Anda di halaman 1dari 23

MANAJEMEN DAN KESEHATAN SAPI BALI

RABIES PADA SAPI

KELOMPOK 6:
Aditia Permadi 1709511049
Putu Andarisa Widyastiti 1909511061
Stephanie Ariella Gunawan 1909511067
Polikarpus Endyo Juan Pradana 1909511071
Rosa Palelia de Fatima Gomes I 1909511077

KELAS C

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan paper mata kuliah Manajemen dan Kesehatan Sapi
Bali yang berjudul “Rabies pada Sapi” ini dengan tepat waktu. Dengan membuat paper ini,
kami berharap untuk membagikan ilmu kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana serta pembaca lainnya tentang rabies pada sapi.
Paper ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, kami
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dosen-dosen selaku pengampu mata kuliah Manajemen dan Kesehatan Sapi Bali yang
telah membimbing dalam penyusunan paper ini
2. Teman-teman yang telah memberi dorongan dan masukan demi terselesaikannya
paper ini
Kami telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan paper ini untuk
mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Namun, kami menyadari bahwa paper ini masih
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
demi kesempurnaan paper selanjutnya. Semoga paper ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

Denpasar, 28 November 2021


Hormat kami,

Kelompok 6
Kelas 19C

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………….…………….. ii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………….. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………… iv
1.1 Latar Belakang……………………………………………….………….….. iv
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………….…………….. iv
1.3 Tujuan……………………………………………………….……………… v
1.4 Manfaat…………………………………………………….…….…………. v
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………..……………… 6
2.1 Etiologi………………………..…...………………………….………..…… 6
2.2 Epidemiologi……………………………………...……..………………..… 7
2.2.1 Distribusi Penyakit……………………………………………………. 7
2.2.2 Cara Penularan………………………………………………………... 9
2.3 Patogenesis…………………..……………..……………………………..… 9
2.4 Tanda Klinis………….………………...…..….………………………….… 10
2.5 Diagnosis…………………....…………………………………………….… 12
2.6 Diagnosis Banding………………………………………………….…….… 16
2.7 Pengobatan………………………………………………………………….. 16
2.8 Pencegahan…………………………………………………………………. 16
BAB III PENUTUP………………………………………………………….…………… 18
3.1 Kesimpulan……………………………………………………..…………... 18
3.2 Saran………………………………………………………………………… 18
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..…………… 19
LAMPIRAN LINK VIDEO……………………………………………………………… 22

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur virus rabies…………….….……………………………………….. 6


Gambar 2. Potongan melintang struktur virus rabies.…………………….……………. 7
Gambar 3. Paralisis kaki belakang pada sapi yang terkena rabies...……………………. 11
Gambar 4. Hipersalivasi pada sapi yang terkena rabies…..……………………………. 12
Gambar 5. Apusan sampel otak sapi yang diduga rabies………………………………. 13
Gambar 6. Diagnosis rabies dengan IHC……....………………………………………. 14
Gambar 7. Sampel otak sapi positif rabies pada uji dFAT..……………………………. 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang
susunan saraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena bersifat
fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi orang yang
terpapar. Virus rabies dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia.
Rabies pada ternak, seperti sapi, mungkin jarang terjadi, tetapi kemampuannya untuk
menyebar melalui kawanan ternak masih menimbulkan risiko yang serius.
Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara dan
bahkan bersifat endemik di 72 negara. Pada hewan penderita penyakit ini biasanya
ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air liurnya, oleh sebab itu penularan
penyakit pada umumnya melalui suatu gigitan. Kejadian penyakit rabies pada hewan
maupun manusia hampir selalu diakhiri dengan kematian sehingga akibatnya penyakit ini
menimbulkan rasa takut dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat.
Rabies jarang terjadi pada ternak tetapi selalu ada beberapa kasus ternak ketika
kasus satwa liar meningkat, karena ada lebih banyak peluang untuk terpapar. Kejadian
rabies pada sapi bali kurang mendapatkan perhatian, padahal dampaknya bisa
mempengaruhi populasi sapi bali akibat kematian yang ditimbulkan oleh penyakit rabies.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa etiologi terjadinya rabies pada sapi?
2. Bagaimana epidemiologi rabies pada sapi?
3. Bagaimana patogenesis terjadinya rabies pada sapi?
4. Apa saja tanda klinis rabies pada sapi?
5. Bagaimana cara melakukan diagnosis rabies pada sapi?
6. Apa saja diagnosis banding rabies pada sapi?
7. Apa saja pengobatan rabies pada sapi?
8. Bagaimana cara mencegah rabies pada sapi?

iv
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, adapun tujuan penulisan paper ini yaitu
sebagai berikut:
1. Mengetahui etiologi terjadinya rabies pada sapi
2. Memahami epidemiologi rabies pada sapi
3. Memahami patogenesis terjadinya rabies pada sapi
4. Mengetahui tanda-tanda klinis rabies pada sapi
5. Memahami cara melakukan diagnosis rabies pada sapi
6. Mengetahui pengobatan rabies pada sapi
7. Memahami cara mencegah rabies pada sapi

1.4 Manfaat
Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan oleh dosen pengampu
mata kuliah Manajemen dan Kesehatan Sapi Bali. Melalui paper ini diharapkan kalangan
mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan memiliki wawasan lebih tentang penyakit pada
sapi, khususnya mengenai penyakit rabies.

v
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etiologi
Rabies disebabkan oleh virus RNA dengan bentuk peluru yang mempengaruhi
sistem saraf hewan. Virus rabies termasuk ke dalam genus lyssavirus dan family
Rhabdoviridae. Virus penyebab rabies bersifat neurotropik, dengan ukuran 100-150
mikron. Inti virus rabies terdiri dari asam nukleat RNA yang bersifat genetik. Inti tersebut
dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut kapsid. Kombinasi inti dan kapsid disebut
nukleokapsid. Di luar nukleokapsid ada kapsomer yang terdiri dari satuan molekul protein
dan di luarnya terdapat “envelope” yang pada permukaannya terdapat spikules (spikes).
Envelope virus ini mengandung lipid yang mudah dilarutkan dengan pelarut lemak
(sabun, eter, kloroform, aseton), etanol 47-70%, preparat iodine, dan ammonium
kuartener. Virus ini resisten terhadap pengeringan dan freezing-thawing. yang berulang,
stabil pada pH 5-10, peka terhadap suhu pasteurisasi, dan sinar ultraviolet. Envelope virus
ini diketahui berperanan penting sebagai penentu infektivitasnya, sedangkan RNA dan
nukleokapsidnya sendiri tidak infeksius (Soedijar dan Dharma, 2005).
Secara garis besar partikel virus rabies diketahui memiliki 2 antigen utama yaitu:
pada bagian dalam berupa nukleoprotein spesifik atau ribonukleoprotein dan bagian luar
berupa glikoprotein yang berperanan dalam merangsang terjadinya netralisasi antibodi
serum dan berperan dalam hal pertautan (attachment) virus ke permukaan sel yang
“susceptible” (Acha and Szyfres, 1987). Struktur dasar dan komposisi virus rabies dilihat
pada gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Struktur virus rabies


(Sumber: Centers for Disease Control and Prevention, 2000)

6
Gambar 2. Potongan melintang struktur virus rabies
(Sumber: Center for Disease Control and Prevention, 2000)

2.2 Epidemiologi
2.2.1 Distribusi Penyakit
1. Kejadian di Dunia
Kejadian rabies pada sapi terus dilaporkan di seluruh dunia. Di India dan
Bangladesh, sapi ditemukan sebagai hewan domestik yang paling banyak
terkena rabies (Udin et al., 2015). Sapi adalah ternak pertama yang paling
mungkin diuji positif rabies di Mongolia (Sack et al., 2018). Rabies dianggap
sebagai salah satu penyakit menular yang paling umum menyerang sapi dan
paling banyak dilaporkan pada sapi di Bhutan (Richen et al., 2019). Di Sri
Lanka, sapi adalah spesies kedua yang paling didiagnosis secara klinis dengan
rabies selama 2005-2014 (Pushpakumara et al., 2019). Di Cina, selama 2004-
2018, hasil survei rabies menunjukkan bahwa sapi adalah spesies yang paling
banyak terkena kedua (12,5%) menurut kasus yang dikonfirmasi laboratorium
rabies (Feng et al., 2020). Di India, prevalensi rabies adalah 61,4% pada sapi
dan kerbau (Singh et al.,, 2017). Di Nepal, sapi dan kerbau tampaknya menjadi
spesies yang paling terpengaruh bahkan daripada anjing (Devleesschauwer et
al., 2016).
Menurut Bárcenas-Reyes et al. (2019), terjadi peningkatan kasus rabies
pada manusia dan sapi di Amerika Latin dan Karibia. Taghreed dan Asmaa
(2019) meninjau beberapa laporan rabies yang diterbitkan di Oman, Arab Saudi,
Mesir, Aljazair, Irak, dan Yaman. Anjing adalah reservoir utama rabies, dan
penyakit ini ditemukan pada unta, rubah, sapi, domba, dan kambing. Anjing,
sapi, dan manusia adalah inang paling umum untuk rabies di Ethiopia. Sapi
berada di urutan kedua setelah anjing (Osda dan Megersa, 2017). Dari 48
7
kematian hewan rabies, sapi lebih banyak terkena dibandingkan spesies hewan
lain (Mulugeta et al., 2020). Gambaran yang sama dilaporkan di Nigeria (Tekki
et al., 2014). Di Kenya, sapi ditemukan sebagai spesies kedua yang paling
terkena rabies.
Di Euro-Asia dan Eropa, sampai tahun 2001, sapi adalah spesies pertama
yang terkena rabies di Federasi Rusia, kedua di Belarus (Botvinkin dan
Kosenko, 2015), yang pertama di Lithuania, yang kedua di Latvia, dan yang
ketiga setelah anjing dan kucing di Estonia (Westerling et al., 2015). Di
Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko, beberapa kasus dilaporkan pada sapi
(Xiaoyue et al., 2018).
Menurut Panamerican Health Organization (2004), 2.797 kasus rabies
pada sapi dilaporkan pada tahun 2004 di Amerika, yang merupakan peningkatan
87% dibandingkan tingkat tahun 2002. Dari jumlah tersebut, 2.591 (92,6%)
terjadi di Amerika Latin dan 130 (4,6%) di Amerika Utara. Di Amerika Latin,
Brasil memiliki 60,6% kasus, diikuti oleh 13% di Meksiko dan 8% di Andes.
Data yang lebih baru menunjukkan bahwa Brasil masih melaporkan lebih
banyak kasus rabies pada hewan domestik daripada negara lain di Amerika
Selatan, dengan dominasi rabies pada sapi (WHO, 2010).

2. Kejadian di Indonesia
Penyakit rabies di Indonesia telah terjadi pada 24 provinsi. Daerah
dengan laporan kasus penyakit rabies tertinggi adalah NTT dan Bali. Rabies di
Bali terjadi sejak Oktober 2008. Awalnya Bali merupakan provinsi bebas rabies.
Rabies di Bali telah menyebar ke beberapa kabupaten seperti Denpasar, Badung,
Buleleng, Bangli, Tabanan, Gianyar, dan Karangasem. Desa Ungasan, Kuta
Selatan, Badung, merupakan tempat awal terjadinya rabies pada manusia,
dengan adanya laporan 4 warga meninggal, 2 diantaranya positif rabies. Rabies
pada sapi bali dilaporkan telah terjadi di Kabupaten Tabanan. Berdasarkan
informasi dari masyarakat desa Kutuh, sapi-sapi milik warga yang mati dengan
tanda-tanda rabies terjadi bersamaan dengan kejadian rabies pada anjing dan
manusia (Faizah, 2012).

8
2.2.2 Cara Penularan
Cara penularan rabies yang umum pada sapi yaitu melalui gigitan dari anjing
gila atau hewan liar yang terinfeksi, seperti rubah, rakun, serigala atau kelelawar
vampir. Air liur adalah metode utama penularan virus yang ketika virus masuk ke
dalam tubuh ternak maka virus akan menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran
darah dan melakukan perjalanan ke sumsum tulang belakang di mana ia dapat
berada dalam periode inkubasi selama berbulan-bulan, namun umumnya hanya 3-12
minggu.. Dari tulang belakang virus bergerak ke otak, di mana tanda-tanda klinis
rabies sering muncul pada sapi.
Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka, membran mukosa,
mata, dan mulut. Dalam kondisi normal, virus tidak menyebar melalui udara,
meskipun cara penularan ini memungkinkan. Sapi dapat menularkan rabies kepada
manusia maupun hewan lainnya.

2.3 Patogenesis
Patogenesis mengacu pada proses perkembangan suatu penyakit, dimulai dari
infeksi pertama hingga munculnya tanda-tanda klinis. Dalam kasus rabies pada sapi,
patogenesis penyakit ini dapat berlangsung dengan cepat dan kematian dapat terjadi
dalam waktu satu minggu. Namun terdapat juga kasus-kasus dengan patogenesis yang
lebih lambat dan kematian terjadi dalam beberapa bulan hingga satu tahun. Variasi masa
inkubasi tersebut tergantung pada lokasi gigitan, semakin dekat ke otak, maka semakin
cepat virus tersebut dapat menginfeksi dan merusak sistem saraf pusat. Sering kali,
patogenesis awal penyakit rabies tidak menimbulkan tanda-tanda klinis dan tanda klinis
hanya muncul ketika perkembangan penyakit sudah mencapai tahap akhir sehingga
kematian pasti terjadi.
Perkembangan penyakit rabies dimulai ketika sapi tergigit oleh hewan lain yang
terinfeksi rabies seperti anjing. Virus dalam saliva anjing akan terinokulasi dalam
jaringan kulit dan jaringan otot sapi. Pada lokasi gigitan tersebut, virus dapat bertahan dan
bereplikasi selama 18 hari karena memiliki kemampuan adaptasi yang sangat tinggi
dalam sel-sel epitel, fibroblast, serabut otot dan juga makrofag (Singh et al. 2017). Virion
hasil replikasi di lokasi gigitan selanjutnya akan menuju neuromuscular junction. Karena
virus rabies bersifat neurophilic, maka virus tersebut akan menuju neuron atau sel-sel
saraf. Kemampuan virus rabies untuk menuju sitoplasma sebuah neuron difasilitasi oleh
retrograde axonal transport. Transport tersebut merupakan proses normal dimana
9
dimasukkannya berbagai jenis material yang diperlukan oleh neuron. Pada kasus rabies,
virus mengikatkan diri pada dynein motor protein yang memfasilitasi transport menuju
sitoplasma. Virus dalam neuron akan mampu bergerak sepanjang neuron, melewati sinaps
untuk menuju neuron lain dan akan mencapai sistem saraf pusat, yaitu korda spinalis dan
otak.
Dalam otak, virus rabies memiliki kesempatan untuk menginfeksi banyak sekali
sel-sel saraf. Dan dalam sel-sel saraf tersebut akan terjadi replikasi dan transkripsi. Ketika
terjadi replikasi virus, akan ditinggalkan kumpulan protein eosinofilik. Kumpulan protein
tersebut dikenal dengan istilah negri bodies yang merupakan lesi patognomonik dalam
jaringan otak hewan yang terinfeksi rabies. Infeksi pada otak tersebut akan berkembang
menjadi encephalitis. Encephalitis pada sapi akan menimbulkan tanda-tanda seperti
demam tinggi, kegelisahan dan sifat agresif.
Ketika infeksi pada otak berkembang, virus yang sudah mengalami maturasi juga
dapat menyebar menginfeksi bagian-bagian lain dalam sistem saraf dan juga terdesposis
pada organ-organ lain. Penyebaran paling umum terjadi pada nervi cranialis hewan,
sehingga dapat menimbulkan ciri patologi seperti paralisis otot-otot wajah, laring dan
sebagainya. Virus juga sering sekali bergerak dan terdesposisi pada kelenjar salivarius
sehingga menyebabkan hipersalivasi dan virus tersebut dapat menyebar ke hewan lain
melalui gigitan. Walaupun pada sapi hal ini tidak sering terjadi karena sapi tidak
menunjukkan agresi dengan cara menggigit.
Infeksi kemudian akan terus berkembang, terutama pada sistem saraf pusat seperti
korda spinalis dan otak. Infeksi lanjutan akan menyebabkan peradangan parah pada otak
yang menimbulkan kejang, koma dan kolapsnya sistem transportasi dan respirasi hewan.
Pada tahap ini, sapi yang terinfeksi tidak dapat ditolong dan akan terjadi kematian.

2.4 Tanda Klinis


Sapi yang tertular rabies mengalami paralisis nervus cranialis IX
(glossopharyngeus) dan nervus cranialis X (vagus) (Muller, 2010) sehingga terjadi
paralisis pada laring yang mengakibatkan kelainan suara yang dihasilkan sehingga gejala
yang sering tampak adalah melenguh secara terus-menerus dengan suara lenguhan yang
serak dan berat. Paralisis pada laring juga mengakibatkan sapi mengalami kesulitan
menelan sehingga nafsu makannya berkurang (Rosenberger et al., 1979).
Virus rabies juga mengakibatkan kerusakan pada sumsum tulang belakang
sehingga sapi bali penderita mengalami paralisis penis bagi sapi jantan, paralisis kantung
10
kemih, dan paralisis anus sehingga tampak seperti merejan (tenesmus). Paralisis tersebut
membuat sapi bali yang terinfeksi menunjukkan tanda klinik berak dan kencing sambil
berlari. Saat paralisis berlangsung, sapi bisa jatuh atau roboh dan tidak mampu bangkit.
(Scott, 1990). Kerusakan sumsum tulang belakang juga menyebabkan kelumpuhan
motorik yang menjadi salah satu tanda rabies yang paling konsisten pada hewan. Tanda
pertamanya yaitu kelemahan atau inkoordinasi pada kaki belakang, hingga terjadi
paralisis kaki belakang (Gambar 3).

Gambar 3. Paralisis kaki belakang pada sapi yang terkena rabies


(Sumber: Bassuino et al., 2016)

Virus rabies dapat mencapai jaringan otak kemudian memperbanyak diri serta
merusak jaringan-jaringan otak, sehingga muncul bentuk perubahan tingkah laku pada
sapi bali penderita rabies antara lain agresif dan galak, siaga, lepas atau memutus tali
pengikat, lari atau kabur dari kandang, berputar-putar, tidak mengenali pemiliknya serta
memakan benda-benda di sekitarnya.
Virus rabies yang telah merusak otak akan menjalar melalui saraf-saraf tepi secara
sentrifugal menjauhi otak menuju kelenjar ludah (Muller, 2010) sehingga gejala lain yang
tampak adalah hipersalivasi atau drooling (air liur berlebihan) seperti pada Gambar 4.
Penjalaran ke kelenjar ludah sebenarnya merupakan stadium akhir infeksi, akan tetapi
stadium ini menjadi sangat kritis karena sangat penting dalam penularan antar hewan dan
dari hewan ke manusia. Di kelenjar ludah, virus rabies memperbanyak diri pada sel-sel
asinar dan dikeluarkan bersama aliran ludah, serta terjadi kerusakan pada kelenjar ludah
(Fenner et al., 1995).

11
Gambar 4. Hipersalivasi pada sapi yang terkena rabies
(Sumber: Jaguza Farm, 2021)

Pada sapi menyusui, salah satu tanda umum rabies adalah penghentian produksi
susu secara total dan tiba-tiba. Gejala lain yang muncul pada ternak sapi mirip seperti
yang muncul pada anjing yang terinfeksi virus rabies, yaitu takut cahaya, takut angin,
takut keramaian, sampai berubah perilaku menjadi agresif seperti sapi gila. Selain itu
terdapat pula gejala lain seperti jatuh atau roboh, gigi gemeretak (brauksisma), malas, dan
mata memerah (Faizah et al., 2012).
Lama waktu mulai sejak munculnya gejala klinik hingga kematian sapi bali
penderita rabies berkisar 2-6 hari. Masa inkubasi penyakit rabies pada sapi umumnya
antara 14-56 hari. Variasi masa inkubasi tergantung dari jarak gigitan ke sistem saraf
pusat (Scott, 1990). Jika sapi telah menjadi gila karena penyakit rabies, maka tingkah laku
hewan tidak bisa dikendalikan. Hal tersebut mirip dengan gejala keracunan timah hitam,
atau tetanus karena hipomagnesemia (Kelly, 1974).
Pada akhirnya, sapi penderita rabies mengalami kejang-kejang, koma, terhentinya
sistem pernafasan dan mati. Kematian terjadi 2-7 hari setelah munculnya gejala klinik
(Fenner et al., 1995).

2.5 Diagnosis
Diagnosis pada penyakit rabies dapat dilakukan dengan memperhatikan tanda
tanda klinis yang terjadi. Selain itu, diperlukan pengujian yang spesifik untuk memastikan
bahwa penyakit yang menginfeksi sapi tersebut adalah rabies. Pengujian dilakukan
dengan menggunakan sampel organ atau jaringan dimana virus banyak ditemukan seperti
otak, cairan serebrospinal, dan kelenjar ludah. Selanjutnya, sampel akan dipersiapkan
untuk pengujian. Beberapa metode pengujian yang dapat dilakukan meliputi : Pewarnaan
Seller’s, Rapid Immunochromatographic Test, Immunohistochemistry Test dan dFAT.
12
Pewarnaan Seller’s merupakan metode yang banyak digunakan karena ekonomis.
Metode ini dilakukan dengan mewarnai sampel dengan pewarnaan Seller’s. Setelah itu
dapat diamati adanya negri bodies pada sampel jaringan di bawah mikroskop. Hasil
terkonfirmasi positif jika terdapat negri bodies berupa bintik-bintik hitam pada sitoplasma
sel. Akan tetapi metode ini memiliki kelemahan yaitu sensitivitas yang rendah sehingga
sampel hewan yang diuji berpotensi menimbulkan negatif palsu.

Gambar 5. Apusan sampel otak sapi yang diduga rabies, terdapat banyak negri
bodies
(Sumber : Mundas et al., 2014)

Metode selanjutnya yang dapat digunakan adalah Rapid


Immunochromatographic Test. Rapid Immunochromatographic Test menggunakan alat
test. Alat test tersebut kemudian ditetesi suspensi dari sampel otak pada bagian lubang
sampel. Hasil akan keluar setelah 5-10 menit. , Sampel dinyatakan positif jika muncul
dua garis pada alat test, serta negatif jika hanya salah satu garis yang muncul . Metode ini
memiliki tingkat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi. Disamping itu, metode ini
memerlukan waktu yang singkat.
Immunohistochemistry Test (IHC) merupakan metode diagnosis rabies yang
dilakukan dengan cara mewarnai antigen rabies pada sampel yang kemudian diamati
pada mikroskop.
Berdasarkan jurnal dari Mundas et al., 2014 prosedur dari diagnosis IHC adalah
sebagai berikut : Sampel otak yang telah ditanam pada parafin dipotong dengan ketebalan
4μm dan kemudian dipasang pada kaca objek yang telah dilapisi 3-aminopropyltriethoxy-
silane dan kemudian dikeringkan pada suhu 37oC selama 3 jam. Setelah itu, selama 30

13
menit kaca objek dikeringkan pada oven udara panas dengan suhu 60 oC. Sampel
kemudian dibilas dengan xylene untuk menghilangkan parafin dan kemudian direhidrasi
dengan etanol bertingkat. Setelah itu sampel ditutup dengan larutan 3 % H 2O2 dalam
methanol untuk menghalangi peroxidase dari luar.
Penerimaan antigen oleh sampel dilakukan dengan cara membenamkan sampel
jaringan dalam coupling jar yang mengandung Trypsin 1:250 (Pankreas Babi) dan
setelah itu diinkubasi pada ruangan lembab selama 60 menit pada suhu 37 oC. Sampel
kemudian dibiarkan mendingin sampai pada suhu ruangan selama 30 menit. Selanjutnya,
sampel dibilas dengan TPBS. Selama 60 menit, kaca objek kemudian diinkubasi dalam
ruangan lembab pada suhu ruangan dengan biotinylated anti-rabies monoclonal antibody
(mAb). Kemudian, kaca objek dicuci menggunakan TPBS sebanyak dua kali. Kaca objek
kemudian diinkubasi pada ruangan lembab pada suhu ruangan selama 60 menit dan
setelah itu dibilas dengan TPBS. Selanjutnya, kaca objek kembali diiinkubasi pada
ruangan lembab dengan suhu ruangan selama 10 menit dengan substrat peroxidase,
amino-ethylcarbizole. Kaca objek kemudian dicuci dengan air sulingan selama 5 menit
dan diwarnai degan Gill’s haematoxylin dengan perbandingan 1:2 selama 30 detik,
setelah itu dibilas dengan air mengalir selama 5 menit. Setelah itu, kaca objek dipasang
pada medium larut air, dan kemudian siap diamati. Sampel yang positif akan terlihat
badan inklusi akan terwarnai oleh pewarnaan.

Gambar 6. Diagnosis rabies dengan IHC. Sampel otak kecil (cerebellum) sapi menunjukan
antigen rabies yang telah terwarnai merah
(Sumber : Mundas et al., 2014)

14
Direct Fluorescent Antibody (dFAT) merupakan salah satu metode diagnosis
rabies yang dilakukan dengan mengamati cahaya berpendar (fluorescent) pada sampel
dibawah mikroskop. Metode ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi
sehingga metode ini dapat menjadi diagnosis konfirmasi rabies. Namun metode ini
memerlukan waktu lama dan keahlian khusus. dFAT memerlukan sampel otak segar
hewan yang diduga rabies.
Prosedur dFAT menurut OIE (2018), dimulai pada pembuatan apusan sampel otak
segar pada kaca objek. Setelah itu, apusan difiksasi dalam tabung Coplin menggunakan
aceton dingin (-20o C) selama kurang lebih 20 menit. Fiksasi apusan juga dapat
menggunakan teknik pemanasan dengan cara melewatkan apusan pada api sebanyak 2
sampai 3 kali. Selanjutnya, sampel dibiarkan kering oleh udara dan diwarnai dengan
pewarnaan khusus berupa konjugat dari antibodi rabies (Fluorescein isothiocyanate
labelled polyclonal/monoclonal anti-rabies antibody conjugate) yang kemudian
diencerkan dan diinkubasi selama 30 menit dengan suhu 37oC. Setelah diinkubasi, kaca
objek mikroskop dicuci di dalam tabung Coplin dengan larutan 0,1 M PBS (Phosphate
Buffer Solution) pH 7,4 selama 5 menit. Sampel dibiarkan kering oleh udara. Setelah
kering, penutup kaca objek mikroskop dipasang menggunakan 50 % Glycerol dan 50 %
larutan PBS. Selain sampel otak yang berasal dari hewan yang diduga menderita rabies,
dFAT juga dapat digunakan untuk mendeteksi virus yang isolasi pada sel neuroblastoma
atau virus yang diinokulasikan pada tikus. Sampel dinyatakan positif jika terdapat cahaya
berpendar berwarna hijau apel pada ketika diamati dengan mikroskop fluoresens
(Ibrahim, et al. 2017)

Gambar 7. Sampel otak sapi positif rabies pada uji dFAT. Warna hijau terang yang berpendar
menunjukan badan inklusi
(Sumber : R.T. Bartaquini, et al. 2020)
15
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding rabies pada sapi yaitu penyakit BSE (Bovine Spongiform
Encephalopathy), babesiosis, keracunan logam berat seperti timbal (Pb), lactation tetany,
polioencephalomalacia, kekurangan vitamin A, listeriosis, bacterial meningoencephalitis,
dan pseudorabies (Aujeszky’s disease pada sapi).

2.7 Pengobatan
Saat ini belum ditemukan pengobatan yang efektif untuk rabies pada sapi.
Umumnya sapi yang terpapar rabies (jika tidak divaksin rabies) dapat segera di-
euthanasia atau dikarantina selama 6 bulan. Sapi yang terpapar rabies juga dapat
disembelih (slaughter). Rabies merupakan penyakit serius dan untuk mengobatinya
sangat sulit sehingga fokus utama bagi pemilik ternak adalah pencegahan.

2.8 Pencegahan
Untuk vaksinasi rabies pada hewan digunakan virus yang tidak aktif (untuk hewan
pendamping dan ternak). Di Cina, vaksin rabies lokal telah digunakan untuk imunisasi
darurat pada sapi dan unta. Di Amerika Latin (misalnya Guatemala), terdapat vaksinasi
pada sapi, tapi sangat minim digunakan karena biayanya yang mahal. Vaksinasi ternak di
daerah yang terkena rabies dilaksanakan pada tahun 2012 di kota Bela Vista, negara
bagian Arkansas, Amerika, di mana wabah rabies dilaporkan. Lebih dari 200 sapi
divaksinasi dengan dua dosis vaksin untuk mencegah penyakit rabies pada sapi.
Penelitian yang dilakukan oleh Filho et al. (2020) menunjukkan bahwa vaksinasi
ulang terhadap rabies selama kebuntingan pada sapi dapat menetralkan titer antibodi yang
kemudian ditransfer langsung ke anak sapi melalui kolostrum. Hal ini memperkuat
pentingnya vaksinasi ulang untuk meningkatkan transfer antibodi kolostrum dan memberi
perlindungan dengan menciptakan kekebalan pasif terhadap rabies kepada keturunan.
Kekebalan pasif yang diinduksi oleh kolostrum terdeteksi untuk waktu yang relatif
singkat, sementara kekebalan aktif yang diinduksi oleh vaksinasi dalam banyak kasus
lebih tahan lama. Sapi yang baru lahir memiliki perlindungan awal yang dicapai dengan
transfer pasif imunoglobulin (Ig) dari induk ke sapi yang baru lahir (Queiroz Da Silva,
2002).

16
Transfer antibodi induk sapi ke janin ditentukan oleh struktur plasenta. Plasenta
ruminansia adalah syndesmochorial. Jenis plasenta ini mencegah lewatnya molekul Ig ke
janin, membuat anak sapi baru lahir bergantung pada antibodi yang diterima melalui
kolostrum (Elizondo-Salazar dan Heinrichs, 1998).
Anak sapi harus mendapat kolostrum sampai 24 jam setelah lahir (Champpuis,
1998). Kegagalan transfer antibodi kolostrum yang tepat dapat terjadi karena situasi
seperti kuantitas yang tidak mencukupi atau kualitas produksi kolostrum yang buruk,
volume kolostrum yang rendah, konsentrasi Ig yang rendah dalam kolostrum, atau usia
sapi pertama kali bunting dan berat pedet saat lahir (Chase et al., 2008). Perolehan
kekebalan pasif pada neonatal tergantung pada konsumsi dan penyerapan jumlah yang
tepat Ig dari kolostrum, yang penting untuk memberikan perlindungan untuk 2 sampai 4
minggu pertama kehidupan sapi (Porter, 1979).

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Virus rabies (genus: Lyssavirus, famili: Rhabdoviridae) merupakan virus RNA
dengan bentuk peluru yang mempengaruhi sistem saraf hewan (bersifat neurotropik).
Kejadian rabies pada sapi terus dilaporkan di seluruh dunia termasuk Indonesia seperti di
NTT dan Bali. Cara penularan rabies yang umum pada sapi yaitu melalui gigitan dari
hewan lain yang terinfeksi. Dalam kasus rabies pada sapi, patogenesis penyakit dapat
berlangsung dengan cepat dan kematian dapat terjadi dalam waktu satu minggu. Sapi
yang tertular rabies menunjukkan tanda klinis seperti suara melenguh, nafsu makan
berkurang, paralisis penis, agresif, hipersalivasi, berak dan kencing sambil berlari, dan
lain sebagainya. Beberapa metode diagnosis rabies sapi meliputi pewarnaan Seller’s,
Rapid Immunochromatographic Test, Immunohistochemistry Test dan dFAT. Rabies
merupakan penyakit serius dan untuk mengobatinya sangat sulit sehingga fokus utama
bagi pemilik ternak adalah pencegahan.

3.2 Saran
Sapi yang sedang bunting sebaiknya dilakukan vaksinasi ulang terhadap rabies
selama karena dapat menetralkan titer antibodi yang kemudian ditransfer langsung ke
pedet melalui kolostrum. Hal ini memperkuat pentingnya vaksinasi ulang untuk
meningkatkan transfer antibodi kolostrum dan memberi perlindungan dengan
menciptakan kekebalan pasif terhadap rabies kepada keturunan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, A., & Singh, C. K. (2016). Comparison of rapid immunodiagnosis assay kit with
molecular and immunopathological approaches for diagnosis of rabies in cattle.
Veterinary world, 9(1), 107–112. https://doi.org/10.14202/vetworld.2016.107-112
Bartaquini, R., Torquato, R., Fernandes, E., Guedes, F., Castro, B., Katz, I., Scheffer, K.,
Silva, A., Pimenta, D., Silva, S. 2020. Evaluation of polyclonal anti-RNP IgG
antibody for rabies diagnosis by indirect rapid immunohistochemistry test. Acta
Tropica. Vol 206
Bassuino, D. M., Konradt, G., Cruz, R. A. S., Silva, G.S., Gomes, D. C., Pavarini, S. P. dan
Driemeier, D. 2016. Characterization of spinal cord lesions in cattle and horses with
rabies: the importance of correct sampling to the diagnosis. Journal of Veterinary
Diagnostic Investigation. 1-6. DOI: 10.1177/1040638716647992
CABI. 2019. Rabies. URL: https://www.cabi.org/isc/datasheet/66457#top-page. Diakses
tanggal 28 November 2021
Champpuis, G. 1998. Neonatal immunity and immunization in early age: lessons from
veterinary medicine. Vaccine. 16:1468-1472
Chase, C. C. L., D. J. Hurley, and A. J. Reber. 2008. Neonatal immune development in the
calf and its impact on vaccine response. Vet. Clin. Food Anim.24:87-104
Direktorat Kesehatan Hewan. 2014. Manual Penyakit Mammalia
Elizondo-Salazar, J. A., dan A. J. Heinrichs. 1998. Review: heat treating bovine colostrum.
Prof. Anim. Sci. 24:530-538
Filho, O. A., Megid, J., Geronutti, L., Ratti Jr, J., Kataoka, A. P. A. G. dan Martorelli, L. F.
A. 2020. Importance of Antirabies Revaccination for an Adequate Antirabies
Protection in Bovine Newborns. Clinical and Vaccine Immunology
Garrison, I. C. dan Moore, S. 2016. Rabies in Cattle. Kansas State Vet Diagnostic Lab. URL:
https://www.ksvdl.org/resources/news/diagnostic_insights/may2016/cattle.html.
Diakses tanggal 27 November 2021
Hudson, L. C., Weinstock, D., Jordan, T., Bold-Fletcher, N. O. 1996. Clinical features of
experimentally induced rabies in cattle and sheep. Zentralbl Veterinarmed B.
43(2):85-95. doi: 10.1111/j.1439-0450.1996.tb00292.x.
Ibrahim, S., Audu, SW., Usman, A., dan Kaltugo, BY. 2017. Rabies in a Six-Week Old Bull-
Calf In Zaria : A Case Report. J Microbe Microbio Techni 1(1):101
19
Khalafalla, A. I. dan Ali, Y. H. 2021. Rabies Virus in Livestock. Intechopen. DOI:
10.5772/intechopen.98228.
Liu Y. 2016. Rabies Outbreaks and Vaccination in Domestic Camels and Cattle in Northwest
China. PLOS Neglected Tropical Disease. 10(9):2
Mundas, S., Raos, S., Byregowda, S. M., Satynarayana, M. L., Patil, S. S., dan Yathiraj, S.
2014. Rabies: A Pathomorphological And Immunohistochemical Evaluation In
Animals.
OIE. 2018. Rabies: Infection with Rabies Virus And Other Lyssaviruses. OIE Terrestrial
Manual. URL: https://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/3.0
1.17_RABIES.pdf . (Diakses tanggal 28 November 2021)
Organization Panamericana de la Salud.2004. Boletín de vigilancia epidemiológica de la
rabia en las Américas, vol. 36. Panaftosa, Rio de Janeiro, Brazil
Porter, P. 1979. Structural and functional characteristics of immunoglobulins of the common
domestic especies. Adv. Vet. Sci. Comp. Med. 23:1-21
Queiroz Da Silva, L. E., C. E. Bissoto, C. Carvalho, T. C. Cardoso, D. M. Pinheiro, dan S.
H. V. Perri. 2002. Comparison between the counter immunoelectrophoresis test and
mouse neutralization of antibodies against rabies virus in dog sera. Mem. Inst.
Oswaldo Cruz. 97:259-261
Romero, R., Báez, A., Garza, A., Tovar, L.2011. Report of three cases of bovine paralytic
rabies and babesiosis in Aldama, Tamaulipas. Vet. Méx., 42 (4) 2011
Shamaki, D., & Ahmed, S. M. (2016). Comparative assessment of seller's staining test (SST)
and direct fluorescent antibody test for rapid and accurate laboratory diagnosis of
rabies. African health sciences, 16(1), 123–127. https://doi.org/10.4314/ahs.v16i1.16
Singh, R., Singh, K. P., Cherian, S., Saminathan, M., Kapoor, S., Reddy, G. B., Panda, S.,
Dhama, K. 2017. Rabies - Epidemiology, Pathogenesis, Public Health Concerns and
Advances in Diagnosis and Control: A Comprehensive Review. Veterinary Quarterly
37(1): 212-251. Doi: 10.1080/01652176.2017.1343516
Tenzin, T., Lhamo, K., Rai, P.B. et al. Evaluation of a rapid immunochromatographic test kit
to the gold standard fluorescent antibody test for diagnosis of rabies in animals in
Bhutan. BMC Vet Res 16, 183 (2020). https://doi.org/10.1186/s12917-020-02405-4
The Cattle Site. 2021. Rabies. URL: https://www.thecattlesite.com/diseaseinfo/261/rabies/.
Diakses tanggal 24 November 2021
20
Thomas, H. S. 2011. Be Aware Of Rabies: Warning Signs In Cattle. URL:
https://www.beefmagazine.com/health/be-aware-rabies-warning-signs-cattle. Diakses
tanggal 24 November 2021
World Health Organization.2010. RABNET. Global Health Atlas. Built on the Global Health
Atlas Platform. http://apps.who.int/globalatlas/dataQuery/default.asp.

21
LAMPIRAN LINK VIDEO

 Video berikut menunjukkan tanda klinis hipersalivasi dan agresif pada sapi yang terpapar
rabies: https://youtu.be/-BGnBy_FhYY (00:51 sampai 1:37)
 Video berikut menunjukkan tanda klinis suara lenguhan yang serak dan berat pada sapi
yang terpapar rabies: https://youtu.be/oDVmtnzVMDw

22

Anda mungkin juga menyukai