Anda di halaman 1dari 26

DEPARTEMEN ILMU PATOLOGI KLINIK Referat

FAKULTASKEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN Juli 2020

ASPEK LABORATORIUM HIV/AIDS TANPA


KOMPLIKASI

DisusunOleh:

Syavira Aryasa Dali C014202254


Jumriah Ekawati Azis Noer C014202255
Andi Muhammad Hajrin C014202262

Residen Pembimbing :
dr. Fauziah
Supervisor Pembimbing :
dr. Uleng Bahrun, Sp.PK (K), PhD

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN PATOLOGI KLINIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR

ii
2021

iii
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, menyatakan bahwa :


Syavira Aryasa Dali C014202254
Jumriah Ekawati Azis Noer C014202253
Andi Muhammad Hajrin C014202261

Dengan judul referat :


Aspek Laboratorium HIV/AIDS Tanpa Komplikasi
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen
Ilmu Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juli 2021

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Uleng Bahrun, Sp. PK (K), PhD dr. Fauziah

iiii
BAB I

PENDAHULUAN

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai


kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh mnurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh ( Human Immunodeficiency Virus) AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1

World Health Organization (WHO), menyatakan akhir tahun 2018


terdapat 37,9 juta penduduk di dunia menderita penyakit HIV/AIDS, data ini
mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya yaitu
sebanyak 36,9 juta orang. Penderita terbanyak ditemukan di negara Afrika
sebanyak 25,7 juta, diikuti dengan negara Amerika sebanyak 3,5 juta,Asia
Tenggara 3,8 juta, Eropa 2,5 juta dan Pasifik Barat 1,9 juta.5

HIV dengan komplikasi atau tanpa komplikasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Definisi HIV menurut Depkes RI (2003), yaitu virus yang menyebabkan


AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Gejala-gejala timbul tergantung dari
infeksi oportunistik yang menyertainya. Infeksi oportunistik terjadi oleh karena
menurunnya kekebalan yang disebabkan rusaknya sistem imun tubuh akibat infeksi
HIV tersebut.4

Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan dampak atau efek dari


perkembang biakan virus HIV dalam tubuh makhluk hidup. Sindrom AIDS timbul
akibat melemah atau menghilangnya sistem kekebalan tubuh karena sel CD4 pada sel
darah putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.4

2.2 Epidemoilogi

HIV (Human immunodeficiency virus) dan AIDS (acquired immune


deficiency syndrome) telah menjadi masalah darurat global di seluruh dunia, 35 juta
orang hidup dengan HIV dan 19 juta orang tidak mengetahui status HIVposiif
mereka. Dikawasan Asia, sebagian besar angka prevalensi HIV pada masyarakat
umum masih rendah yaitu <1%, kecuali di Thailand dan India Utara. Pada tahun
2012, di Asia spesifik diperkirakan terdapat 350.000 orang yang terinfeksi HIV dan
sekitar 64% dari orang yang terinfeksi HIV adalah laki-laki.2

Epidemi HIV/AIDS juga menjadi masalah di Indonesia yang merupakan


Negara urutan ke 5 yang paling berisiko HIV/AIDS di Asia. Laporan kasus baru HIV
meningkat setiap tahunnya sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1987. Lonjakan
peningkatan paling banyak adalah pada tahun 2016 dibandingkan pada tahun 2015,
yaitu sebesar 10.315 kasus. Berikut adalah jumlah kasus HIV/AIDS yang bersumber
dari Ditjen penjegahan dan penanggulangan penyakit (P2P), data laporan tahun 2017
yang bersumber dari system informasi HIV?AIDS dan IMS(SIHA).2
Berdasarkan pada gambar kasus HIV yang dilaporkan cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya, sedangkan jumlah kasus AIDS relative stabil. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin banyak ODHA (orang dengan HIV AIDS) yang
statusnya masih terinfeksi HIV namun belum masuk stadium AIDS.terdapat 5
provinsi dengan jumlah infeksi HIV terbesar adalah jawa timur (8.204), DKI
Jakarta(6.626), Jawa Barat(5.819), Jawa Tengah(5.425), dan Papua(4.358).
sedangkan pada kasus AIDS terbanyak adalah Jawa Tengah (1.719), Jawa Barat
(1.251), Papua (804), jawa Timur (741), dan Bali (736). Dari jumlah infeksi HIV dan
AIDS yang dilaporkan, paling banyak adalah pulau jawa. Persentase HIV yang
dilaporkan pada bulan oktober-desember 2017 (triwulan4) sebanyak 62% Kasus HIV
yang dilaporkan adalah lakii-laki.2

2.3 Eriologi
Agen etilogi AIDS adalah HIV, yang termasuk famili retrovirus manusia dan
subfamili lentivirus. Keempat retrovirus manusia yang telah dkenal termasuk dalam 2
kelompok :

1. Virus limfotropik T manusia, HTLV – I dan II, dan


2. Virus imunodefisiensi manusia (human imunodefisiency virus), HIV I
dan II.

Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV
dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy
Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga
disebut Human T-Cell Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam
rebonukleatnya (RNA) menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk
kedalam sel pejamu.6

GAMBAR VIRUS

PATOGENESIS

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu6 :

a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi.


Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala flu
like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala
tidk ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah,
rash, limfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor
pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis

Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan tanda atau gejala


tertentu. Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi akut, 3-6
minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan,
pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi
akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berkembang selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil
orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun,
dan adapula yang perjalanannya lambat (non- progressor). 8,9,10,11

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA (Orang


Dengan HIV AIDS) mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberculosis, infeksi jamur, herpes
dll. 8,9,10,11

Dua sasaran utama infeksi HIV, yaitu sistem imun dan sistem saraf
pusat. Mekanismenya adalah sebagai berikut: 10

1) Patogenesis penyakit HIV secara imunologis.

Infeksi monosit dan makrofag sangat penting dalam patogenesis HIV.


Makrofag adalah “penjaga-gerbang” infeksi HIV. Selain memberikan jalan
masuk untuk penularan awal, monosit dan makrofag merupakan reservoir
dan “pabrik” virus, yang hasil keluarannya tetap sangat terlindungi dari
pertahanan pejamu. Makrofag juga menyediakan suatu kendaraan untuk
pengangkutan HIV menuju berbagai tempat di tubuh, khususnya sistem
saraf.10

Keadaan imunosupresi berat, yang terutama menyerang imunitas


seluler, merupakan penanda AIDS. Hal ini terutama disebabkan oleh
infeksi dan hilangnya sel T CD4+ serta gangguan pada fungsi
kelangsungan hidup sel T helper. Makrofag dan sel dendrite juga
merupakan sasaran infeksi HIV. Molekul CD4+ merupakan suatu reseptor
untuk HIV yang berafinitas tinggi. Hal ini menjelaskan mengenai tropisme
(kecondongan) selektif virus terhadap sel T terutama makrofag dan sel
dendrite. Namun, dengan berikatan pada CD4 tidak cukup untuk
menimbulkan infeksi, selubung gp120 HIV juga harus berikatan pada
molekul permukaan sel lainnya untuk memudahkan masuknya sel. Peranan
ini dimainkan oleh dua molekul reseptor kemokin permukaan sel, CCR5
dan CXCR4.10

Selubung gp120 HIV (menempel secara nonkovalen pada


transmembran gp41) mula- mula berikatan pada molekul CD4. Ikatan ini
menyebabkan perubahan konformasional yang membuka suatu lokasi
pengenalan baru pada gp120 untuk koreseptor CXCR4 (sebagian pada sel
T) atau CCR5 (sebagian besar pada makrofag). Kemudian gp41 akan
mengalami perubahan konformasional yang memungkinkan masuknya
rangkaian peptide gp41 ke dalam membran target sehingga memudahkan
fusi sel- virus. Setelah terjadi fusi, inti virus yang mengandung genom HIV
memasuki sitoplasma sel. Koreseptor merupakan komponen penting pada
proses infeksi HIV. Oleh karena itu, kemokin dapat bersaing dengan virus
untuk berikatan dengan reseptornya, dan kadar kemokin dalam lingkungan
mikro yang mengelilingi HIV dan sel targetnya dapat memengaruhi
efisiensi infeksi virus in vivo.10

Sekali mengalami internalisasi, genom virus mengalami transkrip-


balik (reverse transcription), yang membentuk DNA komplementer
(cDNA) . Pada sel T istirahat, cDNA provirus HIV dapat tetap berada
dalam sitoplasma dalam bentuk episomal linear. Tetapi, pada sel T yang
sedang membelah, cDNA akan memasuki nucleus dan akan terintegrasi ke
dalam genom pejamu. Setelah integrasi, provirus tersebut dapat tetap tidak
ditranskripsikan selama berbulan-bulan atau bertahun- tahun dan infeksinya
menjadi laten; jika tidak demikian, DNA provirus dapat ditranskripsikan
untuk membentuk partikel virus yang lengkap yang tumbuh dari membran
sel. Infeksi produktif tersebut, yang disertai dengan pertumbuhan virus
yang meluas, menyebabkan kematian sel.10

Infeksi HIV ditandai oleh hilangnya sel CD4+ yang terus- menerus,
dan pada akhirnya terkuras dari darah perifer. Infeksi produktif sel T
merupakan mekanisme terjadinya deplesi sel T CD4+ akibat infeksi HIV.
Awalnya, HIV 8berkolonisasi di organ limfoid (limpa, kelenjar getah
bening, tosil) dan menginfeksi sel T, makrofag, dan sel dendrite. Organ ini
merupakan tempat penyimpanan sel yang terinfeksi. Pada awalnya, sistem
imun dapat berproliferasi secara giat untuk menggantikan sel T yang mati
sehingga menyamarkan kematian sel yang masif yang terutama terjadi
dalam jaringan limfoid. Hilangnya sel T terjadi karena lisis sel langsung
karena infeksi HIV produktif.10

Hilangnya sel T dapat terjadi melalui mekanisme lain, yaitu hilangnya


prekursor imatur sel T CD4+ akibat infeksi langsung pada sel progenitor
timus atau infeksi sel aksesoris yang menyekresikan sitokin yang penting
untuk diferensiasi sel T CD4+. Jadi hilangnya sel CD4+ terjadi, baik akibat
meningkatknya perusakan maupun berkurangnya produksi. Akhirnya, pada
infeksi HIV lanjut, pada saat jumlah sel T CD4+ dikuras habis, makrofag
tetap merupakan tempat utama untuk kelanjutan replikasi virus.10

2) Patogenesis serangan pada sistem saraf

Patogenesis manifestasi neurologis pada AIDS pantas untuk dibahas


secara khusus karena selain sistem limfoid, sistem saraf juga merupakan
sasaran utama infeksi HIV. Makrofag dan sel yang masuk dalam jalur
keturunan monosit dan makrofag (mikroglia) merupakan jenis sel
terbanyak dalam otak yang terinfeksi HIV . Kemungkinan terbesar adalah
karena virus tersebut dibawa masuk ke dalam otak oleh monosit terinfeksi.
Namun, mekanisme kerusakan otak yang diinduksi oleh HIV, dan arena
luasnya perubahan neuropatologis sering kali lebih sedikit daripada yang
diperkirakan berdasarkan keparahan gejala neurologisnya, sebagian besar
peneliti meyakini bahwa defisit neurologisnya disebabkan secara tidak
langsung oleh produk virus dan faktor terlarut, seperti sitokin TNF yang
dihasilkan 9oleh makrofag/ microglia. Selain itu, nitrit oksida yang
diinduksi di dalam sel neuron oleh gp41 dan perusakan neuron secara
langsung oleh gp120 HIV terlarut telah pula dianggap sebagai
penyebabnya.10

GEJALA KLINIS
Perjalanan klinis infeksi HIV tebagi atas 3 tahap, yaitu: 10

1. Fase Akut
Fase akut menggambarkan respon awal seorang dewasa yang imunokompeten
terhadap infeksi HIV. Secara klinis, secara khas penyakit pada fase ini
sembuh sendiri 3-6 minggu setelah infeksi. 3 Fase ini ditandai dengan gejala
nonspesifik, yaitu nyeri tenggorok, mialgia, demam, ruam, dan kadang-
kadang meningitis aseptik. Namun, segera setelah hal itu terjadi, akan muncul
respon imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui
serokonversi ( sekitar 3 hingga 17 minggu setelah pajanan) dan melalui
munculnya sel T sitotoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah
viremia mereda, sel T CD4+ kembali mendekati jumlah normal, Namun,
berkurangnya virus dalam plasma bukan merupakan penanda berakhirnya
replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam makrofag dan sel T CD4+
jaringan. 10

2. Fase Kronis
Fase kronis menunjukkan tahap penahanan relatif virus. Para pasien tidak
menunjukkan gejala ataupun menderita limfadenopati persisten, dan banyak
penderita yang mengalami infeksi oportunistik, seperti sariawan (Candidiasis)
atau herpes zoster. Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan
gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah)
mencerminkan onset adanya dekompensasi sistem imun, peningkatan
replikasi virus, dan onset fase krisis. 10

3. Fase Krisis
Fase ini ditandai dengan kehancuran pertahanan pejamu yang sangat
merugikan, peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan
berat badan, dan diare. Jumlah CD4+ menurun dibawah 500 sel/µL. Setelah
interval yang berubah- ubah, pasien mengalami infeksi oportunistik yang
serius, neoplasma sekunder, dan/ atau manifestasi neurologis , dan pasien
yang bersangkutan dikatakan telah menderita AIDS yang sesungguhnya.
Menurut penurunan CD4+, CDC ( Centers for Disease Control )
mengklasifikasikan gejala pasien berdasarkan jumlah sel CD4+, yaitu:
1. CD4+ lebih dari 500 sel/µL: asimptomatis
2. CD4+ 200- 500 sel/µL: gejala awal penuruna CD4+
3. CD4+ dibawah 200 sel/µL: disertai imunosupresi yang berat. 10

Menurut Zubair Djoerban, Depkes RI, pembagian tingkatan klinis HIV dibagi
atas:

1. Tingkat I (asimptomatik/ Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP))12 :


a. Tanpa gejala sama sekali. Pada tingkat ini belum mengalami kelainan
sehingga aktivitas normal.
b. Limfadenopati Generalisata Persisten, yaitu penyakit pada getah
bening atau limfadenopati pada beberapa kelenjar getah bening yang
bertahan lama.

2. Tingkat 2 (dini), pada tingkatan ini sudah bergejala tetapi aktivitas masih
normal: 12
a. Penurunan berat badan kurang dari 10%
b. Kelainan mulut dan kulit ringan
c. Herpes zoster yang timbul 5 tahun terakhir, suatu penyakit kulit yang
disebabkan oleh virus herpes varicella zoster.
d. Infeksi saluran napas atas berulang, misalnya sinusitis, yaitu
peradangan pada rongga sinus di tengkorak.

3. Tingkat 3 (menengah) 12
a. Penurunan berat badan lebih dari 10%
b. Diare kronik lebih dari 1 bulan tanpa diketahui sebabnya
c. Demam yang tidak diketahui penyebabnya selama 1 bulan, hilang
timbul maupun terus- menerus
d. Kandidosis mulut, yaitu adanya infeksi Candida pada daerah mulut
e. Bercak putih berambut dimulut ( hairy leukoplakia)
f. TB paru setahun terakhir g. Infeksi bacterial berat pada parenkim paru
seperti pneumonia

4. Tingkat 4 ( lanjut) 12
a. Badan menjadi kurus, HIV wasting syndrome, yaitu berat badan turun
lebih dari 10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih
dari 1 bulan atau kelemahan kronik dan demam tanpa diketahui
sebabnya lebih dari 1 bulan.
b. Infeksi oportuistik berat
c. Enselofalopati HIV, sesuai kriteria CDC, yaitu gangguan kognitif atau
disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari- hari, progreisf
sesudah beberapa minggu atau bulan, tanpa dapat ditemukan penyebab
lain kecuali HIV.

Serangan pada sistem saraf merupakan manifestasi AIDS yang umum terjadi
dan penting. Yang bermakna pada beberapa pasien pasien adalah manifestasi
neurologis dapat merupakan satu- satunya gambaran yang muncul atau yang paling
awal muncul pada infeksi HIV. Gangguan neurologis dapat berupa meningitis
aseptic, mielopati vacuolar, neuropati perifer, dan yang paling umum adalah
enselopati progresif yang secara klinis disebut kompleks demensia- AIDS. 13

2. 4DIAGNOSIS

Tes HIV dan konseling merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan,
perawatan, dukungan dan pengobatan. Tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah
disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5 C (informed consent,
confidentiality, counseling, correct testing and connection/linkage to prevention, care and
treatment sevices).

2.4.1 Anamnesis 14

a. Identitas Klien Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, jenis


kelamin, status kawin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
diagnosa medis, No. MR.
b. Keluhan utama. Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan
manifestasi respiratori ditemui keluahn utama sesak nafas.
Keluahn utama lainnya dirtemui pada pasien penyakit HIV AIDS,
yaitu demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare
kronis lebih dari 1 bulan berulang maupun terus menerus,
penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih dari 1
bulan, infeksi mulut dan tenggorokan disebabkan oleh jamur
candida albikans,pembekakan kelenjar getah bening diseluruh
tubuh, munculnya herpes zooster berulang dan bercak-0bercak
gatal diesluruh tubuh.
c. Riwayat kesehatan sekarang. Dapat ditemukan keluhan yang
baisanuya disampaikan pasien HIV AIDS adalah: pasien akan
mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagipasien yang memiliki
manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyreri dada, dan demam,
pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat
badan drastis.
d. Riwayat kesehatan dahulu Biasanya pasien pernah dirawat karena
penyakit yang sama. Adanya riwayat penggunaan narkoba suntik,
hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan penderita
HIV/AIDS terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
e. Riwayat kesehatan keluarga Biasanya pada pasien HIV AIDS
adanya anggota keluarga yang menderita penyakit HIV/ AIDS.
Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV.
Pengakajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan
keluarga, adanya keluarga bekerja ditempat hiburan malam,
bekerja sebagai PSK (pekerja seks komersial).
f. Pola aktifitas sehari-hari (ADL) meliputi :
 Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat.
Biasanya pada pasien HIV/ AIDS akan mengalami
perubahan atau gangguan pada personal hygiene, misalnya
kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan
melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya
cenderung dibantu oleh keluarga atau perawat.

 Pola nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV / AIDS mengalami
penurunan nafsu makan, mual, muntah, nyeri menelan,
dan juga pasien akan mengalami penurunan berat badan
yang cukup drastis dalam jangka waktu singkat
(terkadang lebih dari 10% BB).

 Pola eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, feses encer,
disertai mucus berdarah

 Pola istrihat dan tidur


Biasanya pasien dengan HIV/ AIDS pola
istrirahat dan tidur mengalami gangguan karena adanya
gejala seperti demam daan keringat pada malam hari
yang berulang. Selain itu juga didukung oleh perasaan
cemas dan depresi terhadap penyakit.

 Pola aktifitas dan Latihan


Biasanya pada pasien HIV/ AIDS aktifitas dan
latihan mengalami perubahan. Ada beberapa orang
tidak dapat melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal
ini disebabkan mereka menarik diri dari lingkungan
masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi
terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang
lemah.
 Pola prespsi dan kosep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami
perasaan mara, cemas, depresi dan stres.
 Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami
penurunan pengecapan dan gangguan penglihatan.
Pasien juga biasanya mengalami penurunan daya ingat,
kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal.
Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa
mengalami halusinasi.

 Pola hubungan peran


Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi
perubahan peran yang dapat mengganggu hubungan
interpesonal yaitu pasien merasa malu atau harga diri
rendah.
 Pola penanggulangan stress
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan
mengalami cemas, gelisa dan depresi karena penyakit
yang dideritanya. Lamanya waktu perawtan, perjalanan
penyakit yang kronik, perasaan tidak berdaya karena
ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang
negatif berupa marah, marah, kecemasan, mudah
tersinggungdan lain-lain, dapat menyebabkan penderita
tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang
konstruktif dan adaptif.
 Pola reproduksi skesual
Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi
seksualitasnya terganggu karean penyebab utama
penularan penyakit adalah melalui hubungan seksual.
 Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan
pasien awalnya akan berubah, karena mereka
menganggap hal yang menimpa mereka sebagai balasan
perbuatan mereka. Adanya status perubahan kesehatan
dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai
kepercayaan pasien dalam kehidupan mereka dan
agama merupakan hal penting dalam hidup pasien.

Pemeriksaan fisik 14
 Gambaran umum : ditemukan pasien tampak lemah
 Kesdaran : composmentis kooperatif, sampai terjadi
penurunan tingkat kesadaran, apatis, somnolen, stupor
bahkan koma.
 Vital sign : TD; biasanya ditemukan dalam batas normal,
nadi; terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat,
pernapasan : biasanya ditemukn frekuensi pernapasan
meningkat, suhu; suhu biasanya ditemukan meningkat
krena demam,
 BB ; biasanya mengalami penrunan(bahkan hingga 10%
BB), TB; Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi
badan tetap).
 Kepala : biasanya ditemukan kulit kepala kering karena
dermatitis seboreika
 Mata : biasnay konjungtifa anemis , sce;era tidak ikterik,
pupil isokor,refleks pupil terganggu
 Hidung : biasanya ditemukan adanya pernapasan cuping
hidung  Leher: kaku kuduk (penyebab kelainan
neurologic karena infeksi jamur criptococus neofarmns)
 Gigi dan mulutr : biasany ditemukan ulserasi dan adanya
bercak- bercak putih seperti krim yang menunjukan
kandidiasis
 Jantung: Biasanya tidak ditemukan kelainan
 Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien AIDS
yang disertai dengan TB napas pendek (cusmaul)
 Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif
 Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya
tanda-tanda lesi (lesi sarkoma kaposi)
 Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto
menurun, akral dingin.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Sumber : Rosenberg NE, Pilcher CD, Busch MP, Cohen MS. How can we better
identify early HIV infections? Curr Opin HIV AIDS. 2015;10(1):61–8.

Marker infeksi HIV cari gambar


Algoritme tes laboratorium HIV yang direkomendasikan gambar

Diagnosis HIV dapat ditegakkan dengan menggunakan 2 metode


pemeriksaan, yaitu pemeriksaan serologis dan virologis. 15

a. Metode pemeriksaan serologis 15

Antibodi dan antigen dapat dideteksi melalui pemeriksaan


serologis. Adapun metode pemeriksaan serologis yang sering
digunakan adalah

1) rapid immunochromatography test (tes cepat)


2) EIA (enzyme immunoassay)
Secara umum tujuan pemeriksaan tes cepat dan EIA
adalah sama, yaitu mendeteksi antibodi saja (generasi pertama)
atau antigen dan antibodi (generasi ketiga dan keempat).
Metode western blot sudah tidak digunakan sebagai standar
konfirmasi diagnosis HIV lagi di Indonesia.

b. Metode pemeriksaan virologis 15

Pemeriksaan virologis dilakukan dengan pemeriksaan DNA


HIV dan RNA HIV. Saat ini pemeriksaan DNA HIV secara kualitatif
di Indonesia lebih banyak digunakan untuk diagnosis HIV pada bayi.
Pada daerah yang tidak memiliki sarana pemeriksaan DNA HIV,
untuk menegakkan diagnosis dapat menggunakan pemeriksaan RNA
HIV yang bersifat kuantitatif atau merujuk ke tempat yang mempunyai
sarana pemeriksaan DNA HIV dengan menggunakan tetes darah
kering (dried blood spot [DBS]).

Pemeriksaan virologis digunakan untuk mendiagnosis HIV pada : 15

1) bayi berusia dibawah 18 bulan.


2) infeksi HIV primer.
3) kasus terminal dengan hasil pemeriksaan antibodi negatif
namun gejala klinis sangat mendukung ke arah AIDS.
4) konfirmasi hasil inkonklusif atau konfirmasi untuk dua hasil
laboratorium yang berbeda.

Hasil pemeriksaan HIV dikatakan positif apabila: 15

1) tiga hasil pemeriksaan serologis dengan tiga metode atau


reagen berbeda menunjukan hasil reaktif.
2) pemeriksaan virologis kuantitatif atau kualitatif terdeteksi HIV.

Strategi pemeriksaan yang digunakan diasumsikan mempunyai


sensitivitas minimal 99% (batas bawah IK 95%) dan spesifisitas minimal 98%
(batas bawah IK 95%), sehingga menghasilkan nilai duga positif sebesar 99%
atau lebih. Strategi pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium atau di
komunitas harus memberikan hasil yang sama. 15

Strategi ini dapat diaplikasikan pada semua format tes serologis.


Semua personel yang terlibat, baik tenaga laboratorium maupun pekerja
kesehatan yang telah dilatih, dalam melakukan tes, termasuk pengambilan
spesimen, prosedur pemeriksaan, pelaporan status HIV harus berpedoman
pada strategi tes ini. Kombinasi tes cepat atau kombinasi tes cepat dan EIA
dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kombinasi
EIA/western blot. 15

1. Diagnosis infeksi HIV pada anak berusia <18 bulan 15

Mortalitas tertinggi balita terinfeksi HIV yang tidak mendapatkan


terapi terjadi pada usia pertama kehidupan. Diagnosis dini merupakan salah
satu upaya untuk menghindari kematian tersebut. Diagnosis definitif infeksi
HIV pada anak berusia <18 bulan hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan tes virologis (lampiran 2). Uji serologis tidak dapat digunakan
untuk menegakkan diagnosis definitif infeksi HIV pada anak berusia <18
bulan karena terdapat transfer transplasental antibodi maternal terhadap HIV.

Spesifitas PCR RNA HIV mencapai 100% saat lahir, usia 1, 3, dan 6
bulan. Spesifitas tersebut tidak berbeda dengan spesifitas PCR DNA HIV. Uji
yang dilakukan segera saat lahir akan mendeteksi bayi yang terinfeksi
intrauterin. Uji PCR RNA HIV dapat mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV
sebesar 25-85% pada usia satu minggu pertama; 89% pada usia satu bulan;
90-100% pada usia 2-3.

Uji PCR DNA HIV mempunyai spesifitas sebesar 99,8% saat lahir,
dan 100% pada usia 1,3, dan 6 bulan. Uji PCR DNA HIV dapat
mengidentifikasi bayi terinfeksi HIV sebesar 20-55% pada usia satu minggu
pertama; 90% pada usia 2-4 minggu; 100% pada usia 3-6 bulan.

Penentuan saat pemeriksaan yang tepat untuk mendiagnosis infeksi


HIV pada bayi ditentukan oleh beberapa faktor, di antaranya estimasi saat
infeksi terjadi (intrauterin, intrapartum, pasca-natal), sensitivitas, spesifisitas
dan nilai duga uji yang digunakan; risiko

mortalitas terhadap usia; dan retensi pemeriksaan sampai dengan tata


laksana. World Health Organization merekomendasikan pemeriksaan uji
virologis pertama dilakukan pada usia 4-6 minggu. Bayi dengan risiko tinggi
harus mendapatkan pemeriksaan PCR tambahan pada saat lahir dan usia 4
bulan (jika hasil PCR pertama negatif).
Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan PCR DNA dan RNA untuk
menegakkan diagnosis infeksi HIV yang dilakukan segera saat lahir memiliki
hasil yang tidak begitu baik. Pemeriksaan virologis pada usia 1-2 bulan
bertujuan untuk memaksimalkan deteksi infeksi HIV pada bayi.

Penelitian terhadap 1567 bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV yang
membandingkan akurasi uji PCR RNA HIV dan PCR DNA HIV
mendapatkan akurasi keduanya serupa dengan masing-masing sensitivitas
sebesar 100% pada usia 3 bulan. Sensitivitas terendah didapatkan pada saat
pemeriksaan segera setelah lahir (PCR DNA HIV: 55%; PCR RNA HIV:
58%) dan meningkat pada usia 1 bulan (89%) dan 3 bulan (100%).

Pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki akses uji virologis HIV,
diagnosis presumtif infeksi HIV ditegakkan pada anak berusia <18 bulan
apabila didapatkan kelainan terkait HIV disertai hasil serologis HIV yang
seropositif. Kriteria diagnosis presumtif infeksi HIV memiliki sensitifitas dan
spesifisitas sebesar masing-masing 68.9% dan 81% untuk mengidentifikasi
infeksi HIV pada anak <18 bulan.

Kriteria tersebut memiliki akurasi optimal untuk menegakkan


diagnosis infeksi HIV presumtif pada usia 9-12 bulan.

Penegakan diagnosis infeksi HIV presumtif harus segera dikonfirmasi


secepatnya menggunakan uji virologis (PCR DNA HIV) atau uji serologis
setelah anak berusia >18 bulan.

2. Diagnosis HIV pada anak > 18 bulan, remaja dan dewasa 15

Terdapat tiga jenis tes antibodi untuk menegakkan diagnosis HIV pada
anak >18 bulan, remaja, dan dewasa (lampiran 3). Hasil pemeriksaan anti-
HIV dapat berupa reaktif, non-reaktif (negatif), dan tidak dapat ditentukan
(inkonklusif).

Hasil yang belum terkonfirmasi didapatkan jika tes HIV pertama reaktif
namun pemeriksaan tambahan tidak dilakukan pada kunjungan yang sama
untuk konfirmasi diagnos`is HIV. Hal ini terjadi pada daerah yang
menerapkan satu kali pemeriksaan, suatu pendekatan yang dinamakan “tes
untuk triase”. Konselor dan penyedia layanan tes bertanggung jawab
menjelaskan bahwa hasil yang didapatkan bukan merupakan diagnosis HIV
dan memerlukan konfirmasi serta merujuk klien dengan hasil reaktif ke
tempat dimana diagnosis HIV dapat ditentukan. Pasien dimotivasi untuk
sesegera mungkin ke fasilitas pemeriksaan selanjutnya.

3. Tes ulang pada periode jendela 15

Pada sebagian besar kondisi, konseling pasca-tes menganjurkan pasien


dengan hasil tes HIV negatif untuk melakukan tes ulang. Tes ulang
dimaksudkan untuk mengeluarkan kemungkinan infeksi akut pada periode
yang terlalu dini untuk melakukan tes diagnostik (periode jendela). Meski
demikian tes ulang hanya perlu dilakukan pada individu dengan HIV negatif
yang baru saja mendapat atau sedang memiliki risiko pajanan.

Pada beberapa orang terduga terpapar secara spesifik atau berisiko


tinggi dapat disarankan tes ulang setelah 4 hingga 6 minggu. Orang berisiko
tinggi seperti populasi kunci, dianjurkan melakukan tes ulang secara regular
setiap tahun. Tes ulang memberikan kesempatan untuk memberikan kepastian
diagnosis HIV secara dini dan untuk mendapatkan edukasi mengenai
pencegahan HIV.

Pada daerah dengan prevalens tinggi, tes ulang HIV pada wanita hamil
dapat dilakukan pada kehamilan lanjut, persalinan, atau sesegera mungkin
setelah persalinan.

Rekomendasi

Uji diagnostik yang digunakan pada anak berusia <18 bulan adalah uji virologis (sangat
direkomendasikan, kualitas bukti tinggi)

Uji diagnostik yang digunakan pada anak > 18 bulan, remaja dan orang dewasa adalah uji
serologis dengan strategi diagnosis HIV berdasarkan hasil tiga tes sekuensial reaktif
(sangat direkomendasikan, kualitas bukti tinggi)
TATALAKSANA

Diagnosis AIDS harus dikonfirmasi dengan pola klinis penyakit dan


bila mungkin dengan uji antibodi HIV. Saat ini pengobatan terutama
ditujukan pada infeksi oportunistik. 17

Penatalaksanaan umum bagi penderita AIDS : 17

 Menjaga kerahasiaan penderita


 Memberikan terapi
 Memberikan dukungan psikologis dari keluarga
teman /kerabat
 Mencegah transmisi
 Lain-lain (perawatan gigi, asuransi, pekerjaan, sekolah).

Terapi antiviral juga masih harus dikembangkan dan sifat antiviral


yang ideal adalah: 17

 Menjaga / memproteksi sel yang tidak terinfeksi


 Menurunkan produksi virus dari sel terinfeksi
 Bersifat spesifik . Dapat dipakai oral
 Melewati sawar otak
 Tidak ada efek samping / minimal

Antiretroviral untuk infeksi HIV yang digunakan sekarang ada yang


bersifat inhibitor enzim rever.se lranscriptase seperti : 17
 Zidovudine 500 -600 mg/hari dalam dosis terbagi
 Didanosine 200 me 2 kali sehari
 Zalcitabine 0,75 mg 3 kali sehari
 Lamivudine 150 mg 2kali sehari
 Stavudine 20-40 mg 2 kali sehari

Dan ada pula yang bersifat inhibitor protease : 17

 Saquinavir 600 mg 3 kali sehari


 Ritonavir 600 mg2kali sehari
 Indinavir 800 me 3 kali sehari

PROGNOSIS

Penderita HIV yang tidak mendapatkan penanganan, memiliki prognosis yang


buruk, terapi antiretroviral (ART) telah terbukti mampu mengubah prognosis infeksi
HIV kea rah yang lebih baik, tetapi dalam penerapannya terdapat kendala dan
persyaratan yang harus dipenuhi. Diagnosis yang terlambat dan memulai terapi ARV
saat pasien sudah memiliki beberapa penyakit akibat imunodefisiensi menjadi
halangan dalam upaya untuk menurunkan angka mortalitas akiba HIV/AIDS 18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.2006.Hal.1803-1807.

2. Kementrian Kesehatan RI. INFO DATIN pusat data dan informasu


kementrian kesehatan RI Situasi umum HIV/AIDS dan Tes HIV.2013-2017

3. Sepkowitz KA. "AIDS--the first 20 years". N. Engl. J. Med. 2001; 344 (23):
1764–72

4. DEPKES. Definisi pengertian virus HIV dan Penyakit AIDS. 2003

5. WHO (2017). Summmary of global HIV report 2016. World Health


Organization.

6. Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction

7. Djoerban Z, Djauzi S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. In Setiati S, editor.


HIV di Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Interna Publishing; 2014: 889-933.

8. Budimulja, Unandar. Sjaiful F Dali. Human Immunodeficiency Virus (HIV)


dan Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda, A.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2010. Hal.427-431.

9. Kumar,V. Penyakit Imunitas. Dalam: Kumar,V.Ramzi S Cotran. Stanley L


Robbins. Buku ajar Patologi Robbins. Volume 1. Edisi 7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.2007. Hal.164-176.

10. Price, S. Lorraine M Wilson. Buku Patofisiologi: Konsep Klinis Prosesproses


penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.
Hal. 236-237.

11. Sudoyo, Aru W. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI.2006.Hal.1803-1807

12. Budimulja, Unandar. Sjaiful F Dali. Human Immunodeficiency Virus (HIV)


dan Aquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Djuanda, A.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2010. Hal.427-431.)
13. Kumar,V. Penyakit Imunitas. Dalam: Kumar,V.Ramzi S Cotran. Stanley L
Robbins. Buku ajar Patologi Robbins. Volume 1. Edisi 7. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.2007. Hal.164-176.

14. Ngongo, Robertus Elo Bulu (2018) Asuhan Keperawatan Pada Ny. R .


DeNgan HIV AIDS Di Ruangan Cempaka RSUD. Prof.Dr.W.Z Johannes
Kupang. Diploma thesis, Poltekes Kemenkes Kupang.

15. Kementrian kesehatan RI. Pedoman Nasional pelayanan kedokteran


tata laksana HIV.2019

16. World Health Organization. HIV and adolescents: guidance for HIV testing
and counselling and care for adolescents living with HIV: recommendations
for a public health approach and considerations for policy-makers and
managers. [Internet]. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2013.

17. Gunardi, W.D. 2014. Aspek Virologi HIV/AIDS. Jurnal Kedokteran Meditek.


9, 25 (Aug. 2014). DOI:https://doi.org/10.36452/jkdoktmeditek.v9i25.923.

18. Yuli S, Rahmatini, Elizabet B. Gambaran pemberian Regimen Antiretroviral


pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr.M.Djamil padang tahun 2017.Jurnal
Kesehatan Andalas.2020:9

Anda mungkin juga menyukai