Anda di halaman 1dari 22

Referat

RABIES

Diajukan sebagai salah satu syarat kepaniteraan klinik


di Departemen Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Disusun oleh:
Maria Lisa Wijaya, S.Ked. 04054821719020
Andini Karlina CH, S.Ked. 04054821820126

Pembimbing:
dr. Selly Marisdina, Sp.S

DEPARTEMEN NEUROLOGI
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

RABIES

Oleh:
Maria Lisa Wijaya, S.Ked. 04054821719020
Andini Karlina CH, S.Ked. 04054821820126

Laporan kasus ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Neurologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 19 Februari s.d. 25
Maret 2018

Palembang, Maret 2018

dr. Selly Marisdina, Sp.S

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Rabies”. Laporan kasus ini disusun
sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik Senior di Departemen Neurologi
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Selly
Marisdina, SpS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Palembang, Maret 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................ iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2
2.1 Definisi ................................................................................................. 2
2.2 Etiologi.................................................................................................. 2
2.3 Epidemiologi ......................................................................................... 3
2.4 Patogenesis............................................................................................ 5
2.5 Manifestasi Klinis ................................................................................. 7
2.6 Diagnosis .............................................................................................. 9
2.7 Penatalaksanaan .................................................................................. 11
2.8 Pencegahan ......................................................................................... 15
2.9 Komplikasi .......................................................................................... 16
2.10 Prognosis ............................................................................................. 16
BAB III KESIMPULAN ........................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan sistem saraf pusat
(otak) disebabkan oleh virus rabies. Virus rabies tersebut termasuk dalam
kelompok genus Lyssavirus, famili Rhabdoviridae. Penyakit infeksi ini ditularkan
oleh hewan ke manusia melalui pajanan atau Gigitan Hewan Penular Rabies
(GHPR) yaitu anjing, kucing, kera, musang, dan anjing liar.1 Rabies merupakan
penyakit zoonosis yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan
manusia. Virus rabies ditransmisikan melalui air liur hewan terinfeksi rabies dan
umumnya masuk ke tubuh melalui infiltrasi air liur yang mengandung virus dari
hewan rabies ke dalam luka (misalnya goresan), atau dengan paparan langsung
permukaan mukosa air liur dari hewan yang terinfeksi (misalnya gigitan). Virus
rabies tidak bisa menyusup/melewati kulit dalam kondisi utuh (tanpa luka). Begitu
sampai ke otak, virus rabies dapat bereplikasi lebih lanjut, sehingga menghasilkan
tanda klinis pada pasien.2
Prevalensi penyakit rabies bertambah terus setiap tahunnya. Rabies pada
manusia ditemukan di 150 negara dan wilayah di semua benua, kecuali Antartika.
Perkiraan secara global menunjukkan bahwa kematian manusia (disebabkan
endemik rabies dengan penularan oleh anjing) merupakan yang tertinggi di Asia,
dengan insiden dan kematian tertinggi dilaporkan di India, diikuti oleh Afrika.2 Di
Indonesia, berdasarkan data pada tahun 2015 dari Ditjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit (P2P), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tular Vektor dan Zoonotik terdapat 80.403 kasus gigitan hewan penular Rabies
(GHPR).3 Di Indonesia sebanyak 86 orang meninggal karena rabies pada tahun
2016.2
Sampai saat ini belum terdapat obat yang efektif untuk menyembuhkan
rabies. Akan tetapi rabies dapat dicegah dengan pengenalan dini gigitan hewan
penular rabies dan pengelolaan/penatalaksanaan kasus gigitan/pajanan sedini
mungkin. Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka
gigitan sesegera mungkin. Daerah yang digigit dibersihkan, dan dapat diberikan
suntikan vaksin rabies.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Rabies berasal dari kata latin “rabere” yang berarti gila. Rabies atau
yang sering disebut dengan penyakit anjing gila merupakan penyakit
menular akut yang menyerang susunan saraf pusat mamalia yang
disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan hewan pembawa
virus.3
Rabies bersifat zoonosis artinya penyakit tersebut dapat menular dari
hewan ke manusia dan menyebabkan kematian pada manusia dengan Case
Fatality Rate (CFR) 100%. Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan
berdarah panas termasuk manusia dan burung dan dikeluarkan bersama air
liur hewan yang terinfeksi kemudian disebarkan melalui luka gigitan atau
jilatan.

2.2. ETIOLOGI
Virus Rabies dan jenis virus lainnya terdiri dari dua komponen dasar,
yaitu sebuah inti dari asam nukleat yang disebut genom dan yang
mengelilingi protein yang disebut kapsid. Virus Rabies merupakan virus
RNA, termasuk dalam familia Rhabdoviridae, genus Lyssa. Rhabdovirus
berasal dari bahasa Yunani yaitu Rhabdo yang berarti berbentuk batang dan
Virus yang berarti virus. Virus Rabies berbentuk peluru dengan salah satu
ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat
atau elip (lonjong) dengan ukuran panjang 180nm dan diameter 75 nm serta
kode genetik RNA rantai tunggal. Partikel dikelilingi oleh selubung selaput
dengan duri yang menonjol dengan panjang 10 nm dan terdiri dari
glikoprotein tunggal. Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah,
memiliki membran selubung (amplop) di bagian luarnya yang
pada permukaannya terdapat tonjoloan (spikes) yang jumlahnya lebih dari

2
500 buah. Pada membran selubung (amplop) terdapat kandungan lemak
yang tinggi (glikoprotein).1,4

Gambar 1. Struktur Virus Rabies1

Virus Rabies peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak,


alkohol 70%, yodium, fenol, dan kloroform. Virus dapat bertahan hidup
selama satu tahun dalam larutan gliserin 50%. Pada suhu 600C, virus akan
mati dalam waktu satu jam dan dalam penyimpanan kering beku (freeze
dried) atau pada suhu 40C dapat tahan selama beberapa tahun. Virus ini
merupakan jenis virus yang mematikan. Kapsid melindungi genom dan juga
memberikan bentuk pada virus. Virus akan mati dengan deterjen, sabun,
etanol 45%, dan solusio iodium.
Replikasi virus pada sel penjamu dapat dibedakan menjadi tiga fase.
Fase pertama, diawali fusi envelope virus dengan membran sel, kemudian
terjadi interaksi glikoprotein virus dengan reseptor permukaan spesifik pada
sel penjamu, selanjutnya melalui mekanisme endositosis, virus berpenetrasi
ke dalam sitoplasma. Fase kedua, terjadi transkripsi dan replikasi genome
virus dan sintesis protein virus. Fase ketiga, terjadi pembentukan dan
pelepasan virus dari sel yang terinfeksi.1

3
2.3. EPIDEMIOLOGI
Penyakit rabies endemik di semua benua, kecuali Antartika. Namun
95% kasus rabies dilaporkan dari benua Asia dan Afrika. Diperkirakan
55.000 orang di dunia meninggal akibat rabies setiap tahunnya dan menurut
WHO lebih dari 99% kasus rabies pada manusia terjadi akibat dari gigitan
anjing yang terinfeksi. Sekitar 30-60% diantaranya adalah anak-anak usia
dibawah 15 tahun dan 40% terjadi pada anak-anak <15 tahun, sedangkan di
Vietnam rata-rata 9.000 kasus per tahun kematian akibat rabies, India rata-
rata 20.000 kasus per tahun, Filipina 200-300 kasus per tahun dan di
Indonesia rata-rata 131 kasus per tahun dari data 5 tahun terakhir.2,3
Prevalensi penyakit rabies bertambah terus setiap tahunnya. Rabies
pada manusia ditemukan di 150 negara dan wilayah di semua benua, kecuali
Antartika. Perkiraan secara global menunjukkan bahwa kematian manusia
(disebabkan endemik rabies dengan penularan oleh anjing) merupakan yang
tertinggi di Asia, dengan insiden dan kematian tertinggi dilaporkan di India,
diikuti oleh Afrika. Saat ini terdapat sembilan provinsi di Indonesia
dinyatakan sebagai daerah bebas rabies, sedangkan sebanyak 24 provinsi
lainnya masih endemis. Dari 9 provinsi tersebut, sebanyak lima provinsi di
antaranya bebas historis (Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua
Barat, dan Papua), dan kemudian 4 provinsi lainnya dinyatakan bebas rabies
(Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan DKI Jakarta). Seluruh
provinsi di Indonesia diminta untuk berkomitmen dalam pengendalian dan
penanggulangan rabies demi mencapai “Indonesia Bebas Rabies 2020”.2
Rabies dilaporkan pertama kali oleh Esser pada tahun 1884, yaitu
pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Selanjutnya kasus rabies pada
kerbau dilaporkan pada tahun 1889, kemudian rabies pada anjing dilaporkan
oleh Penning tahun 1890 di Tangerang. Kasus rabies pada manusia
dilaporkan oleh E.V. de Haan pada seorang anak di Desa Palimanan,
Cirebon tahun 1894. Selanjutnya rabies dilaporkan semakin menyebar ke
beberapa wilayah di Indonesia. 2
Di Indonesia, berdasarkan data dari Ditjen Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit (P2P), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian

4
Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik tahun 2013 terjadi penurunan kasus
GHPR dibandingkan tahun 2012 dari 84.750 kasus menjadi 69.136 kasus
pada tahun 2013 dan meningkat perlahan selama dua tahun kemudian serta
kembali menurun pada tahun 2016 menjadi 64.774 kasus GPHR. Sedangkan
kasus kematian akibat rabies (Lyssa) cenderung mengalami penurunan
selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2016 terdapat kasus Lyssa sebanyak
86 kasus dengan kejadian terbanyak di provinsi Sulawesi Utara sebanyak 21
kasus.2

2.4. PATOGENESIS
Virus rabies bersifat sangat neurotropik. Virus rabies masuk melalui
kulit yang terluka atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata,
mulut, anus. Virus tidak dapat masuk melalui kulit yang intak. Patogenesis
infeksi virus rabies melewati 4 tahap proses yaitu: replikasi virus pada
lokasi paparan, penyebaran ke susunan saraf pusat, penyebaran di dalam
susunan saraf pusat, dan penyebaran dari susunan saraf pusat.1
Setelah virus diinokulasikan pada tempat gigitan, glikoprotein
virus akan berikatan dengan reseptor nikotinik (asetilkolin) pada permukaan
sel saraf dan juga berikatan dengan reseptor lain, molekul adhesi sel neural,
yang terdapat pada membran presinap. Pada paparan perinhalasi, virus
masuk melalui jalur nasal dan mencapai otak melalui jalur olfaktorik. Pada
paparan per-oral, transmisi terjadi melalui kerusakan integritas mukosa
saluran cerna. Pada tempat inokulasi tersebut virus kemudian
memperbanyak diri.1,4
Dari tempat inokulasi, virus menyebar secara retrograde melalui
sel saraf motorik dan sensorik, menuju saraf pusat dengan kecepatan 15 -
100 mm/hari dan menginfeksi batang otak, diensefalon dan hipokampus. 1,4
Setelah mencapai sistem saraf pusat, virus kemudian menyebar secara
antegrode menuju beberapa organ melalui susunan saraf somatik dan
otonom terutama melalui jalur parasimpatis yang bertanggungjawab dengan
infeksi pada kelenjar ludah, kornea, kulit,jantung, pankreas, medulla

5
adrenalis dan organ lain. lnfeksi virus akan menimbulkan Infiltrat dan
nekrosis selular.1,4
Kepekaan terhadap infeksi dan lamanya masa inkubasi bergantung
pada strain virus, genetik dan imunitas pejamu, jumlah reseptor lokal pada
sel pejamu, jumlah inervasi pada tempat gigitan, jumlah inokulum, beratnya
luka gigitan, dan jarak tempat luka gigitan dengan saraf pusat.1,5
Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi, mulai dari 7 hari sampai
lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung dari jumlah virus yang
masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh dekatnya
lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan dan
sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka, dan leher 30 hari,
gigitan di lengan, tangan, dan jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki,
dan jari kaki 60 hari, dan gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain
menyatakan bahwa masa inkubasi tidak ditentukan dari jarak saraf yang
ditempuh, melainkan tergantung dari luasnya persarafan pada tiap bagian
tubuh, seperti gigitan pada jari dan alat kelamin akan mempunyai masa
inkubasi yang lebih cepat.5

Gambar 2. Patogenesis Rabies6

6
2.5. MANIFESTASI KLINIS
2.5.1 Manifestasi Klinis Rabies pada Manusia
1. Stadium Prodromal
Gejala prodormal biasanya non spesifik berlangsung 1-4 hari
dan ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, gejala
gangguan saluran pernafasan, dan gejala gastrointestinal. Gejala
prodormal yang sugestif rabies adalah keluhan parestesia, nyeri, gatal,
dan atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus yang
kemudian akan meluas ke ekstremitas yang terkena tersebut. Sensasi
ini berkaitan dengan multiplikasi virus pada ganglia dorsalis saraf
sensorik yang mempersarafi area gigitan dan dilaporkan pada 50-80%
penderita.4,5,7
2. Stadium Sensoris
Penderita merasa nyeri, rasa panas disertai kesemutan pada
tempat bekas luka. Kemudian disusul dengan gejala cemas dan reaksi
yang berlebihan terhadap rangsang sensorik.5,8
3. Stadium Eksitasi
Tahap eksitasi berlangsung lebih lama daripada
tahap prodromal, bahkan dapat berlangsung selama 3-7 hari. Tonus
otot dan aktivitas simpatis meninggi dengan gejala hiperhidrosis,
hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil dilatasi. Bersamaan dengan
stadium eksitasi ini penyakit akan mencapai puncaknya dimana yang
sangat khas pada stadium ini adalah munculnya macam-macam fobi
seperti hidrofobi. Gejala patognomonik, yaitu hidrofobia dan
aerofobia, tampak saat penderita diminta untuk mencoba minum dan
meniupkan udara ke wajah penderita dimana hal ini terjadi karena
kontraksi otot faring dan otot pernafasan yang dapat ditimbulkan oleh
rangsangan sensoris. Keinginan untuk menelan cairan dan rasa
ketakutan berakibat spasme otot faring dan laring yang bisa
menyebabkan aspirasi cairan ke dalam trakea. Hidrofobia timbul
akibat adanya spasme otot inspirasi yang disebabkan oleh kerusakan

7
batang otak saraf penghambat nukleus ambigus yang mengendalikan
inspirasi.4,5
Pada stadium ini dapat terjadi apnoe, sianosis, konvulsan, dan
takikardi. Tindak tanduk penderita tidak rasional dan kadang-kadang
maniacal disertai dengan responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung
sampai penderita meninggal.4,5
4. Stadium Paralitik
Sebagian besar penderita rabies meninggal dalam stadium
ekstasi namun kadang ditemukan juga kasus tanpa gejala eksitasi,
melainkan paresis otot yang bersifat progresif. Hal ini karena
gangguan sumsum tulang belakang yang memperlihatkan gejala
paresis otot-otot pernafasan. Kesadaran dapat terganggu sehingga
penderita mengalami disorientasi, paraplegia, gangguan menelan,
kelumpuhan pernafasan, atau bahkan meninggal.4,7

2.5.2 Manifestasi Klinis Rabies pada Hewan3


1. Fase Prodormal
Hewan mencari tempat yang dingin seperti kamar mandi atau
dibawah pohon dan pada umumnya menyendiri. Tetapi, hewan dapat juga
menjadi lebih agresif dan nervous, seperti tidak menuruti lagi perintah
pemilik, air liur keluar berlebihan, hewan menjadi ganas, menyerang, atau
menggigit apa saja yang ditemui dan ekor dilekungkan kebawah perut
diantara dua paha. Refleks kornea berkurang atau hilang, pupil meluas,
kornea menjadi kering. Tonus urat daging bertambah sehingga
menyebabkan hewan tampak kaku atau seperti sikap siaga.
2. Fase Eksitasi
Pada fase ini, hewan akan menyerang apa saja yang ada di sekitarnya
dan memakan barang-barang aneh seperti kayu, kawat, rambut, dan lain-
lain. Mata menjadi keruh dan selalu terbuka, gerakan tidak terkoordinasi,
dan terjadi kejang-kejang.
3. Fase Paralitik

8
Pada fase ini, mata hewan terbuka, semua refleks hilang, kejang-
kejang, kemudian hewan akan mati.
Masa inkubasi rabies pada anjing 10-15 hari dan pada hewan lain 3-6
minggu bahkan kadang-kadang berlangsung sangat panjang selama 1-2 tahun.
Masa inkubasi pada manusia yang khas adalah selama 1-2 bulan tetapi bisa terjadi
satu minggu atau selama beberapa tahun (mungkin 6 tahun atau lebih). Biasanya
lebih cepat pada anak-anak daripada dewasa.8

2.6. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang/laboratorium.5
a. Anamnesis4,7
- Kontak/jilatan/gigitan hewan yang dicurigai.
- Demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring, terkadang seperti
rasa tercekik, hipersalivasi, kejang, hidrofobia, dan aerofobia.
- Aritmia dan miokarditis yang merupakan tanda dari adanya
hiperadrenergik dan infeksi langsung pada jantung.
- Adanya kelumpuhan, paresis pada keempat ekstremitas, dan
gangguan sfingter ani karena terganggunya medula spinalis, namun
hal ini biasanya jarang terjadi.
b. Pemeriksaan Fisik1,5
- Identifikasi luka gigitan dan adanya tanda-tanda komplikasi.
- Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah sembuh.
- Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia pada luka
bekas gigitan yang sudah sembuh (50%), miodema (menetap
selama perjalanan penyakit).
- Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat:
hiperventilasi, hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi saraf
otonom, sindroma abnormalitas ADH, paralisis flaksid.
- Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.
- Tanda patognomonis.

9
- Encephalitis rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi
yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa terkecik
(inspiratoris spasme), hipersaliva, kejang, hidrofobia dan aerofobia.
c. Pemeriksaan Penunjang1,7
Untuk membantu penegakan diagnosis perlu pemeriksaan
laboratorium. Deteksi rabies pada saliva dengan menggunakan pemeriksaan
reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT/PCR) dan isolasi virus
dalam jaringan kultur. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan antibodi
terhadap virus rabies dengan menggunakan serum darah dan cairan
serebrospinal, namun seringkali hasil positif timbul beberapa saat setelah
timbulnya gejala klinis. Pada orang yang belum diimunisasi hasil positif
dapat menjadi tanda yang bernilai diagnostik, bila sudah diimunisasi maka
peningkatan kadar antibodi beberapa waktu setelah pemeriksaan pertama
dapat mempunyai arti diagnostik. Pada cairan serebrospinal (CSS) adanya
antibodi terhadap virus rabies menunjukkan adanya infeksi terhadap virus
rabies pada pemeriksaan RT/PCR dan tes imunofluoresence staining pada
antigen virus dengan menggunakan teknik Direct Fluorescent antibody test
(dFA). Tes ini didasarkan pada observasi bahwa seorang yang terinfeksi
virus rabies mempunyai antigen rabies dalam jaringan. Karena virus ini
berada dalam jaringan saraf maka jaringan yang diambil adalah jaringan
saraf terutama yang paling ideal adalah jaringan otak. Antibodi yang
berlabel ini diinkubasikan pada jaringan otak yang dicurigai terinfeksi. Hasil
positif bila terjadi ikatan antigen antibodi sehingga terlihat gambaran
fluoresensi hijau apel. Biopsi dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis
rabies. Biopsi saraf kutaneus pada bagian basal dari folikel di daerah leher
bagian belakang pada batas garis rambut diusahakan paling tidak ada 10
folikel rambut dapat dipakai sebagai bahan pemeriksaan tersebut di atas.4
Pemeriksaan histopatologis dengan mengambil jaringan otak hewan
yang terinfeksi dan diberi pewarnaan. Pada pemeriksaan histopatologis
dengan pewarnaan rutin (HE) maka akan terlihat gambaran: infiltrasi
mononuklear, adanya cuffing dari limfosit atau polimononuklear, Babes
nodules dari sel glia, adanya Negri Bodies (NB). NB ini merupakan tanda

10
yang patognomonik untuk diagnosis dari rabies yang paling sering
ditemukan pada sel yang berbentuk piramidal dan sle purkinje di serebelum
juga pada medula dan ganglia basal. Pemeriksaan ini dianggap tidak begitu
spesifik sebab dengan pewarnaan rutin hasil positif hanya ditemukan kurang
dari 50% dari semua kasus terinfeksi juga dibandingkan dengan
pemeriksaan dFA yang dapat mencapai 100%.4
Pemeriksaan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tampak
adanya hipersignal ringan pada T2 di batang otak, hipokampus,
hipotalamus, pada bagian dalam dan subkorteks substantia alba dan
substansia grisea. Godalinum enhasemen tampak jelas pada fase lanjut,
digunakan untuk membedakan rabies dengan ensefalitis virus lain. CT scan
tidak mempunyai nilai diagnostik.4

2.7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan rabies yang sudah bergejala dengan rejimen adalah
sebagai berikut, pemberian vaksin rabies secara intradermal untuk
mempercepat respons imun, pemberian serum rabies untuk penghentian
proses infeksi rabies, pemberian ribavirin dan interferon alfa secara
intravena dan intraventrikuler. Pemberian ketamin intravena konsentrasi
tinggi terbukti secara in vitro menghambat replikasi dari virus rabies.4
Perawatan hendaknya dilakukan pada ruangan isolasi dan untuk
menghindari kemungkinan penularan dari penderita maka hendaknya dokter
dan paramedis memakai sarung tangan, kacamata dan masker. Penyakit ini
bisa dicegah dengan pemberian imunisasi. Jika ditemukan adanya kasus
gigitan dari binatang rabies maka dilakukan usaha mengurangi virus rabies
dengan mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun selama 10-15
menit untuk merusak envelope dari virus rabies. Selanjutnya, dilakukan
debridemen dan diberikan desinfektan seperti alkohol 40-70%, tinktura
yodii, atau larutan ephiran 0,1%. Apabila pembersihan ini menimbulkan
rasa nyeri, dapat diberikan anastesia lokal prokain terlebih dahulu.
Bila perlu dijahit, luka diinfiltrasi dengan serum antirabies, pemberian
imunisasi untuk mencegah rabies dilakukan melalui dua cara: imunisasi

11
sesudah terkontak dan imunisasi sebelum terkontak. Luka gigitan tidak
dibenarkan untuk dijahit untuk mengurangi invasi virus pada jaringan luka,
kecuali luka yang lebar dan dalam yang terus mengeluarkan darah, dapat
dilakukan jahitan situasi untuk menghentikan pendarahan.2 Bila memang
perlu sekali untuk dijahit (jahitannya jahitan situasi), maka diberi Serum
Anti Rabies (SAR) sesuai dengan dosis, yang disuntikan secara infiltrasi di
sekitar luka sebanyak mungkin dan sisanya disuntikan secara intra
muskuler. Disamping itu harus dipertimbangkan perlu tidaknya pemberian
serum/vaksin anti tetanus, antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
analgetik.6,9
Pemberian VAR dan SAR ditentukan menurut kategori luka gigitan,
sedangkan kontak (dengan liur atau saliva hewan tersangka/hewan rabies
atau penderita rabies) tetapi tidak ada luka, maka tidak perlu diberikan
pengobatan VAR dan SAR. Pada kasus luka risiko rendah hanya diberikan
VAR saja. Tidak semua kasus GHPR harus diberikan VAR, tergantung
riwayat apakah sebelumnya penderita GHPR pernah mendapat VAR.
Sedangkan pada kasus luka risiko tinggi harus diberikan VAR dan SAR.2
A. Dosis dan cara pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)
1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) terdiri dari vaksin kering
dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
a. Dosis dan cara pemberiannya sesudah digigit
Disuntikkan secara intra muskular didaerah deltoideus / lengan atas
kanan dan kiri. Dosis untuk anak dan dewasa sama yaitu 0,5 ml
dengan 4 kali pemberian yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian
sekaligus), hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali
pemberian.
b. Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah
digigit
Dilakukan dengan injeksi intramuskuler. Dosis untuk anak dan
dewasa sama yaitu dosis dasar 0,5 ml dengan 4 kali pemberian
yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus), hari ke 7 satu kali

12
pemberian dan hari ke 21 satu kali pemberian. Dosis ulangan 0,5
ml sama pada anak dan dewasa pada hari ke 90.
2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV) mempunyai kemasan yang
terdiri dari dos berisi 7 vial @1 dosis dan 7 ampul pelarut @2 ml dan
Dos berisi 5 ampul @1 dosis intrakutan dan 5 ampul pelarut @0,4 ml.
a. Dosis dan cara pemberian sesudah digigit
Cara pemberian untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara subcutan
disekitar pusar. Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan
secara intracutan dibagian fleksor lengan bawah. Dosis untuk
vaksinasi dasar pada anak adalah 1 ml, dewasa 2 ml diberikan 7
kali pemberian setiap hari, untuk ulangan dosis pada anak 0,1 ml
dan dewasa 0,25 ml diberikan pada hari ke 11, 15, 30 dan hari ke
90.
b. Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit
Cara pemberian sama dengan diatas. Dosis dasar untuk anak 1 ml,
dewasa 2 ml, diberikan 7 kali pemberian setiap hari, untuk ulangan
dosis pada anak 0,1 ml dan dewasa 0,25 ml diberikan pada hari ke
11, 15, 25, 35 dan hari ke 90.

B. Dosis dan cara pemberian Serum Anti Rabies (SAR)


1. Serum heterolog (kuda), mempunyai kemasan bentuk vial 20 ml
(1ml=100 IU).
Cara pemberian: disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak
mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 40 IU/KgBB
diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0, dengan
melakukan skin test terlebih dahulu.
2. Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml (1 ml= 150
IU). Cara pemberian: disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka
sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 20
IU/kgBB diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke 0,
dengan sebelumnya dilakukan skin test.

13
3. Dosis dan cara pemberian VAR untuk pengebalan sebelum digigit (Pre
Exposure Immunization).
1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) terdiri dari vaksin kering
dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe. Cara
pemberian Pertama: disuntikkan secara intra muskular didaerah
deltoideus. Dosis dasarnya digunakan dua dosis masing-masing 0,5 ml
pemberian pada hari 0, kemudian hari ke 28 dengan dosis 0,5 ml.
Diberikan ulangan pada 1 tahun setelah pemberian I dengan dosis 0,5
ml dan ulangan selanjutnya 0,5 ml tiap tiga tahun. Cara pemberian
kedua: disuntikkan secara intra kutan (dibagian fleksor lengan bawah)
dengan dosis dasar, 0,1 ml pemberian hari ke 0, kemudian hari 7 dan
hari ke 28 dengan dosis 0,1 ml. Dosis ulangan diberikan tiap 6 bulan –
satu tahun dengan dosis 0,1 ml.9
2. Suckling Mice Brain Vaccine, terdiri dari dus yang berisi 7 vial @ 1
dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml, dus berisi 5 ampul @ 1 dosis
intrakutan dan 5 ampula pelarut @ 0,4 ml. Cara pemberian:
disuntikkan secara intrakutan di bagian fleksor lengan bawah. Dosis
dasar 0,1 ml untuk anak dan 0,25 ml untuk dewasa, pemberian hari 0,
hari 21 dan hari 42. Untuk ulangan dosis 0,1 ml untuk anak dan 0,25
untuk dewasa setiap 1 tahun.9

Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Kasus Rabies

14
2.8. PENCEGAHAN
Pencegahan rabies dapat dilakukan dengan:
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing,
kucing, kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk
tanpa izin ke daerah bebas rabies.
3. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70%
populasi yang ada dalam jarak minimum 10 km di sekitar lokasi kasus.
4. Pemberian tanda bukti terhadap setiap anjing yang divaksinasi.
5. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atau anjing tak bertuan dengan
jalan pembunuhan dan pencegahan perkembang biakan.
6. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan yang menggigit orang,
selama 10-14 hari terhadap yang mati selama masa observasi atau yang
dibunuh maka harus diambil specimen untuk dikirimkan ke laboratorium
terdekat untuk didiagnosis.
7. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera, dan dan hewan
sebangsanya.
8. Membunuh atau mengurung anjing, kucing, penderita rabies selama 4
bulan.
9. Menanam hewan yang mati karena rabies sekurang-kurangnya sedalam 1
meter atau dibakar dan melarang keras pembuangan bangkai.
Pencegahan infeksi rabies pada manusia dapat dilakukan melalui
pemberian profilaksis prapaparan dan profilaksis pasca paparan.5,9,11
1. Profilaksis Pra-Paparan
Vaksinasi pra paparan dianjurkan pada orang yang diperkirakan berisiko
terpapar karena pekerjaan dan perjalanan wisata ke daerah epidemik.
Dosis dan jadwal vaksin pra-paparan yang dianjurkan adalah vaksin anti
rabies (VAR) dosis 0.5 ml secara intramuskular (lM) pada hari ke 0,7 dan
28 di otot deltoid.9,11

15
2. Profilaksis Paska-Paparan
Profilaksis pasca paparan merupakan cara yang paling efektif untuk
mencegah infeksi rabies setelah terpapar. Profilaksis pasca paparan harus
segera diberikan bila dicuriga digigit HPR, tanpa menunggu hasil
kepastian laboratorium atau observasi HPR. Pemberian profilaksis pasca
paparan bisa dihentikan bila HPR masih tetap hidup setelah 10-14 hari
masa observasi, atau bila hasil pemeriksaan laboratorium diagnosis pasti
rabies HPR yang telah ditangkap atau dibunuh adalah negatif.9,11

2.9. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya
timbul pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan
tekanan intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus,
sindrom abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik
yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan
henti jantung. Kejang dapat lokal maupun generalisata dan sering
bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium prodromal
sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan alkalosis respiratorik, sedangkan
hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada fase neurologik akut.
Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan
otonomik.1

2.10. PROGNOSIS
Prognosis pada umumnya dapat buruk, karena kematian dapat
mencapai 100% apabila virus rabies mencapai SSP. Prognosis selalu fatal
karena sekali gejala rabies terlihat, hampir selalu kematian terjadi dalam 2-3
hari sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung.
Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup
setelah manifestasi dari penyakit rabies timbul. Pada manusia yang tidak
mendapatkan vaksin rabies hampir selalu fatal terutama setelah muncul
gejala neurologi, tetapi bila setelah terpapar virus diberikan vaksin akan
mencegah perkembangan virus.1,8

16
BAB III
KESIMPULAN

Rabies atau yang sering disebut dengan penyakit anjing gila merupakan
penyakit menular akut yang menyerang susunan saraf pusat mamalia yang
disebabkan oleh virus rabies dan ditularkan melalui gigitan hewan pembawa
virus.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies atau Rhabdoviridae virus
(RABV). Virus rabies masuk kedalam tubuh melalui luka gigitan hewan penular
rabies atau kontak langsung dengan selaput mukosa, seperti anjing, kucing, kera,
serigala, dan kelelawar. Virus rabies tidak dapat masuk melalui kulit yang intak.
Manifestasi klinis rabies pada manusia dibagi menjadi 4 stadium yaitu
stadium prodormal, stadium sensoris, stadium eksitasi, dan stadium paralitik.
Gejala awal dari penderita yang terkena luka gigitan berupa demam, malaise,
mual, dan rasa nyeri di tenggorokan selama beberapa hari. Penyakit ini dapat
menyebabkan kelumpuhan bahkan hingga kematian. Manifestasi klinis rabies
pada hewan dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodormal, fase eksitasi, dan fase
paralitik. Hewan yang terkena gigitan rabies dapat bersifat tenang atau bersifat
agresif. Pada akhirnya, hewan dapat mengalami kejang-kejang hingga kematian.
Hingga saat ini tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan penyakit rabies
sepenuhnya setelah manifestasi dari penyakit ini timbul. Namun, penyakit ini
dapat dicegah dengan pemberian imunisasi berupa vaksin antirabies (VAR) dan
serum antirabies (SAR). Pencegahan terhadap penularan rabies sebelum digigit
dapat dilakukan vaksinasi dengan Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV).
Pencegahan ini diindikasikan terutama bagi masyarakat dengan risiko tinggi
seperti yang mempunyai pekerjaan sebagai pusat penelitan rabies, dokter hewan,
peternak, petugas kebun binatang, dan petugas kehutanan.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Harijanto PN. Gunawan CA. Rabies. dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi IV. Jakarta: PAPDI, 2015: 1736-40
2. Kemenkes RI. 2017. Situasi Rabies di Indonesia. Infodatin, Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
3. Kemenkes RI. 2016. Jangan Ada Lagi Kematian Akibat Rabies. Infodatin,
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
4. Sudewi, A.A Raka. 2011. Rabies. Dalam: Infeksi pada Sistem Saraf,
Cetakan Pertama. Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga,
Surabaya, Indonesia.
5. Gompf SG, Pham TM, Somboonwit C, Vincent AL. Rabies.
https://emedicine.medscape.com/article/220967, 2017
6. Jackson A. Pathogenesis. dalam: Jackson AC, Wumer WH (Eds.). Rabies,
ed. 2. Amsterdam: Elseiver, 2007: 341-72.
7. Tanto C. Rabies. dalam: Kapita Selekta Kedokteran, ed.4. Jakarta: Media
Aesculapius, 2014
8. Corey L. Rabies, Rhabdovirus, dan Agen Mirip–Marburg. dalam: Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam Harrison, ed. 13. Jakarta: EGC, 1999: 938-41
9. Fooks AR, Banyard AC, Horton DL, Johnson N, McElhinney L, Jackson
AC. Current status of rabies and prospects for elimination. Lancet, 2014:
doi: 10.1016/S0140-6736(13)62707-5
10. Singh R, Singh KP, Cherian S, Saminathan M, Kapoor S, Reddy GBM,
Panda S, et al. Rabies – epidemiology, pathogenesis, public health concerns
and advances in diagnosis and control: a comprehensive review. Veterinary
Quarterly, 2017; 37(1): 212-51
11. Lankester F, Hampson K, Lembo T, Palmer G, Taylor L, Cleaveland S.
Implementing Pasteur’s vision for rabies elimination. Science, 2014;
345(6204): 1562-4

18

Anda mungkin juga menyukai