Anda di halaman 1dari 33

REFLEKSI KASUS

KEHAMILAN DENGAN HIV

Nama : Sagifa Anovianty


NIM : H1A 014 071

Pembimbing
dr. Doddy Ario Kumboyo, SpOG (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI BAGIAN/SMF KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP PROVINSI NTB
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus obstetri ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus yang berjudul “Kehamilan dengan HIV; G2P1A0H1 UK 39 - 40 minggu
tunggal hidup intrauterin presentasi kepala dengan HIV + riwayat SC” ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi NTB.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan bagi penulis.
1. dr. H. Doddy Ario Kumboyo, Sp.OG (K), selaku supervisor dan pembimbing laporan
kasus obstetri
2. dr. Gede Made Punarbawa, Sp.OG (K), selaku Kepala Bagian/ SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUP NTB
3. dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG, selaku supervisor
4. dr. A. Rusdhy H. Hamid, Sp.OG (K), selaku supervisor
5. dr. I Made Widyalaksana Mahayasa, Sp.OG (K), selaku supervisor
6. dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG, selaku supervisor
7. dr. Ario Danianto, Sp.OG, selaku supervisor
8. dr. Windiana Rambu, Sp.OG, M.Kes selaku supervisor
9. dr. Ratih Barirah, Sp.OG selaku supervisor
10. dr. M. Rizkinov Jumsa, Sp.OG, selaku supervisor
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
laporan kasus ini.Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek
sehari-hari sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, Januari 2019


Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

BAB I Pendahuluan 4

BAB II Tinjauan Pustaka 6

2.1 Kehamilan dengan infeksi HIV 6

BAB III Laporan Kasus 18

BAB IV Pembahasan 26

BAB V Kesimpulan 29

Daftar Pustaka 30

Lampiran Foto 32

3
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit infeksi


penyebab kematian peringkat atas dengan angka kematian (mortalitas) dan angka kejadian
penyakit (morbiditas) yang tinggi serta membutuhkan diagnosis dan terapi yang cukup lama.
HIV merupakan virus yang menyerang sel darah putih (limfosit) di dalam tubuh yang
mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS)1. AIDS merupakan stadium ketika sistem imun
penderita jelek dan penderita menjadi rentan terhadap infeksi dan kanker terkait infeksi yang
disebut infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang terjadi akibat sistem
kekebalan tubuh yang menurun dan dapat terjadi penyakit yang lebih berat dibandingkan
pada orang yang sehat6.
Penularan HIV dari ibu ke anak dapat terjadi selama hamil (5-10%), melahirkan (10
20%) dan saat menyusui (5-20%). Data dari Kementerian Kesehatan melaporkan jumlah
kumulatif kasus HIV yang telah dilaporkan hingga September 2013 sebanyak 118.787 kasus
yang tersebar di 33 provinsi dengan 348 kab/kota di Indonesia. Di Indonesia persentase
kumulatif HIV paling banyak ditemukan kasus pada kelompok umur 25-49 tahun (73,4%).
Dan pada kasus AIDS yang paling banyak terdeteksi yaitu pada kelompok umur 30-39 tahun
(39,5%). Kelompok umur yang paling beresiko terhadap penularan HIV dan kejadian AIDS
adalah kelompok umur produktif yaitu rentang umur 20-39 tahun3. Secara global, di dunia
setiap harinya sekitar 2000 anak usia 15 tahun ke bawah terinfeksi HIV akibat penularan dari
ibu ke bayinya. Sementara itu, sekitar 1.400 anak-anak usia 15 tahun meninggal akibat AIDS
1
.
Prevalensi HIV pada ibu hamil diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012) menjadi
0,49% (2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) juga akan meningkat dari 13.189 (2012) menjadi
16.191 (2016). Demikian pula jumlah anak berusia di bawah 15 tahun yang tertular HIV dari
ibunya pada saat dilahirkan ataupun saat menyusui akan meningkat dari 4.361 (2012)
menjadi 5.565 (2016), yang berarti terjadi peningkatan angka kematian anak akibat AIDS.
Resiko penularan HIV dari ibu ke bayi berkisar 24-25%. Namun, resiko ini dapat
diturunkan menjadi 1-2% dengan tindakan intervensi bagi ibu hamil HIV positif, yaitu
melalui layanan konseling dan tes HIV sukarela, pemberian obat antiretroviral, persalinan

4
sectio caesaria, serta pemberian susu formula untuk bayi4. Indonesia telah mengembangkan
upaya pencegahan HIV melalui pelayanan Voluntary Counselling and testing atau yang
dikenal dengan singkatan VCT 1.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kehamilan dengan Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)


2.1.1 Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sel darah putih di
dalam tubuh sehingga dapat mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Virus HIV
menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel Cluster of Differentiation 4 (CD4)
atau sel-T. HIV menyerang sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel-T CD4+ dan
makrofag yang merupakan sistem imunitas seluler tubuh.6,7 Infeksi dari virus ini akan
menyebabkan kerusakan secara progresif dari sistem kekebalan tubuh, menyebabkan
defisiensi imun sehingga tubuh tidak mampu melawan infeksi dan penyakit. Seiring dengan
berjalannya waktu, HIV dapat merusak banyak sel CD4 sehingga kekebalan tubuh semakin
menurun dan tidak dapat melawan infeksi dan penyakit sama sekali. Infeksi ini akan
berkembang menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).8

2.1.2 Patogenesis Infeksi HIV

Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili
ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus
mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi
genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah
diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.7,8 Virus HIV akan menyerang Limfosit T
yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu
mengaktivasi sel B, killercell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+
adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek
toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang
disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan
menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen.7,9
Setelah HIV menginfeksi seseorang, kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik
yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula
penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan
menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV
menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai < 200 sel/µL.2 Dari

6
semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun
pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun
hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian
meninggal.7,8
Siklus hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV) melalui beberapa tahapan
berikut:17

Gambar 2.2 Siklus Hidup Human Immunodeficiency Virus (HIV)17

7
2.1.3 Penularan Virus HIV

A. Penularan parenteral
Penularan dari darah dapat terjadi jika darah donor tidak ditapis (uji saring) untuk
pemeriksaan HIV, penggunaan ulang jarum dan semprit suntikan, atau penggunaan
alat medik lainnya yang dapat menembus kulit. Pajanan HIV pada organ dapat juga
terjadi pada proses transplantasi jaringan/organ di fasilitas pelayanan kesehatan.8
B. Penularan seksual
Penularan melalui hubungan seksual adalah cara yang paling dominan dari semua
cara penularan. Risiko tertinggi adalah penetrasi vaginal atau anal yang tak terlindung
dari individu yang terinfeksi HIV. Kontak seksual oral langsung (mulut ke penis atau
mulut ke vagina) termasuk dalam kategori risiko rendah tertular HIV. Tingkatan risiko
tergantung pada jumlah virus yang ke luar dan masuk ke dalam tubuh seseorang,
seperti pada luka sayat/gores dalam mulut, perdarahan gusi, dan atau penyakit gigi
mulut atau pada alat genital.8
C. Penularan perinatal
1. Penularan in utero atau intra uterin
HIV melalui plasenta masuk kedalam tubuh bayi. Penularan in utero ini diketahui
karena didapatkannya HIV pada jaringan thymus, lien, paru dan otak dari janin 20
minggu yang digugurkan dari ibu pengidap HIV.10,11
2. Penularan saat persalinan.
Terjadi karena bayi terkontaminasi darah ibu saat persalinan.11
3. Penularan pasca persalinan.
Terjadi penularan melalui ASI pada masa menyusui karena adanya HIV pada
kelenjar payudara dan ASI pengidap HIV. Meskipun masih ada perbedaan pendapat
mengenai hal ini karena hasil penelitian yang berbeda, tetapi karena belum adanya
vaksin untuk HIV dan kemungkinan penularan ini tetap ada, maka disepakati
pemberian ASI pada bayi tetap masih di larang.10,11

2.1.4 Faktor yang berperan dalam penularan HIV dari ibu ke anak

Ada tiga faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari ibu ke anak, yaitu
faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan obstetrik.12
A. Faktor Ibu

 Jumlah virus (viral load)

8
Jumlah virus HIV dalam darah ibu saat menjelang atau saat persalinan dan jumlah virus
dalam air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya sangat mempengaruhi penularan HIV
dari ibu ke anak. Risiko penularan HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV rendah
(kurang dari 1.000 kopi/mL) dan sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000 kopi/mL.

 Jumlah sel CD4


Ibu dengan jumlah sel CD4 rendah lebih berisiko menularkan HIV ke bayinya.
Semakin rendah jumlah sel CD4 risiko penularan HIV semakin besar.
 Status gizi selama hamil
Berat badan rendah serta kekurangan vitamin dan mineral selama hamil meningkatkan
risiko ibu untuk menderita penyakit infeksi yang dapat meningkatkan jumlah virus dan
risiko penularan HIV ke bayi.
 Penyakit infeksi selama hamil
Penyakit infeksi seperti sifilis, infeksi menular seksual, infeksi saluran reproduksi
lainnya, malaria, dan tuberkulosis, berisiko meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
 Gangguan pada payudara
Gangguan pada payudara ibu dan penyakit lain, seperti mastitis, abses, dan luka di
puting payudara dapat meningkatkan risiko penularan HIV melalui ASI.3 Sehingga
tidak sarankan untuk memberikan ASI kepada bayinya dan bayi dapat disarankan
diberikan susu formula untuk asupan nutrisinya.
B. Faktor Bayi

 Usia kehamilan dan berat badan bayi saat lahir


Bayi lahir prematur dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih rentan tertular
HIV karena sistem organ dan sistem kekebalan tubuhnya belum berkembang dengan
baik.
 Periode pemberian ASI
Semakin lama ibu menyusui, risiko penularan HIV ke bayi akan semakin besar.
 Adanya luka di mulut bayi
Bayi dengan luka di mulutnya lebih berisiko tertular HIV ketika diberikan ASI.
 Respon imun neonatus.

9
C. Faktor obstetrik
Kebanyakan kejadian dari infeksi kongenital HIV timbul selama periode intrapartum,
mungkin berhubungan dengan terpaparnya bayi terhadap darah ibu yang terinfeksi dan
sekret serviks atau vagina, sebagaimana mikrotransfusi darah ibu-anak muncul selama
kontraksi uterus. Transmisi intrapartum virus mendukung kenyataan bahwa 50-70% anak
terinfeksi memiliki tes virologi negatif pada saat lahir, menjadi positif pada saat usia 3
bulan. Peningkatan risiko transmisi telah digambarkan selama persalinan yang
memanjang, pecah ketuban yang lama, perdarahan plasenta dan adanya cairan amnion
yang mengandung darah. Faktor obstetrik yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV
dari ibu ke anak selama persalinan adalah:
 Jenis persalinan
Risiko penularan persalinan per vagina lebih besar daripada persalinan melalui bedah
sesar (seksio sesaria).
 Lama persalinan
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari ibu ke anak
semakin tinggi, karena semakin lama terjadinya kontak antara bayi dengan darah dan
lendir ibu.
 Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari 4 jam.
 Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forceps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu.
2.1.5 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Pada saat hamil, sirkulasi darah janin dan sirkulasi darah ibu dipisahkan oleh beberapa
lapis sel yang terdapat di plasenta. Plasenta melindungi janin dari infeksi HIV. Tetapi jika
terjadi peradangan, infeksi ataupun kerusakan pada plasenta, maka HIV bisa menembus
plasenta, sehingga terjadi penularan HIV dari ibu ke anak. Penularan HIV dari ibu ke anak
pada umumnya terjadi pada saat persalinan dan pada saat menyusui. Risiko penularan HIV
pada ibu yang tidak mendapatkan penanganan Pencegahan Penularan Ibu ke Anak (PPIA)
saat hamil diperkirakan sekitar 15-45%.8 Risiko penularan 15-30% terjadi pada saat hamil
dan bersalin, sedangkan peningkatan risiko transmisi HIV sebesar 10-20% dapat terjadi pada
masa nifas dan menyusui.7

10
Tabel 2.1 Waktu dan Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Anak

Waktu Risiko

Selama hamil 5 – 10 %

Bersalin 10 – 20 %

Menyusui 5 – 20 %

Risiko penularan keseluruhan 20 – 50 %

Apabila ibu tidak menyusui bayinya, risiko penularan HIV menjadi 20-30% dan akan
berkurang jika ibu mendapatkan pengobatan anti retrovirus (ARV). Pemberian ARV jangka
pendek dan ASI eksklusif memiliki risiko penularan HIV sebesar 15-25% dan risiko
penularan sebesar 5-15% apabila ibu tidak menyusui. Akan tetapi, dengan terapi
antiretroviral jangka panjang, risiko penularan HIV dari ibu ke anak dapat diturunkan lagi
hingga 1-5%, dan ibu yang menyusui secara eksklusif memiliki risiko yang sama untuk
menularkan HIV ke anaknya dibandingkan dengan ibu yang tidak menyusui. Dengan
pelayanan PPIA yang baik, maka tingkat penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari
2%.12

2.1.6 Diagnosis Infeksi HIV

Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara


keseluruhan kemudian dilakukan pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara
virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV)
pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia
umumnya adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau
ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga
reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang
memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas.13

Tabel 2.2 Tes Diagnostik untuk Infeksi HIV

Skrinning

ELISA untuk HIV-1, HIV-2, atau keduanya

Aglutinasi latek untuk HIV-1

11
Konfirmasi

Western blot (WB) untuk HIV-1 dan HIV-2

Indirect immunofluorescence antibody assay (IFA) untuk


HIV-1

Radioimmunoprecipitation antibody assay (RIPA) untuk


HIV-1

Lain-lain

ELISA untuk HIV-1 p24 antigen

Polymerase chain reaction (PCR) untuk HIV-1

Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Indonesia menetapkan untuk mendiagnosis


AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans epidemiologi. Dalam hal
ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis, yang terdiri dari gejala mayor dan
minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika menunjukan hasil tes HIV positif disertai minimal
terdapat 2 gejala mayor atau terdapat 2 gejala minor dan 1 gejala mayor. Pemeriksaan jumlah
sel CD4 dapat segera di lakukan setelah pertama kali dinyatakan positif HIV dan saat akan
melahirkan menggunakan spesimen darah.13

Tabel 2.3 Gejala Mayor dan Minor HIV/AIDS


Gejala Mayor Gejala Minor
Berat badan turun >10% dalam 1 Batuk menetap > 1 bulan
bulan Dermatitis generalisata
Diare kronik berlangsung > 1 bulan Herpes zoster multisegmental dan
Demam berkepanjangan > 1 bulan berulang
Penurunan kesadaran Kandidiasis orofaringeal
Demensia/HIV ensefalopati Herpes simpleks kronis progresif
Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat
kelamin wanita
Renitis cytomegalovirus

12
2.1.7 Pemberian Terapi Antiretroviral 11

Cara paling efektif untuk menekan replikasi HIV adalah dengan memulai pengobatan
dengan kombinasi ARV yang efektif. Semua obat yang dipakai harus dimulai pada saat yang
bersamaan pada pasien baru. Terapi kombinasi ARV harus menggunakan dosis dan jadwal
yang tepat. Obat ARV harus diminum terus menerus secara teratur untuk menghindari
timbulnya resistensi. Diperlukan peran serta aktif pasien dan pendamping/ keluarga dalam
terapi ARV. Di samping ARV, timbulnya infeksi oportunistik harus mendapat perhatian dan
tatalaksana yang sesuai. Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV
adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI) atau (2 NRTI + 1
PI).Berikut penjelasan mengenai golongan obat tersebut:

1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI), mentargetkan pencegahan


protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi
viral DNA. Obat-obatan NNRTI yaitu Zidovudine (AZT), Didanosine (ddl), Stavudine
(d4T), Lamivudine (3TC), Tenofovir (TDF).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI) memperlambat reproduksi dari
HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting.
Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–
sel. Obat-obatan NNRTI yaitu Nevirapine (NVP), delavirdine (Rescripta), efavirenza
(Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga
suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan. Obat-obatan
PI yaitu Lopinavir (Aluvia).

Tabel 2.4 Rekomendasi ART pada Ibu Hamil dengan HIV dan ARV Profilaksis pada
Bayi
NO. SITUASI KLINIS REKOMENDASI PENGOBATAN

(paduan untuk ibu)

1. ODHA sedang terapi  Lanjutkan paduan (ganti dengan NVP atau


ARV, kemudian hamil golongan PI jika sedang menggunakan EFV
pada trimester I)
 Lanjutkan dengan paduan ARV yang
sama selama dan sesudah persalinan

13
2. ODHA hamil dengan  Mulai ARV pada minggu ke-14
jumlah dalam stadium kehamilan
klinis 1 atau jumlah CD4
>350 sel/µL dan belum  Paduan sebagai berikut:
terapi ARV  AZT + 3TC + NVP
 TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
 AZT + 3TC + EFV atau
 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV
3. ODHA hamil dengan  Segera mulai terapi ARV dengan paduan
jumlah CD4 <350 sel/µL seperti pada butir 2
atau stadium 2,3,4

4. ODHA hamil dengan  OAT tetap diberikan


tuberkulosis aktif
 Paduan untuk ibu, bila pengobatan mulai
trimester II dan III:
AZT (TDF) + 3TC + EFV
5. Ibu hamil dalam masa  Tawarkan tes HIV dalam masa persalinan
persalinan dan status atau tes setelah persalinan
HIV tidak diketahui
 Jika hasil tes reaktif, dapat diberikan paduan
pada butir 2
6. ODHA datang pada  Paduan pada butir 2
masa persalinan dan
belum mendapat terapi
ARV

Profilaksis ARV untuk bayi

AZT (zidovudine) 4 mg/KgBB, 2 kali/hari, mulai hari ke-1 hingga 6


minggu

14
Gambar 2.3Alur Pemberian Terapi Antiretroviral Pada Ibu Hamil

2.1.8 Tata Laksana Persalinan dengan Infeksi HIV

Sebagian besar bayi tertular infeksi HIV pada saat persalinan, maka cara persalinan
bayi lahir dari ibu terinfeksi HIV sangat menentukan terjadinya penularan vertikal. Adanya
trauma dan kerusakan pada jaringan tubuh ibu maupun bayi akan mengakibatkan terjadinya
penularan vertikal. Untuk menghindari penularan vertikal, maka pecah ketuban dini dan
penggunaan elektrode kepala perlu dihindari. Selain itu, jangan melakukan pertolongan
persalinan yang mengakibatkan trauma seperti menggunakan forsep atau vakum untuk
persalinan lama dengan penyulit. Cara persalinan harus ditentukan sebelum umur kehamilan
38 minggu untuk meminimalkan terjadinya komplikasi persalinan. Sampel plasma viral load
dan jumlah CD4 harus diambil pada saat persalinan. Pasien dengan HAART harus
mendapatkan obatnya sebelum persalinan, jika diindikasikan, sesudah persalinan.14,15
Semua ibu hamil dengan HIV positif disarankan untuk melakukan persalinan dengan
seksio sesaria. Operasi seksio sesarea pada usia kehamilan 38 minggu sebelum onset
persalinan atau mencegah ketuban pecah dini direkomendasikan untuk wanita yang telah
mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral load yang masih >1000 kopi/mL, wanita
yang mendapatkan monoterapi alternative dengan zidovudin. 14,15
Operasi seksio sesarea elektif dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Pemberian zidovudin intravena diberikan sesuai indikasi, dimulai 4 jam sebelum operasi
dimulai sampai dengan pemotongan tali pusat.

15
b. Sedapat mungkin meminimalisir perdarahan selama operasi dan diusahakan kulit ketuban
dipecah sesaat sebelum kepala dilahirkan.
c. Antobiotika spectrum luas diberikan sebelum operasi sebagaimana umumnya.

Tabel 2.5 Tatalaksana Persalinan

PERSALINAN PER VAGINAM PERSALINAN PER ABDOMINAM


Syarat: Syarat:
 Pemberian ARV mulai pada minggu  Ada indikasi obstetrik; dan
≤ 14 minggu (ART > 6 bulan); atau  VL >1.000 kopi/mL atau
 VL <1.000 kopi/mL  Pemberian ARV dimulai pada usia
kehamilan ≥ 36 minggu

2.1.9 Tata Laksana Postnatal

Setelah melahirkan, ibu sebaiknya menghindari kontak langsung dengan bayi. Dosis
terapi antibiotik profilaksis, ARV dan imunosuportif harus diperiksa kembali. Indikasi
penggunaan infus ZDV adalah kombinasi single dose NVP 200 mg dengan 3TC 150 mg tiap
12 jam, dan dilanjutkan ZDV/3TC kurang lebih selama 7 hari pospartum untuk mencegah
resistensi NVP. Imunisasi MMR dan varicella zoster juga diindikasikan, jika jumlah limfosit
CD4 diatas 200 dan 400. 15

Ibu disarankan untuk menggunakan kontrasepsi pada saat berhubungan seksual. Secara
teori, ASI dapat membawa HIV dan dapat meningkatkan transmisi perinatal. Oleh karena itu,
WHO tidak merekomendasikan pemberian ASI pada ibu dengan HIV positif, meskipun
mereka mendapatkan terapi ARV. Saran suportif mengenai susu formula pada bayi sangat
diperlukan untuk mencegah gizi buruk pada bayi.16

2.1.10 Tata Laksana Neonatus

Semua bayi harus diterapi dengan ARV <4jam setelah lahir. Kebanyakan bayi
diberikan monoterapi ZDV 2x sehari selama 4 minggu. Jika ibu resisten terhadap ZDV, obat
alternatif bisa diberikan pada kasus bayi lahir dari ibu HIV positif tanpa indikasi terapi ARV.
Tetapi untuk bayi beresiko tinggi terinfeksi HIV, seperti anak lahir dari ibu yang tidak diobati
atau ibu dengan plasma viremia >50 kopi/mL, HAART tetap menjadi pilihan utama.15

16
Pemberian antibiotik profilaksis, cotrimoxazole terhadap PCP wajib dilakukan. Tes
IgA dan IgM, kultur darah langsung dan deteksi antigen PCR merupakan serangkaian tes
yang harus dijalankan oleh bayi pada umur 1 hari, 6 minggu dan 12 minggu. Jika semua tes
ini negatif dan bayi tidak mendapat ASI, orang tua dapat menyatakan bahwa bayi mereka
tidak terinfeksi HIV. Konfirmasi HIV bisa dilakukan lagi saat bayi berumur 18 sampai 24
bulan.16

17
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. RR
Usia : 19 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Monjok, Selaparang
RM : 016705
MRS : 19-12-2018

ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kandungan RSUD Provinsi NTB pada tanggal 19 Desember 2018
dengan G2P1A0H1 T/H/IU presentasi kepala UK 39-40 minggu dengan B20 dan riwayat SC
1 tahun yang lalu. Pasien datang ke Poli Kandungan untuk jadwal pemeriksaan
kehamilannya. Keluhan seperti nyeri perut, riwayat keluar air dari jalan lahir dan keluar
lendir disertai darah disangkal. Pasien telah dijadwalkan untuk dilakukan operasi sesaria pada
tanggal 20 Desember 2018. Pergerakan janin masih dirasakan aktif dan tidak berkurang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien terdiagnosa mengidap infeksi HIV 1 tahun yang lalu dan telah mengkonsumsi
obat tablet FDC (Tenofovir Disoproxil Fumarate 300 mg/ Lamivudine 300 mg/ Efavirenz 600
mg). Pasien pernah operasi sectio caesaria 1 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien mengatakan bahwa di keluarganya tidak ada yang mengalami hal serupa seperti
pasien. Suami pasien diketahui telah mengkonsumsi obat HRV selama 2 tahun. Penyakit lain
dalam keluarga seperti hipertensi, diabetes melitus, jantung, maupun asma disangkal.
Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan maupun makanan.
Riwayat Sosial:
Ini adalah pernikahan pertama pasien. Menikah pertama kali usia 17 tahun, mempunyai 1
orang anak usia 1,4 tahun. Pekerjaan pasien adalah ibu rumah tangga dan suami pasien
seorang wiraswasta.

18
Riwayat Obstetri :
Pasien memiliki riwayat kehamilan sebagai berikut :
1. 2017/ Laki-laki/Rumah Sakit/9 bulan/3200 gram/SC/Dokter/Partus lama+KPD
2. Ini
Riwayat Haid:
Menarche : 12 Tahun
Siklus : 28 hari
Lama : 6 hari
Keluhan saat haid :-

HPHT : 17 - 03 - 2018
Taksiran Persalinan : 24 - 12 - 2018
Usia Kehamilan : 39-40 minggu
Riwayat ANC : 4x di Posyandu dan 7x di RSUP NTB
ANC terakhir : 19 Desember 2018
Hasil : Tidak ada keluhan. TD 100/70 mmHg, berat badan 63 kg,
umur kehamilan 39-40 minggu, tinggi fundus 29 cm, denyut
jantung janin (+) 144x/ menit
Riwayat USG : 5x di RSUP NTB
USG terakhir : 21 November 2018
Hasil : Janin, tunggal, hidup, presentasi kepala, tbj 2500 gram, air
ketuban cukup jernih, taksiran persalinan tanggal 24 Desember
2018
Riwayat KB : IUD
Rencana KB : IUD

19
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Suhu : 36,2oC
Tinggi Badan : 152 cm
Berat : 63 kg
IMT : 27,26
Kulit
Warna kulit putih, turgor kulit baik, squama kasar (-), ikterus(-)
Kepala
Normocephali, rambut hitam, distribusi rambut merata
Mata
Tidak ada ketertinggalan pada bola mata, refleks cahaya (+/+), konjungtiva anemis (-/-),
sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-)
Telinga
Selaput pendengaran utuh, serumen (-), perdarahan (-)
Hidung
Sumbatan jalan nafas (-), sekret (-), deviasi septum (-),epistaksis (-)
Mulut
Lidah dalam batas normal, mukosa bucal merah muda, persebaran gigi merata
Leher
Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening,
deviasi trachea (-), hipertrofi otot pernapasan tambahan (-), retraksi suprasternal (-)
Thoraks
Paru-paru (Pulmo)
Warna kulit normal tidak ada perbedaan dengan warna kulit sekitarnya, sela iga tidak
melebar, retraksi (-), pergerakansimetrisantara kiri dan kanan, sonor (+/+),vesikuler (+/+),
rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung (Cor)
Tidak tampak perbesaran ictus cordis, S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)

20
Abdomen
Tampak adanya luka bekas operasi, striae gravidarum (+), linea nigra (+), tidak teraba adanya
massa, nyeri tekan (-), bising usus dalam batas normal
Anggota gerak :
Tangan: Edema (-/-), sianosis (-/-), clubbing finger (-/-), akral hangat (+/+)
Kaki: Edema (-/-), sianosis (-/-), clubbing finger (-/-), akral hangat (+/+)

Kelenjar getah bening


Submandibula : tidak ditemukan pembesaran
Supraklavikula : tidak ditemukan pembesaran
Lipat paha : tidak ditemukan pembesaran
Leher : tidak ditemukan pembesaran
Ketiak : tidak ditemukan pembesaran

PEMERIKSAAN OBSTETRIK
TFU : 29 cm
Tafsiran Berat Janin : 2480 gram
Leopold I :Teraba bagian bulat, melenting, dan keras (kepala)
Leopold II :Teraba bagian memanjang dan keras di sebelah kanan
(PUKA)
Leopold III : Teraba kurang bulat, lunak, dan tidak melenting
(bokong)
Leopold IV : Kepala belum masuk PAP (5/5 bagian)
DJJ :12-12-12 (144 x/menit)
His :-
Vaginal Toucher :-

21
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap (4 Desember 2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 11,4 g/dL 11,7-15,5 g/dL

Leukosit 9580 /uL 3600-11000 /uL

Eritrosit 3.99 juta/uL 3.50-5.00 juta/uL

Hematokrit 38 % 36-46 %

Trombosit 169.000 /uL 150000-400000 /uL

PTT 13.5/12.9detik 11.5-15.5 detik

APTT 34.1/28.5 detik 28-38 detik

GDS 135 mg/dl <160 mg/dl

Ureum 24 10-50 mg/dl

Kreatinin 10 0,6-1,1 mg/dl

SGOT 14 0-49 U/I

SGPT 19 0-41 U/I

CD4 (3-8-2018) 408 404 – 1612 sel/uL

DIAGNOSIS
G2P1A0H1 UK 39-40 minggu T/H/IU presentasi kepala dengan HIV dan riwayat SC

TINDAKAN
- Planning terapi
Lanjutkan pemberian terapi ARV.
Puasa 6 jam sebelum operasi
- Planning Edukasi
Kepatuhan untuk tetap mengkonsumsi obat ARV.
Pilihan metode persalinan yang terbaik untuk ibu dan janin.
Pilihan ASI atau jenis pemberian nutrisi yang lain bagi bayi.
Pilihan kontrasepsi bagi Ibu.

22
Kamis, 20 Desember 2018 (15.00)
S: Pasien mengeluhkan sakit perut sedikit.
O: Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6 (Compos Mentis)
TD : 110/70 mmHg HR : 78x/menit
RR : 18x/menit T : 36,2°C
His :-
DJJ : 11-12-11 (134x/menit)
VT :-
A: G2P1A0H1 UK 39-40 minggu T/H/IU presentasi kepala dengan HIV dan riwayat SC
P: - KIE keluarga pasien mengenai hasil pemeriksaan dan persiapan SC
- Persiapan SC (konsul dokter anastesi, pasang DC, drip cefotaxime 2 gram iv)

Bayi Lahir
Jenis persalinan : SCTP
Lahir tanggal, jam : 20/12/2018, pukul 17.00 WITA
Jenis kelamin : Laki-laki
APGAR Score : 7-9
Lahir : Hidup
Berat : 2700 gram
Panjang badan : 42 cm
Lingkar kepala : 31 cm
LILA : 8 cm
Anus : (+)
Kelainan kongenital : (-)
Plasenta
Lahir : Manual
Lahir tanggal, jam : 20/12/2018, pukul 17.05 WITA
Berat : 500 gr
Ukuran : 50 cm
Panjang tali pusat : 50 cm
Lengkap : Ya
Perdarahan : +150 cc

23
Kondisi Ibu 2 Jam Post Operasi
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Frekuensi nadi : 80x/menit
Frekuensi napas : 18x/menit
Suhu : 36,6ºC
Kontraksi uterus : (+) baik
TFU : 2 jari dibawah pusat
Lokea : 10 cc
Urine output : 100 cc

FOLLOW UP POST PARTUM


Jumat, 21 Desember 2018 (10.30)
S: Pasien mengaku sedikit nyeri pada luka bekas operasi
O: Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6 (Compos Mentis)
TD : 120/80 mmHg HR : 80x/menit
RR : 18x/menit T : 36,6°C
Kontraksi uterus : (+) baik
TFU : 1 jari dibawah pusat
Tampak adanya lochea rubra, tidak ada perdarahan aktif.
A: P2A0H2 Post SC H1
P: - Observasi keadaan umum dan vital sign ibu
- Anjuran ibu untuk istirahat yang cukup
- Informasikan ke ibu tentang rawat luka operasi
- Ajarkan ke ibu cara menyusui dan memberikan ASI
- Ketorolac 1 amp

24
HOME VISIT
Telah dilakukan home visit ke rumah pasien yang beralamatkan di Monjok, Selaparang
pada hari Kamis, 27 Desember 2018. Home visit dilakukan dengan tujuan menyambung
silaturahmi dengan pasien dan untuk mengetahui bagaimana kondisi terakhir pasien dan anak
pasien (foto terlampir). Jika dilihat dari rumah pasien, pasien termasuk tergolong ekonomi
menengah keatas. Di rumahnya pasien tinggal bersama suami, anaknya dan satu orang
pembantu rumah tangga.
S: Pasien mengaku tidak ada keluhan apa-apa.
O: Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6 (Compos Mentis)
TD : 110/70 mmHg HR : 80x/menit
RR : 18x/menit T : 36,6°C
A: P2A0H2
P:
 KIE pasien makan beraneka ragam seperti karbohidrat, protein, hewani, nabati, sayur
dan buah
 Kepatuhan untuk tetap mengkonsumsi obat ARV.
 KIE pasien mengenai personal hygiene
 Menganjurkan ibu agar memberikan anaknya ASI eksklusif selama 6 bulan dan
meneruskan obat ARV pada anaknya 2x sehari selama 6 minggu
 Sampaikan ke ibu untuk mengontrolkan anaknya ke poli anak

25
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus Ny. R usia 19 tahun dengan G2P1A0H1 T/H/IU UK 39-40 minggu letak
kepala dengan HIV dan riwayat SC yang ditegakan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, pasien telah mengkonsumsi ARV selama
kurang-lebih 1 tahun ini. Pasien mengaku bahwa suami pasien juga mengkonsumsi ARV
namun tidak teratur. Pasien sendiri tidak mengetahui sejak kapan suaminya mengidap infeksi
HIV dan pasien juga baru mengetahui bahwa suaminya juga mengalami penyakit tersebut
dari pihak keluarga suami saat anak pertama pasien berusia 8 bulan. Semenjak saat itu pasien
kemudian memeriksakan antibodi tubuh terhadap HIV di RSUP NTB dan menjalani tiga kali
pemeriksaan rapid test dan didapatkan pasien positif terkena infeksi HIV. Setelah itu pasien
kemudian langsung memulai pengobatan.
Pasien mendapatkan terapi Tenofofir 300 mg, Lamivudine 300 mg dan Efavirent 600
mg. Terapi yang diterima pasien sesusai dengan teori yang ada dimana bagi pasien hamil
yang sudah menerima terapi antiretroviral sebelumnya akan diteruskan. Berdasarkan
pemberian ART menurut WHO 2013 adalah semua wanita hamil dan menyusui dengan HIV
harus memulai triple ART ( 2 NRTI + 1 NNRTI), yang harus dipertahankan selama risiko
penularan dari ibu ke anak. Kombinasi tersebut merupakan lini pertama pada ibu hamil dan
menyusui, termasuk ibu hamil pada kehamilan trisemester pertama.

Pada kehamilan ini pasien sudah melakukan pemeriksaan ANC sebanyak 11 kali.
Apabila ditinjau dari kuantitas maka kuantitas ANC pada pasien sudah baik dimana
kunjungan ANC yang dianjurkan adalah tiap 1 kali pada trimester pertama dan kedua dan 2
kali pada trimester ketiga. Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, pada ibu
hamil dengan HIV dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan kadar CD4 dan viral load rutin
yaitu tiap 4- 8 minggu sekali tetapi pada pasien ini hanya memeriksakan sebanyak satu kali
yaitu pada usia kehamilan 24- 25 minggu. Wanita hamil dengan HIV juga harus menjalani
USG setiap satu bulan sekali atau 2 kali dalam trimester 3 untuk mencegah terjadinya IUGR
dan oligihidroamnion. Pada pasien ini sudah melakukan USG sebanyak 5 kali yaitu pada usia
kehamilan 17 minggu, 22 minggu, 28 minggu, 30 minggu dan 36 minggu maka kualitas dan
kuantitas USG pada pasien sudah baik dan sesusai dengan yang dianjurkan.

Ibu hamil dengan positif HIV berisiko untuk melahirkan bayi dengan APGAR rendah
karena asfiksia akibat infeksi maternal yang berpengaruh pada sintesis dan sekresi surfaktan.

26
Selain itu juga dapat terjadi kelahiran prematur, BBLR dan retardasi pertumbuhan intra-
uterin.19
Berdasarkan rekomendasi dari beberapa referensi, semua ibu hamil dengan HIV positif
disarankan untuk melakukan persalinan dengan sectio caesaria. Operasi sectio caesaria pada
usia kehamilan 38 minggu sebelum onset persalinan atau mencegah ketuban pecah dini
direkomendasikan untuk wanita yang telah mendapatkan terapi HAART dengan kadar viral
load yang masih >1000 kopi/mL. Sedangkan persalinan pervaginam dapat dilakukan jika
memenuhi syarat bahwa pemberian ARV dimulai pada usia kehamilan <14 minggu (ART > 6
bulan) dan viral load <1000 kopi/mL.
Pada pasien ini pilihan metode persalinan yang dianjurkan adalah dengan seksio sesaria
elektif. Pada pemeriksaan viral load pada 8 Agustus 2018 didapatkan 408 kopi/ml. Pada teori
dengan jumlah viral load tersebut pasien dapat menjalani persalinan pervagina terlebih lagi
sang ibu sudah mengkonsumsi ARV sebelum kehamilannya ini tetapi dengan pertimbangan
dimana hasil viral load yang dianjurkan adalah 2 kali pemeriksaan yang dilakukan saat
mendekati waktu persalinan dan pemeriksaan terakhir sangat jauh dari waktu persalinan
maka pertimbangan metode yang terbaik untuk pasien adalah dengan seksio sesaria. Pada
pasien hanya dilakukan sekali pemeriksaan viral load akibat kendala biaya. Pemeriksaan viral
load belum tersedia di RSUP NTB dan belum ditanggung oleh BPJS sehingga pemeriksaan
ini hanya dapat dilakukan terbatas.
Tatalaksana bagi bayi dengan HIV diberikan Zidovudin puyer selama perawatan di
rumah sakit dan dilanjutkan sampai 6 minggu. Dosis yang diberikan sesusai dengan teori
yaitu untuk bayi cukup bulan 4 mg/kgBB/ 12 jam, bayi premature (<30 minggu) diberikan 2
mg/kgBB tiap 12 jam selama 4 minggu kemdian 2 mg/kgBB tiap 8 jam selama 2 minggu lalu
bayi premature (30- 35 minggu) diberikan 2 mg/kgBB tiap 12 jam selama 2 minggu pertama
kemudian 2mg/kgBB tiap 8 jam selama 2 minggu berikutnya diikuti 4 mg/kgBB per 12 jam
selama 2 minggu.8 Penerapan ini sesusai dengan teori yang ada yang telah dipaparkan
sebelumnya bahwa bayi lahir dari ibu dengan HIV baik dengan pemberian ASI eksklusif
maupun susu formula harus diberikan Zidovudin sejak hari pertama (umur 12 jam) selama
enam minggu.8 Apabila keadaan umum bayi baik maka bayi dapat pulang bersama dengan
ibu. Bayi kembali diobservasi untuk mendapatkan pemeriksaan virologi HIV pada usia 6
bulan, 12 bulan dan 18 bulan. Pada bayi lebih dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
virologi dibandingkan pemeriksaan antibodi karena sampai usia 18 bulan antibodi ibu masih
ada didalam tubuh bayi.8 Apabila pemeriksaan virologi terbatas, setelah bayi mendapatkan

27
zidovudin, bayi selanjutnya mendapatkan kotrimoksasol sampai diagnosis HIV dapat
disingkirkan.
Pasien telah memilih pemberian ASI eksklusif untuk mencukupi nutrisi pada bayi.
Karena ibu dan bayi telah sama-sama mengkonsumsi ARV maka penularan infeksi ke bayi
minimal, diketahui dapat mencegah penularan hingga 8%.
Penggunaan kontrasepsi yang terbaik untuk kehamilan dengan HIV adalah dengan
sterilisasi tetapi hal tersebut harus dipertimbangkan dengan jumlah anak yang telah dimiliki
pasien. Pada kasus ini pasien memilih untuk menggunakan AKDR. Alat Kontrasepsi Dalam
Rahim dibuktikan aman bagi perempuan dengan HIV.

28
BAB V

KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Diagnosis pada pasien ini sudah tepat sesusai dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang yaitu G2P1A0H1 T/H/IU UK 39-40 minggu letak kepala
dengan HIV dan riwayat SC
2. Penegakan diagnosis HIV pada pasien sama dengan teori yaitu melalui pemeriksaan
tiga serial dengan metode Rapid Test.
3. Penatalaksanaan HIV pada kasus ini sudah sesusai dengan teori yang ada yaitu
melanjutkan terapi ARV yang sudah diterima oleh ibu sebelumnya.
4. Penerapan pemilihan metode persalinan sudah sesusai dengan teori untuk lebih
memilih seksio sesaria untuk mengurangi risiko penularan HIV pada bayi.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham M.D, et al. Preterm Birth. In: Williams Obstetrics. 23rd ed. USA:
McGraw- Hill; 2005.
2. Goepfert A.R. Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology Principle for Practise.
USA: McGraw-Hill; 2011.
3. Iams J.D. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine 5th ed. USA:
Saunders; 2007.
4. Jafferson Rompas. Persalinn Preterm [Online]. 2004. Available from:URL:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145 11Persalinanpreterm.pdf/145.30.
5. Saifuddin AB, dkk. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo edisi 4. Jakarta: PT Bina
Pustaka; 2011.
6. World Health Organization. Guidelines for second generation HIV surveillance: an
update: Know your epidemic. Joint United Nations Programme on HIV/ AIDS. World
Health Organization; 2013.
7. UNAIDS. UNAIDS Report On The Global AIDS Epidemic 2013. Global Report.
UNAIDS; 2013.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Nasional Pengendalian
HIV dan AIDS Sektor Kesehatan 2014-2019. Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2013.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
Dirjen P2PL; 2011.
10. Cunningham FG, Gant NF, Lereno KJ, Gilstrap III LC, Hanth JC, Wenstrom KD.
Human Immunodeficiency VirusInfection. In : William’sObstetric. 22nd Edition. New
York: Mc Graw-Hill; 2001. p.1-8
11. Decherney A, Goodwin M. et.al. Human Immunodeficiency Virus Infection. In :
Current Diagnosis and Treatment Obstetrics and Gynecology. 10th Edition. United
States of America. McGraw-Hill Companies; 2007.p.1-6
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak; 2013.
13. Notoatmodjo, Soekidjo. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta :
PT. Rineka Cipta; 2003.
14. Pusponegoro, et.al. Hubungan Penyuluhan Dengan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Ibu Hamil Tentang HIV dan Program Voluntary Counseling and Testing di

30
Puskesmas Pulo Gadung Tahun 2013. Departemen Obstetri dan Ginekologi FKUI;
2013.
15. Roza J. Faktor yang Berhubungan dengan Status HIV Klien VCT di RSUD Mandau
Kabupaten Bengkalis Tahun 2013. Jakarta : Universitas Indonesia; 2013.
16. Susan et.al. Disengagement and Engagement Coping with HIV/AIDS Stigma and
Psychological Well Being of People with HIV/AIDS. Journal of Social and Clinical
Psychology; 2012; 21 (2) : pp 123-50.
17. Engelman A, Cherepanov P. The structural biology of HIV-1: Mechanistic and
Therapeutic Insights. Nature reviews. Microbiology; 2012; 10:279-290.
18. Laskey, Sarah B. And Robert F. Silianto. A Mechanism Theory to Explain The
Efficacy of Antriretroviral Therapy. Nature Review Microbiology; 2014.

31
Lampiran

32
33

Anda mungkin juga menyukai