Anda di halaman 1dari 17

TUGAS PAPER

LABORATORIUM PARASITOLOGI VETERINER


“NEOSPOROSIS PADA SAPI”

Oleh :

PUTU PREMA CANDRAYANI


2109611061
GELOMBANG 19 KELOMPOK K

KOASISTENSI DIAGNOSIS LABORATORIUM


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya paper berjudul “Neosporosis pada Sapi” dapat diselesaikan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu blok Koasistensi Diagnosis
Laboratorium yang telah memberikan kepercayaan untuk menyelesaikan tugas ini.

Penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka menambah
pengetahuan juga wawasan mengenai kejadian neosporosis pada sapi. Tulisan ini masih
terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu penulis
mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan yang akan dibuat di masa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Mudah-mudahan tulisan sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya
bagi para pembaca. Tidak lupa penulis minta maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang
berkenan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Denpasar, 16 Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................


KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
2.1 Etiologi ................................................................................................................... 3
2.2 Morfologi ................................................................................................................ 4
2.3 Siklus Hidup ........................................................................................................... 5
2.4 Patogenesis ............................................................................................................. 7
2.5 Gejala Klinis ........................................................................................................... 8
2.6 Diagnosis ................................................................................................................ 8
2.7 Pengobatan dan Pencegahan................................................................................... 9
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ............................................................................................................. 11
3.2 Saran ....................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 12

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 ............................................................................................................................. 4


Gambar 2.2 ............................................................................................................................. 5
Gambar 2.3 ............................................................................................................................. 6

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produktivitas hewan ternak seperti sapi merupakan salah satu aspek penting
bagi para peternak. Salah satu ancaman terhadap sapi betina produktif yaitu terjadinya
abortus dan gangguan selama sapi bunting sehingga anak sapi yang dilahirkan dalam
keadaan sakit atau prematur. Ada banyak penyebab kejadian abortus pada sapi, salah
satunya dapat disebabkan oleh parasite protozoa (Subekti et al., 2021). Neosporosis
merupakan penyakit pada sapi yang dapat menyebabkan abortus akibat infeksi oleh
parasit protozoa Neospora caninum (Wouda et al., 1999). Kejadian neosporosis dapat
menyerang sapi dan anjing di seluruh dunia dan menjadi masalah yang serius bagi
peternakan sapi. Agen penyebabnya merupakan parasit yang dapat berkembang
apabila kondisi epidemiologi meliputi lingkungan, agen, dan hospes mendukung
sehingga penyakit tersebut terus berkembang dan menyebabkan abortus secara
berulang-ulang serta dapat terjadi secara sporadik, endemik, maupun epidemik. Hal
ini dapat terjadi karena penyakit ini sulit dikendalikan selama rantai siklus hidup agen
penyebabnya tidak putus.

Kasus neosporosis juga diketahui terjadi pada sapi yang ada di beberapa
wilayah Indonesia seperti di Bandung, Bogor, Malang, dan Bali. Adanya antibodi
yang terdeteksi pada serum sapi di Malang menunjukkan angka prevalensi sebesar
4,7% (Suhardono et al., 2002). Subekti et al. (2021) menyebutkan bahwa pada sapi
perah di Indonesia terdeteksi antibodi neosporosis dengan seroprevalensi sebesar
20,83% yang secara statistik berbeda nyata dengan tidak terdeteksinya di sapi potong.
Sedangkan di Bali telah dilakukan penelitian berupa uji serologik terhadap sapi bali di
rumah pemotongan hewan (RPH) menunjukkan bahwa nilai prevalensinya sebesar
1,08% (Ris et al., 2014).. Mengingat pentingnya dampak akibat penyakit ini apabila
agen parasit berkembang di suatu peternakan sapi maka merupakan hal yang penting
untuk mempelajari neosporosis pada sapi secara lebih lanjut. Pengetahuan serta
pemahaman sebagai calon dokter hewan mengenai etiologi, morfologi, siklus hidup,
gejala klinis, hingga diagnosis sangat diperlukan sebagai upaya untuk

1
penanggulangan dan memberikan edukasi sehingga kejadian neosporosis pada sapi
dapat dicegah dan kerugian yang dialami oleh peternak dapat diminimalisir.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas maka diperoleh rumusan
masalah dalam penulisan ini yaitu sebagai berikut:
1.2.1 Apa etiologi neosporosis pada sapi?
1.2.2 Bagaimana morfologi agen penyebab neosporosis pada sapi?
1.2.3 Bagaimana siklus hidup agen penyebab neosporosis pada sapi?
1.2.4 Bagaimana patogenesis neosporosis pada sapi?
1.2.5 Bagaimana gejala klinis neosporosis pada sapi?
1.2.6 Bagaimana diagnosis neosporosis pada sapi?
1.2.7 Bagaimana pengobatan dan pencegahan neosporosis pada sapi?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan beberapa rumusan masalah yang telah disebutkan di atas maka
diketahui tujuan penulisan yaitu sebagai berikut:
1.3.1 untuk mengetahui etiologi neosporosis pada sapi;
1.3.2 untuk mengetahui morfologi agen penyebab neosporosis pada sapi;
1.3.3 untuk mengetahui siklus hidup agen penyebab neosporosis pada sapi;
1.3.4 untuk mengetahui patogenesis neosporosis pada sapi;
1.3.5 untuk mengetahui gejala klinis neosporosis pada sapi;
1.3.6 untuk mengetahui diagnosis neosporosis pada sapi; dan
1.3.7 untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan neosporosis pada sapi.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan yaitu menambah wawasan serta
pengetahuan mengenai penyakit reproduksi neosporosis pada sapi kepada penulis dan
juga pembaca.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi

Neosporosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Neospora


caninum. Neospora caninum merupakan parasit protozoa jenis intraseluler obligat
(Pooley et al., 2014). Maksud dari definisi tersebut berarti protozoa ini memiliki
siklus hidup dan hanya dapat berkembang pada tingkat seluler atau di dalam sel dari
suatu hospes. Hewan yang paling sering dilaporkan terserang penyakit ini adalah
anjing sebagai hospes definitif dan sapi sebagai salah satu hospes intermediet. Spesies
lain seperti kuda, kucing, kambing, domba, dan lain-lain dikatakan dapat terinfeksi
protozoa ini namun kejadiannya masih jauh lebih sedikit apabila dibandingkan dengan
kejadian pada anjing dan sapi (Pooley et al., 2014). Awalnya penyakit ini telah
diketahui terdapat pada anjing di tahun 1984 dan beberapa tahun setelahnya pada sapi,
namun isolasi dan identifikasi agen penyebabnya baru berhasil dilakukan pada tahun
1988 (Dubey et al., 1988). Neosporosis merupakan salah satu penyakit parasit penting
yang menyerang populasi anjing dan sapi serta kejadiannya dapat ditemukan di
seluruh dunia (Dubey et al., 2007). Infeksi Neospora caninum dapat menyebabkan
gangguan neuromuskular pada anjing, abortus pada sapi, dan kerugian ekonomi yang
besar pada industri sapi perah dan sapi potong (Dubey dan Schares, 2007; Reichel et
al., 2013).

Neospora caninum merupakan parasit protozoa apikompleksa yang memiliki


suatu kompleks apikal pada salah satu ujung struktur uniselular eukariotiknya
(Goodswen et al., 2013). Secara taksonomi diketahui pengelompokkan Neospora
caninum yaitu sebagai berikut:
Filum : Apicomplexa
Kelas : Conoidasida
Subkelas : Coccidia
Ordo : Eucoccidiorida
Famili : Sarcocystidae
Genus : Neospora
Spesies : N. caninum
3
2.2 Morfologi

Neospora caninum dapat ditemukan dalam tiga bentuk yaitu takizoit, bradizoit
(kista), dan ookista. Identifikasi Neospora caninum saat pemeriksaan menggunakan
mikroskop sering dikelirukan dengan Toxoplasma gondii karena keduanya sangat
mirip menurut morfologi dan biologisnya yang masih memiliki hubungan kerabat
(Dubey et al., 2006). Pada bentuk ookista, Neospora caninum dapat ditemukan pada
feses anjing sebagai hospes definitive dengan ciri terdapat dua sporokista dan di
dalamnya mengandung empat sporozoit.

Gambar 2.1 Kista bradizoit dengan dinding yang tebal (A dan C) dan kelompok
takizoit (B dan C). Sumber: Dubey et al. (2002)

Takizoit dapat dijumpai pada banyak jaringan dan organ sapi yang terinfeksi
parasit ini secara tunggal atau dalam bentuk kluster. Bentuknya bervariasi mulai dari
bulat hingga seperti bulan sabit dengan ukuran sekitar panjang 7 μm dan lebar 5 μm.
Sedangkan kista yang mengandung bradizoit biasanya dapat ditemukan di sistem saraf
yaitu otak dan sumsum tulang belakang pada sapi. Bentuk kista bradizoit mirip
dengan takizoit yaitu bulat hingga oval dengan ukuran diameter dapat mencapai lebih
dari 100 μm dengan dinding yang lebih tebal daripada T. gondii yaitu hingga 4 μm
(Almería, 2013).

4
2.3 Siklus Hidup

Siklus hidup yang dimiliki oleh Neospora caninum yaitu berlangsung dengan
memerlukan dua jenis hospes yaitu hospes definitif dan hospes intermediet. Anjing
atau bangsa Canidae merupakan hospes definitif dari parasit ini, sedangkan diketahui
bahwa bangsa ruminansia seperti sapi merupakan hospes intermedietnya. Neospora
caninum dikatakan memiliki siklus hidup yang heteroxenous karena berlangsung
memerlukan dua hospes dan terjadi secara langsung (reproduksi seksual) dan tidak
langsung (reproduksi aseksual). Reproduksi aseksual terjadi Namun berbeda dengan
pemahaman terhadap perkembangan seksual pada T. gondii, proses reproduksi
seksual pada N. caninum masih tidak diketahui karena hanya secara aseksual yang
bisa dijelaskan yaitu perkembangan ookista pada feses anjing (Khan et al., 2020).

Gambar 2.2 Siklus hidup Neospora caninum (Khan et al., 2020)

Anjing sebagai hospes definitif dari protozoa ini merupakan tempat


berlangsungnya proses reproduksi secara seksual dan dapat juga terinfeksi secara
klinis akibat memakan daging yang telah terkontaminasi oleh kista Neospora caninum
(Manca et al., 2022). Parasit kemudian menjalankan siklusnya dan dapat berkembang
pada pencernaan anjing sehingga feses yang dikeluarkan akan mengandung ookista

5
diploid Neospora caninum yang belum bersporulasi. Sapi tertular akibat memakan
ookista yang telah bersporulasi secara meiosis ketika mencemari lingkungan. Ookista
infektif yang telah mengandung sporozoit kemudian berkembang secara cepat
menjadi takizoit pada sel sapi serta menjalani reproduksi aseksual di dalam suatu
parasitophorous vacuole (PV) (Khan et al., 2020). Agar dapat menginfeksi dan
beradaptasi dengan sistem pertahanan tubuh hospes yang baru maka takizoit
Neospora caninum akan berkembang secara lebih lambat dan berada di fase semi-
dorman pada kista jaringan dalam bentuk bradizoit (Khan et al., 2020).
Pada siklus hidupnya diketahui bahwa sapi sebagai hospes intermediet tidak
mengeluarkan ookista pada fesesnya, namun penularan dapat terjadi secara vertikal
yaitu melalui plasenta. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.2 di atas yang
menunjukkan bahwa sapi yang terinfeksi akan menyebabkan terbentuknya kista
bradizoit dan takizoit akan menyebabkan terinfeksinya fetus pada uterus (Manca et
al., 2022). Bradizoit terbentuk pada jaringan neuromuskular dan dapat
pertumbuhannya berlangsung secara lambat, sedangkan takizoit yang berkembang
secara cepat menyebabkan parasite dapat disalurkan pada plasenta (Pooley et al.,
2014).

Gambar 2.3 Penularan Neospora caninum. Sumber: Pooley et al. (2014)

Siklus hidup Neospora caninum pada peternakan sapi produktif akan agak
sulit untuk dikendalikan apabila surveilans tidak diterapkan dengan baik dan rutin.
6
Hal ini karena penularan dapat terjadi juga secara vertikal atau secara endogenus
terhadap anak sapi yang dilahirkan. Apabila sapi bunting tidak mengalami abortus
maka pedet dengan infeksi persisten dapat berperan pada siklus hidup Neospora
caninum sehingga penyebaran semakin luas apalagi ketika pada akhirnya saat dewasa
pedet tersebut bunting. Hal ini dapat dilihat pada gambaran proses penularan
Neospora caninum secara lebih jelas pada Gambar 2.3.

2.4 Patogenesis

Neosporosis pada sapi dapat terjadi akibat adanya penularan dan jalan masuk
parasit untuk menyebabkan terjadinya infeksi pada sel tubuh hospes. Namun sejauh
ini patogenesis terjadinya neosporosis masih belum dapat mudah dipahami karena
kejadiannya berlangsung kompleks atau rumit (Dubey et al., 2006). Pada penularan
secara eksogenus diketahui sapi terinfeksi akibat memakan ookista yang mencemari
lingkungan seperti di makanan dan minuman. Ookista yang sudah berspolurasi
tersebut setelah termakan maka kemudian akan mengeluarkan delapan sporozoit
untuk menginvasi sel-sel epitel pada usus halus sapi dengan cara berkembang menjadi
bentuk takizoit. Parasitemia terjadi setelah takizoit bermultiplikasi di limfonodus
mesenterika usus halus sehingga menyebar melewati pembuluh darah. Hal inilah yang
menyebabkan Neospora caninum dapat ditemukan pada bagian uterus sehingga
menyebabkan gangguan reproduksi terutama pada sapi yang sedang bunting.

Abortus terjadi ketika fetus dan plasenta mengalami kerusakan yang sangat
parah. Kerusakan pada fetus dapat disebabkan karen proses multiplikasi Neospora
caninum pada fetus atau dapat disebabkan karena kekurangan asupan oksigen dan
nutrisi yang dipicu oleh kerusakan plasenta. Umur fetus terinfeksi yang masih muda
akan paling sering sulit bertahan karena sistem imun yang terbentuk belum sempurna
untuk mencegah perkembangan parasit pada jaringan uterus, namun pada umur
kebuntingan trisemester pertama biasanya fetus akan bertahan karena sistem imun
sudah terbentuk sehingga pedet yang lahir dapat terlihat sehat namun terinfeksi
Neosporosis caninum bersifat persisten (Dubey et al., 2006). Kejadian abortus pada
fetus dapat disebabkan karena parasit yang bermultiplikasi pada sel otak fetus
sehingga menyebabkan terjadinya peradagan otak (ensefalitis), hal ini dapat

7
dibuktikan dengan banyaknya lesi dan protozoa yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan histopatologi fetus dari sapi terinfeksi dan terjadi abortus.

2.5 Gejala Klinis

Pada sapi gejala klinis yang terlihat yaitu terjadinya abortus pada umur
kebuntingan antara lima sampai tujuh bulan. Pada induk sapi yang pernah mengalami
abortus, ketika mengalami kebuntingan maka biasanya akan mengalami abortus
kembali atau kelainan pada fetus secara berulang-ulang. Dampak yang ditimbulkan
dari kejadian abortus ini kemudian dapat menyebabkan pedet terlahir prematur,
kematian fetus, atau mumifikasi fetus (Dubey dan Schares, 2011). Pada kejadian
subklinis atau tanpa gejala klinis biasanya dialami oleh pedet yang mengalami infeksi
persisten karena tertular secara vertikal dari induknya sehingga dapat berperan pada
penularan Neospora caninum. Pedet yang lahir juga dapat lahir dengan gejala
abnormal seperti kelumpuhan, ataksia, dan gangguan pertumbuhan atau
perkembangan otak akibat hidrosefalus (Pooley et al., 2014). Pedet yang terinfeksi
secara kongenital, walaupun jarang, dapat menunjukkan gangguan saraf untuk yang
berumur di bawah satu bulan (Dubey et al., 2006).

2.6 Diagnosis

Diagnosis neosporosis pada sapi dapat dilakukan dengan cara memerhatikan


data epidemiologi, anamnesis, gejala klinis yang ditunjukkan oleh sapi, dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan di laboratorium. Pemeriksaan yang dilakukan yaitu
melalui uji secara serologi seperti tes antibodi, melakukan pemeriksaan histopatologi,
dan uji molekular dengan polymerase chain reaction (PCR). Uji serologi yang biasa
dilakukan di lapangan terhadap kejadian neosporosis yaitu untuk mendeteksi
keberadaan antibodi pada serum sapi yang diketahui memiliki riwayat gejala klinis
abortus atau gangguan selama proses kebuntingan sehingga fetus yang dihasilkan
tidak berkembang atau pedet lahir dalam kondisi tidak sehat (mengalami kelumpuhan,
hidrosefalus, dan lain-lain) dengan pertumbuhan yang lambat.

Tes antibodi dapat dilakukan secara keseluruhan pada populasi ternak melalui
hasil produksi susu namun tidak disarankan karena kurang akurat jika dibandingkan

8
dengan uji serologi secara individu untuk tiap ekor sapi. Tes antibodi menggunakan
serum pada masing-masing ekor sapi memiliki hasil yang lebih sensitif dan cukup
akurat karena kemungkinan hasil positif palsu sangat kecil. Namun perlu diperhatikan
bahwa apabila infeksi dalam keadaan dorman karena tidak adanya parasit dalam
bentuk takizoit maka jumlah antibodi dalam darah rendah sehingga sebaiknya
dilakukan pada saat sapi bunting (Rosbottom et al., 2011). Selain pemeriksaan serum,
diagnosis neosporosis pada sapi dapat dilakukan melalui pemeriksaan histopatologi
fetus sapi yang mengalami abortus dan dikombinasikan dengan uji PCR (Pooley et
al., 2014). Biasanya kejadian neosporosis pada sapi bunting akan menyebabkan
abortus dan fetus mengalami mumifikasi dengan perubahan pada organ sistem saraf
seperti terjadinya hidrosefalus diikuti ensefalitis. Pada pemeriksaan histopatologi akan
ditemukan banyak sel radang mononuklear dan terdapat protozoa terutama di otak
dalam bentuk takizoit yang sedang bermultiplikasi. Pemeriksaan histopatologi
sebaiknya dikombinasikan dengan imunohistokimia (Dubey et al., 2006). Uji serologi
lainnya yang paling sering dilakukan adalah enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) karena bisa dilakukan pada lebih dari satu sampel sekaligus secara cepat
dengan spesifisitas yang tinggi (Khan et al., 2020).

2.7 Pengobatan dan Pencegahan

Hingga saat ini belum diketahui pengobatan yang efektif terhadap sapi yang
mengalami neosporosis, walaupun dampak yang ditimbulkan oleh parasit ini dapat
menyebabkan kerugian secara ekonomi. Namun pengobatan neosporosis hanya
diketahui dilaporkan pada anjing (Pooley et al., 2014). Pencegahan atau
penanggulangan yang dapat dilakukan terhadap sapi dapat dilakukan dengan
memerhatikan jalur penularan baik secara horizontal dan vertikal karena vaksinasi
yang ada di pasaran masih belum efektif untuk mencegah kejadian abortus oleh
infeksi Neospora caninum pada sapi (Khan et al., 2020). Pada level penularan secara
vertikal, pencegahan dapat dilakukan dengan cara mencegah sapi betina seropositif
bunting melainkan dijadikan sapi potong. Selain itu sebaiknya hanya sapi betina
dengan hasil seronegatif yang dikawinkan untuk mencegah penularan vertikal.
Penerapan teknologi reproduksi berupa transfer embrio juga dapat dilakukan dengan
menggunakan sapi yang seronegatif sebagai resipien (Pooley et al., 2014). Pada

9
praktik inseminasi buatan sebaiknya menggunakan semen yang berasal dari pejantan
sapi potong (Almeria et al., 2009)

Pencegahan transmisi secara horizontal yaitu bergantung dari banyaknya


interaksi di lingkungan antara sapi dan hospes definitif atau hospes intermediet
lainnya. Sebaiknya kandang sapi diberi pembatas sehingga mencegah adanya anjing
yang berkeliaran di sekitar sapi. Selain itu, fetus pada sapi yang mengalami abortus
sebaiknya langsung dibersihkan untuk mencegah penularan dan berkembangnya
siklus hidup Neospora caninum apabila termakan oleh anjing dan satwa liar lainnya
yang dapat berperan sebagai hospes parasit ini. Mengingat kista bradizoit Neospora
caninum terdapat pada jaringan otot daging maka sebaiknya makanan sebelum diberi
kepada anjing harus dalam keadaan matang (Pooley et al., 2014).

10
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Neosporosis pada sapi merupakan penyakit infeksius yang disebabkan oleh


parasit protozoa Neospora caninum. Terdapat tiga bentuk morfologi dari Neospora
caninum yaitu bentuk ookista, takizoit, dan kista bradizoit. Dalam siklus hidupnya N.
Caninum memerlukan hospes definitif yaitu anjing dan hospes intermediet berupa
hewan ruminansia seperti sapi. Penularan terjadi secara eksogenus (horizontal) dan
endogenus (vertikal). Patogenesis kejadian neosporosis akibat terjadinya parasitemia
yang menyebabkan parasit tersebar hingga ke uterus sehingga menyebabkan kematian
fetus terutama yang mengalami peradangan pada otak. Salah satu gejala klinis dari
neosporosis pada sapi yaitu terjadinya abortus secara berulang dan pedet yang
dilahirkan mengalami gangguan perumbuhan atau gangguan saraf. Diagnosis
neosporosis dapat dilakukan dengan tes antibodi serum sapi bunting, pemeriksaan
histopatologi, imunohistokimia, ELISA, dan PCR. Tidak ada pengobatan maupun
vaksinasi yang efektif terhadap kejadian abortus akibat neosporosis pada sapi
sehingga pendekatan dilakukan dengan cara mencegah adanya transmisi Neospora
caninum pada sapi.

3.2 Saran

Masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap kejadian neosporosis di


Indonesia karena kerugian yang ditimbulkan cukup besar sehingga diharapkan
diterapkan biosekuriti terhadap lingkungan peternakan sapi betina terutama yang
sedang produktif.

11
DAFTAR PUSTAKA

Almería S, López-Gatius F, García-Ispierto I et al. 2009. Effects of crossbreed pregnancies


on the abortion risk of Neospora caninum-infected dairy cows. Vet Parasitol 163(4):
23–29.

Almería S. 2013. Neospora caninum and Wildlife. ISRN Parasitology 13: 1-23
Dubey JP dan Schares G. 2011. Neosporosis in animals–the last five years. Vet Parasitol.
180: 90-108.
Dubey JP, Barr BC, Barta JR, Bjerkas I, Bjrokman C, Blagburn BL, Bowman DD, Buxton D,
Ellis JT, Gottstein B, Hemphill A, Hill DE, Howe DK, Jenkins MC, Kobayashi Y,
Koudela B, Marsh AE, Mattson JG, McAllister MM, Modry D, Omata Y, Sibley
LD, Speer CA, Trees AJ, Uggla A, Upton SJ, Williams DJL, dan Lindsay DS. 2002.
Redescription of Neospora caninum and its differentiation from related coccidian.
International Journal for Parasitology 32: 929-946.
Dubey JP, Buxton D, dan Wouda W. 2006. Pathogenesis of Bovine Neosporosis. J Comp
Path. 134: 267-289.

Dubey JP, Hattel AL, Lindsay DS, dan Topper MJ. 1988. Neonatal Neospora caninum
infection in dogs: isolation of the causative agent and experimental transmission.
Journal of theAmerican Veterinary Medical Association 193: 1259-1263.
Dubey JP, Schares G, dan Ortega-Mora LM. 2007. Epidemiology and Control of Neosporosis
and Neospora caninum. Clinical Microbiology 20(2): 323-367.
Goodswen SJ, Kennedy PJ dan Ellis JT. 2013. A review of the infection, genetics, and
evolution of Neospora caninum: From the past to the present. Infection, Genetics
and Evolution 13: 133–150.
Khan A, Shaik JS, Sikorski P, Dubey JP, dan Grigg ME. 2020. Neosporosis: An Overview of
Its Molecular Epidemiology and Pathogenesis. Engineering 6: 10-19.
Manca R, Ciccarese G, Scaltrito D, dan Chirizzi D. 2022. Detection of Anti-Neospora
caninum Antibodies on Dairy Cattle Farms in Southern Italy. Vet Sci. 9(87): 1-11.
Pooley F, Remnant J, dan Wapenaar W. 2014. Neospora in cattle and dogs: an update.
Livestock 19(3): 153-157.

12
Reichel MP, Ayanegui-Alcerreca MA, Gondim LF, dan Ellis JT. 2013. What is the global
economic impact of Neospora caninum in cattle – the billion dollar question. Int. J.
Parasitol. 43: 133-142.
Ris A, Dharmawan NS, dan Damriyasa IM. 2014. Seroprevalensi Neospora caninum pada
sapi bali yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Denpasar. Jurnal Ilmu dan
Kesehatan Hewan 2(2): 71-79.
Rosbottom A, Gibney H, Kaiser P et al. 2011. Up regulation of the maternal immune
response in the placenta of cattle naturally infected with Neospora caninum. PLoS
One 6(1): e15799.
Subekti DT, Fatmawati M, Khoiriyah A, Pramesthi A, Fong S, Desem MI, Azmi Z,
Kusumaningtyas E, Endrawati D, dan Purwanto ES. 2021. Seroprevalence of Seven
Reproductive Diseases in Beef and Dairy Cows from Three Provinces in Indonesia.
Veterinary Medicine International 2021, Article ID 6492289: 1-9.
Suhardono, Iskandar T, dan Kosasih Z. 2002. Neosporosis Salah Satu Penyebab Keguguran
pada Ternak Baru Dikenali di Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan
dan Veteriner 2002 : 1-4.
Wouda W, Dijkstra T, dan Kramer AR. 1999. Characteristics of Neospora caninum-
associated Abortion Storms in Dairy Herds in the Netherlands (1995-1997).
Theriogenalogy 52: 233-225.

13

Anda mungkin juga menyukai