kognitif anak-anak yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris
trichiura dari sedang sampai berat pada anak-anak Sekolah Dasar di daerah pedesaan Trengganu
(Malaysia), ternyata intensitas penyakit cacingan tersebut mempunyai pengaruh bermakna
terhadap kemampuan anak dalam memecahkan masalah.

Di Indonesia prevalensi infeksi A. lumbricoides 71 %, T. trichiura 80 % dan Cacing tambang 40


% pada anak-anak Sekolah Dasar. Adanya gangguan kognitif secara langsung maupun tidak
langsung pada penderita infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, menunjukkan bahwa mutu
sumber daya manusia di Indonesia paling sedikit 65 % terganggu. Upaya pemberantasan
penyakit cacingan secara berkesinambungan, dapat menurunkan bahkan mungkin
menghilangkan sama sekali infeksi cacing di masyarakat. Dengan upaya ini diharapkan mutu
sumber daya manusia masyarakat Indonesia dapat ditingkatkan.
E. PENANGANAN INFEKSI PARASIT Trichuris trichiura

Untuk infeksi ringan tidak memerlukan pengobatan. Untuk pemberian obat tiabendazol dan
ditiazin tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan. Saat ini obat yang digunakan yaitu
mebendazol, albendazol, dan oksantel pamoat dapat mengobati dan didapatkan hasil yang cukup
memuaskan. Pengobatan dengan Mebendazol tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena
bisa membahayakan janin yang dikandungnya.

Penggunaan farmakologi untuk pengobatan infeksi T.trichiura antara lain:

Mebendazol

Bentuk sediaan : tablet, sirup 100 mg/ 5ml (botol 30 ml)

Cara kerja obat : memiliki khasiat sebagai obat kecacingan yang mempunyai jangkauan luas
terhadap cacing-cacing parasit.

Aturan pemakaian : 100 mg, 2 kali sehari selama3 hari

Efek yang tidak diinginkan : kadang-kadang terjadi nyeri perut, diare, sakit kepala, demam,
gatal-gatal, ruam kulit

Tidak boleh digunakan pada anak-anak balita dan wanita hamil.

Albendazol; dosis tunggal 400 mg

Oksantel pirantel pamoat; dosis tunggal 10-15 mg/kgBB

Anda mungkin juga menyukai