Anda di halaman 1dari 10

Hari/tanggal : Rabu, 22 September 2021

Kelompok/K : 4/K1
Dosen : Dr. Drh. Gunanti, MS.
Asisten : Drh. Fitria Senja
Murtiningrum, M.Si.
.

MAKALAH ILMU BEDAH KHUSUS VETERINER I


PBL 1. TOXOCARIASIS

Disusun oleh :

Kelompok 4

Yanri Rizky N. S B04180005


Ranti Aisuka Rinjani B04180018
Nenis Rahma Wulandari B04180021
Bintang Aditia Tri Wibowo B04180023
Deva Kusuma Permata Dewi B04180078
Bilal Ridho Alkautsar B04180082
Faradhita Nakita Putri B04180091

DIVISI BEDAH DAN RADIOLOGI


DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
2
1

I LATAR BELAKANG
Toxocariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing nematoda dari
genus toxocara. Terdapat tiga spesies Toxocara yang sangat penting yaitu Toxocara
canis menyerang anak anjing dan anjing dewasa, Toxocara cati menyerang anak kucing
dan kucing dewasa, dan Toxocara vitulorum menyerang anak sapi dan anak kerbau serta
induknya. Anak anjing, kucing, sapi dan kerbau maupun induknya, masing-masing
merupakan induk semang bagi ketiga spesies tersebut (Estuningsih 2005). Toxocariasis
tidak hanya menginfeksi hewan, tapi juga dapat menginfeksi manusia (zoonosis).
Kejadian toxocariasis pada manusia adalah salah satu infeksi parasit yang paling umum
ditemukan di dunia (Manurung dan Lambok 2013).
Infeksi cacing Toxocara canis sangat merugikan bagi kesehatan hewan maupun
kesehatan manusia. Anjing yang terinfeksi Toxocara canis akan memperlihatkan gejala-
gejala seperti: penurunan nafsu makan, terjadi gangguan pencernaan akibat adanya
cacing dewasa di dalam lambung dan usus, diare, konstipasi, muntah, batuk-batuk dan
keluar lendir dari hidung (Overgaauw 1997). Menurut Estuningsih (2005), manusia
yang terinfeksi Toxocara canis, larvanya bisa menyebabkan visceral larva migrans yang
mengakibatkan timbulnya gejala muntah-muntah dan ocular larva migrans yang
menyebabkan kerusakan mata permanen pada manusia. Selain dari segi kesehatan,
kerugian yang ditinjau dari sudut ekonomi juga sangat besar, termasuk biaya yang harus
dikeluarkan dalam rangka usaha pengendaliannya.

II DESKRIPSI KASUS
II.1 Anamnesa
Hewan kasus dibawa ke klinik dengan
keluhan anoreksia, vomit, diare, dan lethargy sejak 7 hari yang lalu.

II.2 Signalement
Hewan kasus merupakan anjing german shepherd yang berumur 6 bulan dengan
bobot badan 17 kg.

II.3 Gejala Klinis


Hewan kasus mengalami anoreksia, vomit,
diare, lethargy, pemucatan membran mukosa, peningkatan pulsus, dan takikardia.

II.4 Hasil Pemeriksaan Fisik


Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan membran mukosa yang pucat,
peningkatan pulsus, serta takikardia. Pada saat dipalpasi, anjing menunjukkan respons
rasa nyeri dan teraba massa berbentuk seperti “sosis” pada area usus. Kemudian
dilakukan pemeriksaan penunjang dengan pemeriksaan feses dan pemeriksaan
ultrasonografi pada area abdomen. Hasil pemeriksaan feses menunjukkan terdapat telur
dari Toxocara canis dan hasil pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan adanya segmen
cincin hyperechoic dengan citra hypoechoic ditengahnya.
2

III DIAGNOSA PENUNJANG


Diagnosa penunjang yang dilakukan pada kasus ini berupa pemeriksaan
ultrasonografi pada area abdomen. Ultrasonografi abdomen adalah alat diagnostik yang
praktis, aman dan murah (Atkinson et al. 2017). Ultrasonografi (USG) abdomen
merupakan pemeriksaan yang penting dalam penegakan diagnosa apendisitis akut,
mampu menunjukkan kemungkinan diagnosa lain pada pasien dengan nyeri perut
kanan bawah dan menurunkan angka kejadian laparatomi negatif (Halim dan Iskandar
2012). Hasil dari ultrasonografi abdomen didapatkan segmen yang menunjukkan adanya
cincin hyperechoic dan citra hypoechoic di tengahnya. Tingkat infestasi ringan toxocara
didefinisikan jika satu atau dua bagian parasit divisualisasikan hanya dalam satu bagian
usus, sedang jika satu atau dua bagian parasit dikenali di dua atau lebih bagian usus di
sepanjang usus kecil dan parah jika setidaknya satu bagian usus kecil berisi tiga atau
lebih bagian parasit (Corda et al. 2019).

IV DIAGNOSA DAN DIFERENSIAL DIAGNOSA


Diagnosa terhadap toxocariasis diawali dengan pengamatan terhadap adanya
gejala klinis yang timbul, dilanjutkan dengan konfirmasi diagnosa melalui pemeriksaan
yang lebih spesifik melalui uji-uji tertentu. Secara umum, diagnosa terhadap
toxocariasis didasarkan pada sejarah terjadinya penyakit, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan langsung jaringan menggunakan mikroskop, dan melalui pemeriksaan
darah. Pemeriksaan langsung menggunakan mikroskop merupakan gold standard dalam
mendiagnosa kejadian toxocariasis. Pelaksanaan metode ini dilakukan dengan melihat
adanya larva pada biopsi jaringan atau pada cairan okuler. Selain itu, pemeriksaan
langsung menggunakan mikroskop ini juga dapat diterapkan pada uji apung telur
Toxocara yang terdapat pada feses inang terinfeksi. Diagnosa selanjutnya yang dapat
digunakan dalam mengidentifikasi kejadian toxocariasis adalah melalui pemeriksaan
serologis. Adapun uji serologis yang dapat digunakan antara lain
immunoelectrophoresis (IEP), Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan
pengukuran kadar serum IgG. Uji molekular PCR juga dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya infeksi oleh Toxocara secara spesifik pada tiap spesies. Uji lain
yang dapat digunakan selain yang telah disebutkan yaitu melalui diagnostic imaging.
Diagnosa pencitraan terhadap kejadian toxocariasis dapat dilakukan melalui
pemeriksaan MRI, CT-scan, USG, fundus photography, fluorescein angiography,
ophthalmic ultrasound dan optical coherence tomography (Chen et al. 2018).
Kejadian toxocariasis memiliki kemiripan dengan beberapa penyakit lain.
Menurut (Widiastuti et al. 2018) kejadian larva migrans pada infeksi Toxocara yang
menyebabkan kerusakan pada paru-paru seringkali menunjukkan kemiripan dengan
diagnosa terhadap penyakit pneumonia dan infeksi trakeobronkitis. Selain itu, gangguan
yang terjadi pada jantung dan adanya kejadian ascites memiliki kemiripan dengan kasus
congestive heart failure (CHF). Menurut Pudjiatmoko (2014) kejadian toxocariasis
memiliki diagnosa banding terhadap semua penyakit yang menimbulkan kekurusan,
diare kronis seperti malnutrisi, dan salmonellosis.
3

V PEMBAHASAN
V.1 Definisi Kasus
Anjing German Shepherd didiagnosa
menderita toxocariasis kronis, hal ini didasarkan pada gejala klinis yang muncul serta
melalui pemeriksaan klinis. Toxocariasis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan
oleh infeksi cacing Toxocara sp. Kejadian toxocariasis pada anjing disebabkan oleh
cacing spesies Toxocara canis. Selain menginfeksi hewan, kejadian toxocariasis juga
dapat menular kepada manusia sehingga perlu diperhatikan kejadiannya terutama pada
hewan peliharaan yang memiliki hubungan langsung dengan manusia (Manurung dan
Siahaan 2013). Menurut Fatmawati (2014), potensi terjadinya toxocariasis pada
manusia sangat dimungkinkan mengingat anjing adalah hewan peliharaan yang umum
pada sebagian orang. Hal ini didukung oleh Taniawati dan Margono (2008) yang
menyatakan bahwa di Indonesia, khususnya Jakarta kejadian toxocariasis pada anjing
adalah sebesar 38,3% dan pada kucing sebesar 26%.
Kasus toxocariasis pada anjing ini menimbulkan kondisi lain yang lebih parah
yakni berupa kejadian intususepsi pada usus anjing. Hasil pemeriksaan menunjukkan
adanya rasa sakit dan masa berbentuk seperti sosis pada saat dilakukan palpasi area
abdomen. Selain itu, diagnosa ditunjang oleh hasil USG juga menunjukkan adanya
segmen dan bentuk cincin hyperechoic dengan citra hypoechoic ditengahnya.
Intususepsi merupakan suatu kelainan dimana terjadi pelipatan atau invaginasi pada dua
segmen usus yang bersebelahan. Kondisi ini mengacu pada segmen usus proksimal
yang berinvaginasi ke dalam segmen usus distal. Kasus ini lebih sering terjadi pada usus
halus dan jarang terjadi hanya melibatkan usus besar (Marsicovetere et al. 2017).

V.2 Gejala Klinis


Kejadian toxocariasis menghasilkan gejala klinis yang berbeda-
beda mulai dari ringan hingga berat. Gejala klinis yang muncul dapat berasal dari hasil
migrasi larva atau karena infeksi cacing dewasa. Tingkat keparahan infeksi tergantung
dari seberapa banyak jumlah infestasi cacing di dalam tubuh (Supraptini 2013).
Pemeriksaan yang telah dilakukan terhadap anjing German Shepherd menunjukkan
gejala klinis berupa anoreksia, vomit, diare, lethargy, mukosa pucat, pulsus meningkat,
serta takikardia. Selain itu, pada pemeriksaan feses ditemukan adanya telur dari
Toxocara canis. Gejala klinis yang ditunjukkan tersebut sesuai dengan jurnal yang
membahas mengenai infeksi Toxocara canis. Utama et al. (2017) menyatakan bahwa
anjing yang terinfeksi Toxocara canis akan memperlihatkan gejala-gejala seperti
penurunan nafsu makan, terjadi gangguan pencernaan akibat adanya cacing dewasa
dalam lambung dan usus, diare, konstipasi, muntah, batuk-batuk, dan keluar lendir dari
hidung. Selain itu, Murniati et al. (2016) menyatakan bahwa anjing yang terinfeksi
cacing ini kebanyakan mengalami gejala kelemahan akibat anemia yang diderita.
Ekspresi muka tampak sayu, mata berair, mukosa mata dan mulut tampak pucat, serta
adanya gejala anoreksia yang mencolok.
Toxocara canis memiliki stadium larva yang mampu bermigrasi dari saluran
cerna menuju organ tubuh lain. Migrasi cacing menuju paru-paru akan menghasilkan
4

gejala klinis berupa batuk, dispnoea dan adanya radang paru ringan. Selain menuju
paru, migrasi larva ini juga dapat terjadi pada organ lain seperti hati, jantung, bahkan
mata (Savitri et al. 2020). Migrasi Toxocara canis menuju daerah jantung dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi baik untuk infestasi yang terjadi di dalam jantung
maupun yang berada di pembuluh darah sekitar jantung. Larva yang menetap di daerah
sekitar jantung akan menjadi dewasa dan memenuhi ruang sehingga darah yang
seharusnya mengalir dengan lancar menjadi terhalang. Akibatnya suplai darah menuju
organ menjadi kurang yang menyebabkan terjadinya mekanisme kerja jantung
dipercepat untuk meningkatkan suplai darah menuju organ. Hal inilah yang
menyebabkan terjadinya takikardia dan peningkatan pulsus pada anjing.

V.3 Kausa
Kasus toxocariasis pada anjing disebabkan oleh cacing jenis ascaridida, yaitu
Toxocara canis (Gambar 1). Adapun taksonomi dari Toxocara canis seperti pada Tabel
1.
Tabel 1. Taksonomi Toxocara canis berdasarkan Fatmawati (2014)
Taksonomi Cacing
Kingdom Animalis
Filum Nematoda
Kelas Secernentea
Ordo Ascaridida
Superfamily Ascaridoidea
Familu Toxocaridae
Genus Toxocara
Spesies Toxocara canis

Toxocara canis memiliki tubuh berwarna putih dengan cervical alae berukuran
panjang dan sempit. Cacing ini memiliki bentuk khas yang membedakannya dengan
spesies Toxocara lainnya, dimana cacing jantan memiliki spikulum tidak sama besar,
membengkok, dan bersayap (alae) seperti pada Gambar 1. Cacing jantan dan betina
dibedakan berdasarkan bentuk ekornya. Cacing jantan memiliki ekor berbentuk seperti
tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan cacing betina
memiliki ekor dengan bentuk bulat meruncing (Fatmawati 2014).

Gambar 1. Cacing Toxocara canis dewasa Jantan (kiri) dan betina (kanan) secara
makroskopis (Hadi 2019).
5

V.4 Patogenesis
Cacing Toxocara merupakan cacing yang banyak menyerang hewan dari family
canidae dan felidae. Cacing ini memiliki potensi besar untuk ditularkan kepada manusia
serta menimbulkan masalah yang cukup serius terhadap kesehatan (Radwan et al.
2009). T. canis diduga merupakan penyakit kosmopolitan yang menyebabkan visceral
larva migrans dan ocular larva migrans (Utama 2017).
Toxocariasis terjadi ketika cacing yang hidup di dalam tubuh host mulai
bertindak sebagai parasit. Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrien dari
inang definitifnya dengan menimbulkan lesio pada dinding usus atau secara langsung
mengambil dari sistem sirkulasi. Sebagian besar penyakit yang ditimbulkan oleh cacing
ini berasal dari lesi bekas migrasi tahap larva pada organ dan jaringan tubuh inang.
Larva infeksi T. canis yang melalui jaringan paru-paru dan hati dapat menimbulkan
edema. Edema pada paru akan menghasilkan gejala berupa batuk, dispnoea, selesma,
dengan eksudat berbusa atau terkadang berdarah (Fatmawati 2014).
Menurut Supraptini (2013) infeksi T. canis secara kronis dapat menyebabkan
gangguan usus yang ditandai dengan kondisi colic, obstruksi usus secara parsial maupun
total, hingga terjadinya perforasi usus serta gejala peritonitis. Infestasi cacing yang terus
berlanjut akan menyebabkan terjadinya penurunan nutrien yang diserap oleh tubuh
inang. Hal ini dapat memicu terjadinya penurunan penyerapan bahan makanan yang
diserap, hingga terjadi hipoalbuminemia yang berlanjut menjadi ascites (Fatmawati
2014).

V.5 Persiapan Hewan dan Alat


Sebelum operasi dilakukan, anjing dipuasakan selama 12-18 jam, ditimbang
berat badannya, kemudian diinjeksi atropin sulfat dosis 0,04 mg/kg berat badan secara
subkutan, dan xylazine dosis 0,2 mg/kg berat badan secara intramuskular. Peralatan
yang diperlukan antara lain kumpulan perlengkapan operasi umum, clamps, laparotomy
pads dan retractors abdomen (Setiawan et al. 2010).

V.6 Pemilihan Anestesi


Anestesi umum direkomendasikan untuk hewan yang akan melakukan operasi
usus dengan ketamine hidrokloride dosis 20 mg/kg berat badan secara intramuskular.
Nitrous oxide tidak akan digunakan jika ada gangguan ileus yang nyata. Perlu perhatian
untuk mencegah terjadinya hypotermia khususnya pada pasien pediatric. Konsentrasi
glukosa darah harus diperiksa dalam waktu yang lama dan setelah operasi pada hewan
muda (Setiawan et al. 2010).

V.7 Teknik Pembedahan (Fossum 2013)


Diagnosa Hewan lebih baik diposisikan dorsal recumbency untuk celiotomy
midline ventral. Insisi bagian midline abdominal dilakukan dengan panjang secukupnya
untuk memudahkan explorasi abdominal dengan teliti. Bagian usus yang tidak aktif
diisolasi dengan membasahi spon laparotomy dengan cairan saline. Pembuluh darah
mesenterika pada daerah yang tidak aktif diisolasi dan diikat. Pengikatan pembuluh
darah arcadial bersama-sama dengan mesenterica yang mirip lemak. Ingesta dibuat yang
jauh dari clamp penghancur. Clamps diletakkan berseberangan pada bagian usus yang
masih aktif supaya dapat membuat anastomosis atau dapat juga membuat ikatan yang
6

lemah pada bagian usus selama anastomosis. Gangguan pada usus dihilangkan dengan
insisi antara clamps penghancur dan pembuluh darah acradial. Mukosa dapat menahan
bagian terakhir dari usus. Hal ini juga dapat dilakukan dengan pengguntingan. Mukosa
collar disekeliling terakhir usus besar dipotong. Hal ini juga dapat dilakukan dengan
pengguntingan. Pengoreksian dilakukan pada lumen yang berbeda dengan menggunting
dari sudut yang akut Insisi longitudinal pada tepi antimesenterika yang kecil terakhir
atau di atas yang besar Jahitan 3-0 dan 4-0 digunakan dengan needle taper point yang
ditempatkan pada jahitan. Semua simpul extraluminal. Jahitan pertama dibuat secara
hati-hati pada bagian atas mesenterica. Jahitan kedua dibuat tepat diatas
antimesenterica. Buatlah jahitan kira-kira 2-3 mm berdekatan dengan bagian
anastomosis. Termasuk semua penebalan usus besar. Tarik jahitan kebawah dengan
hati-hati jadi tepat di tepi usus besar. Letakkan bagian lemak yang tepat atau berdekatan
dengan dinding belakang. Berikan larutan saline steril panas diatas bagian anastomosis
dan berdekatan dengan usus besar yang panjang. Potonglah sekeliling bagian omentum
pada garis anastomosis dan lekatkan dengan lembut diatas usus besar dan dibawah
anastomosis. Keluarkan gangguan pada mesentery dengan jahitan continue. Gunakan
sarung tangan yang baru dan perlengkapan yang steril untuk menutup dinding abdomen.
Jika pemberian nutrisi pelan-pelan, letakkan pipa jejunostomy sebelum penutupan
abdomen.

V.8 Komplikasi (Birchard dan Sherding 2005)


Monitor gejala klinis diantaranya depresi, demam yang tinggi, kesakitan
abdominal, muntah dan ileus dimana hal ini mengindikasikan seperti terjadinya
peritonitis. Jika diperlukan, diagnostik yang tepat seperti abdominocentosis dan
tindakan terapeutik.

V.9 Penanganan Post-Operasi (Birchard dan Sherding 2005)


Setelah operasi berhasil dilakukan perlu dilakukan penanganan atau perawatan
post-operatif mulai dari menjaga keseimbangan cairan intravena dan suplemen elektrolit
sejak hewan mulai minum air; memberikan makanan dan minuman selama 12-24 jam
setelah diet regular; dan memberikan antibiotik 2-4 jam post operasi untuk menghindari
terjadinya peritonitis. Pada kasus ini terapi berlanjut, sebagai dasar untuk pemilihan
antibiotik bakterial yang diberikan setelah operasi.
7

DAFTAR PUSTAKA

Afrianti L. 2010. 33 Macam Buah-Buahan Untuk Kesehatan. Bandung (ID) :


Alfabeta.
Atkinson et al. 2017. How to perform gastrointestinal ultrasound: Anatomy and normal
findings. World Journal of Gastroenterol. 23(38): 6931–6941.
Birchard SM, Sherding RG. 2005. Sounders Manual of Small Animal Practise. 3rd
Edition. Pennsylvania : WB. Saunders company.
Chen J, Q Liu, GH Liu, WB Zheng, SJ Hong, H Sugiyama, XQ Zhu, dan HM
Elsheikha. 2018. Toxocariasis: a silent threat with a progressive public health
impact. Infectious Disease of Poverty. 7(59): 1-13.
Corda et al. 2019. Ultrasonography for early diagnosis of Toxocara canis infection in
puppies. Parasitology Research. 118(3): 873-880.
Estuningsih SE. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada Manusia. Warta
Zoa. 15(3): 136-142.
Fatmawati D. 2014. Identifikasi Toxocara canis pada anak anjing di Makassar Pet
Clinic [skripsi]. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Fossum TW. 2013. Small Animal Surgery. 4th Edition. Missouri : Mosbyan affiliate of
Elsevier.
Hadi AM. 2019. Morphology study of Toxocara canis (Werner, 1788) worms by
scanning microscope. International Journal of Bioscience. 14(3): 293-298.
Halim N dan Iskandar A. 2012. Ketepatan diagnosis apendisitis dengan USG abdomen.
Jurnal Kedokteran Brawijaya. 27(2): 115-117
Manurung RS dan L Siahaan. 2013. Infeksi Toxocara sp. pada hewan peliharaan di
Kelurahan Padang Bulan tahun 2012. E-Journal Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. 1(1): 1-3.
Marsicovetere P, S Ivatury, B White, dan S Holubar. 2017. Intestinal intussusception:
etiology, diagnosis, and treatment. Clinics in Colon and Rectal Surgery. 30(1):
30-39.
Murniati, E Sudarnika, dan Y Ridwan. 2016. Prevalensi dan faktor risiko infeksi
Toxocara cati pada kucing peliharaan di Kota Bogor. Jurnal Kedokteran
Hewan. 10(2): 139-142.
Overgaauw PAM. 1997. Prevalence of intestinal nematodes of dogs and cats in the
Netherlands. Vet Quart. 19(1): 14-17.
Pudjiatmoko. 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta (ID): Kementrian
Pertanian.
Radwan NA, AI Khalil, dan RAE Mahi. 2009. Morphology and occurence of species of
Toxocara in wild mammal populations ftom Egypt. Comparative Parasitology.
76(2): 273-282.
Savitri RC, V Oktaviana, dan F Fikri. 2020. Infeksi Toxocara canis pada anjing lokal di
Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner. 3(1): 127-131.
Setiawan B, Sudarminto, Hartiningsih. 2010. Perbandingan kadar elektrolit serum pasca
enterektomi ekstensif 75% pada anjing yang diterapi dengan laktoferin. Jurnal
Veteriner. 11(2) : 74-80.
Supraptini J. 2013. Kasus Toxocariasis pada anjing di Rumah Sakit Hewan Pendidikan
Universitas Airlangga. Jurnal Klinik Veteriner. 2(1): 12-15.
8

Taniawati S dan S Margono. 2008. Parasitologi Kedokteran. Edisi 4. Jakarta (ID): Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Utama KJ, IBM Oka, dan NS Dharmawan. 2017. Prevalensi infeksi cacing Toxocara
canis pada anjing di kawasan wisata di Bali. Indonesia Medicus Veterinus. 6(4):
288-295.
Widiastuti WA, IG Soma, dan IPGY Arjentinia. 2018. Studi kasus: pneumonia karena
migrasi larva Toxocara sp. pada anjing basset hound. Indonesia Medicus
Veterinus. 7(6): 675-688.

Anda mungkin juga menyukai