Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Surveilans Epidemiologi
yang ditugaskan oleh :
Agung Sutriyawan SKM., M.Kes
Nova Oktavia, SKM., MPH
Disusun oleh :
i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Illahi Robbi
Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya kami telah berhasil menyusun
makalah yang berjudul “Laporan Surveilans Epidemiologi Penyakit DBD Di
Dinas Kesehatan Kota Cimahi ”.
Maksud dan tujuan dari penyusunan laporan ini, tiada lain untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Surveilan Epidemiologi yang disampaikan
oleh Bapak Agung Sutriyawan, SKM., M.Kes dan Ibu Nova, SKM., M.Kes
disamping itu, laporan ini disusun untuk memberikan pengetahuan dan wawasan
pembaca tentang ”Laporan Surveilans Epidemiologi Penyakit DBD Di Dinas
Kesehatan Kota Cimahi”.
1. Bapak Agung Sutriyawan, SKM., M.Kes dan Ibu Nova, SKM., M.Kes
(dosen mata kuliah Surveilans Epidemiologi)
2. Bapak Asep Ena Iskandar Amd.KL (pelaksana surveilans dan imunisasi)
3. Bapak Eka Febriana (pemegang program DBD)
4. Bapak Wowo Trianto, SKM., M.Kom (staff program dan informasi)
5. Teman teman tingkat 2 program studi S1 Kesehatan Masyarakat
Kami menyadari bahwa laporan yang disusun ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu saran dan kritik yang baik sangat penulis harapkan.
Akhirnya kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi
kami maupun bagi pembaca pada umumnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................ I
BAB I PENDAHULUAN
iii
5.4 Dampak ……………………………………………………………….. 39
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
1
data yang tersedia, tersedia data demografi dan geografi kabupaten/kota,
dan dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di kabupaten/kota
berdasarkan analisis data yang tersedia (Dirjen PP dan PI, 2011: 40).
2
(CFR = 2,18%). (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI,
2017).
3
2. Mengetahui komponen kegiatan: pengumpulan, pengolahan,
penganalisaan, penyajian dan interpretasi, serta penyeberluasan
informasi data surveilans DBD di Dinas Kesehatan Cimahi
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gejala klinis utama pada DBD adalah demam dan manisfetasi
perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet .
Hasil penelitian multisenter menunjang pernyataan ini. Untuk menegakkan
diagnosis klinis DBD, WHO (1986) menentukan beberapa patokan gejala
klinis dan laboraturium.
a. Gejala Klinis
1. Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari (38-
40°c).
2. Manifestasi perdarahan dengan bentuk : Uji torniquet positif,
perdarahan spontan berbentuk peteki (bitnik merah pada kulit),
purpara (pendarahan kecil di dalam kulit), ekimosis, pendarahan
konjungtiva (pendarahan pada mata), epistaksis (pendarahan
hidung), pendarahan gusi, hematemesis (muntah darah), melena
(BAB darah) dan Hematuri (adanya darah pada urin).
3. Hepatomegali (pembesaran hati).
4. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bitnik-bintik merah
pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
5. Renjatan (syok), tekanan nadi menurun menjadi <20 mmHg atau
nadi tak teraba, kulit dingin, anak gelisah, dan tekanan sistolik
sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
6. Gejala klinik lainnya yang sering menyertai yaitu anoreksia
(hilangnya selera makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare
dan sakit kepala.
b. Laboraturium
1. Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan penurunan
trombosit hinga <100.000 sel/ml
2. Hemokonsentrasi, meningkat hematrokit sebanyak sebanyak 20%
atau lebih (Depkes RI, 2005).
2.1.3 Diagnosis Klinis
6
Infeksi virus dengue dapat asimtomatis atau dapat menimbulkan
demam undifferentiated, demam dengue (DF) atau demam berdarah
dengue (DHF) dengan rembesan plasma yang dapat menimbulkan syok
(sindrom syok dengue, DSS).
1. Demam Dengue
7
epidemiologi serupa, dan distribusi tumpang tindih pada sebagian besar
Asia dan Pasifik.
Hepar biasanya dapat diraba pada awal fase demam dan bervariasi
dalam ukuran hanya teraba sampai 2-4 cm dibawah margin ksotal.
Meskipun ukuran hepar tidak berhubungan dengan keparahan penyakit,
pembesaran hepar terjadi lebih sering pada kasus-kasus syok daripada
pada kasus non-syok. Hepar nyeri tekan, tetapi ikterik tidak selalu terlihat.
Splenomegali jarang ditemukan pada bayi; namun limpa dapat tampak
menonjol pada pemeriksaan rontgen.
8
Tahap kritis dari perjalanan penyakit dicapai pada akhir fase
demam. Setalah 2-7 hari demam, penurunan suhu cepat sering disertai
dengan tanda gangguan sirkulasi yang beratnya bervariasi. Pasien dapat
berkeringat, gelisah, ekstremitas dingin dan menunjukkan suatu perubahan
pada frekuensi nadi dan tekanan darah. Pada kasus kurang berat,
perubahan ini minimal dan tersembunyi, menunjukkan derajat ringan dari
rembesan plasma. Banyak pasien sembuh secara spontan, atau setelah
periode singkat terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus yang lebih berat,
bila kehilangan plasma sangat banyak, terjadi syok dan dapat berkembang
dengan cepat menjadi syok hebat dan kemtian bila tidak diatasi dengan
tepat.
3. Temuan Laboratorium
Pada DHF, jumlah sel darah putih mungkin bervariasi pada awitan
penyakit, berkisar dari leucopenia sampai leukositosis ringan, tetapi
penurunan jumlah sel darah putih total karena penurunan pada jumlaj
neutrofil secara nyata selalu terlihat mendekati akhir fase demam.
9
Limfositosis relative, dengan adanya limfositosis aptikal, adalah temuan
umum sebelum penurunan suhu atau syok. Albuminuria ringan transien
kadang terjadi, dan darah samar sering ditemukan dalam feses. Pada
kebanyakan kasus, asai koagulasi atau faktor fibrinolitik menunjukkan
penurunan fibrinogen, protombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin
III. Reduksi pada antiplasmin-α (inhibitor α-plasmin) telah ditemukan
pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar nyata,
reduksi terlihat pada kadar faktor protombin yang adalah vitamin K
dependen, seperti pada faktor V, VII, IX dan X. masa tromboplastin
spasial dan masa protombin memanjang pada kira-kira setengah dan
sepertiga pasien DHF, secara berurutan. Masa trombin memanjang pada
kasus berat. Fungsi trombosit juga telah terganggu. Kadar komplemen
serum, terutama C3 berkurang.
2.1.4 Penatalaksanaan
10
a. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue (DBD) tanpa syok
1. Penggantian volume cairan pada DBD
<7 220
7-11 165
12-18 132
>18 88
(Hadinegoro dkk,2002)
11
Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)
10 100 per Kg BB
1000+ 50 x BB (untuk BB
10-20
diatas 10kg)
1500 + 20 x BB (untuk BB
>20
diatas 20kg)
(
Hadinegoro dkk, 2002)
2. Antipiretik
<1 60 1/8
12
1-3 60-125 1/8 – 1/4
3. Antikonvulsan
Apabila timbul kejang-kejang diatasi dengan pemberian antikonvulsan.
a. Diazepam : diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ kali secara
intervena dan dapat diulang apabila diperlukan
b. Phenobarbital : diberikan dengan dosis, pada anak berumur
lebih dari tahun diberikan luminal 75 mg dan di bawah satu
tahun 50 mg secara intramuscular. Bila dalam waktu 15 menit
kejang tidak berhenti dapat diulangi dengan dosis 3mg/kg BB
secara intramuscular (Anonim, 1985).
4. Pengamatan Penderita
13
Di antaranya yang paling perlu dan efektif (berdaya guna
tinggi/unggul) adalah dengan membersihkan segala tempat
perkembangbiakan atau sarangnya, terutama untuk membasmi jentik-
jentik atau larva dan telur-telurnya. Apalagi nyamuk aedes aegypti
maupun aedes albopictus dan aedes scutellaris hanya memiliki
kemampuan terbang atau beredar di udara atau dalam ruang lingkup
antara 40-100 meter, dan paling jauh juga hanya 400 meter dari tempat
perindukan atau perkembangbiakanya. dan , telah diketahui pula
bahwa tempat-tempt istirahat yang paling disukainya adalah benda-
benda yang tergantung, terutama yang berada di dalam rumah.
Misalnya saja pada gorden, kelambu dan pakaian-pakaian yang
berwarna gelap atau teduh yang sering dibiarkan saja tergantung di
dalam kamar atau di balik pintu kamar, serta di tempat yang remang-
remang dan gelap, dan berudara lembab. Karena itu satu-satunya
upaya pencegahan yang perlu untuk segera dan selalu dilakukan adalah
dengan mengadakan dan menggalakan secara terus menerus
pemberantasan ‘vektor’ atau ‘penyebab’ atau pembawa virus
penular’nya.
14
Memberantas nyamuk tersebut dengan cara penyemprotan,
berjumlah cukup, terlebih selama larva atau ‘jentik-jentik’nya masih
ada.
15
yang juga perlu untuk terus digalakan adalah ‘Kerja Bhakti’ untuk
memebantu memberikan dan melancarkan saluran air got, walau telah
disebutkan bahwa nyamuk aedes aegypti tidak mau bersarang dan
berkembang biak di dalam air got atau comberan yang umumnya
memang sangat kotor.
Karena selain seperti yang kini telah lebih kita ketahui, bahwa :
“ Abate adalah bubuk obt kimia atau sejenis garam yang bisa
mematikan jentik nyamuk, dan memang agak berbau tidak
sedap/’amis’, tetapi bila takaran dan ukuran yang digunakan sesuai
dengan yang telah dianjurkan, tidak akan berbahaya bagi manusia,
hewan peliharaan, maupun ternak.
16
balik pintu kamar, atau di tempat-tempat lainya. Juga, sering seringlah
membersihkan dan menyemprot gorden, kelambu dan lain sebagainya,
baik hanya dengan cara mengebut-ngebutnya atau dengan semprotan
insektisida.
17
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus
dengue merupakan sumber penularan DBD. Virus dengue berada
dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila
penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah
akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya
virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan
tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1
minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap
untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik).
Virus ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya.
Oleh karena itu, nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus
dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi
karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelumnya
menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya
(proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersamaan
air liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang
lain.
18
c. Pemukiman baru di pinggir kota, penduduk pada lokasi ini
umum berasal dari berbagai wilayah maka ada
kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang
membawa tipe virus dengue yang berbeda dari masing-
masing lokasi.
2.1.6 Faktor Risiko Penularan penyakit DBD
1. Faktor Internal
2. Faktor Eksternal
19
kesempatan pada nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak. Hal
ini karenakan tempat penampungan air masyarakat Indonesia
umumnya lembab, kurang sinar matahari dan sanitasi atau
kebersihannya (Satari dan Meiliasari, 2004).
20
populasi nyamuk Aedes. Semakin padat populasi nyamuk Aedes,
maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD dengan
waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit
DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya KLB. Dengan demikian program pemerintah berupa
penuluhan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan penyakit
DBD antara lain dengan cara 3M (menguras,menutup, mengubur)
sangat tepat dan perlu dukungan luas dari masyarakat dalam
pelaksanaannya.
2. Kepadatan vector
21
pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku
sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari
pendidikan kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan
berpengaruh pada meningkatkan indicator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran dari pendidikan.
4. Faktor Musim
22
2. 2 Sistem Surveilans
2.2.1 Pengertian Sistem Surveilans
23
2.2.3 Prinsip Unsur Surveilans Epidemiologi
Prinsip umum surveilans epidemiologi adalah sebagai
berikut (Eko Budiarto, 2003):
1. Pengumpulan data pencatatan insidensi terhadap
population at risk.
2. Pengelolaan data
24
4. Penyebaran data dan keterangan termasuk umpan balik
5. Evaluasi
2. Laporan penyakit
25
Unsur ini kepentingan untuk mengetahui distribusi
penyakit menurut waktu, apakah musiman, cylic, atau secular.
Dengan demikian dapat diketahui pula ukuran endemis suatu
penyakit. Jenis data yang diperlukan sesederhana mungkin,
contohnya variabel orang cukup dicatat nama dan umurnya,
variabel tempat cukup alamanya. Diagnosis penyakit dan waktu
mulai timbul penyakit merupakan hal yang penting dicatat.
3. Laporan wabah
4. Pemeriksaan laboratorium
5. Penyakit khusus
6. Penyelidikan wabah
26
diagnosis labilatoris dismping penyelidikan epidemic di
lapangan.
7. Survei
27
dan lingkungan ini perlu selalu dipikirkan dalam rangka
analisis epidemiologis. Data atau keterangan mengenai
kependudukan an lingkungan itu tentu harus didapat
lembaga-lembaga non kesehatan.
28
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap
masalah kesehatan dan faktor resiko untuk mendukung program
kesehatan matra.
29
BAB III
1 Laki-Laki 145
2 Perempuan 147
Total 292
Grafik 1. Kejadian DBD di Kota Cimahi menurut jenis kelamin pada tahun 2018
perempuan laki-laki
30
Grafik di atas menunjukan bahwa kejadian DBD bedasarkan variabel
orang menurut jenis kelamin pada tahun 2018 paling tinggi pada jenis kelamin
perempuan dengan jumlah 147 kasus.
NO UMUR JUMLAH
1 < 1 tahun 8
2 1-4 tahun 39
5 > 44 tahun 18
Total 292
Grafik 2. Kejadian DBD di Kota Cimahi menurut Kelompok umur dan Jenis
kelamin pada tahun 2018
31
Kejadian DBD di Kota Cimahi menurut
kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun
2018
140
117
120 110
100
80
60
39
40
18
20 8
0
< 1 tahun 1-4 tahun 5-14 tahun 15-44 tahun > 44 tahun
umur
NO KECAMATAN JUMLAH
Total 292
32
Grafik 3. Kejadian penyakit DBD di Kota Cimahi berdasarkan tempat
pada tahun 2018
150
100
47 55
50
0
CIMAHI SELATAN CIMAHI TENGAH CIMAHI UTARA
KECAMATAN
Waktu kejadian DBD diambil pada satu tahun yaitu pada tahun
2018
NO BULAN JUMLAH
1 Januari 24
2 Februari 19
3 Maret 32
4 April 28
33
5 Mei 44
6 Juni 36
7 Juli 19
8 Agustus 14
9 September 23
10 Oktober 32
11 November 18
12 Desember 3
Total 292
Grafik 4. Kejadian DBD di Kota Cimahi berdasarkan bulan pada tahun 2018
Bulan
34
Grafik di atas menunjukan bahwa kejadian DBD bedasarkan variabel
waktu dengan data perbulan pada tahun 2018 paling tinggi pada bulan Mei
dengan jumlah 44 kasus.
35
BAB IV
4. 1 Pengumpulan Data
5 Laporan P2Kpus √
Formulir investigasi √
6
penderita DBD
Formulir permintaan √
7
pemeriksaan spesimen
4. 2 Pengolahan Data
36
Pengolahan data diolah secara manual hard copy maupun sms, dan
dengan menggunakan program komputer berupa aplikasi EWRS dan Excel
yang dibuat oleh provinsi.
4. 3 Analisis Data
4. 4 Diseminasi
37
BAB V
5.1 Input
1. Sumber Daya Manusia (Man)
2. Dana (Money)
38
No Dokumen Ada Tidak
dengue)
294
𝐼𝑅 = 𝑋 100.000
594021
𝐼𝑅 = 4,9493 𝑋 100.000
𝐼𝑅 = 49,493
39
2. House index (HI)
2225
𝐻𝐼 = 𝑋 100%
27442
𝐻𝐼 = 0,081 𝑋 100%
𝐻𝐼 = 8,1%
294
𝑃𝑅 = 𝑋 100.000
594021
𝑃𝑅 = 49,49
5.4 Dampak
1. Case Fatality Rate (CFR)
𝐶𝐹𝑅
𝑗𝑚𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑖𝑏𝑎𝑡 𝐷𝐵𝐷 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
= 𝑋 100%
𝑗𝑚𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐷𝐵𝐷 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑦𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎
2
𝐶𝐹𝑅 = 𝑋 100%
292
𝐶𝐹𝑅 = 0,68%
40
BAB VI
41
DBD.
6. 3 Ketetapan Diagnosis
42
dikategorikan cukup baik dan perlu ditingkatkan kembali untuk
kedepanya.
6. 4 Kelengkapan Data
6. 5 Ketepatan Data
43
Di Dinas Kesehatan Cimahi, setiap masyarakat yang ingin
mendapat pelayanan kesehatan baik, apalagi setelah adanya akreditas,
akses ke pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Rata- rata jarak terjauh
antara pelayanan kesehatan dengan masyarakat yaitu sekitar 1,5 KM yang
artinya mudah untuk dikunjungi masyarakat.
6. 8 Konsistensi Data
Menurut kami tingkat konsistensi data yang ada di Dinas
Kesehatan Cimahi yaitu 90% sehingga dikatakan baik karena data yang
dilaporkan oleh kecamatan setiap bulannya tidak terdapat kekosongan. Hal
ini perlu dipertahankan agar setiap data dapat dianalisis dengan lebih baik.
Hasil Penilaian System Surveilans DBD di Dinas Kesehatan Cimahi Tahun 2019
8 Konsistensi Baik
44
yang dikategorikan cukup yaitu hanya pada unsur ketetapan diagnosis.
Dan dikategorikan kurang yaitu pada unsur kelengkapan data, ketepatan
data, dan partisispasi fasilitas kesehatan.
45
BAB VII
PENUTUP
7. 1 Kesimpulan
Dari hasil laporan wawancara yang telah kami lakukan pada input
terdapat kekurangan salah satunya di bidang sumber daya manusia (SDM)
yaitu kekurangan tenaga surveilans untuk setiap program sehingga tenaga
surveilans tersebut dibebankan tugas rangkap.
7. 2 Saran
46
Berdasarkan hasil laporan wawancara ini maka kami menyarankan
untuk Dinas Kesehatan Kota Cimahi agar melaksanakan sistem surveilans
DBD dan selalu memperhatikan tujuan sistem surveilans, pengolahan dan
analisis data. Dapat terus meningkatkan kembali pada ketepatan diagnosis,
ketepatan data dan kelengkapan data agar output yang dihasilkan lebih
baik dan kasus DBD dapat menurun.
47
DAFTAR PUSTAKA
Tania Savitri. 2019. Penyebab dan Faktor Risiko Terjadinya Demam Berdarah
Dengue di https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/demam-berdarah-dengue-
dbd/faktor-risiko-dan-penyebab-dbd/ (diakses 9 juli).
Pusat dan Data Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2018. Situasi Penyakit
Demam Berdarah di Indonesia tahun 2017. Jakarta.
48