ESSAY PATOFISIOLOGI
PERIODE 2017
Oleh:
20140811014036
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2017
2
BAB I
PENDAHULUAN
tidaknya spina bifida, perlu dilakukan pada pasien ISK (Pardede, Tambunan,
Alatas, Trihono & Hidayati, 2011: 5).
Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting. Oleh
sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk menegakkan
diagnosis. Pada sebuah studi yang melibatkan 4290 sampel kultur urin positif
dilaporkan bahwa bakteri patogen tersering pada ISK adalah Escherichia coli,
diikuti dengan Klebsiella pneumoniae. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa
bakteri gram positif yang paling sering ditemukan pada ISK adalah stafilokokus
koagulase negatif (Cunningham, Leveno, Bloom, Hauth & Rouse, 2010).
Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) infeksi saluran
kemih adalah standar kompetensi 4 A (empat a) yang berarti bahwa lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas (SKDI, 2012: 47). Berdasarkan hal tersebut dan
berdasarkan peraturan akademik mata kuliah Patofisiologi, bahwa seorang
mahasiswa- mahasiswi dapat mengikuti ujian akhir semester jika telah
menyelesaikan karya tulis (essai), maka pentingnya kajian ini adalah untuk
mempelajari secara menyeluruh tentang infeksi saluran kemih dalam hal penegakan
diagnosis. Oleh karena itu, penulis memilih infeksi saluran kemih sebagai judul
dalam karya tulis ilmiah ini.
.
5
BAB II
ISI
2.1 Definisi
Defini infeksi menurut kamus kedokteran Dorland, merupakan invasi dan
multiplikasi mikroorganisme atau parasit dalam jaringan tubuh yang secara klinis
mungkin tidak tampak (asimtomatis) dan bersifat sementara jika pertahanan tubuh
efektif. Namun, infeksi dapat menetap, menjadi simtomatik, atau menyebar luas
untuk kemudian menjadi penyakit yang bersifat akut, subakut atau kronik. Infeksi
lokal dapat menjadi sistemik ketika mikroorganisme penyebab mendapat akses
untuk memasuki sistem limfatik atau aliran darah. Infeksi saluran kemih (ISK)
adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada saluran kemih (Dorland, 2010:
1090).
Infeksi saluran kemih (urinary tract infection=UTI) adalah bertumbuh dan
berkembang biaknya kuman atau mikroba dalam saluran kemih dalam jumlah
bermakna. Bakteriuria ialah terdapatnya bakteri dalam urin. Disebut bakteriuria
bermakna bila ditemukannya kuman dalam jumlah bermakna. Pengertian jumlah
bermakna tergantung pada cara pengambilan sampel urin. Bila urin diambil dengan
cara mid stream, kateterisasi urin, dan urine collector, maka disebut bermakan bila
ditemukan kuman 105 cfu (colony forming unit) atau lebih dalam setiap mililiter
urin segar, sedangkan bila diambil dengan cara aspirasi supra pubik, disebutkan
bermakna jika ditemukan kuman dalam jumlah berapa pun (Pardede, Tambunan,
Alatas, Trihono & Hidayati, 2011: 2).
Berbagai istilah dalam infeksi saluran kemih dan definisinya (Tanto &
Hustrini, 2014: 640), (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008:
376):
1. Piolonefritis : infeksi pada ginjal (Tanto & Hustrini, 2014: 640), (Fauci,
Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376).
2. Ureteritis : infeksi pada ureter (Tanto & Hustrini, 2014: 640), (Fauci,
Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376).
3. Sistitis : infeksi pada kandung kemih/ buli- buli (Tanto & Hustrini,
2014: 640), (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008:
376).
6
4. Uretritis : infeksi pada uretra (Tanto & Hustrini, 2014: 640), (Fauci,
Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376).
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi sistem nomor dua paling sering setelah
infeksi saluran napas. Adapun faktor risikonya adalah perempuan, usia lanjut,
terdapat di ruang emergensi perkotaan, infeksi nosokomial, kehamilan,pemakaian
foley kateter, riwayat instrumentasi saluran kemih, abnormalitas anatomik dan
fungsional saluran kemih, infeksi saluran kemih masa kanak-kanak, pemakaian
antimikroba baru-baru ini, keluhan lebih dari 7 hari, diabetes mellitus,
immunosupresi, litiasis, penyakit ginjal, polikistik, nekrosis papilar, nefropati
analgesik, penyakit Sikle – cell dan senggama (Sukandar, 2014: 2132).
2.2 Epidemiologi
Infeksi saluran kemih (ISK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender,
prevalens bakteriuria (seperti yang telah dipaparkan di definisi) dan faktor
predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal
(Sukandar, 2014: 2132).
Di Amerika Serikat, terdapat >7 juta kunjungan pasien dengan ISK ditempat
praktik umum. Sebagian besar kasus ISK terjadi pada perempuan muda yang masih
aktif secara seksual dan jarang pada laki-laki <50 tahun (Scanlon & Sanders, 2007:
423). Insiden ISK pada laki-laki yang belum disirkumsisi lebih tinggi (1,12%)
dibandingkan pada laki-laki yang sudah disirkumsisi (0,11%) (Nguyen, 2008: 193).
Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan.
Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 5% selama
periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai
30%, baik laki- laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti
terlihat pada tabel 2 berikut ini (Sukandar, 2014: 2132).
Data studi kolaboratif pada 7 rumah sakit institusi pendidikan dokter spesialis
anak di Indonesia dalam kurun waktu 5 tahun (1984-1989) memperlihatkan
insidens kasus baru ISK pada anak berkisar antara 0,1%-1,9% dari seluruh kasus
pediatri yang dirawat.16 Di RSCM Jakarta dalam periode 3 tahun (1993-1995)
didapatkan 212 kasus ISK, rata-rata 70 kasus baru setiap tahunnya (Tambunan,
Suarta, Trihoo, Pardede, 2010: 372).
7
2.4 Etiologi
Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus maupun parasite, dapat
menginfeksi traktus urinarius. Penyebab tersering ISK pada anak ialah Eschericha
coli, hampir sekitar 80%. Namun, bakteri merupakan penyebab tersering penyakit
8
ISK (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008: 376). Berikut
beberapa bakteri tersebut antara lain:
1. Esherichia coli merupakan MO yang paling sering diisolasi dari pasien dengan
infeksi simtomatik maupun asimtomatik (Sukandar, 2014: 2132). Escherichia
coli adalah bakteri oportunis yang banyak ditemukan di dalam kolon manusia.
Bakteri ini berbentuk batang pendek (kokobasil), Gram negatif, dan berukuran
0,4 - 0,7 pm x 1,4 µm. Sebagian bakteri ini memiliki gerak positif dan beberapa
strain mempunyai kapsul. Escherichia coli merupakan mikroorganisme yang
paling sering diisolasi dari pasien dengan infeksi simtomatik maupun
asimtomatik. Strain Escherichia coli yang berhasil diisolasi dari urin pasien ISK
klinis diduga mempunyai patogenesitas khusus dengan faktor virulensi
(Karsinah, Suharto & W Mardiastuti, 2010: 195).
2. Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (33% ISK
pada anak laki- laki berusia 5 tahun). Bakteri ini berbentuk batang pendek
dengan ukuran 0,5µm x 3,0µm, Gram negatif, tidak berspora, dan bergerak
dengan flagel peritrik. Proteus menyebabkan infeksi pada manusia ketika bakteri
tersebut meninggalkan saluran cerna. Spesies yang menyebabkan ISK adalah
Proteus mirabilis. Spesies Proteus ini memproduksi unease dengan
membebaskan ammonia. Dengan demikian, infeksi sistem saluran kemih yang
disebabkan oleh Proteus akan membuat urin menjadi alkali dan mengakibatkan
endapan kalsium fosfat dan tripel kalsium, magnesium, dan ammonium fosfat.
Kalkuli bekerja sebagai benda asing dan mendukung terjadinya infeksi. Gerakan
spontan Proteus dapat berpengaruh pada invasi sistem saluran kemih (Brooks,
Butel &Morse, 2005: 360).
3. Klebsiella spp dan Stafilokokus dengan koagulase negatif (Sukandar, 2014:
2132). Klebsiella merupakan bakteri enterik berbentuk batang pendek dengan
ukuran 0,5 µm x 3,0 µm, Gram negatif, tidak berspora, tidak bergerak,
mempunyai kapsul polisakarida yang besar. Melalui polisakarida ekstraseluler
tersebut, spesies Klebsiella akan cenderung membentuk batu dan lebih sering
didapatkan pada pasien dengan batu saluran kemih (Brooks, Butel &Morse,
2005: 360).
9
Tabel 1. Famili, Genus dan Species MO yang Paling Sering Sebagai Penyebab
ISK
b. Ascending
Infeksi secara ascending (naik) dapat terjadi melalui 4 tahapan, yaitu :
Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina.
Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli.
Multiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih
Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal.
Berikut dibawah ini gambar masuknya kuman secara ascending kedalam
saluran kemih.
Hanya IG serotipe dari 170 serotipe O/E coli yang berhasil diisolasi
rutin dari pasien ISK klinis,diduga starin E.coli ini mempunyai patogenisitas
khusus. Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E.coli
dikenal sebagai virulence determinalis,seperti terlihat pada tabel 4
(Sukandar, 2014: 2132). Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens)
dapat menyebabkan presetasi klinis ISK tergatung juga dari faktor lainnya
seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi fase
faktor virulensa (Sukandar, 2014: 2132).
sel epital saluran kemih atas dan bawah fimbriae dari strain E.coli ii
dapat diisolasi haya dari urin segar (Sukandar, 2014: 2132).
Peranan faktor virulensi lainnya
Kemampuan untuk melekat (adhesion) mikoorganisme (MO) atau
bakteri tergantung dari organ pili atau fimbriae maupun non-fimbriae.
Pada saat ini dikenal beberapa adhesion seperti fimbriae (tipe 1, P da
S), non fembrial adhesions (DR haemaglutinin atau DFA component of
DR blood group), fimbrial adhesions (AFA-1 dan AFA-III), M-
adhesions, G-adhesions dan curli adhesions (Sukandar, 2014: 2133).
Sifat patogenitas lain dari E.coli berhubungan dengan toksin.
Dikenal beberapa toksin seperti α-haemolisin, cytotoxic necrotizing
factor-1 (CNF-1) dan iron uptake system (aerobactin dan
enterobactin). Hampir 90% α-haemolisin terikat pada kromosom dan
berhubungan dengan pathogenecity islands (PAIS) dan hanya 5%
terikat pada gen plasmio (Sukandar, 2014: 2134).
Resistensi uropatogenik E.coli terhadap serum manusia perantara
(mediator) beberapa faktor terutama aktivasi sistem komplemen
termasuk membrane attack complex (MAC). Mekanisme pertahanan
tubuh berhubungan dengan pembentukan kolisin (Col V), K-1, Tra T
proteins da outer membrane protein (OPHA). Menurut beberapa
peneliti uropatogenik MO ditandai dengan ekspresi faktor virulensi
ganda. Beberapa sifat uropatogen MO; seperti resistensi serum,
sekuestrasi besi, pembentukan hidroksat dan antigen K yang muncul
mendahului manifestasi klinis ISK. Gen virulensi dikendalikan faktor
luar seperti suhu, ion besi, osmolaritas, pH dan tekanan oksigen.
Laporan penelitia Johnson mengungkapkan virulensi E.coli sebagai
penyebab ISK terdiri atas fimbriae type 1 (58%), P- fimbrae (24%),
aerobactin (25%) dan antigen O (28%) (Sukandar, 2014: 2134).
Faktor virulensi variasi vase
Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami
perubahan bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi fase
MO ini menunjukan peranan beberapa penentu virulensi bervariasi
14
diantara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan
hidup bakteri berbeda dalam kandung kemih dan ginjal (Sukandar,
2014: 2134).
b. Peranan Faktor Tuan Rumah (host)
Faktor predisposisi pencetus ISK
Penelitian Epidemiologi klinik mendukung hipotesis peranan
status saluran kemih merupakan faktor resiko atau pencetus ISK. Jadi
faktor bakteri dan status saluran kemih pasien mempunyai peranan
penting untuk kolonisasi bakteri pada saluran kemih. Kolonisasi
bacteria sering mengalami kambuh (eksasebasi) bila sudah terdapat
kelainan struktur anatomi saluran kemih. Dilatasi saluran kemih
termasuk pelvis ginjal tanpa obstruksi saluran kemih dapat
menyebabkan gangguan proses klirens normal dan sangat peka
terhadap infeksi. Zat makana dari bakteri akan meningkat dari normal,
diikuti refluk MO dari kandung kemih ke ginjal. Endotoksin (lipid A)
dapat menghambat peristaltic ureter. Refluk vesikoureter ini sifatnya
sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibbiotika
(Sukandar, 2014: 2134).
Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila
refluk vesikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda
tidak jarang dijumpai di klini gagal ginjal termina (GGT) tipe kering,
artinya tanpa edema dengan-tanpa hipertensi (Sukandar, 2014: 2134).
Status Imunologi Pasies (host)
Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah
dan status secretor mempunyao kontribusi untuk kepekaan terhadap
ISK. Pada tabel 5 dapat dilihat beberapa faktor dapat meningkatkan
hubungna antara bebagai ISK (ISK rekuren) dan staus secretor (sekresi
antigen darah yang larut dalam air dan beberapa kelas immunoglobulin)
sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait golongan
darah AB, A dan PI (antigen terhadap tiper fimbriae bakteri) dan
dengan fenotipe golongandarah Lewis (Sukandar, 2014: 2134).
15
Gejala yang sering timbul ialah disuria, polakisuria, dan terdesak kencing
yang biasanya terjadi bersamaan,disertai nyeri suprapubik dan daerah pelvis.
Gejala klinis ISK sesuai dengan bagian saluran kemih yang terinfeksi, yaitu
(Sukandar, 2014: 2135):
a. Pada ISK bagian bawah, keluhan pasien biasanya berupa nyeri supra pubik,
disuria, frekuensi, hematuri, urgensi, dan stranguria
b. Pada ISK bagian atas, dapat ditemukan gejala demam, kram, nyeri
punggung, muntah, skoliosis, dan penurunan berat badan.
Gambar 3. Hubungan antara lokasi infeksi dengan gejala klinis (Sukandar, 2014:
2135)
Selain itu pada neonatus hingga usia 2 bulan, gejala dapat berupa demam,
apatis, berat badan tidak naik, muntah, mencret, anoksia, tidak mau minum, dan
sianosis (Lum, 2000: 620). Sedangkan pada bayi, gejalanya berupa demam, berat
badan tidak naik, atau anoreksia (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo &
Wilson, 2008: 376). Dan pada anak besar, gejala berupa nyeri BAK, frekuensi
BAK meningkat, nyeri perut atau pinggang, mengompol, polakisuria, atau urin
berbau menyengat (Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo & Wilson, 2008:
376).
17
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan dengan teliti dengan tujuan untuk
memeriksa adanya kondisi-kondisi yang dapat menjadi predisposisi terjadinya
ISK. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan demam, nyeri ketok sudut kosto-
vertebrae, nyeri tekan suprasimfisis, kelainan genetalia eksterna (fimosis,
hipospadia, epispadia, atau sinekia ulva), atau kelainan tulang belakang (spina
bifida) (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
Meliputi pemeriksaan fisik secara umum yang berhubungan dengan gejala
ISK misalnya demam, nyeri ketok sudut kosto-vertebral atau nyeri tekan supra
simfisis, teraba massa pada abdomen atau ginjal teraba membesar. dan
pemeriksaan neurologis terutama ekstremitas bawah. Pemeriksaan genitalia
eksterna yaitu inspeksi pada orifisium uretra (fimosis, sinekia vulva, hipospsdia,
epispadia), anomali pada penis yang mungkin berhubungan dengan kelainan
pada saluran kemih dan adanya testis yang tidak turun pada prune-belly
syndrome harus dilakukan. Stigmata kelainan kongenital saluran kemih lain
seperti: arteri umbilikalis tunggal, telinga letak rendah, dan supernumerary
nipples harus diperhatikan (Purnomo, 2003: 18).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Urinalisis
Urinalisis sampel urin segar dan tidak disentrifugasi (lekosituria >
5/LPB atau dipstick positif untuk lekosit) dan biakan urin adalah
pemeriksaan yang penting dalam penegakkan diagnosis ISK (Purnomo,
2003: 39. Batasan diagnosis ISK adalah pertumbuhan bakteri >105 unit
koloni per mL urine segar pancar tengah (midstream urine) pagi hari.
Namun, penemuan bakteri pada kultur urine memiliki interpretasi yang
berbeda untuk cara penampungan yang berbeda (Suprapto & Pardede,
2014: 92). Berikut interpretasi hasil biakan urin pada tabel 2 dibawah
ini:
18
Kemungkinan
Cara Penampungan Jumlah Koloni
Infeksi
Pungsi Suprapubik Bakteri gram (-): asal ada > 99%
bakteri Bakteri gram (+):
beberapa ribu
Kateterisasi kandung > 105 104- 95%
kemih 105 103- Diperkirakan ISK
104 Diragukan, diulangi
Urin pancar tengah
Laki- Laki > 104 3 Diperkirakan ISK
Perempuan x biakan > 105 2 95%
x biakan > 105 1 90%
x biakan > 105 5 80%
x 104- 105 104- Diragukan, diulangi
5 x 104 (klinis simptomatik) Diperkirakan,
104- 5 x 104 (klinis Tidak ada ISK
asimptomatik)
< 104 Tidak ada ISK
Urine collector
disimpan pada tempat
steril, lazim digunakan
pada anak atau bayi
(Suprapto & Pardede, 2014: 92).
Tes Kimiawi
Yang paling sering dipakai ialah tes reduksi griess nitrate.
Dasarnya adalah sebagian besar mikroba kecuali enterokoki, mereduksi
nitrat bila dijumpai lebih dari 100.000 - 1.000.000 bakteri. Konversi ini
dapat dijumpai dengan perubahan warna pada uji tarik. Sensitivitas
90,7% dan spesifisitas 99,1% untuk mendeteksi Gram-negatif. Hasil
palsu terjadi bila pasien sebelumnya diet rendah nitrat, diuresis banyak,
infeksi oleh enterokoki dan asinetobakter (Suprapto & Pardede, 2014:
92).
Tes Plat-Celup (Dip-slide)
Lempeng plastik bertangkai dimana kedua sisi permukaannya
dilapisi perbenihan padat khusus dicelupkan ke dalam urin pasien atau
dengan digenangi urin. Setelah itu lempeng dimasukkan kembali ke
dalam tabung plastik tempat penyimpanan semula, lalu dilakukan
pengeraman semalaman pada suhu 37° C. Penentuan jumlah kuman/ml
dilakukan dengan membandingkan pola pertumbuhan pada lempeng
perbenihan dengan serangkaian gambar yang memperlihatkan keadaan
kepadatan koloni yang sesuai dengan jumlah kuman antara 1000 dan
10.000.000 dalam tiap ml urin yang diperiksa. Cara ini mudah
dilakukan, murah dan cukup akurat. Tetapi jenis kuman dan
kepekaannya tidak dapat diketahui (Sukandar, 2006).
b. Pencitraan
ISK kompleks beruhubungan dengan adanya kelainan anatomi dan
fungsi saluran kemih. Pencitraan dilakukan dengan tujuan untuk mendeteksi
adanya kelainan struktural dan fungsional seperti obstruksi, RVU atau
gangguan pengosongan kandung kemih; mendeteksi akibat dini dan lanjut
ISK dan mendeteksi dan memonitor anak yang mempunyai risiko
ISK(Sukandar, 2014: 2136). Teknik pencitraan yang umum digunakan
adalah sebagai berikut:
Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) sering digunakan untuk
menggantikan urografi intravena sebagai skrining inisial, karena lebih
21
2.7 Tatalaksana
Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asimtomatis) tidak perlu
pemberian terapi, tetapi, ISK yang memberikan keluhan harus segera mendapatkan
antibiotika. Bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan di rumah sakit
guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian medikamentosa secara
intravena berupa analgetika dan antibiotika. Antibiotik yang diberikan berdasarkan
atas kultur kuman dan test kepekaan antibiotik (Purnomo, 2003: 40).
1. Terapi Farmakologis
a. Sebelum ada hasil biakan, diberikan pengobatan empiris selama 7- 10 hari.
Umumnya, setelah terapi antibiotik 2x 24 jam, gejala menghilang. Bila
belum, pikirkan antibiotik yang lain (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
b. Sistitis akut nonkomplikata. Pilihan antibiotik peroral, antara lain (Tanto &
Hustrini, 2014: 641);
Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 3 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
Siproflosasin 2 x 250 mg selama 3 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
Nitrofurantoin 2 x 100 mg selama 7 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
23
Co- amoxiclav 2 x 625 mg selama 7 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
c. Sistitis akut rekurens pada perempuan, diperlukan antibiotik profilaksis
untuk pecegahan (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
Nitrofurontoin 50 mg/ hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
Kotrimoksazol 240 mg/ hari atau 3 x seminggu (Tanto & Hustrini,
2014: 641).
Apabila terjadi infeksi ditengah profilaksis, dapat diberikan
siprofloksasin 125 mg/ hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
d. Pielonefritis akut nonkomplikata (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
Indikasi rawat: adanya tanda tanda toksisitas sistemik, tidak mampu
minum antibiotik oral. Antibiotik parentral pilihan: seftriakson 1 x 1gr
atau levofloksasin x 500 mg atau siprofloksasin 2 x 400 mg selama 7-
14 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
Gejala ringan: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 7 hari (Tanto &
Hustrini, 2014: 641).
Gejala berat: siprofloksasin 2 x 250 mg selama 14 hari (Tanto &
Hustrini, 2014: 641).
e. ISK pada laki- laki (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
Kotrimoksazol atau siprofloksasin selama 7 hari (Tanto & Hustrini,
2014: 641).
f. Bakteriuria asimtomatik (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
Tata laksana hanya diberikan pada perempuan hamil, sebelum tindakan
bedah urologi dan setelah transplantasi ginjal (Tanto & Hustrini, 2014:
641).
g. ISK pada perempuan hamil (Tanto & Hustrini, 2014: 641);
Co- amixiclav, nitrofurontoin, sefalosporin oral, atau fosfomisin dosis
tunggal (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
Pielonefritis: antibiotik IV sampai pasie afebris selama 24 jam diikuti
terapi oral 10- 14 hari (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
Antibiotik kontraindikasi: sulfonamid dan quinolon (Tanto & Hustrini,
2014: 641).
24
h. ISK pada pasien diabetes diobati dengan medikasi mentosa atau terapi
pembedahan (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
2. Terapi Nonfarmakologis
a. Indikasi rawat inap: disertai dehidrasi, muntah, tidak dapat minum peroral,
berusia <1 bulan, atau dicurigai urosepsis. Tata laksana mencakup rehidrasi
dan antibiotika intravena (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
b. Suportif: asupan cairan yang adekuat, perawatan higienitas daerah perineum
dan periuretra, serta pencegahan konstipasi. Pasien dan pengasuh juga perlu
diedukasi agar anak tidak menahan buang air kecil da penggunaan lampin
sekali pakai (Suprapto & Pardede, 2014: 92).
c. Penggantian kateter yang teratur pada pasie yang menggunakanya (Tanto &
Hustrini, 2014: 641).
d. Pencegahan rekurensi ISK: menjaga kebersihan da higieni daerah uretra dan
sekitarnya (Tanto & Hustrini, 2014: 641).
2.8 Komplikasi
Komplikasi ISK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe sederhana (uncomplicated ) dan
tipe berkomplikasi (complicated). Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi antara
lain batu saluran kemih, okstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang
multisitem, gangguan fungsi ginjal (Sukandar, 2014: 2136).
1. ISK sederhana (uncomplicated).
ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan
hamil merupakan penyakit ringan (self limited disease) dan tidak menyebabkan
akibat lanjut jangka lama (Sukandar, 2014: 2136).
2. ISK tipe berkomplikasi (complicated)
ISK selama kehamilan dari umur kehamilan (Sukandar, 2014: 2136).
ISK pada diabetes mellitus. Penelitian epidemiologi klinik melaporkan
bakteriuria dan ISK lebih sering ditemukan pada DM dibandingkan
perempuan tanpa DM (Sukandar, 2014: 2136).
pielonefritis yang terkait spesies kandida dan infeksi Gram-negatif laiinya dijumpai
pada DM (Sukandar, 2014: 2136).
2.9 Prognosis
Selama infeksi saluran kemih masih hanya ada pada saluran bawah, maka
prognosinya baik. Akan tetapi, ketika infeksi sudah menyebar pada saluran atas
yaitu ke ginjal maka, prognosisnya dapat berbahaya (Lum, 2000: 621).
Prognosis pasien dengan pielonefritis akut, pada umumnya baik dengan
penyembuhan 100% secara klinik maupun bakteriologi bila terapi antibiotika yang
diberikan sesuai. Bila terdapat faktor predisposisi yang tidak diketahui atau sulit
dikoreksi maka 40% pasien PNA dapat menjadi kronik atau PNK. Pada pasien
Pielonefritis kronik (PNK) yang didiagnosis terlambat dan kedua ginjal telah
mengisut, pengobatan konservatif hanya semata-mata untuk mempertahankan faal
jaringan ginjal yang masih utuh. Dialisis dan transplantasi dapat merupakan pilihan
utama (Sukandar, 2006: 71).
Prognosis sistitis akut pada umumnya baik dan dapat sembuh sempurna,
kecuali bila terdapat faktor-faktor predisposisi yang lolos dari pengamatan. Bila
terdapat infeksi yang sering kambuh, harus di cari faktor-faktor predisposisi.
Prognosis sistitis kronik baik bila di berikan antibiotik yang intensif dan tepat serta
faktor predisposisi mudah dikenal dan diberantas (Sukandar, 2006: 71).
2.10 Pencegahan
Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik
bersifat selektif degan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai
presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik harus rutin dengan jadwal
tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan,
dan pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan kateterisasi laki-laki
dan perempuan (Sukandar, 2014: 2137).
1. Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan
Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi bakteriuria
asimtomatik pada kehamilan bervariasi antara 2-10%; dan tergantung dari status
sosio-ekonomi. Bila mikroorganisme lain seperti Ureaplasma urealyticum dan
Gardnella vaginalis berhasil diisolasi, prevalensi bakteriuria asimtomatik
26
meningkat lebih dari 25%. Tetapi peranan kedua MO tersebut masih belum jelas
(Sukandar, 2014: 2137).
Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan basiluria asimtomatik
dua kali berturut-turut MO yang sama mempunyai sensitivitas 95% dan
spesivitas 95% untuk cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada
kelompok perempuan ini tidak diperlukan terapi antimikroba, cukup irigasi MO
dengan asupan cairan yang banyak (Sukandar, 2014: 2137).
Setiap perempuan hamil dengan basiluri asimtomatik harus mendapat terapi
antimikroba untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi
kehamilannya. Pada tabel 3 diperlihatkan insidens ISK selama kehamilan
(Sukandar, 2014: 2137).
Status Insiden
Basiluri asimtomatik 4 – 10 %
Riwayat ISK sejak anak tanpa pembentukan jaringan ikat 7%
Riwayat ISK sejak anak disertai pembentukan jaringan ikat 7 %
Sistitis 4%
Pielonefritis 1–2%
(Sukandar, 2014: 2137).
2. Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes Melitus
Prevalensi bakteriuri asimtomatik pada perempuan disertai diabetes melitus
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes melitus.
Patogenesis kepekaan terhadap ISK diantara pasien diabetes mellitus tidak
diketahui pasti. Penelitian epidemiologi klinik gagal mencari hubungan antara
prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan kualitas pengendalian hiperglikemia
dengan parameter gula darah puasa dan HbA1C dan faal ginjal. Peneliti lain
Balasoiu D menemukan hubungan faktor risiko gangguan faal kandung kemih
(Bladder dysfunction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes
melitus. Disfungsi kandung kemih ini juga diduga akibat disfungsi saraf
autonom dan gangguan fungsi leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan
fagositosis). Perubahan susunan kimiawi dan konsentrasi protein Tamm-
27
diantara kelompok pasien indwelling catheter mulai dari hari 2-10. Hampir ¼
kelompok pasien tersebut diikuti presentasi klinik ISK. Bakteriemia dengan
prevalensi 3,6% diduga terkait dari sumber saluran kemih. Peneliti Tambyah dan
Maki menemukan catheter-associated UTI sebagian besar asimptomatik
(Sukandar, 2014: 2138).
Bakteria patogen yang terkait dengan bakteriuri dengan kateterisasi; seperti
E. Coli, Enterococcus, Klebsiella, Pseudomonas, Proteus, Enterobacter, dan
Candida. Pada umumnya bakteriuri terkait keteter bersifat polimikroba
(Sukandar, 2014: 2138).
Sebagian besar peneliti tidak menganjurkan antibiotik sebagai pencegahan
infeksi saluran kemih terkait kateter. Negara maju seperti USA menganjurkan
penggunaan keteter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida perak
untuk mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter (Sukandar, 2014: 2138).
Faktor risiko utama terjadi ISK nosokomial adalah penggunaan kateter urin.
Angka penggunaan kateter di rumah sakit yang cukup banyak, seringkali tidak
diimbangi dengan upaya kontrol infeksi akibat penggunaan alat tersebut. Maka
untuk penggantian kateter harus selalu menerapkan tindakan aseptik dengan
peralatan steril untuk mencegah transmisi mikroorganisme dari uretra ke kandung
kemih penyebab infeksi nosokomial saluran kemih. Pemasangan kateter urine harus
sesuai dengan indikasi pemasangan untuk mengurangi frekuensi kateterisasi urine
pada pasien.
Adanya perbedaan pendapat tentang berbagai hal mengenai ISK, seperti krteria
diagnostik, teknik pengambilan sampel urin, tata laksana dan lama pemberian
antibiotik, pemberian antibiotik profilaksis, dan lain-lain sering menyebabkan
keraguan dan kebingungan dalam menentukan tindakan dalam tatalaksana
penderita ISK, maka perlu dibuat suatu panduan atau konsensus agar dapat
29
Selain itu, manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan tergantung pada umur,
mulai dengan asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering tidak
terdeteksi baik oleh tenaga medis maupun oleh orangtua. Kesalahan dalam
menegakkan diagnosis (underdiagnosis atau overdiagnosis) akan sangat
merugikan. Underdiagnosis dapat berakibat penyakit berlanjut ke arah kerusakan
ginjal karena tidak diterapi. Sebaliknya overdiagnosis menyebabkan anak akan
menjalani pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu. Bila diagnosis ISK sudah
ditegakkan, perlu ditentukan lokasi dan beratnya invasi ke jaringan, karena akan
menentukan tata laksana dan morbiditas penyakit. Agar risiko terjadinya
komplikasi jangka panjang seperti parut ginjal, hipertensi, dan gagal ginjal kronik
tidak terjadi.
Disamping itu, untuk pemberian antibiotik sebagai terapi farmakologis pada
pasien infeksi saluran kemih (ISK) harus memilih antibiotik berdasarkan profil
bakteri patogen dan sensitivitas antibiotik setempat. Sebab jika tidak, maka akan
mudah terjadi resistensi. Bahkan beberapa penelitian telah menemukan adanya
resistensi antibiotik yang cukup tinggi pada bakteri patogen yang menyebabkan
ISK, di antara lain extended spectrum betalactamase E.coli (ESBL) dan MRSA
(methicillin resistant staphylococcus aureus). Golongan antibiotik yang sudah
dilaporkan mengalami resistensi adalah golongan betalaktam, kuinolon, dan
aminoglikosida. Sedangkan antibiotik yang masih jarang dilaporkan resistens
adalah golongan glikopeptida, nitrofurantoin, dan karbapenem. Oleh sebab itu,
dalam pemberian antibiotik harus berdasarkan profil bakteri patogen dan
sensitivitas antibiotik setempat, serta harus mempertimbangkan efek samping yang
ditimbulkan, agar tidak menimbulkan masalah resistensi.
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis dapat menyimpulkan beberapa poin
sebagai berikut:
1. Definisi infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum untuk menyatakan
adanya pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri didalam saluran kemih,
mulai dari uretra hingga ginjal, dalam jumlah yang signifikan yaitu sebesar
105ml/ pada urine.
2. Epidemiologi terjadinya ISK yaitu ISK bertanggung jawab atas sekitar 7 juta
kunjungan pasien terhadap dokter setiap tahunnya di Amerika Serikat. Infeksi
saluran kemih (ISK) sering menyerang manusia tanpa memandang usia,
terutama perempuan. Infeksi saluran kemih (ISK) sering ditemukan pada
kehamilan, dengan prevalensi rerata sekitar 10%.
3. Anatomi sistem urinalis terdiri dari 2 ginjal (kiri dan kanan), 2 ureter (kiri dan
kanan), vesica urinaria dan uretra sebagai saluran keluar.
4. Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus maupun parasite, dapat
menginfeksi traktus urinarius. Penyebab tersering ISK pada anak ialah
Eschericha coli, hampir sekitar 80%.
5. Patogenesis dan patofisiologi infeksi saluran kemih yaitu ketika mikroorganisme
memasuki saluran kemih. Dari bahan bacaan yang penulis baca, terdapat 4 cara
mikroorganisme memasuki saluran kemih, yaitu ascending, hematogen,
limfogen dan langsung dari organ sekitar yang sebelumnya sudah terinfeksi atau
eksogen sebagai akibat dari pemakaian intrumen.
6. Penegakan diagnosis infeksi saluran kemih (ISK) meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat.
7. Penatalaksanaan infeksi saluran kemih (ISK) meliputi terapi farmakologi (yang
paling sering adalah denga pemberian antibiotik) dan non farmakologi.
8. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain batu saluran kemih, okstruksi saluran
kemih, sepsis, infeksi kuman yang multisitem, dan gangguan fungsi ginjal.
31
9. Selama infeksi saluran kemih masih hanya ada pada saluran bawah, maka
prognosinya baik. Akan tetapi, ketika infeksi sudah menyebar pada saluran atas
yaitu ke ginjal maka, prognosisnya dapat berbahaya
10. Data epidemiologi klinik mengungkapkan uji saring bakteriuria asimtomatik
bersifat selektif degan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai
presentasi klinik ISK.
11. Dari buku- buku dan jurnal sertal atikel ilmiah yang penulis baca, ternyata kasus
infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, diantaranya gagal
ginjal, urosepsis, nekrosis papilla ginjal, terbentuknya batu saluran kemih,
supurasi atau pembentukan abses dan granuloma.
3.2 Saran
1. Pembaca disarankan untuk tidak menjadikan makalah ini sebagai satu- satunya
sumber referensi bacaan tentang atresia bilier sehingga perlu menambah
pengetahuan dengan bacaan dari referensi lain.
2. Bagi mahasiswa kedokteran yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut terkait
infeksi saluran kemih sebaiknya memahami isi dan penambahan yang lebih
lengkap.
32
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, Geo, F., Butel, Janet, S., & Morse, Stephan, A. 2005. Mikrobiologi
Kedokteran Edisi XXI Jilid I. Jakarta: Salemba Medika. 360- 362.
Cunningham, F, G., Leveno, K, J., Bloom, S, L., Hauth, J, C., & Rouse, D, J, Spong.
2010. Williams Obstetrics Edisi XXIII. USA: McGraw-Hill.
Fauci, Anthony, S., Braunwald, Eugne., Kasper, Dennis, L., Hauser, Stephen, L.,
Longo, L., & Wilson, Jean, D. 2008. Harrison’s Principles of Internal
Medicine Edisi XVII. New York: McGraw- Hill. 376.
Lum, Gary, M. 2000. Current Pediatric Diagnosis & Treatment Edisi XIV. New
Jersey: Prentice Hall. 620- 621.
Nguyen, H, T. 2008. Smith’s General Urology Edisi XVII. Newyork: Mc Graw Hill
Medical Publishing Division. 193-195.
Price, Sylvia, Anderson., & Wilson, Lorraine, McCarty. 2005. Patofisiologi Konsep
Klinis Proses- proses Penyakit Edisi VI Jilid II. Jakarta: EGC. 618- 619, 867-
868.
Purnomo, Basuki, B. 2003. Dasar-Dasar Urologi Edisi II. Jakarta : Sagung Seto.
13- 40.
Sukandar, E. 2006. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah
(PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD. 29-72.
Sukandar, Enday. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Jakarta:
InternaPublishing. 2131- 2138.
Suprapto, Novita., & Pardede, Sudung, O. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi
IV Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius. 91- 92.
Tambunan, T., Suarta, K., Trihono, P, P., Pardede, S, O. 2000. Infeksi saluran kemih
kompleks di Poliklinik Ginjal Anak RSUP Nasional Dr. Ciptomangunkusumo.
Majalah Kedokteran Indonesia, 50 (6): 372.
Tanto, Chris., & Hustrini, Ni, Made. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid
II. Jakarta: Media Aesculapius. 640- 641.