Anda di halaman 1dari 23

LIMFADENITIS TB DAN HIV

Makalah ini dibuat sebagai salah satu persyaratan kelulusan kepaniteraan

Klinik Senior Bagian Penyakit Dalam

RSU HAJI MEDAN

Pembimbing :

dr. Siti Taqwa, SP.PD

Disusun oleh :

Aprillya Indah Sijabat ( 20360175 )

Selfa Yunita ( 20360221 )

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT HAJI MEDAN

SUMATERA UTARA 2021


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan nikmat dan karunia-
Nya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas paper ini. Shalawat dan salam semoga
dilimpahkan kepada Nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihiwasallam, yang telah membawa
manusia dari zaman jahiliyah ke alam yang penuh ilmu pengetahuan ini. Alhamdulillah berkat
kemudahan yang diberikan Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan tugas paper yang berjudul “
LIMFADENITIS TB DAN HIV ”. Dalam penyusunan paper ini, penulis mendapatkan beberapa
hambatan serta kesulitan. Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak hal tersebut dapat
teratasi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan paper ini, terutama kepada dr. Siti Taqwa, Sp.PD
selaku pembimbing. Semoga segala bantuan yang penulis terima akan mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT. Adapun penulisan tugas paper ini dibuat sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti kegiatan kepaniteraan klinik senior bagian Ilmu Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum
Haji Medan.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang ditujukan untuk
membangun.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Medan, 6 September 2021

Penulis

1
BAB 1

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi
terbanyak di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa sekitar 1,9
miliar manusia (sepertiga penduduk dunia) telah terinfeksi kuman TB. Setiap detik ada satu
orang yang terinfeksi TB di dunia ini.

Di Indonesia TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah penderita


TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah
sekitar 10% dari total jumlah penderita TB di dunia. Diperkirakan setiap tahun ada sekitar
539.000 kasus baru dengan kematian sekitar 100.000 orang. Insiden kasus TB Basil Tahan
Asam (BTA) positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Munculnya pandemi Human
Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immunedeficiency Syndrome (AIDS) di dunia
menambah permasalahan TB. Koinfeksi TB dengan HIV akan meningkatkan resiko
kejadian TB secara signifikan.

Dalam penyebarannya tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 bagian, diantaranya adalah


TB paru dan TB diluar paru. Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk
salah satu penyakit di luar paru (TB-ekstraparu) Penyakit ini disebabkan oleh M.
tuberculosis.

Sekitar 43 persen dari semua limfadenopati perifer di negara berkembang disebabkan


oleh karena TB, manifestasi ini juga tidak hanya terlihat di negara berkembang, di negara
maju juga sering terdapat manifestasi ini. Angka kejadian di Amerika Serikat, sekitar 20
persen menimbulkan TB luar paru, dan sekitar 30 persen dari kasus-kasus ini hadir dengan
limfadenitis. Prevalensi limfadenitis tuberkulosis pada anak-anak sampai 14 tahun di
pedesaan India adalah sekitar 4,4 kasus per 1000.
Diagnosa limfadenitis TB mudah ditegakkan apabila gambaran-gambaran khas
tersebut di atas ditemukan pada sediaan aspirasi. Tetapi apabila gambaran ini tidak
dijumpai, sulit membedakan antara limfadenitis akut supuratif atau limfadenitis TB

2
supuratif, dalam studi diagnostik menemukan adanya gambaran lain dari limfadenitis TB,
yaitu adanya bercak- bercak gelap (dark specks) pada latar belakang material nekrotik
granular eosinofilik dari aspirat limfadenopati. Dan ternyata apabila sediaan ini dikultur
dengan teknik Kudoh, ternyata 83% kasus memberikan kultur positif.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis virus yang menginfeksi sel
darah putih yang menyebabkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) adalah sekumpulan gejala yang timbul karena turunnya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Penderita HIV memerlukan pengobatan
dengan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak
masuk ke dalam stadium AIDS, sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan ARV
untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai komplikasinya.
Data kasus HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Seperti
pada gambar di bawah ini, terlihat bahwa selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di
Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus. Berdasarkan
data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di regional Asia Pasifik. Untuk kasus
AIDS tertinggi selama sebelas tahun terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214 kasus.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1.Limfadenitis TB
1.1 Definisi
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening yang terjadi akibat
terjadinya infeksi dari suatu bagian tubuh maka terjadi pula peradangan pada kelenjar getah
bening regioner dari lesi primer. Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk
salah satu penyakit TB di luar paru (Tb-extraparu). Penyakit ini disebabkan oleh M.
tuberkulosis, kemudian dilaporkan ditemukan berbagai spesies M. Atipik.

1.2 Etiologi

Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu M.tuberculosis


(pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti dan M.caprae. Secara
mikrobiologi, M.tuberculosis merupakan basil tahan asam yang dapat dilihat dengan
pewarnaan Ziehl- Neelsen atau Kinyoun-Gabbett. Pada pewarnaan tahan asam akan terlihat
kuman berwarna merah berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5µm.
Daya tahan kuman M.tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan kuman lainnya
karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini tahan terhadap asam, alkali dan
zat warna malakit. Pada sputum yang melekat pada debu dapat tahan hidup selama 8-10
hari. M.tuberculosis dapat dibunuh dengan pasteurisasi

1.3 Epidemiologi
Tuberkulosis ekstraparu telah memberikan kontribusi yang besar dalam kejadian TB
terutama pada pasien yang menderita imunodefisiensi akibat HIV (45-70%) dibandingkan yang
tidak menderita HIV AIDS (15%). Limfadenitis TB merupakan TB ekstraparu paling sering.
Menurut jenis kelamin, perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan

4
perbandingan 68:31. Menurut ras, Asia lebih sering terkena dibandingkan Afrika. Pada pasien
limfadenitis TB terdapat pasien yang telah diimunisasi BCG sebanyak 37%. Pada penelitian
infeksi Mycobacterium bovis merupakan penyebab tersering dari TB ekstraparu terutama
limfadenitis TB. Konsumsi susu mentah memiliki peran penting dalam infeksi bakteri ini. Maka
dari itu, limfadenitis TB ini lebih sering mengenai anak-anak. Menurut penelitian pada anak-
anak yang menderita limfadenitis TB, umur rata-rata anak tersebut adalah 9,8 tahun dengan
anak perempuan (61,3%) lebih banyak dari anak laki-laki (38,7%).

Menurut penelitian dari 1112 anak-anak, 7,8% anak menderita limfadenitis TB.
Penyakit ini didapati pada semua usia tapi lebih sering pada anak usia 10 dan 18 tahun
(39,1%). Pada anak dengan rontgen dada yang normal didapati memiliki limfadenitis TB
sebanyak 21,8%. Dan pada pasien ini didapati tes tuberkulin positif sebanyak 87,3% dan
memiliki riwayat keluarga menderita TB sebanyak 82,7%.

1.4 Patogenesis

Untuk pasien-pasien tanpa infeksi HIV, terjadinya Limfadenopati Tuberkulosis


perifer yang terisolasi (contoh, pada bagian cervical) kemungkinan besar disebabkan oleh
reaktivasi dari penyakit pada bagian tersebut melalui jalur hematogen ketika pasien
terinfeksi Tuberkulosis Primer. Akan tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa limfadenitis
tuberkulosis pada bagian cervical mungkin disebabkan oleh infeksi pada tonsil, adenoid,
dan cincin waldeyer’s dimana hal ini akan menyebabkan terlibatnya nodal cervical.
Pada pasien yang terinfeksi HIV dengan limfadenitis tuberkulosis, lebih banyak
terdapat bukti bahwa infeksi mereka lebih menyeluruh seperti sering timbul demam yang
tiba-tiba, gambaran foto thoraks yang abnormal dan jumlah mycobacterium yang lebih
banyak. Reaktivasi dari infeksi yang laten lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi
HIV. Rute yang menjadi kemungkinan tempat masuknya mikobakterium tuberkulosa ke
kelenjar limfe :

1. Reaktifasi dari TB paru atau pelebaran hilus (paling sering).

2. Keterlibatan cervical melalui infeksi laring

3. Jalur hematogen

5
1.5 Gejala Klinis
Manifestasi klinis tergantung pada lokasi limfadenopati dan status imun dari pasien.
Manifestasi klinis juga bervariasi pada berbagai etnik dan geografi dari populasi. Lebih dari
sepertiga pasien akan melaporkan adanya riwayat TB sebelumnya atau riwayat keluarga
menderita TB.

Manifestasi tersering yaitu limfadenopati nontender kronik pada pasien dewasa muda
tanpa gejala sistemik. Massa tersebut dapat berkembang sampai lebih dari 12 bulan
sebelum diagnosis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan massa yang terpisah-pisah atau
“matted nodes” yang terfiksasi ke jaringan sekitarnya, kadang disertai dengan indurasi kulit
di bawahnya. Kadang-kadang , draining sinus, fluktuasi, atau eritema nodosum dijumpai
pada lokasi tersebut.

a. Limfadenopati Servikal
Nodus limfe servikal biasanya terlibat pada limfadenitis TB dengan 63-77% dari
kasus. Massa unilateral biasanya sering muncul di bagian anterior atau posterior triangular
servikalis, tetapi nodus limfe submandibular dan supraklavikular juga terlibat. Lesi bilateral
jarang dijumpai, mungkin terjadi kurang dari 10% kasus . Meskipun, kebanyakan pasien
mempunyai manifestasi di satu lokasi, nodus-nodus yang lain di lokasi tersebut dapat
terlibat juga.

b. Nodus-nodus lain yang terlibat


Meskipun regio servilkalis sering terkena, lokasi lain juga sering dilaporkan.
Tuberkulosis pada nodus limfe aksilaris, inguinalis, mesentrik, mediastinal, dan
intramammaris telah dilaporkan. Tuberkulosis limfadenopati mediastinal dapat disertai
dengan disfagia, perforasi esofagus, paralisis pita suara akibat terlibatnya nercus laringeal
rekurens, dan oklusi arteri pulmonalis yang mirip dengan gejala emboli paru.

Isolated TB Iutroabdominal lymphhadenopathy sering mengenai nodus limfe di


regio periportal, diikuti dengan nodus limfe perpankreas dan mesentric. Nodus limfe hepar
yang terkena menyebabkan jaundis, trombosis vena portal, dan hipertensi portal. Kompresi

6
ektrinsik pada arteri renalis akibat limfadenopati tuberkulosis abdominal menyebabkan
hipertensi renovaskular.

Koinfeksi HIV dapat mempengaruhi manifestasui klinis limfadenitis TB. Pasien


dengan AIDS dan pada derajat yang lebih ringan, pasien yang hanya terinfeksi HIV,
cenderung memiliki manifestasi TB diseminata dengan keterlibatan lebih dari satu lokasi
nouds limfe.

Gejala sistemik seperti demam, berkeringat, dan penurunan berat badan sering
ditemukan. Kebanyakan pasien dengan keterlibatan nodus mediastinal dan hilar akan
terkena TB paru dan menyebabkan dispnea dan takipnea. Pasien HIV dengan limfadenitis
TB bisa terkena infeksi oportunistik lainnya pada saat yang bersamaan.

• Jones dan Campbell mengklasifikasikan lymph nodes tuberculosis ke dalam


beberapa stadium:
a. Stadium 1: pembesaran, tegas, mobile, nodus yang terpisah yang menunjukkan
hyperplasia reaktif non-spesifik
b. Stadium 2: rubbery nodes yang berukuran besar yang terfiksasi ke jaringan
sekitarnya

c. Stadium 3: perlunakan sentral akibat pembentukan abses

d. Stadium 4: formasi abses collar-stud

e. Stadium 5: formasi traktus sinus

Manifestasi yang jarang ditemukan pada pasien dengan keterlibatan mediastinal lymph
node yaitu disfagia, fistula oesofagomediastinal, dan fistula trakeo-esofageal.

1.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian, farmakologis


dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan pembedahan, sedangkan terapi
farmakologis memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru.
Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama, karena pembedahan tidak

7
memberikan keuntungan tambahan dibandingkan terapi farmakologis biasa. Namun
pembedahan dapat dipertimbangkan seperti prosedur dibawah ini:

• Biopsy eksisional: Limfadenitis yang disebabkan oleh atypical mycobacteria


bisa mengubah nilai kosmetik dengan bedah eksisi.

• Aspirasi

• Insisi dan drainase

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan limfadenitis TB ke


dalam TB di luar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH. British Thoracic Society
Research Committee and Compbell (BTSRCC) merekomendasikan pengobatan selama 9
bulan dalam regimen 2RHE/7RH

Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT):

1. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua) jenis
berdasarkan sifatnya yaitu:

a. Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin, pirazinamid dan
streptomisin.

b. Bakteriostatik, yaitu etambutol.

Kelima obat tersebut di atas termasuk OAT utama

2. OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs), terdiri dari Para-aminosalicylicAcid


(PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin. OAT sekunderini selain
kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang dipakai lagi.

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip--
prinsip yang dipakai adalah:

1. Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan


dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya
8
kekebalan terhadap OAT.

2. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan


dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang
Pengawas Menelan Obat (PMO).

3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Intensif

1. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2
bulan.
Tahap Lanjutan

1. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan

Regimen pengobatan yang digunakan adalah:

• Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu
selama 4 bulan.

Obat ini diberikan untuk:

9
1. Penderita baru TB Paru BTA Positif.
2. Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”
3. Penderita TB Ekstra Paru berat

• kategori 3 (2HRZ/4H3R3).Obat ini diberikan untuk:

1. Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan

2. Penderita TB ekstra paru ringan.

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu.

Kategori 1

Tahap Lamanya Dosis per hari/kali

Pengobatan Pengobatan Tablet Kaplet Tablet Tablet


Isoniazid Rifampicin Pirazinamid Etambutol
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg

Tahap intensif (dosis 2 bulan 1 1 3 3


harian)

Tahap lanjutan (dosis 4 bulan 2 1 ----- -----


3x seminggu)

Kategori 3

Tahap Lama Tablet Isoniazid Tablet Tablet


Pengobatan Pengobatan @ 300 mg Rifampicin Pirezinamid
@450 mg
@ 500 mg
Tahap intensif 2 bulan 1 1 3
(dosis harian)

10
Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 -------
(dosis 3x
seminggu)

2. HIV ( Human Immunodeficiency Virus )

2.1 Definisi

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang sistem imun
manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti makrofag
dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu kondisi
immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma sekunder,
serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014). HIV (Human
Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri atas untai tunggal RNA virus
yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA pejamu ketika
menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu penyakit virus
yang menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi immunodefisiensi manusia
(HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun setelah diagnosis (Corwin, 2009).

2.2 Etiologi

Melemahnya system imun akibat HIV menyebabkan timbulnya gejala AIDS. HIV
tergolong pada kelompok retrovirus dengan materi genetic dalam Rebonukleat Acid (RNA),
menyebabkan AIDS dan menyerang sel khususnya yang memiliki antigen permukaan CD4
terutama sel limfosit T4 yang mempunyai peran penting dalam mengatur dan mempertahankan
sistem kekebalan tubuh. Virus HIV juga bisa menginfeksi sel monosit dan magrofag, sel
lagerhands pada kulit, sel dendrit pada kelenjar linfa, makrofag pada alveoli paru, sel retina, dan
sel serviks uteri. Lalu kemudian virus HIV akan masuk kedalam limfosit T4 dan menggandakan
dirinya selanjutnya akan menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Ketika sistem kekebalan tubuh

11
yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyerang maka virus ini akan menyebabkan
seseorang mengalami keganasan dan infeksi oportunistik (Suliso, 2006 dalam Fauzan 2015).

5 fase transmisiinfeksi HIV dan AIDS yaitu:

a. Window Periode/Periode
Jendela Kondisi dimana seseorang sudah terinfeksi HIV tapi tubuhnya belum memproduksi
antibodi HIV, jika dites HIV akan menunjukan non-reaktif/negative, tapi sebenarnya sudah
terinfeksi, HIV ini tidak langsung memperlihatkan gejala tertentu, sebagian menunjukan gejala –
gejala yang tidak khas seperti infeksi akut. Sekitar 3 – 6 minggu setelah terkena virus
HIV.Contoh : ruam, pusing, demam, nyeri tenggorokan, tidak enak badan seperti orang flu biasa.

b. Stadium 1/Asimtomatik (Tanpa Gejala)


Disini antibody HIV sudah terbentuk artinya walaupun tidak ada gejala HIV tapi jika di tes
HIV hasilnya sudah positif/re-aktif atau kadang hanya sedikit pembengkakan pada kelenjar getah
bening. Periode ini bisa bertahan berfariasi setiap orang ada yang 8-10 tahun, ada yang jauh lebih
cepat berprogresif ada yang sampai 15 tahun. Setelah di stadium 1 jika tidak ketahuan dan tidak
dobati akan berlanjut ke HIV stadium 2.

c. Stadium 2: BB turun <10% + gejala penurunan system imun


Pada stadium ini mulai menunjukan beberapa gejala - gejala, berat badan mulai turun tapi
kurang dari 10% berat badan normal, mulai muncul penyakit – penyakit seperti ada jamur di kuku,
sariawan yang tidak sembuh – sembuh dan berulang – ulang terjadi. Gejala awal yang menunjukan
system imun seseorang itu mulai menurun tapi belum terlalu parah namun jika pada stadium ini
belum juga ketahuan dan belumdiobati maka akan lanjut ke stadium 3.

d. Stadium 3
BB turun >10%, diare >1 bulan, demam >1 bulan jadi seperti demam yang tidak berhenti
walaupun sedah diberikan obat penurun panas setelah efeknya hilang dan muncul lagi,
kandidiasis oral/jamur dimulut bahkan sampai muncul gejala TB paru ini semua adalah penyakit
disebabkan karena turunnya system pertahanan tubuh/system imun. Kemudian jika tidak juga
diobati maka akan menuju HIV stadium 4.

e. Stadium 4

12
HIV Wasting Syndrome-AIDS Tahap ini sudah masuk pada AIDS gejala yang dialami sudah
semakin parah, badan sudah sangat kurus, kulit berjamur, mulut berjamur, kuku berjamur.
Wasting syndrome artinya hanya tinggal kulit dan tulang.

Kelompok Risiko

Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS sebagai berikut:

1. Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian


2. Pekerja seks dan pelanggan mereka keterbatasan pendidikan dan peluang untuk kehidupan
yang layak memaksa mereka menjadi pekerja seks
3. Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki
4. Narapidana
5. Pelaut dan pekerja di sektor transportasi
Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko seperti kekerasan seksual,
hubungan seksual dengan orang yang terinfeksi HIV tanpa pelindung, mendatangi
lokalisasi/komplek PSK dan membeli seks (Ernawati, 2016).

2.3 Klasifikasi

a. Fase 1 Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah terpapar dan terinfeksi.
Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibody
terhadap HIV belum terbentuk. Bisa saja terlihat/ mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu
(biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

b. Fase 2 Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini individu sudah
positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit. Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa
saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).

c. Fase 3 Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala AIDS. Gejala – gejala
yang berkaitan antara lain keringat yang berlebihan pada waktu malam, diare terus menerus,
pembengkakan kelenjar getah bening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan berkurang
13
dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan
tubuh mulai berkurang.

d. Fase 4 Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah kekebalan tubuh sangat
berkurang dilihat dari jumlah sel T nya. Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi
oportunistik yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan radang paru – paru dan kesulitan
bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau sarcoma kaposi, infeksi usus yang
menyebabkan diare parah berminggu – minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan
mental dan sakit kepala (Hasdianah & Dewi, 2014).

2.4 Patofisiologi

Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan
replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun. Umumnya,
jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun.
Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti demam, nyeri kepala,
faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan
dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan jumlah sel
limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi
imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi
autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014)

Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel – sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan
sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong
(Susanto & Made Ari, 2013).

Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 – 300 per
ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala – gejala infeksi
(herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).

14
2.5 Manifestasi Klinis

Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:

1. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya
2. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum
3. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun
atau kekebalan
4. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa diare
kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita
akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto, 2009).

Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi
menurut WHO:

1. Stadium 1 (asimtomatis)
Asimtomatis, limfadenopati generalisata

2. Stadium 2 (ringan)
Penurunan berat badan < 10%, manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis
seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi popular
pruritik. Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir. Infeksi saluran napas atas berulang:
sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media

3. Stadium 3 (lanjut)
Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas, diare tanpa sebab jelas > 1 bulan,
demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan, kandidiasis oral
persisten, oral hairy leukoplakia, tuberculosis paru, infeksi bakteri berat:
pneumonia,piomiositis empiema, infeksi tulang/sendi, meningitis, bakteremia, stomatitis /
gingivitis / periodonitis ulseratif nekrotik akut, anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas,
neutropenia (< 0,5×109 /L) tanpa sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109 /L)

15
tanpa sebab yang jelas.

4. Stadium 4 (berat)
HIV wasting syndrome, pneumonia akibat pneumocystis carinii, pneumonia
bakterial berat rekuren, toksoplasmosis serebral, kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan,
sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening, infeksi herpes
simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral, leukoensefalopati multifocal progresif,
mikosis endemic diseminata, kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus, mikobakteriosis
atripik, diseminata atau paru, Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren,
tuberculosis ekstrapulmonal, Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi,
ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik,
karsinoma serviks invasive, leismaniasis atipik diseminata, nefropati terkait HIV
simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis (Kapita Selekta, 2014).

2.6 Komplikasi

1. Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human
Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan,
keletihan dan cacat.

2. Neurologik
Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus
(HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan,
disfasia, dan isolasi sosial.Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia,
ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise,
demam, paralise total/parsial.Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis. Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.

3. Gastrointertinal
Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma
Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
16
Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan
anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena abses
dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit
dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare. Respirasi Infeksi karena Pneumocystic Carinii,
cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus dan strongyloides dengan efek sesak nafas
pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.Dermatologik Lesi kulit stafilokokus: virus
herpes simpleks dan zoster,dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus
dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.

4. Sensorik
Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan. Pendengaran: otitis
eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran dengan efek nyeri (Susanto & Made Ari,
2013).

2.7 Cara penularan

HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan tubuh seperti darah, semen,
cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya seseorang tergantung pada status imunitas, gizi,
kesehatan umum dan usia serta jenis kelamin merupakan faktor risiko. Seseorang akan berisiko
tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang yang terinfeksi, pemakaian jarum suntik
yang bergantian terutama pada pengguna narkoba, hubungan seksual (Corwin, 2009).

Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui cairan tubuh seperti darah, cairan
genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat dalam saliva, air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak
dilaporkan terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang sudah disunat memiliki risiko HIV
yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang tidak disunat. Selain melalui cairan tubuh, HIV
juga ditularkan melalui:

a. Ibu hamil
Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI). Angka transmisi mencapai
20-50% Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga. Laporan lain
menyatakan risiko penularan malalui ASI adalah 11-29%. Sebuah studi meta-analisis
prospektif yang melibatkan penelitian pada duakelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang
menyusui sejak awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang menyusui setelah beberapa
17
waktu usia bayinya, melaporkan bahwa angka penularan HIV pada bayi yang belum
disusui adalah 14% (yang diperoleh dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan
persalinan), dan angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya disusui.
Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi HIV dari ibunya selama 6-15
bulan.

b. Jarum suntik
Prevalensi 5-10% penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum
suntik karena penyalahgunaan obat Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak
pidana) dewasa, pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di Bogor
25% dan di Bali 53%.

c. Transfusi darah
Risiko penularan sebesar 90%

d. Hubungan seksual
Prevalensi 70-80%, kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim.
Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini dengan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menggunakan kondom, maka penularan
melalui jalur ini cenderung menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur penasun
(pengguna narkoba suntik) (Widoyono, 2011).

2.8 Pencegahan Penularan

Secara umum Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E) yaitu:

A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks berisiko tinggi, terutama seks
pranikah

B: Be faithful – saling setia

C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar D: Drugs – menolak penggunaan
NAPZA

18
E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama

Untuk pengguna

Napza Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika: mulai berhenti
menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak memakai jarum suntik bersama. Untuk remaja tidak
melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari penggunaan obat-obatan
terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik, tidak melakukan kontak langsung percampuran darah
dengan orang yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku
yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab (Hasdianah & Dewi, 2014).

2.9 Diagnosis

Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:

a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-


100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.
b. Western blot spesifikasinya tinggi yait sebesar 99,6 - 100%. Pemeriksaannya cukup sulit,
mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
c. PCR (Polymerase Chain Reaction) Tes ini digunakan untuk: Tes HIV pada bayi, karena zat
antimaternal masih ada padabayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis.
Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok beresiko tinggi

2.10 Penatalaksanaan

2.10.1Farmakologi

Terapi antiretroviral (ARV) Terapi antiretroviral berfungsi untuk memperlama/


menghambat perkembangan dari virus HIV sehingga perkembangan menuju AIDS bisa dalam
waktu lama. Pengobatan biasanya dimulai ketika CD4 menurun , begitu seseorang start melakukan
pengobatan HIV menggunakan ARV maka penderita harus meminum obat tersebut seumur hidup
secara rutin dan jangan sampai terlewat/putus obat tujuannya untuk menjaga jumlah kadar CD4
dalam tubuh dan mempertahankan kekebalan tubuh (Nursalam & Ninuk, 2013).

19
Golongan Obat ARV, menurut Desmawati, 2013 dijelaskan ada beberapa golongan dari
obat ARV antara lain yaitu:

1. Nucleoside Reverse Trancriptase Inhibitor (NRTI) Jenis – jenis obat HIV berdasarkan
nama generic: Zidovudine, Didanosine, Zalzitabine, Stavudine, Lamivudne, Abacavir
Tenofovir
2. Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) yang termasuk golongan ini adalah
Tenofir (TDF).
3. Non-Nuleuside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) golongan ini juga bekerja dengan
menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan mengikat reverse transcriptase
sehingga tidak berfungsi. Golongan Non-nucleouside reverse transcriptase inhibitor
berdasarkan ama genetic: Nevairavine, Delavirdine, Efavirenz, Protease inhibitor (PI)

Menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi memotong DNA yang dibentuk oleh
virus dengan ukuran yang besar untuk memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah :

1. Indinavir (IDV)
2. Nelvinavir (NFV)
3. Squinavir (SQV)
4. Ritonavir (RTV)
5. Amprenavir (APV)
6. Leponavir/ ritonavir (LPV/R)
Fusion Inhibitor Menghambat menempelnya virus dengan sel lmfosit melalui sel CD4. Fusion
inhibitor iniyang termasuk golongan ini adalah Enfuvirtide (T-20), c. Vaksin dan Rekonstruksi
Imun. Tantangan terapiutik untuk pengobatan AIDS tetap ada. Sejak agen penyebab infeksi HV
dan AIDS dapat diisolasi, pengembangan vaksin telah diteliti secara aktif. Upaya – upaya
rekontruksi imun juga sedang diteliti dengan agen tersebut seperti interferon. Penelitian yang akan
datang tidak di ragukan lagi untuk menghasilkan obat – obat tambahan dan protocol tindakan
terhadap penyakit ini (Desmawati, 2013).

2.10.2Terapi Non Farmakologi

1. Pemberian nutrisi
20
Defisiensi gizi pada pasien positif HIV biasanya dihubungkan dengan adanya peningkatan
kebutuhan karena adanya infeksi penyerta/infeksi oportunistik. Disaat adanya infeksi penyerta
lainnya maka kebutuhan gizi tentunya akan meningkat. Jika peningkatan kebutuhan gizi tdak di
imbangi dengan konsumsi makanan yang di tambahkan atau gizi yang ditambah maka kekurangan
gizi akan terus memburuk, akhirnya akan menghasilkan sebuah kondisi yang tidak
menguntungkan bagi dengan positif HIV. Yang harus dilakukan adalah mengatasi kekurangan gizi
ini : Mengkonsumsi makanan dengan kepadatan gizi yang lebih tinggi dari makan biasanya,
Minuman yang di konsumsi upayakan adalah mi numan yang berenergi (Desmawati, 2013). Selain
mengkonsumsi jumlah nutrisi yang tinggi, penderita HIV/AIDS juga harus mengkonsumsi
suplementasi atau nutrisi tambahan.Tujuan nutrisi agar tidak terjadi defisiensi vitamin dan
mineral.

2. Aktivitas dan Olahraga


Olahraga yang dilakukan secara teratur sangat membantu efeknya juga
menyehatkan.Olahraga secara teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein
pada system

21

Anda mungkin juga menyukai