Anda di halaman 1dari 20

TETANUS

Patogenesis (1)
 Etiologi tetanus: Clostridium tetani.
 Ciri-ciri luka rentan tetanus:
Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus
6-8 jam < 6 jam
Kedalaman > 1 cm Superfisial (< 1cm)
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi/hancur (ireguler) Bentuk linier, tepi tajam
Denervasi, iskemik Neurovaskuler intak
Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik) Tidak terinfeksi

 Toksin Clostridium tetani  2 jenis:


 Tetanolisin: merusak jaringan & optimalisasi kondisi

multiplikasi bakteri.
 Tetanospasmin: berperan dalam tanda & gejala klinis
tetanus.
Patogenesis (2)
Penyebaran toksin tetanus:
 Otot
 Dari otot yang terkena luka  ke otot-otot sekitarnya.
 Sistem limfatik
 Menyebar ke KGB regional  melalui sistem limfatik menuju aliran darah.
 ATS akan berakumulasi pada KGB & darah.
 Aliran darah
 Penyebaran melalui aliran darah: rute penting.
 Dapat menjelaskan trismus walaupun sumber luka jauh.
 Sistem saraf
 Toksin tetanus terikat pada reseptor saraf terminal di otot.
 Retrograde intra-axonal transport  a-motorneuron MS & BO.
 Serabut yg terlibat: motorik, sensoris & otonom.
 Toksin menyeberangi celah sinaps  terikat pada reseptor membran
presinaptik & menghambat pengeluaran GABA.
Mekanisme Penyebaran Cl. tetani
Toksin Tetanus vs Neurotransmiter Inhibisi
Diagnosis (1)
 Diagnosis tetanus didasarkan pada penemuan
klinis yang khas.
 Pemxan penunjang seperti kultur bakteri tidak
diperlukan.
 Trias tetanus:
 Rigiditas

 Spasme otot
 Disfungsi otonomik
Diagnosis (2)
 Rigiditas:
 Awal: otot masseter  trismus.
 Otot wajah, leher & faring  risus sardonikus & kuduk kaku
dgn retraksi kepala, disfagi.
 Otot-otot tubuh  perut papan (otot abdominal), ggan ekspansi
toraks (otot interkostalis), opistotonus (otot trunkal).
 Spasme otot/ kejang:
 Kontraksi otot tonik secara reflektorik & episodik.
 Dicetuskan oleh stimulus-stimulus sensorik: sentuhan, suara, visual
& emosional.
 Derajat spasme = berat ringan penyakit.
 Bila berkepanjangan: hipoksia, sianosis, hipersekresi orofaringeal
& aspirasi. Spasme laring  kematian mendadak.
Diagnosis (3)
 Disfungsi otonom:
 Saraf simpatik:
 Sinus takikardi (nadi dapat mencapai 150 x/mt)
 Hiperhidrosis
 Pe↑an TD sistolik & diastolik
 Aritmia supraventrikel transien
 Saraf parasimpatik:
 Hipersalivasi & hipersekresi trakeobronkial
 Pe↑an aktivitas tonus vagal
Kriteria Patel & Joag (1959)
 Kriteria 1: Rahang kaku, spasme terbatas, disfagi &
kekakuan otot tulang belakang.
 Kriteria 2: Spasme saja tanpa melihat frekuensi &
derajatnya.
 Kriteria 3: Inkubasi ≤ 7 hr.
 Kirteria 4: Onset ≤ 48 jam.
 Kriteria 5: Peningkatan suhu rektal hingga 100°F &
aksila hingga 99°F (37,6°C).
Kriteria Patel & Joag (1959)
 Derajat I: Minimal 1 kriteria (K1/K2)  mortalitas 0%
 Derajat II: Minimal 2 kriteria (K1 & K2) + inkubasi > 7
hr & onset > 48 jam  mortalitas 10%
 Derajat III: Minimal 3 kriteria + inkubasi ≤ 7 hr & onset
≤ 48 jam  mortalitas 32%
 Derajat IV: Minimal ada 4 kriteria  mortalitas 60%
 Derajat V: Terdiri dari 5 kriteria & termasuk tetanus
neonatorum & tetanus puerpurium  mortalitas 84%
Klasifikasi tetanus menurut Ablett yang
dimodifikasi oleh Udwadia (1994)
 Derajat I (ringan): Trismus ringan & sedang dengan kekakuan
umum. Kejang (-), gangguan respirasi (-) & sedikit/tanpa ggan
menelan.
 Derajat II (sedang): Trismus sedang, kaku disertai kejang ringan-
sedang yang singkat disertai disfagi ringan & takipnu >30-35
x/mt.
 Derajat III (berat): Trismus berat, kekakuan umum, kejang spontan
yang berlangsung lama. Ggan pernapasan dengan takipnu >40
x/mt, kadang apnu, disfagi berat & takikardi >120 x/mt.
Peningkatan aktivitas saraf otonom yang moderat & menetap.
 Derajat IV (sangat berat): Gbran tingkat III disertai ggan saraf
otonom berat: HT berat dengan takikardi berselang hipotensi
reaktif & bradikardi atau hipertensi diastolik yang berat dan
menetap (diastolik >110 mmHg) atau hipotensi sistolik yang
menetap (sistolik <90 mmHg)  autonomic storm.
Miokarditis
 Miokarditis merupakan respon infeksi terhadap otot
jantung yang menyebabkan kerusakan otot jantung yang
menyebabkan dilated cardiomyopaty. Kerusakan miokard
akibat toksin (tetanospasmin) yang menghambat sintesis
protein dan menyebabkan jantung dilatasi, lembek,
hipokontraktil dan biasanya disertai gangguan irama.
 Pada pemeriksaan fisik jarang didapatkan kelainan,
diagnosa biasanya berdasarkan EKG.
 Gejala klinis dapat berupa mudah fatigue, demam,
dypsneu d'effort, takikardi, takipneu.
 Miokarditis ditandai dengan pemanjangan segmen QTc
pada pemeriksaan EKG, (pada wanita >0,42, pada pria
>0,45).
Jenis-Jenis Tetanus
 Tetanus lokal: klinis paling ringan. Spasme & rigiditas terbatas pada
daerah dekat luka karena jumlah kuman yang masuk sedikit. Tetanus
lokal berpotensi menjadi tetanus umum. Prognosis baik.
 Tetanus umum: paling sering. Spasme otot & rigiditas melibatkan
otot-otot seluruh tubuh.
 Tetanus sefalik: tetanus lokal pada daerah kepala; prognosis buruk.
Manifestasi: paresis & spasme yang muncul bersamaan pada otot-otot
yang berbeda (paresis wajah unilateral, trismus, risus sardonikus
kontralateral, disfagia & spasme laring). Berpotensi menjadi tetanus
umum.
 Tetanus neonatorum: prognosis paling buruk  50% kematian
akibat tetanus di seluruh dunia. Penyebab: pemotongan & perawatan
umbilikus yang tidak steril. Masa inkubasi: 1 hr hingga 3-4 minggu
dengan rata-rata 7 hr. Manifestasi awal: kesulitan menghisap/menelan
akibat kekakuan pada bibir, otot rahang & faring. Perjalanan klinis
cepat. Tetanus ini dapat dicegah dengan imunisasi TT pada wanita
hamil.
Penatalaksanaan (1)
Umumnya dibagi 5 gol. besar.
1. Suportif & perawatan intensif.

 Tetanus > derajat III sebaiknya dilakukan trakeostomi.


Oksigenasi untuk ventilasi & cegah hipoksia. Diit &
kebutuhan cairan!
 Tetanus > derajat II sebaiknya dirawat dalam rg
intensif. Ruangan intensif harus bersih, cukup sejuk dgn
ventilasi baik. Rgan gelap bukan keharusan, namun
stimulasi cahaya berlebihan harus dihindari. Stimulasi
taktil sebaiknya dihindari.
Penatalaksanaan (2)
2. Pemberian ATS & TT.
 Setiappasien dengan tetanus harus diberi ATS 10.000
U & TT 0,5 cc pada lokasi injeksi yang berbeda.
 ATS berhubungan dengan kejadian anafilaksis, shg bila
mungkin, berikan HTIG dosis 3000-5000 IU i.v /i.m.
Penatalaksanaan (3)
3. Penanganan luka & pemberian AB.
 Luka harus didebridemen & higiene  cegah infeksi
sekunder.
 AB: penisilin prokain dosis 2 juta U/4 jam i.v, namun
obat ini merupakan antagonis GABA & dapat
mencetuskan kejang.
 Alternatif: metronidazol 3 x 500 mg i.v + tetrasiklin 4
x 500 mg p.o. Obat lain: eritromisin 4 x 500 mg p.o.
Lama pemberian AB: 14 hari.
Penatalaksanaan (4)
 Benzodiazepin  terapi utama. Diazepam
digunakan sesuai kebutuhan hingga dosis maksimal
240 mg/ 24 jam.
 Bila sedasi tetap tidak memadai  muscle relaxant
untuk induksi paralisis dengan pankuronium 2-4 mg
i.v & ventilator.
Penatalaksanaan (5)
5. Penanganan disotonomik.
 Non-farmakologis: cairan salin hingga 4000 cc/hr utk
instabilitas otonom.
 Medikamentosa utama: benzodiazepin utk me↓an
aktivitas otonom & histamin. Penyekat beta
(propranolol) utk tatalaksana HT, takikardi &
miokarditis. Dosis maks. 240 mg/hr.
Komplikasi
 Komplikasi saluran pernapasan & respirasi:
 Aspirasi, spasme laring, depresi napas akibat sedatif, ARDS, komplikasi trakeostomi (stenosis trakea/
mucus plug).
 Komplikasi kardiovaskuler:
 Takikardi & HT labil disertai vasokonstriksi perifer, hipotensi & bradikardi dapat berselang seling
dengan HT & takikardi, ggan irama seperti bradi- atau taki-aritmia yang berulang seling dengan
asistol, sudden cardiac death.
 Komplikasi ginjal:
 Gagal ginjal high-output akibat mioglobinuri, stasis urin disertai ISK.
 Rhabdomiolisis, dapat menyebabkan terjadinya gagal ginjal akut, bila kadar CK > 5000 U/lt atau
dideteksi mioglobin dalam urine, harus dilakukan hidrasi dengan NaCl 0,9 % dan alkalinisasi urine
dengan Na bikarbonat.

 Komplikasi lain:
 Sepsis & MOF
 Fraktur
 Gangguan elektrolit & dehidrasi
 Ulkus dekubitus
‘Opisthotonus’ by Sir Charles Bell (1809)

Anda mungkin juga menyukai