Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN SURVEILANS EPIDEMIOLOGI DEMAM BERDARAH DENGUE

DI DINAS KESEHATAN KOTA CIMAHI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Surveilans Epidemiologi
yang ditugaskan oleh :
Agung Sutriyawan SKM., M.Kes
Nova Oktavia, SKM., MPH

Disusun oleh :

Adinda Nurniatul Lutfi BK1.17.001


Afifah Nurul Salsabila BK1.17.002
Krisdiana Naila Fatmi BK.1.17.018
Marsya Rosyva S BK1.17.022
Mesy Wulandari BK.1.17.025
Muthi Mumtaz L.H BK.1.17.028
Nida Urrohmah BK1.17.030
Novia Lestari BK.1.17.032
Septriani Hulu BK.1.17.037
Riyan Hidayatulloh BK.1.17.042

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA

i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Illahi Robbi
Alhamdulillah berkat rahmat dan karunia-Nya kami telah berhasil menyusun
makalah yang berjudul “Laporan Surveilans Epidemiologi Penyakit DBD Di
Dinas Kesehatan Kota Cimahi ”.

Maksud dan tujuan dari penyusunan laporan ini, tiada lain untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Surveilan Epidemiologi yang disampaikan
oleh Bapak Agung Sutriyawan, SKM., M.Kes dan Ibu Nova, SKM., M.Kes
disamping itu, laporan ini disusun untuk memberikan pengetahuan dan wawasan
pembaca tentang ”Laporan Surveilans Epidemiologi Penyakit DBD Di Dinas
Kesehatan Kota Cimahi”.

Penyelesaian makalah ini banyak dibantu dan didukung oleh berbagai


pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Agung Sutriyawan, SKM., M.Kes dan Ibu Nova, SKM., M.Kes
(dosen mata kuliah Surveilans Epidemiologi)
2. Bapak Asep Ena Iskandar Amd.KL (pelaksana surveilans dan imunisasi)
3. Bapak Eka Febriana (pemegang program DBD)
4. Bapak Wowo Trianto, SKM., M.Kom (staff program dan informasi)
5. Teman teman tingkat 2 program studi S1 Kesehatan Masyarakat

Kami menyadari bahwa laporan yang disusun ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu saran dan kritik yang baik sangat penulis harapkan.

Akhirnya kami berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi
kami maupun bagi pembaca pada umumnya.

Bandung, Juni 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................ I

KATA PENGANTAR ...................................................................................... Ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... Iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................... 3

BAB II KONSEP TEORI

2.1 Konsep Teori Penyakit DBD ………………………………………….. 5

2.2 Konsep Teori Sistem Surveilans ……………………………………… 22

BAB III DESKRIPSI VARIABEL EPIDEMIOLOGI

3.1 Kejadian Penyakit Berdasarkan Variabel Orang ..................................... 29

3.2 Kejadian Penyakit Berdasarkan Variabel Tempat …………………….. 31

3.3 Kejadian Penyakit Berdasarkan Variabel Waktu ……………………… 32

BAB IV DESKRIPSI KOMPONEN KEGIATAN SURVEILANS

4.1 Pengumpulan Data …………………………………………………….. 35

4.2 Pengolahan Data ………………………………………………………. 35

4.3 Analisis Data …………………………………………………………... 36

4.4 Diseminasi …………………………………………………………….. 36

BAB V DESKRIPSI INDIKATOR PROGRAM SURVEILANS

5.1 Input …………………………………………………………………… 37

5.2 Proses …..……………………………………………………………… 38

5.3 Output …………………………………………………………………. 39

iii
5.4 Dampak ……………………………………………………………….. 39

BAB VI DESKRIPSI SYARAT SISTEM SURVEILANS

6.1 Tujuan Sistem Surveilans ……………………………………………... 40

6.2 Pengolahan dan Analisis Data ………………………………………… 41

6.3 Ketetapan Diagnosis …………………………………………………... 41

6.4 Kelengkapan Data ……………………………………………………... 42

6.5 Ketepatan Data ………………………………………………………… 42

6.6 Partisipasi Fasilitas Kesehatan ………………………………………… 42

6.7 Akses ke Pelayanan Kesehatan ………………………………………... 42

6.8 Konsistensi Data ………………………………………………………. 43

BAB VII PENUTUP

7.1 Kesimpulan ……………………………………………………………. 45

7.2 Saran …………………………………………………………………... 45

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 47

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan suatu penyakit


epidemik akut yang disebabkan oleh virus yang di transmisikan oleh Aedes
aegypti dan Aedes albopictus. Penderita yang terinfeksi akan memiliki
gejala berupa demam ringan sampai tinggi, disertai dengan sakit kepala,
nyeri pada mata, otot dan persendian, hingga perdarahan spontan (WHO,
2009). Penyakit ini disebabkan oleh virus Dengue dari genus Flavivirus,
famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk
Aedes yang terinfeksi virus Dengue. Virus (Arbovirus) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4
jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 (Kemenkes RI, 2011).
Demam berdarah Dengue dapat di cegah dengan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue. Salah satu kegiatan
dalam program tersebut adalah kegiatan surveilans penyakit Demam
Berdarah Dengue.

Surveilans Demam Berdarah Dengue merupakan proses


pengumpulan, pengolahan analisis, dan interpretasi data, serta
penyebarluasan informasi ke penyelenggara program secara sistematis dan
terus menerus mengenai situasi penyakit Demam Berdarah Dengue dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit tersebut agar dapat dilakukan tindakan pengendalian secara
efektif dan efisien (Dirjen PP dan PI, 2011: 26). Indikator surveilans
Demam Berdarah Dengue secara umum yaitu persentase kelengkapan
laporan (K-DBD, DP-DBD, W2 DBD) 80%, persentase ketepatan laporan
(K-D DBD, DP-DBD, W2 DBD) 80%, tersedia data endemisitas dan
distribusi kasus per kecamatan (table, grafik, mapping), dapat menentukan
saat terjadinya musim penularan di kabupaten/kota berdasarkan analisis

1
data yang tersedia, tersedia data demografi dan geografi kabupaten/kota,
dan dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di kabupaten/kota
berdasarkan analisis data yang tersedia (Dirjen PP dan PI, 2011: 40).

Demam Berdarah Dengue banyak ditemukan di daerah tropis dan


sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan
pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Pada tahun 2008,
69 negara dari regional WHO di Asia Tenggara, bagian barat Pasifik dan
di benua Amerika di laporkan adanya kasus Demam Berdarah Dengue
(WHO, 2009). Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati
urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara
itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat Indonesia
sebagai Negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Pusat Data
dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI, 2010)

Penyakit DBD mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1986 di


Surabaya dan Jakarta, dan setelah itu jumlah kasus DBD terus bertambah
seiring dengan meluasnya daerah endemis DBD. Penyakit ini sering
menimbulkan KLB di beberapa daerah endemis. Kasus DBD terbanyak
dilaporkan di daerah yang tingkat kepadatan penduduknya tinggi seperti
provinsi di Jawa, Bali dan Sumatra (kemenkes RI, 2011). Jumlah kasus
DBD yang terjadi di Indonesia pada tahun 2017 sebanyak 64.407 kasus
dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 493 orang ( incidence rate/
angka kesakitan = 26,12 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,72%).
Menurut data dari Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI
pada tahun 2017 Provinsi dengan jumlah kasus tertinggi terjadi di 3
provinsi di pulau jawa, masing-masing Jawa Barat dengan total kasus
sebanyak 10.016 kasus, Jawa Timur sebesar 7.838 kasus dan Jawa Tengah
7.400 kasus. Sedangkan untuk jumlah terendah terjadi si provinsi Maluku
Utara dengan jumlah 37 kasus. Jumlah kematian tertinggi DBD per
provinsi tahun 2017 terdapat di provinsi Sulawesi Tenggara (CFR =
1,47%), Provinsi Sulawesi Utara (CFR = 1,55%), dan Provinsi Gorontalo

2
(CFR = 2,18%). (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI,
2017).

Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan salah satu masalah


kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian cukup serius, karena
penyakit ini dapat menimbulkan kematian dengan angkat CFR cukup
tinggi terutama dalam kondisi KLB. Cara pemberantasannya adalah
dengan pengendalian vector baik secara fisik, biologi, maupun kimia. Pada
tahun 2017 di Kota Cimahi jumlah penderita DBD yang dilaporkan
sebanyak 313 kasus, trend terjadi penurunan dengan jumlah kematian
sebanyak 1 orang (IR/ Angka kesakitan= 51 per 100.000 penduduk dan
CFR/ angka kematian= 0,3%). (Profil Kesehatan Kota Cimahi, 2017)

1. 2 Masalah umum surveilans


1.2.1 Bagaimana gambaran pelaksanaan sistem surveilans penyakit DBD
di Dinas Kesehatan Cimahi ?
1.2.2 Bagaimana gambaran kejadian penyakit DBD menurut variabel
epidemiologi (orang, tempat dan waktu) ?
1.2.3 Bagaimana sistem pengumpulan, pengolahan, penganalisaan,
penyajian dan interpretasi, serta penyeberluasan informasi data
surveilans DBD di Dinas Kesehatan Cimahi ?
1.2.4 Apa saja indikator program surveilans penyakit DBD di Dinas
Kesehatan Cimahi ?
1.2.5 Bagaimana pelaksanaan dari syarat sistem surveilans yang baik ?
1. 3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum Surveilans

Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan sistem surveilans penyakit


Demam Berdarah Dengue di Dinas Kesehatan Kota Cimahi

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui kejadian penyakit DBD menurut variabel


epidemiologi (orang, tempat dan waktu)

3
2. Mengetahui komponen kegiatan: pengumpulan, pengolahan,
penganalisaan, penyajian dan interpretasi, serta penyeberluasan
informasi data surveilans DBD di Dinas Kesehatan Cimahi

3. Mengetahui indikator program surveilans penyakit DBD

4. Mengetahui pelaksanaan dari syarat sistem surveilans yang


baik

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Demam Berdarah Dengue


2.1.1 Pengertian Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular


yang disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat
mengakibatkan kematian, terutama pada anak serta sering menimbulkan
wabah. Jika nyamuk Aedes aegypti menggigit orang dengan demam
berdarah, maka virus Dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah
yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan
menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk, dan sebagian besar berada di
kelenjar liur. Selanjutnya waktu nyamuk menggigit orang lain, air liur
bersama virus Dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan
dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus Dengue ditularkan ke
orang lain. Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistem
retikuloendotelial, dengan target utama virus Dengue adalah APC
(antingen presenting cells) dimana pada umumnya berupa monosit atau
makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juga terkena.
Viremia timbul pada saat menjelang gejala klinis tampak hingga 5-7 hari
setelahnya. Virus bersikulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit /
makrofag , sel limfosit B dan sel limfosit T.

Manifestasi klinis infeksi virus Dengue tergantung pada berbagai


faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh penderita. Terdapat berbagai
keadaan mulai dari tanpa gejala (asimtomatis) demam ringan yang tidak
spesifik (undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah
dengue, dan sindrom syok dengue.

2.1.2 Tanda dan Gejala Demam Berdarah Dengue

5
Gejala klinis utama pada DBD adalah demam dan manisfetasi
perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet .
Hasil penelitian multisenter menunjang pernyataan ini. Untuk menegakkan
diagnosis klinis DBD, WHO (1986) menentukan beberapa patokan gejala
klinis dan laboraturium.

a. Gejala Klinis
1. Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari (38-
40°c).
2. Manifestasi perdarahan dengan bentuk : Uji torniquet positif,
perdarahan spontan berbentuk peteki (bitnik merah pada kulit),
purpara (pendarahan kecil di dalam kulit), ekimosis, pendarahan
konjungtiva (pendarahan pada mata), epistaksis (pendarahan
hidung), pendarahan gusi, hematemesis (muntah darah), melena
(BAB darah) dan Hematuri (adanya darah pada urin).
3. Hepatomegali (pembesaran hati).
4. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bitnik-bintik merah
pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.
5. Renjatan (syok), tekanan nadi menurun menjadi <20 mmHg atau
nadi tak teraba, kulit dingin, anak gelisah, dan tekanan sistolik
sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
6. Gejala klinik lainnya yang sering menyertai yaitu anoreksia
(hilangnya selera makan), lemah, mual, muntah, sakit perut, diare
dan sakit kepala.

b. Laboraturium
1. Trombositopeni pada hari ke-3 sampai ke-7 ditemukan penurunan
trombosit hinga <100.000 sel/ml
2. Hemokonsentrasi, meningkat hematrokit sebanyak sebanyak 20%
atau lebih (Depkes RI, 2005).
2.1.3 Diagnosis Klinis

6
Infeksi virus dengue dapat asimtomatis atau dapat menimbulkan
demam undifferentiated, demam dengue (DF) atau demam berdarah
dengue (DHF) dengan rembesan plasma yang dapat menimbulkan syok
(sindrom syok dengue, DSS).

1. Demam Dengue

Gambaran klinis dari DF sering tergantung pada usia pasien. Bayi


dan anak kecil dapat mengalami penyakit demam undifferentiated, sering
dengan ruam makulopapular. Anak yang lebih besar dan orang dewasa
dapat mengalami baik sindrom demam atau penyakit klasik yang
melemahkan dengan awitan mendadak demam tinggi, kadang-kadang
dengan 2 puncak (punggung sadel), sakit kepala berat, nyeri di belakang
mata, nyeri otot dan tulang atau sendi, mual dan muntah dan ruam.
Perdarahan kulit (petekie) tidak umum terjadi. Biasanya di temukan
leukopenia dan mungkin tampak trombositopenia. Pemulihan meungkin
berhubungan dengan keletihan dan depresi lama, khususnya pada orang
dewasa.

Pada beberapa epidemic, DF dapat disertai dengan komplikasi


perdarahan, seperti epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
gastrointestinal, hematuria, dan menoragia. Selama wabah infeksi DEN-1
di Taiwan, Cina, studi telah menunjukkan bahwa perdarahan
gastrointestinal berat dapat terjadi pada orang dengan penyakit ulkus
peptikum yang ada sebelumnya.

Biasanya perdarahan berat dapat menyebabkan kematian pada


kasus ini. Namun demikian, angka fatalitas kasus dengan DF adalah
kurang dari 1%. Akan penting artinya untuk membedakan kasus DF
dengan perdarahan tak lazim dari kasus-kasus DFH dengan peningkatan
permeabilitas vascular, yang terakhir ditandai dengan hemokonsentrasi.
Pada banyak area endemik, DF harus juga dibedakan dari demam
chikungunya, penyakit virus lain yang ditularkan oleh vektor dari

7
epidemiologi serupa, dan distribusi tumpang tindih pada sebagian besar
Asia dan Pasifik.

2. Demam Berdarah Dengue

Kasus khas DHF ditandai oleh empat manifestasi klinis mayor;


demam tinggi, fenomena hemoragis, dan sering, hepatomegali dan
kegagalan sirkulasi. Anak-anak dengan DHF umumnya menunjukkan
peningkatan suhu tiba-tiba yang disertai dengan kemerahan wajah dan
gejala konstituional non-spesifik yang menyerupai DF, seperti anoreksia,
muntah, sakit kepala, dan nyeri otot atau tulang dan sendi. Beberapa
pasien mengeluh sakit tenggorokan dan nyeri faring sering ditemukan
pada pemeriksaan. Nyeri konjungtiva mungkin terjadi. Ketidaknyamanan
epigastrik, nyeri tekan pada margin kosta kanan dan nyeri abdominal
generalisata umum terjadi. Suhu biasanya tinggi (>39˚C) dan menetap
selama 2-7 hari. Kadang, suhu mungkin setinggi 40-41˚C; konvulsi febris
dapat terjadi, terutama pada bayi.

Fenomena perdarahan paling umum adalah tes tourniket positif,


mudah memar dan perdarahan pada sisi pungsi vena. Tampak pada
kebanyakan kasus adalah petekie halus menyebar pada ekstremitas, aksila,
wajah dan palatum lunak, yang biasanya terlihat selama fase demam awal.
Epistaksis dan perdarahan gusi jarang terjadi; perdarahan gastrointestinal
ringan dapat terlihat selama periode demam.

Hepar biasanya dapat diraba pada awal fase demam dan bervariasi
dalam ukuran hanya teraba sampai 2-4 cm dibawah margin ksotal.
Meskipun ukuran hepar tidak berhubungan dengan keparahan penyakit,
pembesaran hepar terjadi lebih sering pada kasus-kasus syok daripada
pada kasus non-syok. Hepar nyeri tekan, tetapi ikterik tidak selalu terlihat.
Splenomegali jarang ditemukan pada bayi; namun limpa dapat tampak
menonjol pada pemeriksaan rontgen.

8
Tahap kritis dari perjalanan penyakit dicapai pada akhir fase
demam. Setalah 2-7 hari demam, penurunan suhu cepat sering disertai
dengan tanda gangguan sirkulasi yang beratnya bervariasi. Pasien dapat
berkeringat, gelisah, ekstremitas dingin dan menunjukkan suatu perubahan
pada frekuensi nadi dan tekanan darah. Pada kasus kurang berat,
perubahan ini minimal dan tersembunyi, menunjukkan derajat ringan dari
rembesan plasma. Banyak pasien sembuh secara spontan, atau setelah
periode singkat terapi cairan dan elektrolit. Pada kasus yang lebih berat,
bila kehilangan plasma sangat banyak, terjadi syok dan dapat berkembang
dengan cepat menjadi syok hebat dan kemtian bila tidak diatasi dengan
tepat.

3. Temuan Laboratorium

Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah temuan tetap pada


DHF. Penurunan pada jumlah trombosit sampai dibawah 100.000 per mmᵌ
biasanya ditemukan anatara hari ketiga dan kedelapan, sering sebelum atau
bersamaan dengan perubahan hematokrit. Peningkatan kadar hematokrit,
yang menunjukkan rembesan plasma, selalu terjadi, bahkan pada kasus
non-syok, tetapi lebih menonjol pada kasus syok. Hemokonsentrasi
dengan peningkatan hematokrit 20% atau lebih dianggap menjadi bukti
definitif adanya peningkatan permeabilitas vaskular dan rembesan
plasma. Harus diperhatikan bahwa kadar hematokrit dapat dipengaruhi
baik pada penggantian dini volume atauoleh perdarahan. Hubungan
perjalanan waktu antara penurunan jumlah trombosit dan peningkatan
cepat hematokrit, tampak menjadi unik pada DHF; baik perubahan terjadi
sebelum penurunan suhu dan sebelum awitan syok.

Pada DHF, jumlah sel darah putih mungkin bervariasi pada awitan
penyakit, berkisar dari leucopenia sampai leukositosis ringan, tetapi
penurunan jumlah sel darah putih total karena penurunan pada jumlaj
neutrofil secara nyata selalu terlihat mendekati akhir fase demam.

9
Limfositosis relative, dengan adanya limfositosis aptikal, adalah temuan
umum sebelum penurunan suhu atau syok. Albuminuria ringan transien
kadang terjadi, dan darah samar sering ditemukan dalam feses. Pada
kebanyakan kasus, asai koagulasi atau faktor fibrinolitik menunjukkan
penurunan fibrinogen, protombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin
III. Reduksi pada antiplasmin-α (inhibitor α-plasmin) telah ditemukan
pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar nyata,
reduksi terlihat pada kadar faktor protombin yang adalah vitamin K
dependen, seperti pada faktor V, VII, IX dan X. masa tromboplastin
spasial dan masa protombin memanjang pada kira-kira setengah dan
sepertiga pasien DHF, secara berurutan. Masa trombin memanjang pada
kasus berat. Fungsi trombosit juga telah terganggu. Kadar komplemen
serum, terutama C3 berkurang.

Temuan umum lain adalah hipoproteinemia (karena kehilangan


albumin), hiponatremia, dan peningkatan kadar aminotransferase aspartat
serum. Asidosis metabolic sering terjadi pada syok lama. Nitrogen urea
darah meningkat pada tahp akhir syok.

Pemeriksaan rontgen dada menunjukkan efusi pleural, kebanyakan pada


sisi kanan, sebagai temuan tetap. Dan efusi pleural luas dihubungkan
dengan beratnya penyakit. Pada syok, efusi pleural bilateral adalah temuan
umum.

2.1.4 Penatalaksanaan

Dasar penatalaksanaan penderita DBD adalah pengganti cairan


yang hilang sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler yang
menimbulkan peninggian permaebilitas sehingga mengakibatkan
kebocoran plasma. Selain itu, perlu juga diberikan obat penurun panas
(Rampengan, 2007).

Secara umum Demam Berdarah Dengue (DBD) dibagi 4 derajat,


terapi yang biasa dilakukan, yaitu :

10
a. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue (DBD) tanpa syok
1. Penggantian volume cairan pada DBD

Dasar pathogenesis DBD adalah perembesan plasma yang


terjadi pada fase penurunan suhu sehingga dasar pengobatannya adalah
penggantian volume plasma yang hilang. Penggantian cairan awal
dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada kasus syok lebih
sering sekitar 30-60 menit. Tetesan 24-48 jam berikutnya harus selalu
disesuaikan dengan tanda vital, kadar hematocrit dan jumlah volume
urin. Apabila terdapat kenaikan hemokonsentrasi 20% atau lebih maka
komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma.
Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan
dehidrasi untuk diare ringan sampai sedang yaitu cairan rumatan
ditambah deficit 6% (5%-8%) seperti tertera tabel di bawah ini.

Jumlah cairan (ml/kg


Berat Badan (kg)
BB/hari)

<7 220

7-11 165

12-18 132

>18 88

(Hadinegoro dkk,2002)

Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan


tergantung dari umur dan berat badan pasien serta derajat
kehilangan plasma sesuai dengan derajat hemokonsentrasi yang
terjadi. Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan
berat badan ideal untuk anak umur yang sama. Kebutuhan cairan
rumatan dapat diperhitungkan pada tabel berikut :

11
Berat Badan (kg) Jumlah cairan (ml)

10 100 per Kg BB

1000+ 50 x BB (untuk BB
10-20
diatas 10kg)

1500 + 20 x BB (untuk BB
>20
diatas 20kg)
(
Hadinegoro dkk, 2002)

Dengan melihat keterangan tabel diatas dapat


diperhitungkan misalnya jika anak dengan berat badan 40kg maka
cairan rumatan yang diberikan adalah sebanyak 2300 ml dan
jumlah cairan rumatan ini diperhitungkan untuk 24 jam. Oleh
karena kecepatan perembesan plasma tidak konstan (perembesan
plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), volume cairan
pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dan kehilangan
plasma, yang dapat diketahui dari pematauan kadar hematocrit
(Rampengan, 2007).

2. Antipiretik

Antipiretikum yang diberikan ialah parasetamol, tidak


disarankan diberikan golongan silsilat karena dapat menyebabkan
bertambahnya pendarahan (Rampengan, 2007). Dosis parasetamol
dapat dikelompokan menurut umur tiap kali pemberian yang
ditampilkan pada tabel berikut :

Umur (tahun) Dosis (mg) Tablet (500 mg)

<1 60 1/8

12
1-3 60-125 1/8 – 1/4

4-6 125-250 1/4- 1/2

6-12 250-500 1/2 -1

(Hadinegoro dkk, 2002)

3. Antikonvulsan
Apabila timbul kejang-kejang diatasi dengan pemberian antikonvulsan.
a. Diazepam : diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg BB/ kali secara
intervena dan dapat diulang apabila diperlukan
b. Phenobarbital : diberikan dengan dosis, pada anak berumur
lebih dari tahun diberikan luminal 75 mg dan di bawah satu
tahun 50 mg secara intramuscular. Bila dalam waktu 15 menit
kejang tidak berhenti dapat diulangi dengan dosis 3mg/kg BB
secara intramuscular (Anonim, 1985).
4. Pengamatan Penderita

Pengamatan penderita dilakukan terhadap tanda-tanda dini


syok. Pengamatan ini meliputi : keadaan umum, denyut nadi, tekanan
darah, suhu, pernafasan, dan monitoring Hb, Hc dan trombosit
(Anonim, 1985).

b. Pencegahan Demam Berdarah

Walaupun hingga saat sekarang ini (tahun 2001), memang


masih belum ada ‘obat’ yang benar-benar bisa diandalkan untuk
mencegah dan menyembuhkan demam berdarah, yang disebut-sebut
sangat menular dan berbahaya. Juga belum ditemukan vaksin untuk
digunakan sebagai imunisasi. Tetapi sesungguhnya masih banyak cara
lain yang dapat digunakan untuk mencegah dan mengatasi serangan-
seranganya.

13
Di antaranya yang paling perlu dan efektif (berdaya guna
tinggi/unggul) adalah dengan membersihkan segala tempat
perkembangbiakan atau sarangnya, terutama untuk membasmi jentik-
jentik atau larva dan telur-telurnya. Apalagi nyamuk aedes aegypti
maupun aedes albopictus dan aedes scutellaris hanya memiliki
kemampuan terbang atau beredar di udara atau dalam ruang lingkup
antara 40-100 meter, dan paling jauh juga hanya 400 meter dari tempat
perindukan atau perkembangbiakanya. dan , telah diketahui pula
bahwa tempat-tempt istirahat yang paling disukainya adalah benda-
benda yang tergantung, terutama yang berada di dalam rumah.
Misalnya saja pada gorden, kelambu dan pakaian-pakaian yang
berwarna gelap atau teduh yang sering dibiarkan saja tergantung di
dalam kamar atau di balik pintu kamar, serta di tempat yang remang-
remang dan gelap, dan berudara lembab. Karena itu satu-satunya
upaya pencegahan yang perlu untuk segera dan selalu dilakukan adalah
dengan mengadakan dan menggalakan secara terus menerus
pemberantasan ‘vektor’ atau ‘penyebab’ atau pembawa virus
penular’nya.

Perlu pula diketahui nyamuk aedes aegypti berkembang biak


melalui proses perubahan bentuk yang sempurna (metamorphose)
yakni ‘perubahan’ dari bentuk : Telur – Larva (jentik) – Pupa
(Kepompong) – nyamuk baru/ dewasa.

Dan, proses perubahan bentuk itu terjadi di dalam air jernih,


khususnya di tempat-tempat penampungan air yang biasa digunakan
sehari-hari seperti air di dalam gentong, atau di dalam bak mandi. Atau
juga pada genangan air, di dalam barang-barang bekas yang dibuang
sembarangan, seperti Ban-ban mobil atau motor bekas, kaleng-kaleng,
botol-botol, dan lain sebagainya lagi.

14
Memberantas nyamuk tersebut dengan cara penyemprotan,
berjumlah cukup, terlebih selama larva atau ‘jentik-jentik’nya masih
ada.

Dan memberantas jentik, sesungguhnya jauh lebih mudah


daripada menyemprot nyamuknya, sehingga hal itu menjadi sangat
perlu untuk lebih sering dilakukan, yakni : Lebih baik memberantas
‘jentik-jentik’ ataupun ‘telur-telurnya’. Apalagi di saat-saat telah
memasuki musim hujan, atau pada penghujung musim hujan, kita
semua benar-benar harus mau lebih meningkatkan lagi kewaspadaan,
dan melakukan semua apa yang telah dianjurkan, diinformasikan. Baik
para pejabat pamong praja setempat, ataupun oleh petugas dari
departemen dan dinas kesehatan. Sebab kemungkinan besar di wilayah
lingkungan hidup kita akan terjangkit penyakit demam berdarah yang
lebih mencemaskan.

Para dokter, mantri kesehatan dan perawat di rumah sakit-


rumah sakit di kota besar dan klinik di kota-kota kecil, serta
Puskesmas-puskesmas di desa, semuanaya menjadi begitu kewalahan
di dalam menghadapi dan membantu menangani pengobatan dan
perawatan penderita demam berdarah yang terus berdatangan. Lorong-
lorong sempit di rumah-rumah sakit, klinik, puskesmas pun banyak
yang telah dimanfaatkan untuk menampung korban-korban yang
memerlukan pertolongan dan penanganan dokter dengan secepatnya.
Baik yang secara darurat, maupun yang sebagaimana mestinya. Itulah,
maka para warga dimana saja, sebaiknya perlu bersatu padu, bersama-
sama di dalam usaha untuk mencegah perkembangbiakannyamuk
penyebar virus dengue yang sangat mengerikan itu.

Kampanye 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) merupakan


salah satu gerakan masyarakat yang benar-benar perlu untuk terus
didukung,diadakan dan ditingkatkan di mana-mana. Dan gerakan lain

15
yang juga perlu untuk terus digalakan adalah ‘Kerja Bhakti’ untuk
memebantu memberikan dan melancarkan saluran air got, walau telah
disebutkan bahwa nyamuk aedes aegypti tidak mau bersarang dan
berkembang biak di dalam air got atau comberan yang umumnya
memang sangat kotor.

Mengadakan atau meningkatkan “Abatisasi” yaitu


“Menaburkan bubuk abate ke dalam wadah yang berisi air, yang tidak
mungkin untuk sering dikuras atau dibuang airnya, seperti misalnya
kolam di taman-taman umum, tempayan besar, bak mandi, sumur, dan
berbagai macam wadah air lainya (drum, ember yang besar)”

Karena selain seperti yang kini telah lebih kita ketahui, bahwa :
“ Abate adalah bubuk obt kimia atau sejenis garam yang bisa
mematikan jentik nyamuk, dan memang agak berbau tidak
sedap/’amis’, tetapi bila takaran dan ukuran yang digunakan sesuai
dengan yang telah dianjurkan, tidak akan berbahaya bagi manusia,
hewan peliharaan, maupun ternak.

Abate akan dapat pula membentuk suatu lapisan (mengerak) di


dinding wadah, dan mampu bertahan sampai 3 bulan bila dinding
wadah (bak, tempayan, gentong, drum, ember) tersebut tidak
dibersihkan dengan cara disikat.”

Bila demam berdarah mulai berjangkit di mana-mana, kita


sebagai masyarakat sebaiknya mau benar-benar membantu, baik di
dalam melakukan fogging (pengasapan’ atau penyemprotan) secara
swadaya dengan tujuan untuk ikut memberantas sarang nyamuk
tersebut agar tidak menular pada manusia yang lain, dan sebagainya.
Terutama juga untuk menghindari gigitan nyamuk kebun.

Untuk mencegah berkembang biaknya, secara pribadi atau


perorangan, setiap keluarga sebaiknya juga mau ikut membantu,
menyingkirkan baju-baju yang sering dibiarkan bergelantungan di

16
balik pintu kamar, atau di tempat-tempat lainya. Juga, sering seringlah
membersihkan dan menyemprot gorden, kelambu dan lain sebagainya,
baik hanya dengan cara mengebut-ngebutnya atau dengan semprotan
insektisida.

Anak-anak pun hendaknya tidak lagi atau jangan dibiarkan


bermain pada siang hari di kebun atau pekarangan yang terlihat
bersemak-semak, atau di dekat rumah dan gudang kosong.

Dan karena kemampuan terbang nyamuk itu hanya sekitar 40-


100 meter, amak pemberantasan dengan metode atau cara
‘pengasapan’ (fogging), atau penyemprotan dengan menggunakan
insektisida pada radius yang telah diketahui itu, sesungguhnya
memang cukup efektif dan dapat diandalkan. Terlebih jika
penyemprotan itu, menggunakan cairan ‘insektisida’ yang berwarna
Melathion.

Sebab selain Melathion dapat disemprotkan sesuai dengan


kebutuhan, juga terkenal sangat ampuh dan efektif. Namun betapa pun
baiknya hasil dari usaha penyemprotan, akan menjadi kurang efektif
dan kurang berfungsi malah akan menjadi sia-sia saja, bila tidak diikuti
dan ditindaklanjuti dengan pemberantasan ‘sarang-sarang nyamuk’nya
agar lava baru tidak akan mampu berkembangbiak.

2.1.5 Penularan Penyakit DBD

Penularan penyakit DBD memiliki tiga faktor yang memegang


peranan pada penularan infeksi virus, yaitu manusi, virus dan vector
perantara (Hadinegoro et al, 2001). Lebih jelasnya Depkes RI, 2005
menjelaskan mekanisme penularan penyakit DBD dan tempat potensial
penularannya.

1. Mekanisme Penularan DBD

17
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus
dengue merupakan sumber penularan DBD. Virus dengue berada
dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila
penderita DBD digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah
akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya
virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan
tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1
minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap
untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik).
Virus ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya.
Oleh karena itu, nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap virus
dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi
karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit), sebelumnya
menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya
(proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersamaan
air liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang
lain.

2. Tempat potensial bagi penularan DBD

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat


nyamuk penularnya. Oleh karena itu tempat yang potensial untuk
terjadi penularan DBD adalah :

a. Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).


b. Tempat-tempat umum yang menjadi berkumpulnya orang-
orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga
kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus
dengue yang cukup besar seperti : sekolah, RS/Puskesmas
dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, tempat umum
lainnya (hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah
dan lain-lain).

18
c. Pemukiman baru di pinggir kota, penduduk pada lokasi ini
umum berasal dari berbagai wilayah maka ada
kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang
membawa tipe virus dengue yang berbeda dari masing-
masing lokasi.
2.1.6 Faktor Risiko Penularan penyakit DBD

Ada dua faktor yang menyebabkan penyebaran penularan


penyakit DBD adalah :

1. Faktor Internal

Faktor internal meliputi ketahanan tubuh atau stamina


seseorang. Jika kondisi badan tetap bugar kemungkinan kecil untuk
terkena penyakit DBD. Hal tersebut dikarenakan tubuh memiliki
daya tahan cukup kuat dari infeksi baik yang disebabkan oleh
bakteri, parasit, atau virus seperti penyakit DBD. Oleh karena itu
sangat penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh pada musim
hujan dan pancaroba. Pada musim itu terjadi perubahan cuaca yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan virus dengue
penyebab DBD. Hal ini menjadi kesempatan jentik nyamuk
berkembangbiak menjadi lebih banyak.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar


tubuh manusia. Faktor ini tidak mudah dikontrol karena
berhubungan dengan pengetahuan, lingkungan dan perilaku
manusia baik di tempat tinggal, lingkungan sekolah, atau tempat
kerja.

Faktor yang memudahkan seseorang menderita DBD dapat


dilihat dari kondisi berbagai tempat berkembangbiaknya nyamuk
seperti di tempat penampungan air, karena kondisi ini memberikan

19
kesempatan pada nyamuk untuk hidup dan berkembangbiak. Hal
ini karenakan tempat penampungan air masyarakat Indonesia
umumnya lembab, kurang sinar matahari dan sanitasi atau
kebersihannya (Satari dan Meiliasari, 2004).

Menurut Suroso dan Umar (tanpa tahun), nyamuk lebih


menyukai benda-benda yang tergantung di dalam rumah seperti
gorden, kelambu dan baju/pakaian. Maka dari itu pakaian yang
tergantung dibalik pintu sebaiknya dilipat dan disimpan dalam
almari, karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap dan
beristirahat di tempat-tempat gelap dan kain yang tergantung untuk
berkembangbiak, sehingga nyamuk berpotensi untuk bisa mengigit
manusia (Yatim, 2007).

Menurut Hadinegoro et al (2001), semakin mudah nyamuk


aedes menularkan virusnya dari satu orang ke orang lainnya karena
pertumbuhan penduduk yang tinggi dapat meningkatkan
kesempatan penyakit DBD menyebar, urbanisasi yang tidak
terkendali, tidak adanya control vector nyamuk yang efektif di
daerah endemis, peningkatan sarana transportasi.

Menurut penelitian Fathi, et al (2005) ada peranan faktor


lingkungan dan perilaku terhadap penularan DBD, antara lain :

1. Keberadaan jentik pada container

Keberadaan jentik pada container dapat dilihat dari letak,


macam, bahan, warna, bentuk volume dan penutup container serta
asal air yang tersimpan dalam container sangat mempengaruhi
nyamuk Aedes betina untuk menentukan pilihan tempat
bertelurnya. Keberadaan container sangat berperan dalam
kepadatan vector nyamuk Aedes karena, semakin banyak container
akan semakin banyak tempat perindukan dan akan semakin padat

20
populasi nyamuk Aedes. Semakin padat populasi nyamuk Aedes,
maka semakin tinggi pula risiko terinfeksi virus DBD dengan
waktu penyebaran lebih cepat sehingga jumlah kasus penyakit
DBD cepat meningkat yang pada akhirnya mengakibatkan
terjadinya KLB. Dengan demikian program pemerintah berupa
penuluhan kesehatan masyarakat dalam penanggulangan penyakit
DBD antara lain dengan cara 3M (menguras,menutup, mengubur)
sangat tepat dan perlu dukungan luas dari masyarakat dalam
pelaksanaannya.

2. Kepadatan vector

Kepadatan vector nyamuk Aedes yang diukur dengan


menggunakan parameter ABJ yang di peroleh dari Dinas
Kesehatan Kota. Hal ini Nampak peran kepadatan vector
nyamuk Aedes terhadap daerah yang terjadi KLB. Sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya yang menyatakan bahwa semakin tinggi angka
kepadatan vector akan meningkatkan risiko penularan.

3. Tingkat pengetahuan DBD

Pengetahuan merupakan hasil proses keinginan untuk


mengerti, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terutama indera pendengaran dan penglihatan
terhadap objek tertentu yang menarik perhatian terhadap suatu
objek.

Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan


respons seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang
masih bersifat terselubung, sedangkan tindakan nyata
seseorang yang belum terwujud (overt behavior). Pengetahuan
itu sendiri di pengaruhi oleh tingkat pendidikan, dimana

21
pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku
sebagai hasil jangka menengah (intermediate impact) dari
pendidikan kesehatan, selanjutnya perilaku kesehatan akan
berpengaruh pada meningkatkan indicator kesehatan
masyarakat sebagai keluaran dari pendidikan.

4. Faktor Musim

Ada beberapa alasan kenapa negara beriklim tropis


seperti Indonesia menjadi lokasi rawan wabah DBD. Musim
hujan adalah salah satu faktor penyebab mewabahnya Demam
Berdarah Dengue di Indonesia. Musim hujan di Indonesia
berlangsung cukup lama, antara bulan Oktober sampai bulan
Februari. Selama musim hujan umumnya kasus Demam
Berdarah Dengue meningkat karena banyaknya genangan air.
Genangan air hujan atau bahkan sisa arus banjir adalah sarang
paling ideal bagi nyamuk Aedes untuk bertelur. Nyamuk akan
lebih mudah dan cepat berkembangbiak di lingkungan yang
lembap.

Begitu pula selama musim pancaroba (peralihan musim


dari kemarau ke hujan, atau sebaliknya). Di musim pancaroba,
kadang suhu lingkungan juga akan terasa lebih lembap. Ini
membuat masa inkubasi virus dalam tubuh nyamuk
berlangsung lebih cepat. Artinya nyamuk akan punya lebih
banyak peluang untuk menginfeksi banyak orang sekaligus
dalam waktu singkat.

Secara umum, iklim adlah faktor kunci yang


mengendalikan di mana spesies nyamuk dapat hidup. Ketika
iklim berubah, nyamuk akan berpindah mencari habitat yang
cocok agar bisa terus berkembangbiak.

22
2. 2 Sistem Surveilans
2.2.1 Pengertian Sistem Surveilans

Menurut German (dalam Kesmas, 2013) serveilans


kesehatan masyarakat (public health surveillance) adalah suatu
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus berupa
pengumpulan data secara sistematik, analisis dan interprestasi
data mengenai suatu peristiwa yang terkait dengan kesehatan
untuk digunakan dalam tindakan kesehatan masyarakat dalam
upaya mengurangi angka kesakitan dan kematian, dan
meningkatkan status kesehatan.

Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan,


analisis, dan interprestasi data secara terus menerus dan
sistematis yang kemudaian didiseminasikan (disebarluaskan)
kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam
pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya (DCP2,
2008).

2.2.2 Fungsi Surveilans Epidemiologi


Surveilans epidemiologi pada umumnya berfungsi
untuk (Amiruddin, 2013):
1. Mengetahui dan melengkapi gambaran epidemiologi
dari suatu penyakit
2. Menentukan penyakit apa yang diprioritaskan untuk
diobati atau diberantas
3. Meramalkan kejadian wabah
4. Menilai dan memantau pelaksanaan program
pemberantasan penyakit menular, serta program-
program kesehatan lainnya seperti program mengatasi
kecelakaan, program kesehatan gigi, dan program gizi
5. Mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan

23
2.2.3 Prinsip Unsur Surveilans Epidemiologi
Prinsip umum surveilans epidemiologi adalah sebagai
berikut (Eko Budiarto, 2003):
1. Pengumpulan data pencatatan insidensi terhadap
population at risk.

Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah


sakit, puskesmas, dan sarana pelayanan kesehatan lain,
laporan petugas surveilans di lapangan, laporan
masyarakat, dan petugas kesehatan lain; Surveilans
khusus; dan pencatatan jumlah populasi beresiko
terhadap penyakit yang sedang diamati. Teknik
pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara
dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah
menentukan kelompok high risk; menentukan jenis dan
karakteristik (penyebabnya); menentukan reservoir;
transmisi; pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.

2. Pengelolaan data

Data yang diperoleh biasanya masih dalam


bentuk data mentah (row data) yang masih perlu
disusun sedemikian rupa hingga mudah dianalisis. Data
yang terkumpul dpat diolah dalam bentuk table, bentuk
grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya.
Kompilasi data tersebut dapat memberikan keterangan
yang berarti.

3. Analisis dan interprestasi data untuk keperluan kegiatan

Data yang telah disusun dan dikompilasi,


selanjutnya dianalisis dan dilakukan interprestasi untuk
memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang
situasi yang ada dalam masyarakat.

24
4. Penyebaran data dan keterangan termasuk umpan balik

Setelah analisis dan interprestasi data serta


memiliki keterangn yang cukup jelas dan sudah
disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat
disebarluaskan kepada semua pihak yang
berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan
sebagaimana mestinya.

5. Evaluasi

Hasil evaluasi terhadap data system surveilans


selanjutnya dapat digunakan untuk perencanaan,
penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya,
untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk
melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program
dan pelaksanaan program, serta untuk kepentingan
evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.

2.2.4 Unsur Dasar Surveilans Epidemiologi


Unsur-unsur surveilans epidemiologi untuk penyakit,
khususnya penyakit menular, adalah sebagai berikut
(Amiruddin,2013):
1. Pencatatan kematian

Pencatatan kematian dilakukan di tingkat desa


dilaporkan ke kantir kelurahan lalu ke kantor kecamatan dan
puskesmas. Sementara itu dari kantor kecamatan, pencatatan
tersebut dikirim ke kantor kabupaten/kota. Unsur ini akan
bermanfaat bila data pada pencatatan kematian cepat diolah dan
hasilnya segera diberitahukan kepada yang berkepentingan.

2. Laporan penyakit

25
Unsur ini kepentingan untuk mengetahui distribusi
penyakit menurut waktu, apakah musiman, cylic, atau secular.
Dengan demikian dapat diketahui pula ukuran endemis suatu
penyakit. Jenis data yang diperlukan sesederhana mungkin,
contohnya variabel orang cukup dicatat nama dan umurnya,
variabel tempat cukup alamanya. Diagnosis penyakit dan waktu
mulai timbul penyakit merupakan hal yang penting dicatat.

3. Laporan wabah

Laporan wabah dengan distribusi penyakit menurut


waktu, tempat, dan orang penting artinya untuk menganalisis
dan menginterprestasikan data dalam rangka mengetahui
sumber dan penyebab wabah tersebut.

4. Pemeriksaan laboratorium

Laboratorium merupakan suatu sarana yang penting


untuk mengetahui kuman penyebab penyakit menular dan
pemeriksaan tertentu untuk penyakit-penyakit lainnya,
misalnya kadar gula darah untuk penyakit diabetes mellitus.

5. Penyakit khusus

Penyelidikan kasus untuk penyakit khusus dimaksudkan


untuk mengetahui riwayat alamiah penyakit yang belum
diketahui, terjadi pada seorang atau lebih individu.

6. Penyelidikan wabah

Bila terjadi lonjakan frekuensi penyakit yang melebihi


frekuensi biasa, perlu diadakan penyelidikan wabah denan
analisis data sekunder sehingga dapat diketahui terjadinya
letusan tersebut. Dalam hal ini diperlukan diagnosis klisis dan

26
diagnosis labilatoris dismping penyelidikan epidemic di
lapangan.

7. Survei

Survei ialah suatu cara penelitian epidemiologi


untuk mengetahui prevalens penyakit. Dengan ukuran ini
dapat diketahui luas masalah penyakit tersebut. Setelah
suvei pertama dilakukan, berikn pengobatan terhadap
penderita sehingga survey dapat ditentukan keberhasilan
pengobatan tersebut.

8. Penyelidikan tentang distribusi vector dan reservoir


penyakit

Penyakit zoonis terdapat pada manusia dan hewan.


Sehingga dalam hal ini manusia dan hewan merupakan
reservoir. Penyakit pada hewan diselidiki oleh ahli
entomologis.

9. Penggunaan obat-obatan, sera, dan vaksin

Keterangan yang menyangkut penggunaan bahan-


bahan tersebut mengenai banyaknya, jenisnya, dan
waktunya memberikan petunjuk kepada kita mengenai
masalah penyakit. Disamping itu, dapat pula dikumpulkan
keterangan mengenai efek samping dari bahan-bahan
tersebut.

10. Keterangan tentang penduduk serta lingkungan

Keterangan penduduk penting untuk menetapkan


“population at risk”. Persediaan bahan makanan juga
penting diketahui apakah ada hubungan kekurangan gizi,
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kependudukan,

27
dan lingkungan ini perlu selalu dipikirkan dalam rangka
analisis epidemiologis. Data atau keterangan mengenai
kependudukan an lingkungan itu tentu harus didapat
lembaga-lembaga non kesehatan.

2.2.5 Lingkup Surveilans Epidemiologi

Ruang lingkup surveilans epidemiologi menurut Peraturan


Mentri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 pasal
4 ayat 1 adalah :

1. Surveilans epidemiologi penyakit menular

Merupakan analisis terus menerus dan sistematika terhadap


penyakit menular dan faktor resiko untuk upaya pemberantas
penyakit menular.

2. Surveilans epidemiologi penyakit tidak menular


Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap
penyakit tidak menulra dan faktor resiko untuk mendukung upaya
pemberantas penyakit tidak menular.
3. Surveilans epidemiologi kesehatan lingkungan

Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap


penyakit dan faktor resiko untuk mendukung program penyehatan
lingkungan.

4. Surveilans epidemiologi masalah kesehatan

Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap


masalah kesehatan dan faktor resiko untuk mendukung program-
program kesehatan tertentu.

5. Surveilans epidemiologi kesehatan matra

28
Merupakan analisis terus menerus dan sistematis terhadap
masalah kesehatan dan faktor resiko untuk mendukung program
kesehatan matra.

29
BAB III

DESKRIPSI VARIABEL EPIDEMIOLOGI

3. 1 Kejadian penyakit Berdasarkan Variabel Orang


Berdasarkan data yang telah diambil dari wawancara di Dinas
Kesehatan Kota Cimahi pada tanggal 27 Juni 2019 didapatkan sebagai
berikut :

Tabel 1. Jumlah kejadian penyakit DBD berdasarkan variable orang


menurut jenis kelamin.

NO JENIS KELAMIN JUMLAH

1 Laki-Laki 145

2 Perempuan 147

Total 292

Grafik 1. Kejadian DBD di Kota Cimahi menurut jenis kelamin pada tahun 2018

Kejadian DBD di Kota Cimahi menurut Jenis


Kelamin pada tahun 2018
147,5
147
147
146,5
146
145,5
145
145
144,5
144
perempuan laki-laki

perempuan laki-laki

30
Grafik di atas menunjukan bahwa kejadian DBD bedasarkan variabel
orang menurut jenis kelamin pada tahun 2018 paling tinggi pada jenis kelamin
perempuan dengan jumlah 147 kasus.

Tabel 2. Jumlah kejadian penyakit DBD bedasarkan variable orang


menurut kelompok umur.

NO UMUR JUMLAH

1 < 1 tahun 8

2 1-4 tahun 39

3 5-14 tahun 110

4 15-44 tahun 117

5 > 44 tahun 18

Total 292

Grafik 2. Kejadian DBD di Kota Cimahi menurut Kelompok umur dan Jenis
kelamin pada tahun 2018

31
Kejadian DBD di Kota Cimahi menurut
kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun
2018
140
117
120 110
100
80
60
39
40
18
20 8
0
< 1 tahun 1-4 tahun 5-14 tahun 15-44 tahun > 44 tahun
umur

Grafik di atas menunjukan bahwa kejadian DBD bedasarkan variabel orang


menurut kelompok umur pada tahun 2018 paling tinggi pada kelompok umur 15-
44 tahun dengan jumlah 117 kasus.

3. 2 Kejadian Penyakit Berdasarkan Variabel Tempat

Lokasi penyebaran penyakit DBD di Kota Cimahi yang terbagi


kedalam 3 wilayah sebagai berikut :

Tabel 2. Jumlah kejadian penyakit DBD beradasarkan variable tempat

NO KECAMATAN JUMLAH

1 Kcamatan cimahi selatan 47

2 Kecamatan cimahi tengah 55

3 Kecamatan cimahi utara 190

Total 292

32
Grafik 3. Kejadian penyakit DBD di Kota Cimahi berdasarkan tempat
pada tahun 2018

Kejadian Penyakit DBD di Kota Cimahi


Berdasarkan Tempat pada tahun 2018
200 190
JUMLAH PENDERITA DBD

150

100

47 55
50

0
CIMAHI SELATAN CIMAHI TENGAH CIMAHI UTARA
KECAMATAN

CIMAHI SELATAN CIMAHI TENGAH CIMAHI UTARA

Grafik di atas menunjukan bahwa kejadian DBD bedasarkan variabel


tempat pada tahun 2018 paling tinggi di Kecamatan Cimahi Utara dengan jumlah
190 kasus.

3. 3 Kejadian Penyakit Berdasarkan Variabel Waktu

Waktu kejadian DBD diambil pada satu tahun yaitu pada tahun
2018

Tabel 3. Jumlah kejadian penyakit DBD berdasarkan variable waktu

NO BULAN JUMLAH

1 Januari 24

2 Februari 19

3 Maret 32

4 April 28

33
5 Mei 44

6 Juni 36

7 Juli 19

8 Agustus 14

9 September 23

10 Oktober 32

11 November 18

12 Desember 3

Total 292

Grafik 4. Kejadian DBD di Kota Cimahi berdasarkan bulan pada tahun 2018

Kejadian DBD di Kota Cimahi berdasarkan bulan pada


tahun 2018
50
44
40
36
30 32 32
28
24 23
20 19 19 18
14
10
3
0
JAN FEB MART APR MEI JUN JUL AGUS SEP OKT NOV DES

Bulan

jumlah penderita DBD

34
Grafik di atas menunjukan bahwa kejadian DBD bedasarkan variabel
waktu dengan data perbulan pada tahun 2018 paling tinggi pada bulan Mei
dengan jumlah 44 kasus.

35
BAB IV

DESKRIPSI KOMPONEN KEGIATAN SURVEILANS

4. 1 Pengumpulan Data

NO Jenis laporan Ya Tidak

Formulir laporan kejadian


1 √
luar biasa (W1)
Formulir laporan
2 √
mingguan penyakit (W2)
Formulir laporan
3 surveilans terpadu √
puskesmas (STP)
Formulir laporan √
4
SP2PT/LB1

5 Laporan P2Kpus √

Formulir investigasi √
6
penderita DBD
Formulir permintaan √
7
pemeriksaan spesimen

Pengumpulan data dilakukan secara aktif dengan melakukan


kunjungan rutin dan pernah melakukan Penyelidikan Epidemiologi dan
dilakukan secara pasif dengan mendapatkan laporan hard copy dan soft copy
file melalui email. Adapun data yang diperoleh Dinas Kesehatan Kota Cimahi
berasal dari puskesmas, klinik, dan Rumah Sakit.

4. 2 Pengolahan Data

36
Pengolahan data diolah secara manual hard copy maupun sms, dan
dengan menggunakan program komputer berupa aplikasi EWRS dan Excel
yang dibuat oleh provinsi.

4. 3 Analisis Data

Analisis data dilakukan secara Universal dengan melakukan analisis


univariat yaitu berupa penyajian data secara Tabel (menghitung Proporsi),
Grafik (analisis dan kecenderungan) dan Peta (analisis menurut tempat dan
waktu).

4. 4 Diseminasi

Setelah data tersebut diberikan ada umpan balik terhadap masalah


DBD yaitu dalam bentuk hard cover, laporan tiap minggu, sample, email dan
soft copy.

Di dinas kesehatan kota cimahi, tersedia media sebagai sarana dalam


penyampaian informasi dan edukasi pada kewaspadaan dini yaitu berupa
poster, pamflet, leafleat, spanduk dan radio.

Alur penyampaian pada informasi/pelaporannya melalui


penyuluhan,posyandu, elektronik, PJTV, CF.

37
BAB V

DESKRIPSI INDIKATOR PROGRAM SURVEILANS

5.1 Input
1. Sumber Daya Manusia (Man)

Di Dinas Kesehatan Kota Cimahi tidak terdapat petugas


surveilans khusus untuk program DBD. Petugas surveilans memiliki
tugas rangkapnya dalam 6 program. Dengan latar belakang pendidikan
petugas program DBD D3 keperawatan. Petugas program DBD di
Dinas Kesehatan Kota Cimahi pernah mengikuti pelatihan yaitu
pelatihan pengendalian vector pada tahun 2017 dan pelatihan PE DBD
pada tahun 2016. Petugas program DBD juga mempunyai
keterampilan khusus dalam mengoprasikan computer.

2. Dana (Money)

Sumber dana untuk melakukan kegiatan surveilans


epidemiologi penyakit DBD berasal dari APBD II. Dana tersebut
dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan seperti Fogging dan
Jumantik.

3. Sarana dan Bahan


a. Sarana
Di Dinas Kesehatan Kota Cimahi terdapat buku panduan
mengenai DBD dengan judul buku “Pedoman Pengendalian
Demam Berdarah Dengue di Indonesia”.
Di Dinas Kesehatan Kota Cimahi terdapat 1 unit
perangkat komputer untuk setiap program yang dipergunakan
untuk input laporan dan analisa laporan. Untuk mengolah data
menggunakan aplikasi SISDBD. Tersedia juga jaringan internet,
alat komunikasi dan transportasi di kantor.
b. Bahan

38
No Dokumen Ada Tidak

Formulir K-DBD (laporan bulanan


1. √
penderita DBD)
Formulir W1-DBD (laporan
2 √
Kejadian Luar Biasa)
Formulir W2-DBD (laporan
3 √
mingguan penderita DBD)
Formulir DP-DBD (data dasar √
4
perorangan penderita DBD)
Formulir KD/ PKM DBD
5 (pemberitahuan penderita infeksi √

dengue)

6 Kartu jentik rumah dan bangunan √

Formulir JPJ-1 (hasil pemeriksaan √


7
jentik)
Formulir PJB-1 (rekapitulasi hasil √
8
pemeriksaan jentik)

5.2 Indikator Proses


1. Incidence Rate (IR)/ angka kesakitan

Jumlah kejadian pada penduduk


𝐼𝑅 = × 100.000
Jumlah penduduk

294
𝐼𝑅 = 𝑋 100.000
594021

𝐼𝑅 = 4,9493 𝑋 100.000

𝐼𝑅 = 49,493

39
2. House index (HI)

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡𝑖𝑓 𝑗𝑒𝑛𝑡𝑖𝑘


𝐻𝐼 = 𝑋 100%
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑟𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑝𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎

2225
𝐻𝐼 = 𝑋 100%
27442

𝐻𝐼 = 0,081 𝑋 100%

𝐻𝐼 = 8,1%

5.3 Indikator output


1. Prevalance Rate (PR)
𝑗𝑚𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑘𝑖𝑡 𝑙𝑎𝑚𝑎 + 𝑏𝑎𝑟𝑢
𝑃𝑅 = 𝑋 100.000
𝑗𝑚𝑙 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑒𝑠𝑖𝑘𝑜

294
𝑃𝑅 = 𝑋 100.000
594021

𝑃𝑅 = 49,49

5.4 Dampak
1. Case Fatality Rate (CFR)

𝐶𝐹𝑅
𝑗𝑚𝑙 𝑘𝑒𝑚𝑎𝑡𝑖𝑎𝑛 𝑎𝑘𝑖𝑏𝑎𝑡 𝐷𝐵𝐷 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑒𝑛𝑡𝑢
= 𝑋 100%
𝑗𝑚𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑑𝑢𝑑𝑢𝑘 𝑦𝑔 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑒𝑟𝑖𝑡𝑎 𝐷𝐵𝐷 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑦𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑎

2
𝐶𝐹𝑅 = 𝑋 100%
292

𝐶𝐹𝑅 = 0,0068 𝑋 100%

𝐶𝐹𝑅 = 0,68%

40
BAB VI

DESKRIPSI SYARAT SISTEM SURVEILANS

6. 1 Tujuan Sistem Surveilans


Dalam wawancara yang telah dilakukan pada tanggal 26 Juli 2019
didapatkan :

NO Tujuan Ssitem Surveilans Ya Tidak Keterangan

1 Mengetahui gambaran Dilihat dari SKDR


epidemiologi DBD √ (laporan mingguan).

2 Melaksanakan kewaspadaan dini Data yang telah


dengan mengidentifikasi dianalisis kemudian
kemungkinan KLB disampaikan
√ informasinya ke setiap
puskesmas untuk
dilakukan penyuluhan.

3 Melakukan identifikasi terhadap Dilakukan


kelompok penduduk yang √ pengumpulan data dari
mempunyai faktor risiko DBD puskesmas.

4 Melakukan pelayanan suatu PSN (pemberantasan


program kesehatan di suatu sarang nyamuk),PJB
wilayah √ (pemeriksaan jentik
berkala), lomba bebas
jentik dan penyuluhan.

5 Melakukan pemantauan program Dipantau oleh kader


kesehatan √ lalu dilihat dari hasil
analisis data.

6 Melakukan penilaian program Dilihat data dari kasus



kesehatan

41
DBD.

7 Memantau kecenderungan DBD Merencanakan


untuk menyesuaikan kebutuhan untuk
perencanaan dalam rangka √ pelayanan kesehatan
memenuhi kebutuhan dalam dilihat dari data yang
waktu berikutnya telah ada.

Keterangan : terdapat 7 tujuan system surveilans epidemiologi di Dinas


Kesehatan Cimahi. Hal ini dapat diartikan bahwa dalam penilaian tujuan
system surveilans epidemiologi DBD termasuk ke dalam kategori sangat
baik dimana presentasinya mencapai 100% yang diambil dari
perhitungan
6. 2 Pengolahan Dan Analisis Data

Di Dinas Kesehatan Cimahi, telah dilakukan pengolahan dan


analisis data mulai dari gambaran epidemiologi penyakit, melaksanakan
kewaspadaan dini, identifikasi terhadap kelompok penduduk yang
beresiko, melakukan pelayanan program, melakukan pemantauan
program, melakukan penilaian program, dan memantau kecenderungan
penyakit. Presentasi untuk pengolahan data yaitu 7/7x100 =100% sehingga
pengolahan dan analisis data diikatakan sangat baik

6. 3 Ketetapan Diagnosis

Di Dinas Kesehatan Cimahi, dalam hal menetapkan diagnosis


DBD, telah digunakan diagnosis yang pertama yaitu diagnosis utama
seperti trombosit < 100.000, hematofit < 20% dan NS1 positif dengan
gejala umum demam lalu terdapat ruam merah pada kulit dan bisa sampai
merasakan pusing. Namun dalam surveilans epidemiologi DBD ini tidak
diketahui error ratenya. Sehingga dalam hal diagnosis ini dapat

42
dikategorikan cukup baik dan perlu ditingkatkan kembali untuk
kedepanya.

6. 4 Kelengkapan Data

Pada hasil wawancara yang telah kami lakukan mengenai


kelengkapan data masih kurang baik, hal ini di karenakan data dari setiap
kecamatan yang dilaporkan setiap bulanya ke Dinas Kesehatan Cimahi
tidak lengkap. Masih perlu ditekankan kembali kepada setiap petugas di
kecamatan untuk melaporkan data DBD agar dapat dilakukan suveilans
epidemiologi DBD secara tepat dan efektif.

6. 5 Ketepatan Data

Dalam hal ketepatan waktu pengumpulan data kami menilai kurang


baik. Hal ini disampaikan langsung oleh petugas surveilans dimana data
yang dilaporkan setiap kecamatan perbulannya tidak sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan yaitu pada setiap tanggal 15. Sebaiknya dalam hal
waktu pelaporan data DBD diserahkaan di waktu yang telah ditentukan
sehingga dapat dilihat serta dianalisis kemungkinan kejadian DBD di
waktu yang akan datang.

6. 6 Partisipasi Fasilitas Kesehatan

Terdapat partisipasi dari fasilitas kesehatan lain seperti RSUD,


swasta, dan klinik. Namun, tidak semua fasilitas kesehatan tersebut
berpartisipasi dalam melaporkan data DBD kepada Dinas Kesehatan
Cimahi. Dari hasil wawancara, responden menyatakan hanya ada sekitar
50% fasilitas kesehatan lain yang melaporkan data DBD. Dapat dikatakan
bahwa partisipasi dari fasilitas kesehatan ini masih kurang baik dan perlu
ditekankan kembali kepada setiap fasilitas kesehatan agar dapat
berpartisipasi dalam melaporkan data.

6. 7 Akses Ke Pelayanan Kesehatan

43
Di Dinas Kesehatan Cimahi, setiap masyarakat yang ingin
mendapat pelayanan kesehatan baik, apalagi setelah adanya akreditas,
akses ke pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Rata- rata jarak terjauh
antara pelayanan kesehatan dengan masyarakat yaitu sekitar 1,5 KM yang
artinya mudah untuk dikunjungi masyarakat.
6. 8 Konsistensi Data
Menurut kami tingkat konsistensi data yang ada di Dinas
Kesehatan Cimahi yaitu 90% sehingga dikatakan baik karena data yang
dilaporkan oleh kecamatan setiap bulannya tidak terdapat kekosongan. Hal
ini perlu dipertahankan agar setiap data dapat dianalisis dengan lebih baik.

Hasil Penilaian System Surveilans DBD di Dinas Kesehatan Cimahi Tahun 2019

No Unsur Penilaian Hasil Penilaian

1 Tujuan Sistem Surveilans Baik

2 Pengolahan dan Analisa data Sangat Baik

3 Ketetapan Diagnosis Cukup baik (tidak ada


Error Rate).

4 Kelengkapan Data Kurang baik

5 Ketepatan Data Kurang baik

6 Partisipasi Fasilitas Kesehatan Kurang baik

7 Akses ke Pelayanan Kesehatan Baik

8 Konsistensi Baik

Tabel diatas menunjukan system penilaian surveilans epidemiologi yang


dikatakan baik yaitu pada tujuan system surveilans, pengolahan dan
analisis data, akses ke pelayanan kesehatan serta konsistensi. Sedangkan

44
yang dikategorikan cukup yaitu hanya pada unsur ketetapan diagnosis.
Dan dikategorikan kurang yaitu pada unsur kelengkapan data, ketepatan
data, dan partisispasi fasilitas kesehatan.

45
BAB VII
PENUTUP

7. 1 Kesimpulan

Hasil dari laporan wawancara yang telah kami dapatkan di Dinas


Kesehatan Kota Cimahi, sistem penilaian surveilans epidemiologi yang
dikatakan baik yaitu pada tujuan sistem surveilans, pengolahan dan
analisis data serta konsistensi data. Sedangkan yang dikategorikan cukup
yaitu hanya pada unsur ketetapan diagnosis dan partisipasi dari pelayanan
kesehatan. Jika dikategorikan kurang, yaitu pada unsur kelengkapan data,
ketepatan data dan partisipasi fasilitas kesehatan.

Di Cimahi pada tahun 2018, jumlah kejadian penyakit DBD


berdasarkan variabel menurut jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 145
dan perempuan berjumlah 147, dan banyak terjadi pada usia 15 hingga 44
tahun sebanyak 117. Jumlah kejadian penyakit DBD ini paling banyak
terjadi di Kecamatan Cimahi Utara, sebanyak 190 kasus. Menurut data
kasus DBD yang telah kami dapatkan setiap bulannya pada tahun 2018
dapat dilihat berdasarkan grafik jumlah kasus DBD tertinggi pada bulan
Mei 2018 sebesar 44 kasus, dan mengalami fluktuasi atau penurunan
sehingga jumlah kasus terkecil berada pada bulan Desember 2018 yaitu 3
kasus.

Dari hasil laporan wawancara yang telah kami lakukan pada input
terdapat kekurangan salah satunya di bidang sumber daya manusia (SDM)
yaitu kekurangan tenaga surveilans untuk setiap program sehingga tenaga
surveilans tersebut dibebankan tugas rangkap.

7. 2 Saran

46
Berdasarkan hasil laporan wawancara ini maka kami menyarankan
untuk Dinas Kesehatan Kota Cimahi agar melaksanakan sistem surveilans
DBD dan selalu memperhatikan tujuan sistem surveilans, pengolahan dan
analisis data. Dapat terus meningkatkan kembali pada ketepatan diagnosis,
ketepatan data dan kelengkapan data agar output yang dihasilkan lebih
baik dan kasus DBD dapat menurun.

Untuk meningkatkan sumber daya manusia pada pelaksanaan


sistem surveilans, sebaiknya setiap program memiliki tenaga surveilans
tersendiri, sehingga tidak lagi memiliki tugas rangkap dan terfokus pada
program masing-masing.

Sebaiknya ketepatan pelaporan data dari puskesmas ke Dinas


Kesehatan kota Cimahi dilakukan sesuai dengan tanggal yang ditetapkan
agar tidak menghambat pengolahan data, analisis dan pelaporan data ke
Dinas Kesehatan Provinsi.

47
DAFTAR PUSTAKA

Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya:


Airlangga University Press.

Indrawan. 2007. Mengenal dan Mencegah Demam Berdarah. Bandung: Pionir


jaya.

World Health Organization. 1997. Demam Berdarah Dengue Diagnosis,


pengobatan, pencegahan, dan pengendalian, edisi 2. Terjemahan: Yasmin Asih,
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Setiyaningrum. 2010. Luasi Penatalaksanaan Terapi Penyakit Demam Berdarah


Dengue (DBD) Pada Pasien Anak Di Instalasi Rawat Inap Rs. Roemani
Muhammadiyah Semarang Tahun 2009. Skripsi. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

Mufidz, Maulana. 2015. Evaluasi Input Sistem Surveilans Demam Berdarah


Dengue Di Dinas Kesehatan Kabupaten Tegal. Skripsi. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.

Tania Savitri. 2019. Penyebab dan Faktor Risiko Terjadinya Demam Berdarah
Dengue di https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/demam-berdarah-dengue-
dbd/faktor-risiko-dan-penyebab-dbd/ (diakses 9 juli).

Pusat dan Data Informasi Kementrian Kesehatan RI. 2018. Situasi Penyakit
Demam Berdarah di Indonesia tahun 2017. Jakarta.

48

Anda mungkin juga menyukai