Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS (PHMS)

BOVINE EPHEMERAL FEVER (BEF) PADA TAHUN 2017-2021


DI KOTA DENPASAR

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


GELOMBANG XIX KELOMPOK A

Oleh:

Ni Putu Permata Dewi Maheswari


2109611002

LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga “Laporan Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada Tahun 2017-2021 di Kota Denpasar” ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan ini.

Tulisan ini dibuat untuk melengkapi salah satu syarat dalam mengikuti
Program Profesi Dokter Hewan (PPDH) di bagian Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Adapun
isi dari laporan ini mengenai penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) yang terjadi
pada tahun 2017-2021 di Kota Denpasar.

Penulis menyadari bahwa sangat dimungkinkan dalam penyusunan masih


banyak kekurangan, baik dalam penyajian laporan maupun penulisan. Oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi lebih baiknya tulisan yang selanjutnya. Harapan kami, semoga laporan ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dari pembacanya.

Denpasar, November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................3
1.3 Manfaat Penulisan .....................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................4
2.1 Kota Denpasar ..........................................................................................4
2.3 Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) ............................................6
2.4 Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) ................................................8
2.5 Epidemiologi Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) .......................11
BAB III METODOLOGI ....................................................................................13
3.1 Metode ....................................................................................................13
3.2 Analisis Data...........................................................................................13
3.3 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data.....................................................13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................14
4.1 Hasil ........................................................................................................14
4.2 Pembahasan ............................................................................................19
BAB V PENUTUP ................................................................................................23
5.1 Simpulan .................................................................................................23
5.2 Saran .......................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................24
LAMPIRAN ..........................................................................................................27

iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta wilayah Kota Denpasar ................................................................6
Gambar 4.1 Diagram jenis penyakit dan jumlah kasus yang menyerang sapi di
Kota Denpasar tahun 2017-2021 ......................................................15
Gambar 4.2 Grafik populasi sapi pada tahun 2017-2021 di Kota Denpasar..........17
Gambar 4.3 Grafik rekapitulasi jumlah kasus BEF setiap bulan pada tahun 2017-
2021 di Kota Denpasar .....................................................................17
Gambar 4.4 Grafik rekapitulasi jumlah kasus BEF pada tahun 2017-2021 di Kota
Denpasar ...........................................................................................18
Gambar 4.5 Grafik prevalensi kasus BEF pada tahun 2017-2021 di Kota Denpasar
...............................................................................................................18
Gambar 4.6 Grafik morbiditas kasus BEF pada tahun 2017-2021 di Kota
Denpasar ...........................................................................................19

iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Nama-Nama Kecamatan, Kelurahan, dan Desa di Kota Denpasar ..........4
Tabel 2.2 Letak Geografis Kota Denpasar Per Kecamatan......................................5
Tabel 2.3 Daftar Nama Penyakit Hewan Menular Strategis di Indonesia ...............7
Tabel 2.4 Daftar Nama Penyakit Hewan Menular Strategis yang tidak ada di
Indonesia..................................................................................................8
Tabel 4.1 Data Penyakit Hewan Menular Strategis di Kota Denpasar ..................14
Tabel 4.2 Data Jumlah Kasus Penyakit pada Sapi di Kota Denpasar Tahun 2017-
2021 .......................................................................................................14
Tabel 4.3 Jumlah Populasi Sapi, Jumlah Kasus, Prevalensi, dan Morbiditas BEF
di Kota Denpasar Tahun 2017-2021......................................................15
Tabel 4.4 Data per Bulan Kasus BEF di Kota Denpasar Tahun 2017-2021 ..........15

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi bali merupakan hasil domestikasi banteng yang memiliki kekhasana
tertentu apabila dibandingkan dengan sapi jenis lainnya (Kendran et al., 2012). Sapi
bali dikembangkan, dimanfaatkan, dan dilestarikan sebagai sumber daya ternak asli
yang memiliki ciri khas tertentu serta memiliki kemampuan untuk berkembang
dengan baik pada berbagai lingkungan yang ada di Indonesia. Menurut Kendran et
al. (2012), bagi masyarakat peternak sapi yang berada di Bali, sapi bali memiliki
empat fungsi penting, yaitu sebagai fungsi finansial, tenaga kerja pertanian, sarana
keagamaan, dan saran hiburan. Di Kota Denpasar, populasi sapi bali tergolong
dalam kategori banyak, baik yang diternakkan maupun yang digembalakan.
Dalam proses produksi ternak, terdapat berbagai faktor yang mampu
menghambat produktifitasnya dan salah satunya adalah faktor penyakit, dalam hal
ini penyakit yang mampu menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Menurut
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014, istilah Penyakit Hewan Menular Strategis
(PHMS) dapat dilihat dari tiga definisi yang ditemukan dalam Bab I (ketentuan
umum), antara lain: 1) Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan
yang disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme,
trauma, keracunan, infestasi parasit, prion, dan infeksi mikroorganisme patogen; 2)
Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan,
hewan dan manusia, serta hewan dan media pembawa penyakit hewan lain melalui
kontak langsung maupun tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti
air, udara, tanah, pakan, peralatan, dan manusia, atau melalui media perantara
biologis seperti virus, bakteri, amuba, atau jamur; dan 3) Penyakit hewan menular
strategis adalah penyakit hewan yang mampu menimbulkan angka kematian
dan/atau angka kesakitan yang tinggi pada hewan, dampak kerugian ekonomi,
keresahan masyarakat, dan/atau bersifat zoonotik. Gangguan kesehatan pada ternak
mampu terjadi akibat adanya infeksi agen penyakit oleh bakteri, virus, parasit, atau
gangguan metabolisme.
Menurut data dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota
Denpasar, terdapat berbagai penyakit yang menyerang sapi bali dan salah satunya

1
2

adalah Bovine Ephemeral Fever (BEF). Bovine Ephemeral Fever atau 3 days
sickness merupakan penyakit demam akut pada sapi dan kerbau yang disebabkan
oleh ephemerovirus dari famili rhabdoviridae dan ditularkan oleh vektor
arthropoda. Laporan kasus BEF di Indonesia pertama kali diduga terjadi pada tahun
1920 di Sumatera dan pada tahun 1979 penyakit yang sama muncul kembali pada
sapi ongole di Tuban dan Lamongan, Jawa Timur (Nururrozi, 2020). Adapun efek
infeksi BEF pada ternak adalah penurunan produktifitas, produksi susu, kondisi
tubuh, gangguan reproduksi, dan periode pemulihan yang lama pada beberapa
hewan (Nururrozi, 2020). Dampak ekonomi dari BEF cukup besar dan terutama
disebabkan oleh terhentinya laktasi pada susu perah, sapi potong yang kurang
bermutu, dan imobilitas kerbau yang digunakan sebagai tenaga pengangkut menjadi
berkurang. BEF juga berdampak pada perdagangan sapi hidup dari zona terinfeksi
dan terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa risiko penyebaran BEF antar
benua melalui pengangkutan hewan atau translokasi vektor dapat meningkat
(Walker, 2016). Secara umum, kasus klinis tersebut mampu menyebabkan
produktifitas ternak berkurang yang selanjutnya akan berdampak terhadap
penurunan pendapatan petani serta mempengaruhi terhadap program Kementerian
Pertanian dalam usaha meningkatkan swasembada pangan yang dalam hal ini
adalah sapi potong.
Laporan kasus ini ditulis dilatarbelakangi karena semakin meningkatnya
populasi sapi bali dan risiko insidensi penyakit BEF di Kota Denpasar. Melalui data
populasi sapi bali, tingkat kejadian kasus, prevalensi, serta morbiditas BEF pada
tahun 2017-2021 di Kota Denpasar, maka diharapkan mampu memberikan
informasi kepada para stakeholder untuk memberikan tindakan penanganan,
pengendalian, dan pencegahan terhadap kasus BEF. Penanganan yang tepat
tentunya akan mempengaruhi terhadap peningkatan keberhasilan pengobatan
sehingga mencegah adanya kematian terhadap sapi bali yang mampu menyebabkan
kerugian ekonomi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka diperoleh rumusan masalah
antara lain sebagai berikut:
3

1. Bagaimana perkembangan kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi


bali tahun 2017-2021 di Kota Denpasar?
2. Berapa prevalensi kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali
tahun 2017-2021 di Kota Denpasar?
3. Berapa morbiditas kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali
tahun 2017-2021 di Kota Denpasar?
4. Bagaimana tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit
Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Kota Denpasar?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan laporan ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perkembangan kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF)
pada sapi bali tahun 2017-2021 di Kota Denpasar.
2. Untuk mengetahui prevalensi kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada
sapi bali tahun 2017-2021 di Kota Denpasar.
3. Untuk mengetahui morbiditas kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada
sapi bali tahun 2017-2021 di Kota Denpasar.
4. Untuk mengetahui tindakan pencegahan dan pengendalian terhadap
penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) di Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini memberikan mafaat terhadap pembaca berupa informasi
mengenai penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF), data epidemiologi berupa
prevalensi dan morbiditas penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali
tahun 2017-2021 di Kota Denpasar, perkembangan kasus penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali tahun 2017-2021 di Kota Denpasar, dan
upaya yang telah dilakukan dalam mencegah penyebaran penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF).
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kota Denpasar


Kota Denpasar merupakan ibu kota Provinsi Bali. Denpasar merupakan kota
terbesar di Kepulauan Nusa Tenggara dan kota terbedar kedua di wilayah Indonesia
Timur setelah Makassar. Pertumbuhan industri pariwisata di Pulau Bali mendorong
Kota Denpasar menjadi pusat kegiatan bisnis. Secara administrasi, Kota Denpasar
memiliki empat kecamatan yang meliputi 27 wilayah desa dan 16 kelurahan.
Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Denpasar Utara, Kecamatan
Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar Selatan.
Tabel 2.1 Nama-Nama Kecamatan, Kelurahan, dan Desa di Kota Denpasar.
(BPS Kota Denpasar, 2016)
No. Kecamatan Status Daftar Desa/Kelurahan
Dangin Puri Kaja, Dangin Puri
Kangin, Dangin Puri Kauh,
Desa Pemecutan Kaja, Ubung Kaja,
1. Denpasar Utara
Dangin Puri Kaja, Penguyangan
Kaja, dan Peguyangan Kangin.
Kelurahan Tonja, Ubung, dan Peguyangan.
Padang Sambian Kelod, Pemecutan
Klod, Dauh Puri Kauh, Dauh Puri
Desa Klod, Dauh Puri Kangin, Tegal
2. Denpasar Barat Harum, Tegal Kertha, dan Padang
Sambian Kaja.
Dauh Puri, Pemecutan, dan Padang
Kelurahan
Sambian.
Dangin Puri Klod, Sumerta Klod,
Kesiman Petilan, Kesiman
Desa
Kertalangu, Sumerta Kaja, Sumerta
3. Denpasar Timur
Kauh, dan Penatih Dangin Puri.
Kesiman, Sumerta, Dangin Puri, dan
Kelurahan
Penatih.

4
5

Pemogan, Sidakarja, Sanur Kauh,


Desa
dan Sanur Kaja.
4. Denpasar Selatan
Pedungan, Sesetan, Serangan,
Kelurahan
Panjer, Renon, dan Sanur.
Kota Denpasar memiliki luas wilayah sebesar 127,78 km 2 (2,27%) dari luas
wilayah Provinsi Bali. Dari keempat kecamatan yang ada, Kecamatan Denpasar
Selatan memiliki wilayah terluas, yaitu 49,99 km 2 (39,12%), sedangkan untuk
wilayah lainnya seperti Kecamatan Denpasar Utara memiliki wilayah seluas 31,12
km2 (23,45%), Kecamatan Denpasar Barat memiliki wilayah seluas 24,13 km 2
(18,88%), dan Kecamatan Denpasar Timur memiliki wilayah terkecil, yaitu seluas
22,54 km2 (17,64%).
Menurut letak geografis, Kota Denpasar berada diantara 08 35’ 31” - 08 44’ 49"
LS dan 115 10’ 23” - 115 16’ 27” BT seperti yang tercantum pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Letak Geografis Kota Denpasar Per Kecamatan.
(BPS Kota Denpasar, 2016)
No. Kecamatan Lintang Selatan Bujur Timur
1. Denpasar 08 040’ 00” - 08 044’ 49” 115 011’ 23” - 115 015’
Selatan 54”
2. Denpasar 08 035’ 31” - 08 040’ 36” 115 012’ 29” - 115 016’
Timur 27”
3. Denpasar Barat 08 036’ 24” - 08 041’ 59” 115 010’ 23” - 115 014’
14
4. Denpasar Utara 08 035’ 31” - 08 044’ 49” 115 012’ 09” -115 014’
39”
Wilayah Kota Denpasar berbatasan degan Kabupaten Badung di sebelah Utara,
Barat, dan Selatan, sedangkan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten
Gianyar dan Selat Lombok, secara rinci batas wilayah Kota Denpasar antara lain:
1. Sebelah Utara: Kecamatan Mengwi dan Abiansemal (Kabupaten Badung).
2. Selah Timur: Kecamatan Sukawati (Kabupaten Gianyar) dan Selat Badung.
3. Sebelah Selatan: Kecamatan Kuta Selatan (Kabupaten Badung) dan Teluk
Benoa.
4. Sebelah Barat: Kecamatan Kuta Utara dan Kuta (Kabupaten Badung).

5
6

Gambar 2.1 Peta wilayah Kota Denpasar.


(Sumber: https://sippa.ciptakarya.pu.go.id/)
2.2 Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS)
Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, istilah Penyakit Hewan Menular Stretegis (PHMS) dapat dilihat
dari tiga definisi yang ditemukan dalam Bab I (ketentuan umum), antara lain:
1) Penyakit hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang disebabkan
oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma,
keracunan, infestasi parasit, prion, dan infeksi mikroorganisme patogen.
2) Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan
hewan, hewan dan manusia, serta hewan dan media pembawa penyakit
hewan lain melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan media
7

perantara mekanis seperti air, udara, tanah, pakan, peralatan, dan manusia,
atau melalui media perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba, atau
jamur.
3) Penyakit hewan menular strategis adalah penyakit hewan yang mampu
menimbulkan angka kematian dan/atau angka kesakitan yang tinggi pada
hewan, dampak kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau bersifat
zoonotik.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026 Tahun 2013
tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis, terdapat 25 penyakit
hewan menular strategis yang telah ada di Indonesia dan penyakit yang belum ada
di Indonesia akan tetapi berpotensi muncul serta menimbulkan kerugian ekonomi,
kesehatan manusia, lingkunagn, dan keresahan masyarakat di Indonesia. Adapun
penyakit tersebut di tampilkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Daftar Nama Penyakit Hewan Menular Strategis di Indonesia.
No. Nama Penyakit No. Nama Penyakit
1. Anthrax 12. Leptospirosis
2. Rabies 13. Paratuberculosis
3. Salmonellosis 14. Penyakit Jembrana
4. Brucellosis (Brucella abortus) 15. Brucellosis (Brucella suis)
5. Highly patogenic Avian 16. Surra
Influenza dan Low Patogenic
Avian Influenza
6. Porcine Reproductive and 17. Toxoplasmosis
Respiratory Syndrome
7. Helminthiasis 18. Classical Swine Fever
8. Haemorrhagic Septicaemia / 19. Swine Influenza Novel
Septicaemia Epizootica (H1N1)
9. Nipah virus encephalitis 20. Campylobacteriosis
10. Infectious Bovine 21. Cysticercosis
Rhinotracheitis
11. Bovine tuberculosis 22. Q Fever
8

Tabel 2.4 Daftar Nama Penyakit Hewan Menular Strategis yang tidak ada di
Indonesia.
No. Nama Penyakit
1. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)
2. Bovine Spongiform Encephalophaty (BSE)
3. Rift Valley Fever (RVF)
Penyakit tersebut sering berubah sifat dari situasi yang endemik di suatu daerah
menjadi mewabah serta menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
Menurut Putra (2006), penggolongan PHMS didasarkan atas tiga kriteria, yaitu:
1. Secara ekonomis penyakit tersebut mengganggu produksi dan reproduksi
ternak (secara signifikan) serta mampu mengakibatkan gangguan
perdangangan.
2. Secara politis penyakit tersebut mampu menimbulkan keresahan pada
masyarakat, umumnya dari kelompok penyakit zoonosis.
3. Secara strategis penyakit tersebut dapat mengakibatkan mortalitas yang
tinggi dan penularannya relatif cepat, sehingga perlu pengaturan lalu lintas
ternak atau produknya secara ketat.
Untuk mengantisipasinya, maka salah satu kebijakan kesehatan hewan adalah
melindungi budidaya ternak dari ancaman wabah penyakit terutama terhadap
penyakit hewan strategis. Kondisi PHMS pada suatu wilayah selalu di monitoring
dengan baik serta dilaporkan setiap tiga tahun. Adapun tindakan Pengendalian dan
Penanggulangan Penyakit Hewan (P3H) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2014 melalui lima tindakan utama, yaitu 1) pengamatan dan
pengidentifikasian penyakit hewan, 2) pencegahan penyakit hewan, 3) pengamanan
penyakit hewan, 4) pemberantasan penyakit hewan, dan 4) pengobatan hewan.
2.3 Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Bovine Ephemeral Fever (BEF) atau yang biasa dikenal dengan demam tiga
hari atau penyakit kaku merupakan penyakit arbovirus (arthropod borne virus)
yang menyerang pada ternak sapi dan kerbau yang tersebar luas di daerah tropis
seperti Indonesia. Dari segi mortalitas, penyakit ini tidak memiliki arti penting
sebab tingkat mortalitasnya hanya 1-2%, tetapi morbiditasnya mencapai 100% dan
mampu mempengaruhi populasi ternak. Meskipun pada kebanyakan kasus penyakit
ini mampu sembuh sendiri secara tiba-tiba dalam tiga hari, tetapi penyakit ini
9

mampu menurunkan produksi dan reproduksi serta membutuhkan waktu yang lama
untuk pemulihan ternak (Akakpo, 2015).
Bovine Ephemeral Fever (BEF) disebabkan oleh bovine ephemeral fever virus
(BEFV) yang termasuk dalam famili Rhaboviridae dan genus Ephemerovirus. BEF
ini disebabkan oleh virus RNA berserat ganda (ds-RNA) yang berukuran 80 x 120
x 140, memiliki amplop, dan berbentu peluru. Hingga saat ini, telah terdeteksi
empat subtipe antigenik BEFV yang mampu bereaksi silang anti genik. Laporan
kasus menunjukkan bahwa belum ada manusia yang mampu terinfeksi BEFV ini
(Spickler, 2016).
Bovine Ephemeral Fever (BEF) merupakan arbovirus, penularan terjadi melalui
vektor arthropoda, hingga saat ini nyamuk dilaporkan sebagai vektor biologis
primer, akan tetapi terdapat indikasi bahwa Cullicoides spp. berpotensi menularkan
di berbagai negara (Kirkland, 2016). Transmisi penularan dari vektor terinfeksi
melalui angin diduga telah menjadi penyebab wabah di beberapa wilayah seperti
Australia dan Jepang (Finlaison et al., 2010; Hayama et al., 2016). Penyakit ini
tidak ditularkan melalui kontak secara langsung, urin, fese, daging, susu, atau
aerosol, akan tetapi penularan meningkat saat transportasi hewan atau translokasi
vektor (Aziz-Boaran et al., 2012; Trinidad et al., 2014).
Masa inkubasi BEF ini adalah 2-4 hari. Adapun tanda klinis yang umumnya
muncul adalah demam bifasik hingga polifasik dengan puncak suhu 40-42℃ yang
terjadi selama 12-18 jam (Spickler, 2016). Tanda klinis umumnya bersifat subklinis
akan tetapi jika lebih parah akan menunjukkan klinis seperti depresi, radang sendi,
dan kaku otot sehingga ternak malas untuk bergerak (Tonbak et al., 2013). Gejala
menciri dari BEF adalah demam, pincang, dan kekakuan alat gerak (Budhi, 2011).
Viremia dalan banyak kasus biasanya berlangsung singkat, yakni tiga atau lima hari
(St. Geogre, 1994). Tanda klinis parah umumnya terjadi pada sapi dewasa
dibandingkan anak sapi (kurang dari enam bulan), hal ini dikarenakan pada
umumnya bersifat subklinis. Dalam beberapa kasus dilaporkan juga bahwa kejadian
abortus dan infertil dapat terjadi hingga enam bulan lamanya, penyakit BEF ini
dapat menginfeksi sapi muda setelah menurunnya antibodi maternal, yaitu usia 3-6
bulan. Sedangkan pada daerah non-endemik, sapi semua umur sangat rentan
terhadap BEG (Nurrozi, 2017).
10

Diagnosis BEF harus dilakukan melalui pemeriksaan lain seperti hematologis,


serologis, dan virologis sehingga mampu menghindari diagnosa banding dengan
gejala yang mirip seperti milk fever (Nurrozi et al., 2020). Untuk konfirmasi setelah
pemeriksaan klinis dapat dilanjutkan dengan uji serologi untuk mengetahui
peningkatan titer antibodi terhadap BEF (Sendow, 2013), seperti isolasi virus,
ELISA, dan VNT (Spickler, 2016). Uji diagnostik molekuler untuk diagnosa BEF
antara lain RT-PCR (Barigye et al., 2017).
Terapi pada kasus ringan jarang diberikan, akan tetapi pada kasus berat terapi
yang diberikan tergantung dengan gejala yang muncul. Pengobatan tidak efektif
apabila dilakukan pada kondisi yang parah, akan tetapi pemberian antibiotik,
antiinflamasi, dan cairan pengganti dinilai cukup efektif untuk mengurangi
terjadinya infeksi sekunder serta mampu mengatasi dehidrasi yang kemungkinan
mampu memperparah kondisi hewan yang akan berakibat fatal (Nururrozi et al.,
2020). Kombinasi antipiretik, antihistamin, dan vitamin menunjukkan tingkat
kesembuhan yang baik pada kasus BEF terhadap sapi potong peranakan ongole
(PO) di Gunung Kidul (Nururrozi et al., 2017). Pada sapi yang tampak kaku otot
dan demam biasanya diberikan antiinflamasi yang dapat ditambahkan kalsium
boroglukonat jika muncul gejala hipokalsemia seperti statis rumen, paresis, serta
hilangnya refleks tubuh (Yeruham et al., 2010).
Adapun tindakan pencegahan yang dapat dilakukan terhadap penyakit BEF
adalah vaksinasi ternak, pengendalian vektor arthropoda, menerapkan kebersihan
ternak serta lingkungannya untuk mengurangi risiko penyebaran, kontrol
pergerakan sapi terinfeksi, dan tindakan karantina ternak baru masuk area bebas
vektor. Vaksinasi BEF dapat dilakukan terhadap sapi yang berumur di atas tiga
bulan dengan interval booster enam bulan hingga satu tahun. Menurut laporan
Sendow (2013), vaksinasi BEF tidak memiliki pengaruh yang tinggi terhadap
pencegahan penyakit BEF di daerah wabah, akan tetapi penting pada daerah
endemik untuk tindakan preventif. Pada hal ini, upaya seperti kontrol vektor dan
biosekuriti menjadi poin utama dalam mengurangi risiko kejadian BEF pada ternak.
Tindakan pencegahan harus dilakukan secara cepat untuk menghindari terjadinya
penyebaran penyakit sehingga tindakan dapat dilakukan lebih awal untuk
menghindari kematian pada sapi lainnya. Menurut Putra (2006), otoritas veteriner
11

di setiap daerah harus menerapkan kewaspadaan dini melalui pemeriksaan dan


pengujian sampel dan/atau specimen secara cepat, respon ceat, dan membangun
kesadaran masyarakat sesuai dengan pedoman kesiagaan darurat veteriner.
2.4 Epidemiologi Bovine Ephemeral Fever (BEF)
Penyakit BEF pertama kali ditemukan pada tahun 1867 pada sapi di Afrika
Tengah. Di Indonesia, penyakit BEF ini dilaporkan telah ada sejak jaman
penjajahan Belanda dan terdapat dugaan kuat bahwa Australia mendapatkan
penyakit BEF dari Indonesia (Astiti, 2010). Pada tahun 1920, di Sumatera pernah
dilaporkan kejadian penyakit ini dan pada tahun 1979 penyakit yang sama muncul
kembali di Kabupaten Tuban. Tingkat mortalitasnya pada saat ini mencapai 73% di
Jawa Timur dan diduga akibat adanya infeksi sekunder bakteri Hemorrhagic
septicaemia (HS). Selanjutnya, penyakit ini bersifat sporadik di beberapa daerah di
Indonesia seperti Nusa Tenggara, Jawa, dan Kalimantan. Pada umumnya penyakit
ini menyebar akibat perpindahan ternak terinfeksi dan vektornya (Yeruham et al.,
2007).
Tingkat mortalitas penyakit BEF dilaporkan rendah, yaitu 1-2% terutama pada
sapi dengan kondisi sehat, namun demikian mortalitas dapat meningkat hingga 30%
pada sapi dengan kondisi gemuk dan tingkat morbiditasnya dapat mencapai 80%
jika terjadi wabah BEF (Momtaz et al., 2012). Tingkat morbiditas bervariasi dan
bergantung pada paparan sebelumnya, usia hewan, dan faktor lainnya. Morbiditas
dapat mendekati 100% pada kejadian outbreak dan terendah adalah 1-10%. Tingkat
mortalitas hingga 10-30% pada sapi jantan, sedangkan secara keseluruhan
umumnya 1-2%, dengan case fatality rate (CFR) 2-20%, dan terkadang dapat lebih
tinggi pada outbreak di Timur Tengah dan Asia (Spickler, 2016). Menurut Winoto
dan Sjafarjanti (2014), prevalensi BEF, yaitu 0,54% selama bulan April 2012-Juni
2013 di Kabupaten Tuban.
Secara geografis, penyakit BEF berhubungan dengan suhu panas, yaitu daerah
tropis dan subtropis seperti Afrika, Australia, dan Asia (Spickler, 2016). Indrawati
(2013) telah melaporkan sebelumnya bahwa BEF lebih banyak terjadi pada daerah
beriklim panas dengan kelembaban tinggi. Indonesia termasuk daerah iklim tropis
dan negara kepulauan yang luas dengan iklim yang bervariasi serta memiliki variasi
biodiversitas termasuk populasi vektor di masing-masing daerah yang sangat
12

beragam. Akibatnya perpindahan vektor dan ternak sangat sering terjadi, selain itu
dapat berdampak pada prevalensi penyakit.
Perubahan iklim dapat mengakibatkan peningkatan jumlah populasi vektor
nyamuk sehingga mampu meningkatkan kejadian BEF pada sapi. Kondisi
lingkungan dan iklim di daerah setempat dapat mempengaruhi habitat vektor serta
mempengaruhi penyebaran penyakit tersebut. Sejumlah bukti yang signifikan
menunjukkan bahwa penyebaran virus BEF dalam wilayah geografis terjadi akibat
perpindahan vektor yang disebarkan melalui angin (Nurrozi et al., 2020), seperti
kasus yang dilaporkan pada kejadian wabah di Australia dan Jepang (Finlaison et
al., 2010; Hayama et al., 2016). Kejadian BEF bersifat musiman di daerah beriklim
sedang sehingga Sebagian besar kasus dilaporkan pada akhir musim panas dan
musim gugur (Yeruham et al., 2010). Akan tetapi menurut Coetzer (1993), penyakit
BEF dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun di daerah tropis dan subtropis.
Indonesia sebagai negara yang berada di garis katulistiwa memiliki iklim tropis dan
mampu menyebabkan siklus hidup vektor dapat berlangsung sepanjang tahun yang
menyebabkan kemungkinan penyakit BEF bersifat endemik (Winoto dan
Sjafarjanto, 2014).
13

BAB III
METODOLOGI

3.1 Metode
Penulisan laporan ini menggunakan metode studi literatur atau kepustakaan.
Pada laporan ini, topik yang dibahas adalah perkembangan penyakit Bovine
Ephemeral Fever (BEF) di Kota Denpasar tahun 2017-2021. Sumber data berasal
dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar selama lima
tahun terakhir, yaitu pada tahun 2017-2021. Refrensi penunjang bersumber dari
jurnal, laporan kasus, laporan dinas, dan internet yang berhubungan dengan topik.
3.2 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan mentabulasi, menyusun dalam bentuk tabel, dan
melakukan perhitungan terhadap jumlah kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF) di
Kota Denpasar yang direkapitulasi dari tahun 2017-2021, hal ini dilakukan untuk
mengetahui persentase kejadian yang selanjutnya hasil analisis disajikan dalam
bentuk grafik. Untuk mengetahui prevalensi dan morbiditas kejadian Bovine
Ephemeral Fever (BEF) di Kota Denpasar tahun 2017-2021 digunakan rumus
sebagai berikut.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡
𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑥 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜
3.3 Lokasi dan Waktu Pengambilan Data
Pengambilan data kejadian Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi bali tahun
2017-2021 di Kota Denpasar dilaksanakan di kantor Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar. Waktu pengambilan data dilaksanakan
ketika mahasiswa melakukan kegiatan PPDH di Dinas Pertanian Tanaman Pangan
dan Hortikultura Kota Denpasar pada tanggal 17-26 November 2021.

13
14

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Data kasus penyakit hewan menular strategis di Kota Denpasar pada tahun 2017-
2021 berdasarkan data yang bersumber dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kota Denpasar disajikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Data Penyakit Hewan Menular Strategis di Kota Denpasar.
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar)
No. Jenis Penyakit Hewan yang Diserang
1. Coccidiosis Sapi, anjing
2. Helminthiasis Sapi, babi, anjing
3. Bovine Ephemeral Fever (BEF) Sapi
4. Scabies Sapi, babi, anjing
5. Streptococcus Babi
6. Colibacillosis Sapi, babi
7. Hog Cholera Babi
Terdapat lima kasus penyakit yang setiap tahunnya menyerang sapi, yaitu
coccidiosis, helminthiasis, bovine ephemeral fever (BEF), scabies, dan colibacillosis
dari tahun 2017-2021. Data kasus penyakit tersebut pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Data Jumlah Kasus Penyakit pada Sapi di Kota Denpasar Tahun 2017-2021.
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar)
Jumlah Kasus per Tahun
No. Jenis Penyakit
2017 2018 2019 2020 2021
1. Coccidiosis 94 70 80 94 26
2. Helminthiasis 574 578 578 542 343
3. Bovine 143 98 81 83 27
Ephemeral
Fever (BEF)
4. Scabies 46 46 54 65 36
5. Colibacillosis - - 11 - 11
Berikut merupakan persentase dari jenis penyakit dan jumlah kasus yang
menyerang sapi di Kota Denpasar tahun 2017-2021.

14
15

PERSENTASE JENIS PENYAKIT DAN JUMLAH


KASUS YANG MENYERANG SAPI DI KOTA
DENPASAR TAHUN 2017-2021
0,59%

6,71% 9,89%
11,73%
Coccidiosis
Helminthiasis
BEF
Scabies
71,05%
Colibacillosis

Gambar 4.1 Diagram jenis penyakit dan jumlah kasus yang menyerang sapi di
Kota Denpasar tahun 2017-2021.
Persentase penyakit berdasarkan diagram jenis penyakit dan jumlah kasus yang
menyerang sapi di Kota Denpasar tahun 2017-2021, yaitu helminthiasis sebanyak
71,05%, BEF sebanyak 11,73%, coccidiosis sebanyak 9,89%, scabies sebanyak
6,71%, dan colibacillosis sebanyak 0,59%. Adapun data populasi sapi, jumlah kasus,
prevalensi, dan morbiditas Bovine Ephemeral Fever disajikan pada Tabel 4.3 dan
Tabel 4.4.
Tabel 4.3 Jumlah Populasi Sapi, Jumlah Kasus, Prevalensi, dan Morbiditas BEF di
Kota Denpasar Tahun 2017-2021.
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar)
No. Tahun Jumlah Jumlah Prevalensi Morbiditas
Populasi Sapi Kasus
1. 2017 7.396 143 1,93% 19,33
2. 2018 6.323 98 1,54% 15,49
3. 2019 6.258 81 1,29% 12,94
4. 2020 6.216 83 1,33% 13,35
5. 2021 3.555 27 0,08% 0,88
Tabel 4.4 Data per Bulan Kasus BEF di Kota Denpasar Tahun 2017-2021.
(Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar)
Jumlah Kasus
No. Bulan Total
2017 2018 2019 2020 2021
1. Januari 8 3 3 2 4 20

15
16

2. Februari 17 8 8 7 7 47
3. Maret 11 5 5 6 3 30
4. April 10 8 8 12 2 40
5. Mei 7 9 9 7 1 33
6. Juni 17 17 10 9 6 59
7. Juli 19 8 8 19 3 57
8. Agustus 14 9 4 4 1 32
9. September 9 6 6 4 0 25
10. Oktober 10 10 10 3 0 33
11. November 10 7 7 7 - 31
12. Desember 11 8 3 3 - 25
Berdasarkan data Tabel 4.3, kasus BEF tetinggi terjadi pada tahun 2017, yaitu
sebanyak 143 kasus dengan prevalensi 1,93% dan morbiditas 19,33. Populasi sapi di
Kota Denpasar mengalami penurunan pada setiap tahunnya, akan tetapi data pada
tahun 2021 merupakan perhitungan hingga bulan Oktober. Kasus BEF cenderung
fluktuaktif dan dinamis, setiap tahunnya selalu terdapat kasus BEF selama tahun 2017-
2021, adapun gambaran tersebut disajikan pada Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.
Pada Tabel 4.4 disajikan data kasus BEF pada setiap bulannya, berdasarkan data
tersebut terlihat bahwa kasus tertinggi terjadi pada Bulan Juni, yaitu 59 kasus,
sedangkan kasus terendah terjadi pada Bulan Januari, yaitu sebanyak 20 kasus. Setiap
bulannya terdapat laporan kasus yang terjadi, hal ini menandakan bahwa penyakit BEF
bersifa endemis di Kota Denpasar. Adapun gambaran kasus BEF pada setiap bulannya
disajikan pada Gambar 4.3 dan tabulasi data setiap tahunnya disajikan pada Gambar
4.4.
17

POPULASI SAPI DI KOTA DENPASAR


TAHUN 2017-2021
8.000 7.396
7.000 6.323 6.258 6.216
6.000
Jumlah Populasi

5.000

4.000 3.555

3.000

2.000

1.000

0
2017 2018 2019 2020 2021

Gambar 4.2 Grafik populasi sapi pada tahun 2017-2021 di Kota Denpasar.

REKAPITULASI JUMLAH KASUS


BOVINE EPHEMERAL FEVER
SETIAP BULAN PADA TAHUN 2017 -2021
DI KOTA DENPASAR
70
59 57
60
Jumlah Kasus

47
50 40
40 30 33 32 33 31
30 25 25
20
20
10
0

Gambar 4.3 Grafik rekapitulasi jumlah kasus BEF setiap bulan pada tahun 2017-
2021 di Kota Denpasar.
18

REKAPITULASI JUMLAH KASUS


BOVINE EPHEMERAL FEVER
PADA TAHUN 2017-2021
DI KOTA DENPASAR
160
143
140
120
Jumlah Kasus

98
100
81 83
80
60
40 27
20
0
2017 2018 2019 2020 2021

Gambar 4.4 Grafik rekapitulasi jumlah kasus BEF pada tahun 2017-2021 di Kota
Denpasar.
PREVALENSI KASUS BOVINE EPHEMERAL FEVER
DI KOTA DENPASAR TAHUN 2017-2021
2,50%

1,93%
2,00%
1,54%
1,50% 1,29% 1,33%
Prevalensi

1,00%

0,50%
0,08%
0,00%
2017 2018 2019 2020 2021

Gambar 4.5 Grafik prevalensi kasus BEF pada tahun 2017-2021 di Kota
Denpasar.
19

MORBIDITAS KASUS BOVINE EPHEMERAL FEVER


DI KOTA DENPASAR TAHUN 2017-2021
25

19,33
20
15,49
15 12,94 13,35
Morbiditas

10

5
0,88
0
2017 2018 2019 2020 2021

Gambar 4.6 Grafik morbiditas kasus BEF pada tahun 2017-2021 di Kota
Denpasar.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan tahunan Dinas Pertanian Tanaman
Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar, dapat dilihat pada Tabel 4.1 bahwa terdapat
beberapa penyakit yang menyerang sapi selama tahun 2017-2021 di Kota Denpasar,
diantaranya adalah coccidiosis, helminthiasis, bovine ephemeral fever (BEF), scabies,
dan, colibacillosis. Adapun persentase terjadinya kasus Bovine Ephemeral Fever (BEF)
dibandingkan kasus lainnya selama tahun 2017-2021 adalah sebesar 11,73%.
Bovine Ephemeral Fever (BEF) atau yang biasa dikenal dengan demam tiga hari
atau penyakit kaku merupakan penyakit arbovirus yang menyerang ternak sapi dan
tersebar luas di daerah tropis seperti Indonesia. Denpasar merupakan salah satu kota di
Provinsi Bali yang memiliki potensi peternakan sapi dan berisiko terhadap penyakit
BEF. Berdasarkan Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 yang diperoleh dari laporan tahunan Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar, kasus BEF masih
ditemukan setiap tahunnya sejak 2017-2021. Laporan kasus BEF tertinggi terjadi pada
tahun 2017, yaitu sebanyak 143 kasus, kemudian terus mengalami penurunan hingga
Bulan Oktober tahun 2021 menjadi sebanyak 27 kasus. Menurut data yang didapatkan
dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar, jumlah populasi
sapi tertinggi ada pada tahun 2017, yakni sebanyak 7.396 ekor, selanjutnya jumlah
populasi sapi terus mengalami penurunan hingga Bulan Oktober 2021 menjadi sebanyak
3.555 ekor, hal ini menunjukkan bahwa populasi sapi selaras dengan jumlah
20

perkembangan kasus BEF yang terjadi. Penurunan jumlah populasi sapi yang terjadi
kemungkinan dikarenakan pandemi Covid-19 yang menyebabkan krisis ekonomi
sehingga banyak pihak yang menjual sapinya untuk menunjang kebutuhan ekonomi
sehari-hari.
Prevalensi kasus BEF di Kota Denpasar bersifat dinamis, dimana pada setiap
tahunnya selalu terdapat laporan kasus dengan prevalensi pada tahun 2017 sebesar
1,93%; tahun 2018 sebesar 1,54%; tahun 2019 sebesar 1,29%; tahun 2020 sebesar
1,33%; dan tahun 2021 sebesar 0,08%. Pada tahun 2017 merupakan prevalensi tertinggi
dan pada tahun berikutnya mengalami penurunan hingga tahun 2021. Begitu juga
dengan morbiditasnya, pada tahun 2017 sebesar 19,33; tahun 2019 sebesar 15,49; tahun
2020 sebesar 12,94; dan tahun 2021 sebesar 0,88. Sama seperti prevalensi, pada tahun
2017 juga merupakan angka morbiditas tertinggi dan selanjutnya terus menurun hingga
tahun 2021 menjadi sebesar 0,88. Berdasarkan hasil laporan, kasus BEF di Kota
Denpasar masih bersifat fluktuasi, yang mana setiap tahunnya kasus mengalami
peningkatan dan penurunan. Hal tersebut menyebabkan Kota Denpasar menjadi daerah
enzootik penyakit BEF pada sapi. Endemik merupakan penyakit yang muncul dan
menjadi karakteristik di wilayah tertentu (Djafri, 2015). Sejalan dengan pendapat
Sjafarjanto (2010), dikarenakan iklim Indonesia yang tropis menguntungkan untuk
keberlangsungan hidup vektor sepanjang tahun, sehingga penyakit Bovine Ephemeral
Fever (BEF) dapat diperkirakan bersifat enzootic.
Prevalensi dan morbiditas yang berfluktuaktif setiap tahunnya kemungkinan
berhubungan dengan kondisi lingkungan, agen, dan host (inang). Vektor nyamuk telah
terbukti memainkan peranan penting dalam penyebaran infeksi BEF. Nyamuk dari
golongan Culicoides sp., Aedes sp., dan Culex sp. mampu bertindak sebagai vektor
penyakit, Populasi nyamuk terkait kondisi lingkungan dari peternakan dan faktor
lingkungan seperti curah hujan serta temperatur sering berhubungan dengan tinggi
rendahnya kasus yang ditularkan oleh nyamuk (Kiarie-Makara et al., 2015), hal ini
dikarenakan curah hujan menjadi indicator yang sangat berperan dalam perkembangan
telur, larva, dan pupa (Eisen et al., 2014). Penyebab nyamuk menjadi vektor penyakit,
hal ini dikarenakan penyakit dipindahkan dari sapi sakit menuju sapi sehat melalui
gigitan vektor (Indrawati, 2013).
21

Berdasarkan data jumlah kasus BEF yang didapatkan dari Dinas Pertanian
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar tahun 2017-2021, dapat dilihat bahwa
terjadi penurunan kasus pada setiap tahunnya. Melalui hal ini dapat disimpulkan bahwa
peran Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar dalam upaya
pencegahan maupun penurunan angka kasus BEF telah efektif. Pelaksanaan tatalaksana
pemeliharaan ternak telah berjalan dengan baik, yaitu melalui penerapan program KIE
(Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) kepada masyarakat yang khususnya peternak dan
simantri. Program KIE yang dilaksanakan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kota Denpasar adalah berupa sosialisasi kepada peternak dan simantri
terkait tanda klinis penyakit BEF, biosekuriti, dan manajemen sanitasi. Sosialisasi ini
bertujuan untuk mencegah dan mengurangi kasus BEF pada sapi di Kota Denpasar yang
mampu menimbulkan ketugian ekonomi bagi para peternak akibat dari penurunan
produktifitas dan reproduksi dari sapi yang terinfeksi.
Vaksinasi pada peternak mampu meningkatkan kekebalan terhadap penyakit BEF.
Walker dan Klement (2015) menyatakan bahwa untuk meningkatkan efikasi dan
kemampuan perlindungan dari vaksin BEF, maka diperlukan vaksinasi booster dengan
interval enam bulan hingga satu tahun. Upaya pencegahan penyakit BEF lainnya adalah
melalui manajemen pemeliharaan yang baik dan ditunjang dengan sanitasi serta higiene
yang baik, melalui hal ini maka mampu mendukung ternak dengan kondisi kesehatan
dan daya tahan tubuh yang prima, hal ini sangat membantu mengatasi gangguan di awal
musim penghujan maupun awal musim panas. Pengendalian nyamuk tentunya menjadi
salah satu hal yang sangat penting dalam rangka mencegah kasus tertular yang
disebabkan oleh vektor. Beberapa metode pengendalian vektor yang telah banyak
diketahui dan dilakukan termasuk manajemen lingkungan, pengendalian biologis,
pengendalian kimiawi menggunakan insektisida dan larvasida, partisipasi masyarakat
berupa 3M dan PSN, serta perlindungan individu dengan menggunakan repellent atau
obat nyamuk (Fitriana et al., 2018).
Menurut Nururrozi et al. (2020), pengendalian dan kontrol penyakit BEF sangat
tergantung pada pembatasan tuang gerak ternak, karantina ternak yang terduga maupun
pendertita, pelaksanaan karantina ternak baru pada area bebas vektor, kontrol vektor,
vaksinasi, dan pengobatan hewan sakit. Selain lingkungan yang harus diperhatikan,
termasuk juga jumlah ternak pada satu kandang yang tidak terlalu padat serta alur
22

pembuangan air dan kotoran yang baik. Melalui hal ini maka dapar meminimalkan
media perkembangbiakan nyamuk vektor dan penyebaran infeksi BEF pada ternak
(Yeruham et al., 2007).
BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kota Denpasar, maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain
sebagai berikut:
1. Prevalensi Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi di Kota Denpasar
berdasarkan data dari tahun 2017-2021 bersifat fluktuaktif, yaitu berada
pada rentangan 0,08%-1,93%.
2. Morbiditas Bovine Ephemeral Fever (BEF) pada sapi di Kota Denpasar
berdasarkan data dari tahun 2017-2021 bersifat fluktuaktif, yaitu berada
pada rentangan 0,88-19,33.
3. Manajemen lingkungan, sanitasi kandang, dan perubahan iklim
berpengaruh terhadap peningkatan populasi vektor yang akhirnya mampu
menyebabkan peningkatan kasus BEF pada ternak.
4. Program yang dilakukan oleh Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Kota Denpasar, yaitu melalui pelaksanaan sosialisasi dan
edukasi kepada peternak mengenai pentingnya sanitasi kandang yang baik
untuk mencegah serta mengurangi tingkat terjadinya kasus BEF pada sapi.
5.2 Saran
Diharapkan data populasi tiap hewan dan data epidemiologi kasus penyakit
hewan serta penyakit hewan menular strategis di Kota Denpasar lebih tersedia
setiap tahunnya. Sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah surveilans dan
pemberantasan penyakit baik dalam pencegahan, pegawasan, dan pemberantasan
terutama pada penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF).

23
DAFTAR PUSTAKA

Akakpo AJ. 2015. Three-Days Fever. Rev. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 34(2): 533-538.
Astiti LGS. 2010. Petunjuk Praktis Manajemen Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit pada Ternak Sapi. ntb.litbang.pertanian.go.id/ind/
pu/psds/Penyakit.pdf?secure=true. Diakses pada 5 November 2021.
Aziz-Boaron O, Brettschneider S, King R, Gelman B, Klement E. 2015.
Seroprevalence of Bovine Ephemeral Fever Virus in Domesticated and
Wildlife Species during Epidemic and Inter‐epidemic Periods (2000–2009)
in Israel. Transboundary and Emerging Diseases 62(2): 183-187.
Barigye R, Melville LF, Davis S, Wlash S, Hunt N, Hunt R. 2016. Kinetics of
Selected Plasma Cytokines During Innate-Adaptive Immune Response
Transition in Adult Cattle Infected with Bovine Ephemeral Fever Virus.
Vet. Microbiol 186:111-116.
Budhi S. 2011. Analisis Penyebab dan Faktor Resiko Terjadinya Pincang pada Sapi
Perah di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Jurnal Sain
Veteriner 29(2): 71-76.
Coetzer JAW. 1993. The Diagnosis and Differential Diagnosis of Bovine
Ephemeral Fever in Southern Africa. In: St George TD, Uren MF, Young
PL, Hoffmann D (eds) Proceedings of the 1st International Symposium on
Bovine Ephemeral Fever and Related Rhabdoviruses, Beijing, August
1992. Australian Centre for International Agricultural Research
Proceedings 44: 70-73.
Djafri D. 2015. Pemodelan Epidemiologi Penyakit Menular. JAKMA 10 (1): 1-2.
Eisen L, Monaghan AJ, Lozano-Fuentes S, Steinhoff DF, Hayden MH, Bieringer
J. 2014. The Impact of Temperature on The Bionomics of Aedes
(Stegomyia) Aegypti, with Special Reference to The Cool Geographic
Range Margins. Journal of Medical Entomology 51(3): 496-516.
Finlaison DS, Read AJ, Kirkland PD. 2010. An Epizootic of Bovine Ephemeral
Fever in New South Wales in 2008 Associated with Long‐Distance
Dispersal of Vektors. Aust. Vet. J. 88(8): 301-306.
Fitriana I, Desy LD, Sigit S, Dewi SY, Ernesia I, Defriana LC, Rifqi Z, Dwi
SWDW, Budiwati P, Nurhayati I, Tantowijoyo W. 2018. Hubungan Antara
Kondisi Cuaca Dengan Dinamika Populasi Nyamuk di Kota Yogyakarta.
Zoo Indonesia 27(2): 82-90.
Kendran AAS, Damriyasa IM, Dharmawan NS, Ardana IBK, Anggreni LD. 2012.
Profil Kimia Klinik Darah Sapi Bali. Jurnal Veteriner 13(4): 410-415.
Sjafarjanto A. 2010. Diktat Kuliah Ilmu Penyakit Hewan Besar II. Surabaya:
Program Studi Diploma Tiga Kesehatan Hewan dan Masyarakat Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Wijaya Kusuma.
Yeruham I, Gur Y, Braverman Y. 2007. Retrospective Epidemiological
Investigation of An Outbreak of Bovine Ephemeral Fever in 1991 Affecting
Dairy Cattle Herds on The Mediterranean Costal Plain. Vet J, 173: 192-195.

24
25

Hayama Y, Moriguchi S, Yanase T, Suzuki M, Niwa T, Ikemiyagi K, Nitta Y,


Yamamoto T, Kobayashi S, Murai K, Tsutsui T. 2016. Epidemiological
Analysis of Bovine Ephemeral Fever in 2012–2013 in The Subtropical
Islands of Japan. BMC Veterinary Research 12(47): 1-13.
Indrawati S. 2013. Bovine Ephemeral Fever, Penyakit Hewan Menular Yang
Terkait dengan Perubahan Lingkungan. Balai Besar Penelitian Veteriner.
Kiarie-Makara MW, Ngumbi PM, Lee DK. 2015. Effects of Temperature on The
Growth and Development of Culex Pipiens Complex Mosquitoes (Diptera:
Culicidae). IOSR Journal of Pharmacy and Biological Sciences 10, Issue 6
Ver. II (Nov - Dec. 2015), Pp. 01-10.
Kirkland P. 2016. Bovine Ephemeral Fever: Three Days Sickness. The Center for
Food Security and Public Health. Ames: 1-4.
Momtaz H, Nejat S, Moazeni M, Riahi M. 2012. Molecular Epidemiology of
Bovine Ephemeral Fever Virus in Cattle and Buffaloes in Iran. Revue Méd.
Vét. 163 (8-9): 415-418.
Nururrozi A, Fitranda M, Indarjulianto S, Yanuartono. 2017. Bovine Ephemeral
Fever pada Ternak Sapi Potong di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta
(Case Report). Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 27(1): 101-106.
Nururrozi A, Indarjulianto S, Yanuartono, Purnamaningsih H, Rahardjo S,
Rusmihayati. 2020. Bovine Ephemeral Fever (BEF): Penyebab,
Epidemiologi, Diagnosa, dan Terapi. Jurnal Sain Veteriner 38 (1): 77-91.
Putra AAG. 2006. Situasi Penyakit Hewan Menular (PHM) Strategis pada
Ruminansia Besar: Surveilans dan Monitoring. Workshop Nasional-
Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis Pada Ternak
Ruminansia Besar. Jakarta, 12 Juli, 2006
Sendow I. 2013. Bovine Ephemeral Fever, Penyakit Hewan Menular yang Terkait
dengan Perubahan Lingkungan. WARTAZOA 23 (2): 76-83.
Spickler, Anna R. 2016. Bovine Ephemeral Fever.
http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/ factsheets.php. Diakses pada 7
November 2021.
St. George TD. 1994. Bovine Ephemeral Fever. In: Coetzer JAW, Th homson GR,
Tustin RC, eds. Infectious Diseases of Livestock with Special Reference to
South Africa. Capetown, South Africa: Oxford University Press, Chapter
49, Pp. 553-562.
Tonbak S, Berber E, Yoruk MD, Azkur AK, Pestil A, Bulut H. 2013. A Large Scale
Outbreak of Bovine Ephemeral Fever in Turkey. J. Vet. Med. Sci. 75(11):
1511-1514.
Trinidad L, Blasdell KR, Joubert DA, Davis SS, Melville L, Kirkland PD,
Coulibaly F, Holmes EC, Walker PJ. 2014. Evolution of Bovine Ephemeral
Fever Virus in the Australian Episystem. Journal of Virology 88 (3): 1525-
1535.
Walker PJ, Klement E. 2015. Epidemiology and Control of Bovine Ephemeral
Fever. Vet Res 46 (124): 1-19
26

Winoto S, Sjafarjanto A. 2014. Kejadian Penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF)


pada Sapi Potong Peranakan Limousin di Kecamatan Soko Kabupaten
Tuban. VITEK: Bidang Kedokteran Hewan 4(1): 1-14.
Yeruham I, Van Ham M, Stram Y, Friedgut O, Yadin H, Mumcuoglu KY,
Braverman Y. 2010. Epidemiological Investigation of Bovine Ephemeral
Fever Outbreaks in Israel. Veterinary Medicine International (Article ID
290541): 1-5.
LAMPIRAN
28

Lampiran 1. Perhitungan Prevalensi Kasus Penyakit BEF di Kota Denpasar


Tahun 2017-2021

Rumus prevalensi:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡


𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

1. Tahun 2017
143
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2017 = 𝑥 100%
7.396
= 1,93%
2. Tahun 2018
98
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2018 = 𝑥 100%
6.323
= 1,54%
3. Tahun 2019
81
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2019 = 𝑥 100%
6.258
= 1,29%
4. Tahun 2020
83
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2020 = 𝑥 100%
6.216
= 1,33%
5. Tahun 2021
27
𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2021 = 𝑥 100%
3.555
= 0,08%
29

Lampiran 2. Perhitungan Morbiditas Kasus Penyakit BEF di Kota Denpasar


Tahun 2017-2021

Rumus morbiditas:

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡


𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑥 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

1. Tahun 2017
143
𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2017 = 𝑥 1000
7.396
= 19,33
2. Tahun 2018
98
𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2018 = 𝑥 1000
6.323
= 15,49
3. Tahun 2019
81
𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2019 = 𝑥 1000
6.258
= 12,94
4. Tahun 2020
83
𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2020 = 𝑥 1000
6.216
= 13,35
5. Tahun 2021
27
𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑡𝑎ℎ𝑢𝑛 2021 = 𝑥 1000
3.555
= 0,88
LAPORAN PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGIS (PHMS)
BOVINE EPHEMERAL FEVER (BEF)
PADA TAHUN 2017-2021 DI KOTA DENPASAR

Oleh:
Ni Putu Permata Dewi Maheswari
2109611002
PPDH 19A
LABORATORIUM KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
PENDAHULUAN
Melalui data yang didapatkan,
maka diharapkan mampu
Sapi bali memiliki berbagai memberikan informasi kepada
manfaat bagi masyarakat para stakeholder untuk
dalam kehidupan sehari-hari. memberikan tindakan
penanganan, pengendalian, dan
pencegahan kasus BEF.

Berdasarkan data dari Dinas


Dalam proses produksi ternak
Pertanian Tanaman Pangan dan
terdapat berbagai fakor
Hortikultura Kota Denpasar,
penghambat salah satunya
salah satu penyakit yang
faktor penyakit.
menyerang adalah BEF.
METODOLOGI
METODE Metode studi literatur atau kepustakaan.

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡


𝑃𝑟𝑒𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑠𝑖 = 𝑥 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜
ANALISIS DATA
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑘𝑖𝑡
𝑀𝑜𝑟𝑏𝑖𝑑𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝑥 1000
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑜𝑝𝑢𝑙𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑖𝑠𝑖𝑘𝑜

✓ Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan

LOKASI DAN WAKTU Hortikultura Kota Denpasar


✓ 17-26 November 2021
HASIL DAN
PEMBAHASAN
PERSENTASE JENIS PENYAKIT DAN JUMLAH KASUS
YANG MENYERANG SAPI DI KOTA DENPASAR TAHUN 2017-2021

0,59%

6,71% 9,89%

11,73%

Coccidiosis
Helminthiasis
BEF
Scabies
Colibacillosis

71,05%
P OP UL A S I S A P I D I KOTA D E NPA S A R
TA HUN 2 0 1 7 - 2 02 1
8.000
7.396

7.000
6.323 6.258 6.216
6.000

5.000
Jumlah Populasi

4.000
3.555

3.000

2.000

1.000

0
2017 2018 2019 2020 2021
R E KA P I T UL A S I J UM L A H KA S US R E KA P I T UL A S I J UM L A H KA S US
BOVINE EPHEM ERAL FEVER BOVINE EPHEM ERAL FEVER
S E T I A P BUL A N PA DA PA DA TA HUN 2 0 1 7 - 2 0 21
TA HUN 2 0 1 7 - 2 02 1 D I KOTA D E NPA S A R
DI KOTA DE NPAS AR 160

70 143
140
59
60 57
120
50 47
98
100
Jumlah Kasus

40

Jumlah Kasus
40 83
33 33 81
32 31 80
30
30
25 25
20 60
20

40
10 27

0 20

0
2017 2018 2019 2020 2021
PREVALENSI KASUS BOVINE EPHEMERAL FEVER
DI KOTA DENPASAR TAHUN 2017-2021
2,50%

2,00% 1,93%

1,54%
1,50%
1,33%
1,29%
Prevalensi

1,00%

0,50%

0,08%

0,00%
2017 2018 2019 2020 2021
MORBIDITAS KASUS BOVINE EPHEMERAL FEVER
DI KOTA DENPASAR TAHUN 2017-2021
25

19,33
20

15,49
15
12,94 13,35
Morbiditas

10

0,88

0
2017 2018 2019 2020 2021
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Saran

1. Prevalensi dan morbiditas Bovine Ephemeral Fever Diharapkan data populasi tiap hewan dan data
(BEF) pada tahun 2017-201 bersifat fluktuaktif. epidemiologi kasus penyakit hewan serta penyakit

2. Manajemen lingkungan, sanitasi kandang, dan hewan menular strategis di Kota Denpasar lebih

perubahan iklim berpengaruh terhadap peningkatan tersedia setiap tahunnya. Sehingga data yang

populasi vector yang akhirnya mampu menyebabkan diperoleh dapat mempermudah surveilans dan

peningkatan kasus BEF pada ternak. pemberantasan penyakit baik dalam pencegahan,
pegawasan, dan pemberantasan terutama pada
3. Program KIE yang dilakukan oleh Dinas Pertanian
penyakit Bovine Ephemeral Fever (BEF).
Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Denpasar
berjalan dengan baik sehingga berdampak terhadap
jumlah kasus pada tahun 2017-2021.
- Terima Kasih -

Anda mungkin juga menyukai