Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS

HIV/AIDS STADIUM KLINIS 4 DENGAN PROBLEM


TOKSOPLASMOSIS CEREBRI + CANDIDIASIS ORAL DAN SIFILIS
PRIMER

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Buleleng

OLEH:
Made Mayasha Kalbariana
2248011005

PEMBIMBING:
dr. I Ketut Andriyasa., Sp.PD

SMF / BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2022
LAPORAN KASUS

HIV/AIDS STADIUM KLINIS 4 DENGAN PROBLEM


TOKSOPLASMOSIS + CANDIDIASIS ORAL DAN SIFILIS PRIMER

Diajukan Guna Melengkapi Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Buleleng

OLEH:
Made Mayasha Kalbariana
2248011005

PEMBIMBING:
dr. I Ketut Andriyasa, Sp.PD

SMF / BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmatNya-lah, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Infeksi Toksoplasmosis Dan Sifilis Pada Pasien Terkonfirmasi HIV/AIDS Stage-
II” yang disusun guna memenuhi tugas dalam menjalani Kepaniteraan Klinik pada
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Penulis banyak mendapat bantuan baik berupa
moral maupun material dari berbagai pihak selama menyelesaikan laporan ini.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. I Ketut Susila, Sp. JP., FIHA., selaku Kepala Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pendidikan Ganesha/RSUD
Buleleng.
2. dr. Sheila Gerhana Darmayanti, Sp.P, selaku Koordinator Pendidikan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Pendidikan
Ganesha/RSUD Buleleng.
3. dr. I Ketut Andriyasa, Sp.PD, selaku Pembimbing yang telah memberikan
motivasi dan arahan penulis dalam penyelesaian laporan kasus ini.
4. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu
penyusunan laporan kasus ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus yang sudah penulis
susun ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan yang penulis
miliki. Penulis mengharapkan segala kritik maupun saran konstruktif dari berbagai
pihak untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Penulis berharap laporan kasus ini
dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua khususnya bagi pengembangan
dunia pendidikan.
Singaraja, Desember 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang


menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia.
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang
timbul karena turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. HIV
dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi, seperti darah, ASI (Air Susu Ibu), semen dan cairan vagina. HIV juga
dapat ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama kehamilan dan persalinan.
Orang tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti mencium,
berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan, atau air.1
Infeksi HIV pada prinsipnya adalah defisiensi imunitas selular oleh HIV
yang ditandai dengan penurunan limfosit T helper (sel CD4). Terjadinya penurunan
sel T helper CD4 menyebabkan inversi rasio normal sel T CD4/CD8 dan
disregulasi produksi antibodi sel B. Respon imun terhadap antigen mulai menurun,
dan host gagal merespon terhadap infeksi oportunistik maupun organisme
komensal yang seharusnya tidak berbahaya. Defek respon imun ini terutama terjadi
pada sistem imunitas selular sehingga infeksi cenderung bersifat nonbakterial.2
HIV bereplikasi dalam sel T yang teraktivasi, kemudian bermigrasi ke
limfonodi dan menyebabkan gangguan struktur limfonodi. Gangguan jaringan
dendritik folikular di limfonodi yang diikuti kegagalan presentasi antigen secara
normal ini berperan dalam proses penyakit. Beberapa protein HIV menganggu
fungsi sel T secara langsung, baik melalui gangguan siklus sel maupun melalui
penurunan regulasi molekul CD4. Efek sitotoksik langsung dari replikasi virus
bukanlah penyebab utama penurunan sel T CD4, melainkan karena apoptosis sel T
sebagai bagian dari hiperaktivasi imun dalam merespon infeksi kronik. Sel yang
terinfeksi juga dapat terdampak oleh serangan imun tersebut. HIV menyebabkan
siklus sel berhenti sehingga menganggu produksi profil sitokin. Pada infeksi HIV
terjadi penurunan IL-7, IL-12, IL-15, FGF-2, dan peningkatan TNF-alpha, IP-10.3
Infeksi HIV terdiri dari 3 fase, yaitu fase serokonversi akut, fase
asimtomatik, dan fase Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).3
• Fase Serokonversi Akut
Viremia plasma yang cepat disertai penyebaran virus yang luas
terjadi 4-11 hari setelah virus masuk ke dalam mukosa. Virus cenderung
akan berintegrasi pada area dengan transkripsi aktif. Hal ini dimungkinkan
terjadi karena area tersebut memiliki kromatin terbuka yang lebih banyak
dan deoxyribonucleic acid (DNA) yang lebih mudah diakses. Selama fase
ini, proses infeksi mulai terjadi dan terbentuk reservoir proviral. Reservoir
ini mengandung sel yang terinfeksi (makrofag) dan mulai melepaskan virus.
Beberapa virus yang terbentuk mengisi kembali reservoir, beberapa
melanjutkan proses infeksi aktif. Reservoir proviral ini sangat stabil.
Besarnya reservoir proviral berkorelasi dengan viral load yang stabil dan
berbanding terbalik dengan respon sel T CD8 anti-HIV. Pada fase ini, viral
load sangat tinggi (sangat menular) dan jumlah sel T CD4 menurun cepat.
Dengan munculnya respon sel T CD8 dan antibodi anti-HIV, viral load
turun dan jumlah sel T CD4 kembali ke rentang normalnya namun sedikit
lebih rendah dibandingkan sebelum infeksi.
• Fase Asimtomatik
Pada fase asimtomatik, pasien yang terinfeksi menunjukkan sedikit
atau bahkan tidak ada gejala sama sekali selama beberapa tahun sampai 1
dekade atau lebih. Meski begitu, HIV tetap dapat ditularkan pada fase ini.
Replikasi virus tetap berlangsung. HIV tetap aktif namun diproduksi dalam
jumlah sedikit. Respon imun melawan virus juga terjadi, yang ditandai
dengan munculnya limfadenopati generalisata persisten pada beberapa
pasien. Selama fase ini, jika tidak diterapi, viral load akan tetap stabil (tidak
meningkat atau menurun), dan sel T CD4 akan menurun. Fase ini dapat
berlangsung sampai 1 dekade atau lebih. Pada akhir fase asimtomatik, viral
load akan meningkat, jumlah sel CD4 menurun, mulai muncul gejala, dan
memasuki fase AIDS.
• Fase AIDS
Pada fase AIDS, sel CD4 terus turun sehingga terjadi
immunosupresi yang menyebabkan infeksi oportunistik. Viral load pada
fase ini tinggi dan sangat infeksius. Tanpa pengobatan, kesintasan hidup
pasien dengan AIDS adalah sekitar 3 tahun.
Toxoplasma Gondii merupakan parasit obligat intraseluler yang tersebar
luas di seluruh dunia. Di Indonesia prevalensi zat anti Toxoplasma Gondii positif
pada manusia berkisar antara 2 % dan 63%. Pada pasien HIV positif didapatkan
sekitar 45% telah terinfeksi Toxoplasma Gondii. Pada pasien dengan infeksi HIV,
Toxoplasma Gondii menyebabkan infeksi oportunistik yang berat sehingga
diperlukan penatalaksanaan yang tepat dan sesegera mungkin. Pada individu sehat
(immunokompeten) parasit ini menyebabkan infeksi kronik persisten yang
asimptomatik, namun pada immunocompromised akan terjadi reaktivasi sehingga
menimbulkan gejala klinis.4,5,6
Penularan terhadap manusia terutama terjadi apabila tertelan daging yang
mengandung kista jaringan atau apabila menelan sayuran yang terkontaminasi dan
dimasak tidak matang. Jika kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista
tertelan pejamu, maka parasit akan terbebas dari kista dalam proses pencernaan.
Pada pasien immunocompromise seperti pada pasien HIV/AIDS, terjadi suatu
keadaan adanya defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi kuantitatif dan
kualitatif yang progresif dari limfosit T (T helper). Subset sel T ini digambarkan
secara fenotip oleh ekspresi pada permukaan sel molekul CD4 yang bekerja sebagai
reseptor primer terhadap HIV, dimana pada pasien HIV terjadi penurunan CD4 di
bawah level kritis (CD4< 100 sel/ml). Manifestasi tersering pada HIV adalah
ensefalitis yang kerap disebabkan toksoplasmosis. Ensefalitis toksoplasma (ET)
dapat terjadi pada 30 sampai 40% pasien yang tidak mendapat profilaksis
toksoplasmosis pada HIV.7,8
Selain toksoplasmosis, penyakit yang dapat mengenai kelompok penderita
HIV dan kerap menimbulkan ko-infeksi adalah sifilis. Sifilis adalah salah satu
infeksi menular seksual (IMS) dan disebabkan oleh Treponema pallidum. Menurut
World Health Organization (WHO) angka kejadian sifilis masih tinggi yaitu
mencapai 5,6 juta kasus sifilis di dunia pada remaja dan dewasa (usia15-49 tahun).
Sifilis disebut sebagai “the great imitator and mimicker” dikarekan manifestasinya
yang beragam dan cepat berubah. Sifilis yang termasuk dalam IMS memiliki cara
penularan melalui hubungan seksual dengan kontak vagina, anogenital, orogenital.
Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa kejadian sifilis berkaitan erat dengan
kejadian HIV mengingat jalur transmisi yang serupa. Penting untuk mendiagnosis
secara dini berbagai koinfeksi pada pasien HIV guna penatalaksanaan yang lebih
komprehensif.9 Berikut laporan kasus terkait dengan infeksi toksoplasmosis dan
sifilis pada pasien terkonfirmasi HIV/AIDS Stage II yang dipaparkan berdasarkan
temuan kasus di RSUD Buleleng.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Gusti Made Adnyana
Umur : 34 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Pekerja Harian Lepas
Alamat : Br. Delod Margi, Desa Sarimekar
No. RM : 67-6550
Tanggal MRS : 06 November 2022

2.2 Anamnesis
- Keluhan Utama : Sakit Kepala
- Riwayat Penyakit Sekarang : Saat dilakukan pemeriksaan, pasien sedang
dirawat di ruangan rawat inap RSUD Kabupaten Buleleng. Saat dilakukan
pemeriksaan wawancara, pasien hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan
pemeriksa, namun pasien masih dapat membuka mata dan bergerak dengan
spontan, sehingga wawancara dilakukan dengan istri pasien. Pasien datang ke
IGD RSUD Kab. Buleleng pada pukul 21.40 Wita dengan dikeluhkan
keluarganya mengalami sakit kepala serta tidak bisa diajak berkomunikasi oleh
keluarganya sejak sehari SMRS. Istri pasien mengatakan pasien sudah
mengeluhkan kondisi sakit kepala sejak sekitar satu bulan SMRS, kemudian
keluhan pasien dikatakan memberat sekitar satu minggu SMRS dimana pasien
merasa kepalanya seperti ditekan-tekan dari dalam dan pasien sempat mengeluh
nyeri pada mata kirinya, sehingga pasien sempat dibawa ke Puskesmas terdekat
dan diarahkan untuk datang ke RSUD Kab. Buleleng, namun keluarga pasien
belum membawa pasien ke RSUD saat itu, pasien juga mengatakan sulit makan,
karena merasa seperti terdapat banyak sariawan pada sekitar mulutnya, dan
puncaknya adalah saat sehari SMRS dimana pasien merasa keluhannya
memberat, serta pasien mulai tidak bisa diajak berkomunikasi oleh keluarganya.
Berat badan pasien dikatakan menurun oleh istrinya, dibandingkan saat pertama
kali istri pasien mengenal pasien untuk pertama kalinya sekitar 2 tahun SMRS
saat ini. Keluhan lain pada pasien adalah pasien dikeluhkan merasa gatal pada
kemaluan karena pasien diperhatikan sering menggaruk-garuk kemaluannya,
keluhan lain seperti demam, mual, muntah, diare, nyeri perut, sesak napas, dan
nyeri dada disangkal.
- Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien dikatakan belum pernah mengalami
keluhan serupa, riwayat penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit paru,
penyakit jantung, penyakit ginjal disangkal oleh istri pasien.
- Riwayat Pengobatan : Istri pasien mengatakan pasien hanya
sempat mengkonsumsi obat berupa Bodrex (Paracetmol 600 mg + Caffeine 50
mg) setiap kali pasien merasa sakit kepala.
- Riwayat Penyakit Keluarga : Menurut istri pasien, tidak ada keluarga
pasien yang mengalami keluhan serupa, riwayat penyakit hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal pada keluarga
disangkal oleh istri pasien.
- Riwayat Psikososial : Pasien sebelumnya sudah pernah menikah
sebanyak tiga kali sebelum dengan istri pasien saat ini, dari tiga kali masa
pernikahan tersebut pasien memiliki dua orang anak dari istri ketiganya, istri
pasien yang ketiga tersebut sebelumnya sudah pernah menikah dengan orang
lain sebelum dengan pasien, dan sempat merantau bekerja ke Denpasar sebelum
kembali tinggal dengan pasien dan akhirnya bercerai, sementara istri pasien saat
ini juga sebelumnya sudah pernah menikah satu kali dengan orang lain selain
pasien namun belum memiliki anak, sebelum akhirnya menikah dengan pasien
dan sudah memiliki anak dengan pasien, tetapi istri pasien mengatakan kalau
sebelum menikah dengan pasien, sebelumnya pasien dengan istrinya saat ini
sudah pernah melakukan hubungan badan. Pasien dikatakan memiliki riwayat
mengkonsumsi rokok dan minuman beralkohol, bahkan sejak pasien mengeluh
sakit kepala sekitar sebulan SMRS, pasien masih sempat beberapa kali
meminum minuman beralkohol.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Tanggal 08 November 2022 pukul 23.00 Wita di Ruang Rawat Inap Lely 2
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran (GCS) : E4V3M6 (Apatis)
Berat Badan : 54 kg
Tinggi Badan : 167 cm
BMI : 18.3 kg/m2 (Underweight)
Status Gizi : Kurang
SpO2 : 98% on RA
Tanda-Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 82 kali/menit
Laju Pernapasan : 18 kali/menit
Suhu : 36°C
Skor Nyeri : 0/10 (VAS)
Pemeriksaan Fisik Umum
Kepala : Normochepali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks pupil
(+/+) isokor, edema palpebral (-/-)
THT
- Telinga : sekret (-/-), serumen (-/-)
- Hidung : sekret (-/-), konka kongesti (-)
- Tenggorokan : Tonsil T1/T1, mukosa hiperemis (-)
- Mulut : Stomatitis aphtosa (+), Eritema Linea Gingiva (+)
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-), Pembesaran KGB (-), JPV PR + 2
cmH2O
Thorax-Cor :
- Inspeksi : iktus kordis dan pulsasi tidak tampak
- Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS VI MCL sinistra, kuat angkat
(+), thrill (-)
- Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS V PSL Dextra
Batas kiri jantung : ICS V MCL Sinistra
Batas atas jantung : ICS II PSL Dextra dan Sinistra
- Auskultasi :
Bunyi jantung S1 S2 tunggal regular
Murmur :-
Gallop :-
Thorax-Pulmo :
Depan Belakang
Pemeriksaan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Inspeksi
Bentuk Dada Normal Normal
Frekuensi Pernapasan 18 kali/menit
Jenis Pernapasan Thorako-Abdominal
Pergerakan Simetris Simetris Simetris Simetris
Celah iga Normal Normal Normal Normal
Retraksi Dinding Dada - -
Deviasi Trakea Tidak ada deviasi
Palpasi
Kelenjar Getah Bening Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Superior Normal Normal Normal Normal
Fremitus
Medial Normal Normal Normal Normal
Raba
Inferior Normal Normal Normal Normal
Pergerakan Simetris Simetris Simetris Simetris
Trakea Tidak ada deviasi
Perkusi
Superior Sonor Sonor Sonor Sonor
Suara Ketok
Medial Sonor Sonor Sonor Sonor
(perkusi)
Inferior Sonor Sonor Sonor Sonor
Batas paru hepar ICS VI MCL Dextra
Batas paru jantung ICS VI PSL Dextra
Auskultasi
Superior Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara Napas Medial Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Inferior Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan
Ronkhi Superior - - - -
Medial - - - -
Inferior - - - -
Superior - - - -
Wheezing Medial - - - -
Inferior - - - -
Suara Cakap
Superior - - - -
Bronkofoni
Medial - - - -
Inferior - - - -
Superior - - - -
Egofoni Medial - - - -
Inferior - - - -

Abdomen
- Inspeksi : distensi (-), scar (-)
- Auskultasi : bising usus (+), 10 x/menit normal.
- Palpasi : Hepar, lien, dan ginjal tidak ada pembesaran, nyeri tekan
(-)
- Perkusi : timpani
Ekstremitas
- CRT : >2 detik
- Akral Dingin : + | +
+|+
- Edema :- |-
- |-

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap (06 November 2022)
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan Interpretasi

WBC 4.96 103/microL 3.80-10.60 -


LY# 0.52 103/microL 1.00 – 3.70 Meningkat
MO# 0.46 103/microL 0.00 – 0.70 Meningkat
EO# 0.36 103/microL 0.00 - 0.40 -
BA# 0.02 103/microL 0.00 - 0.10 -
NE# 3.30 103/microL 1.50 - 7.00 -
LY% 16.5 % 25.0 – 40.0 Meningkat
MO% 9.3 % 2.0 – 8.0 Meningkat
EO% 7.3 % 2.0 - 4.0 Menurun
BA% 0.4 % 0.0 - 1.0 -
NE% 66.5 % 50.0 – 70.0 Menurun
IG# 0.04 103/microL 0.00 – 7.00 -
IG% 0.8 % 3.0 – 5.0 Menurun
RBC 3.98 106/microL 4.50 - 5.90 -
HGB 12.0 g/dL 13.5 - 17.5 -
HCT 34.7 % 40.0 – 52.0 -
MCV 87.2 fL 80.0 - 100.0 -
MCH 30.2 Pg 26.0 - 34.0 -
MCHC 34.6 g/dL 32 – 36 -
RDW SD 41.0 fL 37,0 – 54,0 -
RDW CV 13.0 % 11,6 – 14,6 -
PLT 150 103/&microL 150 – 440 -
MPV 10.6 fL 9.0 - 13.0 -
PCT 0.16 % 0.15 – 0.50 -
PDW 11.1 Fl 9.0 – 17.0 -
P-LCR 28.2 % 13.0 – 43.0 -
NLR 4.02 <3.13 -

Kimia Darah (06 November 2022)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Glukosa Darah
Glukosa Darah Sewaktu 89 mg/dL <=200
Faal Ginjal
Ureum 40.0 mg/dL 6 - 20
Kreatinin Serum 0.96 mg/dL 0.60 – 1.10
Faal Hati
SGOT 28.0 U/L 13-35
SGPT 24.9 U/L 7-35
Elektrolit Gas Darah
Natrium (Na) - Serum 133.5 mmol/L 135 – 145
Kalium (K) – Serum 4.09 mmol/L 3.50 - 5.10
Klorida (Cl) – Serum 97.3 mmol/L 98 – 107
Kalsium (Ca)- Serum 1.115 Mmol/L 1.120 - 1.320
Pemeriksaan Imaging
Chest-Xray

Deskripsi :
- Tanggal : 06 November 2022
- Identitas : Gusti Made Adnyana
- Proyeksi : AP
- Rotasi : Simetris
- Inspirasi : Cukup
- Exposure : Normal
A. Airway : tidak ada deviasi trakea
B. Bone : tidak tampak deformitas/fraktur, celah iga tidak tampak
melebar
C. Cardiac : CTR <50%, apeks tidak tertanam
D. Diafragma : tidak tampak diafragma yang mendatar
E. Edge : sudut kostofrenikus kanan kiri tajam
F. Field of Lung : tidak tampak infiltrate/cavitas/nodul, corakan
bronkovaskuler normal
G. Gastric : tidak tampak gastric bubble
H. Hillus : normal
Kesimpulan : Cor dan pulmo tidak tampak kelainan
CT-Scan Kepala (07 November 2022)

• Tidak ada perdarahan intracranial


• Tidak ada pergeseran midline shift
• Tampak perlebaran sistem ventrikel
• Tampak lesi hipodens berbatas tak tegas pada centrum semiovale kiri dan
basal ganglia bilateral
• Cerebellum tampak normal
• Brainstem (midbrain, pons, medulla) tampak normal
• Skull base tampak normal
• Paranasal sinus dan Mastoid Air Cells : Perselubungan pada sinus
ethmoidalis kanan-kiri
• Calvarium Cranii tampak normal
Kesan :
• Lesi hipodens centrum semiovale kiri dan basal ganglia dd/infark
(cerebritis)
• Brain atrophy
• Sinusitis Ethmoidalis Bilateral
Imuno Serologi (07 November 2022)
• HBsAg Rapid : Non-reaktif
• Anti HCV Rapid : Non-reaktif
• Antivirus HIV Kualitatif (07 November 2022)
• Rapid 1 Anti-HIV : Reaktif
• Rapid 2 Anti-HIV : Reaktif
• Rapid 3 Anti-HIV : Reaktif
➢ Anti Toksoplasma IgG : 715.90 (Reaktif)
➢ Sifilis AB : Reaktif
➢ Sifilis RPR : Reaktif, titer 1:16
Pemeriksaan EKG (06 November 2022)

Deskripsi :
A. Irama : Sinus
B. Rate : 65 x/menit
C. Aksis : Normal
D. Transitional zone : V4
E. Gelombang P : 0.08s
F. Interval PR : 0,16s
G. Durasi QRS : 0,16s
H. ST Segment : Isoelektris
I. Gelombang T : tidak ada gelombang T inverted
Kesimpulan : Normal sinus rhythm

2.5 Daftar Masalah


1. Anamnesis
- Sakit kepala sejak sebulan SMRS memberat sejak sehari SMRS.
- Kesulitan untuk diajak berkomunikasi sehari SMRS.
- Penurunan berat badan sejak 2 tahun SMRS.
- Riwayat Pengobatan: Bodrex (Paracetmol 600 mg + Caffeine 50 mg) setiap kali
pasien merasa sakit kepala.
- Pasien mengaku memiliki riwayat menikah sebanyak tiga kali sebelum dengan
istri pasien saat ini.
2. Pemeriksaan Fisik
- Kesan umum : tampak lemas
- GCS : E4V3M6 (Apatis)
- BMI : 18.3 Kg/m2 (Underweight)
- Mulut : Candidasis Oral (+)
3. Pemeriksaan Penunjang
➢ CT-Scan Kepala :
• Lesi hipodens centrum semiovale kiri dan basal ganglia dd/infark
(cerebritis)
• Brain atrophy
• Sinusitis Ethmoidalis Bilateral
• Antivirus HIV Kualitatif (07 November 2022)
• Rapid 1 Anti-HIV : Reaktif
• Rapid 2 Anti-HIV : Reaktif
• Rapid 3 Anti-HIV : Reaktif
➢ Anti Toksoplasma IgG : 715.90 (Reaktif)
➢ Sifilis AB : Reaktif
➢ Sifilis RPR : Reaktif, titer 1:16

2.6 Diagnosis
➢ HIV/AIDS Stadium Klinis 4 dengan problem :
Infeksi Toksoplasmosis Cerebri dan Candidiasis Oral
➢ Sifilis Primer
➢ Dermatitis e.c. Susp. Infeksi Jamur

2.7 Penatalaksanaan
- Medikamentosa
1. Di IGD
- IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
- Cotrimoxazole 2 x 960 mg (IV)
- Fluconazole 1 x 150 mg (IV)

2. Di Ruangan
- IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
- Cotrimoxazole 2 x 960 mg (IV)
- Fluconazole 1 x 150 mg (IV)
- Painloss (Ibuprofen 400 mg) 2 x 400 mg (IV)
- Ceftriaxone 2 x 2 gr (IV)
- Dexametasone3 x 10 mg (IV)
- Metronidazole 3 x 100 mg (IV)
- Pirimetamin 1 x 75 mg (IV)
- Clindamycin 4 x 150 mg (PO)
- Benzatin Penicilin-G 1 x @ minggu (IM)
- Ketoconazole 1 x 200 mg (PO)
- Ketoconazole 2 x 1 (Salf)
- Non-medikamentosa
Edukasi terkait kondisi yang dialami oleh pasien kepada istri pasien, dan
pemeriksaan apa saja yang harus dijalani oleh pasien serta istrinya, serta
mengedukasi pasien melalui istri pasien untuk rutin menjalani pengobatan yang
sudah direncanakan untuk pasien.

2.8 Follow Up Pasien


Tgl S O A P
09/ • Sakit TD: - HIV/AIDS - IVFD NaCl 0.9% 20
11/ kepala 100/60 Stadium Klinis 4 tpm
20 • Gatal pada mmHg dengan problem :
- Cotrimoxazole 1 x
22 kemaluan N: 83 Infeksi
kali/menit 960 mg (PO)
Toksoplasmosis
RR: 20 - Fluconazole 1 x 150
Cerebri dan
kali/menit
mg (PO)
T: 36.5°C Candidiasis Oral
- Sifilis Primer
SpO2: - Dermatitis e.c. - Painloss (Ibuprofen
98% on Susp. Infeksi 400 mg) 2 x 400 mg
RA
Jamur (IV)
- Dexametasone3 x 10
mg (IV)
- Pirimetamin 1 x 75
mg (IV)
- Clindamycin 4 x 150
mg (PO)
- Dipenhidramine 3 x
10 mg (IV)
- Benzatin Penicilin-G
1 x @ minggu (IM)
- Ketoconazole 1 x 200
mg (PO)
- Ketoconazole 2 x 1
(Salf)
10/ • Sakit TD: - HIV/AIDS - IVFD NaCl 0.9% 20
11/ kepala 100/70 Stadium Klinis 4 tpm
20 • Gatal pada mmHg dengan problem :
- Cotrimoxazole 1 x
22 kemaluan N: 81 Infeksi
membaik kali/menit 960 mg (PO)
Toksoplasmosis
RR: 17 - Fluconazole 1 x 150
Cerebri dan
kali/menit
mg (PO)
T: 36.5°C Candidiasis Oral
SpO2: - Painloss (Ibuprofen
- Sifilis Primer
98% on 400 mg) 2 x 400 mg
- Dermatitis e.c.
RA
(IV)
Susp. Infeksi
- Dexametasone3 x 10
Jamur
mg (IV)
- Pirimetamin 1 x 75
mg (IV)
- Clindamycin 4 x 150
mg (PO)
- Dipenhidramine 3 x
10 mg (IV)
- Benzatin Penicilin-G
1 x @ minggu (IM)
- Ketoconazole 1 x 200
mg (PO)
- Ketoconazole 2 x 1
(Salf)
11/ • Sakit TD: - HIV/AIDS - IVFD NaCl 0.9% 20
11/ kepala 110/70 Stadium Klinis 4 tpm
20 • Gatal pada mmHg dengan problem :
- Cotrimoxazole 1 x
22 kemaluan N: 83 Infeksi
membaik kali/menit 960 mg (PO)
Toksoplasmosis
RR: 20 - Fluconazole 1 x 150
Cerebri dan
kali/menit
mg (PO)
T: 36.5°C Candidiasis Oral
SpO2: - Painloss (Ibuprofen
- Sifilis Primer
98% on 400 mg) 2 x 400 mg
- Dermatitis e.c.
RA
(IV)
Susp. Infeksi
- Dexametasone3 x 10
Jamur
mg (IV)
- Pirimetamin 1 x 75
mg (IV)
- Clindamycin 4 x 150
mg (PO)
- Dipenhidramine 3 x
10 mg (IV)
- Benzatin Penicilin-G
1 x @ minggu (IM)
- Ketoconazole 1 x 200
mg (PO)
- Ketoconazole 2 x 1
(Salf)
12/ - Sakit TD: - HIV/AIDS - IVFD NaCl 0.9% 20
11/ kepala 110/70 Stadium Klinis 4 tpm
20 membaik mmHg dengan problem :
22
- Gatal pada N: 80 Infeksi - Cotrimoxazole 1 x
kemaluan kali/menit Toksoplasmosis 960 mg (PO)
membaik RR: 20
Cerebri dan - Fluconazole 1 x 150
kali/menit
T: 36.5°C Candidiasis Oral mg (PO)
SpO2: - Sifilis Primer - Painloss (Ibuprofen
98% on
- Dermatitis e.c. 400 mg) 2 x 400 mg
RA
Susp. Infeksi (IV)
Jamur
- Dexametasone3 x 10
mg (IV)
- Pirimetamin 1 x 75
mg (IV)
- Clindamycin 4 x 150
mg (PO)
- Dipenhidramine 3 x
10 mg (IV)
- Benzatin Penicilin-G
1 x @ minggu (IM)
- Ketoconazole 1 x 200
mg (PO)
- Ketoconazole 2 x 1
(Salf)
13/ - Sakit TD: - HIV/AIDS • BPL
11/ kepala 110/70 Stadium Klinis 4 Obat Pulang :
20 membaik mmHg dengan problem :
22 - Gatal pada N: 80 Infeksi • Cotrimoxazole 1 x
kemaluan kali/menit Toksoplasmosis 960 mg (PO)
membaik RR: 20
Cerebri dan • Fluconazole 1 x
kali/menit
T: 36.2°C Candidiasis Oral 150 mg (PO)
SpO2: - Sifilis Primer • Cetirizine 1 x 10
98% on mg (PO)
- Dermatitis e.c.
RA
Susp. Infeksi • Ketoconazole 1 x
Jamur
200 mg (PO)
• Ketoconazole
Cream 2% 2 x 1
(Salf)
• ARV Lini
Pertama
(Tenofovir 300
mg + Lamivudine
300 mg +
Efavirenz 600 mg
masing-masing
dikonsumsi 1 x 1
tab/hari)
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Anamnesis
Berdasarkan data WHO, terdapat beberapa perilaku dan kondisi yang
menyebabkan individu menjadi lebih berisiko tertular infeksi HIV, seperti;
hubungan seksual tanpa proteksi, termasuk hubungan seksual melalui anal atau
vagina; memiliki riwayat infeksi menular seksual lain, seperti sifilis, herpes,
klamidia, gonore, dan vaginosis bakterial; menggunakan jarum suntik yang
terkontaminasi oleh cairan/darah pasien HIV, termasuk alat suntik lain dan larutan
obat saat injeksi obat; menerima injeksi yang tidak aman, transfusi darah dan
transplantasi jaringan, dan prosedur medis yang melibatkan perlakuan tidak steril;
mengalami cedera tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja, termasuk antara
petugas kesehatan.10
Selanjutnya, transmisi HIV dapat terjadi melalui kontak dengan cairan
tubuh dari pasien yang terinfeksi HIV, seperti darah, ASI, semen, dan cairan vagina.
Selain itu, HIV juga dapat ditularkan dari ibu ke anaknya selama masa kehamilan
dan persalinan. Perlu diperhatikan juga bahwa HIV tidak dapat ditularkan melalui
kontak biasa sehari-hari, seperti berciuman, berpelukan, berjabat tangan, atau
berbagi benda pribadi, makanan atau air. Pada pasien HIV yang menggunakan
terapi ARV secara teratur dan supresi virus, tidak dapat menularkan HIV ke
pasangan seksualnya. Oleh karena itu, penelitian menunjukkan bahwa akses dini
terhadap ARV dan dukungan untuk tetap menggunakan pengobatan merupakan hal
yang sangat esensial dan penting, tidak hanya untuk meningkatkan kesehatan pasien
dengan HIV tetapi juga untuk mencegah penularan HIV.10
Infeksi HIV dapat menyebabkan penurunan imunitas tubuh secara progresif,
sehingga rentan mengalami berbagai macam infeksi dan penyakit lain yang dapat
memperburuk klinis pasien.8 Berdasarkan perbedaan jenis kelamin, persentase
kasus infeksi HIV pada laki-laki adalah 64,50% dan 35,50% pada perempuan.
Kemudian, terdapat 68,60% laki-laki yang berkembang menjadi AIDS dan 31,40%
pada perempuan. Persentase tersebut mengindikasikan bahwa infeksi HIV dan
AIDS lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan.
Di sisi lain, kelompok umur produktif, yaitu 25 – 49 tahun merupakan populasi
umur dengan prevalensi kasus infeksi HIV tertinggi setiap tahunnya.12
Manifestasi paling umum dari stadium II HIV biasanya ditandai dengan
salah satu atau lebih dari beberapa kondisi, seperti penurunan berat badan yang
tidak signifikan dan tidak diketahui penyebabnya (<10% dari perkiraan berat badan
atau berat badan sebelumnya), terjadi infeksi saluran pernafasan yang berulang
(sinusitis, tonsillitis, otitis media, faringitis), herpes zoster, keilitis angularis, ulkus
mulut yang berulang, ruam kulit berupa papul yang gatal (Papular pruritic eruption),
dermatisis seboroik, dan infeksi jamur pada kuku.13 Koinfeksi yang kerap terjadi
meliputi toksoplasmosis dan juga sifilis.
Pada pasien HIV koinfeksi toksoplasmosis gejala-gejala yang sering terjadi
adalah gangguan mental (75%), defisit neurologik (70%), sakit kepala (50%),
demam (45%), tubuh terasa lemah serta gangguan nervus kranialis. Gejala lain yang
juga sering ditemukan yaitu parkinson, focal dystonia, rubral tremor, hemikorea-
hemibalismus, dan gangguan batang otak. Medula spinalis juga dapat terkena
dengan gejala seperti gangguan motorik dan sensorik di daerah tungkai, gangguan
berkemih dan defekasi. Predileksi infeksi terutama pada great white junction,
ganglia basal dan talamus. Onset dari gejala ini biasanya subakut.14
Pada pasien HIV koinfeksi sifilis gejala-gejala yang sering terjadi diawali
dengan adanya papul kecil soliter, kemudian dalam satu sampai beberapa minggu,
papul ini berkembang menjadi ulkus. Lesi klasik dari sifilis primer disebut dengan
chancre, ulkus yang keras dengan dasar yang bersih, tunggal, tidak nyeri, merah,
berbatas tegas, dipenuhi oleh spirokaeta dan berlokasi pada sisi T. pallidum pertama
kali masuk. Apabila tidak diobati, gejala sifilis sekunder akan mulai timbul dalam
2-6 bulan setelah pajanan, 2-8 minggu setelah chancre muncul. Simetris, mungkin
meluas, dan umumnya tidak gatal meskipun 40% mengalami keluhan gatal.15
Teori yang dipaparkan tersebut sesuai dengan yang ditemukan pada pasien.
Seorang laki-laki, berusia 41 tahun datang dengan keluhan sakit kepala serta tidak
bisa diajak berkomunikasi oleh keluarganya sejak sehari SMRS. Istri pasien
mengatakan pasien sudah mengeluhkan kondisi sakit kepala sejak sekitar satu bulan
SMRS, kemudian keluhan pasien dikatakan memberat sekitar satu minggu SMRS
dimana pasien merasa kepalanya seperti ditekan-tekan dari dalam dan pasien
sempat mengeluh nyeri pada mata kirinya. Berat badan pasien dikatakan menurun
oleh istrinya. Keluhan lain pada pasien adalah pasien dikeluhkan merasa gatal pada
kemaluan karena pasien diperhatikan sering menggaruk-garuk kemaluannya.
Pasien sebelumnya sudah pernah menikah sebanyak tiga kali sebelum dengan istri
pasien saat ini. Istri pasien mengatakan jika sebelum menikah dengan pasien,
sebelumnya pasien dengan istrinya saat ini sudah pernah melakukan hubungan
badan. Pasien dikatakan memiliki riwayat mengkonsumsi rokok dan minuman
beralkohol.

3.2 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik HIV dilakukan untuk mengetahui kondisi dan juga tanda-
tanda pada pasien HIV-AIDS. Suhu demam umum pada orang yang terinfeksi HIV,
bahkan bila tidak ada gejala lain. Demam kadang-kadang bisa menjadi tanda dari
jenis penyakit infeksi tertentu atau kanker yang lebih umum pada orang yang
mempunyai sistem kekebalan tubuh lemah. Pemeriksaan berat badan atau status
nutrisi dilakukan pada setiap kunjungan, dimana kehilangan 10% atau lebih dari
berat badan maupun gizi buruk mungkin akibat dari sindrom wasting, yang
merupakan salah satu tanda-tanda AIDS.13 Jamur mulut dan luka mulut lainnya
sangat umum pada orang yang terinfeksi HIV. Contohnya adalah stomatitis aphtosa
Ulserasi aptosa dengan bentuk khas halo dan pseudomembran berwarna kuning-
keabuan, nyeri. serta Eritema Linea Gingiva yang ditandai dengan Garis/pita eritem
yang mengikuti kontur garis gingiva yang bebas, sering dihubungkan dengan
perdarahan spontan, dalam tingkatan yang lebih lanjut, dapat ditemukan Oral
Candidiasis yang ditandai dengan Plak kekuningan atau putih yang persisten atau
berulang, dapat diangkat (pseudomembran) atau bercak kemerahan di lidah,
palatum atau garis mulut, umumnya nyeri atau tegang (bentuk eritematosa) serta
Oral Hairy Leukopia yang merupakan Lesi putih tipis kecil linear atau berkerut pada
tepi lateral lidah, tidak mudah diangkat 13,16
Pembesaran kelenjar getah bening (limfadenopati) tidak selalu disebabkan
oleh HIV. Pada pemeriksaan kelenjar getah bening yang semakin membesar atau
jika ditemukan ukuran yang berbeda, akan di periksa setiap kunjungan dan dapat
dicurigai karena HIV. Kulit merupakan masalah yang umum untuk penderita HIV.
Pemeriksaan yang teratur dapat mengungkapkan kondisi yang dapat diobati mulai
tingkat keparahan dari dermatitis seboroik.13
Hal ini sesuai dengan yang dialami pasien yakni adanya gizi buruk dan
stomatitis aphtosa multipel, dan eritema linea gingiva.
3.3 Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis infeksi HIV dapat ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorium,
yakni berupa pemeriksaan serologis ataupun pemeriksaan virologi. Semua orang
dengan gejala klinis yang dicurigai sebagai HIV/AIDS perlu dilakukan pemeriksaan
laboratorium HIV. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan guna menjaring kasus
infeksi HIV pada remaja serta orang dewasa dengan peningkatan risiko infeksi HIV.
Pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi:19
1. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologis memiliki tujuan untuk memeriksa antibodi dan antigen
pada pasien. Pemeriksaan serologis berpegang pada prinsip bahwa agen infeksius
akan memicu host untuk menghasilkan antibodi spesifik sehingga bereaksi terhadap
agen infeksius tersebut. Beberapa pemeriksaan serologis yang kerap digunakan
antara lain:19,20
a) Rapid Immunochromatography atau Tes Cepat
Pemeriksaan ini dilakukan sebagai skrining. Tes ini menggunakan reagen
yang dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 ataupun HIV-2 yang
sudah dinilai oleh institusi dari Kementrian Kesehatan Indonesia.
b) Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai skrining ataupun sebagai
diagnosis infeksi HIV, bekerja dengan mendeteksi antibodi, baik HIV-1
ataupun HIV-2.
c) Metode Western Blot
Pemeriksaan ini digunakan pada kasus yang sulit, namun di Indonesia sudah
tidak digunakan sebagai standar konfirmasi diagnosis HIV saat ini.
d) Tes antigen p24 HIV
Tes antigen p24 dapat mendeteksi protein p24 rata-rata 10 hingga 14 hari
setelah terinfeksi HIV. Pemeriksaan ini direkomendasikan oleh WHO dan
CDC untuk waktu yang diperlukan dalam mendiagnosis infeksi HIV.
Hasil pemeriksaan serologis HIV sangat dipengaruhi oleh sensitivitas dan
spesifisitas perangkat yang digunakan. Metode pemeriksaan dengan sensitivitas
tinggi akan memberikan hasil positif pada orang terinfeksi HIV, namun di sisi lain
dapat memberikan hasil positif palsu, sedangkan pemeriksaan dengan spesifisitas
tinggi akan memberikan hasil negatif pada orang yang tidak terinfeksi HIV dan
hanya sedikit memberikan hasil positif palsu.21
2. Pemeriksaan Virologis
Pemeriksaan virologis dilakukan dengan melakukan pemeriksaan terhadap
DNA HIV dan RNA HIV. Pemeriksaan virologis umumnya diperlukan guna
mendiagnosis HIV pada kasus bayi berusia dibawah 18 bulan, infeksi HIV primer,
kasus terminal dengan pemeriksaan antibodi negatif dengan gejala klinis mendukung
sebagai AIDS, dan konfirmasi hasil untuk dua hasil laboratorium yang berbeda.
Beberapa pemeriksaan virologi HIV yang tersedia meliputi:20
a) HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada keberadaan
antibodi HIV. Tes ini digunakan untuk diagnosis pada bayi.
b) HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah dan dapat digunakan
untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan diagnosis pada bayi jika HIV
DNA tidak tersedia.
Pemeriksaan laboratorium HIV sesuai panduan nasional menggunakan
strategi tiga tes dan diawali dengan konseling pra-tes. Untuk diagnosis HIV pada
remaja dan dewasa, diperlukan tiga jenis tes antibodi untuk menegakkan diagnosis.
Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Pada
pemeriksaan pertama menggunakan reagen dengan sensitivitas yang tinggi, dan
untuk dua pemeriksaan selanjutnya menggunakan tes dengan spesifisitas yang tinggi.
Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan
setelah infeksi HIV (window period). Hasil pemeriksaan anti-HIV dapat
dikategorikan menjadi reaktif, non-reaktif dan tidak dapat ditentukan. Apabila
pemeriksaan dilakukan dalam window period, akan menunjukkan hasil non-reaktif.20
Diagnosis toksoplasmosis dibuat berdasarkan temuan klinis, laboratoris,
dan radioimaging. Pemeriksaan penunjang laboratorium toksoplasmosis akut
dibuat berdasarkan kultur, pemeriksaan serologis dan PCR. Pemeriksaan
laboratorium tidak ada yang spesifik kecuali limfositosis, peningkatan LED dan
peningkatan transaminase. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada
meningoensefalitis menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial, pleidositosis
mononuklear (10-50 sel/ml), peningkatan kadar protein.14
Diagnosis toksoplasmosis akut dapat dipastikan bila menemukan takizoit
dalam biopsi otak atau sumsum tulang, cairan cerebrospinal dan ventrikel. Dengan
cara pulasan yang biasa takizoit sukar ditemukan dalam spesimen ini. Isolasi parasit
dapat dilakukan dengan inokulasi pada mencit, tetapi hal ini memerlukan waktu
yang lama. Isolasi parasit dari cairan tubuh menunjukkan adanya infeksi akut, tetapi
isolasi dari jaringan hanya menunjukkan adanya kista dan tidak memastikan adanya
infeksi akut. Tes serologi dapat menunjang diagnosis toksoplasmosis. Tes yang
dapat dipakai adalah tes warna Sabin Feldman (Sabin-Feldman dye test) dan tes
hemaglutinasi tidak langsung (IHA), untuk deteksi antibodi IgG, tes zat
antifluoresen tidak langsung (IFA), dan tes ELISA untuk antibodi IgM dan IgG.14
Pemeriksaan CT-Scan kepala pada pasien dengan ensefalitis toksoplasma
(ET) menunjukkan gambaran menyerupai cincin yang multipel pada 70-80% kasus.
Pada pasien dengan AIDS yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii dan
gambaran cincin yang multipel pada CT scan 85% merupakan ET. Lesi tersebut
terutama berada pada ganglia basal dan corticomedullary junction. Magnetic
resonance imaging (MRI) merupakan prosedur diagnostik yang lebih baik daripada
CT-Scan dan sering menunjukkan lesi-lesi yang tidak terdeteksi dengan CT-Scan.
Oleh karena itu MRI merupakan prosedur baku jika memungkinkan terutama bila
CT-Scan menunjukkan gambaran lesi tunggal.7,23
Diagnosis sifilis dapat ditegakkan melalui pemeriksaan serologi, terutama
dilakukan apabila pasien telah menghasilkan antibodi terhadap T. pallidum.
Pemeriksaan serologi terdiri dari non-treponema dan treponema. Pemeriksaan
serologi non-treponema antara lain Venereal Disease Research Laboratory
(VDRL) dan Rapid Plasma Reagin (RPR). Pemeriksaan serologi treponema dapat
menentukan antibodi spesifik, antara lain Treponema pallidum haemagglutination
assay (TPHA) dan Treponema Pallidum Rapid (TP Rapid). Pemeriksaan VDRL
memberikan hasil reaktif pada 4-5 minggu setelah infeksi.21 Prinsip VDRL adalah
mengukur antibodi IgM dan IgG terhadap materi lipoidal yang merupakan produk
sel inang yang rusak. Pemeriksaan VDRL merupakan pemeriksaan slide
microflocculation menggunakan antigen terdiri dari kardiolipin 0,03%, lesitin +
0,21% dan kolesterol 0,9%. Spesimen dapat berupa serum tanpa antikoagulan atau
cairan serebrospinal. Pemeriksaan RPR merupakan pemeriksaan makroskopis
menggunakan kartu flocculation non-treponema. Antigen dibuat dari modifikasi
suspensi antigen VDRL terdiri dari choline chloride, EDTA, dan partikel charcoal.
Antigen RPR dicampur serum atau plasma yang tidak dipanaskan di atas kartu yang
dilapisi plastik.22 Prinsip pemeriksaan RPR adalah mengukur antibodi IgM dan IgG
terhadap materi lipoidal yang dihasilkan dari kerusakan sel inang. Jika di dalam
sampel ditemukan antibodi, maka akan berikatan dengan partikel lemak dari
antigen membentuk gumpalan. Partikel charchoal beraglutinasi dengan antibodi
dan akan terlihat seperti gumpalan di atas kartu putih. Apabila antibodi tidak
ditemukan dalam sampel, maka akan terlihat campuran berwarna abu-abu.26
Berbagai teori yang sudah dipaparkan dalam pustaka sesuai dengan keadaan
pasien saat ini. Pasien telah dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan
didapatkan hasil berupa antivirus HIV kualitatif reaktif, anti Toksoplasma IgG
reaktif, Sifilis AB dan Sifilis RPR reaktif, dan dari pemeriksaan imaging didapatkan
lesi hipodens centrum semiovale kiri dan basal ganglia.

3.4 Diagnosis
Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif, apabila memenuhi:17
a. Tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau reagen berbeda
dengan hasil reaktif
b. Pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV.
Pemeriksaan HIV lain yang dilakukan adalah pemeriksaan hitung CD4, yang
merupakan indikator sistem imun pada pasien dengan HIV. Nilai rentang normal
CD4 pada remaja dan dewasa berkisar dari 500-1.400 sel/mm6,17
Ig G anti toksoplasmosis meningkat setelah 1-2 minggu infeksi dan
meningkat mencapai puncaknya setelah 8 minggu. Hal tersebut akan menurun
secara perlahan dalam 1- 2 tahun, namun dalam beberapa kasus akan menetap
seumur hidup. Titer Ig G anti toksoplasma yang tinggi dengan aviditas yang positif
menandakan infeksi akut atau reaktivasi dari infeksi laten atau kronik toksoplasma.
Pada pasien dengan HIV yang telah terdeteksi dengan IgG Toxoplasma gondii dan
gambaran cincin yang multipel pada CT scan 85% merupakan ET, terutama berada
pada ganglia basal dan corticomedullary junction.14
Pemeriksaan non-treponema melalui serologis reaktif dalam 10-15 hari
sesudah terbentuk lesi primer. Pada penderita dicurigai sifilis dapat dilakukan pada
bulan ke-2 setelah paparan saat antibodi telah terbentuk. Puncak titer antibodi
penderita yang tidak diobati akan dicapai dalam 1-2 tahun sesudah infeksi dan tetap
positif dengan titer rendah pada stadium lanjut. Keberhasilan terapi dinilai
berdasarkan nilai titer yang turun empat kali lebih rendah setelah terapi
dibandingkan titer awal sebelum terapi. Evaluasi pemeriksaan nontreponema pasca-
terapi untuk sifilis primer dan sekunder dilakukan bulan ke-3, 6 dan 12, sedangkan
pada sifilis laten dilakukan bulan ke-6, 12, dan 24.27
Hal ini sesuai dengan kondisi pasien yang memenuhi kriteria dari
penegakkan diagnosis ketiga penyakit tersebut. Pada pasien memenuhi kriteria
pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV, pemeriksaan
serologis Toksoplasma dan Sifilis juga terdeteksi reaktif.

3.5 Tatalaksana
Penilaian dan tatalaksana pasca-diagnosis HIV umumnya memegang
prinsip sebelum memulai ARV, pada saat pemberian ARV, serta pemantauan terapi
ARV. Prinsip tersebut akan dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Sebelum Memulai Terapi ARV
Setelah diagnosis HIV dinyatakan positif, pasien diberikan konseling
dengan tujuan meningkatkan pemahaman mengenai HIV baik dalam pencegahan,
pengobatan, serta pelayanan. Hal ini diharapkan dapat mempengaruhi transmisi
HIV dan status kesehatan pasien. Pemberian konseling seyogyanya dilakukan untuk
mempertahankan kepatuhan minum ARV pasien. Kepatuhan merupakan hal
esensial karena terapi ARV harus diminum selama hidupnya.17
Konseling terapi akan membahas beberapa hal termasuk: kepatuhan minum
obat; potensi atau kemungkinan risiko efek samping atau efek yang tidak
diharapkan, komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan ARV jangka
panjang, interaksi dengan obat lain, pemantauan keadaan klinis, dan pemantauan
pemeriksaan laboratorium secara berkala termasuk pemeriksaan jumlah CD4. Pada
beberapa kasus terdapat penundaan memulai terapi ARV seperti pada pasien
dengan tuberkulosis atau imunosupresi lanjut.17
Pada saat konseling, pemeriksaan HIV juga ditawarkan secara aktif pada
pasangan seksual pasien yang diketahui HIV positif, baik suami/istri ataupun
pasangan seksual lainnya. Anak yang lahir dari ibu HIV positif juga ditawarkan
pemeriksaan HIV secara aktif, demikian pula orang tua dari bayi/anak yang
didiagnosa HIV.17
Beberapa pemeriksaan penunjang penting dilakukan untuk membantu
menentukan stadium klinis HIV dan pertimbangan dalam pemberian terapi. Untuk
pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah sebagai berikut:17

Tabel 2.1 Pemeriksaan Penunjang Awal Memulai Terapi ARV17

Jenis Pemeriksaan Keterangan


Rekomendasi Utama
Jumlah CD4 Penilaian imunologi, menentukan kapan memulai
dan menghentikan terapi profilaksis infeksi
oportunistik serta adakah kesegeraan untuk
memulai terapi ARV
Tes cepat molekular atau Skrining TB paru
basil tahan asam (BTA)
dan foto toraks jika
MTB/RIF tidak tersedia
Darah perifer lengkap Mengetahui adanya anemia, leukopenia dan
trombositopenia yang biasa terjadi pada pasien
HIV.
Jika akan memberi AZT pada pasien risiko tinggi
efek samping (CD4 rendah dan indeks massa tubuh
rendah)
SGPT Terutama bila akan diberikan NVP
Kreatinin Mempengaruhi dosis obat yang diberikan
HBsAg Mengetahui adanya ko-infeksi VHB dan HIV dan
bila ada, paduan ARV yang diberikan harus
berbasis tenofovir
Rekomendasi lain (bila ada)
Gula darah puasa Skrining penyakit tidak menular
Profil lipid Skrining penyakit tidak menular
Urinalisis Pada pasien dengan penyakit lanjut atau terdapat
kondisi komorbid (diabetes, hipertensi, hepatitis C)
karena terdapat risiko nefropati
Untuk melihat proteinuria atau glukosuria sebelum
pemberian TDF
Anti-VHC Kerusakan hati akibat hepatitis C memburuk lebih
cepat pada pasien ko-infeksi HIV
Jumlah virus/viral load Menilai prognosis, memprediksi respons terapi
RNA HIV
VDRL/TPHA Jika berisiko infeksi menular seksual misalnya pada
lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki atau
penjaga seks
Antigen kriptokokus Jika jumlah CD4<100 sel/uL. Diberikan flukonazol
(LFA) 150-200 mg per hari selama 12 minggu setelah
mulai ARV

2. Pemberian Terapi ARV


Terapi ARV harus diberikan pada semua ODHA tanpa melihat nilai CD4
dan stadium klinis. Pada ODHA yang datang tanpa gejala infeksi opportunistik,
ARV dapat diberikan segera dalam 7 hari setelah dilakukan diagnosis dan penilaian
klinis. Pada ODHA yang siap memulai ARV, dapat diberi konseling dan ditawarkan
untuk memulai terapi ARV pada hari tersebut, terutama pada kasus ibu hamil. Pada
ODHA yang datang dengan tuberkulosis, pengobatan tuberkulosis dimulai terlebih
dahulu, kemudian dilanjutkan dengan pengobatan ARV, segera dalam 8 minggu
pertama pengobatan tuberkulosis. ODHA dengan tuberkulosis yang dalam keadaan
imunosupresi berat (CD4 <50 sel/μL) harus mendapat terapi ARV dalam 2 minggu
pertama pengobatan TB.17
Paduan ARV lini pertama harus berisikan dua NRTI disertai NNRTI atau
PI. Pilihan paduan ARV lini pertama diberikan kepada pasien yang belum pernah
mendapatkan terapi ARV sebelumnya (naif ARV). Sedangkan bagi pasien lama
yang sedang dalam pengobatan ARV, tetap menggunakan panduan yang
sebelumnya.13 Berikut disajikan rangkuman paduan terapi ARV lini pertama pada
orang dewasa sebagaimana tercantum dalam tabel 2.2.

Tabel 2.2 Regimen ARV lini pertama14

Populasi Target Catatan


Dewasa Paduan Pilihan TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
dalam bentuk Kombinasi Dosis
Tetap
Paduan Alternatif AZT + 3TC + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
AZT + 3TC + EFV
TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

Berikut disajikan rangkuman dosis ARV pada orang dewasa sebagaimana


tercantum dalam tabel 2.3.

Tabel 2.3 Dosis ARV untuk ODHA Dewasa25

Golongan/Nama Obat Dosis


Nucleoside RTI
Abacavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam
Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 mg sekali sehari
Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam (30 mg bila BB<60 kg)
Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam
Nucleotide RTI
Tenofovir (TDF) 300 mg sekali sehari
Non-Nucleoside RTIs
Efavirenz (EFV) 600 mg sekali sehari
Nevirapine (NVP) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, kemudian
200 mg setiap 12 jam
Protease Inhibitors
Lopinavir/ritonavir 400 mg/100 mg setiap 12 jam (533mg/133mg
setiap 12 jam bila dikombinasikan dengan EFV
atau NVP)
ART kombinasi
AZT-3TC Diberikan 2x sehari dengan interval 12 jam

Berikut disajikan rangkuman kelas obat ARV, mekanisme kerja, beserta


efek spesifik obat sebagaimana tercantum dalam tabel 2.4.

Tabel 2.4 Kelas Obat ARV26,27

Kelas Nama Obat Mekanisme Efek Spesifik


Kerja
Nucleoside Zidovudin Penghambatan Sebagai analog asam nukleat
and nucleotide Didanosin enzim reverse mirip cetakan normal DNA,
reverse Abacavir transcriptase diharapkan mencegah
transcriptase Stavudin transkripsi RNA virus menjadi
inhibitors Lamivudin DNA
(NRTI Emtricitabin
dan NtRTI) Tenofovir
Non-nucleoside Nevirapin Menghambat Merubah konformasi tempat
reverse Efavirens enzim reverse katalitik reverse transcriptase
transcriptase Etravirin transcriptase dan menghambat prosesnya
inhibitors Rilpivirin secara langsung
(NNRTI)
Protease Ritonavir Menghambat Menghambat dari tahap akhir
inhibitors Lopinavir Protease replikasi virus, Diharapkan
(PI) Indinavir
Atazanavir terbentuk partikel virus
Darunavir noninfektif
Integrase Raltegravir Menghambat Mencegah transfer untaian
inhibitors integrasi virus DNA provirus ke dalam
(InSTIs) kromosom DNA host

3. Pemantauan Setelah Pemberian Terapi ARV


Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi respons
pengobatan. Jumlah pemantauan klinis dilakukan tergantung dari respon terapi
ARV. Pemantauan klinis pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai
terapi ARV dan setiap 6 bulan setelah pasien mencapai keadaan stabil merupakan
batasan minimal untuk pemantauan klinis. Penilaian klinis, tanda dan gejala efek
samping obat atau gagal terapi, infeksi oportunistik, konseling untuk membantu
pasien memahami terapi ARV dan dukungan kepatuhan dilakukan setiap
kunjungan.28 Pemantauan awal dan pemantauan selanjutnya harus selalu dilakukan
untuk memastikan keberhasilan terapi ARV, mendeteksi masalah terkait kepatuhan,
dan menentukan kapan terapi ARV harus diganti ke lini selanjutnya.13
Rekomendasi terapi kandidiasis oral pada dewasa meliputi Nistatin drop 4 -
5x kumur 500.000 U hingga lesi hilang (10-14 hari) khususnya untuk kasus ringan
dan Flukonazol oral lx100 mg selama 10-14 hari untuk kasus sedang-berat. Terapi
alternative dapat menggunakan Itrakonazol suspensi 200mg/hari saat perut kosong
serta Amfoterisin B iv 0,3mg/kgBB.17
Pasien HIV dengan CD4 <100sel/μL dengan serologis toksoplasma yang
positif perlu mendapatkan profilaksis primer, kotrimosazol 960mg satu kali sehari,
yang juga efektif sebagai profilaksis pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP).
Pemberian profilaksis terhadap ET dapat dihentikan pada pasien dewasa yang telah
menerima ARV dan CD4>200sel/μL selama 3 bulan berturut-turut. Oleh karena
pemberian profilaksis terus menerus hanya memiliki sedikit manfaat dalam
mencegah toksoplasmosis, memiliki potensi terjadinya toksisitas dan interaksi obat,
serta dapat menciptakan patogen resisten obat, selain juga pertimbangan biaya.17
Terapi fase akut toksoplasmosis adalah pirimetamin ditambah dengan
sulfadiazine. Asam folinat (leukovorin) diberikan untuk mengurangi toksisitas
hematologi akibat pirimetamin. Terapi alternatif yang direkomendasikan pada
pasien yang tidak dapat menerima sulfadiazin atau tidak berespons terhadap terapi
lini pertama adalah kombinasi pirimetamin dengan klindamisin. Apabila
pirimetamin tidak dapat diberikan, maka kotrimoksazol dapat menjadi alternatif.17
Penatalaksanaan sifilis adalah pemberian antibiotik, di mana pilihan utama
adalah benzil benzatin penisilin G. Terapi alternatif dapat menggunakan
doxycycline, erythromycin, atau ceftriaxone. Evaluasi terapi dilakukan secara klinis
dan serologi pada bulan ke-1, 3, 6, dan 12. Pasien dikatakan sembuh jika ada
penurunan titer VDRL dan Rapid Plasma Reagin (RPR) sebanyak 4 kali lipat
dalam 6 bulan.31 Tidak ada perbedaan pengobatan sifilis pada orang dewasa, remaja
(10-19 tahun), termasuk ibu hamil, dengan atau tanpa infeksi HIV. Sebanyak 70%
hingga 100% bayi terinfeksi sifilis dari ibu hamil dengan sifilis dini yang tidak
diobati. Lebih dari sepertiga kasus bahkan terjadi lahir mati. Sebagian besar
penularan kepada janin terjadi setelah 20 minggu, sehingga pengobatan sebelum
periode tersebut biasanya dapat mencegah terjadinya infeksi kongenital.17
Hal ini sesuai dengan tatalaksana yang diberikan kepada pasien. Saat pasien
di IGD diberikan resusitasi cairan kristaloid isotonic berupa NaCl 0.9% sebanyak
20 tpm. Kemudian diberikan cotrimoxazole 960 mg untuk penanganan
toksoplasmosis serta flukonazol untuk penanganan HIV khususnya candidiasis
oral. Benzatin penisilin G dan antibiotik lainnya digunakan untuk tatalaksana sifilis
sekunder. Setelah sekitar 5 hari perawatan, pasien sudah mulai membaik sehingga
pasien diperbolehkan pulang.

3.6 Komunikasi, Informasi, dan Edukasi


Kepatuhan pengobatan merupakan salah satu aspek penting yang perlu
dipantau secara rutin pada pasien HIV. Kepatuhan pengobatan didefinisikan
sebagai sejauh mana perilaku pasien dalam menjalani pengobatan, sesuai dengan
yang dianjurkan oleh petugas kesehatan. Kepatuhan yang tinggi dalam terapi ARV
sangat diperlukan untuk menurunkan replikasi virus, memperbaiki kondisi klinis
dan imunologis; menurunkan risiko timbulnya resistensi ARV; serta menurunkan
risiko transmisi HIV. Salah satu yang perlu dilakukan adalah dukungan kepatuhan
terhadap pengobatan, tidak semata-mata penggantian ke obat ARV alternatif.17
Berbagai faktor seperti akses pengobatan, obat ARV, dan faktor individu
mempengaruhi kepatuhan terhadap ARV. Faktor individu dapat berupa lupa minum
obat, bepergian jauh, perubahan rutinitas, depresi atau penyakit lain, bosan minum
obat, atau penggunaan alkohol dan zat adiktif. Faktor obat ARV meliputi efek
samping, banyaknya obat yang diminum dan restriksi diet. Pendekatan khusus perlu
diperhatikan pada populasi tertentu seperti perempuan hamil dan menyusui, remaja,
bayi dan anak-anak, serta populasi kunci.17
Individu yang baru terdiagnosis HIV direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan IgG toksoplasma untuk mengetahui adanya infeksi laten terhadap T.
gondii. Guna meminimalisasi terjadinya infeksi toksoplasma, perlu diberikan
penjelasan untuk menghindari daging mentah atau setengah matang. Pasien harus
mencuci tangan setelah berkontak dengan daging mentah atau tanah, serta selalu
mencuci buah dan sayur sebelum dimakan. Kucing sebagai binatang peliharaan
juga harus diberi perhatian khusus supaya tidak menjadi hewan pejamu yang dapat
menularkan toksoplasma.17
Tes serologis sifilis pada pasien HIV umumnya dapat diandalkan untuk
menegakkan diagnosis sifilis dan mengevaluasi respons pengobatan. Pasien sifilis
dengan koinfeksi HIV akan mengalami penurunan titer venereal disease research
laboratory test/rapid plasma reagin (VDRL/RPR) yang lebih lambat sesudah
diobati, namun tidak dapat dianggap sebagai kegagalan terapi. Pasien sifilis dini
dengan infeksi HIV tidak meningkatkan risiko keterlibatan neurologis dan mata
ataupun kegagalan terapi benzatin penisilin-G (BPG). Meskipun belum ada data
mengenai risiko neurosifilis pada pasien sifilis lanjut yang terinfeksi HIV, beberapa
ahli menganjurkan pemeriksaan cairan CSS sebagai bagian dari penilaian pasien
HIV dengan sifilis laten lanjut atau sifilis dengan waktu yang tidak diketahui.
Penting untuk memastikan terapi adekuat dan mencegah penularan, sehingga
diharapkan kasus sifilis tidak sampai menyebabkan komplikasi seperti neurosifilis
dan aneurisma aorta. Selain itu, perlu juga disampaikan edukasi mengenai perilaku
seksual yang sehat, termasuk pentingnya penggunaan kondom dan tidak berganti-
ganti pasangan seksual.17,31
3.7 Prognosis
Prognosis pasien HIV dengan berbagai koinfeksinya dipengaruhi oleh
kondisi pasien saat datang dan menjalani terapi. Terapi ARV bertujuan untuk
memperpanjang masa hidup. Terapi ARV bukanlah merupakan terapi definitif,
sehingga prognosis umumnya adalah dubia ad malam.30 Prognosis pasien HIV
dengan jumlah CD4 lebih dari 500 memiliki angka harapan hidup seperti seseorang
tanpa HIV. Seseorang dengan HIV yang tidak diterapi memiliki harapan hidup
sekitar 1 sampai 2 tahun setelah infeksi oportunistik pertama. Pengobatan ARV
dapat meningkatkan jumlah CD4.13 Dengan dimulainya terapi ARV yang teratur,
angka kematian yang berhubungan dengan HIV perlahan semakin turun. Secara
umum, penyebab kematian pasien dengan infeksi HIV dikarenakan penanganan
infeksi oportunistik yang tidak adekuat, efek samping ARV berat (missal Steven
Johnson Syndrome), dan keadaan gagal fungsi hati stadium akhir pada kasus ko-
infeksi HIV/HBV.
BAB IV
RINGKASAN

Telah dilaporkan kasus laki-laki usia 34 tahun dengan keluhan sakit kepala.
Keluhan disertai tidak bisa diajak berkomunikasi oleh keluarganya. Berat badan
pasien dikatakan menurun oleh istrinya. Keluhan lain pada pasien adalah pasien
dikeluhkan merasa gatal pada kemaluan. Pasien sebelumnya sudah pernah menikah
sebanyak tiga kali sebelum dengan istri pasien saat ini. Istri pasien mengatakan jika
sebelum menikah dengan pasien, sebelumnya pasien dengan istrinya saat ini sudah
pernah melakukan hubungan badan. Pasien dikatakan memiliki riwayat
mengkonsumsi rokok dan minuman beralkohol. Pemeriksaan fisik menemukan
adanya gizi buruk dan kandidiasis oral. Pasien telah dilakukan pemeriksaan
laboratorium dengan didapatkan hasil berupa antivirus HIV kualitatif reaktif, anti
Toksoplasma IgG reaktif, Sifilis AB dan Sifilis RPR reaktif, dan dari pemeriksaan
imaging didapatkan lesi hipodens centrum semiovale kiri dan basal ganglia.
Berdasarkan hal tersebut pasien di diagnosis Infeksi HIV Stage-II, DOC e.c. Susp.
Infeksi Toksoplasmosis dd Intracranial Process, serta Sifilis aquired. Pasien
diberikan tatalaksana di IGD dengan resusitasi cairan kristaloid isotonic berupa
NaCl 0.9% 1liter, cotrimoxazole 2 x 960 mg (IV), fluconazole 1 x 150 mg (IV).
Setelah sekitar 5 hari perawatan, pasien sudah mulai membaik sehingga pasien
diperbolehkan pulang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan RI. HIV/AIDS. Jakarta: Kemenkes RI. 2019.


[Diakses pada tanggal: 5 Desember 2021].
2. Phanuphak N, Gulick RM. HIV treatment and prevention 2019: current
standards of care. Curr Opin HIV AIDS. 2020 Jan;15(1):4-12. doi:
10.1097/COH.0000000000000588.
3. Vidya Vijayan KK, Karthigeyan KP, Tripathi SP, Hanna LE.
Pathophysiology of CD4+ T-Cell Depletion in HIV-1 and HIV-2 Infections.
Front Immunol. 2017. 8:580. doi: 10.3389/fimmu.2017.00580
4. Swami A, Thakuria R, Kharat S. Cerebral Toxoplasmosis in a Treatment
Naive HIV Patient with High CD4 Count Responding to Treatment with a
Regime of Cotrimoxazole and Pyrimethamine: Do We Need to Start
Prophylaxis for Toxoplasmosis at a Higher CD4 Count? HIV/AIDS
Research and Treatment. 2015 August; 2(3):72-5
5. Neki N. Cerebral Toxoplasmosis in HIV/AIDS Patient- A Case Report.
Bangladesh Journal Medicine. 2014 June; 25;76-7
6. Soleimani A, Bairami A. Cerebral Toxoplasmosis in A Patient Leads to
Diagnosis of AIDS. Asian Pacific Journal of Tropical Disease. 2015 July;
5(8):667-8
7. Basavaraju A. Toxoplasmosis in HIV Infection: An Overview. Tropical
Parasitology. 2016 Jul-Dec; 6(2):129-135
8. Baratioo A, Hashemi B, Rouhipour A, Haroutunian P, Mahdlou M. Review
of Toxoplasmic Encephalitis in HIV Infection; a Case Study. Archives of
Neuroscience. 2015 April; 2(2):1-5
9. Liazmi MC, Mubina JF. Hubungan Antarasifilis Dengan Human
Immunodeficiencyvirus (Hiv)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS). 2020. 2(1). 25-30
10. World Health Organization (WHO). HIV/AIDS. 2021. [Diakses pada
tanggal: 5 Desember 2022]. Tersedia di: https://www.who.int/news-
room/fact-sheets/detail/hiv-aids
11. Brew BJ, Garber JY. Neurologic sequelae of primary HIV infection. Handb
Clin Neurol. 2018;152:65-74.
12. Ditjen P2P. Pencegahan dan Pengendalian HIV AIDS dan PIMS di Indonesia
Tahun 2020 – 2024. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
2020. [Diakses tanggal: 5 Desember 2022]. Tersedia di:
https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Laporan_Perkembangan_HIV
_AIDS___PIMS_TRIWULAN_IV_TAHUN_2019.pdf
13. Hidayati AN, Rosyid AN, Nugroho CW, Asmarawati TP, Ardhiansyah AO,
Bakhtiar A, et al. Manajemen HIV/AIDS Terkini, Komprehensif, dan
Multidisiplin. Surabaya: Airlangga University Press; 2019. 3–22
14. Nasronudin. Toksoplasmosis. In N, Hadi U, Vitanata M, Triyoni EA, B, S,
et al., editors. Penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan mendatang.
Surabaya: Pusat penerbitan dan percetakan UNAIR; 2011.:494-500
15. Efrida, Elvinawaty. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan
Pemeriksaan Serologi, 2014. Jurnal Kesehatan Andalas
16. Cho E, Park Y, Kim K, Han D, Kim H, Kwon J et al. Clinical Characteristics
and Relevance of Oral Candida Biofilm in Tongue Smears. Journal of Fungi.
2021;7(2):77
17. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran dan
Tata Laksana HIV. Jakarta: Kemenkes RI. 2019. [Diakses pada tanggal: 5
Desember 2021]. Tersedia di:
https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/PNPK_HIV_Kop_Garuda1_.p
df
18. Agustina DR, Efiyanti C, Yunihastuti E, Ujainah A, Rozaliyani A. Diagnosis
dan Tata Laksana Pneumocystis Carinii Pneumonia (PCP)/Pneumocystis
Jirovecii Pneumonia pada pasien HIV: Sebuah Laporan Kasus. J Penyakit
Dalam Indonesia. 2017;4(4):209
19. Peeters M, Sharp PM: Genetic diversity of HIV-1: the moving target. AIDS
2000;14(suppl 3):S129-140.
20. Javadi S, Menias CO, Karbasian N, Shaaban A, Shah K, Osman A, Jensen
CT, Lubner MG, Gaballah AH, Elsayes KM. HIV-related Malignancies and
Mimics: Imaging Findings and Management. Radiographics.
2018;38(7):2051-2068
21. Durman E. Diagnosis Serologis Infeksi Human Immunodeficiency Virus.
Majalah Kedokteran FK UKI. 2012;28(3):126-132
22. Baratioo A, Hashemi B, Rouhipour A, Haroutunian P, Mahdlou M. Review
of Toxoplasmic Encephalitis in HIV Infection; a Case Study. Archives of
Neuroscience. 2015 April; 2(2):1-5
23. Naqi, Azeemuddin, Ahsan. Cerebral toxoplasmosis in a patient with acquired
immunodeficiency syndrome. J. Pak Med Association. 2010; 60(4): 316-8.
24. Indriatmi Wresti. Sifilis. In: Daili SF, Nilasari H, Makes WI, Zubier F,
Rowawi R, Pudjiati SR, editors. Infeksi menular seksual. 1st Ed. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI; 2017 .p.103-29.
25. Rosana Yeva. Pemeriksaan laboratorium mikrobiologi infeksi menular
seksual. In: Daili SF, Nilasari H, Makes WI, Zubier F, Rowawi R, Pudjiati
SR, editors. Infeksi menular seksual. 1st Ed. Jakarta : Balai Penerbit FK UI;
2017 .p. 45-53.
26. Efrida, Elvinawaty. Imunopatogenesis Treponema pallidum dan
pemeriksaan serologi: Tinjauan pustaka. Jurnal Kesehatan Andalas 2014
;3(3):572-87
27. Kinghorn Gr, Omer R. Syphilis and congenital syphilis. In: Griffiths CEM,
Barker J, Bleiker T, Chalmers R, Creamer D, editors. Rooks textbook of
dermatology. 9th Ed. West Sussex : John Wiley and Sons; 2016 .p. 820-52.
28. Ditjen PP & PL Depkes RI. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi
HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta; 2011
29. Li R, Duffee D, Gbadamosi-Akindele MF. CD4 Count. In: Handbook of
Disease Burdens and Quality of Life Measures [Internet]. Springer New
York; 2010 [dikutip 25 April 2021]. hal. 4164–4164
30. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer [Internet]. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2014. 2014
31. Janier M, Unemo M, Dupin N, Tiplica GS, Potočnik M, Patel R. European
guideline on the management of syphilis. J Eur Acad Dermatol Venereol.
2021 Mar;35(3):574-588.

Anda mungkin juga menyukai