Anda di halaman 1dari 7

J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 22, No.

1, Maret 2015: 106-112


 

REVIEW
PENGELOLAAN DAN KONSERVASI SATWA BERBASIS KEARIFAN TRADISIONAL
DI PAPUA
(Wildlife Management and Conservation Based on Traditional Wisdom in Papua)
Freddy Pattiselanno1*, Jacob Manusawai2, Agustina Y.S. Arobaya3
dan Herman Manusawai3
1
Laboratorium Produksi Ternak, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan,
Universitas Papua, Jl. Gunung Salju Amban Manokwari 98314 Papua Barat.
2
Program Studi Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Papua,
Jl. Gunung Salju Amban Manokwari 98314 Papua Barat.
3
Laboratorium Lingkungan dan Konservasi Hutan, Fakultas Kehutanan,
Universitas Papua, Jl. Gunung Salju Amban Manokwari 98314 Papua Barat.
*Penulis Korespondensi. No Telp. 0986-212156; Fax. 0986-211455.
Email: pattiselannofreddy@yahoo.com.

Diterima: 29 Juni 2014 Disetujui: 19 November 2014


Abstrak
Kearifan tradisional didefinisikan sebagai sistem sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan dalam
kehidupan suatu komunitas tertentu yang dinamis, berkelanjutan dan dapat diterima. Artikel ini bertujuan untuk
mendiskusikan konsep kearifan tradisional dalam akitivitas perburuan satwa pada kelompok etnik tertentu di Papua
sebagai langkah alternatif konservasi satwa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek kearifan tradisional oleh
masyarakat asli Papua bervariasi antara satu dengan lainnya. Konsep-konsep yang berhasil diidentifikasi dan masih
tetap dipraktekkan sampai dengan saat ini di antaranya teknik dan peralatan berburu, lokasi perburuan, musim berburu
dan target perburuan. Kesemuanya adalah potensi yang harus dilestarikan dan dikembangkan guna menunjang program
konservasi satwa di Papua.
Kata kunci: kearifan tradisional, konservasi, Papua, perburuan, satwa.
Abstract
Traditional wisdom is defined as social, politic, culture, economics and environment system in particular
communities life which dynamic, sustainably and acceptable. This article aimed to discuss traditional wisdom concept
in wildlife hunting by some ethnic groups in Papua as an alternative way on wildlife conservation. The study indicated
that traditional wisdom aspect of the native Papuan was varies among others. An identified concept of traditional
wisdom which still put into practice around the study site was technique and tools of hunting, location, hunting season
and hunting target. This concept is the potency which could be sustained and developed in order to support the wildlife
conservation program in Papua.
Keywords: conservation, hunting, Papua, traditional wisdom, wildlife.

PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan waktu, saat ini


tujuan utama dari aktivitas perburuan yaitu untuk
Perburuan didefinisikan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani utama
memanen satwa. Dalam kenyataannya, masyarakat sebagai sumber pangan, dan
pemanfaatan satwa di Papua murni dilakukan mendapatkan keuntungan ekonomis dengan
melalui aktivitas perburuan. Berburu dan menjual hewan hidup dan produk yang
mengumpulkan hewan liar telah berlangsung sejak dihasilkannya (daging, kulit, tanduk, telur, taring,
dahulu dan merupakan aspek penting dalam ekor dan lain sebagainya). Walaupun demikian,
kehidupan masyarakat di pedalaman Papua. Oleh secara umum perburuan satwa di Papua bersifat
karena itu sekalipun dalam kehidupan modern subsistens dengan fokus utama untuk menyiapkan
sekarang ini beberapa kelompok etnik di Papua sumber protein esensial yaitu daging untuk
sangat bergantung pada aktivitas perburuan sebagai kebutuhan konsumsi keluarga (Pattiselanno, 2003).
bagian dari tradisi mereka (Pattiselanno, 2003). Kearifan tradisional adalah sistem sosial,
Dengan kata lain, perburuan merupakan satu di politik, budaya, eknomi dan lingkungan dalam
antara beberapa cara hidup masyarakat asli Papua. kehidupan suatu komunitas lokal yang bersifat
dinamis, berkelanjuan dan dapat diterima. Dalam
Maret 2015 FREDDY PATTISELANNO, DKK.: PENGELOLAAN & KONSERVASI SATWA 107
 

kehidupan masyarakat, kearifan tradisional secara rutin biasanya dilakukan secara individu
merupakan bagian dari sistem hukum, pengetahuan, pada saat yang sama pekerjaan di kebun dilakukan.
keahlian, nilai, etika dan sosial yang hidup dan Paijmans (1976), Chahya (2000), dan
berkembang dari satu generasi ke generasi Pattiselanno (2005) menjelaskan bahwa bahan
berkutnya. Tabu yang berkaitan dengan pembuat peralatan berburu umumnya diambil dari
kepercayaan atau praktek budaya dianggap sebagai alam termasuk berbagai jenis kayu, bambu, liana
kearifan tradisional diantara kelompok etnik dan dan serat tumbuhan. Menurut Paijmans (1976)
(Madhusudan dan Karanth, 2002). Dalam material untuk peralatan berburu biasanya diambil
hubungannya dengan aktivitas perburuan satwa, dari hutan seperti Hibiscus sp., Trema sp., Ficus
tabu yang bersifat sosial secara tradisional spp, Syzigium sp., Aglaia sapindina dan Dodonea
merupakan pelindung terhadap praktek viscose. Beberapa kelompok etnik tertentu
pemanfaatan spesies satwa tertentu yang tidak menggunakan anjing dan api untuk mengusir dan
terkontrol (Hill dan Padwe, 2000; Leuwenberg dan menghalau hewan buruan (Manembu, 1991;
Robinson, 2000). Tabu seperti ini dapat menyebar Flannery, 1995).
di beberapa wilayah, atau terbatas pada kelompok Lee (2000) menjelaskan bahwa perburuan
etnik tertentu, klan ataupun keluarga (Bennett dan secara luas dapat dibagi menjadi perburuan aktif
Robinson, 2000). dimana pemburu secara aktif mencari hewan
Tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan buruan, memerlukan waktu dan tenaga yang
konsep kearifan tradisional yang berlaku dalam intensif. Di sisi lain, perburuan pasif membutuhan
kegiatan perburuan satwa oleh beberapa kelompok usaha awal seperti mendesain perangkap,
etnik di Papua sebagai alternatif pelestarian satwa. memasang jerat, oleh karena itu Pattiselanno (2005)
Berdasarkan hasil pengamatan dan tinjauan literatur menjelaskan bahwa di Papua teknik perburuan aktif
terhadap aspek-aspek yang merupakan bagian dari dan pasif dalam aktivitas perburuan satwa (Gambar
praktek kearifan tradisional masyarakat setempat, 1 dan 2).
maka diharapkan informasi ini dapat mengungkap
konsep tradisional yang mendukung usaha LOKASI PERBURUAN
konservasi satwa di wilayah itu.
Hal yang umum hampir di sebagian besar
TEKNIK DAN PERALATAN BERBURU daerah di Papua, penduduk desa tidak sangsi lagi
bahwa di sekitar hutan terdapat daerah sakral dan
Aktivitas perburuan di Papua umumnya penduduk/pemburu tidak diperkenankan melakukan
merupakan perburuan subsistens yang sangat aktivitas berburu di daerah tersebut. Praktek ini
bergantung pada alat buru tradisional dalam dilakukan secara turun temurun dan sampai saat ini
hubungannya dengan menjaga hubungan antara tetap dilakukan.
manusia dengan alam. Beberapa literatur (Bennett Kepercayaan yang tetap berlangsung yaitu
dan Robinson, 2000; Milner-Gulland dan Bennett, tempat tertentu harus dilindungi dan tidak dapat
2003) menyatakan bahwa perburuan subsistens diganggu karena tempat tersebut digunakan sebagai
umumnya menggunakan alat buru tradisional yang tempat berdiamnya roh/arwah nenek moyang
sederhana dengan tujuan utama menyediakan mereka. Tempat yang paling sering dilindungi
sumber protein esensial untuk kebutuhan konsumsi antara lain daerah aliran sungai, daerah perbukitan
keluarga. Pemburu mengadopsi penggunaan produk tertentu dan tempat-tempat yang didominasi oleh
hutan seperti kayu, bambu dan rotan untuk pepohonan yang besar. Masing-masing kelompok
membuat jerat, mendesain perangkap, membuat etnik mempunyai karakteristik tempat sakral yang
panah, busur dan tombak. Tumbuhan hutan yang berbeda. Fenomena yang sama juga berlaku di
elastis dan mudah untuk dibentuk, dilengkungkan India dan menurut Madhusudan and Karanth (2002)
serta tumbuhan penghasil serat tumbuhan diambil hutan sakral sangat terbatas pengunaannya dan
dan dianyam sebagai pengganti tali. dilarang melakukan aktivitas perburuan di wilayah
Berburu biasanya dilakukan secara perorangan tersebut.
maupun kelompok. Perburuan dalam kelompok Selain itu juga, lokasi berburu biasanya
besar biasanya terdiri dari banyak orang dengan terbatas pada tiap wilayah klen atau berdasarkan
bantuan anjing pemburu dan dilakukan pada waktu- hak ulayat yang jelas dari kelompok etnik atau
waktu tertentu misalnya untuk kegiatan pesta adat, marga tertentu. Batas-batas ulayat secara tradisional
budaya ataupun perayaan hari-hari besar diatur menurut pertemuan adat antar kelompok atau
keagamaan. Untuk perburuan individu biasanya klen tertentu dan disepekati serta dihargai secara
dilakukan oleh pasangan suami isteri pada saat turun temurun. Batas tersebut biasanya ditandai
mereka bekerja di kebun. Pemeriksaan perangkap

 
108 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 22, No.1
 

Gambar 1. Perburuan aktif dengan menggunakan Gambar 2. Perburuan pasif menggunakan jerat.
busur dan panah.

Gambar 3. Pemburu di Amberbaken membawa Gambar 4. Pemburu di Pulau Arui dengan kuskus
rusa hasil buruan. hasil buruan.

berdasarkan bentang alam seperti gunung atau merupakan hak ulayat kelompok pemburu, selama
sungai yang menggambarkan marga tertentu. Oleh pemilik hak ulayat memberikan ijin atau dengan
karena itu masyarakat pemilik ulayat memiliki cara membagi hasil buruan yang diperoleh dengan
wewenang untuk melarang dan mengijinkan kelompok pemilik ulayat. Praktek seperti ini
mereka yang bukan pemilik ulayat memanfaatkan ditemukan dalam kehidupan suku Arfak di
lahannya. Misalnya seorang yang bukan berasal Manokwari (Sumule, 1995).
dari kelompok atau klen pemilik lahan ulayat tidak
diperkenankan berburu di lokasi yang bukan MUSIM BERBURU
merupakan hak ulayatnya. Hampir di sebagian besar lokasi penelitian
Batas - batas tersebut secara tegas dan sadar masyarakat mengakui adanya musim berburu.
dipahami oleh masyarakat anggota klen tersebut Masyarakat Napan di kawasan Teluk Cenderawasih
sehingga dalam melakukan kegiatan berburu melakukan praktek memungut hasil baik dari laut
mereka tidak boleh melintas atau melewati batas- maupun hutan secara musiman yang dikenal
batas hak ulayat mereka. Menurut Wanggai dan dengan istilah “sasi”.
Kilmaskossu (1995) wilayah untuk berburu diatur Musim memungut hasil biasanya diawali
oleh hak tradisional biasanya milik klen, suku atau dengan upacara tradisional setempat dan selama
seluruh masyarakat dan disepakati dan diterima musim tersebut semua penduduk desa
secara tradisional di Papua. Namun demikian, diperkenankan untuk memungut hasil (ikan, hasil
perburuan dapat dilakukan di daerah yang bukan pertanian/hutan dan perburuan). Lama waktu
Maret 2015 FREDDY PATTISELANNO, DKK.: PENGELOLAAN & KONSERVASI SATWA 109
 

musim tersebut diatur bersama oleh masyarakat Berburu kuskus merupakan yang umum
setempat dan berbeda-beda di setiap kelompok ditemukan hampir di berbagai daerah di Papua. Di
etnik. Asumsi masyarakat setempat Teluk Cenderawasih, berburu kuskus memberikan
diberlakukannya musim ini sekaligus memberikan kontribusi yang signifikan terhadap konsumsi
kesempatan kepada hewan buruan untuk bisa protein hewani masyarakat Napan (Gambar 4).
berkembang biak secara alami. Hal penting yang perlu dicatat yaitu pilihan
Dalam kaitannya dengan perburuan maka terhadap satwa buruan sangat bergantung kepada
aktivitas perburuan tidak diperkenankan selama kehadiran jenis satwa tersebut dan tingkat kesulitan
masa tutup sasi. Dengan demikian praktek untuk menangkapnya dan keterkaitan budaya
semacam ini dianggap sebagai konsep kearifan setempat dengan satwa tersebut. Hal ini cukup
tradisional yang mendukung usaha konservasi beralasan karena tujuan utama perburuan yaitu
satwa di Papua yang masih terus berlanjut untuk menyediakan sumber protein hewani utama
dipraktekkan di Papua. bagi keluarga. Sebagai sumber pangan, jenis satwa
Dalam kondisi tertentu (kegiatan yang tertentu memainkan peranan yang sangat penting
berkaitan dengan upacara keagamaan atau ritual bagi mereka di daerah pedalaman Papua.
budaya), semua pria di dalam komunitas tertentu Keterbatasan akses terhadap sumber protein
terlibat dalam aktivitas perburuan. Pada saat seperti hewani asal ternak dan ketersediaan pangan asal
ini aktivitas berburu dilakukan dalam jangka waktu hewan liar merupakan alasan utama memanfaatkan
yang relatif lebih lama dan biasanya dianggap satwa untuk dikonsumsi (Pattiselanno, 2003;
sebagai musim berburu karena tujuan perburuan Pattiselanno, 2004; Pattiselanno, 2006). Nilai
yaitu untuk mendapatkan hasil yang buruan yang komersial atau ekonomi satwa menjadi salah satu
banyak. faktor penentu (penjualan daging buruan dan hewan
Hal seperti ini masih ditemukan pada hidup sebagai hewan peliharaan) dalam
kelompok etnik Kebar dan Dasigo di dataran tinggi menetapkan satwa buruan sasaran di antara
Manokwari dan Mamberamo. Aktivitas perburuan beberapa kelompok etnik (Noviarto, 2000;
secara bersama (komunal) biasanya dilakukan Pattiselanno, 2004; Hilaluddin dkk., 2005; Luskin
dalam perayaan ritual keagamaan dan budaya dkk., 2014). Dari sisi sosial budaya hiasan tropi
seperti perkawinan dan kematian. Dalam situasi (kepala rusa jantan) atau taring babi, dan cakar jenis
seperti ini mereka harus mempersiapkan jamuan mamalia tertentu digunakan sebagai artifak budaya
untuk tamu yang datang dalam jumlah besar untuk yang bernilai dalam ritual budaya setempat atau
menghadiri upacara tersebut. koleksi pribadi misalnya kulit, bulu dan taring
Pada beberapa kelompok suku di Papua New (Kwapena, 1984, McKinnon, 1984; Beehler, 1985;
Guinea, pelaksanaan musim berburu juga berlaku Petocz, 1994, Wibowo dan Suyatno, 1998).
dalam kaitannya dengan aktivitas pertanian Upacara morga di dataran tinggi Papua New
masyarakat setempat misalnya setelah musim Guinea membutuhkan daging babi dan kasuari
panen, musim menanam dan musim paceklik dalam jumlah yang besar untuk tukar menukar
(Sillitoe, 2002). Ntiamoa-Baidu (1997) budaya dan persahabatan di antara kelompok etnik
menjelaskan bahwa praktek yang sama ditemukan (Kwapena, 1984). Selain itu juga pemanfaatan
hampir di sebagian besar wilayah Afrika. hewan liar (mamalia, burung dan reptil), termasuk
daging, kulit, bulu, ekor, tulang, taring dan lemak
TARGET BURUAN secara luas digunakan untuk mengobati penyakit
Hewan buruan di setiap daerah beragam, tetapi (ethnoveterinary) (Ntiamoa-Baidu, 1997).
umumnya di Papua hewan yang menjadi sasaran Beberapa pustaka menjelaskan bahwa
perburuan relatif sama. Beberapa spesies satwa perburuan satwa dilakukan untuk mendapatkan
yang sering menjadi sasaran perburuan di antaranya asesori (McKinnon, 1984; Beehler, 1985; Petocz,
adalah kelompok mamalia darat dan burung seperti 1994, Wibowo dan Suyatno, 1998) pada kostum
babi hutan, rusa, walabi, kuskus, bandikut, kasuari, tradisional. Contoh hal ini adalah bulu burung
mambruk serta buaya dan penyu yang diburu oleh Cenderawasih dan burung Mambruk memainkan
mereka yang tinggal di sekitar lahan basah. peranan yang sangat penting dalam ritual budaya
Perburuan rusa dan babi liar misalnya hampir kelompok suku tertentu.
ditemukan di seluruh wilayah di Papua, misalnya KEARIFAN LOKAL SEBAGAI POTENSI
perburuan rusa oleh masyarakat di sepanjang
pesisir semenanjung Kepala Burung Papua Dari pengamatan secara langsung dan hasil
(Gambar 3). Sementara kelompok masyarakat wawancara terhadap responden nyata bahwa
Mamberamo dikenal karena kemampuan mereka perkembangan dan pembangunan yang sangat pesat
berburu buaya dari sungai Mamberamo.

 
110 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 22, No.1
 

akhir-akhir ini membuka peluang peningkatan Robinson dan Bennett, 2000; Madhusudan and
interaksi antara masyarakat setempat dengan Karanth, 2002).
kelompok pendatang dari luar. Kondisi ini wajar Pada era otonomi khusus ini, salah satu bentuk
karena pembukaan dan pemekaran sejumlah daerah keberpihakan kepada masyarakat asli Papua yaitu
baru memicu pembukaan jaringan jalan yang dilindunginya praktek kearifan tradisional oleh
semakin intensif guna menghubungkan satu daerah masyarakat. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan
dengan daerah lainnya. Pada akhirnya hal ini akan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat
membuka kesempatan interaksi yang lebih besar setempat, nilai kearifan tradisional Papua perlu
antara masyarakat asli Papua dengan kelompok dijaga, dilestarikan. Lebih penting lagi, kearifan
pendatang, tetapi juga memberikan kesempatan tradisional Papua harus dimanfaatkan sebagai
terjadinya transfer budaya diantara kelompok kekayaan budaya yang erat kaitannya dengan
masyarakat ini. kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang
Ada kekuatiran bahwa kondisi yang ada akan dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity).
cenderung mengikis praktek kearifan tradisional Keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP)
yang selama ini secara tidak langsung merupakan mendukung kebijakan pemberdayaan di bidang
aplikasi dari program konservasi tradisional sosial budaya melalui upaya menumbuh
masyarakat di Papua. Keterisolasian yang terbuka kembangkan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat
juga mempercepat pembangunan ekonomi asli Papua (Anonim, 2009). Hal ini merupakan
masyarakat dan pada akhirnya berakibat terhadap salah satu bentuk legitimasi hukum adat masyarakat
pemanfaatan sumberdaya yang semakin intensif di Tanah Papua guna melestarikan praktek kearifan
dan menjadi tidak terkendali. tradisional yang selama ini lebih terkotak-kotak
Kesimpulan dari berbagai studi yang pernah menurut kelompok etnik yang ada. Kearifan
dilakukan di berbagai tempat di dunia menunjukkan tradisional/lokal (traditional wisdom) adalah sistem
bahwa perburuan satwa tidak lagi lestari dan sosial, politik, budaya, ekonomi dan lingkungan
fenomena ini disebut dengan the empty forest dalam lingkup komunitas lokal. Sifatnya dinamis,
(Redford, 1992). Hal mendasar yang menjadi berkelanjutan dan dapat diterima. Dengan demikian
alasan yaitu semakin meningkatnya perdagangan kearifan lokal yang lahir dari learning by
satwa komersial (Bodmer dkk., 1990; Fa dkk., experience, tetap dipertahankan dan diturunkan dari
1995), beralihnya teknik perburuan tradisional ke generasi ke generasi (Pattinama, 2009), merupakan
perburuan modern yang cenderung menggunakan sikap positif yang perlu tetap dipertahankan dalam
peralatan modern (Stearman, 2000; Madhusudan kehidupan Papua modern saat ini.
dan Karanth, 2002; Pattiselanno, 2006; Aiyadurai Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
dkk., 2010) serta tidak berlakunya aturan, kegunaan utama kearifan lokal adalah untuk
kepercayaan serta tabu yang umumnya dikenal oleh menciptakan keteraturan dan keseimbangan antara
masyarakat tradisional yang berkaitan dengan kehidupan sosial, budaya dan kelestarian
perburuan satwa (Redford dan Robinson, 1987; sumberdaya alam. Dalam penerapannya, kearifan
Madhusudan dan Karanth, 2002). tradisional/lokal bisa dalam bentuk hukum,
Pada suku Maybrat khususnya kelompok pengetahuan, keahlian, nilai dan sistem sosial dan
masyarakat Ayfat misalnya, proses perdagangan etika yang hidup dan berkembang dari satu generasi
satwa juga sekaligus menjadi ajang tukar menukar ke generasi berikutnya. Sebagai bentuk interaksi
barang berharga lainnya. Contoh hal ini adalah antara manusia dan satwa liar, pemanfaatan satwa
gelang-gelang dari kulit siput, gigi taring buaya dan oleh manusia merupakan bagian dari siklus alami
babi (yang tumbuh melengkung), bahan-bahan, yang ikut mengatur kondisi populasi satwa di alam.
kalung kalung dan ikat pinggang yang dihiasi Dalam konteks aktivitas perburuan hubungan ini
dengan manik-manik dari jenis yang istimewa juga menggambarkan praktek etika konservasi yang
diantara klen yang ada (Pattiselanno dan dianut masyarakat setempat sebagai bagian dari
Mentansan, 2010). pemanfaatan sumberdaya alam yang ada
Pengalaman di beberapa tempat lain (Pattiselanno, 2008).
menunjukkan bahwa terbukanya keterisolasian Oleh karena itu kearifan tradisional yang
meningkatkan interaksi suku asli dengan kelompok merupakan produk lokal masyarakat perlu tetap
pendatang. Interaksi tersebut berdampak terhadap dipertahankan bahkan harus lebih ditingkatkan.
terkikisnya budaya asli seperti praktek tabu atau Potensi ini perlu secara lebih intensif digali dan
aturan-aturan adat yang dikenal dikenal oleh terus ditingkatkan karena hasil kajian yang
masyarakat tradisional yang berkaitan dengan dilakukan di tempat lain di belahan dunia lainnya
perburuan satwa (Redford and Robinson, 1987; menunjukkan bahwa konservasi satwa dapat
dilakukan melalui pendekatan aspek kearifan lokal
Maret 2015 FREDDY PATTISELANNO, DKK.: PENGELOLAAN & KONSERVASI SATWA 111
 

dan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) Taman Nasional Wasur Merauke. Skripsi
masyarakat setempat. Pemanfaatan potensi ini Universitas Negeri Papua, Manokwari.
diharapkan menjadi salah satu solusi di tingkat Fa, J.E., Garcia Yuste, J.E., dan Castelo, D., 2000.
masyarakat adat guna mendukung usaha Bushmeat markets on Bioko Island as measure
perlindungan satwa di Papua. of hunting pressure. Conservation Biology,
14(6):1602-1613.
KESIMPULAN Flannery, T., 1995. Irian Jaya’s New Tree
Kangaroo: Just The Tip of The Ertzberg.
Aspek kearifan tradisional masyarakat asli Nature Australia Winter: 47-52.
Papua beragam antara satu kelompok etnik dengan Hilaluddin, Kaul, R., dan Ghose, D., 2005.
kelompok etnik lainnya. Berdasarkan aspek yang Conservation Implications of Wild Animal
dikaji konsep kearifan tradisional yang selama ini Biomass Extractions in Northeast India.
dipraktekkan secara turun temurun dalam aktivitas Animal Biodiversity and Conservation,
perburuan nampak pada teknik dan pengunaan alat 28(2):169-179.
berburu, lokasi berburu, musim berburu dan satwa Hill, K., dan Padwe, J., 2000. Sustainability of Ache
yang menjadi target perburuan. Dalam Hunting in the Mbaracayu Reserve, Paraguay,
kenyataannya, praktek kearifan tradisional di Papua dalam. J.G. Robinson dan E.L. Bennett, (eds.).
secara tidak langsung ikut menunjang program Hunting for Sustainability in Tropical Forests.
konservasi satwa. Konsep tersebut merupakan Columbia University Press, New York: 79-105
potensi yang perlu dilestarikan sejalan dengan Kwapena, N., 1984. Traditional Conservation and
Keputusan Majelis Rakyat Papua mendukung dan Utilization of Wildlife in Papua New Guinea,
mengembangkan nilai kearifan lokal masayarakat The Environmentalist, 4(7):22-26
asli Papua. Potensi ini merupakan bagian dari Lee, R.J., 2000. Impact of Subsistence Hunting in
kekayaan keanekaragaman budaya lokal (mega- North Sulawesi, Indonesia and Conservation
cultural diversity) yang dimiliki masyarakat dalam Options, dalam J.G. Robinson and E.L.
menunjang program konservasi flora fauna di Bennett, (eds.). Hunting for Sustainability in
Tanah Papua. Tropical Forests, Columbia University Press,
New York: pp. 455-472
DAFTAR PUSTAKA Leuwenberg, F.T., dan Robinson, J.G., 2000.
Traditional Management of Hunting in a
Aiyadurai, A., Singh, N.J., dan Milner-Gulland, Xavante Community in Central Brazil: the
E.J., 2010. Wildlife hunting by Indigenous Search of Sustainability, dalam J.G. Robinson
Tribe: A Case Study from Arunacahal Pradesh, dan E.L. Bennett, (eds.). Hunting for
North-east India. Oryx, 44(4):564–572. Sustainability in Tropical Forests, Columbia
Anonim, 2009. Keputusan Kultural Majelis Rakyat University Press, New York: pp. 375-394.
Papua tentang: Kebijakan dan Pembinaan Luskin M.S., Christina, E.D., Kelley, L.C., dan
Kesatuan Kultural Orang Asli Papua. Potts, M.D., 2014. Modern Hunting Practices
Sekretariat Majelis Rakyat Papua, Jayapura. and Wild meat Trade in the Oil plantation-
Beehler, B., 1985. Conservation of New Guinea dominated Landscape of Sumatra. Human
Rainforest Birds. ICBP Technique Publication, Ecology, 42:35-45.
4:233-247. Mc Kinnon, K., 1984. Alam Asli Indonesia Flora,
Bennet, E.L. dan Robinson, J.G., 2000. Hunting of Fauna dan Keserasian. PT. Gramedia Jakarta
Wildlife in Tropical Forest: Implications for Madhusudan, M.D., dan Karanth, K.U. 2002. Local
Biodiversity and Forest Peoples. Paper No. 76 Hunting and The Conservation of Large
on Biodiversity series – impact studies. World Mammals in India. Ambio, 3(1):49-54.
Bank and WCS, Washington DC. Manembu, N.A., 1991. Suku Sempan, Nakai,
Bodmer, R.E., Bendayan, A.N.Y., Moya, I.L., dan Nduga dan Amungme di Kawasan Lorentz.
Fang, T.G., 1990. Manejo de ungulados en la PHPA/WWF Project 4521. Jayapura.
Amazonia Peruana: Analisis de su Caza y Milner-Gulland, E.J., dan Bennett, E 2003. Wild
Commercializacion. Boletin de Lima, 70:49- meat: The Bigger Picture. TRENDS in Ecology
56. and Evolution, 18(7):351-357.
Chahya, D.N., 2000. Teknologi Berburu Rusa Noviarto, R.D., 2000. Tingkat Konsumsi dan
(Cervus timorensis) dan Kasuari (Casuarius, Pemasaran Daging Walabi lincah (Macropus
sp.) Secara Tradisional Pada Masyarakat agilis) oleh Penduduk Asli dalam Taman
Suku Marind dan Kanuum di dalam kawasan Nasional Wasur Merauke. Skripsi Universitas
Negeri Papua, Manokwari.

 
112 J. MANUSIA DAN LINGKUNGAN Vol. 22, No.1
 

Ntiamoa-Baidu, Y., 1997. Wildlife and Food Redford, K.H., 1992. The Empty Forest. Bioscience
Security in Africa. FAO Conservation Guide 42:412-422.
33 www.fao.org/docrep/W7540E. Redford, K.H., dan Robinson, J.G., 1987. The
Paijman, K., 1976. New Guinea Vegetation. The Game of Choice: Patterns of Indian and
Australian National University Press, Colonist Hunting in the Neotropics. American
Canberra. Anthropologist, 89:412-422.
Pattinama, M.J., 2009. Pengentasan Kemiskinan Robinson, J.G., dan Bennett, E.L., 2000. Hunting
dengan Kearifan Lokal (Studi Kasus di Pulau for sustainability in Tropical Forests.
Buru-Maluku dan Surade-Jawa Barat). Columbia University Press, New York.
Makara, Sosial Humaniora, 13(1):1-12. Sillitoe, P., 2002. Always been Farmer-foragers?
Pattiselanno, F., 2003. The wildlife value: example Hunting and Gathering in the Papua New
from West Papua, Indonesia. Tigerpaper, Guinea Highlands. Anthropological Forum,
30(1):27-29. 12(1):45-76.
Pattiselanno, F., 2004. Wildlife utilization and food Sumule, A.I., 1995. The Technology Adoption
security in West Papua, Indonesia. The Behaviour of the Indigenous People of Irian
SEARCA Agriculture and Development Jaya: A Case Study. Fakultas Pertanian,
Seminar Series, SEARCA Los Baños, The Universitas Cenderawasih, Manokwari.
Philippines 13 April 2004. Stearman, M.A., 2000. Pound of Flesh: Social
Pattiselanno, F., 2005. Traditional Hunting for Change and Modernization as Factor in
Sustainable Wildlife Management (Current Hunting Sustainability among Neotropical
Review on Wildlife Hunting in West Papua). Indigenous Societies, dalam J.G. Robinson dan
Proceeding of the 7th of New Guinea E.L. Bennett, (eds.). Hunting for Sustainability
Biological Conference, Universitas in Tropical Forests, Columbia University
Cenderawasih Jayapura, June 16-18, 2005. Press, New York: 233-250.
Pattiselanno, F., 2006. The Wildlife Hunting in Wanggai, F., dan Kilmaskossu, M.St.E., 1995.
Papua. Biota, 11(1):59-61. Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan
Pattiselanno, F., 2008. Man-wildlife Interaction: Konservasi Taman Nasional Laut Teluk
Understanding the Concept of Conservation Cenderawasih. Rapat Koordinasi Pembangun-
Ethics in Papua. Tigerpaper, 35(4):10-12. an Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih.
Pattiselanno, F., dan Mentansan, G., 2010. Kearifan Manokwari, 30 September 1999.
Tradisional Suku Maybrat dalam Perburuan Wibowo P., dan Suyatno, N., 1998. An Overview of
Satwa sebagai Penunjang Pelestarian Satwa. Indonesian Wetland Sites II. Directorate
Makara Sosial Humaniora, 14(2):75-82. General of Forest Protection and Nature
Petocz, R.G., 1994. Konservasi Alam dan Conservation and Wetlands International
Pembangunan Irian Jaya. Graffitti Press, Indonesia Programme, Jakarta.
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai