Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN

KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK VETERINER


STUDI KASUS BRUCELLOSIS PADA SAPI

OLEH:
Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya, S.KH
NIM. 2009611047
Gelombang 17 Kelompok K

LABORATORIUM KOASISTENSI DIAGNOSA LABORATORIK VETERINER


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
1. Sinyalemen
Kasus abortus dilaporkan terjadi pada trisemester akhir kebuntingan sapi dalam periode 3
tahun (2012-2014) pada sebuah peternakan sapi perah di Uttar Pradesh, India Utara (Mittal et al.,
2018).
Jenis Hewan : Sapi
Ras : Frieswal, Crossbreed, Sahiwal
Umur : Bervariasi antara 3 – 7 tahun
Jenis Kelamin : Betina
Jumlah Populasi : 730 induk sapi Frieswal, 180 induk sapi Crossbreed, 90 induk sapi
Sahiwal
Lokasi Kandang : Uttar Pradesh, India Utara
2. Tanda Klinis
Abortus ditemukan pada induk sapi yang sedang bunting (sebanyak 40 induk sapi Frieswal,
17 induk sapi Crossbreed, dan 31 induk sapi Sahiwal). Selain itu juga ditemukan retensi plasenta
pada beberapa induk sapi. Menurut OIE (2004), pada hewan bunting dapat menyebabkan
plasentitis yang berakibat terjadinya abortus pada kebuntingan bulan ke-5 sampai ke-9. Menurut
Xavier et al. (2009), brucellosis berhubungan dengan abortus pada trimester terakhir
kebuntingan, pdet lahir mati atau lahir lemah, dan infertilitas pada sapi dan kerbau jantan.
3. Data Epidemiologi
Di India, brucellosis pertama kali ditemukan pada tahun 1942 dan hingga kini mewabah di
seluruh daerah (Renukaradhya, 2002). Dua spesies Brucella yang menjadi perhatian utama di
India adalah B. melitensis dan B. abortus. Di India, biotipe B. abortus yang berbeda (tipe-1, 2, 4,
6 dan 9) telah diisolasi dari sapi. B. abortus juga diisolasi dari kerbau, kambing, dan domba
(Smits dan Kadri, 2005). Biotipe Brucella memiliki dominasi tertentu atas suatu wilayah (Sen
dan Sharma, 1975) seperti, B. abortus biotipe-1 menjadi biotipe utama di sebagian besar wilayah
negara, diikuti oleh B. abortus biotipe-3 di negara bagian utara Uttar Pradesh dan Haryana dan
negara bagian timur Odisha, B. abortus biotipe 9 di Odisha, serta B. abortus biotipe-4, 6 dan 9
dan B. melitensis biotipe-2 di negara bagian selatan Tamil Nadu.
Populasi sapi di India tersebar di seluruh wilayah negara dan menjadi komoditi ternak
mayoritas dibandingkan dengan spesies lain. Brucellosis sapi tersebar luas di seluruh wilayah di
India. Laporan kemajuan program pemantauan dari 2012-2013 oleh The Indian Council of
Agricultural Research memperkirakan bahwa seroprevalensi nasional brucellosis pada sapi saat
ini diperkirakan 13,5% dan pada keseimbangan endemik yang stabil (Rahman et al., 2013).
Sebuah studi seroprevalensi dari Uttar Pradesh oleh Upadhyay et al. (2007) mencatat prevalensi
12,77% pada sapi dan 3,55% pada kerbau. Brucellosis menyebabkan angka morbiditas yang
cukup tinggi walaupun jarang menyebabkan kematian, kecuali pada fetus (Araj, 2010). Pada
kasus Mittal et al. (2018) morbiditas penyakit brucellosis 8,8%, tidak ditemukan adanya kasus
kematian pada induk sapi.
Di India, brucellosis pada ternak diperkirakan menyebabkan kerugian sebesar US $ 3,4
miliar per tahun dimana sapi dan kerbau menyumbang 95,6% dari total kerugian akibat kejadian
abortus, infertilitas sementara, dan infertilitas pada hewan dewasa (Singh et al, 2015).
Panchasara (2018) melaporkan bahwa kerugian ekonomi yang disebabkan oleh brucellosis
terutama disebabkan oleh penurunan produksi susu yang diikuti oleh biaya perawatan dan
kematian pedet akibat abortus. Terdapat rata-rata kerugian sebanyak 231 liter dan 177 liter susu
(10% dari total hasil laktasi) masing-masing pada sapi dan sapi kerbau yang positif terjangkit
penyakit brucellosis.
4. Data Patologi Anatomi
Berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi yang dilakukan oleh Xavier et al. (2009), lesi
makroskopis yang paling umum terlihat adalah uterus yang membengkak berwarna kecoklatan,
berbau busuk, dan eksudat flokulen yang mengandung bahan nekrotik. Plasentoma terlihat
hemmorhagi dan nekrosis. Limfonodus superfisial dan internal serta limpa mengalami
pembesaran. Selain itu ditemukan plasentitis nekrotikan dan/atau hemorrhagika. Lesi yang paling
umum terlihat pada fetus yang abortus atau yang lahir lemah adalah pleuritis fibrinosa. Lesi di
paru-paru terlihat fokal hingga difusa dengan warna kemerahan hingga keabu-abuan, terdapat
area yang padat pada parenkim, serta eksudat fibrinous pada permukaan pleura.
5. Diagnosa Sementara
Berdasarkan gejala klinis yang teramati, diagnosa sementara yang dapat disimpulkan yaitu
brucellosis dengan diagnosa banding leptospirosis, tritrichomoniasis, dan Infectious Bovine
Rhinotracheitis/Infectious Pustular Vulvovaginitis (IBR/IPV). Infeksi Tritrichomonas foetus
pada sapi dapat menyebabkan kematian embrio dini dan abortus (González-Carmona et al.,
2012). Pada hewan ternak ruminansia yang bunting, gejala abortus, pedet lahir mati atau lemah
sering muncul pada kasus leptospirosis (Kusmiyati et al., 2005). Infeksi IBR dapat menyebabkan
abortus yang umumnya terjadi antara bulan ke-4 hingga ke-7 masa kebuntingan (Sudarisman,
2003).
Tabel 1. Diagnosa Banding Brucellosis pada Sapi
Infectious Bovine
Brucellosis Leptospirosis Tritrichomoniasis Rhinotracheitis/Infectious
Pustular Vulvovaginitis
Leptospira
Brucella Tritrichomonas Bovine Herpesvirus tipe-
Etiologi interrogans
abortus foetus 1
serovar hardjo
Subklinis,
Abortus pada Demam, Vulva terlihat edema dan
Abortus, birahi
bulan ke-5 – depresi, anemia hiperemi, terdapat
berulang,
bulan ke-9, akut, abortus, pustule ukuran 1-2 mm
penurunan rasio
Gejala retensi plasenta, pedet lahir mati dan menyebar sepanjang
kehamilan, dan
Klinis pedet lahir atau lemah, mukosa vagina, demam,
dalam beberapa
lemah, mastitis, depresi, anorexia, abortus
kasus terjadi
penurunan penurunan pada bulan ke-4 hingga
maserasi fetus
produksi susu, produksi susu ke-7 kebuntingan
arthritis
Penularan Konsumsi Kontak dengan Perkawinan alam Perkawinan alam atau
pakan dan air lingkungan melalui inseminasi
yang yang buatan dengan semen
terkontaminasi, terkontaminasi dari pejantan yang
kontak dengan
fetus yang
abortus, selaput
fetus dan cairan
uterus, infeksi
urin yang
melalui udara,
terinfeksi terinfeksi
penggunaan
Leptospira
semen sapi
jantan yang
terinfeksi untuk
inseminasi
buatan
Metode biakan,
Metode biakan, Isolasi virus dengan
SAT, Brucella
PCR, Madin Darby’s Bovine
milk ring test Pemeriksaan
Microscopic Kidney (MDBK),
Diagnosa (BRT), PCR, mikroskopis,
Agglutination Indirect fluorescent
Rose Bengal PCR, ELISA
Test (MAT), antibody technique
Test (RBT),
ELISA (IFAT), PCR, ELISA
ELISA
6. Diagnosa Definitif
Diagnosa definitif yang diperoleh yaitu brucellosis. Hal tersebut dibuktikan dengan
pemeriksaan bakteriologi yang menunjukkan bahwa bakteri Brucella abortus dapat diisolasi dan
diidentifikasi pada media sheep blood agar 5%. Selain itu dilakukan pemeriksaan dengan Serum
agglutination test (SAT) dan PCR dan menunjukkan hasil positif Brucella abortus (Mittal et al.,
2018).
7. Diskusi Kasus
a. Alasan Pengambilan Sampel
Sampel yang diambil untuk pemeriksaan laboratorium adalah limfonodus
supramamaria dan iliaca interna, glandula mamae, plasentoma, endometrium, hati, dan
limpa. Selain itu sampel darah diambil untuk pemeriksaan serologi. Sampel tersebut
diambil karena ketika B. abortus memasuki tubuh host, bakteri terlokalisasi pada
limfonodus, kemudian bakteri menghasilkan infeksi lokal dan keluarnya Brucella dari
kelenjar limfonodus ke dalam darah. Selama fase bakteremia, bakteri paling sering
diisolasi dari limfonodus supra-mammae, susu, limfonodus iliaca, limpa dan uterus
(Acha dan Szyfres, 2001). Pada hewan bunting bakteri kemudian mencapai plasenta dan
akhirnya ke fetus dan terlokalisasi pada plasentoma (Radostits et al., 2000).
b. Kajian Epidemiologi Singkat
Penyakit brucellosis dikatagorikan sebagai salah satu penyakit zoonosis yang
tersebar secara meluas di dunia oleh Food and Agriculture Organisation (FAO), World
Health Organisation (WHO) dan the Office International des Epizooties (OIE)
(Schelling et al., 2003). Brucella telah ditemukan di seluruh dunia dengan distribusi
organisme yang bervariasi, yaitu B. abortus, B. melitensis, dan B. suis biovar 1-3.
Beberapa organisme tersebut umum ditemukan di beberapa negara bagian Timur
Tengah, Asia dan Amerika Latin. Bovine brucellosis biasanya disebabkan oleh B.
abortus. Hewan bukan sapi, termasuk manusia, juga dapat tertular penyakit dan berperan
dalam persistensi dan penularannya. Brucella abortus memiliki tujuh biovar yang diakui,
yang paling banyak dilaporkan adalah biovar 1, 2, 3, 4 dan 9, dengan biovar 1 menjadi
yang paling umum di Amerika Latin. Brucellosis pada sapi dilaporkan di hampir semua
negara tempat ternak dibudidayakan, dengan beberapa negara Eropa Utara dan Tengah,
Australia, Kanada, Jepang, dan Selandia Baru dianggap bebas dari brucellosis. Pada
tahun 2008, 12 negara Uni Eropa dianggap bebas dari brucellosis sapi, serta brucellosis
caprine dan ovine (Aparicio, 2013).
Di Indonesia, brucellosis pertama kali terdeteksi pada tahun 1925 oleh Kirschner
pada sapi perah di Bandung (Sudibyo & Ronohardjo, 1989), kemudian penyakit ini
menyebar ke seluruh provinsi kecuali Bali yang secara historis bebas dari brucellosis.
Brucellosis masih menjadi endemik di Jawa, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur
dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 138,5 milyar per tahun (Dirjennak, 2006).
Hingga kini, terdapat beberapa provinsi yang dideklarasikan bebas dari brucellosis, yaitu
Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Bangka
Belitung, Madura, dan Sumatera Utara (Naispospos, 2014; Direktorat Kesehatan Hewan,
2018). Prevalensi brucellosis pada ternak di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 40%
dan tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Keadaan ini sangat memungkinkan
penularan brucellosis dari hewan ke manusia dan dapat menjadi faktor risiko terjadinya
brucellosis di manusia (Samkhan, 2014; Sudibyo, 1995).
c. Etiologi
Brucella abortus, seperti spesies lain dari genus Brucella, adalah patogen
intraseluler fakultatif yang menginfeksi sapi. Bakteri ini merupakan bakteri Gram
negatif, berdiameter 0,5-0,7μ dan panjang 0,6-1,5μ, organisme coccobacillus yang
termasuk dalam subdivisi alpha-2 dari Proteobacteria, bersama dengan Ochrobactrum,
Rhizobium, Rhodobacter, Agrobacterium, Bartonella, dan Rickettsia. Secara biokimia,
kuman Brucella dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak membentuk sitrat
tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan kuman memerlukan temperatur 20 - 40°C dengan
penambahan karbondioksida (CO2) 5-10% (Alton, 1984). B. abortus memiliki 2
kromosom sirkuler yang menyandi genome dengan ukuran sekitar 3,2 Mb dan dibagi
menjadi 7 biovar berdasarkan sifat biokimia, fenotipik, dan antigeniknya (Alton et al.,
1988).
Brucella abortus merupakan strain yang paling sering menginfeksi sapi. Masa
inkubasi penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, berkisar antara 2 minggu
hingga satu tahun atau bisa lebih lama pada kondisi tertentu. Brucella merupakan
patogen intraseluler, selama infeksi bakteri bertahan dan berkembang biak di makrofag.
Bakteri beradaptasi dengan pH asam, tingkat oksigen yang rendah, dan tingkat nutrisi
yang rendah (Kohler et al., 2002). Sel bakteri mampu bertahan untuk waktu yang lama
di dalam air, fetus yang abortus, tanah, produk susu, daging, kotoran, dan debu (Gwida
et al., 2010). Kemampuan daya tahan hidup kuman Brucella pada tanah kering adalah
selama 4 hari di luar suhu kamar, pada tanah yang lembab dapat bertahan hidup selama
66 hari dan pada tanah becek bertahan hidup selama 151 - 185 hari (Crawford et al.,
1990). Pada air minum ternak, kuman dapat bertahan selama 5 – 114 hari dan pada air
limbah selama 30 – 150 hari (Sudibyo, 1995).
Pada hewan, konsentrasi bakteri B. abortus tertinggi terdapat pada uterus hewan
bunting. Pada hewan yang terinfeksi juga terdapat organisme bakteri pada susu yang
beresiko sebagai sumber penularan bagi pedet yang baru lahir. Penyakit ini ditularkan ke
hewan yang rentan melalui konsumsi pakan dan air yang terkontaminasi, kontak dengan
fetus yang abortus, selaput fetus dan cairan uterus, serta infeksi melalui udara juga
mungkin terjadi. Penggunaan semen sapi jantan yang terinfeksi untuk inseminasi buatan
juga menimbulkan risiko menyebarkan infeksi ke banyak induk sapi (Acha dan Szyfers,
2001).
Pada manusia, konsumsi produk susu merupakan sumber yang paling penting
dalam penularan infeksi. Konsumsi sayur mentah dan air yang terkontaminasi serta
daging hewan yang tidak dimasak juga memungkinkan sebagai sumber penularan
(Radostits et al., 2000). Transmisi melalui kontak langsung juga dapat terjadi pada area
endemik. Manusia terinfeksi melalui kontak dengan jaringan atau hewan yang terinfeksi,
kontak dekat dengan material yang terinfeksi. Brucella juga diasumsikan dapat masuk
melalui luka pada kulit, trans-conjunctival, dan melalui udara (Walker, 1999).

Gambar 1. Siklus Hidup Brucella abortus pada Sapi dan Manusia (Moreno & Barquero-
Calvo, 2020)
d. Patogenesis
Penularan B. abortus terjadi terutama melalui kontak mukosa secara langsung
atau secara aerosol dengan cairan atau jaringan yang berhubungan dengan kelahiran atau
fetus yang terinfeksi (Enright, 1990). Kejadian abortus dapat menularkan brucellosis ke
banyak sapi yang bersentuhan dengan material kelahiran karena konsentrasi bakteri
dalam cairan fetus atau plasenta setelah abortus dapat mencapai 109 hingga 1010 CFU/g
dan dosis infeksius minimum diperkirakan berkisar antara 103 hingga 104 CFU (Cheville
et al., 1998).
Brucella yang masuk ke dalam set epitel akan dimakan oleh neutrofil dan sel
makrofag masuk ke limfoglandula. Brucella yang menyerang biasanya terlokalisasi di
kelenjar limfonodus, mengakibatkan hiperplasia jaringan limfoid dan retikulo-endotel
dan infiltrasi sel inflamasi. Mekanisme first-line of defense menghasilkan infeksi lokal
dan keluarnya Brucella dari limfonodus ke dalam darah. Apabila sistem kekebalan tubuh
tidak mampu mengatasi infeksi, bakterimia muncul dalam waktu 1 – 3 minggu setelah
infeksi. Selama fase bakteremia, tulang, persendian, mata dan otak dapat terinfeksi,
tetapi bakteri tersebut paling sering diisolasi dari limfonodus supra-mammae, susu,
limfonodus iliaca, limpa dan uterus. Pada sapi jantan, tempat predileksi untuk infeksi
juga merupakan organ reproduksi dan limfonodus. Selama fase infeksi akut, semen
mengandung Brucella dalam jumlah besar tetapi ketika infeksi menjadi kronis, jumlah
Brucella yang diekskresikan menurun (Acha dan Szyfres, 2001).
Organisme Brucella menyebar melalui jalur hematogen pada hewan bunting,
kemudian mencapai plasenta dan akhirnya ke fetus. Lokalisasi preferensial ke saluran
reproduksi hewan bunting adalah karena adanya cairan alantois yang akan merangsang
pertumbuhan Brucella. Erythritol dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan
peningkatan Brucella pada plasenta dan cairan fetus sejak sekitar bulan kelima
kebuntingan. Lokalisasi awal dalam trophoblast eritrofagostik dari plasentoma yang
berdekatan dengan membran chorio-allantoic menyebabkan pecahnya sel dan ulserasi
membran. Kerusakan jaringan plasenta bersama dengan infeksi fetus dan stres fetus yang
menyebabkan perubahan hormonal induk dapat menyebabkan abortus (Radostits et al.,
2000).
e. Pencegahan dan Pengobatan
Karena Brucella terlokalisasi intraseluler dan kemampuannya untuk beradaptasi
dengan kondisi lingkungan yang dihadapi, pengobatan dengan antibiotik biasanya tidak
berhasil (Seleem et al., 2008). Meskipun kombinasi doxycycline-streptomycin dianggap
sebagai gold standard pengobatan, penggunaan obat tersebut kurang praktis karena
streptomycin harus diberikan secara parenteral selama 3 minggu. Kombinasi pengobatan
doxycycline (durasi 6 minggu) dengan gentamycin yang diberikan secara parenteral (5
mg/kg) selama 7 hari juga dianggap sebagai kombinasi pengobatan alternatif yang dapat
digunakan (Glynn dan Lynn, 2008).
Kuman Brucella sangat sensitif terhadap natrium hipoklorida 1%, etanol 70%,
yodium, glutaraldehida, dan formaldehida serta kuman mudah mati pada pemanasan
basah, suhu 121°C selama 15 menit dan pemanasan kering, suhu 160-170°C selama satu
jam (Brucellosis Fact Sheet, 2003). Pengendalian brucellosis yang efektif memerlukan
elemen-elemen berikut: 1) surveilans untuk mengidentifikasi populasi hewan yang
tertular, 2) pencegahan penularan ke populasi hewan yang tidak terinfeksi, dan 3)
pemberantasan reservoir untuk menghilangkan sumber-sumber infeksi untuk melindungi
hewan atau popupasi yang rentan untuk mencegah masuknya kembali penyakit (Gwida
et al., 2010). Kontrol brucellosis pada ternak melibatkan kombinasi dari manajemen
peternakan, program vaksinasi, dan test and slaughter (Caddis, 2003). Di daerah yang
telah ditetapkan atau diasumsikan bebas brucellosis berdasarkan data epidemiologi,
resiko masuknya penyakit melalui pergerakan hewan harus dilindungi. Pergerakan
hewan yang terinfeksi harus dilarang dan izin impor harus diberikan hanya untuk
peternakan atau daerah yang bersertifikat bebas brucellosis. Di daerah dengan prevalensi
penyakit yang tinggi, satu-satunya cara untuk mengendalikan dan memberantas penyakit
ini adalah dengan vaksinasi semua inang yang rentan dan eliminasi hewan yang
terinfeksi (Briones et al., 2001). Vaksin yang paling umum digunakan untuk melawan
brucellosis sapi adalah B. abortus strain 19 dan strain RB51 (Moriyon et al., 2004).
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : A. A. Gde Fandhiananta W. Ras Hewan : Sapi


NIM : 2009611047 Umur : 3 – 7 tahun
Diagnosa : Brucellosis TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER

Euthanasia

Nekropsi sapi & fetus


yang abortus

Pengambilan sampel (paru-paru fetus, limfonodus, gl.


mamae, endometrium, plasentoma)

Pemeriksaan Patologi Pemeriksaan


Anatomi Histopatologi

Pembuatan preparat
histopatologi

Dehydration & Clearing


Trimming Fixation
menggunakan alkohol
Jaringan diiris menjadi Fiksasi organ selama 24 jam
bertingkat & menggunakan
lebih kecil dengan NBF 10%
xylol

Embedding & Blocking Cutting


Parafin blok dipotong dengan microtom, Staining
Pembenaman dengan Pewarnaan dengan
paraffin selama 6 jam dipindahkan ke dalam waterbath,
kemudian dipindahkan ke slide kaca Haematoxylin-Eosin

Mounting
Dicuci dengan air mengalir,
Dikeringkan
PEMERIKSAAN diatas kertas filter,
LABORATORIUM preparat VETERINER
PATOLOGI
Pengamatan preparat kemudian dicelupkan ke dalam
diteteskan dengan Entelan® dan ditutup
aquades dan alkohol
dengan cover glass
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

A. Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi

Terdapat cairan yang berwarna


kecoklatan pada uterus, dengan eksudat
fibrin pada permukaan karunkula (Xavier
et al., 2009)

Potongan permukaan plasentoma dengan


banyaknya eksudat fibrin nekrosis dan
multifocal hemorrhagi (necrotizing
placentitis) (Xavier et al., 2009)

Pada fetus yang abortus, terdapat banyak


eksudat fibrinoserosa pada permukaan
pleura dan sedikit cairan pada cavum
thorax (Xavier et al., 2009)
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pengamatan pada kantong pericardial


yang dibuka ditemukan banyak eksudat
fibrinosa (fibrinous pericarditis) pada
fetus yang abortus (Xavier et al., 2009).

B. Hasil Pemeriksaan Histopatologi

Kripta karunkula dipenuhi oleh debris


nekrotik dan infiltrasi sel inflamasi
(acute necrotizing placentitis). HE,
bar 100 μm.
(Alcina et al., 2010).

Glandula mamae dengan focal


interstisial infiltrasi sel-sel limfosit,
makrofag dan neutrophil, dan terdapat
neutrofil pada lumen acinar. HE, bar
100 μm.
(Alcina et al., 2010).
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Endometrium dengan area erosi yang


ekstensif pada epitel luminal, serta
akumulasi fibrin, sel debris, dan
koloni bakteri. HE, bar 250 μm.
(Xavier et al., 2009).

Endometrial arteriole dengan infiltrasi


sel-sel inflamasi mural dan
perivascular, dan degenerasi fibrinoid
(vaskulitis). HE, bar 100 μm.
(Xavier et al., 2009).

Limfonodus supramamaria dengan


sinus medullary berisi makrofag dan
neutrofil (suppurative lymphadenitis).
HE, bar 33,5 μm.
(Xavier et al., 2009).
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pada fetus yang abortus, ditemukan


penebalan visceral pleura dengan
akumulasi fibrin dan infiltrasi sel-sel
inflamasi. HE, bar 100 μm.
(Xavier et al., 2009).

Penebalan dinding alveolus dengan


infiltrasi sel inflamasi interstisial. HE,
bar 100 μm.
(Alcina et al., 2010).

Bronkiolus dengan eksudat fibrinosa


pada lumen dan infitrasi sel inflamasi
pada parenkim (bronchopneumonia).
HE, bar 80 μm.
(Xavier et al., 2009)

Denpasar, 5 Mei 2021


Mengetahui

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya, S.KH
NIP. 96109141987021001 NIM. 2009611047
LABORATORIUM PATOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : A. A. Gde Fandhiananta W. Ras Hewan : Sapi


NIM : 2009611047 Umur : 3 – 7 tahun
Diagnosa : Brucellosis TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI

Pengambilan sampel
(vaginal discharge, material abortus)

Isolasi bakteri

Koloni terlihat bulat,


cembung, dengan Koloni berbentuk
Farrel’s medium Brucella medium bulat, halus, berwarna
margin halus, base + 5% serum
translucent dan kuning
kuda mengkilat seperti
berwarna madu
pucat madu

Identifikasi bakteri

Pewarnaan Gram Pewarnaan Uji Primer Uji Biokimia


Ziehl-Neelsen
yang
dimodifikasi
Gram negatif, Katalase (+) a. Sulfat Indol Motility (SIM) (-)
cocobacilli b. Triple Sugar Iron Agar (TSIA)
(tidak memfermentasi gula)
Cocobacilli, c. Urea Agar (+)
berwarna merah d. Simmonse Citrate Agar (SCA) (-)
dengan latar
belakang biru
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Untuk diagnosis brucellosis dengan pemeriksaan kultur, sampel yang paling baik
digunakan yaitu sekresi vagina (swab), janin yang abortus (isi perut, limpa dan paru-paru),
selaput janin, susu, semen dan arthritis atau cairan hygroma. Sampel jaringan dikeluarkan secara
aseptik dengan instrumen steril. Sampel jaringan disiapkan dengan membuang bahan asing
(misalnya lemak), dipotong kecil-kecil, dan dimaserasi menggunakan 'Stomacher' atau
penggiling jaringan dengan sedikit PBS steril, sebelum diinokulasi ke media padat. Swab vagina
yang diambil setelah abortus atau nifas merupakan sampel yang sangat baik dan memiliki resiko
yang jauh lebih kecil bagi personel dibandingkan material abortus. Swab tersebut kemudian
dioleskan langsung ke media padat (OIE, 2018).
Isolasi dan kultur Brucella biasanya dilakukan pada media padat. Umumnya metode ini
merupakan metode yang paling memuaskan karena memungkinkan koloni yang berkembang
diisolasi dan dikenali dengan jelas, serta membatasi perkembangan kontaminan yang berlebihan.
Berbagai macam media basal dehidrasi komersial tersedia, misalnya Brucella medium base dan
tryptose soy agar (TSA). Penambahan 2–5% serum sapi atau kuda diperlukan untuk
pertumbuhan strain seperti B. abortus bv. 2 (OIE, 2018). Menurut Sulaiman (2006), B. abortus
strain virulen pada Brucella medium base, memiliki karakteristik berwarna putih madu,
translucent, bertepi halus, bersifat lembap dan berdiameter 1-2 mm.

a b

Gambar 1. Koloni B. abortus yang tumbuh pada Farrel’s medium (a) dan Brucella Medium
Base (b) (Geresu et al, 2016; Meze et al., 2020).
Media selektif yang paling banyak digunakan adalah Farrel’s medium yang dimodifikasi
(FM) (Stack et al., 2002), ditambahkan ke 1 liter agar: polimiksin B sulfat (5000 unit = 5 mg);
bacitracin (25.000 unit = 25 mg); natamycin (50 mg); asam nalidixic (5 mg); nistatin (100.000
unit); vankomisin (20 mg). Pertumbuhan biasanya muncul setelah 3–4 hari, tetapi biakan tidak
boleh dianggap negatif apabila tidak tumbuh koloni sampai 7–10 hari telah berlalu. Setelah
inkubasi 4 hari, koloni Brucella berbentuk bulat, diameter 1–2 mm, dengan tepi halus, tembus
cahaya dan berwarna madu pucat saat plate dilihat di cahaya matahari melalui media transparan.
Jika dilihat dari atas, koloni tampak cembung dan putih seperti mutiara (OIE, 2018).
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Organisme Brucella dapat dibuktikan dengan metode pewarnaan. Metode pewarnaan


yang dapat digunakan yakni Pewarnaan Gram dan Pewarnaan Zeihl-Neelsen yang dimodifikasi
oleh Stamp. Prosedur pewarnaan Gram diawali dengan membuat apusan yang berasal dari satu
sengkelit koloni bakteri yang telah tumbuh di media padat. Ratakan apusan agar sampai tipis
kemudian fiksasi dengan api bunsen. Teteskan kristal violet secara merata dan tunggu selama 60
detik, kemudian bilas dengan air mengalir. Dilanjutkan dengan meneteskan Iodin secara merata
dan tunggu selama 60 detik, kemudian bilas lagi dengan air mengalir. Bilas menggunakan
alkohol 95% selama 30 detik, kemudian bilas menggunakan air mengalir. Teteskan safranin
secara merata dan tunggu selama 30 detik, kemudian bilas dengan air mengalir. Pada pewarnaan
Gram terlihat bakteri berbentuk coco-bacilli, berkoloni tunggal ataupun berpasangan, serta
bersifat Gram negatif yang berarti zat warna I (Gentian/kristal violet) dapat dilunturkan oleh
aceton alkohol sehingga bakteri berwarna merah karena menyerap zat warna II yaitu safranin
(Geresu et al., 2016; Meze et al., 2020).

Gambar 2. Hasil pewarnaan Gram (kiri) dan pewarnaan Zeihl Neelsen (kanan) koloni B.
abortus yang diisolasi dari sapi perah (Geresu et al., 2016).
Pewarnaan dengan Ziehl-Neelsen yang dimodifikasi dilakukan dengan mengeringkan dan
memfiksasi apusan diatas nyala api. Kemudian diwarnai selama 10 menit dengan pengenceran
1:10 larutan Ziehl-Neelsen carbol fuchsin (1 g basic fuchsin dilarutkan dalam 10 ml etanol
absolut dan ditambahkan ke 90 ml larutan fenol 5%) lalu dicuci dengan air mengalir. Diferensiasi
dengan 0,5% asam asetat tidak lebih dari 30 detik lalu cuci bersih. Kemudian cat ulang sedikit
dengan 1% metilen biru (Alton et al., 1975). Pada pewarnaan Zeihl-Neelsen terlihat bakteri
coco-bacilli berwarna merah dengan latar belakang biru (Gerezu et al., 2016) yang berarti
bakteri mempertahankan zat warna dari karbol fuchsin dan menandakan bahwa koloni
merupakan bakteri tahan asam.
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Gambar 3. Hasil uji biokimia katalase (panah hitam), UA (panah kuning), SCA (panah hijau),
TSIA (panah merah), SIM (panah biru) isolat Brucella abortus (Meze et al., 2020).
Uji urease menggunakan media UA menunjukkan hasil positif ditandai dengan perubahan
warna media dari kuning menjadi kemerahan yang menunjukkan adanya aktivitas enzim urease
dari B. abortus. Enzim urease menghidrolisis urea maka terjadi perombakan urea menjadi
amoniak yang dibebaskan dalam media dan bereaksi dengan air di media membentuk amonium
hidroksida dan menyebabkan medium berubah menjadi alkalis, sehingga warna media menjadi
lebih merah yang disebabkan adanya indikator phenol red dalam media. Uji sitrat menggunakan
media SCA menunjukkan hasil negatif ditandai dengan tidak ada perubahan warna pada media
yang berarti B. abortus tidak menggunakan sitrat sebagai sumber karbon (Handijatno et al.,
2016). Uji indol menggunakan media SIM menunjukkan hasil yang negatif ditandai dengan tidak
terbentuknya cincin berwarna merah muda pada ujung tabung. Pada media TSIA menunjukkan
hasil butt dan slant bersifat alkali ditandai dengan warna merah pada bagian atas dan bawah
media yang berarti B. abortus tidak memfermentasi glukosa, sukrosa dan laktosa serta tidak
membentuk gas. Uji katalase menunjukkan hasil positif, ditandai dengan gelembung udara
sebagai reaksi pemecahan H2O2 oleh enzim katalase menjadi H2O dan O (Meze et al., 2020).
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Uji Serologi dengan metode Rose Bengal Test (RBT)

Sampel serum

Diletakkan pada plate


WHO sebanyak 25-30 μl
pada tiap lubang

Ditambahkan antigen dengan


jumlah yang sama

Diaduk selama 4 menit hingga


homogen

Interpretasi hasil

Tidak terdapat
Terdapat aglutinasi
aglutinasi

Negatif
Positif 1 Positif 2 Positif 3
(+) (++) (+++)

Uji RBT merupakan rapid test yang berfungsi untuk mendeteksi adanya antibodi
Brucella dalam serum (Alamian et al., 2019). Apabila sapi terinfeksi Brucella, maka tubuh akan
menghasilkan antibodi yang berfungsi untuk melawan adanya infeksi. Hasil positif pada uji RBT
ditandai dengan aglutinasi yang tampak seperti butiran pasir berwarna merah muda (Onsa et al.,
2018). Aglutinasi terjadi ketika terjadi ikatan antara antigen RBT dengan antibodi yang terdapat
dalam serum (Al Tahir, 2016).
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Gambar 4. Hasil uji RBT menunjukkan reaksi positif 3 (+++) yang ditunjukkan dengan adanya
aglutinasi yang sempurna, kasar, dan batas sangat jelas (Wilujeng et al., 2020)
Standar penentuan nilai pada uji RBT terdiri dari dua kategori penilaian, yaitu hasil
negatif (-), apabila tidak tejadi aglutinasi dan warna serum tetap homogen yakni ungu
kemerahan, dan hasil positif (+) ditunjukkan dengan terbentuknya aglutinasi berupa bentukan
seperti pasir. Hasil uji positif pada metode RBT dibagi menjadi tiga kategori yakni, apabila
terbentuk aglutinasi halus dan tepi dikelilingi dengan partikel halus yang membentuk garis putus-
putus, maka dianggap positif satu (+). Apabila aglutinasi terlihat seperti butiran pasir dan
membentuk partikel aglutinasi dengan tepi pinggiran lebar, maka nilainya adalah positif dua (+
+). Nilai positif tiga (+++) didapat ketika terjadi aglutinasi yang sempurna, kasar, dan batas
sangat jelas (OIE, 2018).

Denpasar, 31 Mei 2021


Mengetahui

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Dr. drh. Hapsari Mahatmi, M.P Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya, S.KH
NIP. 196006051987022001 NIM. 2009611047
LABORATORIUM BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : A. A. Gde Fandhiananta W. Ras Hewan : Sapi


NIM : 2009611047 Umur : 3 – 7 tahun
Diagnosa : Brucellosis TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER

Pengambilan sampel
(vaginal swab, material abortus)

Isolasi Virus

Isolasi pada TAB melalui Isolasi pada media Madin


rute chorio-alantoic Darby Bovine Kidney
membrane (CAM) (MDBK)

Identifikasi Virus

Pemeriksaan Uji Biologi Molekuler


dengan mikroskop
elektron

Polymerase
Chain Reaction
(PCR)
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

CAM yang terinfeksi virus menunjukkan


lesi bintik putih yang tersebar di seluruh
membran.
(Elashmawy et al., 2019)

Deteksi BoHV-1 di bawah mikroskop


elektron pada bagian yang sangat tipis
pada CAM menunjukkan virus
berbentuk spherical envelope dengan
diameter 120 hingga 200 nm.
(Elashmawy et al., 2019)

A: Sel MDBK yang tidak terinfeksi


(kontrol) (Pembesaran 40 x), B:
Karakteristik CPE (cytopathic effect)
isolat BoHV-1 pasca inokulasi pada sel
MDBK berupa penampakan kelompok
sel bulat seperti anggur yang berkumpul
di sekitar lubang (Pembesaran 40 x).
(Bastawecy & Abouzeid, 2016).
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Amplifikasi genom BoHV-1 dari swab


vagina. Virus ditemukan dari hasil swab
vagina yang dimasukkan dalam
Dulbecco’s Modified Eagle’s
Medium (DMEM), kemudian
dilanjutkan dengan ekstraksi DNA dan
PCR untuk mengamplifikasi gen UL27
BoHV-1
(Kumar et al., 2020).

Denpasar, Juni 2021


Mengetahui

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya, S.KH
NIP. 196012311988031003 NIM. 2009611047
LABORATORIUM VIROLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Pemeriksa : A. A. Gde Fandhiananta W. Ras Hewan : Sapi


NIM : 2009611047 Umur : 3 – 7 tahun
Diagnosa : Brucellosis TTD Dosen Piket :

PEMERIKSAAN LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER

Pengambilan sampel
(cairan uterus)

Kultur pada Media


Pemeriksaan sitologi
Trichomonas broth

Sentrifugasi pada Inkubasi selama 8-15


kecepatan 500-1000 rpm, hari pada suhu 37oC
lalu sedimen diambil

Pembuatan apusan dengan


pewarnaan Wright

Identifikasi parasit

Pemeriksaan dengan
mikroskop
LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
Jl. P.B. Sudirman, Denpasar 80232, Tlp/Fax (0361) 701808;223791

Trophozoit Tritrichomonas foetus yang


teramati pada pemeriksaan dengan mikroskop
cahaya (pembesaran 100x).
(Dąbrowska et al., 2019).

Tritrichomonas foetus yang teramati pada


pemeriksaan sitologi (pewarnaan Wright,
pembesaran 100x).
(González-Carmona et al., 2012).

Tritrichomonas foetus yang teramati setelah


kultur pada media (pewarnaan Wright,
pembesaran 100x).
(González-Carmona et al., 2012).

Denpasar, Juni 2021


Mengetahui
Dosen Pembimbing Mahasiswa

Dr. drh. Ida Ayu Pasti Apsari, MP Anak Agung Gde Fandhiananta Widyanjaya, S.KH

NIP. 196005041987022001 NIM. 2009611047


DAFTAR PUSTAKA
Acha, N., Szyfers, B. 2001. Zonoosis and communicable disease common to man
and animals. Vol I. Bacteriosis and Mycosis. 3rd edition. Washington DC, USA:
Scientific and Technical Pulication. Pp.40-62.
Alamian, S., Dadar, M., Soleimani, S., Behrozikhah, A. M., Etemadi, A .2019. A Case of
Identity Confirmation of Brucella abortus S99 by Phage Typing and PCR Methods. Arch.
Razi Ins., 74(2), 127-133.
Alcina, V.C.N., Mol, J.P.S., Xavier, M.N., Paixão, T.A., Lage, A.P., Santos, R.L. 2010.
Pathogenesis of bovine brucellosis. The Veterinary Journal, 184: 146-155.
Al Tahir, M.O. 2016. Estimation of Brucella Antibodies among Febrile Patients attending Al
Matamma Hospital (Sudan). Afr. J. Med. Sci., 1(1), 1-7.
Alton, G.G. 1984. Report on consultansy in animal brucellosis. Bogor: Research Institute for
Veterinary Science. pp. 1 - 3.
Alton, G.G, Jones, L.M., Angus, R.D., et al. 1988. Techniques for the brucellosis laboratory.
Paris: Institut National de la recherche agronomique. p. 13–62.
Alton G.G., Jones, L.M., Pietz, D.E. 1975. Laboratory Techniques in Brucellosis. 2nd Ed.
Geneva: World Health Organization. p. 25.
Aparicio, E.D. 2013. Epidemiology of brucellosis in domestic animal caused by Brucella
melitensis, Brucella suis and Brucella abortus. Rev. sci. tech Off. Int. Epiz, 32(1): 53-60.
Araj, G.F. 2010. Update on Laboratory Diagnosis of Human Brucellosis. International Journal
of Antimicrobial Agents. 36:12–17.
Bastawecy, I.M., Abouzeid, N.Z. 2016. Infectious Bovine Rhinotracheitis in a Cattle Farm at
Sharkia Governorate with Special Reference to its Effect on T lymphocytes. Zagazig
Veterinary Journal. 44(3): 205-213.
Briones, G., Inon de Iannino, N., Roset, M., Vigliocco, A., Paulo, P.S., Ugalde, R.A.
2001. Brucella abortus cyclic beta-1, 2-glucan mutants have reduced virulence in
mice and are defective in intracellular replication in HeLa cells. Infect. Immun., 69: 4528–
4535.
Brucellosis Fact Sheet. 2003. Brucellosis. Centre for Food Security and Public Health. Pp. 1 – 7.
Caddis. 2003. Brucellosis. http://vie.dis.strath.ac.uk/caddis/does/brucellosis.html. [Diakses
tanggal 19 Mei 2021]
Cheville, N.F., McCullough, D.R., Paulson, L.R. 1998. Brucellosis in the Greater Yellowstone
Area. Washington DC: National Research Council. p. 25.
Crawford, R.P., Huber, J.D., Adams, B.S. 1990. Epidemiology and surveillance. In: Animal
Brucellosis. Nielsen, K.H. & Duncan J.R. (Eds.). Boca Raton (FL): CRC Press. pp. 131 -
151.
Dąbrowska, J., Karamon, J., Kochanowski, M., Sroka, K., Zdybel, J., Cencek, T. 2019.
Trichomonas foetus as a causative agent of tritrichomoniasis in different animal host. J Vet
Res. 63: 533-541.
Ditjennak. 2006. Kebijakan pemberantasan brucellosis pada sapi perah. Rakor brucellosis se-
Pulau Jawa. Jakarta: Direktorat Jenderal Peternakan.
Elashmawy, A.M., Ali, S.S., El-Habbaa, A.S., Bastawecy, I.M. Seroprevalence and molecular
detection of isolated BoHV-1 among farm animals. Benha Veterinary Medical Journal. 37:
137-143.
Enright, F.M. 1990. The pathogenesis and pathobiology of Brucella infection in domestic
animals. In: Nielsen K, Duncan JR, editors. Animal brucellosis. Boca Raton (FL): CRC
Press, Inc. p. 301–20.
Geresu, M.A., Ameni, G., Wubete, A., Arenas-Gamboa, A.M., Kassa, G.M. 2016. Isolation and
Identification of Brucella Species from Dairy Cattle by Biochemical Tests: The First
Report from Ethiopia. World Vet J, 6(2); 80-88.
Glynn, M. K., Lynn, T.V. 2008. Brucellosis. J. Am. Vet. Med. Assoc. 233: 900–908.
González-Carmona, L.C., Sánchez-Ladino, M.J., Castañeda-Salazar, R., Pulido-Villamarín, A.P.,
Guáqueta-Munar, H., Aranda-Silva, M., Rueda-Varón, M.J. 2012. Determination of
presence of Tritrichomonas foetus in uterine lavages from cows with reproductive
problems. Rev. Bras. Parasitol. Vet. 21(3): 201-205.
Gwida M, Al Dahouk F, Melzer U, Rosler H, Neubauer H, Tomaso H. 2010. Brucellosis –
regionally emerging zoonotic disease?. Croat J Med. 51: 289-295.
Handijatno, D., Narumi, H.E., Chusniati, S., Saruji, S., Tyasningsih, W. 2016. Diagnosis secara
Mikrobiologis Konvensional. Surabaya: Departemen Mikrobiologi. Fakultas Kedokteran
Hewan. Universitas Airlangga. p. 34-37.
Kohler, S., Foulongne, V., Ouahrani-Bettache, S., Bourg, G., Teyssler, J., Ramuz, M., et al.
2002. The analysis of the intramacrophagic virulome of Brucella suis deciphers the
environment encountered by the pathogen inside the macrophage host cell. Journal of
National Academic Science. 99: 15711–15716.
Kumar, N, Chander, Y., Riyesh, T., Khandelwal, N., Kumar, R., Kumar, H., Tripathi, B.N.,
Barua, S. Isolation and characterization of bovine herpes virus 5 (BoHV5) from cattle in
India. PLoS ONE. 15(4): 1-12.
Kusmiyati, Noor, S.M., Supar. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia.
Wartazoa. 15(4): 213-220.
Meze, M.G.P., Handijatno, D., Tyasningsih, W., Suwarno, Estoepangestie, A.T.S., Ernawati, R.
2020. Deteksi Molekuler Gen Penyandi Protein Virb11 pada Brucella abortus Isolat Lokal
Asal Pinrang, NTT, dan Strain Vaksin. Jurnal Veteriner, 21(4): 502-511.
Mittal, M., Sharma, V., Nehra, K., Chakravarti, S., Kundu, K., Bansal, V.K., Churamani, C.P.,
Kumar, A. 2018. Abortions in an organized dairy farm from North India reveal the
possibility of breed susceptibility to Bovine Brucellosis. One Health, 5: 1-5.
Moreno, E., & Barquero-Calvo, E. 2020. The Role of Neutrophils in Brucellosis. Microbiology
and Molecular Biology Reviews, 84(4).
Moriyon, I., Grillo, M.J., Monreal, D., Gonzalez, D., Marin, C., Lopez-Goni, I., Mainar-Jaime,
R.C., Moreno, E. and Blasco, J.M. 2004. Rough vaccines in animal brucellosis:
Structural and genetic basis and present status. Vet. Res., 35: 1–38.
[OIE] Office International des Epizooties. 2004. Manual standards for diagnostic test and
vaccines for terrestrial animals: Bovine Brucellosis.
http://www.oie.int/eng/normes/mmanual/a_summry.htm. [Diakses tanggal 30 Maret 2021]
[OIE] Office International des Epizooties. 2018. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for
Terrestrial Animals: Brucellosis, pp: 355-398.
Onsa, R.A.H., Hamid, F.M., Elshafie, E.I., Muna, E.A., Mohammed, G.E. 2018. Production of
Modified Rapid Serum Agglutination Antigen for Sero-diagnosis of Contagious Bovine
Pleuropneumonia (CBPP). J. Adv. Microbiol., 13(3), 1-7.
Panchasara, H. 2018. Economic implications of brucellosis in bovine. Indian J F Vet. 8(1):19–
21.
Radostits, O.M., Gay, C.C., Blood, C.D., Hinchecliff, K.W. 2000. Veterinary Medicine: a text
book of the disease of cattle, sheep, pigs and horses, 9th ed. New York: W. B. Saunders
Company Ltd., Pp.867-882.
Rahman, A.K., Saegerman, C., Berkvens, D., Fretin, D., Gani, M.O., Ershaduzzaman, M.,
Ahmed, M.U. Emmanuel, A. 2013. Bayesian estimation of true prevalence, sensitivity and
specificity of indirect ELISA, Rose Bengal Test and Slow Agglutination Test for the
diagnosis of brucellosis in sheep and goats in Bangladesh. Preventive Veterinary Medicine,
110: 242-252
Renukaradhya, G. J., Isloor, S. Rajasekhar, M. 2002. Epidemiology, zoonotic aspects,
vaccination and control/eradication of brucellosis in India. Veterinary Microbiology, 90:
183–195.
Samkhan. 2014. Analisis ekonomi Brucellosis dalam menyongsong penanggulangan,
pemberantasan, dan pembebasan Brucellosis di Indonesia Tahun 2025. Buletin
Laboratorium Veteriner. 14(1)1-5.
Schelling, E., Diguimbaye, C., Daoud, S., Nicolet, J., Boerlin, P., Tanner, M., Zinsstag, J. 2003
Brucellosis and Q-fever seroprevalences of nomadic pastoralists and their livestock in
Chad. Journal of Preventive Veterinary Medicine, 61: 279 – 293.
Seleem, M.N., Boyle, S. M., Sriranganathan, N. 2008. Brucella: a pathogen without classic
virulence genes. Vet. Microbiol., 129: 1–14.
Sen, G.P. dan Sharma, G.L. 1975. Speciation of seventy-eight Indian strains of Brucella: An
Epidemiological Study. Indian Journal of Animal Science, 45: 537-542
Singh, B.B., Dhand, N., Gill, J.P.S. 2015. Economic losses occurring due to brucellosis in Indian
livestock populations. Preventive Veterinary Medicine, 119(34): 211-215.
Smits, H. L. dan Kadri, S. M. 2005. Brucellosis in India: a deceptive infectious disease. Indian
Journal of Medical Research, 122: 375-384.
Sudarisma. 2003. Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi di Lembaga-
Lembaga Pembibitan Ternak di Indonesia. Wartazoa, 13(3): 108-118.
Sudibyo, A. 1995. Studi epidemiologi Brucellosis dan dampaknya terhadap reproduksi sapi
perah di DKI Jakarta. JITV. 1:31-36
Sulaiman I. 2006. Bovine Brucellosis (Bakteriologi, Isolasi dan Identifikasi). Dalam: Pedoman
Diagnosa Laboratorium Brucellosis Sapi. Wates, Yogyakarta: BBVet Wates. p. 1-11.
Upadhyay, S.R., Singh, R., Chandra, D., Singh, K.P., Rathore, B.S. 2007. Seroprevalence of
Bovine Brucellosis in Uttar Pradesh. Journal of Immunology and Immunopathology, 9:58-
60
Walker, L.R. 1999. Brucella. In: Veterinary Microbiology. Wight, D., Hirsh, C., Yuan Chung Z.
(ed.). Blackwell Science., Pp.196-202
Wilujeng, E., Suwarno, Praja, R.N., Hamid, I.S., Yunita, M.N., Wibawanti, P.A. 2020.
Serodeteksi Brucellosis dengan Metode Rose Bengal Test dan Complement Fixation Test
pada Sapi Perah di Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner, 3(2): 188-195.
Xavier, M.N., Paixao, T.A., Poester, F.P., Lage, A.P., Santos, R.L. 2009. Pathological,
immunohistochemical and bacteriological study of tissues and milk of cows and foetuses
experimentally infected with Brucella abortus, J. Comp. Pathol. 140: 149–157.

Anda mungkin juga menyukai