Anda di halaman 1dari 32

Referat

GAMBARAN MRI PADA HIV

Oleh:

Owen Hu

04084821618205

Pembimbing:

dr. H. M. Salim, Sp. Rad

DEPARTEMEN RADIOLOGI

RUMAH SAKIT DR. MOH. HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Referat yang Berjudul:


Gambaran MRI pada HIV

Oleh

Owen Hu

04084821618205

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior (KKS)
di bagian Radiologi Rumah Sakit Dr. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya periode 10 April 2017 26 April 2017.

Palembang, April 2017

Pembimbing,

dr. H. M. Salim, Sp. Rad


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat yang berjudul Gambaran MRI pada HIV. Referat ini
merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Radiologi RSUP
DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. M. Salim, Sp. Rad selaku pembimbing
yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan referat ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat ini. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini
dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, April 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV/AIDS...............................................................................................................6
2.2 Infeksi Oportunistik...............................................................................................12
2.3 MRI........................................................................................................................16
2.4 Gambaran MRI pada HIV......................................................................................21
BAB III PENUTUP.............................................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................32
BAB I

PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang menunjukkan


adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human immunodeficiency virus
(HIV)1. HIV/AIDS merupakan sebuah masalah besar yang sangat mengancam, tidak hanya
Indonesia tetapi seluruh negara di dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari penyakit
ini. HIV/AIDS tidak hanya menyerang dewasa tetapi juga anak-anak2.

Menurut UNAIDS di tahun 2014, 19 juta dari 35 juta manusia penderita HIV di dunia
hidup tanpa mengetahui bahwa mereka berstatus HIV positif, dengan kasus baru sebanyak
2,1 juta, dan per hari lebih dari 7.000 orang telah terinfeksi HIV. Penderitanya sebagian bwsar
adalah wanita sekitar 16 juta, usia produktif 31,8 juta (15 24 tahun) dan anak-anak 3,2 juta.
Asia dan Pasifik sendiri menyumbang sekitar 4,8 juta manusia dengan HIV3.

Dalam tubuh seseorang yang terinfeksi HIV, sistem kekebalan tubuh dapat menurun,
dan dapat menyebabkan seseorang terkena infeksi dari organisme yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu dapat menjadi patogen, yang disebut
sebagai infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 < 200 sel/L
maupun CD4 > 200 sel/L. Infeksi oportunistik terhadap sistem saraf pada AIDS bisa oleh
patogen viral atau non viral. Infeksi non viral tersering adalah ensefalitis toksoplasmosis (ET)
yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii (T.gondii).4

Banyaknya infeksi oportunistik yang dapat terjadi pada seseorang dengan infeksi HIV
akan dapat memberikan gambaran-gambaran yang berbeda pada pemeriksaan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) yang dilakukan. Oleh sebab itu penulis pada referat ini akan
membahas mengenai gambaran-gambaran MRI yang ada pada seseorang dengan HIV yang
dapat dilihat pada infeksi oportunistik yang terjadi setelah munculnya gejala yang bersifat
simptomatik. Diharapkan hal ini dapat mempermudah dalam penegakkan diagnosis infeksi
oportunistik pada orang dengan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus)
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIV/AIDS

2.1.1 Pengertian HIV/AIDS

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit yang


menunjukkan adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae2. AIDS merupakan
tahap akhir dari infeksi HIV. Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan patogen
yang menyerang sistem imun manusia, terutama semua sel yang memiliki penanda CD4+
di permukaannya seperti makrofag dan limfosit T1.

2.1.2 Etiologi

AIDS disebabkan oleh virus HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah virus yang tergolong ke
dalam keluarga retrovirus subkelompok lentivirus. HIV-1 dan HIV-2 memiliki struktur
yang hampir sama. HIV-1 mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen vpx,
sedangkan HIV-2 mempunyai gen vpx tetapi tidak mempunyai gen vpx5.

2.1.3 Struktur HIV

HIV mempunyai inti berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung genom RNA
diploid dan enzim reverse transcriptase (RT), protease serta integrase. Reverse
transcriptase digunakan RNA template untuk memproduksi hybrid DNA. Antigen kapsid
(p24) adalah core antigen virus HIV yang merupakan pertanda terdini adanya infeksi
HIV-1, ditemukan beberapa hari-minggu sebelum terjadi serokonversi sintesis antibodi
terhadap HIV-1. Antigen ini menutupi komponen nukleoid, sehingga membentuk struktur
nukleokapsid. Antigen p17 merupakan bagian dalam sampul HIV. Pada bagian
permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120)
dengan bagian transmembran gp41. Antigen gp120 ini yang mengikat reseptor sel CD4
pada sel T dan makrofag.6
Gambar 1. Struktur Virus HIV

2.1.4 Siklus Hidup HIV

Siklus hidup dibagi menjadi 2 fase :

a. Fase Pertama
Dimulai dari melekatnya HIV pada sel host melaluui interaksi antara molekul
gp120 dengan molekul CD4 dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5).
Kemudian diikuti dengan fusi membran sel HIV dengan membran sel host. Di
dalam sel host terjadilah transkripsi DNA HIV dan RNA HIV oleh enzim RT.
DNA HIV yang terbentuk kemudian berinteraksi dengan DNA sel host dengan
bantuan enzim integrase. DNA yang terintegrasi disebut provirus.6

b. Fase Kedua
Transkrip DNA HIV yang telah terintegrasi menjadi RNA genom HIV dan
mRNA kemudian ditransport kedalam sitoplasma untuk ditranslasi menjadi
protein virus dengan bantuan membran sel host. Terjadilah partikel HIV
melalui proses budding dengan membran sel host sebagai bagian lipid sampul
HIV.6
Gambar 2. Daur Hidup HIV

2.1.5 Patogenesis

1. Pengaruh HIV terhadap sistem imun

HIV memasuki sel melalui molekul CD4 pada permukaan sel seperti sel T CD4, sel
makrofag, monosit, dan dendrit. Pada infeksi HIV terjadi imunosupresi yang disebabkan
oleh menurunnya jumlah dan terganggunya fungsi sel T CD4. Proses ini tidak hanya
disebabkan oleh efek sitopatik langsung, tetapi juga oleh efek sitopatik tidak langsung
yang dinamakan patogenesis imun.1 Selain efek langsung dantak langsung juga ada
peranan sel sitotoksik CD8 dalam infeksi HIV, yaitu sel CD8 akan mengikat sel yang
terinfeksi oleh virus HIV dan mengeluarkan perforin yang menyebabkan kematian sel.
Sel CD8 juga dapat menekan replikasi HIV didalam limfosit CD4.7

2. Efek sitopatik langsung1

a. Proses replikasi virus dalam sel T CD4, menyebabkan :

Peningkatan permeabilitas membran sel T CD4, sehingga ion dan air


masuk kedalam sel dan mengakibatkan lisis sel
Menghambat sintesis protein sel host kematian sel T CD4

b. Penimbunan DNA virus yang tidak terintegrasi ke genom host memberikan


efek toksik pada sel T CD4 yang terinfeksi dan mengganggu fungsi normal
sel host sehingga sel T CD4 menjadi mati

c. Interaksi molekul gp120 HIV dengan molekul CD4 intrasel

d. Hambatan maturasi sel prekursor T CD4

HIV dapat menginfeksi sel prekursor T CD4 didalam timus sehingga sel
tersebut tidak berkembang menjadi matur. Akibatnya jumlah sel T CD4
perifer menurun.

3. Efek sitopatik tidak langsung

Beberapa hipotesis mengenai efek sitotoksik tidak langsung mengenai penurunan


jumlah dan fungsi sel T CD yang diakibatkan virus HIV :

a. Pembentukan sel sinsitia


Terjadi karena sel T CD4 yang terinfeksi HIV memproduksi protein virus
gp120 dan mengekspresikannya di permukaan membran. Molekul gp120
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap sel T CD4 yang belum terinfeksi
sehingga akan mengikat sel T CD4 yang belum terinfeksi dan melebur menjadi
satu dengan 2 inti.
b. Apoptosis sel T reaktif
Molekul gp120 yang dibentuk oleh sel T CD4 yang terinfeksi dapat berikatan
dengan molekuk CD4 yang normal dan oleh kkompleks gp120-anti120
membuat sel yang normal menjadi apoptosis. Disamping itu, molekul ini juga
dapat menyebabkan refrakter terhadap semua stimulasi, sehingga fungsi sel T
CD4 berkurang.
c. Destruksi autoimun yang diinduksi HIV
Sel T CD4 normal yang sudah berikatan dengan molekul gp120 selain
mengalami apoptosis juga akan mengalami lisis melalui proses ADCC
(Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity) dan fiksasi komplemen.
d. Perubahan produksi sitokin sehingga menginduksi hambatan maturasi
a. Adanya gangguan produksi sitokin oleh sel makrofag dan monosit akan
menghambat maturasi sel prekursor TCD4
b. Disregulasi produksi sitokin pada infeksi HIV aktivasi sel Th2, yaitu
aktivasi imunitas humoral (sel B) kadar immunoglobulin serum
meningkat produksi autoantibodi meningkat penyakit autoimun.

2.1.6 Perjalanan Klinis HIV

1. Fase Infeksi Akut5,8

Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus bertindak sebagai antigen


precenting cell (APC) menangkap virus yang kemudian bermigrasi ke kelenjar
limfoid dan mempresentasikannya ke sel limfosit CD4 sehingga merangsangnya.
Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope
HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan
limfoid. Dendrit dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melaluui kontak langsung
antar sel.

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjargetah bening. Replikasi ini menyebabkan
viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti
infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T
subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer.
Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun
selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari
infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12
minggu setelah paparan pertama.

2. Fase Laten Klinis5,8

Pada fase ini kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat replikasi HIV
dan destruksi sel. Sistem imun masih kompeten untuk mengatasi infeksi mikroba
oportunistik dan belum tampak gejala klinik infeksi HIV. Pada fase ini jumlah virus
rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung HIV, tetapi
penghancuran sel T CD4+ di jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlahnya
dalam sirkulasi terus berkurang.

3. Fase Kronik Progresif5,8


Fase ini rentan terhadap infeksi lain dan respon imun terhadap infeksi
tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Penyakit
HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS yaitu dimana terjadi
destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang
dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pada penderita AIDS
mudah mendapat infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting
syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat
(ensefalopati HIV).

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6
minggu. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar
getah bening, ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau
tanpa pengobatan.2

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat
(non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun,
demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi
jamur, herpes dan lain-lainnya2

Tabel 1. Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan


(%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Meningitis 12
Saluran Cerna Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)

2.2 Infeksi Oportunistik

2.2.1 Definisi dan Epidemiologi

Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi oleh organisme yang biasanya tidak
menyebabkan penyakit tetapi pada keadaan tertentu (misal: gangguan sistem imun)
menjadi patogenik.2 Dalam tubuh kita membawa banyak organisme seperti bakteri,
parasit, jamur, dan virus. Sistem kekebalan yang sehat mampu mengendalikan kuman ini.
Tetapi bila sistem kekebalan dilemahkan oleh penyakit HIV atau obat tertentu, kuman ini
mungkin tidak terkendali lagi dan menyebabkan masalah kesehatan.

Infeksi oportunistik dapat terjadi pada CD4 <200 sel/mikroliter maupun CD4 >200
sel/mikroliter. Pada umumnya kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
disebabkan oleh infeksi oportunistik. Sebagian besar IO dapat diobati, namun jika
kekebalan tubuh tetap menurun maka IO mudah kambuh kembali atau bahkan tumbuh
IO yang lain. Maka dari itu pengobatan ARV sangat diperlukan untuk membantu
meningkatkan kekebalan tubuh sehingga resiko IO dapat dikurangi. Sebagian besar kasus
HIV/AIDS yang diperberat oleh munculnya infeksi oportunistik akan menyebabkan
kematian pada 80-90% kasus.2,9,10

2.2.2 Etiologi

Perjalanan menuju infeksi oportunistik pada pengidap HIV sangat ditentukan oleh
mekanisme regulasi imun pada tubuh pengidap HIV tersebut. Pada infeksi oleh human
immunodeficiency virus (HIV), tubuh secara gradual akan mengalami penurunan
imunitas akibat penurunan jumlah dan fungsi limfosit CD4. Regulasi imun ternyata
dikendalikan oleh faktor genetik, imunogenetika, salah satunya adalah sistem HLA yang
pada setiap individu akan menunjukkan ekspresi yang karakteristik. Pada awal masuknya
HIV ke dalam tubuh manusia, mekanisme respon imun yang terjadi adalah up regulation,
tetapi lambat laun akan terjadi down regulation karena kegagalan dalam mekanisme
adaptasi dan terjadi exhausted dari sistem imun. Keadaan ini menyebabkan tubuh
pengidap HIV menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik.2
Organisme penyebab IO adalah organisme yang merupakan flora normal, maupun
organisme patogen yang terdapat secara laten dalam tubuh yang kemudian mengalami
reaktivasi. Spektrum IO pada defisiensi imun akibat HIV secara umum mempunyai pola
tertentu dibandingkan IO pada defisiensi imun lainnya. Namun ada gambaran IO yang
spesifik untuk beberapa daerah tertentu. Semakin menurun jumlah limfosit CD4 semakin
berat manifestasi IO dan semakin sulit mengobati, bahkan sering mengakibatkan
kematian. Pegobatan dengan antiretroviral (ARV) dapat menekan replikasi HIV, sehingga
jumlah limfosit CD4 relatif stabil dalam jangka waktu panjang, dan keadaan ini
mencegah timbulnya infeksi oportunistik. Organisme yang sering menyebabkan IO
terdapat di lingkungan hidup kita yang terdekat, seperti air, tanah, atau organisme
tersebut memang berada dalam tubuh kita pada keadaan normal, atau tinggal secara laten
lalu mengalami reaktivasi.2

2.2.3 Diagnosis Infeksi Oportunistik

Penegakkan diagnosis infeksi oportunistik dapat dilakukan secara diagnosis


presumtif dan diagnosis definitif. Pada diagnosis definitif penyebab infeksi oportunistik
dapat ditemukan, sedangkan pada diagnosis presumtif penyebab infeksi tak ditemukan
akan tetapi kriteria klinis dan penunjang menjurus ke suatu diagnosis.

Macam-macam infeksi oportunistik menurut Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis


Infeksi HIV/AIDS Indonesia adalah9

1. PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia)


Pneumocystis carinii pneumonia (PCP), yang disebabkan oleh
Pneumocystis jirovecii, sejak lama dinyatakan sebagai salah satu infeksi
oportunistik utama pada penderita HIV. Dan kasus ini muncul terutama pada
pasien dengan CD4<200 sel/uL. Infeksi ini merupakan salah satu penyebab
kematian pada penderita HIV.

2. Kandidiasis
Meningkatnya infeksi jamur dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien imunokompromais di rumah sakit. Infeksi jamur oputunistik
dapat disebabkan oleh organisme semacam jamur maupun filamen jamur.
Penyebab tersering adalah kandida. Kandida adalah flora normal pada manusia
terutama saluran cerna maupun urogenital, serta kulit infeksi terjadi melalui
inhalasi atau inokulasi kulit. Pada orang dengan imunokompromais sangat
rentan terhadap infeksi jamur. Kandidiasis mukokutan dapat muncul dalam 3
bentuk, yaitu kandidiasis orofaring, esophagus, vulvovagina. Kandidiasis
mukokutan seringkali muncul berbulan-bulan sebelum munculnya infeksi
oportunistik yang lebih berat dan merupakan salah satu indicator progresifitas
HIV. Strain kandida yang menginfeksi tidak berbeda dengan pasien
imunokompromise lainnya, yang tersering adalah Candida albicans. Strain lain
yang pernah dilaporkan adalah C glabrata, C parapsilosis, C tropicalis, C
kruseii, dan C dubliniesis. Kandidiasis rekurens dapat disebabkan oleh strain
yang sama atau strain yang berbeda.

3. Kriptokokosis
Kriptokokosis yang dihubungkan dengan HIV umumnya adalah infeksi
jamur sistemik yang disebabkan oleh Cryptococcus neoformans. Spora jamur
ini dapat bertahan hidup dalam waktu lama di lingkungan yang sesuai,
ditemukkan di tanah dan di laporkan banyak terdapat pada tinja burung
merpati. Hingga tahun 1980 kriptokokosis merupakan penyakit yang sporadis.
Sebelum penggunaan ART berkisar 5-8% penderita HIV pada negara
berkembang mendapat kriptokokosis diseminata. Penyakit ini paling sering
timbul pada penderita HIV dengan CD4<50 sel/uL.
Infeksi terjadi dengan cara inhalasi spora ke dalam saluran pernafasan.
Selanjutnya terjadi fungemia dan diseminasi ke berbagai organ tubuh. Pada
pasien HIV 80-90% kriptokokosis bermanifestasi sebagai meningitis
kriptokokosis (MK). Hingga sekarang masih belum jelas apakah kriptokokosis
pada penderita HIV merupakan reaktivasi infeksi laten atau infeksi yang baru
terjadi.

4. HSV (Herpes Simpleks Virus)


Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan oleh Herpes Simpleks
Virus (HSV) tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis.
Penularan virus paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau
sekret genital/oral dari individu yang terinfeksi.

5. Herpes Zoster
Infeksi primer virus ini biasanya terjadi pada masa kanak- kanak. ODHA
mengalami infeksi rekurens virus ini (herpes zoster) lebih sering dibandingkan
pasien imunokompeten. Kejadian herpes zoster seringkali merupakan salah satu
indikator adanya infeksi HIV pada orang yang berisiko terinfeksi HIV.

6. Toksoplasmosis Serebral
Toksoplasmosis adalah penyakit zoonosis, disebabkan oleh parasit
Toxoplasma gondii yang dikenal sejak tahun 1908 (Yunani : berbentuk seperti
panah), merupakan parasit intraseluler yang menyebabkan infeksi asimtomatik
pada 80% manusia sehat, tapi berbahaya pada penderita HIV. Toxoplasmosis
pada penderita HIV terbanyak disebabkan oleh reaktivasi infeksi laten. Siklus
hidup T.gondii sangat kompleks. Inang definitifnya adalah kucing. Sedangkan
inang perantaranya sangat bervariasi seperti tikus, kambing, sapi, babi, unggas
dan hewan ternak lainnya. Pada manusia infeksi T.gondii melalui makanan
dapat terjadi dua mekanisme, yaitu makanan tercemar ookista yang berasal dari
tinja kucing dan melalui daging yang mengandung kista jaringan akibat kurang
matang dimasak. Serangga seperti kecoa dan lalat juga dapat mencemari
makanan dengan ookista.
Ensefalitis toksoplasma (ET) merupakan manifestasi utama
toksoplasmosis pada orang dengan HIV/AIDS. Manisfestasi ocular (retinitis),
paru (pneumonitis) dan infeksi sistemik lebih jarang dijumpai. Infeksi juga
dapat terjadi pada kelenjar limfe, hati, sumsum tulang dan jantung. Sebelum
ARV digunakan secara luas, 70% kasus lesi massa intrakranial pada ODHA
disebabkan oleh ET. Penyakit ini paling sering timbul pada ODHA dengan
CD4 < 100 sel/uL.
Diagnosis presumtif berdasarkan gejala klinis neurologi yang progresif
pada ODHA dengan nilai CD4 <200 sel/uL dan disertai gambaran
neuroimaging(CT/MRI) yang sesuai. Diagnosis definitive ET hanya dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi jaringan otak. Pemeriksaan MRI
lebih sensitif daripada CT scan dalam menemukan lesi ET. Sembilan puluh
persen memperlihatkan lesi tunggal atau multiple yang hipodens pada CT atau
hipointens pada MRI. Walaupun demikian, lesi yang tidak disertai penyangatan
kontras juga dilaporkan pada 6-20% kasus ET. Lokasi lesi sering kali
didapatkan pada ganglia basal, thalamus, atau cortio-medullary junction.
Bedasarkan diagnosis presumtif, terapi empiris toksoplasma dapat dimulai. Jika
diagnosis tersebut benar, lesi akan mengecil pada CT-scan atau MRI ulangan
setelah 2 minggu. Pada ET biasanya dijumpai lgG yang positif, sedangkan lgM
negative. Hal ini tidak mengherankan karena ET pada ODHA biasanya
merupakan reaktivasi infeksi laten. Walaupun demikian, pemeriksaan serologi
yang negative dijumpai pada 3-17% kasus ET yang didiagnosis melalui biopsy
maupun presumtif.

7. Progressive Multifocal Leucoencephalopathy (PML)


PML adalah lesi infiltrat pada otak yang dapat ditemukan pada pasien
denga HIV/AIDS dan disebakan oleh adanya reaktivasi dari virus JC (suatu
DNA polymavirus) yang awalnya dalam kondisi dorman. Virus ini dapat
menyebabkan terjadinya demielinisasi progresif dan dapat menimbulkan gejala
yang bervariasi tergantung daerah mana yang terinfeksi. Gejala yang paling
sering terjadi adalah kelemahan anggota gerak, gangguan berbicara,
abnormalitas kognitif, gait disorder, kejang, dan gangguan penglihatan.

8. Tuberkulosis
Tuberkulosis dapat mengenai CNS (Central Nervous System) dalam
berbagai cara seperti meningitis, abses cerebral, tuberkuloma dan strokeakibat
vasospasme dan trombosis.

9. Neurosifilis
Neurosifilis adalah suatu infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan
oleh Treponema pallidum. Hal ini dapat terjadi karena T.pallidum dan HIV
memiliki jalur yang sama dalam transmisinya. Neurosifilis dapat dikelompokan
dalam early forms (asimptomatik, meningitis simptomatik, meningovaskular
sifilis) dan late forms (general paresis dan tabes dorsalis).

10. Limpoma
Primary CNS lymphoma (PCNSL) adalah kedua terbanyak penyebab dari
masa intrakranial setelah infeksi toksoplasmosis. PCNSL dapat menyebabkan
simptom yang bermacam-macam tergantung dari letak lesi dan pembesaran
tumor. Secara umum, sebagian dari penderita PCNSL mengalami defisit
neurologik fokal (kejang, afasia, hemiparese, dan kelemahan lokal) dan
sebagian lainnya dapat mengalami gejala non-fokal seperti letargi, sakit kepala,
kehilangan ingatan, altered mental status, dan perubahan kepribadian.

2.2 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI) merupakan salah satu cara pemeriksaan


diagnostik dalam ilmu kedokteran, khususnya radiologi, yang menghasilkan gambaran
potongan tubuh manusia dengan menggunakan medan magnit tanpa menggunakan sinar X.
Prinsip dasar MRI adalah inti atom yang bergetar dalam medan magnet. Pada prinsip ini
proton yang merupakan inti atom hidrogen dalam sel tubuh berputar (spinning), bila atom
hidrogen ini ditembak tegak lurus pada intinya dengan radio frekuensi tinggi di dalam medan
magnet secara periodik akan beresonansi, maka proton tersebut akan bergetar/bergerak
menjadi searah/sejajar. Dan bila radio frekuensi tinggi ini dimatikan maka proton yang
bergetar tadi akan kembali ke posisi semula dan akan menginduksi dalam satu kumparan
untuk menghasilkan sinyal elektrik yang lemah. Bila hal ini terjadi berulang-ulang dan sinyal
elektrik tersebut ditangkap kemudian diproses dalam komputer akan dapat disusun menjadi
suatu gambar.

Berdasarkan medan magnet terdapat 3 macam MRI yaitu :

1. Magnet permanen : dapat dibuat sampai 0,3 Tesla


2. Magnet resistive : perlu arus listrik, kekuatan sampai 0,2 Tesla
3. Magnet superkonduktif : perlu pendingin (helium) suhu -269 oC. Kekuatan 0,5- 3
Tesla
Keuntungan medan magnet besar, homogenitas dan kestabilan tinggi sehingga
resolusi gambar menjadi lebih baik dan waktu pemeriksaan lebih singkat
dibandingkan 1&2

Keuntungan MRI

1. Tidak memakai sinar-X


2. Tidak merusak kesehatan pada penggunaannya yang tepat
3. Banyak pemeriksaan yang dapat dikerjakan tanpa memerlukan zat kontras
4. Disamping gambar informasi yang jelas, MRI juga dapat menunjukkan parameter
biologik (spektroskopi)
5. Potongan yang dihasilkandapat 3 dimensi (aksial, koronal, dan sagital) dan malah
banyak potongan dapat dibuat hanya dalam satu waktu (dapat membuat lebih dari 8
potongan sekaligus)

Kerugian MRI

1. Alat mahal
2. Waktu pemeriksaan cukup lama
3. Pasien yang mengandung metal tak dapat diperiksa terutama alat pacu jantung,
sedangkan pasien dengan wire & stent maupun pen boleh diperiksa
4. Pasien Claustrofobi (takut ruang sempit), perlu anestesi umum

Penilaian MRI dan Intensitasnya

Terdapat 3 macam intensitas yaitu : hipointens, isointens, dan hiperintens.

Contoh : - Air : hipointens pada T1 dan menjadi hiperintens pada T2

- Lemak atau darah : hiperintens pada T1 dan T2

- Kalsifikasi : hipointens pada T1 dan T2

Setiap jaringan mempunyai karakteristik yang khas pada T1 dan T2, sehingga bila ada
perbedaan intensitas dari jaringan normal, akan mudah diketahui bahwa hal tersebut
merupakan suatu kelainan.

Penggunaan MRI pada Kepala

Dengan MRI dapat dibedakan bagian otak yang abu-abu dengan bagian otak yang putih.
Bagian otak yang putih mengandung 12% lebih sedikit air dibandingkan dengan otak yang
abu-abu. Akan tetapi bagian yang putih mempunyai lebih banyak lemak daripada bagian otak
yang abu-abu. Karena banyak mengandung lemak, bagian otak yang putih mempunyai waktu
T1 yang pendek dan T2 yang panjang.

Pada gambar T1 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal yang lebih sedikit
dibandingkan dengan yang putih. Cairan likuor tidak menghasilkan sinyal (hipointens).

Pada gambar T2 : bagian otak yang abu-abu mempunyai sinyal intensitas yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bagian otak yang putih. Cairan likuor juga mempunyai sinyal
intensitas tinggi (hiperintens)

Lemak mempunyai sinyal intensitas tinggi yang sama pada gambar T1 danT2. Dengan
perbedaan waktu relaksasi dapat dibedakan antara bagian otak yang padar dengan kista.
Untuk membedakan lesi tersebut mengandung lemak atau darah diperlukan pemeriksaan
dengan teknik Fat Suppression atau Inversion Recovery. Dimana bila memang lemak maka
akan menjadi hipointens. Bila bukan lemak akan tetap hiperintens.

Indikasi MRI kepala :


- Tumor
- Stroke / CVD infark hemorrhagik atau non-hemorrhagik
- Penyakit demielinisasi (multiple sclerosis)
- Kelainan vaskular seperti aneurisma, AVM maupun stenosis
- Infeksi
- Metastase

a. Edema
Dengan MRI dapat diketahui dengan jelas, sehingga edema perifokal pada tumor otak
seperti glioblastoma (hampir 90% edema perifokal positif) dapat dikenal dengan mudah.
b. Perdarahan Otak
Perdarahan stasioner mempunyai waktu T1 yang pendek karena zat besi dalam
hemoglobin merupakan suatu bahan paramagnetis.
c. Perlemakan
Pada tumor yang kaya akan lemak, seperti teratoma, dermoid dan lipoma, mempunyai
waktu T1 yang pendek. Pada gambar T1 dan T2 mempunyai sinyal yang intensif
(hiperintens)
d. Perkapuran Patologik
Perkapuran mempunyai sedikit proton yang bergerak sehingga pada MRI tampak
mempunyai sinyal yang lemah. Perkapuran dapat ditemukan pada pascainfark, pada
tumor, pada pembuluh
e. Penyakit Demielinisasi
Sklerosis multipel mempunyai sensitivitas yang tinggi, sehingga penyakit ini dapat cepat
diketahui dan mudah untuk pengontrolan perjalanan penyakit.
f. Tumor Otak
Pada MRI ditandai melalui kerusakan/lesi yang ada dengan bermacam-macam intensitas
sinyal atau melalui tanda-tanda yang tidak langsung dari tumor seperti pergeseran
tempat, pendesakan atau pelebaran ventrikel dan edema perifokal yang positif.
Tumor menyebabkan perubahan waktu relaksasi. Tumor ganas lebih sering mempunyai
waktu relaksasi yang lebih panjang dibanding tumor jinak. MRI dapat menunjukkan pula
bagian tumor yang vital dan yang nekrosis. Bagian yang nekrosis mempunyai sinyal
sedikit.
Astrositoma : hanya sekitar 2% dan disertai edema perifokal. Tumor ini lebih dari 80%
mengandung air sehingga pada gambaran T1 mempunyai sinyal yang lemah dan pada
gambar T2 mempunyai sinyal intensitas tinggi. Pada pemberian kontras penyagatan
tergantung dari gradasi tumor tersebut.
Metastasis intrakranial : hampir 90% disertai edema perifokal positif, sehingga sukar
dibedakan dengan glioblastoma. Perlu zat kontras untuk mengetahui multipel lesi
penyagatan. Yang sukar bila lesi hanya satu, sedangkan primer di tempat lain ada seperti
di paru dan payudara
Meningioma : CT lebih baik dalam mendiagnosis daripada MRI, karena tumor ini
banyak mengandung perkapuran. Pada keadaan meragukan, baru diperlukan zat kontras
yang mengandung unsur Gadolinium (Gd3+) pada umumnya menyagat, dibandingkan
gambar T1 sebelum dengan sesudah kontras diberikan
g. Infark
Tanda perubahan dini dari iskemia otak adalah edema sitotoksis. Hal ini ditandai dengan
perpanjangan waktu T1 dan T2. Pada gambar T1 hipointens dan menjadi hiperintens
pada T2.
h. Infeksi
Pada infeksi otak tampak kerusakan setempat dengan sinyal yang intensitasnya berbeda-
beda. Perlu zat kontras untuk memperjelas kelainan yang ada.
i. Kelainan Pembuluh Darah
Malformasi arteriovenosus mempunyai sinyal yang lemah karena kelainan ii darah cepat
sekali mengalir. Aliran darah pada MRI mempunyai sinyal yang lemah. Pada T1 dan T2
tampak hipointens. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan MR angiografi sehingga dapat
melihat sumber arteri dan nidus dengan jelas dapat terlihat disekitar vena yang melebar.
Aneurisma juga dapat terlihat jelas pada MR angiografi.

2.3 Gambaran MRI pada HIV (Human Imunodeficiency Virus)

Ensefalitis HIV
Gambar 3. MRI Ensefalitis HIV Gambar 4. MRI Ensefalitis HIV (T2-w)
(T2-w FLAIR) potongan transversal12 potongan transversal12
Symmetric high signal pada subkortikal Symmetric high signals in periventricular
white matter dan area periventrikular subcortical white matter, predominantly in
parietal posterior areas

Gambar 5. MRI Ensefalitis (T2-w FLAIR) Gambar 6. MRI Ensefalitis HIV (T2-w
potongan koronal12 FLAIR) potongan koronal12
Ventrikulomegali ringan dengan hipersignal linear periventrikular dan high signal di white
matter subkortikal
Gambar 7. MRI HIV Ensefalopati potongan Gambar 8. MRI HIV Ensefalopati potongan
axial T112 axial T112

Gambar 9. MRI HIV Ensefalopati potongan Gambar 10. MRI HIV Ensefalopati
axial T112 potongan axial T112

Progressive Multifocal Leucoencephalopathy (PML)


Gambar 11. MRI PML (T2w FLAIR) Gambar 12. MRI PML (T2-w) potongan
potongan sagital12 transversal12
Diffuse high signal changes pada white Asimetris bilateral, hiperintens pada white
matter subkortikal di lobus frontal, parietal, matter subkortikal
dan oksipital

Gambar 13. MRI PML (T2-w) potongan transversal12


Asimetris bilateral, terutama pada daerah kiri, hiperintens pada white matter subkortikal

Toksoplasmosis Serebri
Gambar 14. MRI Toksoplasmosis Serebri (T1-w dengan kontras) potongan transversal12
Lesi nodular dengan enhancement (hipersignal) periferal anular dan edema disekelilingnya
(hiposignal); dapat menghasilkan gambaran massa

Gambar 15. MRI Toksoplasmosis Serebri (T2-w FLAIR) potongan koronal12


Terdapat beberapa lesi nodular dan sebuah lesi ireguler dengan hipersignal
Gambar 16. MRI Toksoplasmosis Serebri (T1 C + fat sat)12

Meningitis Kriptokokus
Gambar 17. MRI Meningitis Kriptokokus Gambar 18. MRI Meningitis Kriptokokus
(T2-w) potongan transversal12 (T2-FLAIR) potongan koronal12
Dilated Virchow-Robin spaces dan dilatasi Nodul hiperintens dan pembesaran ventrikel
ventrikuler ringan ringan

Neurosifilis

Gambar 19. MRI Neurosifilis (T2-w FLAIR) potongan koronal12


Hiperintensitas difusa bilateral di daerah frontal dan temporal, meliputi white matter
subkortikal

Gambar 20. MRI Neurosifilis (T2-w) potongan transversal12


Globus pallidus dan putamen hipointensitas bilateral; disseminated temporal dan lesi high-
signal insular dngan topografi subkortikal
HIV Associated Dementia

Gambar 21. HIV Associated Dementia Gambar 22. HIV Associated Dementia T2
FLAIR13 potongan aksial13

Gambar 23. HIV Associated Dementia T1 potongan aksial13


Limpoma Serebri
Gambar 24. MRI Limpoma Serebri T112

Lanjutan Gambar 24. MRI Limpoma Serebri T112

Ensefalitis Herpes Simpleks

Gambar 25. MRI Ensefalitis Herpes Simplek (T2-w) Potongan Koronal pada stadium akut
Terdapat penyangatan di daerah inferior dan bagian dalam lobus temporal, Kanan :
potongan MRI T1 weight setelah pemberian gadolinum memperlihatkan penyagatan bagian
insula kiri dan korteks temporal dan keterlibatan awal lobus12
Tuberkuloma

Gambar 26. MRI Tuberkuloma (T1-w) dengan injeksi gadolinium14

Gambar 27. MRI FLAIR Potongan Aksial14


(a) Memberikan gambaran tuberkulosis meningitis basal dengan peningkatan intensitas
signal dengan kemungkinan adanya eksudat. Pemberikan kontras pada potongan
aksial T1-w (b) dengan meningeal nodul pada basal cisterns; terdapat gambaran
hidrosefalus dengan dilatasi temporal horns ventrikel lateral
Gambar 28. MRI Tuberkuloma Potongan Aksial T1-w dan T2-w14

Potongan aksial T2-w (gambar a) memberikan gambaran tuberkuloma pada lobus parietal
kanan dengan hypointense center yang dikelilingi kapsula hiperintensitas.
BAB III

PENUTUP

Sangat penting bagi para klinisi untuk terbiasa dengan temuan gambaran Magnetic
Resonance Imaging (MRI) sehingga dapat membantu klinisi untuk dapat menegakkan suatu
diagnosis secara tepat. MRI dapat menghasilkan gambaran potongan tubuh manusia dengan
menggunakan medan magnit tanpa menggunakan sinar X, sehingga MRI tidak memberikan
efek radiasi pada penggunaannya. Meskipun demikian, klinisi juga tetap harus dapat
mempertimbangkan penggunaan MRI sebagai pemeriksaan penunjang berdasarkan faktor
biaya dan kondisi pasien.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Corry SM. 1996. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak. Jakarta;BPIDAI. p.274-286
2. Djoerban Z, Samsuridjal D. 2014. HIV/AIDS di Indonesia, dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, dkk, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed.6. Jakarta:
InternaPublishing.
3. UNAIDS-WHO. 2014. Report on the Global HIV/AIDS Epidemic 2014:
Epidemiology Graphs and Charts. Geneva.
4. Pohan, Herdiman T. 2009. Toksoplasmosis, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: FKUI.
5. Parwati MT, Djauzi S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. p. 272
6.
6. Garna BK. 2006. Imunologi dasar, ed. 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
7. Price SA, Wilso LMC. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
ed.6. Jakarta: EGC. p.224 46.
8. Widodo J. 2009. Fight Againts AIDS, Save Indonesian Childrens.
9. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV
dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2011.
10. Merati TP, Samsuridjal D. 2014. Respon Imun Infeksi HIV, dalam: Setiati S, Alwi I,
Sudoyo AW, dkk (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, ed. 6. Jakarta:
InternaPublishing. p. 924 31.
11. Benea CL, Petrescu AM, dan Constatinescu RM. HIV Encephalopathy Now and
Then. National Institue of Infectious Disease Prof. Dr. Matei Bals. Bucharest,
Romania.
12. Senocak E, Oguz KK, Ozgen B, dkk. 2010. Imaging Features of CNS Involvement in
AIDS. Turkish Society of Radiology.
13. Mai-Lan Ho, et al. HIV Associated Dementia. Radiopaedia.
14. Helmy A, Antoun NM, Hutchinson PJ. Cerebral Tuberculoma and Magnetic
Resonance Imaging. University of Cambridge.

Anda mungkin juga menyukai