Anda di halaman 1dari 9

A.

Definisi
Tetanus adalah suatu kelainan neurologis yang dicirikan dengan
spasme dan rigiditas otot, yang disebabkan tetanospasmin, suatu toksin
protein yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Spasme otot biasanya
dimulai dari otot disekitar rahang (lockjaw) dan leher kemudian menyebar
menjadi generalisata1

B. Etiologi
Penyebab dari tetanus adalah eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri
Clostridium tetani. Bakteri Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk spora,
gram positif, batang anaerob. Organisme ini sensitive terhadap panas dan
tidak bisa hidup apabila terdapat oksigen. Sedangkan spora dari bakteri ini
resisten terhadap panas dengan suhu 121°C selama 10-15 menit, antiseptik
biasa, dan resisten terdahadap agen kimia seperti phenol. Spora
terdistribusikan secara luas dalam tanah, usus halus dan feses hewan ternak,
kucing, anjing, dan ayam. C. tetani memproduksi 2 jenis eksotoksin yaitu
tetanolisin dan tetanospaspin. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan
menyebabkan manifestasi klinis pada tetanus.2

Gambar 1. Clostridium tetani dalam Pengecatan Gram


C. Patogenesis
Clostridium tetani masuk ke tubuh melalui sebuah luka. Dalam kondisi
anaerob, spora bakteri C.tetani mengalami germinasi. Eksotoksin diproduksi
dan disebarkan melalui pembuluh darah dan pembuluh limfatik.
Tetanospasmin, disebut juga sebagai toksin tetanus, berperan merusak
beberapa tempat seperti sistem saraf pusat, termasuk motor end plates,
medulla spinalis, otak, dan sistem saraf simpatis. Toksin selanjutnya
memasuki akson dan ditranspor retrogard ke inti sel saraf di batang otak dan
medulla spinalis, tokin kemudian bermigrasi ke ujung sinaps. Manifestasi
klinis tipikal tetanus disebabkan oleh toksin tetanus yang menganggu
pelepasan neurotransmitter glisin dan memblok neurotransmitter inhibitor.
Hal tersebut menyebabkan resting fire motor neuron meningkat sehingga
menimbulkan rigiditas. Selain itu kejang dapat terjadi dan sistem saraf otonom
serta hipotalamus dapat terkena2.

D. Tanda dan gejala klinis


Periode inkubasi tetanus antara 3−21 hari (ratarata 7 hari). Pada 80%
−90% penderita, gejala muncul 1–2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu
sejak munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut
periode onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan
menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode
inkubasi <7 hari) semakin berat penyakitnya. 3
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan
otot yang lebih dahulu terjadi pada kelompok otot dengan jalur neuronal
pendek. Oleh karena itu, gejala yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat
masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung.
Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas risus
sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot- otot
trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan
tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.
Spasme otot yang muncul spontan dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi dalam waktu singkat, mengakibatkan obstruksi saluran napas
atas akut dan henti napas.5

E. Klasifikasi
1) Tetanus lokal, dengan gejala meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal
dapat berkembang menjadi tetanus umum.
2) Tetanus sefalik, merupakan tetanus lokal yang mengenai wajah dengan
masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala
atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus
sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat
berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
3) Tetanus umum/generalisata, dengan gejala klinis dapat berupa berupa
trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut
(opistotonus), rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum
yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan
sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
4) Tetanus neonatorum, merupakan tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir,
disebabkan adanya infeksi tali pusat, Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable, diikuti oleh
kekakuan dan spasme.4

F. Diagnosis dan diagnosis banding


Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat
imunisasi.
Tingkat keparahan tetanus:
Terdapat kriteria Pattel Joag yang terdiri dari :
1) Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot
tulang belakang
2) Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi maupun derajat
keparahan
3) Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari
4) Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam
5) Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal 100ºF ( > 400 C), atau aksila
99ºF ( 37,6 ºC ).

Grading berdasarkan kriteria tersebut adalah :


1) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2
(tidak ada kematian)
2) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.
Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam
(kematian 10%)
3) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang
dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
5) Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus
neonatorum (kematian 84%).

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s5 :


Diagnosis Banding
1. Meningitis bakterial Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran
penderita biasanya menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan
lumbal pungsi, di mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu
jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomielitis Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak
dijumpai adanya trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis
menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi dari tinja dan
pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3. Rabies Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain.
Trismus jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.
4. Tetani Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar
kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme
otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme,
jarang dijumpai trismus.

G. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada
pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit
dapat normal atau dapat meningkat. Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil
dari luka berupa pus atau jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur
agar darah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada
30% kasus ditemukan Clostridium tetani. selain itu dapat diperiksa tetanus
antibody test4.
H. Tatalaksana
1) Manajemen luka
Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya kuman C.
tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka dapat menjadi luka yang
rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus dengan
kriteria sebagai berikut:

2) Rekomendasi manajemen luka traumatik


a) Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen
b) Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan.
c) TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun
jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan.
d) Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka
tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan
faktor penentu pemberian TIg
3) Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi.
4) Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya-
ruangan redup dan tindakan terhadap penderita.
5) Diet cukup kalori dan protein 3500-4500 kalori per hari dengan 100-150
gr protein. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau
parenteral.
6) Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
7) Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis.
Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam
keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v.
perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung)
dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal
diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik,
dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula
dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
8) Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya
diperlukan skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan
IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan
eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di
sekitar luka.
9) Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain
penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk
pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau
IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat
mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses
neurologisnya.
10) Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas
dapat dilakukan. Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat
diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin. Tetrasiklin: 30-50
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4
dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam
selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
11) Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml
toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama.
12) Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus
selesai.
13) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Rencana tindak lanjut pasien meliputi5 :

1) Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus


selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu kemudian dengan dosis yang
sama dengan dosis inisial.
2) Booster dilakukan 6-12 bulan kemudian.
3) Subsequent booster, diberikan 5 tahun berikutnya.
4) Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.

Kriteria rujukan pasien dengan tetanus adalah5 :

1) Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.


2) Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
3) Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
memiliki dokter spesialis neurologi.
I. Edukasi
Peran keluarga pada pasien dengan risiko terjadinya tetanus adalah
memotivasi untuk dilakukan vaksinasi dan penyuntikan ATS.5

Daftar Pustaka
1.
Tanto, C., Estiasari, R. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2014.

2.
Tejpratap, S.P., Tiwari, M.D., Pedro, L., Moro, M.D., Anna M.A. Tetanus. Dalam
Epidemiology and Perevention of Vaccine-Precentable Diseases. Edisi ke-14.
Centers for Disease Control and Preventiton. 2021.

3
Jaya HL, Aditya R. Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care Unit. Majalah
Anestesia dan Critical Care. 2018;36(3):114-21.

4
Ropper, A.H., Samuels, M.A., Klein, J.P. Disorders of the Nervous System due to
Drugs, Toxin, and other Chemical Agents. Dalam Adams and Victor’s Principle of
Neurology. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill. 2014.

2
Zainuddin, A.A., Faqih, D.M., Trisna, D.V., Waluyo,D.A., Ekayanti, F., Herqutanto.
Panduan Praktis Klinis Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta :
IDI;2014.

Anda mungkin juga menyukai