Gambaran MRI Pada HIV
Gambaran MRI Pada HIV
Oleh:
Owen Hu
04084821618205
Pembimbing:
DEPARTEMEN RADIOLOGI
2017
HALAMAN PENGESAHAN
Oleh
Owen Hu
04084821618205
Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di bagian Radiologi Rumah Sakit Dr. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya periode 10 April 2017 26 April 2017.
Pembimbing,
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul Gambaran MRI pada HIV. Referat ini
merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Radiologi RSUP
DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. M. Salim, Sp. Rad selaku pembimbing
yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS...............................................................................................................6
2.2 Infeksi Oportunistik...............................................................................................12
2.3 MRI........................................................................................................................16
2.4 Gambaran MRI pada HIV......................................................................................21
BAB III PENUTUP.............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut UNAIDS di tahun 2014, 19 juta dari 35 juta manusia penderita HIV di dunia
hidup tanpa mengetahui bahwa mereka berstatus HIV positif, dengan kasus baru sebanyak
2,1 juta, dan per hari lebih dari 7.000 orang telah terinfeksi HIV. Penderitanya sebagian bwsar
adalah wanita sekitar 16 juta, usia produktif 31,8 juta (15 24 tahun) dan anak-anak 3,2 juta.
Asia dan Pasifik sendiri menyumbang sekitar 4,8 juta manusia dengan HIV3.
Dalam tubuh seseorang yang terinfeksi HIV, sistem kekebalan tubuh dapat menurun,
dan dapat menyebabkan seseorang terkena infeksi dari organisme yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu dapat menjadi patogen, yang disebut
sebagai infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 < 200 sel/L
maupun CD4 > 200 sel/L. Infeksi oportunistik terhadap sistem saraf pada AIDS bisa oleh
patogen viral atau non viral. Infeksi non viral tersering adalah ensefalitis toksoplasmosis (ET)
yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii (T.gondii).4
Banyaknya infeksi oportunistik yang dapat terjadi pada seseorang dengan infeksi HIV
akan dapat memberikan gambaran-gambaran yang berbeda pada pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) yang dilakukan. Oleh sebab itu penulis pada referat ini akan
membahas mengenai gambaran-gambaran MRI yang ada pada seseorang dengan HIV yang
dapat dilihat pada infeksi oportunistik yang terjadi setelah munculnya gejala yang bersifat
simptomatik. Diharapkan hal ini dapat mempermudah dalam penegakkan diagnosis infeksi
oportunistik pada orang dengan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS
2.1.2 Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah virus yang tergolong ke
dalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus. HIV-1 dan HIV-2 memiliki struktur
yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen vpx,
sedangkan HIV-2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai gen vpx5.
HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom RNA
diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse
transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen kapsid
(p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan pertanda terdini adanya infeksi
HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis antibodi
terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid, sehingga membentuk struktur
nukleokapsid. Antigen p17 merupakan bagian dalam sampul HIV. Pada bagian
permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120)
dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini yang mengikat reseptor sel CD4
pada sel T dan makrofag.6
Gambar 1. Struktur Virus HIV
a. Fase Pertama
Dimulai dari melekatnya HIV pada sel host melaluui interaksi antara molekul
gp120 dengan molekul CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5).
Kemudian diikuti dengan fusi membran sel HIV dengan membran sel host. Di
dalam sel host terjadilah transkripsi DNA HIV dan RNA HIV oleh enzim RT.
DNA HIV yang terbentuk kemudian berinteraksi dengan DNA sel host dengan
bantuan enzim integrase. DNA yang terintegrasi disebut provirus.6
b. Fase Kedua
Transkrip DNA HIV yang telah terintegrasi menjadi RNA genom HIV dan
mRNA kemudian ditransport kedalam sitoplasma untuk ditranslasi menjadi
protein virus dengan bantuan membran sel host. Terjadilah partikel HIV
melalui proses budding dengan membran sel host sebagai bagian lipid sampul
HIV.6
Gambar 2. Daur Hidup HIV
2.1.5 Patogenesis
HIV memasuki sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel T CD4, sel
makrofag, monosit, dan dendrit. Pada infeksi HIV terjadi imunosupresi yang disebabkan
oleh menurunnya jumlah dan terganggunya fungsi sel T CD4. Proses ini tidak hanya
disebabkan oleh efek sitopatik langsung, tetapi juga oleh efek sitopatik tidak langsung
yang dinamakan patogenesis imun.1 Selain efek langsung dantak langsung juga ada
peranan sel sitotoksik CD8 dalam infeksi HIV, yaitu sel CD8 akan mengikat sel yang
terinfeksi oleh virus HIV dan mengeluarkan perforin yang menyebabkan kematian sel.
Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV didalam limfosit CD4.7
HIV dapat menginfeksi sel prekursor T CD4 didalam timus sehingga sel
tersebut tidak berkembang menjadi matur. Akibatnya jumlah sel T CD4
perifer menurun.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjargetah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti
infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T
subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.
Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun
selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari
infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12
minggu setelah paparan pertama.
Pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV
dan destruksi sel. Sistem imun masih kompeten untuk mengatasi infeksi mikroba
oportunistik dan belum tampak gejala klinik infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus
rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV, tetapi
penghancuran sel T CD4+ di jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlahnya
dalam sirkulasi terus berkurang.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6
minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau
tanpa pengobatan.2
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat
(non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi
jamur, herpes dan lain-lainnya2
Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu (misal: gangguan sistem imun)
menjadi patogenik.2 Dalam tubuh kita membawa banyak organisme seperti bakteri,
parasit, jamur, dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan kuman ini.
Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau obat tertentu, kuman ini
mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah kesehatan.
Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 <200 sel/mikroliter maupun CD4 >200
sel/mikroliter. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
disebabkan oleh infeksi oportunistik. Sebagian besar IO dapat diobati, namun jika
kekebalan tubuh tetap menurun maka IO mudah kambuh kembali atau bahkan tumbuh
IO yang lain. Maka dari itu pengobatan ARV sangat diperlukan untuk membantu
meningkatkan kekebalan tubuh sehingga resiko IO dapat dikurangi. Sebagian besar kasus
HIV/AIDS yang diperberat oleh munculnya infeksi oportunistik akan menyebabkan
kematian pada 80-90% kasus.2,9,10
2.2.2 Etiologi
Perjalanan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan oleh
mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut. Pada infeksi oleh human
immunodeficiency virus (HIV), tubuh secara gradual akan mengalami penurunan
imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Regulasi imun ternyata
dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem HLA yang
pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang karakteristik. Pada awal masuknya
HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi adalah up regulation,
tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena kegagalan dalam mekanisme
adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun. Keadaan ini menyebabkan tubuh
pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik.2
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun
organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami
reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola
tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang
spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin
berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan
kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga
jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini
mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO
terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau organisme
tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten
lalu mengalami reaktivasi.2
2. Kandidiasis
Meningkatnya infeksi jamur dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien imunokompromais di rumah sakit. Infeksi jamur oputunistik
dapat disebabkan oleh organisme semacam jamur maupun filamen jamur.
Penyebab tersering adalah kandida. Kandida adalah flora normal pada manusia
terutama saluran cerna maupun urogenital, serta kulit infeksi terjadi melalui
inhalasi atau inokulasi kulit. Pada orang dengan imunokompromais sangat
rentan terhadap infeksi jamur. Kandidiasis mukokutan dapat muncul dalam 3
bentuk, yaitu kandidiasis orofaring, esophagus, vulvovagina. Kandidiasis
mukokutan seringkali muncul berbulan-bulan sebelum munculnya infeksi
oportunistik yang lebih berat dan merupakan salah satu indicator progresifitas
HIV. Strain kandida yang menginfeksi tidak berbeda dengan pasien
imunokompromise lainnya, yang tersering adalah Candida albicans. Strain lain
yang pernah dilaporkan adalah C glabrata, C parapsilosis, C tropicalis, C
kruseii, dan C dubliniesis. Kandidiasis rekurens dapat disebabkan oleh strain
yang sama atau strain yang berbeda.
3. Kriptokokosis
Kriptokokosis yang dihubungkan dengan HIV umumnya adalah infeksi
jamur sistemik yang disebabkan oleh Cryptococcus neoformans. Spora jamur
ini dapat bertahan hidup dalam waktu lama di lingkungan yang sesuai,
ditemukkan di tanah dan di laporkan banyak terdapat pada tinja burung
merpati. Hingga tahun 1980 kriptokokosis merupakan penyakit yang sporadis.
Sebelum penggunaan ART berkisar 5-8% penderita HIV pada negara
berkembang mendapat kriptokokosis diseminata. Penyakit ini paling sering
timbul pada penderita HIV dengan CD4<50 sel/uL.
Infeksi terjadi dengan cara inhalasi spora ke dalam saluran pernafasan.
Selanjutnya terjadi fungemia dan diseminasi ke berbagai organ tubuh. Pada
pasien HIV 80-90% kriptokokosis bermanifestasi sebagai meningitis
kriptokokosis (MK). Hingga sekarang masih belum jelas apakah kriptokokosis
pada penderita HIV merupakan reaktivasi infeksi laten atau infeksi yang baru
terjadi.
5. Herpes Zoster
Infeksi primer virus ini biasanya terjadi pada masa kanak- kanak. ODHA
mengalami infeksi rekurens virus ini (herpes zoster) lebih sering dibandingkan
pasien imunokompeten. Kejadian herpes zoster seringkali merupakan salah satu
indikator adanya infeksi HIV pada orang yang berisiko terinfeksi HIV.
6. Toksoplasmosis Serebral
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii yang dikenal sejak tahun 1908 (Yunani : berbentuk seperti
panah), merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimtomatik
pada 80% manusia sehat, tapi berbahaya pada penderita HIV. Toxoplasmosis
pada penderita HIV terbanyak disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten. Siklus
hidup T.gondii sangat kompleks. Inang definitifnya adalah kucing. Sedangkan
inang perantaranya sangat bervariasi seperti tikus, kambing, sapi, babi, unggas
dan hewan ternak lainnya. Pada manusia infeksi T.gondii melalui makanan
dapat terjadi dua mekanisme, yaitu makanan tercemar ookista yang berasal dari
tinja kucing dan melalui daging yang mengandung kista jaringan akibat kurang
matang dimasak. Serangga seperti kecoa dan lalat juga dapat mencemari
makanan dengan ookista.
Ensefalitis toksoplasma (ET) merupakan manifestasi utama
toksoplasmosis pada orang dengan HIV/AIDS. Manisfestasi ocular (retinitis),
paru (pneumonitis) dan infeksi sistemik lebih jarang dijumpai. Infeksi juga
dapat terjadi pada kelenjar limfe, hati, sumsum tulang dan jantung. Sebelum
ARV digunakan secara luas, 70% kasus lesi massa intrakranial pada ODHA
disebabkan oleh ET. Penyakit ini paling sering timbul pada ODHA dengan
CD4 < 100 sel/uL.
Diagnosis presumtif berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif
pada ODHA dengan nilai CD4 <200 sel/uL dan disertai gambaran
neuroimaging(CT/MRI) yang sesuai. Diagnosis definitive ET hanya dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi jaringan otak. Pemeriksaan MRI
lebih sensitif daripada CT scan dalam menemukan lesi ET. Sembilan puluh
persen memperlihatkan lesi tunggal atau multiple yang hipodens pada CT atau
hipointens pada MRI. Walaupun demikian, lesi yang tidak disertai penyangatan
kontras juga dilaporkan pada 6-20% kasus ET. Lokasi lesi sering kali
didapatkan pada ganglia basal, thalamus, atau cortio-medullary junction.
Bedasarkan diagnosis presumtif, terapi empiris toksoplasma dapat dimulai. Jika
diagnosis tersebut benar, lesi akan mengecil pada CT-scan atau MRI ulangan
setelah 2 minggu. Pada ET biasanya dijumpai lgG yang positif, sedangkan lgM
negative. Hal ini tidak mengherankan karena ET pada ODHA biasanya
merupakan reaktivasi infeksi laten. Walaupun demikian, pemeriksaan serologi
yang negative dijumpai pada 3-17% kasus ET yang didiagnosis melalui biopsy
maupun presumtif.
8. Tuberkulosis
Tuberkulosis dapat mengenai CNS (Central Nervous System) dalam
berbagai cara seperti meningitis, abses cerebral, tuberkuloma dan strokeakibat
vasospasme dan trombosis.
9. Neurosifilis
Neurosifilis adalah suatu infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan
oleh Treponema pallidum. Hal ini dapat terjadi karena T.pallidum dan HIV
memiliki jalur yang sama dalam transmisinya. Neurosifilis dapat dikelompokan
dalam early forms (asimptomatik, meningitis simptomatik, meningovaskular
sifilis) dan late forms (general paresis dan tabes dorsalis).
10. Limpoma
Primary CNS lymphoma (PCNSL) adalah kedua terbanyak penyebab dari
masa intrakranial setelah infeksi toksoplasmosis. PCNSL dapat menyebabkan
simptom yang bermacam-macam tergantung dari letak lesi dan pembesaran
tumor. Secara umum, sebagian dari penderita PCNSL mengalami defisit
neurologik fokal (kejang, afasia, hemiparese, dan kelemahan lokal) dan
sebagian lainnya dapat mengalami gejala non-fokal seperti letargi, sakit kepala,
kehilangan ingatan, altered mental status, dan perubahan kepribadian.
Keuntungan MRI
Kerugian MRI
1. Alat mahal
2. Waktu pemeriksaan cukup lama
3. Pasien yang mengandung metal tak dapat diperiksa terutama alat pacu jantung,
sedangkan pasien dengan wire & stent maupun pen boleh diperiksa
4. Pasien Claustrofobi (takut ruang sempit), perlu anestesi umum
Setiap jaringan mempunyai karakteristik yang khas pada T1 dan T2, sehingga bila ada
perbedaan intensitas dari jaringan normal, akan mudah diketahui bahwa hal tersebut
merupakan suatu kelainan.
Dengan MRI dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dengan bagian otak yang putih.
Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih sedikit air dibandingkan dengan otak yang
abu-abu. Akan tetapi bagian yang putih mempunyai lebih banyak lemak daripada bagian otak
yang abu-abu. Karena banyak mengandung lemak, bagian otak yang putih mempunyai waktu
T1 yang pendek dan T2 yang panjang.
Pada gambar T1 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal yang lebih sedikit
dibandingkan dengan yang putih. Cairan likuor tidak menghasilkan sinyal (hipointens).
Pada gambar T2 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal intensitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bagian otak yang putih. Cairan likuor juga mempunyai sinyal
intensitas tinggi (hiperintens)
Lemak mempunyai sinyal intensitas tinggi yang sama pada gambar T1 danT2. Dengan
perbedaan waktu relaksasi dapat dibedakan antara bagian otak yang padar dengan kista.
Untuk membedakan lesi tersebut mengandung lemak atau darah diperlukan pemeriksaan
dengan teknik Fat Suppression atau Inversion Recovery. Dimana bila memang lemak maka
akan menjadi hipointens. Bila bukan lemak akan tetap hiperintens.
a. Edema
Dengan MRI dapat diketahui dengan jelas, sehingga edema perifokal pada tumor otak
seperti glioblastoma (hampir 90% edema perifokal positif) dapat dikenal dengan mudah.
b. Perdarahan Otak
Perdarahan stasioner mempunyai waktu T1 yang pendek karena zat besi dalam
hemoglobin merupakan suatu bahan paramagnetis.
c. Perlemakan
Pada tumor yang kaya akan lemak, seperti teratoma, dermoid dan lipoma, mempunyai
waktu T1 yang pendek. Pada gambar T1 dan T2 mempunyai sinyal yang intensif
(hiperintens)
d. Perkapuran Patologik
Perkapuran mempunyai sedikit proton yang bergerak sehingga pada MRI tampak
mempunyai sinyal yang lemah. Perkapuran dapat ditemukan pada pascainfark, pada
tumor, pada pembuluh
e. Penyakit Demielinisasi
Sklerosis multipel mempunyai sensitivitas yang tinggi, sehingga penyakit ini dapat cepat
diketahui dan mudah untuk pengontrolan perjalanan penyakit.
f. Tumor Otak
Pada MRI ditandai melalui kerusakan/lesi yang ada dengan bermacam-macam intensitas
sinyal atau melalui tanda-tanda yang tidak langsung dari tumor seperti pergeseran
tempat, pendesakan atau pelebaran ventrikel dan edema perifokal yang positif.
Tumor menyebabkan perubahan waktu relaksasi. Tumor ganas lebih sering mempunyai
waktu relaksasi yang lebih panjang dibanding tumor jinak. MRI dapat menunjukkan pula
bagian tumor yang vital dan yang nekrosis. Bagian yang nekrosis mempunyai sinyal
sedikit.
Astrositoma : hanya sekitar 2% dan disertai edema perifokal. Tumor ini lebih dari 80%
mengandung air sehingga pada gambaran T1 mempunyai sinyal yang lemah dan pada
gambar T2 mempunyai sinyal intensitas tinggi. Pada pemberian kontras penyagatan
tergantung dari gradasi tumor tersebut.
Metastasis intrakranial : hampir 90% disertai edema perifokal positif, sehingga sukar
dibedakan dengan glioblastoma. Perlu zat kontras untuk mengetahui multipel lesi
penyagatan. Yang sukar bila lesi hanya satu, sedangkan primer di tempat lain ada seperti
di paru dan payudara
Meningioma : CT lebih baik dalam mendiagnosis daripada MRI, karena tumor ini
banyak mengandung perkapuran. Pada keadaan meragukan, baru diperlukan zat kontras
yang mengandung unsur Gadolinium (Gd3+) pada umumnya menyagat, dibandingkan
gambar T1 sebelum dengan sesudah kontras diberikan
g. Infark
Tanda perubahan dini dari iskemia otak adalah edema sitotoksis. Hal ini ditandai dengan
perpanjangan waktu T1 dan T2. Pada gambar T1 hipointens dan menjadi hiperintens
pada T2.
h. Infeksi
Pada infeksi otak tampak kerusakan setempat dengan sinyal yang intensitasnya berbeda-
beda. Perlu zat kontras untuk memperjelas kelainan yang ada.
i. Kelainan Pembuluh Darah
Malformasi arteriovenosus mempunyai sinyal yang lemah karena kelainan ii darah cepat
sekali mengalir. Aliran darah pada MRI mempunyai sinyal yang lemah. Pada T1 dan T2
tampak hipointens. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan MR angiografi sehingga dapat
melihat sumber arteri dan nidus dengan jelas dapat terlihat disekitar vena yang melebar.
Aneurisma juga dapat terlihat jelas pada MR angiografi.
Ensefalitis HIV
Gambar 3. MRI Ensefalitis HIV Gambar 4. MRI Ensefalitis HIV (T2-w)
(T2-w FLAIR) potongan transversal12 potongan transversal12
Symmetric high signal pada subkortikal Symmetric high signals in periventricular
white matter dan area periventrikular subcortical white matter, predominantly in
parietal posterior areas
Gambar 5. MRI Ensefalitis (T2-w FLAIR) Gambar 6. MRI Ensefalitis HIV (T2-w
potongan koronal12 FLAIR) potongan koronal12
Ventrikulomegali ringan dengan hipersignal linear periventrikular dan high signal di white
matter subkortikal
Gambar 7. MRI HIV Ensefalopati potongan Gambar 8. MRI HIV Ensefalopati potongan
axial T112 axial T112
Gambar 9. MRI HIV Ensefalopati potongan Gambar 10. MRI HIV Ensefalopati
axial T112 potongan axial T112
Toksoplasmosis Serebri
Gambar 14. MRI Toksoplasmosis Serebri (T1-w dengan kontras) potongan transversal12
Lesi nodular dengan enhancement (hipersignal) periferal anular dan edema disekelilingnya
(hiposignal); dapat menghasilkan gambaran massa
Meningitis Kriptokokus
Gambar 17. MRI Meningitis Kriptokokus Gambar 18. MRI Meningitis Kriptokokus
(T2-w) potongan transversal12 (T2-FLAIR) potongan koronal12
Dilated Virchow-Robin spaces dan dilatasi Nodul hiperintens dan pembesaran ventrikel
ventrikuler ringan ringan
Neurosifilis
Gambar 21. HIV Associated Dementia Gambar 22. HIV Associated Dementia T2
FLAIR13 potongan aksial13
Gambar 25. MRI Ensefalitis Herpes Simplek (T2-w) Potongan Koronal pada stadium akut
Terdapat penyangatan di daerah inferior dan bagian dalam lobus temporal, Kanan :
potongan MRI T1 weight setelah pemberian gadolinum memperlihatkan penyagatan bagian
insula kiri dan korteks temporal dan keterlibatan awal lobus12
Tuberkuloma
Potongan aksial T2-w (gambar a) memberikan gambaran tuberkuloma pada lobus parietal
kanan dengan hypointense center yang dikelilingi kapsula hiperintensitas.
BAB III
PENUTUP
Sangat penting bagi para klinisi untuk terbiasa dengan temuan gambaran Magnetic
Resonance Imaging (MRI) sehingga dapat membantu klinisi untuk dapat menegakkan suatu
diagnosis secara tepat. MRI dapat menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia dengan
menggunakan medan magnit tanpa menggunakan sinar X, sehingga MRI tidak memberikan
efek radiasi pada penggunaannya. Meskipun demikian, klinisi juga tetap harus dapat
mempertimbangkan penggunaan MRI sebagai pemeriksaan penunjang berdasarkan faktor
biaya dan kondisi pasien.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Corry SM. 1996. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta;BPIDAI. p.274-286
2. Djoerban Z, Samsuridjal D. 2014. HIV/AIDS di Indonesia, dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed.6. Jakarta:
InternaPublishing.
3. UNAIDS-WHO. 2014. Report on the Global HIV/AIDS Epidemic 2014:
Epidemiology Graphs and Charts. Geneva.
4. Pohan, Herdiman T. 2009. Toksoplasmosis, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: FKUI.
5. Parwati MT, Djauzi S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. p. 272
6.
6. Garna BK. 2006. Imunologi dasar, ed. 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
7. Price SA, Wilso LMC. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
ed.6. Jakarta: EGC. p.224 46.
8. Widodo J. 2009. Fight Againts AIDS, Save Indonesian Childrens.
9. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2011.
10. Merati TP, Samsuridjal D. 2014. Respon Imun Infeksi HIV, dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed. 6. Jakarta:
InternaPublishing. p. 924 31.
11. Benea CL, Petrescu AM, dan Constatinescu RM. HIV Encephalopathy Now and
Then. National Institue of Infectious Disease Prof. Dr. Matei Bals. Bucharest,
Romania.
12. Senocak E, Oguz KK, Ozgen B, dkk. 2010. Imaging Features of CNS Involvement in
AIDS. Turkish Society of Radiology.
13. Mai-Lan Ho, et al. HIV Associated Dementia. Radiopaedia.
14. Helmy A, Antoun NM, Hutchinson PJ. Cerebral Tuberculoma and Magnetic
Resonance Imaging. University of Cambridge.