Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN

PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS (PHMS) COCCIDIOSIS


PADA SAPI DI KOTA DENPASAR TAHUN 2017-2021

GELOMBANG 19 KELOMPOK A

Oleh:
Palagan Senopati Sewoyo, S.KH.
NIM. 2109611007

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT DAN EPIDEMIOLOGI


VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia,
dan hidayah-Nya sehingga penulisan laporan mengenai “Penyakit Hewan Menular
Strategis (PHMS) Coccidiosis pada Sapi di Kota Denpasar Tahun 2018-2021"
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak yang telah membantu, memberi dukungan serta
memberikan bimbingan selama kegiatan ini berlangsung. Pada kali ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si. selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana
2. Bapak Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si., APVet. selaku Koordiator
Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) Fakultas Kedoktera Hewan
Universitas Udayana.
3. Bapak drh. I Ketut Suada, M.Si., selaku Koordinator PPDH Bagian
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
4. Bapak drh. Ida Bagus Ngurah Swacita, M.P., Bapak Prof. Dr. drh. I Wayan
Suardana, M.Si., Bapak drh. I Made Sukada, M.Si., Bapak drh. Mas Djoko
Rudyanto, M.S., Bapak drh. Kadek Karang Agustina M.P., dan Bapak drh.
Romy Muhammad Dary Mufa, M.Si. selaku dosen pengampu di
Laboratorium Kesmavet Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
5. Serta semua pihak-pihak yang telah membantu terlaksananya kegiatan
koasistensi di bagian Lab. Kesmavet.
Penulis juga menyadari bahwa laporan kami masih jauh dari kata sempurna,
oleh sebab itu diperlukan adanya saran dan kritik membangun agar kepenulisan
kami menjadi lebih baik dikemudian hari. Akhir kata, kami berharap semoga
laporan ini berguna bagi berbagai pihak yang memerlukan.

Denpasar, Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. ii
DAFTAR ISI ……………………………………………………………. iii
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………… iv
DAFTAR TABEL ………………………………………………………. v

BAB I: PENDAHULUAN ……………………………………………… 1


1.1 Latar Belakang ………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………… 2
1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………. 3
1.4 Manfaat Penulisan …………………………………………... 3

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………. 4


2.1 Kota Denpasar ………………………………………………. 4
2.2 Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) ……………….. 5
2.3 Coccidiosis ………………………………………………….. 7
2.3.1 Etiologi ………………………………………………... 7
2.3.2 Siklus Hidup .………………………………………….. 7
2.3.3 Epidemiologi ………………………………………….. 8
2.3.4 Prevalensi ……………………………………………… 9

BAB III: METODOLOGI ……………………………………………... 10


3.1 Metode Kepustakaan ………………………………………… 10
3.2 Analisis Data …………………………………………………. 10
3.3 Lokasi dan Pengambilan Data ……………………………….. 10

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN ………………………………. 11


4.1 Hasil ………………………………………………………….. 11
4.2 Pembahasan ………………………………………………….. 12

BAB V: PENUTUP ……………………..……………………………… 16


5.1 Simpulan …………………………………………………….. 16
5.2 Saran …………………………………………………………. 16

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 17

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta wilayah Kota Denpasar ………………………………... 4
Gambar 2.2 Siklus hidup Eimeria ……………………………………….. 7
Gambar 4.1 Jumlah populasi sapi dan kasus coccidiosis tiap tahunnya di
Kota Denpasar …………………………………………………………… 12
Gambar 4.2 Grafik perkembangan prevalensi coccidiosis dari tahun
2017-2021 pada sapi di Kota Denpasar ………………………………….. 13

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Daftar kecamatan dan jumlah kelurahan di Kota Denpasar …... 5
Tabel 2.2 Spesies patogenik dari Eimeria dan tempat infestasi pada sapi . 7
Tabel 4.2 Jumlah kasus dan prevalensi coccidiosis tiap tahun di Kota
Denpasar …………………………………………………………………. 12

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ternak sapi di Indonesia merupakan salah satu komoditas peternakan yang
menjadi tumpuan pemerintah dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani
per kapita di Indonesia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan
menyebutkan bahwa populasi sapi potong di Indonesia mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Data statistika menunjukkan populasi sapi pada tahun 2018
mencapai 17.050.000 ekor (Kementan RI, 2018). Manajemen pemeliharaan sapi
tidak lepas dari kendala yang berpotensi menghambat produksi daging ataupun
menurunkan daya reproduksi ternak, seperti gangguan kesehatan akibat penyakit
tertentu.
Coccidiosis merupakan salah satu kendala utama terhadap produktivitas
suatu peternakan sapi. Penyakit ini bertanggungjawab pada kasus morbiditas dan
mortalitas pada suatu populasi ternak sapi. Hampir seluruh sapi terinfeksi oleh
coccidia, namun hanya beberapa saja yang menderita klinis akibat coccidiosis.
Penyakit ini umumnya terjadi pada hewan muda, terkait dengan status imun yang
memainkan peranan penting pada hewan yang lebih tua. Kasus dari coccidiosis
pada sapi terbilang cukup tinggi, terdistribusi secara global dan dapat mencapai
100% pada minggu-minggu awal kehidupan (Faber et al., 2002). Hewan yang
terinfeksi dengan respons imun yang baik akan mengalami diare dan akan sembuh
dengan sendirinya, namun juga terkadang dapat mengakibatkan mortalitas tinggi
karena adanya kerusakan saluran gastrointestinal (Daugschies dan Najdrowski,
2005). Coccidiosis atau eimeriosis disebabkan oleh parasit Apicomplexan Eimeria
spp. Hingga sekarang, terdapat 20 spesies berbeda dari Eimeria pada sapi yang telah
dilaporkan diseluruh penjuru dunia (Lucas et al., 2014). Spesies yang paling
patogenik pada kasus coccidiosis pada sapi adalah E. bovis dan E. zuernii yang
dapat menyebabkan diare berat dan emansiasi, dan E. alabamensis penyebab dari
‘pasture coccidiosis’ (Faber et al., 2002).
Biaya terkait dengan kejadian morbiditas, terganggunya performa hewan,
mortalitas, serta proses pengobatan anticoccidial mengakibatkan kerugian ekonomi

1
2

yang cukup besar (Daugschies dan Najdrowski, 2005; Hermosilla et al., 2006).
Kerugian diakibatkan oleh kejadian penyakit subklinis yang tinggi dibanding
penyakit klinisnya (Faber et al., 2002). Kasus subklinis terjadi sangat sering dan
dapat mengganggu fungsi fisiologis saluran intestinal, konversi pakan, dan
pertumbuhan hewan secara konsisten dalam kurun waktu yang lama dibanding
kasus klinis yang lebih mudah terdiagnosis dan diobati (Cornelissen et al., 1995).
Hewan yang berhasil bertahan hidup dari kasus klinis berat coccidiosis selalu
menunjukkan gangguan pertumbuhan dan tidak akan menguntungkan peternak
akibat kerusakan saluran intestinal permanen yang mengganggu fungsi penyerapan
nutrisi (Daugschies dan Najdrowski, 2005).
Di Indonesia, banyak peternak sapi potong maupun sapi perah yang tidak
familiar dengan penyakit protozoa infeksius saluran pencernaan pada sapi. Hampir
semua pengobatan terkait dengan parasit usus selalu ditangani dengan
antihelmintik. Pengobatan ini kurang efektif karena parasit coccidia memiliki aksi
yang berbeda dibanding dengan helminth. Selain itu, kurangnya pengobatan
diakibatkan oleh coccidiosis terjadi dalam bentuk subklinis, sehingga tidak
terdeteksi/terdiagnosis dan tidak dilakukan pengobatan. Kunci diagnosis yang
presisi adalah memahami kondisi epidemiologik spesifik pada suatu peternakan
(Hamid et al., 2019). Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota
Denpasar merupakan salah satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) melalui
bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner yang memiliki tugas
untuk melaksanakan kegiatan surveilans, monitoring penyakit zoonosis, sistem
kewaspadaan dini dan darurat penyakit, serta memberantas penyakit zoonosis dan
hewan di Kota Denpasar.
Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan kajian mengenai penyakit
coccidiosis di Kota Denpasar berdasarkan data dari Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Holtikultura Kota Denpasar untuk mengetahui kejadian dan prevalensi
penyakti coccidiosis tiap tahunnya dalam kurun lima tahun terakhir.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Berapa jumlah kasus penyakit coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar pada
tahun 2017-2021?
3

2. Berapa prevalensi kasus penyakit coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar


pada tahun 2017-2021?
3. Bagaimana tindakan pencegahan dan pengobatan yang dilakukan
pemerintah daerah terhadap penyebaran penyakit coccidiosis?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui jumlah kasus penyakit coccidiosis pada sapi di Kota
Denpasar pada tahun 2017-2021.
2. Untuk mengetahui prevalensi kasus penyakit coccidiosis pada sapi di Kota
Denpasar pada tahun 2017-2021.
3. Untuk mengetahui bagaimana tindakan pencegahan dan pengobatan yang
dilakukan pemerintah daerah terhadap penyebaran penyakit coccidiosis.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah memberikan informasi
jumlah kasus dan prevalensi penyakit coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar pada
tahun 2017-2021.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kota Denpasar


Kota Denpasar merupakan salah satu kabupaten/kota di Provinsi Bali,
Indonesia. Denpasar diubah dari kota administratif menjadi kota pada tanggal 15
Januari 1992, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1992 tentang
Pembentukan Kota Denpasar dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada
tanggal 27 Februari 1992. Denpasar merupakan kota terbesar di Kepulauan Nusa
Tenggara dan kota terbesar kedua di wilayah Indonesia Timur setelah Kota
Makassar. Kota Denpasar berada pada ketinggian 0-75 m dari permukaan laut,
terletak pada posisi 8°35’31” sampai 8°44’49” Lintang Selatan dan 115°00’23”
sampai 115°16’27” Bujur Timur. Sementara luas wilayah Kota Denpasar 127,78
km² atau 2,18% dari luas wilayah Provinsi Bali.

Gambar 2.1 Peta wilayah Kota Denpasar


Sumber: www.denpasarkota.go.id

Dari penggunaan tanahnya, 2.768 Ha merupakan tanah sawah, 10.001 Ha


merupakan tanah kering dan sisanya seluas 9 Ha adalah tanah lainnya. Tingkat

4
5

curah hujan rata-rata sebesar 244 mm per bulan, dengan curah hujan yang cukup
tinggi terjadi pada bulan Desember. Sedangkan suhu udara rata-rata sekitar 29,8°C
dengan rata-rata terendah sekitar 24,3°C. Sungai Badung merupakan salah satu
sungai yang membelah Kota Denpasar, sungai ini bermuara di Teluk Benoa.
Tabel 2.1. Daftar kecamatan dan jumlah kelurahan di Kota Denpasar
Kecamatan Jumlah Kelurahan Jumlah Desa
Denpasar Barat 3 8
Denpasar Selatan 6 4
Denpasar Timur 4 7
Denpasar Utara 3 8
Total 16 27
*Sumber: www.denpasarkota.go.id

Secara administratif pemerintahan kota ini terdiri dari 4 kecamatan, 43


kelurahan dengan 209 dusun, dan 27 desa. Pada tahun 2017 jumlah penduduknya
mencapai 638.548 jiwa dengan luas wilayah 127,78 km2 dengan sebaran penduduk
4.997 jiwa/km2. Daftar kecamatan dan kelurahan di Kota Denpasar disajikan pada
Tabel 2.1. Secara administratif wilayah Kota Denpasar berbatasan dengan berbagai
wilayah berikut:
▪ Utara : Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Kabupaten Badung)
▪ Timur : Kecamatan Sukawati (Kabupaten Gianyar) dan Selat Badung
▪ Selatan : Kecamatan Kuta Selatan (Kabupaten Badung) dan Teluk Benoa
▪ Barat : Kecamatan Kuta Utara dan Kuta (Kabupaten Badung)
2.2 Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) merupakan penyakit hewan
yang dapat menular ke manusia yang dapat menimbulkan angka kesakitan yang
tinggi, angka kematian ternak, kerugian ekonomi serta menimbulkan keresahan di
tengah masyarakat. Istilah PHMS dijumpai dalam Undang-Undang (UU)
Peternakan dan Kesehatan Hewan, yaitu UU Nomor 18 Tahun 2009 dan
perubahannya, UU Nomor 41 Tahun 2014. Pembentukan istilah PHMS dapat
dilihat dari tiga definisi yang ditemukan dalam Bab I (Ketentuan Umum) pada UU
tersebut, yaitu:
▪ Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang disebabkan
oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma,
keracunan, infestasi parasit, prion, dan infeksi mikroorganisme patogen.
6

▪ Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan
hewan, hewan dan manusia, serta hewan dan media pembawa penyakit
hewan lain melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan media
perantara mekanis seperti air, udara, tanah, pakan, peralatan, dan manusia,
atau melalui media perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba, atau
jamur.
▪ Penyakit hewan menular strategis adalah penyakit hewan yang dapat
menimbulkan angka kematian dan/atau angka kesakitan yang tinggi pada
hewan, dampak kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau bersifat
zoonotik.
Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 4026/Kpts/OT.140/4/2013 memutuskan
jenis PHMS yang sudah ada di Indonesia berjumlah 22, antara lain: 1) Antraks, 2)
Rabies, 3) Salmonellosis, 4) Brucellosis (Brucella abortus), 5) Avian Influenza
(High Pathogenic AI/HPAI dan Low Pathogenic AI/LPAI), 6) Porcine
Reproductive and Respiratory Syndrome, 7) Helminthiasis, 8) Haemorrhagic
Septicaemia/Septicaemia Epizootic, 9) Nipah Virus Encephalitis, 10) Infectious
Bovine Rhinotracheitis, 11) Bovine Tuberculosis, 12) Leptospirosis, 13) Brucellosis
(Brucella suis), 14) Penyakit Jembrana, 15) Surra, 16) Paratuberculosis, 17)
Toxoplasmosis, 18) Hog Cholera/Classical Swine Fever, 19) Swine Influenza Novel
(H1N1), 20) Campylobacteriosis, 21) Cysticercosis, dan 22) Q Fever (Kepmentan,
2013).
Jenis PHMS yang belum terdapat di Indonesia yaitu 1) Penyakti Mulut dan
Kuku (PMK)/Foot and Mouth Disease (FMD), 2) Rift Valey Fever dan 3) Bovine
Spongiform Encephalopathy (BSE) yang memiliki peluang muncul dan berpotensi
menyebabkan kerugian ekonomi, kesehatan manusia, lingkungan, serta
menimbulkan keresahan masyarakat. Penanganan terhadap PHMS menurut
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2014 tentang Pengendalian dan
Penanggulangan Penyakit Hewan (P3H) dalam bentuk 1) Pengamatan dan
pengidentifikasian penyakit hewan, 2) Pencegahan penyakit hewan, 3) Pengamanan
Penyakit Hewan, 4) pemberantasan penyakit hewan, dan 5) pengobatan penyakit
hewan.
7

2.3 Coccidiosis
2.3.1 Etiologi
Coccidiosis disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Eimeria. Eimeria
bersifat host-spesific, yang artinya spesies Eimeria yang menginfeksi kambing
tidak akan menginfeksi domba atau sapi, dan sebaliknya. Beberapa spesies Eimeria
bersifat non-patogenik dan tidak menyebabkan penyakit. Spesies patogenik pada
sapi disajikan pada Tabel 1. Kejadian infeksi akibat spesies patogenik dan non-
patogenik umum terjadi (Keeton dan Navarre, 2018).
Tabel 2.2 Spesies patogenik dari Eimeria dan tempat infestasi pada sapi (Keeton
dan Navarre, 2018).
Spesies Tempat infestasi
Eimeria zuernii Usus kecil dan kolon
Eimeria bovis Usus kecil dan kolon
Eimeria alabamensis Usus kecil dan kolon

Infeksi terjadi pada lapisan epitel, sehingga mengakibatkan kerusakan dan


menyebabkan diare, atau bahkan disentri (Reddy et al., 2015).
2.3.2 Siklus Hidup

Gambar 2.2 Siklus hidup Eimeria (Keeton dan Navarre, 2018)

Pengobatan yang tepat dan kontrol dari coccidiosis membutuhkan


pemahaman mengenai siklus hidup dan transmisi dari Eimeria spp. Siklus hidupnya
dibagi menjadi dua fase: fase eksogenus (hidup bebas di lingkungan) dan fase
endogenus (fase parasitik di dalam hospes). Siklus hidup memakan waktu antara 2
hingga 4 minggu untuk selesai, bergantung pada spesies dari Eimeria (Keeton dan
Navarre, 2018).
8

Pada fase eksogenus dari sporogoni, ookista tidak berspora dieksresikan


pada feses dan mengalami proses sporulasi dibawah kondisi lingkungan yang ideal
dengan oksigen, temperatur yang sedang dengan tingkat kelembapan yang tinggi.
Proses sporulasi memakan waktu 1 hingga 4 hari ketika kondisi lingkungan berada
dalam kondisi ideal, namun juga dapat memakan hingga beberapa minggu jika
kondisinya tidak memungkinkan (Keeton dan Navarre, 2018). Fase endogenus
dimulai dengan hewan memakan ooksita yang berspora. Ketika tertelah, ookista
mengalami eksitasi (perilisan sporozoite dan menginvasi sel epitel usus). Sporozoit
kemudian bertransformasi menjadi schizont dan bermultiplikasi secara aseksual
untuk memproduksi merozoite (merogoni). Merozoit kemudian menembus sel-sel
epitel usus dan berkembang lebih lanjut menjadi makrogamet atau mikrogamet.
Selama fase seksual (gametogony), mikrogamet (sperma) memfertilisasi
makrogamet (ova) untuk memproduksi ookista. Ketika ookista telah matang,
mereka pecah dalam sel hospes, dan dirilis ke lumen usus dan melewati saluran
pencernaan dan bercampur dalam feses sebagai ookista tidak bersporulasi (Keeton
dan Navarre, 2018).
2.3.3 Epidemiologi
Coccidia sangat prolific karena tiap ookista tersporulasi memiliki potensi
untuk memproduksi 23 juta ookista pada fase endogenus hanya dalam kurun waktu
21 hari. Kemampuan ini mengakibatkan potensi kontaminasi terhadap lingkungan
menjadi tinggi. Ookista tersporulasi sangat resisten terhadap lingkungan dan dapat
bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, terutama dalam
kondisi yang sesuai, yakni kelembaban yang tinggi (Jolley dan Bardsley, 2006).
Kontaminasi level tinggi umum pada area dimana hewan-hewan
berkumpul (kondisi kandang yang padat) dan feses terkonsentrasi di lingkungan.
Sapi dewasa yang sehat (tanpa gangguan imun) biasanya kebal terhadap penyakit
ini pada umur >1 tahun namun dapat menjadi reservoir terhadap hewan yang lebih
muda (Keeton dan Navarre, 2018).
Kejadian coccidiosis di Indonesia telah dilaporkan di beberapa daerah di
Indonesia. Pengujian coccidiosis didasarkan atas pengamatan morfologi ookista
Eimeria spp. pada sampel tinja. Fitriastuti et al. (2011) melakukan pemeriksaan
pada sapi potong yang diambil dari Provinsi Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi
9

Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan


Timur, Kalimantan Tengah dan Maluku dengan hasil 10% negatif, 2% infeksi berat
dan 88% infeksi ringan. Kejadian coccidiosis juga dilaporkan di Cibungbulang,
Bogor, Jawa Barat dengan prevalensi sebesar 20% (Dewi et al., 2016).
Survei yang dilakukan oleh Balai Veteriner Subang pada tahun 2013
menunjukkan tingkat kejadian coccidiosis di Jawa Barat sebesar 47,8% (BBVet
Subang, 2013) dan survei yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor menunjukkan bahwa tingkat prevalensi coccidiosis pada sapi
potong di peternakan rakyat di Jawa Barat dilaporkan sangat bervariasi, yaitu
Sumedang 59,2%, Tasikmalaya 4,1%, dan Cianjur, Ciamis, Sukabumi dan Subang,
yaitu berkisar antara 19,1% sampai 23,7% (IPB, 2012), serta di Sekolah Peternakan
Rakyat (SPR) Kecamatan Kasiman Kabupaten Bojonegoro sebesar 41.7% (Taryu
2015). Sufi et al. (2016) melaporkan kejadian coccidiosis yang dapat terjadi juga
pada sapi perah di Koperasi Peternak Sapi Bandung Selatan (KPBS) mencapai
44,75%. Kejadian koksidiosis juga telah dilaporkan di beberapa wilayah di Jawa
Tengah, meliputi lokasi Wonogiri 43,2% (Nugroho, 2013), Boyolali 48,3%
(Sumiarto 2013), Klaten 41,4% (Budiharta, 2013), dan Sleman 78% (Raharjo,
2013) serta di beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Karanganyar 38,7% (Istiyani
2013), Kabupaten Wonogiri 43,24% (Ardianto, 2013), Kabupaten Sragen 38,78%
(Nanditya, 2014), dan Kabupaten Boyolali 48,2% (Wicaksana, 2013). Di Bali
sendiri, laporan mengenai prevalensinya dilaporkan oleh Suratma et al. (2014) dan
Hamid et al. (2019). Pada tahun 2014, kasus infeksi coccidia Eimeria sp.
dilaporkan memiliki prevalensi sebesar 39,75% (Suratma et al., 2014), sedangkan
pada tahun 2017 dilaporkan memiliki prevalensi yang tinggi yakni 83,34% (Hamid
et al., 2019).
2.4 Prevalensi
Secara ringkas prevalensi adalah jumlah kasus atau hal lain yang terkait
seperti infeksi atau munculnya antibodi dalam suatu populasi yang diketahui, yang
ditandai dengan waktu, tanpa membedakan antara kasus lama dan kasus baru.
Periode prevalensi menunjukkan jumlah kasus yang terjadi pada periode waktu
tertentu misalnya setahun (prevalensi tahunan) (Budiharta dan Suardana, 2007).
Prevalensi (%): Jumlah hewan yang sakit pada periode waktu tertentu x 100
Jumlah individu dalam populasi yang beresiko pada periode waktu tertentu
BAB III
METODOLOGI

3.1 Metode Kepustakaan


Metode kepustakaan merupakan metode yang dilakukan dengan
menggunakan referensi dari buku, jurnal, konferensi/prosiding, dan internet yang
berhubungan dengan topik yang dibahas. Dalam hal ini topik yang dibahas yaitu
penyakit coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar. Data yang diperoleh kemudian
dikumpulkan, disusun dalam bentuk table, dan dilakukan perhitungan jumlah kasus
coccidiosis. Data yang digunakan dalam membuat laporan ini diperoleh dari Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Denpasar selama 5 tahun terakhir
yaitu tahun 2017-2021. Untuk data pada tahun 2021 digunakan data bulan Januari
hingga Oktober.
3.2 Analisis Data
Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan, ditabulasi, disusun dalam
bentuk tabel dan dilakukan perhitungan prevalensi kasus coccidiosis. Adapun
perhitungan prevalensi dihitung menggunakan rumus berikut (Budiharta dan
Suardana, 2007):

Prevalensi (%): Jumlah hewan yang sakit pada periode waktu tertentu x 100
Jumlah individu dalam populasi yang beresiko pada periode waktu tertentu

Data kemudian juga disajikan dalam bentuk grafik yang dibuat


menggunakan perangkat lunak GraphPad PRISM versi 8 untuk Windows.
3.3 Lokasi dan Pengambilan Data
Pengambilan data mengenai kasus coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar
dilakukan di kantor Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota
Denpasar. Pengambilan data didapat dari rekapitulasi data Dinas Petanian Kota
Denpasar selama lima tahun terakhir, yakni dari tahun 2017-2021.

10
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Berdasarkan data populasi kejadian coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar
yang diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota
Denpasar, dihitung prevalensi kasusnya dari tahun 2017-2021 dan disajikan pada
Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Jumlah kasus dan prevalensi coccidiosis tiap tahun di Kota Denpasar
Tahun Kecamatan Jumlah Kasus Populasi Prevalensi
(%)
2017 Denpasar Utara 20 -
Denpasar Timur 25 -
Denpasar Selatan 27 -
Denpasar Barat 29 -
Total 101 7.396 1,36%
2018 Denpasar Utara 20 -
Denpasar Timur 22 -
Denpasar Selatan 22 -
Denpasar Barat 33 -
Total 97 6.323 1,53%
2019 Denpasar Utara 23 771 2,98%
Denpasar Timur 22 833 2,64%
Denpasar Selatan 22 1633 1,34%
Denpasar Barat 29 3021 0,95%
Total 96 6.258 1,53%
2020 Denpasar Utara 23 -
Denpasar Timur 25 -
Denpasar Selatan 17 -
Denpasar Barat 27 -
Total 92 6.216 1,48%
2021 Denpasar Utara 2 -
/Oktober
Denpasar Timur 11 -
Denpasar Selatan 3 -
Denpasar Barat 10 -
Total 26 4.574 0,56%
Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Denpasar
Berdasarkan Tabel 4.2, prevalensi coccidiosis pada tiap tahunnya
mengalami fluktuasi. Prevalensi tertinggi terjadi pada tahun 2018-2019, yakni
1,53%, dan terendah pada 2021 yakni sebesar 0,56%.

11
12

4.2 Pembahasan
Infeksi akibat Eimeria spp. Secara global terjadi secara subklinis tanpa
adanya manifestasi klinis seperti diare (Fox, 1985). Coccidiosis pada sapi
menyebabkan kerugian ekonomi yang tinggi, dikarenakan walaupun hewan
nampak sehat, tahapan perkembangan parasit ini dapat menyebabkan penurunan
konversi pakan, malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan penurunan bobot badan
(Daugschies et al., 1986). Gangguan pada sistem imun mengakibatkan hewan yang
terinfeksi menjadi lebih rentan terhadap infeksi sekunder seperti virus dan bakteri
(Fox, 1985) yang dapat mengakibatkan berbagai gejala klinis lain. Penyakit ini
umumnya terjadi pada hewan muda, terkait dengan status imun yang memainkan
peranan penting pada hewan yang lebih tua. Sapi dewasa umumnya menderita
coccidiosis yang bersifat subklinis dan seringkali tidak terdiagnosis.

Data Jumlah Populasi dan Kasus Coccidiosis


pada Sapi di Kota Denpasar Tahun 2017-2021
8000 120
7000 100
6000
5000 80
4000 60
3000 40
2000
1000 20
0 0
2017 2018 2019 2020 2021
Populasi 7396 6323 6258 6216 4574
Jumlah kasus 101 97 96 92 26

Populasi Jumlah kasus

Gambar 4.1 Jumlah populasi sapi dan kasus coccidiosis tiap tahunnya di Kota
Denpasar

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Holtikultura Kota Denpasar, prevalensi sapi yang menderita coccidiosis pada tiap
tahunnya adalah sebagai berikut: 2017 (1,36%), 2018 (1,53%), 2019 (1,53%), 2020
(1,48%), dan 2021/per oktober (0,56%). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa
prevalensi dari coccidiosis di Kota Denpasar pada tahun 2017-2021 cenderung
fluktuatif, mengalami peningkatan maupun penurunan. Berdasarkan kecamatan,
Denpasar Barat menunjukkan angka kejadian coccidiosis paling tinggi dari tahun
2017-2021 diantara kecamatan lainnya. Pada tahun 2020, terjadi penurunan
13

kejadian coccidiosis. Prevalensi terendah coccidiosis berada pada tahun 2021, hal
ini mungkin dikarenakan data yang diperoleh dari dinas hanya sampai pada bulan
Oktober.

Prevalensi coccidiosis
2.0
Prevalensi

1.5
(%)

1.0

0.5

0.0
2017 2018 2019 2020 2021

Gambar 4.2 Grafik perkembangan prevalensi coccidiosis dari tahun 2017-2021


pada sapi di Kota Denpasar.

Tingkat kejadian dan nilai prevalensi coccidiosis secara umum disebabkan


oleh beberapa faktor, seperti perbedaan kondisi iklim, lingkungan, manajemen
peternakan, jenis ras sapi dan agroekologi suatu daerah (Dong et al., 2012). Jika
dibandingkan dengan prevalensi di Provinsi Bali yang pernah dilaporkan oleh
Suratma et al. (2014) dan Hamid et al. (2019), prevalensi coccidiosis di Kota
Denpasar memiliki nilai yang lebih kecil. Suratma et al. (2014) melaporkan tingkat
prevalensi coccidiosis di Provinsi Bali pada tahun 2014 adalah 39,75%, sedangkan
pada tahun 2017 dilaporkan memiliki prevalensi 83,34% (Hamid et al., 2019). Hal
ini mungkin diakibatkan oleh konfirmasi diagnosis coccidiosis dilakukan
berdasarkan gejala klinis tanpa melakukan pemeriksaan feses. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, kasus coccidiosis akibat Eimeria sp. seringkali bersifat
subklinis dan tidak terdeteksi, terutama pada sapi dewasa. Diperlukan pemeriksaan
feses untuk mengonfirmasi kasus coccidiosis.
Iklim tropis hangat dan lembap merupakan salah satu faktor pendukung
kejadian coccidiosis karena musim hujan terjadi secara periodik. Di Indonesia
terdapat musim hujan dan kemarau, yang terjadi masing-masing kurang lebih 6
14

bulan lamanya. Menurut beberapa laporan, angka prevalensi coccidiosis tinggi pada
musim penghujan (Gorsich et al.¸ 2014; Gupta et al., 2016). Peningkatan prevalensi
pada musim hujan ini terkait dengan tingkat kelembaban yang tinggi serta
temperatur yang rendah. Situasi/kondisi tersebut mendukung perkembangan
ookista menjadi lebih progresif (Soulsby, 1982). Faktor lain yang mendukung
adalah kurangnya sanitasi serta sistem pemeliharaan sapi yang cenderung dilepas.
Jikapun dikandangkan, kondisi kendang sangat kurang higienis sehingga menjadi
media yang baik untuk perkembangan dan penularan Eimeria sp (Suratma et al.,
2014). Kandang yang tidak higienis dapat mengundang vektor mekanik seperti lalat
atau insekta lainnya. Lalat atau agen insekta membantu dalam menyebarkan ookista
infektif dari tinja ke lingkungan yang baru (Indraswati et al., 2017).
Program yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Holtikultura Kota Denpasar dalam menangani kasus coccidiosis pada sapi adalah
dengan melakukan sosialisasi kepada peternak dan simantri tentang pentingnya
sanitasi kendang yang baik untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian
coccidiosis pada sapi, mengingat pentingnya penyakit ini karena dapat
menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar akibat mengganggu
pertumbuhan, produktivitas, serta angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Pengobatan yang dilakukan adalah spesifik untuk kasus coccidiosis, ditambah
pemberian roborantia. Roborantia atau vitamin dapat meningkatkan daya tahan
tubuh ternak, sehingga dapat meminimalisir infeksi berulang dari coccidiosis.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sapi yang menunjukkan gejala klinis
coccidiosis biasanya terjadi pada sapi muda yang sistem imunnya belum terbentuk
dengan baik, tidak seperti sapi dewasa. Studi Apsari et al. (2016) menunjukkan
bahwa pemberian vitamin akan meningkatkan daya tahan tubuh sapi sehingga
mampu mengeliminasi protozoa dan menurunkan kemungkinan infeksi berulang.
Menurut Hamid et al. (2019), kebanyakan peternak di Indonesia tidak
memahami atau tidak mengetahui mengenai kasus coccidiosis pada sapi. Mereka
hanya mengetahui bahwa sapi mereka mengalami gangguan pencernaan (yaitu
diare), dan mereka hanya meminta tolong dokter hewan untuk melakukan medikasi
deworming. Oleh sebab itu sosialisasi kepada peternak sangat penting untuk
dilakukan, karena infeksi coccidiosis berbeda dengan helminthiasis, begitu pula
15

penanganannya. Sehingga dapat dilakukan pengobatan tepat guna agar menurunkan


kasus coccidiosis dikemudian hari.
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Holtikultura Kota Denpasar, dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:
1. Prevalensi coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar berdasarkan data yang
ada dari tahun 2016-2020 bersifat fluktuatif, berada pada rentang 0,56%-
1,53%
2. Jumlah kasus dan prevalensi tertinggi berada pada tahun 2018 dan 2019,
dan terendah pada tahun 2021 (per Oktober).
3. Jumlah kasus pada dua tahun terakhir mulai menurun menandakan bahwa
program pengendalian coccidiosis yang dilakukan oleh Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Denpasar sudah cukup baik

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diberikan penulis antara lain:
1. Melakukan pemeriksaan feses melalui sampling pada suatu populasi untuk
mengetahui jumlah kasus dan prevalensi coccidiosis lebih akurat agar dapat
mendeteksi kasus-kasus tanpa gejala atau subklinis pada sapi dewasa.
Deteksi infeksi pada sapi dewasa sangat penting karena bertindak sebagai
reservoir coccidiosis. Selain itu pemeriksaan ini merupakan pendekatan
lebih akurat dalam diagnosis coccidiosis agar dalam melakukan
pengobatan/treatment menjadi tepat sasaran.
2. Lebih gencar dalam melaksanakan program pengendalian coccidiosis, agar
pada tahun berikutnya kasus coccidiosis bisa menurun kembali. Program
sosialisasi kepada peternak harus dilakukan secara berkelanjutan, mengenai
manajemen kandang sapi yang baik agar dapat mencegah atau
meminimalisir kasus coccidiosis dikedepannya.

16
17

DAFTAR PUSTAKA
Apsari IAP, Swacita IBN, Ardana IBK, Kencana GAY, Suada IK. 2016. Upaya
Meningkatkan Produktivitas Sapi Bali Melalui Pengendalian Parasit di
Sekitar Sentra Pembibitan Sapi Bali di Desa Sobangan. Jurnal Udayana
Mengabdi 15(1): 89-94.
Balai Besar Veteriner Subang (BBVet Subang). 2013. Laporan tahunan penyidikan
dan pengujian penyakit parasiter tahun 2013. Subang. Indonesia.
Budiharta S, Suardana IW. 2007. Buku Ajar Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner.
Denpasar. Universitas Udayana.
Cornelissen AWCA, Verstegen R, van den Brand H, Perie NM, Eysker M, Lam
TJGM, Pijpers A. 1995. An observational study of Eimeria species in
housed cattle on Dutch dairy farms. Vet Parasitol 56: 7-16.
Daugschies A, Akimura M, Burger HJ. 1986. Experimentelle Eimera bovis
Infektionen beim Kalb: 1. Parasitologische und klinische Befunde. Dtsch
Tierazl Wschr 93: 392-397.
Daugschies A, Najdrowski M. 2005. Eimeriosis in cattle: current understanding. J
Vet Med B Infect Dis Vet Public Health 52: 417-427.
Dewi DA, Wardhana AH, Sawitri DH, Ekaswati F, Akbari RA. 2016. Parasitic
Diseases in Dairy Cattle in Cibungbulang District of West Java. Proceeding
of International Seminar on Livestock Production and Veterinary
Technology. Bali. August 10th-12th 2016. Bali. Indonesia. Hlm. 170-177.
Dong H, Zhao Q, Han H, Jiang L, Zhu S, Li T, Kong C, Huang B. 2012. Prevalence
of coccidial infection in dairy cattle in Shangai, China. J Parasitol 98(5):
963-966.
Faber JE, Kolmann D, Heise A, Bauer C, Failing K, Burger HJ, Zahner H. 2002.
Eimeria infections in cows in the periparturient phase and their calves:
oocyst excretion and of specific serum and colostrum antibodies. Vet
Parasitol 104: 1-17.
Fox JE. 1985. Coccidiosis in cattle. Mod Vet Pract 66: 113-116.
Hamid PH, Kristianingrum YP, Prastowo S. 2019. Bovine coccidiosis cases of beef
and dairy cattle in Indonesia levels. Vet Parasitol 17: 100298.
Institut Pertanian Bogor (IPB). 2012. Kajian penyakit parasite dan kematian pedet
[Laporan survei]. Bogor, Indonesia. Departemen Penyakit Hewan dan
Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Jolley WR, Bardsley KD. 2006. Ruminant coccidiosis. Vet Clin North Am Food
Anim Pract 22(3): 613-621.
Keeton STN, Navarre CB. 2018. Coccidiosis in Large and Small Ruminants. Vet
Clin Food Anim 34: 201-208.
Kementrian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI). 2018. Livestock and
animal health statistic. Jakarta. Kementrian Pertanian
Lucas AS, Swecker WS, Lindsay DS, Scaglia G, Neel JPS, Elvinger FC, Zajac AM.
2014. A study of the level and dynamics of Eimeria populations in naturally
infected, grazing beef cattle at various stages of production in the Mid-
Atlantic USA. Vet Parasitol 202: 201-206.
Reddy BS, Sivajothi S, Rayulu VC. 2015. Clinical coccidiosis in adult cattle. J
Parasit Dis 39(3): 557-559.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated Animal.
7th Ed. London, UK. Braillier Tindall.
18

Suratma NA, Oka IBM, Dwinata IM. 2014. Studi Epidemiologi Koksidiosis pada
Sapi di Bali. Prosiding Seminar Nasional Biosains I. 29 Desember 2014.
Denpasar. Indonesia.
Wicaksana TR. 2013. Prevalensi dan faktor risiko koksidiosis (Eimeria sp.) pada
pedet di Kabupaten Boyolali. [Skripsi]. Yogyakarta, Indonesia. Universitas
Gadjah Mada (UGM).
KASUS PENYAKIT COCCIDIOSIS PADA
SAPI DI KOTA DENPASAR TAHUN
2017-2021
Oleh :
Palagan Senopati Sewoyo
NIM. 2109611007
Pendahuluan

Ternak sapi di Dalam Coccidiosis dapat Dinas Pertanian


Indonesia manajemen menyebabkan Kota Denpasar
merupakan pemeliharaan sapi, morbiditas dan bertugas untuk
komoditas yang tidak lepas dari mortalitas. melakukan
menjadi tumpuan kendala yang Menyebabkan surveilans,
pemerintah dalam berpotensi kerugian ekonomi monitoring, sistem
rangka memenuhi menghambat yang besar akibat kewaspadaan dini
kebutuhan protein produksi daging, terganggunya dan darurat
hewani per kapita. salah satunya performa penyakit
adalah coccidiosis produksinya.
Rumusan Masalah
1 Berapa jumlah kasus penyakit coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar pada
tahun 2017-2021?

2 Berapa prevalensi kasus penyakit coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar


pada tahun 2017-2021?

3 Bagaimana tindakan pencegahan dan pengobatan yang dilakukan


pemerintah daerah terhadap penyebaran penyakit coccidiosis?
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui jumlah kasus penyakit coccidiosis pada sapi di
Kota Denpasar pada tahun 2017-2021
2. Untuk mengetahui prevalensi kasus penyakit coccidiosis pada sapi di
Kota Denpasar pada tahun 2017-2021
3. Untuk mengetahui bagaimana Tindakan pencegahan dan
pengobatan yang dilakukan pemerintah daerah terhadap
penyebaran penyakit coccidiosis.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah memberikan informasi
jumlah kasus dan prevalensi penyakit coccidiosis pada sapi di Kota
Denpasar pada tahun 2017-2021
Tinjauan Pustaka
Kota Denpasar

Kota Denpasar merupakan salah


satu kota di Provinsi Bali:
• Luas wilayah 127,78 km²
• 2,18% dari luas wilayah Provinsi
Bali
• Terbagi menjadi 4 kecamatan
Penyakit Hewan Menular Strategis
Penyakit hewan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi,
keresahan masyarakat, dan/atau kematian hewan yang tinggi.

25 Jenis Penyakit PHMS


PHMS yang sudah di Indonesia PHMS yang belum ada di
Indonesia
Antraks, Rabies, Salmonelossis,
Brucellosis, AI, PRRS, PMK/FMD
Helminthiasis, SE, Nipah, BIR, BSE
Rift Faley Fever
TB sapi, Leptospirosis, Penyakit
Jembrana, Surra,
Paratuberculosis,
Toksoplasmosis, Classical Swine
Fever, Campilobacteriosis, Q
Fever
Penyakit Coccidiosis
Etiologi
Coccidiosis disebabkan oleh parasit protozoa dari genus Eimeria. Eimeria bersifat
host-spesific, yang artinya spesies Eimeria yang menginfeksi kambing tidak akan
menginfeksi domba atau sapi, dan sebaliknya. Beberapa spesies Eimeria bersifat non-
patogenik dan tidak menyebabkan penyakit.

Spesies Tempat infestasi


Eimeria zuernii Usus kecil dan kolon
Eimeria bovis Usus kecil dan kolon
Eimeria alabamensis Usus kecil dan kolon
Epidemiologi
Epidemiologi
Provinsi Bali
Prevalensi th. 2014:
39,75%
(Suratma et al., 2014)

Prevalensi th. 2017:


83,34%
(Hamid et al., 2019)
Siklus Hidup
METODOLOGI
Metodologi

Metode Analisis Data Lokasi dan


Kepustakaan Pengambilan Data
Data yang diperoleh
berupa jumlah populasi Data Tahunan Dinas
Referensi jurnal,
sapi dan jumlah kasus Pertanian Tanaman
buku, data-data dari Pangan dan
Dinas Pertanian coccidiosis
• Digunakan untuk Holtikultura Kota
Tanaman Pangan Denpasar
menghitung prevalensi
dan Holtikultura
• Data disajikan dalam
Kota Denpasar
bentuk tabel dan grafik
Hasil dan
Pembahasan
Hasil
Hasil
Pembahasan
• Tingkat kejadian dan nilai prevalensi coccidiosis secara umum disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti perbedaan kondisi iklim, lingkungan, manajemen peternakan, jenis ras sapi dan
agroekologi suatu daerah
• Iklim tropis hangat dan lembap merupakan salah satu faktor pendukung kejadian coccidiosis
karena musim hujan terjadi secara periodik. Di Indonesia terdapat musim hujan dan kemarau,
yang terjadi masing-masing kurang lebih 6 bulan lamanya. Menurut beberapa laporan, angka
prevalensi coccidiosis tinggi pada musim penghujan
• Peningkatan prevalensi pada musim hujan ini terkait dengan tingkat kelembaban yang tinggi
serta temperatur yang rendah. Situasi/kondisi tersebut mendukung perkembangan ookista
menjadi lebih progresif
• Faktor lain yang mendukung adalah kurangnya sanitasi serta sistem pemeliharaan sapi yang
cenderung dilepas. Jikapun dikandangkan, kondisi kendang sangat kurang higienis sehingga
menjadi media yang baik untuk perkembangan dan penularan Eimeria sp (Suratma et al.,
2014). Kandang yang tidak higienis dapat mengundang vektor mekanik seperti lalat atau
insekta lainnya. Lalat atau agen insekta membantu dalam menyebarkan ookista infektif dari
tinja ke lingkungan yang baru (
Simpulan
1. Prevalensi coccidiosis pada sapi di Kota Denpasar berdasarkan data yang ada
dari tahun 2016-2020 bersifat fluktuatif, berada pada rentang 0,56%-1,53%
2. Jumlah kasus dan prevalensi tertinggi berada pada tahun 2018 dan 2019, dan
terendah pada tahun 2021 (per Oktober).
3. Jumlah kasus pada dua tahun terakhir mulai menurun menandakan bahwa
program pengendalian coccidiosis yang dilakukan oleh Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Holtikultura Kota Denpasar sudah cukup baik
Saran
1. 1. Melakukan pemeriksaan feses melalui sampling pada suatu populasi untuk mengetahui
jumlah kasus dan prevalensi coccidiosis lebih akurat agar dapat mendeteksi kasus-kasus tanpa
gejala atau subklinis pada sapi dewasa. Deteksi infeksi pada sapi dewasa sangat penting karena
bertindak sebagai reservoir coccidiosis. Selain itu pemeriksaan ini merupakan pendekatan lebih
akurat dalam diagnosis coccidiosis agar dalam melakukan pengobatan/treatment menjadi tepat
sasaran.
2. 2. Lebih gencar dalam melaksanakan program pengendalian coccidiosis, agar pada tahun
berikutnya kasus coccidiosis bisa menurun kembali. Program sosialisasi kepada peternak harus
dilakukan secara berkelanjutan, mengenai manajemen kandang sapi yang baik agar dapat
mencegah atau meminimalisir kasus coccidiosis dikedepannya.
Terima kasih!

Anda mungkin juga menyukai