Anda di halaman 1dari 33

1

INFEKSI SALURAN KEMIH

ESSAY PATOFISIOLOGI

PERIODE 2017

Oleh:

DIKY ARMOF MAULANA

20140811014036

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA

2017
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menyatakan adanya
pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri didalam saluran kemih, mulai dari
uretra hingga ginjal, dalam jumlah yang signifikan (Suprapto & Pardede, 2014: 91).
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering
ditemukan di praktik umum, walaupun bermacam- macam antibiotika sudah
tersedia luas di pasaran (Sukandar, 2014: 2131).
Secara mikrobiologi, ISK dinyatakan ada apabila terdapat bakteriuria
bermakna (ditemukan mikroorganisme patogen 105/ ml pada urine pancaran tengah
yang dikumpulkan dengan cara yang benar). ISK umumnya dapat dibagi dalam 2
kategori besar, yaitu ISK bagian bawah (uretritis, sistitis dan prostatitis) dan ISK
bagian atas (ureteritis dan pielonefritis) (Price & Wilson, 2005: 618).
ISK bertanggung jawab atas sekitar 7 juta kunjungan pasien terhadap dokter
setiap tahunnya di Amerika Serikat (Price & Wilson, 2005: 618). Infeksi saluran
kemih (ISK) sering menyerang manusia tanpa memandang usia, terutama
perempuan. Infeksi saluran kemih (ISK) sering ditemukan pada kehamilan, dengan
prevalensi rerata sekitar 10%. Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan
hampir 25- 35% semua perempuan dewasa pernah mengalami ISK selama
hidupnya. Selain itu, infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit
infeksi yang sering terjadi pada anak, selain infeksi saluran nafas atas dan diare
(Sukandar, 2014: 2131).
Gejala yang ditimbulkan oleh ISK ini beragam, mulai dari tanpa gejala atau
asimtomatik hingga gejala yang cukup berat. ISK serangan pertama umumnya
menunjukkan gejala klinik yang lebih jelas dibandingkan dengan infeksi
berikutnya. Gangguan kemampuan mengontrol kandung kemih, pola berkemih, dan
aliran urin dapat sebagai petunjuk untuk menentukan diagnosis. Demam merupakan
gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-kadang merupakan satu-satunya
gejala ISK pada anak. Pemeriksaan tanda vital termasuk tekanan darah, pengukuran
antropometrik, pemeriksaan massa dalam abdomen, kandung kemih, muara uretra,
pemeriksaan neurologik ekstremitas bawah, tulang belakang untuk melihat ada
3

tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK (Pardede, Tambunan,
Alatas, Trihono & Hidayati, 2011: 5).
Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh
sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan
diagnosis. Pada sebuah studi yang melibatkan 4290 sampel kultur urin positif
dilaporkan bahwa bakteri patogen tersering pada ISK adalah Escherichia coli,
diikuti dengan Klebsiella pneumoniae. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa
bakteri gram positif yang paling sering ditemukan pada ISK adalah stafilokokus
koagulase negatif (Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth & Rouse, 2010).
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) infeksi saluran
kemih adalah standar kompetensi 4 A (empat a) yang berarti bahwa lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas (SKDI, 2012: 47). Berdasarkan hal tersebut dan
berdasarkan peraturan akademik mata kuliah Patofisiologi, bahwa seorang
mahasiswa- mahasiswi dapat mengikuti ujian akhir semester jika telah
menyelesaikan karya tulis (essai), maka pentingnya kajian ini adalah untuk
mempelajari secara menyeluruh tentang infeksi saluran kemih dalam hal penegakan
diagnosis. Oleh karena itu, penulis memilih infeksi saluran kemih sebagai judul
dalam karya tulis ilmiah ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi infeksi saluran kemih?
2. Bagaimana epidemiologi infeksi saluran kemih?
3. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari sistem urinalis?
4. Apa saja etiologi infeksi saluran kemih?
5. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi infeksi saluran kemih?
6. Bagaimana cara penegakan diagnosis infeksi saluran kemih?
7. Bagaimana penatalaksanaan infeksi saluran kemih?
8. Apa komplikasi dari infeksi saluran kemih?
9. Bagaimana prognosis penderita infeksi saluran kemih?
10. Bagaimana cara pencegahan infeksi saluran kemih?
11. Bagaimana analisis kasus infeksi saluran kemih?
4

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui definisi infeksi saluran kemih.
2. Mengetahui epidemiologi infeksi saluran kemih.
3. Mengetahui anatomi dan fisiologi dari sistem urinalis.
4. Mengetahui etiologi infeksi saluran kemih.
5. Mengetahui patogenesis infeksi saluran kemih.
6. Mengetahui cara penegakan diagnosis infeksi saluran kemih.
7. Mengetahui penatalaksanaan infeksi saluran kemih.
8. Mengetahui komplikasi dari infeksi saluran kemih.
9. Mengetahui prognosis penderita infeksi saluran kemih.
10. Mengetahui cara pencegahan infeksi saluran kemih.
11. Dapat menganalisis kasus infeksi saluran kemih.

.
5

BAB II
ISI
2.1 Definisi
Defini infeksi menurut kamus kedokteran Dorland, merupakan invasi dan
multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh yang secara klinis
mungkin tidak tampak (asimtomatis) dan bersifat sementara jika pertahanan tubuh
efektif. Namun, infeksi dapat menetap, menjadi simtomatik, atau menyebar luas
untuk kemudian menjadi penyakit yang bersifat akut, subakut atau kronik. Infeksi
lokal dapat menjadi sistemik ketika mikroorganisme penyebab mendapat akses
untuk memasuki sistem limfatik atau aliran darah. Infeksi saluran kemih (ISK)
adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih (Dorland, 2010:
1090).
Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna. Bakteriuria ialah terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria
bermakna bila ditemukannya kuman dalam jumlah bermakna. Pengertian jumlah
bermakna tergantung pada cara pengambilan sampel urin. Bila urin diambil dengan
cara mid stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut bermakan bila
ditemukan kuman 105 cfu (colony forming unit) atau lebih dalam setiap mililiter
urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi supra pubik, disebutkan
bermakna jika ditemukan kuman dalam jumlah berapa pun (Pardede, Tambunan,
Alatas, Trihono & Hidayati, 2011: 2).
Berbagai istilah dalam infeksi saluran kemih dan definisinya (Tanto &
Hustrini, 2014: 640), (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008:
376):
1. Piolonefritis : infeksi pada ginjal (Tanto & Hustrini, 2014: 640), (Fauci,
Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376).
2. Ureteritis : infeksi pada ureter (Tanto & Hustrini, 2014: 640), (Fauci,
Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376).
3. Sistitis : infeksi pada kandung kemih/ buli- buli (Tanto & Hustrini,
2014: 640), (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008:
376).
6

4. Uretritis : infeksi pada uretra (Tanto & Hustrini, 2014: 640), (Fauci,
Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376).

Infeksi saluran kemih merupakan infeksi sistem nomor dua paling sering setelah
infeksi saluran napas. Adapun faktor risikonya adalah perempuan, usia lanjut,
terdapat di ruang emergensi perkotaan, infeksi nosokomial, kehamilan,pemakaian
foley kateter, riwayat instrumentasi saluran kemih, abnormalitas anatomik dan
fungsional saluran kemih, infeksi saluran kemih masa kanak-kanak, pemakaian
antimikroba baru-baru ini, keluhan lebih dari 7 hari, diabetes mellitus,
immunosupresi, litiasis, penyakit ginjal, polikistik, nekrosis papilar, nefropati
analgesik, penyakit Sikle – cell dan senggama (Sukandar, 2014: 2132).

2.2 Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender,
prevalens bakteriuria (seperti yang telah dipaparkan di definisi) dan faktor
predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal
(Sukandar, 2014: 2132).
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK ditempat
praktik umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada perempuan muda yang masih
aktif secara seksual dan jarang pada laki-laki <50 tahun (Scanlon & Sanders, 2007:
423). Insiden ISK pada laki-laki yang belum disirkumsisi lebih tinggi (1,12%)
dibandingkan pada laki-laki yang sudah disirkumsisi (0,11%) (Nguyen, 2008: 193).
Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan.
Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama
periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai
30%, baik laki- laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti
terlihat pada tabel 2 berikut ini (Sukandar, 2014: 2132).
Data studi kolaboratif pada 7 rumah sakit institusi pendidikan dokter spesialis
anak di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1989) memperlihatkan
insidens kasus baru ISK pada anak berkisar antara 0,1%-1,9% dari seluruh kasus
pediatri yang dirawat.16 Di RSCM Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995)
didapatkan 212 kasus ISK, rata-rata 70 kasus baru setiap tahunnya (Tambunan,
Suarta, Trihoo, Pardede, 2010: 372).
7

2.3 Anatomi dan Fisiologi Sistem Urinalis


Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus- menerus menghasilkan urine dan
berbagai saluran dan reservoar yang dibutuhkan untuk membawa urine keluar
tubuh. Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi
kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri
karena tertekan oleh ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga kedua
belas. Sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. Tiga fungsi
utama ginjal adalah filtrasi glomerulus, reabsorbsi dan eksresi (Price & Wilson,
2005: 867).
Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10- 12 inci (25- 30
cm), terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi satu- satunya adalah
menyalurkan urine ke vesika urinari. Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot
yang dapat mengempis, terletak di belakang simfisis pubis. Vesika urinaria
mempunyai tiga muara: dua dari ureter dan satu menuju uretra. Dua fungsi vesika
urinaria adalah sebagai tempat penyimpanan urine sebelum meninggalkan tubuh
dan mendorong urine keluar dari tubuh dibantu uretra. Uretra adalah saluran kecil
yang dapat mengembang, berjalan dari vesika urinaria sampai keluar tubuh,
panjang pada perempuan sekitar 1½ inci (4 cm) dan pada laki- laki sekitar 8 inci
(20 cm). Muara uretra keluar tubuh disebut meatus urinarius (Price & Wilson,
2005: 868).
Pada penderita infeksi saluran kemih, terdapat gangguan berupa
mikroorganisme yang patogen pada sistem urinarius atau perkemihan (bisa pada
ginjal, atau ureter atau vesica urinaria atau uretra). Air kemih yang normalnya tidak
mengandung bakteri, virus atau mikroorganisme lain menjadi tercemar oleh
mikroorganisme seperti Escherichia coli. Hal ini menyebabkan invasi secara
asending ke saluran kemih dan menimbulkan reaksi peradangan.

2.4 Etiologi
Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus maupun parasite, dapat
menginfeksi traktus urinarius. Penyebab tersering ISK pada anak ialah Eschericha
coli, hampir sekitar 80%. Namun, bakteri merupakan penyebab tersering penyakit
8

ISK (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376). Berikut
beberapa bakteri tersebut antara lain:
1. Esherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan
infeksi simtomatik maupun asimtomatik (Sukandar, 2014: 2132). Escherichia
coli adalah bakteri oportunis yang banyak ditemukan di dalam kolon manusia.
Bakteri ini berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram negatif, dan berukuran
0,4 - 0,7 pm x 1,4 µm. Sebagian bakteri ini memiliki gerak positif dan beberapa
strain mempunyai kapsul. Escherichia coli merupakan mikroorganisme yang
paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi simtomatik maupun
asimtomatik. Strain Escherichia coli yang berhasil diisolasi dari urin pasien ISK
klinis diduga mempunyai patogenesitas khusus dengan faktor virulensi
(Karsinah, Suharto & W Mardiastuti, 2010: 195).
2. Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK
pada anak laki- laki berusia 5 tahun). Bakteri ini berbentuk batang pendek
dengan ukuran 0,5µm x 3,0µm, Gram negatif, tidak berspora, dan bergerak
dengan flagel peritrik. Proteus menyebabkan infeksi pada manusia ketika bakteri
tersebut meninggalkan saluran cerna. Spesies yang menyebabkan ISK adalah
Proteus mirabilis. Spesies Proteus ini memproduksi unease dengan
membebaskan ammonia. Dengan demikian, infeksi sistem saluran kemih yang
disebabkan oleh Proteus akan membuat urin menjadi alkali dan mengakibatkan
endapan kalsium fosfat dan tripel kalsium, magnesium, dan ammonium fosfat.
Kalkuli bekerja sebagai benda asing dan mendukung terjadinya infeksi. Gerakan
spontan Proteus dapat berpengaruh pada invasi sistem saluran kemih (Brooks,
Butel &Morse, 2005: 360).
3. Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase negatif (Sukandar, 2014:
2132). Klebsiella merupakan bakteri enterik berbentuk batang pendek dengan
ukuran 0,5 µm x 3,0 µm, Gram negatif, tidak berspora, tidak bergerak,
mempunyai kapsul polisakarida yang besar. Melalui polisakarida ekstraseluler
tersebut, spesies Klebsiella akan cenderung membentuk batu dan lebih sering
didapatkan pada pasien dengan batu saluran kemih (Brooks, Butel &Morse,
2005: 360).
9

4. Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus


jarang dijumpai, kecuali pasca katerisasi (Sukandar, 2014: 2132).
5. Pola mikroorganisme (MO) bakteriuria dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1. Famili, Genus dan Species MO yang Paling Sering Sebagai Penyebab
ISK

Gram negatif Gram positif


Spec
Famili Genus Species Famili Genus ies
Micrococc Staphylo aure
coli aceace coccus us
E Klebsiella pneumon
iae
oxytosa
mirabilis
Proteus
vulgaris
cloacae
Enterobacteriaceae Enteobacter aerogene
s enter
Streptococ Streptoco
rettgeri ococ
Providencia ceae ccus
stuartii cus
Morganella morganii
freundii
Citrobacter
diversus
morcesce
Serratia ns
aerugino
Pseudomonadaceace Psedomnas sa
(Sukandar, 2014: 2133).
10

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi


1. Patogenesis
Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau urin bebas dari
mikroorganisme atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat
mikroorganisme masuk ke dalam saluran kemih dan berkembangbiak di dalam
media urin. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui 4 cara, yaitu
(Purnomo, 2003):
a. Ascending
b. Hematogen
c. Limfogen
d. Langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau eksogen
sebagai akibat dari pemakaian intrumen.
Sebagian besar mikroorganisme memasuki saluran kemis melalui cara
ascending. Kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal
dari flora normal usus dan hidup secara komensal di introitus vagina, prepusium
penis, kulit perineum, dan sekitar anus. Mikroorganisme memasuki saluran
kemih melalui uretra – prostat – vas deferens – testis (pada pria) – buli-buli –
ureter dan sampai ke ginjal (Purnomo, 2003).
Dua jalur utama terjadinya ISK adalah hematogen dan ascending, tetapi dari
kedua cara ini ascending-lah yang paling sering terjadi (Purnomo, 2003):
a. Hematogen
Infeksi hematogen kebanyakan terjadi pada pasien dengan daya tahan
tubuh yang rendah, karena menderita sesuatu penyakit kronis, atau pada
pasien yang mendapatkan pengobatan imunosupresif. Penyebaran
hematogen bisa juga timbul akibat adanya fokus infeksi di tempat lain,
misalnya infeksi S. aureus pada ginjal bisa terjadi akibat penyebaran
hematogen dari fokus infeksi di tulang, kulit, endotel, atau tempat lain. M.
Tuberculosis, Salmonella, pseudomonas, Candida, dan Proteus sp termasuk
jenis bakteri/ jamur yang dapat menyebar secara hematogen.
Walaupun jarang terjadi, penyebaran hematogen ini dapat
mengakibatkan infeksi ginjal yang berat, misal infeksi Staphylococcus
dapat menimbulkan abses pada ginjal.
11

b. Ascending
Infeksi secara ascending (naik) dapat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :
 Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina.
 Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli.
 Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih
 Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal.
Berikut dibawah ini gambar masuknya kuman secara ascending kedalam
saluran kemih.

Gambar 2. Masuknya kuman secara ascending ke dalam saluran kemih.


(1)kolonisasi kuman di sekitar uretra, (2)masuknya kumen melaui uretra ke
buli-buli, (3)penempelan kuman pada dinding buli-buli, (4)masuknya kumen
melaui ureter ke ginjal (Purnomo, 2003).

Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan


antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen)/ patogenitas bakteri
sebagai agent dan epitel saluran kemih/ status pasien sebagai host (Purnomo,
2003).
Patogenesis bakteriuri asimtomatik menjadi bakteriuri simtomatik dengan
presentasi klinis ISK tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri
(host) (Sukandar, 2014: 2132).
a. Peranan Patogenesis Bakteri
Sejumlah flora saluran cerna termasuk Escherica coli diduga terkait
dengan etiologi ISK. Penelitian melaporkan lebih dari 170 serotipe o
12

(antigen) E.coli yang patogen. Patogenitas E.coli terkait dengan bagian


permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS) seperti terlihat pada
gambar 2 dibawah ini (Sukandar, 2014: 2132).

Gambar 2. Permukaan E coli (Sukandar, 2014: 2132).

Hanya IG serotipe dari 170 serotipe O/E coli yang berhasil diisolasi
rutin dari pasien ISK klinis,diduga starin E.coli ini mempunyai patogenisitas
khusus. Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli
dikenal sebagai virulence determinalis,seperti terlihat pada tabel 4
(Sukandar, 2014: 2132). Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens)
dapat menyebabkan presetasi klinis ISK tergatung juga dari faktor lainnya
seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi fase
faktor virulensa (Sukandar, 2014: 2132).

 Peranan bakterial (attachment of mucosa)


Pembuktian bahwa fimbriae (proteinaceous hair-like projection
from the bacterial surface) seperti terlihat pada Gambar 2, merupakan
salah satu pelengkap patogenesitas yang pmempunyai kemampuan
untuk melekat pada permukaaan mukosa salura kemih. Pada umumnya
P fimbriae aka terikat pada P blood group antigen yang terdapat pada
13

sel epital saluran kemih atas dan bawah fimbriae dari strain E.coli ii
dapat diisolasi haya dari urin segar (Sukandar, 2014: 2132).
 Peranan faktor virulensi lainnya
Kemampuan untuk melekat (adhesion) mikoorganisme (MO) atau
bakteri tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun non-fimbriae.
Pada saat ini dikenal beberapa adhesion seperti fimbriae (tipe 1, P da
S), non fembrial adhesions (DR haemaglutinin atau DFA component of
DR blood group), fimbrial adhesions (AFA-1 dan AFA-III), M-
adhesions, G-adhesions dan curli adhesions (Sukandar, 2014: 2133).
Sifat patogenitas lain dari E.coli berhubungan dengan toksin.
Dikenal beberapa toksin seperti α-haemolisin, cytotoxic necrotizing
factor-1 (CNF-1) dan iron uptake system (aerobactin dan
enterobactin). Hampir 90% α-haemolisin terikat pada kromosom dan
berhubungan dengan pathogenecity islands (PAIS) dan hanya 5%
terikat pada gen plasmio (Sukandar, 2014: 2134).
Resistensi uropatogenik E.coli terhadap serum manusia perantara
(mediator) beberapa faktor terutama aktivasi sistem komplemen
termasuk membrane attack complex (MAC). Mekanisme pertahanan
tubuh berhubungan dengan pembentukan kolisin (Col V), K-1, Tra T
proteins da outer membrane protein (OPHA). Menurut beberapa
peneliti uropatogenik MO ditandai dengan ekspresi faktor virulensi
ganda. Beberapa sifat uropatogen MO; seperti resistensi serum,
sekuestrasi besi, pembentukan hidroksat dan antigen K yang muncul
mendahului manifestasi klinis ISK. Gen virulensi dikendalikan faktor
luar seperti suhu, ion besi, osmolaritas, pH dan tekanan oksigen.
Laporan penelitia Johnson mengungkapkan virulensi E.coli sebagai
penyebab ISK terdiri atas fimbriae type 1 (58%), P- fimbrae (24%),
aerobactin (25%) dan antigen O (28%) (Sukandar, 2014: 2134).
 Faktor virulensi variasi vase
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami
perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase
MO ini menunjukan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi
14

diantara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan
hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal (Sukandar,
2014: 2134).
b. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
 Faktor predisposisi pencetus ISK
Penelitian Epidemiologi klinik mendukung hipotesis peranan
status saluran kemih merupakan faktor resiko atau pencetus ISK. Jadi
faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan
penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi
bacteria sering mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat
kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih
termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat
menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka
terhadap infeksi. Zat makana dari bakteri akan meningkat dari normal,
diikuti refluk MO dari kandung kemih ke ginjal. Endotoksin (lipid A)
dapat menghambat peristaltic ureter. Refluk vesikoureter ini sifatnya
sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibbiotika
(Sukandar, 2014: 2134).
Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila
refluk vesikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda
tidak jarang dijumpai di klini gagal ginjal termina (GGT) tipe kering,
artinya tanpa edema dengan-tanpa hipertensi (Sukandar, 2014: 2134).
 Status Imunologi Pasies (host)
Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah
dan status secretor mempunyao kontribusi untuk kepekaan terhadap
ISK. Pada tabel 5 dapat dilihat beberapa faktor dapat meningkatkan
hubungna antara bebagai ISK (ISK rekuren) dan staus secretor (sekresi
antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas immunoglobulin)
sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait golongan
darah AB, A dan PI (antigen terhadap tiper fimbriae bakteri) dan
dengan fenotipe golongandarah Lewis (Sukandar, 2014: 2134).
15

Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan


saluran kemih normal (ISK tipe sederhana) lebih besar pada kelompok
antigen darah non- sekretorik dibandingkan kelompok sekretorik
Penelitian lain melaporkan sekresi IgA urin meningkat dan diduga
mempunyai peranan penting untuk kepekaan ISK rekuren (Sukandar,
2014: 2135).
2. Patofisiologi
Pada individu normal, biasanya laki-laki maupun perempuan urin selalu
steril karena di pertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal
merupakan tempat kolonisasi mikroorganismenonpathogenic fastidious Gram-
positive dan Gram-negatif (Sukandar, 2014: 2135).
Hampir semua ISK disebabkan invasi miikroorganisme asending dari uretra
ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganisme
dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks vesikoureter (Sukandar,
2014: 2135).
Pada invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik,
mungkin akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi
sebagai akibat lanjut septikemi atau endocarditis akibat Stafilokokus aureus.
Kelainan ginjal yang terkait dengan endocarditis (stafilokokus aureus) dikenal
Nephritis Lohlein. Beberapa penelitian melaporkan pielonefritis akut (PNA)
sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif
(Sukandar, 2014: 2135).

2.6 Penegakan Diagnosis


1. Anamnesa
Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai tanpa gejala
hingga menunjukan gejala yang sangat berat akibat kerusakan pada organ- organ
lain. Pada umumnya infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat,
epididimis dan testis) memberikan keluhan yang hebat, sedangkan infeksi pada
organ- organ berongga (buli- buli/ visica urinaria, ureter dan pielum)
memberikan keluhan yang lebih ringan (Purnomo, 2003: 38).
16

Gejala yang sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing
yang biasanya terjadi bersamaan,disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis.
Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi, yaitu
(Sukandar, 2014: 2135):
a. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra pubik,
disuria, frekuensi, hematuri, urgensi, dan stranguria
b. Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri
punggung, muntah, skoliosis, dan penurunan berat badan.

Gambar 3. Hubungan antara lokasi infeksi dengan gejala klinis (Sukandar, 2014:
2135)

Selain itu pada neonatus hingga usia 2 bulan, gejala dapat berupa demam,
apatis, berat badan tidak naik, muntah, mencret, anoksia, tidak mau minum, dan
sianosis (Lum, 2000: 620). Sedangkan pada bayi, gejalanya berupa demam, berat
badan tidak naik, atau anoreksia (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo &
Wilson, 2008: 376). Dan pada anak besar, gejala berupa nyeri BAK, frekuensi
BAK meningkat, nyeri perut atau pinggang, mengompol, polakisuria, atau urin
berbau menyengat (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008:
376).
17

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan teliti dengan tujuan untuk
memeriksa adanya kondisi-kondisi yang dapat menjadi predisposisi terjadinya
ISK. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam, nyeri ketok sudut kosto-
vertebrae, nyeri tekan suprasimfisis, kelainan genetalia eksterna (fimosis,
hipospadia, epispadia, atau sinekia ulva), atau kelainan tulang belakang (spina
bifida) (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
Meliputi pemeriksaan fisik secara umum yang berhubungan dengan gejala
ISK misalnya demam, nyeri ketok sudut kosto-vertebral atau nyeri tekan supra
simfisis, teraba massa pada abdomen atau ginjal teraba membesar. dan
pemeriksaan neurologis terutama ekstremitas bawah. Pemeriksaan genitalia
eksterna yaitu inspeksi pada orifisium uretra (fimosis, sinekia vulva, hipospsdia,
epispadia), anomali pada penis yang mungkin berhubungan dengan kelainan
pada saluran kemih dan adanya testis yang tidak turun pada prune-belly
syndrome harus dilakukan. Stigmata kelainan kongenital saluran kemih lain
seperti: arteri umbilikalis tunggal, telinga letak rendah, dan supernumerary
nipples harus diperhatikan (Purnomo, 2003: 18).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
 Urinalisis
Urinalisis sampel urin segar dan tidak disentrifugasi (lekosituria >
5/LPB atau dipstick positif untuk lekosit) dan biakan urin adalah
pemeriksaan yang penting dalam penegakkan diagnosis ISK (Purnomo,
2003: 39. Batasan diagnosis ISK adalah pertumbuhan bakteri >105 unit
koloni per mL urine segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari.
Namun, penemuan bakteri pada kultur urine memiliki interpretasi yang
berbeda untuk cara penampungan yang berbeda (Suprapto & Pardede,
2014: 92). Berikut interpretasi hasil biakan urin pada tabel 2 dibawah
ini:
18

Tabel 2. Interpretasi Hasil Biakan Urin

Kemungkinan
Cara Penampungan Jumlah Koloni
Infeksi
Pungsi Suprapubik Bakteri gram (-): asal ada > 99%
bakteri Bakteri gram (+):
beberapa ribu
Kateterisasi kandung > 105 104- 95%
kemih 105 103- Diperkirakan ISK
104 Diragukan, diulangi
Urin pancar tengah
Laki- Laki > 104 3 Diperkirakan ISK
Perempuan x biakan > 105 2 95%
x biakan > 105 1 90%
x biakan > 105 5 80%
x 104- 105 104- Diragukan, diulangi
5 x 104 (klinis simptomatik) Diperkirakan,
104- 5 x 104 (klinis Tidak ada ISK
asimptomatik)
< 104 Tidak ada ISK
Urine collector
disimpan pada tempat
steril, lazim digunakan
pada anak atau bayi
(Suprapto & Pardede, 2014: 92).

Diagnosis ISK ditegakkan dengan biakan urin yang sampelnya diambil


dengan urin porsi tengah dan ditemukan pertumbuhan bakteri > 100.000
koloni/ml urin dari satu jenis bakteri, atau bila ditemukan > 10.000 koloni
tetapi disertai gejala yang jelas dianggap ISK. Cara pengambilan sampel
lain yaitu melalui kateterisasi kandung kemih, pungsi suprapubik dan
menampung urin melalui steril collection bag yang biasa dilakukan pada
19

bayi. Akurasi cara pengambilan urin tersebut memberikan nilai intepretasi


yang berbeda (Purnomo, 2003: 39).
 Leukosuria
Urinalisis Leukosuria atau piuria merupakan salah satu petunjuk
penting terhadap dugaan adalah ISK. Dinyatakan positif bila terdapat >
5 leukosit/lapang pandang besar (LPB) sedimen air kemih. Adanya
leukosit silinder pada sediment urin menunjukkan adanya keterlibatan
ginjal. Namun adanya leukosuria tidak selalu menyatakan adanya ISK
karena dapat pula dijumpai pada inflamasi tanpa infeksi. Apabila
didapat leukosituri yang bermakna, perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan kultur (Purnomo, 2003: 39).
 Hematuria
Dipakai oleh beberapa peneliti sebagai petunjuk adanya ISK, yaitu
bila dijumpai 5-10 eritrosit/LPB sedimen urin. Dapat juga disebabkan
oleh berbagai keadaan patologis baik berupa kerusakan glomerulus
ataupun oleh sebab lain misalnya urolitiasis, tumor ginjal, atau nekrosis
papilaris (Sukandar, 2006).
 Bakteriologis
 Mikroskopis
Dapat digunakan urin segar tanpa diputar atau tanpa pewarnaan
gram. Dinyatakan positif bila dijumpai 1 bakteri /lapangan pandang
minyak emersi.
 Biakan bakteri
Dimaksudkan untuk memastikan diagnosis ISK yaitu bila
ditemukan bakteri dalam jumlah bermakna sesuai dengan criteria
Cattell, 1996 (Tanto & Hustrini, 2014: 641): Wanita, simtomatik >102
10 organisme koliform/ml urin plus piuria, atau 5 Adanya pertumbuhan
organisme pathogen apapun pada urin yang diambil dengan cara
aspirasi suprapubik organisme pathogen apapun/ml urin, atau laki-laki,
simtomatik >103 • Pasien asimtomatik organisme patogen/ml urin 105
organisme patogen/ml urin pada 2 contoh urin berurutan (Tanto &
Hustrini, 2014: 641).
20

 Tes Kimiawi
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate.
Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki, mereduksi
nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini
dapat dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas
90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil
palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak,
infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter (Suprapto & Pardede, 2014:
92).
 Tes Plat-Celup (Dip-slide)
Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya
dilapisi perbenihan padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau
dengan digenangi urin. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke
dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan
pengeraman semalaman pada suhu 37° C. Penentuan jumlah kuman/ml
dilakukan dengan membandingkan pola pertumbuhan pada lempeng
perbenihan dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan
kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara 1000 dan
10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah
dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan
kepekaannya tidak dapat diketahui (Sukandar, 2006).
b. Pencitraan
ISK kompleks beruhubungan dengan adanya kelainan anatomi dan
fungsi saluran kemih. Pencitraan dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi
adanya kelainan struktural dan fungsional seperti obstruksi, RVU atau
gangguan pengosongan kandung kemih; mendeteksi akibat dini dan lanjut
ISK dan mendeteksi dan memonitor anak yang mempunyai risiko
ISK(Sukandar, 2014: 2136). Teknik pencitraan yang umum digunakan
adalah sebagai berikut:
 Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sering digunakan untuk
menggantikan urografi intravena sebagai skrining inisial, karena lebih
21

cepat, non-invasif, aman, tidak mahal, sedikit menimbulkan stres pada


anak, dapat diulang untuk kepentingan monitoring dan mengurangi
paparan radiasi. Dengan pemeriksaan USG dapat terlihat formasi parut
ginjal, tetapi beberapa parut juga dapat luput dari pemeriksaan karena
pemeriksaan USG sangat tergantung dengan keterampilan orang yang
melakukan USG tersebut. Dan pemeriksaan dengan USG saja tidak
cukup, kombinasi dengan pemeriksaan foto polos abdomen dapat
membantu memberikan informasi mengenai ukuran ginjal, konstipasi,
spina bifida occulta, kalsifikasi ginjal dan adanya batu radioopak.
Secara teori, obstruksi dan RVU dapat mudah dideteksi, tetapi kadang-
kadang lesi yang ditemukan dikatakan sebagai kista jinak atau penyakit
polikistik apabila pemeriksaan USG tersebut tidak diikuti dengan
pemeriksaan radiologi (Purnomo, 2003: 39).
 Urogafi Intravena
Urografi intravena adalah pemeriksaan saluran kemih yang paling
sering dilakukan apabila dicurigai adanya refluks atau parut. Dengan
urografi intravena dapat diketahui adanya duplikasi ginjal dan ureter,
dimana sangat sulit dideteksi dengan USG. Kelainan lain yang dapat
pula dideteksi dengan urografi adalah horseshoe kidney dan
ginjal/ureter ektopik. Kekurangan urografi intravena adalah kurang
sensitif dibandingkan Renal Scintigraphy dalam mendeteksi
Pyelonephritis dan parut ginjal. Tingkat radiasi yang tinggi dan risiko
dari reaksi kontras juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan
(Purnomo, 2003: 40).
 Renal Cortical Scintragphy ( RCS)
Renal cortical scintragrphy telah menggantikan urografi intravena
sebagai teknik standard dalam deteksi skar dan inflamasi ginjal. RCS
dengan glucoheptonate atau Dimercaptosuccinic acid (DMSA) yang
dilabel dengan technetium yang memiliki sensitifitas dan spesifitas
yang tinggi. DMSA scan mempunyai kemampuan lebih baik dalam
deteksi dini perubahan inflamasi akut dan skar permanen dibandingkan
dengan USG atau urografi intravena. Computerized Tomography (CT)
22

juga sensitif dan spesifik dalam mendeteksi pielonephritis akut, tetapi


belum terdapat penelitian yang membandingkan CT dengan skintigrafi.
CT juga lebih mahal dibandingkan skintigrafi dan pasien terpajan
radiasi dalam tingkat yang tinggi, selain itu penggunaanya belum
ditunjang oleh bukti penelitian (Purnomo, 2003: 40).
 Voiding Cystourethrography (VCUG)
VCUG biasanya dilakukan apabila terdapat kelainan yang
bermakna pada pemeriksaan USG seperti hidronefrosis, disparitas
panjang ginjal atau penebalan dinding kandung kemih. VUR
merupakan kelaianan yang paling sering ditemukan dengan VCUG
yaitu sekitar 40%. Kapan waktu yang tepat dilakukan VCUG masih
kontroversi, mengingat dapat timbulnya efek transien infeksi. Apabila
tersedia, VCUG radionuklid lebih baik dibandingkan VCUG kontras
pada anak perempuan karena dapat mengurangi efek radiasi (Purnomo,
2003: 40)

2.7 Tatalaksana
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asimtomatis) tidak perlu
pemberian terapi, tetapi, ISK yang memberikan keluhan harus segera mendapatkan
antibiotika. Bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan di rumah sakit
guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian medikamentosa secara
intravena berupa analgetika dan antibiotika. Antibiotik yang diberikan berdasarkan
atas kultur kuman dan test kepekaan antibiotik (Purnomo, 2003: 40).
1. Terapi Farmakologis
a. Sebelum ada hasil biakan, diberikan pengobatan empiris selama 7- 10 hari.
Umumnya, setelah terapi antibiotik 2x 24 jam, gejala menghilang. Bila
belum, pikirkan antibiotik yang lain (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
b. Sistitis akut nonkomplikata. Pilihan antibiotik peroral, antara lain (Tanto &
Hustrini, 2014: 641);
 Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 3 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
 Siproflosasin 2 x 250 mg selama 3 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
 Nitrofurantoin 2 x 100 mg selama 7 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
23

 Co- amoxiclav 2 x 625 mg selama 7 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
c. Sistitis akut rekurens pada perempuan, diperlukan antibiotik profilaksis
untuk pecegahan (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
 Nitrofurontoin 50 mg/ hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
 Kotrimoksazol 240 mg/ hari atau 3 x seminggu (Tanto & Hustrini,
2014: 641).
 Apabila terjadi infeksi ditengah profilaksis, dapat diberikan
siprofloksasin 125 mg/ hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
d. Pielonefritis akut nonkomplikata (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
 Indikasi rawat: adanya tanda tanda toksisitas sistemik, tidak mampu
minum antibiotik oral. Antibiotik parentral pilihan: seftriakson 1 x 1gr
atau levofloksasin x 500 mg atau siprofloksasin 2 x 400 mg selama 7-
14 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
 Gejala ringan: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 7 hari (Tanto &
Hustrini, 2014: 641).
 Gejala berat: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 14 hari (Tanto &
Hustrini, 2014: 641).
e. ISK pada laki- laki (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
 Kotrimoksazol atau siprofloksasin selama 7 hari (Tanto & Hustrini,
2014: 641).
f. Bakteriuria asimtomatik (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
 Tata laksana hanya diberikan pada perempuan hamil, sebelum tindakan
bedah urologi dan setelah transplantasi ginjal (Tanto & Hustrini, 2014:
641).
g. ISK pada perempuan hamil (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
 Co- amixiclav, nitrofurontoin, sefalosporin oral, atau fosfomisin dosis
tunggal (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
 Pielonefritis: antibiotik IV sampai pasie afebris selama 24 jam diikuti
terapi oral 10- 14 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
 Antibiotik kontraindikasi: sulfonamid dan quinolon (Tanto & Hustrini,
2014: 641).
24

h. ISK pada pasien diabetes diobati dengan medikasi mentosa atau terapi
pembedahan (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
2. Terapi Nonfarmakologis
a. Indikasi rawat inap: disertai dehidrasi, muntah, tidak dapat minum peroral,
berusia <1 bulan, atau dicurigai urosepsis. Tata laksana mencakup rehidrasi
dan antibiotika intravena (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
b. Suportif: asupan cairan yang adekuat, perawatan higienitas daerah perineum
dan periuretra, serta pencegahan konstipasi. Pasien dan pengasuh juga perlu
diedukasi agar anak tidak menahan buang air kecil da penggunaan lampin
sekali pakai (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
c. Penggantian kateter yang teratur pada pasie yang menggunakanya (Tanto &
Hustrini, 2014: 641).
d. Pencegahan rekurensi ISK: menjaga kebersihan da higieni daerah uretra dan
sekitarnya (Tanto & Hustrini, 2014: 641).

2.8 Komplikasi
Komplikasi ISK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated ) dan
tipe berkomplikasi (complicated). Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi antara
lain batu saluran kemih, okstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang
multisitem, gangguan fungsi ginjal (Sukandar, 2014: 2136).
1. ISK sederhana (uncomplicated).
ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan
hamil merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak menyebabkan
akibat lanjut jangka lama (Sukandar, 2014: 2136).
2. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
 ISK selama kehamilan dari umur kehamilan (Sukandar, 2014: 2136).
 ISK pada diabetes mellitus. Penelitian epidemiologi klinik melaporkan
bakteriuria dan ISK lebih sering ditemukan pada DM dibandingkan
perempuan tanpa DM (Sukandar, 2014: 2136).

Basiluria asimtomatik (BAS) merupakan resiko untuk pielonefritis diikuti


penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Komplikasi emphysematous cystitis,
25

pielonefritis yang terkait spesies kandida dan infeksi Gram-negatif laiinya dijumpai
pada DM (Sukandar, 2014: 2136).

2.9 Prognosis
Selama infeksi saluran kemih masih hanya ada pada saluran bawah, maka
prognosinya baik. Akan tetapi, ketika infeksi sudah menyebar pada saluran atas
yaitu ke ginjal maka, prognosisnya dapat berbahaya (Lum, 2000: 621).
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan
penyembuhan 100% secara klinik maupun bakteriologi bila terapi antibiotika yang
diberikan sesuai. Bila terdapat faktor predisposisi yang tidak diketahui atau sulit
dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat menjadi kronik atau PNK. Pada pasien
Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis terlambat dan kedua ginjal telah
mengisut, pengobatan konservatif hanya semata-mata untuk mempertahankan faal
jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan transplantasi dapat merupakan pilihan
utama (Sukandar, 2006: 71).
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna,
kecuali bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan. Bila
terdapat infeksi yang sering kambuh, harus di cari faktor-faktor predisposisi.
Prognosis sistitis kronik baik bila di berikan antibiotik yang intensif dan tepat serta
faktor predisposisi mudah dikenal dan diberantas (Sukandar, 2006: 71).

2.10 Pencegahan
Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik
bersifat selektif degan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai
presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik harus rutin dengan jadwal
tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan,
dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan kateterisasi laki-laki
dan perempuan (Sukandar, 2014: 2137).
1. Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan
Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi bakteriuria
asimtomatik pada kehamilan bervariasi antara 2-10%; dan tergantung dari status
sosio-ekonomi. Bila mikroorganisme lain seperti Ureaplasma urealyticum dan
Gardnella vaginalis berhasil diisolasi, prevalensi bakteriuria asimtomatik
26

meningkat lebih dari 25%. Tetapi peranan kedua MO tersebut masih belum jelas
(Sukandar, 2014: 2137).
Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan basiluria asimtomatik
dua kali berturut-turut MO yang sama mempunyai sensitivitas 95% dan
spesivitas 95% untuk cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada
kelompok perempuan ini tidak diperlukan terapi antimikroba, cukup irigasi MO
dengan asupan cairan yang banyak (Sukandar, 2014: 2137).
Setiap perempuan hamil dengan basiluri asimtomatik harus mendapat terapi
antimikroba untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi
kehamilannya. Pada tabel 3 diperlihatkan insidens ISK selama kehamilan
(Sukandar, 2014: 2137).

Tabel 3. Insiden Infeksi Saluran Kemih (ISK) Selama Kehamilan

Status Insiden
Basiluri asimtomatik 4 – 10 %
Riwayat ISK sejak anak tanpa pembentukan jaringan ikat 7%
Riwayat ISK sejak anak disertai pembentukan jaringan ikat 7 %
Sistitis 4%
Pielonefritis 1–2%
(Sukandar, 2014: 2137).
2. Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes Melitus
Prevalensi bakteriuri asimtomatik pada perempuan disertai diabetes melitus
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes melitus.
Patogenesis kepekaan terhadap ISK diantara pasien diabetes mellitus tidak
diketahui pasti. Penelitian epidemiologi klinik gagal mencari hubungan antara
prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan kualitas pengendalian hiperglikemia
dengan parameter gula darah puasa dan HbA1C dan faal ginjal. Peneliti lain
Balasoiu D menemukan hubungan faktor risiko gangguan faal kandung kemih
(Bladder dysfunction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes
melitus. Disfungsi kandung kemih ini juga diduga akibat disfungsi saraf
autonom dan gangguan fungsi leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan
fagositosis). Perubahan susunan kimiawi dan konsentrasi protein Tamm-
27

Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan bacterial adhesion terhadap sel epitel


yang dapat mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK) (Sukandar, 2014: 2138).
Menurut beberapa peneliti basiluri asimtomatik pada diabetes melitus
merupakan faktor predisposisi pielonefritis akut disertai mikrosis papiler dan
insufisiensi renal. Basiluria asimtomatik dengan mikroorganisme pembentukan;
seperti E.coli, Candida spp dan klostridium dapat menyebabkan pielonefritis
emfisematosa disertai syok septik dan vasomotor akut nefropati (Sukandar,
2014: 2138).
Beberapa peneliti lebih cenderung memberikan terapi antimikroba pada
basiluria asimtomatik pada pasien dengan diabetes mellitus (Sukandar, 2014:
2138).
3. Resipien Transplantasi Ginjal
Prevalensi bakteriuria asimptomatik cukup tinggi mencapai 35-79%
diantara resipien pada 3-4 bulan pertama pasca transplantasi ginjal; diduga
terkait dengan indwelling catheter sebagai faktor resiko. Bakteriuria
asimptomatik pada resipien ini merupakan resiko pielonefritis akut (graft
infection), septikemia diikuti penurunan laju filtrasi glomerulus. Bakteriuria
simptomatik dengan presentasi klinis yang muncul 6 bulan pertama (late
infection) pasca transplantasi ginjal dengan presentasi klinik ringan (Sukandar,
2014: 2138).
Parameter hitung kuman/ml urin para resipien pasca transplantasi ginjal
modifikasi karena diuresis pasca cold ischemic time. Menurut beberapa peneliti,
kriteria bakteriuria asimptomatik dengan hitung kuman / ml urin (Sukandar,
2014: 2138).
Terapi antimikroba untuk bakteriuria asimptomatik pada resipien
transplantasi ginjal masih silang pendapat. Sebagian besar peneliti
menganjurkan kemotrapi untuk resipien pasca transplantasi ginjal dengan
bakteriuria asimptomatik disertai piuri (Sukandar, 2014: 2138).
4. ISK Berhubungan dengan Kateter
Pemasangan kateter jangka lama sering dilakukan pasien usia lanjut. Data
penelitian melaporkan prevalensi infeksi nosokomial mencapai 40% diduga
terkait pemasangan kateter urin. Bakteriuria asimptomatik dilaporkan 26%
28

diantara kelompok pasien indwelling catheter mulai dari hari 2-10. Hampir ¼
kelompok pasien tersebut diikuti presentasi klinik ISK. Bakteriemia dengan
prevalensi 3,6% diduga terkait dari sumber saluran kemih. Peneliti Tambyah dan
Maki menemukan catheter-associated UTI sebagian besar asimptomatik
(Sukandar, 2014: 2138).
Bakteria patogen yang terkait dengan bakteriuri dengan kateterisasi; seperti
E. Coli, Enterococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterobacter, dan
Candida. Pada umumnya bakteriuri terkait keteter bersifat polimikroba
(Sukandar, 2014: 2138).
Sebagian besar peneliti tidak menganjurkan antibiotik sebagai pencegahan
infeksi saluran kemih terkait kateter. Negara maju seperti USA menganjurkan
penggunaan keteter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida perak
untuk mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter (Sukandar, 2014: 2138).

2.11 Analisis Kasus


Dari buku- buku dan jurnal sertal atikel ilmiah yang penulis baca, ternyata
kasus infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, diantaranya
gagal ginjal, urosepsis, nekrosis papilla ginjal, terbentuknya batu saluran kemih,
supurasi atau pembentukan abses dan granuloma.

Faktor risiko utama terjadi ISK nosokomial adalah penggunaan kateter urin.
Angka penggunaan kateter di rumah sakit yang cukup banyak, seringkali tidak
diimbangi dengan upaya kontrol infeksi akibat penggunaan alat tersebut. Maka
untuk penggantian kateter harus selalu menerapkan tindakan aseptik dengan
peralatan steril untuk mencegah transmisi mikroorganisme dari uretra ke kandung
kemih penyebab infeksi nosokomial saluran kemih. Pemasangan kateter urine harus
sesuai dengan indikasi pemasangan untuk mengurangi frekuensi kateterisasi urine
pada pasien.

Adanya perbedaan pendapat tentang berbagai hal mengenai ISK, seperti krteria
diagnostik, teknik pengambilan sampel urin, tata laksana dan lama pemberian
antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis, dan lain-lain sering menyebabkan
keraguan dan kebingungan dalam menentukan tindakan dalam tatalaksana
penderita ISK, maka perlu dibuat suatu panduan atau konsensus agar dapat
29

membantu mengatasi keraguan dan kebingungan tersebut. Namun, harus selalu up


to date.

Selain itu, manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan tergantung pada umur,
mulai dengan asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak
terdeteksi baik oleh tenaga medis maupun oleh orangtua. Kesalahan dalam
menegakkan diagnosis (underdiagnosis atau overdiagnosis) akan sangat
merugikan. Underdiagnosis dapat berakibat penyakit berlanjut ke arah kerusakan
ginjal karena tidak diterapi. Sebaliknya overdiagnosis menyebabkan anak akan
menjalani pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu. Bila diagnosis ISK sudah
ditegakkan, perlu ditentukan lokasi dan beratnya invasi ke jaringan, karena akan
menentukan tata laksana dan morbiditas penyakit. Agar risiko terjadinya
komplikasi jangka panjang seperti parut ginjal, hipertensi, dan gagal ginjal kronik
tidak terjadi.
Disamping itu, untuk pemberian antibiotik sebagai terapi farmakologis pada
pasien infeksi saluran kemih (ISK) harus memilih antibiotik berdasarkan profil
bakteri patogen dan sensitivitas antibiotik setempat. Sebab jika tidak, maka akan
mudah terjadi resistensi. Bahkan beberapa penelitian telah menemukan adanya
resistensi antibiotik yang cukup tinggi pada bakteri patogen yang menyebabkan
ISK, di antara lain extended spectrum betalactamase E.coli (ESBL) dan MRSA
(methicillin resistant staphylococcus aureus). Golongan antibiotik yang sudah
dilaporkan mengalami resistensi adalah golongan betalaktam, kuinolon, dan
aminoglikosida. Sedangkan antibiotik yang masih jarang dilaporkan resistens
adalah golongan glikopeptida, nitrofurantoin, dan karbapenem. Oleh sebab itu,
dalam pemberian antibiotik harus berdasarkan profil bakteri patogen dan
sensitivitas antibiotik setempat, serta harus mempertimbangkan efek samping yang
ditimbulkan, agar tidak menimbulkan masalah resistensi.
30

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa poin
sebagai berikut:
1. Definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menyatakan
adanya pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri didalam saluran kemih,
mulai dari uretra hingga ginjal, dalam jumlah yang signifikan yaitu sebesar
105ml/ pada urine.
2. Epidemiologi terjadinya ISK yaitu ISK bertanggung jawab atas sekitar 7 juta
kunjungan pasien terhadap dokter setiap tahunnya di Amerika Serikat. Infeksi
saluran kemih (ISK) sering menyerang manusia tanpa memandang usia,
terutama perempuan. Infeksi saluran kemih (ISK) sering ditemukan pada
kehamilan, dengan prevalensi rerata sekitar 10%.
3. Anatomi sistem urinalis terdiri dari 2 ginjal (kiri dan kanan), 2 ureter (kiri dan
kanan), vesica urinaria dan uretra sebagai saluran keluar.
4. Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus maupun parasite, dapat
menginfeksi traktus urinarius. Penyebab tersering ISK pada anak ialah
Eschericha coli, hampir sekitar 80%.
5. Patogenesis dan patofisiologi infeksi saluran kemih yaitu ketika mikroorganisme
memasuki saluran kemih. Dari bahan bacaan yang penulis baca, terdapat 4 cara
mikroorganisme memasuki saluran kemih, yaitu ascending, hematogen,
limfogen dan langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau
eksogen sebagai akibat dari pemakaian intrumen.
6. Penegakan diagnosis infeksi saluran kemih (ISK) meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat.
7. Penatalaksanaan infeksi saluran kemih (ISK) meliputi terapi farmakologi (yang
paling sering adalah denga pemberian antibiotik) dan non farmakologi.
8. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain batu saluran kemih, okstruksi saluran
kemih, sepsis, infeksi kuman yang multisitem, dan gangguan fungsi ginjal.
31

9. Selama infeksi saluran kemih masih hanya ada pada saluran bawah, maka
prognosinya baik. Akan tetapi, ketika infeksi sudah menyebar pada saluran atas
yaitu ke ginjal maka, prognosisnya dapat berbahaya
10. Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik
bersifat selektif degan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai
presentasi klinik ISK.
11. Dari buku- buku dan jurnal sertal atikel ilmiah yang penulis baca, ternyata kasus
infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, diantaranya gagal
ginjal, urosepsis, nekrosis papilla ginjal, terbentuknya batu saluran kemih,
supurasi atau pembentukan abses dan granuloma.

3.2 Saran
1. Pembaca disarankan untuk tidak menjadikan makalah ini sebagai satu- satunya
sumber referensi bacaan tentang atresia bilier sehingga perlu menambah
pengetahuan dengan bacaan dari referensi lain.
2. Bagi mahasiswa kedokteran yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut terkait
infeksi saluran kemih sebaiknya memahami isi dan penambahan yang lebih
lengkap.
32

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Geo, F., Butel, Janet, S., & Morse, Stephan, A. 2005. Mikrobiologi
Kedokteran Edisi XXI Jilid I. Jakarta: Salemba Medika. 360- 362.

Cunningham, F, G., Leveno, K, J., Bloom, S, L., Hauth, J, C., & Rouse, D, J, Spong.
2010. Williams Obstetrics Edisi XXIII. USA: McGraw-Hill.

Dorland, W, A, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi XXXI. Jakarta:


EGC. 1029.

Fauci, Anthony, S., Braunwald, Eugne., Kasper, Dennis, L., Hauser, Stephen, L.,
Longo, L., & Wilson, Jean, D. 2008. Harrison’s Principles of Internal
Medicine Edisi XVII. New York: McGraw- Hill. 376.

Karsinah, Lucky., Suharto., & W, Mardiastuti, H. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi


Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta: Binarupa Aksara. 195- 198.

Lum, Gary, M. 2000. Current Pediatric Diagnosis & Treatment Edisi XIV. New
Jersey: Prentice Hall. 620- 621.

Nguyen, H, T. 2008. Smith’s General Urology Edisi XVII. Newyork: Mc Graw Hill
Medical Publishing Division. 193-195.

Pardede, Sudung, O., Tambunan, Taralan., Alatas, Husein., Trihono, Partini,


Pudjiastuti., & Hidayati, Eka, Laksmi. 2011. Konsensus Infeksi Saluran
Kemih Pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 5.
33

Price, Sylvia, Anderson., & Wilson, Lorraine, McCarty. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses- proses Penyakit Edisi VI Jilid II. Jakarta: EGC. 618- 619, 867-
868.

Purnomo, Basuki, B. 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi II. Jakarta : Sagung Seto.
13- 40.

Scanlon, V, C & Sanders, T. 2007. Essential of Anatomy and Physiology Edisi V.


Philadelpia: FA Davis Company. 420-432.

Standar Kompetensi Dokter Indonesia. 2012. Jakarta: Konsil Kedokteran


Indonesia. 47.

Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
(PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 29-72.

Sukandar, Enday. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta:
InternaPublishing. 2131- 2138.

Suprapto, Novita., & Pardede, Sudung, O. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi
IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. 91- 92.

Tambunan, T., Suarta, K., Trihono, P, P., Pardede, S, O. 2000. Infeksi saluran kemih
kompleks di Poliklinik Ginjal Anak RSUP Nasional Dr. Ciptomangunkusumo.
Majalah Kedokteran Indonesia, 50 (6): 372.

Tanto, Chris., & Hustrini, Ni, Made. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid
II. Jakarta: Media Aesculapius. 640- 641.

Anda mungkin juga menyukai