Anda di halaman 1dari 22

CLINICAL SCIENCE SESSION

TETANUS

Preseptor:
dr. Alya Tursina, SpS, M.H.Kes

Presentan:
Tjut S Ghassani
NPM 12100118143

SMF ILMU PENYAKIT SARAF RS TNI AU DR. M. SALAMUN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2020

1
HISTOLOGI OTOT
Klasifikasi otot :
1. Secara fungsional: Voluntary atau Involuntary
2. Secara struktural: Striated or Smooth
3. Kombinasi:
 Smooth involuntary muscle = smooth muscle (otot polos) Otot polos terdiri
atas kumpulan sel-sel fusiform yang tidak bergaris.
 Striated involuntary muscle = cardiac muscle (otot jantung) Otot jantung
memiliki garis-melintang dan terdiri atas sel-sel panjang yang bercabang,
yang terletak paralel satu sama lain.
 Striated voluntary muscle = skeletal muscle (otot rangka) Otot rangka terdiri
atas berkas-berkas sel multit-nuklear dan silindris yang sangat panjang, yang
memiliki garisgaris melintang (lurik). Jaringan otot sebagai materi
pembangun adalah otot halus dan otot jantung, sedangkan jaringan otot
sebagai organ adalah otot rangka.
Semua jaringan otot terdiri atas sel-sel memanjang yang disebut serat. sitoplasma sel otot
disebut sarkoplasma (sarcoplasma), membran sel sekitar disebut sarkolema (sarcolemma).
Otot rangka adalah otot yang menyelubungi rangka di tubuh dan kerjanya disadari oleh
kita, yang terdiri dari sel multinukleus silindris panjang, dengan inti-inti tersebar di
perifer. Setiap sarkoplasma serat otot (myofibra) mengandung miofibril (myofibrilla),
Miofibril terdiri dari sarkomer (unit kontraktil) yang di dalamnya terdapat miofilamen
aktin dan myosin. Sarkomer membentuk muscle fiber yang dikelilingi oleh sarcolema
dan mitokondria, kumpulan muscle fiber membentuk bundle of muscle yang diselubungi
oleh endomisium, kumpulan bundle of muscle membentuk fesikel yang dikelilingi oleh
perimisium, kumpulan fesikel akan membentuk skeletal muscle yang diselubungi oleh
epimisium.

2
3
FISIOLOGI
1. Asetilkolin (Ach) dilepaskan oleh terminal sinapsis (akson terminal) berdifusi
melintasi celah sinaps dan berikatan dengan protein reseptor pada membran
plasma serat otot. Hal ini akan memicu potensial aksi yang akan merambat
sepanjang membran plasma.
2. Potensial aksi yang merambat tadi, akan menuruni tubulus (perhatikan tanda
panah merah)
3. ketika potensial aksi yang terdapat pada tubulus T melewati Retikulum
sarkoplasmik. Hal ini akan menyebabkan permeabilitas membran sarkoplasmik
berubah sehingga melepaskan ion Ca2+ ke bagian sitosol melalui mekanisme
transpor aktif dengan bantuan protein transpor yang terdapat pada membran RS.
4. Ion Ca2+ akan berikatan dengan kompleks troponin (bulat berwarna ungu)
menyebabkan perubahan konformasi tropomiosin (benang berwarna abu-abu)
sehingga sisi pelekatan aktin akan mengarah/terorientasi ke miosin). Sehingga
miosin dapat melekat pada sisi pelekatan aktin.
5. Pelekatan miosin dengan sisi filamen aktin membentuk Cross-bridge (jembatan
silang/kaitan silang).
6. Pergerakan kepala miosin saat menggeser filamen aktin membutuhkan hidrolisis
ATP sehingga otot dapat berkontraksi.
7. Ca2+ didalam sitosol akan dipindahkan kembali ke dalam RS dengan mekanisme
transpot aktif. Hal akan menyebabkan berkurangnya akumulasi ion Ca2+ di
sitosol dan memungkinkan otot dalam fase relaksasi karena ion Ca2+ tidak
berikatan dengan troponin.

4
5
CLINICAL SCIENCE
TETANUS

DEFINISI
• Kejang otot yang terlokalisir atau menyeluruh yang disebabkan oleh
tetanospasmin (toxin) yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani. (Merritt’s)
• Tetanus adalah penyakit akut, sering fatal, yang disebabkan oleh eksotoksin yang
dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani.Hal ini ditandai dengan kekakuan
umum dan kejang konvulsif otot rangka. Kekakuan otot biasanya melibatkan
rahang (lockjaw) dan leher dan bisa menjadi menyeluruh. (CDC)
• Tetanus adalah penyakit tidak menular akibat dari kontak dengan spora dari
bakteri Clostridium tetani yang ada di seluruh dunia baik di saluran cerna hewan
maupun di tanah. Neurotoksin yang dikeluarkan oleh bakteri tersebut pada saat
anaerob dapat menyebabkan tetanus. (WHO)

EPIDEMIOLOGI
• Tetanus ibu dan bayi baru lahir didunia merupakan penyebab penting dari
kematian ibu dan bayi, sekitar 180.000 kehidupan di seluruh dunia setiap tahun,
hampir secara eksklusif di negara-negara berkembang
• Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus tertinggi di Asia. Pada
tahun 2016 dilaporkan terdapat 33 kasus dari 7 provinsi dengan jumlah
meninggal 14 kasus atau.Kasus TN paling banyak terjadi di provinsi Jawa Timur
(19kasus). Dibandingkan tahun 2015, terjadi penurunan baik jumlah kasus yaitu
53 kasus dari 13 provinsi. Riskesdas, kegawatdaruratan neuro

FAKTOR RESIKO
a) Luka tusukan
b) Luka operasi
c) Luka bakar
d) Suntikan parenteral
e) Tidak imunisasi
f) Persalinan yang tidak steril

ETIOLOGI
Clostridium Tetani dengan ciri-ciri sebagai berikut: cdc, kegawatdaruratan, buku dimas

6
a) Basil Gram-positif anaerob dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran “drum stick”.
b) Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella
c) Menghasilkan 2 macam eksotosin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospamin disebut juga neurotoksin karena toksin ini dapat menuju sistem
saraf pusat dan menimbulkan gejala berupa kekakuan, kejang-kejang, dan spasme
otot. Tetanolisin menyebabkan lisis sel-sel darah merah.
d) Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi 249,8 ° F (121 ° C) selama 10-15 menit, kekeringan dan desinfektans.
e) Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari
lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang
tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang anaerob
dapat berubahmenjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan eksotoksin.

Perwarnaan Gram Clostridium tetani

KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan manifestasi klinisnya, dapat dibagi menjadi 3: cdc
1. Generalized Tetanus adalah bentuk paling umum. Dimulai sebagai tetanus lokal
yang menjadi umum setelah beberapa hari. Biasanya didahului oleh trismus.
Dalam beberapa kasus didahului oleh rasa kaku pada rahang atau leher, demam,
dan gejala umum infeksi. Kekakuan otot lokal dan kejang menyebar dengan cepat
ke otot bulbar, leher, batang tubuh, dan anggota badan. Timbul gejala kekakuan

7
pada semua bagian seperti trismus, risus sardonicus (dahi mengkerut, mata agak
tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah), mulut mencucu, opistotonus
(kekakuan pada otot punggung, otot leher, otot badan, trunk muscle), perut seperti
papan. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang yang terjadi secara
spontan.
Pada tetanus yang berat terjadi kejang terus menerus atau kekakuan pada
otot laring yang menimbulkan apnea. Pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah). Kematian biasanya disebabkan oleh asfiksia dari
laringospasme, gagal jantung, atau shock, yang dihasilkan dari toksin pada
hipotalamus dan sistem saraf simpatik. Terdapat trias klinis berupa rigiditas,
spasme otot dan apabila berat disfungsiotonomik.

Trismus dan Risus sardonicus Opistotonus

2. Local Tetanus memiliki gejala awal adalah kekakuan, sesak, dan nyeri di otot-
otot sekitar luka, diikuti oleh twitchings dan kejang singkat dari otot yang
terkena. Tetanus lokal terjadi paling sering dalam kaitannya dengan luka tangan
dan lengan bawah, jarang di perut atau otot paravertebral. Gejala dapat bertahan
dalam beberapa minggu atau bulan. Secara bertahap kejang menjadi kurang dan
akhirnya menghilang tanpa residu. Prognosisnya baik.
3. Cephalic tetanus merupakan bentuk tetanus lokal pada luka di wajah dan kepala.
Masa inkubasi pendek yakni 1 s.d. 2 hari. Otot yang terkena (paling sering

8
wajah) menjadi lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang wajah, lidah dan
tenggorokan, dengan disartria, disfonia, dan disfagia. Banyak kasus fatal. cdc

PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani biasanya masuk tubuh melalui luka dalam bentuk spora.
Dalam keadaan anaerob (oksigen rendah) kondisi, spora berkecambah menjadi bentuk
vegetatif dan menghasilkan racun tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin mampu
secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan
mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Klinis khas tetanus
disebabkan ketika toksin tetanospasmin yang mengganggu pelepasan neurotransmiter,
menghambat impuls inhibitor yang mengakibatkan kontraksi otot yang kuat dan spasme
otot. Calgary, buku dimas
Racun yang diproduksi dan disebarkan melalui darah dan limfatik. Racun
bertindak di beberapa tempat dalam sistem saraf pusat, termasuk motor endplate, sumsum
tulang belakang, dan otak, dan di saraf simpatis. Transport terjadi pertama kali di saraf
motorik, lalu ke saraf sensorik dan saraf autonom. Jika toksin telah masuk ke dalam sel,
ia akan berdifusi keluar dan akan masuk dan mempengaruhi ke neuron di dekatnya.
Apabila interneuron inhibitor spinal terpengaruh, gejala-gejala tetanus akan muncul.
Transpor interneuron retrogard lebih jauh terjadi dengan menyebarnya toksin ke

9
batang otak dan otak tengah. Penyebaran ini meliputi transfer melewati celah sinaps
dengan mekanisme yang tidak jelas.
Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah
toksin menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirat (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron
motorik ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang, neuron
simpatetik preganglion pada ujung lateral dan pusat parasimpatik juga dipengerahui.
Neuron dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah
neuromuskular dikurangi. Dengan hilangnya inhibisi sentral, terjadi hiperaktif otonom
serta kontraksi otot yang tidak terkontrol (kejang) dalam menanggapi rangsangan yang
normal seperti suara atau lampu. Spasme otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat
pertama kali karena jalur aksonalnaya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti,
sedangkan otot-otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat.
Setelah toksin menetap di neuron, toksin tidak dapat lagi dinetralkan dengan
antitoksin. Pemulihan fungsi saraf dari racun tetanus membutuhkan tumbuhnya terminal
saraf baru dan pembentukan sinapsis baru. Tetanus lokal berkembang ketika hanya saraf
yang memasok otot yang terkena terlibat. Genelized Tetanus terjadi ketika racun dirilis
pada luka menyebar melalui sistem limfatik dan darah ke terminal saraf.

MANIFESTASI KLINIS

10
Tetanus ditandai dengan kontraksi otot yang bersifat nyeri yang bisa terjadi demikian
hebat. Kontraksi dapat bersifat local ataupun umum. Gejala klinis tetanus terdiri dari:
gawatdarurat
1. Arus disinhibisi tak terkontrol dari saraf motorik eferen menyebabkan spasme
otot berupa:
 Rigiditas abdomen (perut papan)
 Kontraksi otot wajah (rhisus sardonicus atau rhisus smile)
 Kontraksi otot rahang dan leher menyebabkan retraksi kepala
 Trismus atau lockjaw
 Spasme otot menelan menyebabkan disfagia
 Spasme berat pada otot batang tubuh atau opistotonus dapat
menyebabkan kesulitan napas
2. Obstruksi laring akibat aspirasi yang disebabkan oleh spasme faring dan spasme
laring dapat menyebabkan respiratory failure.
3. Efek toksin pada jantung dapat menyebabkan miokarditis
4. Disotonomi muncul beberapa hari setelah spasme dan menetap selama 1-2
minggu, ditandai dengan adanya instabilitas tekanan darah, takikardia atau
bradikardia, cardiac arrest atau asistol, vasokontriksi, pireksia, hipersalivasi,
ileus, diare, diaphoresis.
5. Pada neonatus gejalanya tidak mau menetek, muntah dan kejang. gawatdarurat

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan sepenuhnya dari tanda dan gejala klinis tanpa konfirmasi
tes laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa membutuhkan penemuan salah
satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi otot yang nyeri.
Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C. tetani pada pemeriksaan
bakteriologik; C. tetani dapat ditemukan dari pasien yang tidak tetanus. Lapsus, who
Diagnosis tetanus ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. perdossi
a. Anamnesa
 Apakah terdapat luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
 Apakah sudah mendapatkan imunisasi DT atau TT, kapan melakukan imunisasi
yang terakhir?
 Berapa lama selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan kejang yang pertama? perdossi

11
b. Pemeriksaan fisik perdossi
1. Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat
2. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
3. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
kranial.
4. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher, kekakuan dada
dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang
umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan
sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
5. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi tubuh
klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang
berat dengan lordosis lumbal. Perdossi

Kriteria diagnosis berdasarkan Patel Joag: gawatdarurat


 Kriteria 1: Rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang
belakang
 Kriteria 2: Spaseme (tanpa melihat frekuensi dan derajat)
 Kriteria 3: Inkubasi antara 7 hari atau kurang
 Kriteria 4: onset 48 jam atau kurang
 Kriteria 5: Kenaikan suhu rektal sampai 100ºF atau aksila sampai 99ºF (=37,6ºC)
Dari kriteria diatas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut.
1. Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2
(mortalitas 0%)
2. Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2. Biasanya
masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam (mortalitas 10%)
3. Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang dari 7
hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4. Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
5. Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus neonatorum
(kematian 84%).

Grading tetanus berdasarkan Ablet: gawatdarurat


 Grade 1 (mild): trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada
penyulit pernapasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.

12
 Grade 2 (moderate): trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau
sedang namun singkat, penyulit pernapasan sedang dengan takipneu.
 Grade 3 (severe): trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan
sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering
dan terjadi reflex, penyulit pernapasan disertai dengan takipneu, serangan apneu,
disfagia berat, takikardia, aktivitas sistem saraf autonomy sedang yang terus
meningkat.
 Grade 4 (very severe): gejala pada grade 3 ditambah dengan gangguan otonom
yang berat seringkali menyebabkan autonomic storm.

c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk penyakit tetanus tidak khas, yaitu:
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Enzim otot serum mungkin meningkat-
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
d. Penunjang lainnya
 EKG dan EEG normal
 Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan

DIAGNOSIS BANDING perdossi


a) Meningoensefalitis
b) Poliomielitis
c) Rabies
d) Lesi orofaringeal
e) Tonsilitis berat
f) Peritonitis
g) Tetani (timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium
dan fosfat dalam serum rendah)

TATALAKSANA

13
Edlich et al menyebutkan tiga hal yang harus dilakukan pada manajemen tetanus,
yaitu: gawatdarurat
1) Memberikan perawatan suportif sampai tetanospasmin yang telah berikatan
dengan jaringan termetabolisme
2) Menetralisir toksin dalam sistem sirkulasi
3) Menghilangkan sumber tetanospasmin

Thwaites merangkum penatalaksanaan berupa: gawatdarurat


1) Eradikasi bakteri kausatif
2) Netralisasi antitoksin yang belum terikat
3) Terapi suportif selama fase akut
4) Rehabilitasi
5) Imunisasi

Eradikasi Bakteri Kausatif


Thwaites menganjurkan penggunaan antibiotik Metronidazole 500mg per oral atau
intravena selama setiap 6jam selama 7-10 hari. Hadded et al menyarankan Metronidazol
15mg/kgBB saat awal diikuti 20-30mg/kgBB/hari selama 7-14 hari atau sampai
hilangnya tanda-tanda infeksi lokal yang aktif. Penicillin dapat digunakan dengan dosis
100.000- 200.000 IU/kg/hari. Pada pasien dengan alergi penisilin disarankan untuk
menggunakan Tetrasiklin atau Eritromisin. Antibiotik ini digunakan untuk membunuh
bakteri anaerob yang berkembang dari luka yang merupakan port d’entry dan untuk
membunuh Clostridium Tetani. Cdc, gawatdarurat

Manajemen Luka
Luka dapat digolongkan menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka
yang tidak rentan tetanus. Dengan kriteria: gawatdarurat
LUKA RENTAN TETANUS LUKA TIDAK RENTAN TETANUS
• >6-8 jam • <6 jam
• Kedalaman > 1cm • Superfisial <1cm
• Terkontaminasi • Bersih
• Bentuk stelat, avulasi atau hancur • Bentuk linear, tepi tajam
(ireguler) • Neuro/vaskuler intak
• Denervasi, iskemik • Tidak terinfeksi
• Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)

14
Setelah menentukan jenis luka lakukan anamnesa riwayat imunisasi pada pasien.
Tetanus toxoid diberikan pada pasien dengan imunisasi booster terakhir lebih dari 10
tahun sebelumnya. Jika imunisasi lebih dari 10 tahun yang lalu diberikan pula TIG.
gawatdarurat
 Dosis Tt:
- Usia ≥ 7 tahun : 0,5 ml (5IU) IM
- Usia < 7 tahun : Gunakan DTP atau DtaP sebagai pengganti Tt. Jika
kontaindikasi terhadap pertusis, berikan DT, dosis 0,5 ml IM
 Dosis TIG:
- Profilaksis dewasa : 250-500 U IM pada ekstrimitas kontralateral lokasi
penyuntikan Tt.
- Profilaksis anak : 250 U IM pada ekstremitas kontralateral lokasi penyuntikan
Tt.
(Catatan : Dosis yang digunakan secara klinis 3000-10000 U IM)

Rekomendasi Manajemen Luka Traumatik


Semua luka harus dibersihkan dan debridemen sebaiknya dilakukan jika perlu
Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin
Tetanus Toxoid (Tt) harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun. jika
riwayat imunisasi tidak diketahui, Tt dapat diberikan.
Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka Tetanus Immune
Globuline (TIG) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIG.

Netralisasi Antitoksin Yang Belum Terikat


Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin
yang tidak terikat sajalah yang dapat dinetralisir. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus
Immune Globuline (HTIG) akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan
meningkatkan angka keselamatan (survival rate). Dosis yang dianjurkan oleh El Hadded
et al adalah 500 unit HTIG diberikan secara intramuskular segera setelah diagnosis
tetanus ditegakkan. Bagian Saraf RS Hasan Sadikin Bandung masih menggunakan
pemberian ATS (Anti Tetanus Serum) dengan dosis 10.000 IU diberikan intramuskuler.
Pemberian dilakukan saat awal pasien ditegakkan diagnosis tetanus. Berdasarkan
penelitian Wijaya (2007) didapatkan efektivitas ATS masih sama baiknya dengan terapi

15
HTIG 500 IU, meskipun pada penggunaan HTIG menunjukan tendensi angka kematian
yang lebih rendah. gawatdarurat

Terapi Suportif Selama Fase Akut


1. Kekuatan otot dan rigiditas/spasme otot gawatdarurat
Pada pasien tetanus kelainan yang paling menonjol adalah adanya kekakuan otot
atau rigiditas yang menyebabkan nyeri. Pasien direkomendasikan untuk menghindari
stimulasi yang tidak perlu. Terapi utama untuk spasme otot ini adalah benzodiazepin.
Benzodiazepin akan memperbesar GABA Agonis dengan cara menghambat inhibitor
endogen di reseptor GABAA.
Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik dengan efek depresi nafas
yang lebih rendah dibanding dengan golongan barbiturat. Diazepam juga memiliki efek
antikonvulsan dan muscle relaxation, sedatif dan anxiolytic. Efek maksimal dalam darah
dicapai dalam waktu 30-90 menit. Dosis yang dianjurkan adalah 0,5-10 mg/kg untuk
dewasa atau sebagai berikut.
- Spasme ringan : 5-20 mg p.o. setiap 8 jam bila perlu
- Spasme sedang : 5-10 mg IV bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam 24
jam atau dalam bentuk drip
- Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml dextrose 5% dan diinfuskan dengan
kecepatan 10-15mg/jam diberikan dalam 24 jam
Jika efek sedasi tidak cukup untuk emnghentikan spasme makan perlu diberikan
neuromuscular blocking agents dan ventilator dengan mode intermittent positive pressure.
Untuk efek ini digunakan pacuronium, namun obat ini dapat menginhibisi re-uptake
katekolamin dan dapat memperberat instabilitas otonom pada kasus yang berat.
Vecuronium kurang menyebabkan efek samping pada jantung dan pada pelepasan
histamin, namun kerjanya singkat. gawatdarurat
Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis 70 mg/kgBB
dalam bentuk larutan dextrose 5 % 100ml secara intravena melalui infus selama 30 menit,
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2gram/jam (<60 tahun) dan 1 gram/jam (≥60
tahun) dalam larutan dextrose 5% 500 ml, diberikan selama 6 jam. Dosis kemudian
dititrasi dengan cara menaikkan dosis 0,5 gram (<60 tahun) atau 0,25 gram (≥60 tahun)
setiap 6 jam sampai spasme umum (kejang) terkontrol. Kurangi dosis 0,25 gram/jam
sampai terkontrol spasme dengan dosis efektif minimum. Observasi keluaran urin per
jam, kemempuan batuk, refleks patella, respirasi, tekanan darah dan kadar magnesium

16
setiap 3 hari sekali atau setiap hari bila terdapat tandatanda toksisitas, tanda klinis
hipokalsemia, pemeriksaan kada kalsium dilakukan setiap 3 hari. gawatdarurat

2. Kontrol disfungsi otonom gawatdarurat


Disinhibisi otonom dapat diatasi baik dengan cara nonfarmakologis maupun
farmakologis. Pemberian cairan 8 liter per hari (fluid floading) disertai dengan pemberian
sedasi. Dapat diberikan morfin dengan dosis 20-180 mg per hari. Propanolol untuk
mengatasi hipertensi episodik dan takikardi dengan dosis 5-10 mg, dapat dinaikkan
hingga 40mg tiga kali sehari, dosis yang biasa digunakan adalah 5-20 mg tiga kali sehari.
Atropin hingga dosis 100 mg per hari dapat diberikan pada kasus diaforesis, bradiaritmia
dan hipersekresi. gawatdarurat
Clonidine digunakan secara oral maupun parenteral untuk mengurangi efek simpatis
sehingga mengurangi tekanan arterial, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin dari
medula adrenal. Magnesium sulfat dapat digunakan pada pasien tetanus dengan
penggunaan ventilator bermanfaat untuk mengurangi komplikasi disotonomi, sedangkan
pada pasien tanpa ventilator diambil manfaat antispasmenya. Magnesium adalah obat
presynaptic neuromuscular blocker. MgSO4 diyakini dapat memblok pelepasan
katekolamin dari saraf dan medula adrenal, mengurangi respon reseptor untuk
melepaskan katekolamin, dan merupakan antikonvulsan serta vasodilator. gawatdarurat

3. Komplikasi Respirasi gawatdarurat


Rigiditas otot dan spasme dinding dada, diafragma, dan perut menyebabkan retriksi
nafas. Penurunan kemampuan batuk akibat rigiditas, spasme dan sedasi menyebabkan
atelektasis dan risiko pneumonia meningkat. Ketidakmampuan menelan saliva, sekresi
saliva yang masif, spasme faring, peningkatan tekanan intraabdomen dan statis gaster
secara keseluruhan menyebabkan peningkatan resiko aspirasi. Hiperventilasi dapat terjadi
karena rasa takut, gangguan otonom, atau perubahan fungsi batang otak. Trakeostomi
dilakukan pada pasien dengan Patel Joag 3 keatas. Pada stadium IV dan V trakeostomi
tidak secara signifikan mengurangi kematian. gawatdarurat

4. Miokarditis dan gangguan kardiovaskuler lain


Gejala klinis berupa fatigue, demam, dyspneu d’effort, takikardi, takipnue, dan lain-
lain. ACE Inhibitor untuk mengatasi hipertensi dan disfungsi ventrikel kiri. Digoksin
digunakan untuk menimgkatkan kontraksi sistolik miokardium. Beta adrenegic blocker

17
digunakan untuk menurunkan cardiac output dan menurunkan resistensi pembuluh darah
perifer. gawatdarurat

5. Gangguan gastrointestinal
Sering terjadi pendarahan lambung, maka dapat diberikan Ranitidine dengan dosis
150mg setiap 8 jam sekali. Sebaiknya tidak dilakukan puasa jika pendarahan lambung
tidak terlalu berat. Hilang darah yang masif dapat diganti dengan pemberian transfusi
darah. Gawatdarurat

6. Gangguan renal dan elektrolit


Hipernatremia dikoreksi dengan pemberian dextrose 5%. Hiponatremi dikoreksi
dengan pemberian normal saline pada excessive salt loss atau retriksi cairan dan
menghindari pemberian diuretik pada hiponatremi dilusional. 7. Miscellaneous
Penurunan berat badan sangat sering terjadi pada pasien tetanus. Diet diberikan 3500-
4500 kalori per hari, dengan perbandingan 100-150 gram protein dalam bentuk
semilikuid atau likuid diberikan melalui tabung nasogaster. gawatdarurat

Secara singkat tatalaksana pasien tetanus pada fase akut adalah sebagai berikut.
gawatdarurat
1. Periksa jalan nafas, trakeostomi bila perlu.
2. Cek darah rutin, elektrolit, ureum, kreatinin, myoglobin urin, AGD.

18
3. Mencari port of entry, inkubasi, periode onset, status imunisasi.
4. Oksigen, diberikan bila terdapat tanda-tanda hipoksia, distress pernapasan,
sianosis.
5. Diazepam IV 10 mg perlahan selama 2-3 menit. Bisa diulang jika diperlukan,
ruang tenang/gelap.
6. Dosis pemeliharaan diberikan diazepam secara drip, untuk mencegah
terbentuknya kristalisasi, cairan dikocok setiap 30 menit.

Tatalaksana 24 Jam Pertama gawatdarurat


1. ATS iv 10.000 UI, didahului skin test
2. TT 0,5 cc IM
3. Nutrisi 3500-4500 kalori/hari dengan 100-150 gr protein
4. Metronidazole 4 x 500mg iv atau P.O. 7–10 hari
5. HTIG 300-5000 UI im/iv (500 sudah cukup efektif)
6. Trakeostomi
7. Debridemen luka
8. NGT, CVP, Folley kateter pada grade II-IV
9. Diazepam atau vancuronium 6-8 mg/hari
10. Setiap kejang diberikan bolus diazepam 1 ampil/iv perlahan selama 3-5 menit,
dapat diulangi setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali. Bila tak teratasi segera
rawat ICU
11. Menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang, termasuk rangsangan
suara dan cahaya yang intensitasnya bersifat intermiten.
12. Mempertahankan/membebaskan jalan nafas; pengisapan oro/nasofaring secara
berkala

KOMPLIKASI
a) Laryngospasme
b) Fraktur dapat terjadi pada fraktura kolumna vertebralis akibat kejang dan
kontraksi yang terus-menerus.
c) Hipertensi, takikardia, vasokontriksi perifer dan ritme jantung abnormal dapat
terjadi akibat adanya hiperaktivitas saraf autonomi.
d) Infeksi nosocomial, infeksi sekunder hingga sepsis
Terjadi akibat hospitalisasi/perawatan di RS yang berkepanjangan, akibat infeksi
dari kateter, hospital-acquired pneumonia, dan ulkus dekubitus.

19
e) Komplikasi Lain
Laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring dalam satu
posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Gawatdarurat, perdossi

PROGNOSIS lapsus tea


Angka kematian lebih dari 50%. Prognosis paling baik ketika masa inkubasi
panjang. Angka mortalitas berkurang dengan pemberian serum yang cepat dan
manajemen agresif untuk disfungsi paru dan otonom. Dalam kasus yang fatal, kematian
biasanya terjadi dalam 3 hingga 10 hari. Kematian paling sering disebabkan oleh
gangguan pernapasan. Pada pasien yang sembuh, kambuh secara bertahap dan kejang
yang parah.
Sistem skoring yang telah diakui dapat digunakan untuk menilai prognosis
tetanus yaitu Phillips score dan Dakar score. Pada Phillips score, nilai 18 severitas berat.
Pada Dakar score, nilai 0-1 menunjukkan severitas ringan dengan mortalitas 10%, 2-3
severitas sedang dengan mortalitas 10-20%, 4 severitas berat dengan mortalitas 20-40%,
dan 5-6 severitas sangat berat dengan mortalitas >50%.

20
21
DAFTAR PUSTAKA

1. Merritt’s neurologi ,11 edition


2. Mescher, A. L., & Junqueira, L. C. U. (2013). Junqueira's basic
histology: Text and atlas (Thirteenth edition.). New York: McGraw Hill
Medical.
3. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelyanan Kesehatan Primer
4. Profil Kesehatan Kementrian Kesehatan Indonesia
5. https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
6. CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.
2015 available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
7. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. Geneva: Disease Control in Humanitarian Emergencies Department
of Global Alert and Response; 2010 Available from:
http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.pdf

22

Anda mungkin juga menyukai