Oleh :
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya paper berjudul “Neosporosis pada Sapi” dapat diselesaikan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu blok Koasistensi Diagnosis
Laboratorium yang telah memberikan kepercayaan untuk menyelesaikan tugas ini.
Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan mengenai kejadian neosporosis pada sapi. Tulisan ini masih
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan yang akan dibuat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya
bagi para pembaca. Tidak lupa penulis minta maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang
berkenan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Produktivitas hewan ternak seperti sapi merupakan salah satu aspek penting
bagi para peternak. Salah satu ancaman terhadap sapi betina produktif yaitu terjadinya
abortus dan gangguan selama sapi bunting sehingga anak sapi yang dilahirkan dalam
keadaan sakit atau prematur. Ada banyak penyebab kejadian abortus pada sapi, salah
satunya dapat disebabkan oleh parasite protozoa (Subekti et al., 2021). Neosporosis
merupakan penyakit pada sapi yang dapat menyebabkan abortus akibat infeksi oleh
parasit protozoa Neospora caninum (Wouda et al., 1999). Kejadian neosporosis dapat
menyerang sapi dan anjing di seluruh dunia dan menjadi masalah yang serius bagi
peternakan sapi. Agen penyebabnya merupakan parasit yang dapat berkembang
apabila kondisi epidemiologi meliputi lingkungan, agen, dan hospes mendukung
sehingga penyakit tersebut terus berkembang dan menyebabkan abortus secara
berulang-ulang serta dapat terjadi secara sporadik, endemik, maupun epidemik. Hal
ini dapat terjadi karena penyakit ini sulit dikendalikan selama rantai siklus hidup agen
penyebabnya tidak putus.
Kasus neosporosis juga diketahui terjadi pada sapi yang ada di beberapa
wilayah Indonesia seperti di Bandung, Bogor, Malang, dan Bali. Adanya antibodi
yang terdeteksi pada serum sapi di Malang menunjukkan angka prevalensi sebesar
4,7% (Suhardono et al., 2002). Subekti et al. (2021) menyebutkan bahwa pada sapi
perah di Indonesia terdeteksi antibodi neosporosis dengan seroprevalensi sebesar
20,83% yang secara statistik berbeda nyata dengan tidak terdeteksinya di sapi potong.
Sedangkan di Bali telah dilakukan penelitian berupa uji serologik terhadap sapi bali di
rumah pemotongan hewan (RPH) menunjukkan bahwa nilai prevalensinya sebesar
1,08% (Ris et al., 2014).. Mengingat pentingnya dampak akibat penyakit ini apabila
agen parasit berkembang di suatu peternakan sapi maka merupakan hal yang penting
untuk mempelajari neosporosis pada sapi secara lebih lanjut. Pengetahuan serta
pemahaman sebagai calon dokter hewan mengenai etiologi, morfologi, siklus hidup,
gejala klinis, hingga diagnosis sangat diperlukan sebagai upaya untuk
1
penanggulangan dan memberikan edukasi sehingga kejadian neosporosis pada sapi
dapat dicegah dan kerugian yang dialami oleh peternak dapat diminimalisir.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan yaitu menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai penyakit reproduksi neosporosis pada sapi kepada penulis dan
juga pembaca.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Etiologi
Neospora caninum dapat ditemukan dalam tiga bentuk yaitu takizoit, bradizoit
(kista), dan ookista. Identifikasi Neospora caninum saat pemeriksaan menggunakan
mikroskop sering dikelirukan dengan Toxoplasma gondii karena keduanya sangat
mirip menurut morfologi dan biologisnya yang masih memiliki hubungan kerabat
(Dubey et al., 2006). Pada bentuk ookista, Neospora caninum dapat ditemukan pada
feses anjing sebagai hospes definitive dengan ciri terdapat dua sporokista dan di
dalamnya mengandung empat sporozoit.
Gambar 2.1 Kista bradizoit dengan dinding yang tebal (A dan C) dan kelompok
takizoit (B dan C). Sumber: Dubey et al. (2002)
Takizoit dapat dijumpai pada banyak jaringan dan organ sapi yang terinfeksi
parasit ini secara tunggal atau dalam bentuk kluster. Bentuknya bervariasi mulai dari
bulat hingga seperti bulan sabit dengan ukuran sekitar panjang 7 μm dan lebar 5 μm.
Sedangkan kista yang mengandung bradizoit biasanya dapat ditemukan di sistem saraf
yaitu otak dan sumsum tulang belakang pada sapi. Bentuk kista bradizoit mirip
dengan takizoit yaitu bulat hingga oval dengan ukuran diameter dapat mencapai lebih
dari 100 μm dengan dinding yang lebih tebal daripada T. gondii yaitu hingga 4 μm
(Almería, 2013).
4
2.3 Siklus Hidup
Siklus hidup yang dimiliki oleh Neospora caninum yaitu berlangsung dengan
memerlukan dua jenis hospes yaitu hospes definitif dan hospes intermediet. Anjing
atau bangsa Canidae merupakan hospes definitif dari parasit ini, sedangkan diketahui
bahwa bangsa ruminansia seperti sapi merupakan hospes intermedietnya. Neospora
caninum dikatakan memiliki siklus hidup yang heteroxenous karena berlangsung
memerlukan dua hospes dan terjadi secara langsung (reproduksi seksual) dan tidak
langsung (reproduksi aseksual). Reproduksi aseksual terjadi Namun berbeda dengan
pemahaman terhadap perkembangan seksual pada T. gondii, proses reproduksi
seksual pada N. caninum masih tidak diketahui karena hanya secara aseksual yang
bisa dijelaskan yaitu perkembangan ookista pada feses anjing (Khan et al., 2020).
5
diploid Neospora caninum yang belum bersporulasi. Sapi tertular akibat memakan
ookista yang telah bersporulasi secara meiosis ketika mencemari lingkungan. Ookista
infektif yang telah mengandung sporozoit kemudian berkembang secara cepat
menjadi takizoit pada sel sapi serta menjalani reproduksi aseksual di dalam suatu
parasitophorous vacuole (PV) (Khan et al., 2020). Agar dapat menginfeksi dan
beradaptasi dengan sistem pertahanan tubuh hospes yang baru maka takizoit
Neospora caninum akan berkembang secara lebih lambat dan berada di fase semi-
dorman pada kista jaringan dalam bentuk bradizoit (Khan et al., 2020).
Pada siklus hidupnya diketahui bahwa sapi sebagai hospes intermediet tidak
mengeluarkan ookista pada fesesnya, namun penularan dapat terjadi secara vertikal
yaitu melalui plasenta. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 di atas yang
menunjukkan bahwa sapi yang terinfeksi akan menyebabkan terbentuknya kista
bradizoit dan takizoit akan menyebabkan terinfeksinya fetus pada uterus (Manca et
al., 2022). Bradizoit terbentuk pada jaringan neuromuskular dan dapat
pertumbuhannya berlangsung secara lambat, sedangkan takizoit yang berkembang
secara cepat menyebabkan parasite dapat disalurkan pada plasenta (Pooley et al.,
2014).
Siklus hidup Neospora caninum pada peternakan sapi produktif akan agak
sulit untuk dikendalikan apabila surveilans tidak diterapkan dengan baik dan rutin.
6
Hal ini karena penularan dapat terjadi juga secara vertikal atau secara endogenus
terhadap anak sapi yang dilahirkan. Apabila sapi bunting tidak mengalami abortus
maka pedet dengan infeksi persisten dapat berperan pada siklus hidup Neospora
caninum sehingga penyebaran semakin luas apalagi ketika pada akhirnya saat dewasa
pedet tersebut bunting. Hal ini dapat dilihat pada gambaran proses penularan
Neospora caninum secara lebih jelas pada Gambar 2.3.
2.4 Patogenesis
Neosporosis pada sapi dapat terjadi akibat adanya penularan dan jalan masuk
parasit untuk menyebabkan terjadinya infeksi pada sel tubuh hospes. Namun sejauh
ini patogenesis terjadinya neosporosis masih belum dapat mudah dipahami karena
kejadiannya berlangsung kompleks atau rumit (Dubey et al., 2006). Pada penularan
secara eksogenus diketahui sapi terinfeksi akibat memakan ookista yang mencemari
lingkungan seperti di makanan dan minuman. Ookista yang sudah berspolurasi
tersebut setelah termakan maka kemudian akan mengeluarkan delapan sporozoit
untuk menginvasi sel-sel epitel pada usus halus sapi dengan cara berkembang menjadi
bentuk takizoit. Parasitemia terjadi setelah takizoit bermultiplikasi di limfonodus
mesenterika usus halus sehingga menyebar melewati pembuluh darah. Hal inilah yang
menyebabkan Neospora caninum dapat ditemukan pada bagian uterus sehingga
menyebabkan gangguan reproduksi terutama pada sapi yang sedang bunting.
Abortus terjadi ketika fetus dan plasenta mengalami kerusakan yang sangat
parah. Kerusakan pada fetus dapat disebabkan karen proses multiplikasi Neospora
caninum pada fetus atau dapat disebabkan karena kekurangan asupan oksigen dan
nutrisi yang dipicu oleh kerusakan plasenta. Umur fetus terinfeksi yang masih muda
akan paling sering sulit bertahan karena sistem imun yang terbentuk belum sempurna
untuk mencegah perkembangan parasit pada jaringan uterus, namun pada umur
kebuntingan trisemester pertama biasanya fetus akan bertahan karena sistem imun
sudah terbentuk sehingga pedet yang lahir dapat terlihat sehat namun terinfeksi
Neosporosis caninum bersifat persisten (Dubey et al., 2006). Kejadian abortus pada
fetus dapat disebabkan karena parasit yang bermultiplikasi pada sel otak fetus
sehingga menyebabkan terjadinya peradagan otak (ensefalitis), hal ini dapat
7
dibuktikan dengan banyaknya lesi dan protozoa yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan histopatologi fetus dari sapi terinfeksi dan terjadi abortus.
Pada sapi gejala klinis yang terlihat yaitu terjadinya abortus pada umur
kebuntingan antara lima sampai tujuh bulan. Pada induk sapi yang pernah mengalami
abortus, ketika mengalami kebuntingan maka biasanya akan mengalami abortus
kembali atau kelainan pada fetus secara berulang-ulang. Dampak yang ditimbulkan
dari kejadian abortus ini kemudian dapat menyebabkan pedet terlahir prematur,
kematian fetus, atau mumifikasi fetus (Dubey dan Schares, 2011). Pada kejadian
subklinis atau tanpa gejala klinis biasanya dialami oleh pedet yang mengalami infeksi
persisten karena tertular secara vertikal dari induknya sehingga dapat berperan pada
penularan Neospora caninum. Pedet yang lahir juga dapat lahir dengan gejala
abnormal seperti kelumpuhan, ataksia, dan gangguan pertumbuhan atau
perkembangan otak akibat hidrosefalus (Pooley et al., 2014). Pedet yang terinfeksi
secara kongenital, walaupun jarang, dapat menunjukkan gangguan saraf untuk yang
berumur di bawah satu bulan (Dubey et al., 2006).
2.6 Diagnosis
Tes antibodi dapat dilakukan secara keseluruhan pada populasi ternak melalui
hasil produksi susu namun tidak disarankan karena kurang akurat jika dibandingkan
8
dengan uji serologi secara individu untuk tiap ekor sapi. Tes antibodi menggunakan
serum pada masing-masing ekor sapi memiliki hasil yang lebih sensitif dan cukup
akurat karena kemungkinan hasil positif palsu sangat kecil. Namun perlu diperhatikan
bahwa apabila infeksi dalam keadaan dorman karena tidak adanya parasit dalam
bentuk takizoit maka jumlah antibodi dalam darah rendah sehingga sebaiknya
dilakukan pada saat sapi bunting (Rosbottom et al., 2011). Selain pemeriksaan serum,
diagnosis neosporosis pada sapi dapat dilakukan melalui pemeriksaan histopatologi
fetus sapi yang mengalami abortus dan dikombinasikan dengan uji PCR (Pooley et
al., 2014). Biasanya kejadian neosporosis pada sapi bunting akan menyebabkan
abortus dan fetus mengalami mumifikasi dengan perubahan pada organ sistem saraf
seperti terjadinya hidrosefalus diikuti ensefalitis. Pada pemeriksaan histopatologi akan
ditemukan banyak sel radang mononuklear dan terdapat protozoa terutama di otak
dalam bentuk takizoit yang sedang bermultiplikasi. Pemeriksaan histopatologi
sebaiknya dikombinasikan dengan imunohistokimia (Dubey et al., 2006). Uji serologi
lainnya yang paling sering dilakukan adalah enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) karena bisa dilakukan pada lebih dari satu sampel sekaligus secara cepat
dengan spesifisitas yang tinggi (Khan et al., 2020).
Hingga saat ini belum diketahui pengobatan yang efektif terhadap sapi yang
mengalami neosporosis, walaupun dampak yang ditimbulkan oleh parasit ini dapat
menyebabkan kerugian secara ekonomi. Namun pengobatan neosporosis hanya
diketahui dilaporkan pada anjing (Pooley et al., 2014). Pencegahan atau
penanggulangan yang dapat dilakukan terhadap sapi dapat dilakukan dengan
memerhatikan jalur penularan baik secara horizontal dan vertikal karena vaksinasi
yang ada di pasaran masih belum efektif untuk mencegah kejadian abortus oleh
infeksi Neospora caninum pada sapi (Khan et al., 2020). Pada level penularan secara
vertikal, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah sapi betina seropositif
bunting melainkan dijadikan sapi potong. Selain itu sebaiknya hanya sapi betina
dengan hasil seronegatif yang dikawinkan untuk mencegah penularan vertikal.
Penerapan teknologi reproduksi berupa transfer embrio juga dapat dilakukan dengan
menggunakan sapi yang seronegatif sebagai resipien (Pooley et al., 2014). Pada
9
praktik inseminasi buatan sebaiknya menggunakan semen yang berasal dari pejantan
sapi potong (Almeria et al., 2009)
10
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Almería S. 2013. Neospora caninum and Wildlife. ISRN Parasitology 13: 1-23
Dubey JP dan Schares G. 2011. Neosporosis in animals–the last five years. Vet Parasitol.
180: 90-108.
Dubey JP, Barr BC, Barta JR, Bjerkas I, Bjrokman C, Blagburn BL, Bowman DD, Buxton D,
Ellis JT, Gottstein B, Hemphill A, Hill DE, Howe DK, Jenkins MC, Kobayashi Y,
Koudela B, Marsh AE, Mattson JG, McAllister MM, Modry D, Omata Y, Sibley
LD, Speer CA, Trees AJ, Uggla A, Upton SJ, Williams DJL, dan Lindsay DS. 2002.
Redescription of Neospora caninum and its differentiation from related coccidian.
International Journal for Parasitology 32: 929-946.
Dubey JP, Buxton D, dan Wouda W. 2006. Pathogenesis of Bovine Neosporosis. J Comp
Path. 134: 267-289.
Dubey JP, Hattel AL, Lindsay DS, dan Topper MJ. 1988. Neonatal Neospora caninum
infection in dogs: isolation of the causative agent and experimental transmission.
Journal of theAmerican Veterinary Medical Association 193: 1259-1263.
Dubey JP, Schares G, dan Ortega-Mora LM. 2007. Epidemiology and Control of Neosporosis
and Neospora caninum. Clinical Microbiology 20(2): 323-367.
Goodswen SJ, Kennedy PJ dan Ellis JT. 2013. A review of the infection, genetics, and
evolution of Neospora caninum: From the past to the present. Infection, Genetics
and Evolution 13: 133–150.
Khan A, Shaik JS, Sikorski P, Dubey JP, dan Grigg ME. 2020. Neosporosis: An Overview of
Its Molecular Epidemiology and Pathogenesis. Engineering 6: 10-19.
Manca R, Ciccarese G, Scaltrito D, dan Chirizzi D. 2022. Detection of Anti-Neospora
caninum Antibodies on Dairy Cattle Farms in Southern Italy. Vet Sci. 9(87): 1-11.
Pooley F, Remnant J, dan Wapenaar W. 2014. Neospora in cattle and dogs: an update.
Livestock 19(3): 153-157.
12
Reichel MP, Ayanegui-Alcerreca MA, Gondim LF, dan Ellis JT. 2013. What is the global
economic impact of Neospora caninum in cattle – the billion dollar question. Int. J.
Parasitol. 43: 133-142.
Ris A, Dharmawan NS, dan Damriyasa IM. 2014. Seroprevalensi Neospora caninum pada
sapi bali yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar. Jurnal Ilmu dan
Kesehatan Hewan 2(2): 71-79.
Rosbottom A, Gibney H, Kaiser P et al. 2011. Up regulation of the maternal immune
response in the placenta of cattle naturally infected with Neospora caninum. PLoS
One 6(1): e15799.
Subekti DT, Fatmawati M, Khoiriyah A, Pramesthi A, Fong S, Desem MI, Azmi Z,
Kusumaningtyas E, Endrawati D, dan Purwanto ES. 2021. Seroprevalence of Seven
Reproductive Diseases in Beef and Dairy Cows from Three Provinces in Indonesia.
Veterinary Medicine International 2021, Article ID 6492289: 1-9.
Suhardono, Iskandar T, dan Kosasih Z. 2002. Neosporosis Salah Satu Penyebab Keguguran
pada Ternak Baru Dikenali di Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner 2002 : 1-4.
Wouda W, Dijkstra T, dan Kramer AR. 1999. Characteristics of Neospora caninum-
associated Abortion Storms in Dairy Herds in the Netherlands (1995-1997).
Theriogenalogy 52: 233-225.
13