Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

LIMFADENITIS TB

Oleh:
Arif Rizki Taradita 1310311036
Raudhah Salwati 1740312039
Citra Husna Pratiwi 1410311090

Preseptor:
Dr. dr. H. Eva Decroli, SpPD-KEMD, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM RSUP DR M DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
BAB I
LATAR BELAKANG
1.1. Pendahuluan
Limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada
kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis.1 Di Indonesia TB merupakan masalah utama
dalam jaringan kesehatan masyarakat. Adapun jumlah penderita TB di
Indonesia merupakan peringkat ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan
Cina. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang telah lama
dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di
dunia. Prevalensi TB di Indonesia dan negara-negara sedang berkembang
lainnya cukup tinggi. Pada tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah
>600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam
usia produktif (15–55 tahun).2
Dalam penyebarannya, tuberkulosis dapat dikategorikan menjadi
dua bagian yaitu TB paru dan TB di luar paru. Limfadenitis yang lebih
dikenal dengan TB kelenjar getah bening termasuk salah satu penyakit di
luar paru (TB ekstra paru).3 Limfadenitis adalah manifestasi tuberkulosis
ekstraparu yang paling sering terjadi. Limfadenitis TB adalah manifestasi
lokal dari penyakit sistemik. Insiden limfadenitis mikobakteri telah
meningkat secara paralel dengan peningkatan kejadian infeksi mikobakteri
di seluruh dunia. Limfadenitis TB terjadi pada 35 persen dari TB ekstra
paru yang meliputi sekitar 15 sampai 20 persen dari semua kasus TB.
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,
kemudian diikuti oleh kelenjar mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal
hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis.4 Beberapa studi didapatkan
kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 74%-90% pada kelenjar limfe servikalis,
14%-20% pada kelenjar aksila, dan 4%-8% pada kelenjar inguinal. 5
1.2. Tujuan Penulisan
Case Report Session ini bertujuan untuk mengetahui definisi,
etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi,
dan prognosis limfadenitis TB
1.3 Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan tinjauan
kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Limfadenitis adalah peradangan pada kelenjar getah bening akibat
infeksi bagian tubuh lain (lesi primer) yang menyebar ke kelenjer getah
bening regional. Limfadenitis TB atau TB kelenjar getah bening termasuk
salah satu penyakit TB di luar paru (Tb-extra paru). Penyakit ini disebabkan
oleh M. tuberkulosis, kemudian dilaporkan ditemukan berbagai spesies M.
Atipik.6,7

2.2 Epidemiologi
Tuberkulosis ekstraparu telah memberikan kontribusi yang besar
dalam kejadian TB terutama pada pasien yang menderita imunodefisiensi
akibat HIV (45-70%) dibandingkan yang tidak menderita HIV AIDS
(15%).8,11 Limfadenitis TB merupakan TB ekstraparu paling sering. Menurut
jenis kelamin, perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 68:31. Menurut ras, Asia lebih sering terkena dibandingkan
Afrika. Pada pasien limfadenitis TB terdapat pasien yang telah diimunisasi
BCG sebanyak 37%.8 Pada penelitian infeksi Mycobacterium bovis
merupakan penyebab tersering dari TB ekstraparu terutama limfadenitis TB.
Konsumsi susu mentah memiliki peran penting dalam infeksi bakteri
ini.11Maka dari itu, limfadenitis TB ini lebih sering mengenai anak-anak.
Menurut penelitian pada anak-anak yang menderita limfadenitis TB, umur
rata-rata anak tersebut adalah 9,8 tahun dengan anak perempuan (61,3%)
lebih banyak dari anak laki-laki (38,7%).9
Menurut penelitian dari 1112 anak-anak, 7,8% anak menderita limfadenitis
TB. Penyakit ini didapati pada semua usia tapi lebih sering pada anak usia 10
dan 18 tahun (39,1%). Pada anak dengan rontgen dada yang normal didapati
memiliki limfadenitis TB sebanyak 21,8%. Dan pada pasien ini didapati tes
tuberkulin positif sebanyak 87,3% dan memiliki riwayat keluarga menderita
TB sebanyak 82,7%.10
2.3 Etiologi
Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu
M.tuberculosis (pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti
dan M.caprae. Secara mikrobiologi, M.tuberculosis merupakan basil tahan
asam yang dapat dilihat dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen atau Kinyoun-
Gabbett. Pada pewarnaan tahan asam akan terlihat kuman berwarna merah
berbentuk batang halus berukuran 3 x 0,5μm.
M.tuberculosis dapat tumbuh dengan energi yang diperoleh dari oksidasi
senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat merangsang pertumbuhan.
M.tuberculosis merupakan mikroba kecil seperti batang yang tahan terhadap
desinfektan lemah dan bertahan hidup pada kondisi yang kering hingga
berminggu-minggu, tetapi hanya dapat tumbuh di dalam organisme hospes.
Kuman akan mati pada suhu 600 C selama 15-20 menit, Pada suhu 300 atau
400-450 C sukar tumbuh atau bahkan tidak dapat tumbuh. Pengurangan
oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman.
Daya tahan kuman M.tuberculosis lebih besar dibandingkan dengan
kuman lainnya karena sifat hidrofobik pada permukaan selnya. Kuman ini
tahan terhadap asam, alkali dan zat warna malakit. Pada sputum yang melekat
pada debu dapat tahan hidup selama 8-10 hari. M.tuberculosis dapat dibunuh
dengan pasteurisasi.
2.4 Patogenesis
Untuk pasien-pasien tanpa infeksi HIV, terjadinya Limfadenopati
Tuberkulosis perifer yang terisolasi (contoh, pada bagian cervical)
kemungkinan besar disebabkan oleh reaktivasi dari penyakit pada bagian
tersebut melalui jalur hematogen ketika pasien terinfeksi Tuberkulosis Primer.
Akan tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa limfadenitis tuberkulosis pada
bagian cervical mungkin disebabkan oleh infeksi pada tonsil, adenoid, dan
cincin waldeyer’s dimana hal ini akan menyebabkan terlibatnya nodal
cervical.
Pada pasien yang terinfeksi HIV dengan limfadenitis tuberkulosis, lebih
banyak terdapat bukti bahwa infeksi mereka lebih menyeluruh seperti sering
timbul demam yang tiba-tiba, gambaran foto thoraks yang abnormal dan
jumlah mycobacterium yang lebih banyak. Reaktivasi dari infeksi yang laten
lebih sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV.
rute yang menjadi kemungkinan tempat masuknya mikobakterium
tuberkulosa ke kelenjar limfe :
1. Reaktifasi dari TB paru atau pelebaran hilus (paling sering).
2. Keterlibatan cervical melalui infeksi laring
3. Jalur hematogen

2.5 Patofisiologi
TB ekstraparu merupakan penyakit TB yang terjadi di luar paru, organ
yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening,
pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum dan perikardium. 5
Limfadenitis TB adalah manifestasi lokal dari penyakit sistemik. Hal ini bisa
terjadi pada infeksi TB primer atau sebagai akibat dari reaktivasi dari fokus
aktif dan bisa langsung menyebar dari fokus yang berdekatan. Infeksi primer
terjadi pada paparan awal dari tuberkel basil. Dihirup dari droplet nuklei
yang berukuran cukup kecil untuk melewati pertahanan muco-silia pada
bronkus dan berlanjut ke alveoli.4 Sampai di paru, droplet ini akan di fagosit
oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan, Pertama, basil TB
akan ,mati akibat difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan bertahan
hidup dengan cara bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan
dapat menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen bahkan
hematogen.5
Basil berkembang biak di paru-paru yang disebut fokus Ghon. sistem
limfatik mengalirkan basil ke kelenjar getah bening hilus. Fokus Ghon dapat
membentuk kompleks primer. Infeksi dapat menyebar dari fokus primer ke
getah bening regional. Dari nodus regional, basil dapat terus menyebar
melalui sistem limfatik ke kelenjar lain dan bisa mencapai aliran darah
kemudian dapat menyebar ke hampir semua organ tubuh.
Hilus, mediastinum dan lymphnodes paratrakeal adalah tempat pertama
dari penyebaran infeksi dari parenkim paru. Limfadenitis TB merupakan
penyebaran dari infeksi fokus primer dari tonsil, adenoid sinonasal atau
4
osteomyelitis dari tulang etmoid. TB primer dapat terjadi pada seseorang
yang terpapar basil tuberkulosis untuk pertama kalinya. 5
Penyebaran basil TB secara limfogen pertama kali menuju kelenjar limfe
regional, dimana penyebaran basil TB tersebut mengakibatkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe dan dan kelenjar limfe regional. Basil
TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu sebelum
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah
basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan
dibawa ke kelenjar limfe di leher.4,5
Peningkatan ukuran nodus dapat disebabkan oleh hal berikut ini :
1. Multiplikasi sel dalam node, termasuk limfosit, plasma sel, monosit atau
histiosit.
2. Infiltrasi sel sel dari luar nodus, misalnya sel ganas atau neutrofil.
3. Drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.

2.6 Manifestasi Klinik


Manifestasi klinis tergantung pada lokasi limfadenopati dan status imun
dari pasien. Manifestasi klinis juga bervariasi pada berbagai etnik dan
geografi dari populasi. Lebih dari sepertiga pasien akan melaporkan adanya
riwayat TB sebelumnya atau riwayat keluarga menderita TB.
Manifestasi tersering yaitu limfadenopati non tender kronik pada pasien
dewasa muda tanpa gejala sistemik. Massa tersebut dapat berkembang sampai
lebih dari 12 bulan sebelum diagnosis. Dari pemeriksaan fisik ditemukan
massa yang terpisah-pisah atau “matted nodes” yang terfiksasi ke jaringan
sekitarnya, kadang disertai dengan indurasi kulit di bawahnya. Kadang-
kadang , draining sinus, fluktuasi, atau eritema nodosum dijumpai pada lokasi
tersebut.
Nodus limfe servikal biasanya terlibat pada limfadenitis TB dengan 63-
77% dari kasus. Massa unilateral biasanya sering muncul di bagian anterior
atau posterior triangular servikalis, tetapi nodus limfe submandibular dan
supraklavikular juga terlibat. Lesi bilateral jarang dijumpai, mungkin terjadi
kurang dari 10% kasus . Meskipun, kebnanyakan pasien mempunyai
manifestasi di satu lokasi, nodus-nodus yang lain di lokasi tersebut dapat
terlibat juga.
Meskipun regio servilkalis sering terkena, lokasi lain juga sering
dilaporkan. Tuberkulosis pada nodus limfe aksilaris, inguinalis, mesentrik,
mediastinal, dan intramammaris telah dilaporkan. Tuberkulosis limfadenopati
mediastinal dapat disertai dengan disfagia, perforasi esofagus, paralisis pita
suara akibat terlibatnya nervus laringeal rekurens, dan oklusi arteri
pulmonalis yang mirip dengan gejala emboli paru.
Isolated TB Intraabdominal lymphhadenopathy sering mengenai nodus
limfe di regio periportal, diikuti dengan nodus limfe perpankreas dan
mesentric. Nodus limfe hepar yang terkena menyebabkan jaundis, trombosis
vena portal, dan hipertensi portal. Kompresi ektrinsik pada arteri renalis
akibat limfadenopati tuberkulosis abdominal menyebabkan hipertensi
renovaskular.
Koinfeksi HIV dapat mempengaruhi manifestasi klinis limfadenitis TB.
Pasien dengan AIDS dan pada derajat yang lebih ringan, pasien yang hanya
terinfeksi HIV, cenderung memiliki manifestasi TB diseminata dengan
keterlibatan lebih dari satu lokasi nouds limfe. Gejala sistemik seperti
demam, berkeringat, dan penurunan berat badan sering ditemukan.
Kebanyakan pasien dengan keterlibatan nodus mediastinal dan hilar akan
terkena TB paru dan menyebabkan dispnea dan takipnea. Pasien HIV dengan
limfadenitis TB bisa terkena infeksi oportunistik lainnya pada saat yang
bersamaan.
Jones dan Campbell mengklasifikasikan lymph nodes tuberculosis ke
dalam beberapa stadium:
a. Stadium 1: pembesaran, tegas, mobile, nodus yang terpisah yang
menunjukkan hyperplasia reaktif non-spesifik
b. Stadium 2: rubbery nodes yang berukuran besar yang terfiksasi ke jaringan
sekitarnya
c. Stadium 3: perlunakan sentral akibat pembentukan abses
d. Stadium 4: formasi abses collar-stud
e. Stadium 5: formasi traktus sinus
Manifestasi yang jarang ditemukan pada pasien dengan keterlibatan
mediastinal lymph node yaitu disfagia, fistula oesofagomediastinal, dan
fistula trakeo-esofageal.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Kecurigaan yang tinggi terhadap infeksi mycobacterium tuberculosis
diperlukan dalam diagnosis di daerah endemis tb. Pemeriksaan menyeluruh
dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik , tes tuberkulin, pewarnaan basil
tahan asam, pemeriksaan radiologis, dan FNAB akan membantu untuk
mendiagnosis limfadenitis tb sebelum diagnosis akhir dapat dibuat dari
biopsi dan kultur. Diagnosis banding mencakup infeksi luas (virus, bakteri
atau jamur ) dan neoplasma (limfoma atau sarkoma, karsinoma metastasis),
hiperplasia reaktif non-spesifik, sarkoidosis, toksoplasmosis, penyakit
pembuluh darah kolagen dan penyakit sistem retikuloendotelial.4
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan diagnosis
limfadenitis TB yaitu : 12
a. Pemeriksaan laboratorium
- Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin dapat disertai dengan
leukositosis.
- Uji mantoux positif, dilakukan untuk menunjukkan adanya reaksi imun
tipelambat yang spesifik untuk antigen mikrobackterium seseorang.
Pengukuran dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Hasil positif bila
terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediate bila indurasi 5-9 mm,
negatif bila < 4 mm.
- Pemeriksaan dengan menggunakan Enzyme-Linked Immunoadsorbent
Assay(ELISA) dengan memiliki sensitivitas 60-80%.Identifikasi dengan
Polymerase Chain Reaction (PCR) yang masih terusdikembangkan.
b. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi meliputi pemeriksaan mikroskopis dan kultur.
Pemeriksaan mikroskopis dapat dilakukan dengan pengunaan pewarnaan
Ziehl Neelsen. Spesimen dapat didapatkan dengan biopsy aspirasi. Dalam
pemeriksaan ini diperlukan minimal 10.000 basil TB agar pewarnaan
mendapatkan hasil positif. Selain itu juga kultur dapat dijadikan pembantu
dalam menegakkan diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10- 100 basil/mm3
cukup untuk membuat hasil kultur menjadi positif, namun diperlukan waktu
beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur.
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi ini dapat diambil dari biopsi aspirasi
kelenjar limfe. Sensivitas dan spesifitas nya pemeriksaan ini yaitu 78% dan
99%. Pada pemeriksaan sitologi ini dapat ditemukan Langhans giant cell,
granuloma epiteloid,nekrosis kaseosa.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT Scan dan MRI dapat dilakukan untuk membantu
penegakkan diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan
kelainannya pada TB paru pada 14-20% kasus. USG kelenjar dapat
menunjukkan adanya lesi kistik multiokular singular tau multipel hipoekoik
yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk
membedakan pembesaran kelenjar dapat diakibatkan oleh infeksi TB,
metastatis, limfoma atau reaksi hyperplasia. Pada pemebesaran kelenjar
diakibatkan infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency,peripheral
halo dan internal echoes.
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral,
adanya cincin irregular pada contrast enhancementserta nodularitas
didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi
inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis
TB.
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan
konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik.

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua


bagian, farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah
dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan
regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru. Pembedahan tidaklah
merupakan suatu pilihan terapi yang utama, karena pembedahan tidak
memberikan keuntungan tambahan dibandingkan terapi farmakologis
biasa.13,16,17 Namun pembedahan dapat dipertimbangkan seperti prosedur
dibawah ini:

 Biopsy eksisional: Limfadenitis yang disebabkan oleh atypical


mycobacteria bisa mengubah nilai kosmetik dengan bedah eksisi.

 Aspirasi

 Insisi dan drainase

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mengklasifikasikan


limfadenitis TB ke dalam TB di luar paru dengan paduan obat 2RHZE/10RH.
British Thoracic Society Research Committee and Compbell (BTSRCC)
merekomendasikan pengobatan selama 9 bulan dalam regimen 2RHE/7RH.14

Ada 2 (dua) kategori Obat Anti Tuberkulosa (OAT):17


1. OAT Utama (first-line Antituberculosis Drugs), yang dibagi menjadi dua (dua)
jenis berdasarkan sifatnya yaitu:

a. Bakterisidal, termasuk dalam golongan ini adalah INH, rifampisin,


pirazinamid dan streptomisin.

b. Bakteriostatik, yaitu etambutol.

Kelima obat tersebut di atas termasuk OAT utama

2. OAT sekunder (second Antituberculosis Drugs), terdiri dari Para-


aminosalicylicAcid (PAS), ethionamid, sikloserin, kanamisin dan kapreomisin.
OAT sekunderini selain kurang efektif juga lebih toksik, sehingga kurang
dipakai lagi.

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas


pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah: 15

 Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk
mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
 Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap Intensif

 Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
 Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Regimen pengobatan yang digunakan adalah: 15

 Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian
diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan.

Obat ini diberikan untuk:

 Penderita baru TB Paru BTA Positif.


 Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif yang “sakit berat”
 Penderita TB Ekstra Paru berat

 kategori 3 (2HRZ/4H3R3).Obat ini diberikan untuk:


 Penderita baru BTA negatif dan röntgen positif sakit ringan,
 Penderita TB ekstra paru ringan.

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu.

Kategori 1

Tahap Lamanya Dosis per hari/kali


Tablet Kaplet Tablet Tablet
Pengobatan Pengoba
Isoniazid Rifampicin Pirazinamid Etambutol
-tan
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg
Tahap intensif 2 bulan 1 1 3 3
(dosis harian)
Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 ----- -----
(dosis
3x/minggu)
Kategori 3
Tahap Lama Tablet Tablet Tablet
Pengobatan Pengobatan Isoniazid @ Rifampicin Pirezinamid @
300 mg @450 mg 500 mg
Tahap intensif 2 bulan 1 1 3
(dosis harian)
Tahap lanjutan 4 bulan 2 1 -------
(dosis 3x
seminggu)
BAB 3
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. NC
No MR : 01013630
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 29 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Status Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Alamat : Padang Panjang
Tanggal Masuk : 18 April 2018

ANAMNESIS
Keluhan Utama : Benjolan dileher kanan dan lipat paha kiri yang semakin
membesar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang:


 Benjolan di leher kanan yang semakin membesar sejak 1 minggu yang lalu ,
keluhan mulai dirasakan sejak 25 hari yang lalu, awalnya keluhan sebesar
kelereng semakin lama semakin membesar seukuran 4x5x3 cm, tidak nyeri,
konsistensi keras, permukaan rata, mobile, tidak berdarah dan tidak bernanah.
Keluhan yang sama ditemukan pada lipat paha kiri sebanyak 2 buah sebesar
kelereng dan bola pimpong, nyeri, serta dibawah dagu sejak 10 hari yang lalu
sebesar bola pimpong dan tidak nyeri.
 Demam sejak 2 bulan yang lalu, tidak tinggi, hilang timbul, tidak menggigil
dan dirasakan meningkat pada malam hari.
 Keringat malam sejak 2 bulan ini, membasahi baju.
 Sesak nafas mulai dirasakan dalam 2 bulan ini, hilang timbul terutama
dipengaruhi oleh bicara yang banyak.
 Batuk sejak 1 bulan yang lalu, hilang timbul, berdahak warna kuning
kehijauan sebanyak ¼ gelas aqua kecil/hari, batuk darah disangkal.
 Penurunan berat badan sebanyak 8 kg dalam 2 bulan terakhir, disertai lemas di
seluruh tubuh.
 Sulit menelan tidak ada
 Suara serak tidak ada
 Penurunan nafsu makan disangkal
 Riwayat trauma di bagian leher dan sela paha tidak ada.
 Riwayat paparan radiasi tidak ada.
 Mual muntah tidak ada
 BAB dan BAK jumlah, warna, dan konsistensi normal.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat TB tidak ada
 Riwayat DM tidak ada
 Riwayat hipertensi dan penyakit jantung tidak ada
 Riwayat hepatitis tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga:

 Riwayat TB dalam keluarga, tetangga dan teman kerja tidak ada.


 Riwayat penyakit keganasan pada keluarga tidak ada.

Riwayat Kebiasaan, Sosial, dan Ekonomi:


 Pasien seorang pedagang kain di Tanah Abang
 Riwayat mengonsumsi alkohol (+)
 Riwayat mengonsumsi obat-obatan terlarang (+), riwayat narkoba suntik
disangkal.
 Riwayat seks bebas disangkal.
 Riwayat merokok sejak 19 tahun yang lalu, sebanyak 5 bungkus/hari, berhenti
sejak 2 bulan ini.
 Pasien tidak bertato.

PEMERIKSAAN FISIK (pemeriksaan dilakukan tanggal 19 April 2018)


Pemeriksaan Umum
 Keadaan umum : sakit sedang
 Kesadaran : komposmentis
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Nadi :102 x/menit
 Pernapasan : 22x/menit
 Suhu : 36,6oC
 Tinggi badan : 160 cm
 Berat badan : 54 kg
 IMT : 21,093
 Keadaan gizi : sedang
 Sianosis : tidak ada
 Ikterus : tidak ada
 Edema : tidak ada
 Anemis : ada
Kulit : teraba hangat, turgor kulit normal
KGB :
- submandibula : pembesaran KGB submandibula kanan dan kiri ukuran
1,5x1,5x1,5 cm , konsistensi kenyal, sewarna kulit,
permukaan rata, tidak nyeri, mobile, tidak panas, pus (-),
darah (-), fluktuatif (-).
- submental : pembesaran KGB submental sebesar 3x3x3 cm, konsistensi
keras, permukaan rata, tidak nyeri, mobile, tidak panas, pus
(-), darah (-), fluktuatif (-).
- leher : pembesaran KGB cervikal dextra dan sinistra sebesar 3x5x4
cm, sewarna kulit, konsistensi keras, permukaan rata, tidak
nyeri, tidak panas, pus (-), darah (-), fluktuatif (-).
- inguinal : pembesaran KGB inguinal sinistra, multipel sebanyak 2
buah, sebesar kelereng dan bola pingpong, sewarna kulit,
konsistensi keras, permukaan rata, nyeri tekan (+),pus (-),
darah (-), fluktuatif (-).
- supraclavicula : tidak ada pembesaran
- ketiak : tidak ada pembesaran
Kepala : normocephal
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorok : tidak ada kelainan
Gigi dan mulut : terdapat bercak berwarna putih susu yang menempel pada
palatum, peritonsil dan lidah. Refleks muntah (+), gerakan
lidah terbatas (-).
Leher : JVP 5-2 cm H2O
Toraks :
Paru : Inspeksi : bentuk normochest, gerak dinding dada kanan
tertinggal dibanding kiri
Palpasi : fremitus kanan meningkat
Perkusi : redup di lapangan tengah dan bawah paru kanan
dan kiri
Auskultasi : suara napas bronkial, ronkhi +/+ di lapangan
tengah dan bawah paru kanan dan kiri, wheezing
-
/-
Jantung : Inspeksi :iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi :batas jantung kiri 1 jari medial LMCS RIC V
batas jantung kanan RIC IV LPSD
batas jantung atas RIC II
pinggang jantung RIC III LPSS
Auskultasi : S1-S2 irama regular, murmur (-), S3 Gallop (-)
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi :bising usus (+) normal
Punggung : Inspeksi :tidak ada deformitas
Palpasi :nyeri tekan (-)
Perkusi : nyeri ketok CVA (-)
Genitalia : tidak diperiksa
Anus : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 s
Refleks fisiologis : ++/++
Refleks patologis : -/-

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah : Hb 8,2 gr/dL (N: 13-16 gr/dL)
Leukosit 1580/mm3 (N: 5000-10.000/mm3)
Hematokrit 26% (N: 40-50%)
Trombosit 262.000/mm3 (N: 150.000-450.000/mm3)
Eritrosit 3,3 juta/mm3 (N: 4,5-5 juta/mm3)

Hitung jenis:
 Basofil 0 (N: 0-1%)
 Eosinofil 1 (N: 1-3%)
 Net. Bat 1 (N: 2-6%)
 Net. Seg 88 (N: 50-70%)
 Limfosit 6 (N: 20-40%)
 Monosit 4 (N: 2-8%)
Kesan : anemia ringan, leukopenia dengan netrofilia relatif

Kimia Klinik : Total protein 4,8 g/dl (N: 6,6-8,7 g/dl)


Albumin 2,0 g/dl (N: 3,8-5,0 g/dl)
Globulin 2,8 g/dl (N: 1,3-2,7 g/dl)
SGOT 44 u/l (N: pria<38, wanita<32)
SGPT 27 u/l (N: pria,41, wanita<31)
Kesan : Total protein menurun, albumin menurun, globulin
meningkat, SGOT meningkat

Pemeriksaan BTA sputum


BTA sputum positif tiga (+++)

Pemeriksaan Rontgen
Kesan : tampak infiltrat di perihiler kiri dan parakardial kanan, DD/Pneumonia,
TB paru, tidak tampak kelainan radiologis pada jantung
DIAGNOSIS
 Limfadenitis TB
 TB Paru kasus baru, BTA (+), rontgen (+).
 Candidiasis Oral
 SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuista)

DIAGNOSIS BANDING
 Limfadenitis Virus
 Pneumonia (CAP)
PENATALAKSANAAN
 MB TKTP 1450 kkal
 IVFD NaCL 0,9% 8 jam/kolf
 Paracetamol 3x500 mg (p.o) (jika perlu)
 Nistatin drop 4x10 gtt
 INH 1x300 mg (p.o)
 Rifampisin 1x450 mg (p.o)
 Pirazinamid 1x1000 mg (p.o)
 Etambutol 1x750 mg (p.o)
 Vit B6 1x1 tab (p.o)

RENCANA
 Pemeriksaan rapid test anti HIV

PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : bonam

FOLLOW UP
Tabel 4. Follow Up Pasien

Follow Up 20 April 2018


Subjective/
Batuk ada
Demam ada
Sesak tidak ada
Objective/
Keadaan umum Sakit sedang
Kesadaran Komposmentis
Tekanan darah 110/80 mmHg
Nadi 98x/menit
Pernapasan 19x/menit
Suhu 36,6oC
Mata Konjungtiva anemis(+/+), sklera
ikterik (-/-)
Thoraks SN Bronkial, Rh +/+ wh-/-
Abdomen H/L tidak teraba

Assessment/  Limfadenitis TB
 TB paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase intensif hari ke
2
 Candidiasis Oral
 SIDA (Sindrom Imuno
Defisiensi Akuista)
Plan/ Terapi lanjut
Cek rapid test HIV

Follow Up 21 April 2018


Subjective/
Perdarahan Tidak ada
Objective/
Keadaan umum Sakit sedang
Kesadaran Komposmentis
Tekanan darah 110/60 mmHg
Nadi 90x/menit
Pernapasan 20x/menit
Suhu 36,8oC
Mata Konjungtiva anemis(+/+), sklera
ikterik (-/-)
Thoraks SN Bronkial, Rh +/+ wh-/-
Labor
Hb/Ht/Leuko/Trombo/ 8,2/1380/262000/26
Retikulosit 0,4
MCV/MCH/MCHC 77/25/32
Assessment/  Limfadenitis TB
 TB paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase intensif hari ke
3
 Candidiasis Oral
 SIDA (Sindrom Imuno
Defisiensi Akuista)Anemia
ringan ec penyakit kronik
Plan/ Terapi lanjut
Cek SI, TIBC, feritin, benzidin test
Atasi penyakit dasar

Follow Up 22 April 2018


Subjective/
Batuk Tidak ada
Demam Tidak ada
Sesak Tidak ada

Objective/
Keadaan umum Sakit sedang
Kesadaran Komposmentis
Tekanan darah 110/70 mmHg
Nadi 88x/menit
Pernapasan 19x/menit
Suhu 36,7oC
Mata Konjungtiva anemis(+/+), sklera
ikterik (-/-)
Thoraks SN Bronkial, Rh +/+ wh-/-
Assessment/  Limfadenitis TB
 TB paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase intensif hari ke
4
 Candidiasis Oral
 SIDA (Sindrom Imuno
Defisiensi Akuista)
 Anemia ringan ec penyakit
kronik
Plan/ Terapi lanjut
Benzidin test
Cek SI, TIBC, feritin

Follow Up 23 April 2018


Subjective/
Batuk Tidak ada
Demam Tidak ada
Sesak Tidak ada

Objective/
Keadaan umum Sakit sedang
Kesadaran Komposmentis
Tekanan darah 110/60 mmHg
Nadi 90x/menit
Pernapasan 19x/menit
Suhu 36,8oC
Mata Konjungtiva anemis(+/+), sklera
ikterik (-/-)
Thoraks SN Bronkial, Rh +/+ wh-/-
Ekstremitas Edem (-/-), Pembesaran KGB Inguinal
(+)

Labor
HbsAg Reaktif
Anti HCV Non Reaktif
Anti HIV Belum
BTA +++
Rontgen thorak Infiltrat perihiler kiri dan parakardial
kanan
Assessment/  Limfadenitis TB
 TB paru dalam pengobatan OAT
kategori I fase intensif hari ke
5
 Candidiasis Oral
 SIDA (Sindrom Imuno
Defisiensi Akuista)
 Anemia ringan ec penyakit
kronik
Plan/ Terapi lanjut
Benzidin test
Cek SI, TIBC, feritin
BAB IV
DISKUSI

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan
bahwa pasien mengeluh timbul benjolan di leher kanan dan lipat paha kiri
yang semakin membesar sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan mulai dirasakan sejak 25 hari yang lalu, benjolan di leher kanan
awalnya sebesar kelereng semakin lama semakin membesar seukuran 4x5x3
cm, tidak nyeri, konsistensi keras, permukaan rata, mobile, tidak berdarah dan
tidak bernanah. Keluhan yang sama ditemukan pada lipat paha kiri sebanyak
2 buah sebesar kelereng dan bola pimpong, nyeri, serta dibawah dagu sejak
10 hari yang lalu sebesar bola pimpong dan tidak nyeri.
Jika menemukan pembesaran, dapat dipikirkan penyebabnya
kongenital, infeksi, neoplasma, trauma, idiopatik. Penyebab kongenital pada
pasien ini dapat disingkirkan karena keluhan pasien baru muncul di usia
dewasa dan pasien tidak pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya.
Penyebab neoplasma pada pasien ini juga dapat disingkirkan dari anamnesis
tidak ada riwayat terpapar radiasi dan tidak ada riwayat penyakit keganasan
pada keluarga. Penyebab trauma pada pasien ini juga bisa disingkirkan dari
tidak adanya riwayat trauma sebelumnya.
Salah satu hal yang dapat dipikirkan bahwa benjolan pada pasien ini
mengarah pada pembesaran kelenjar getah bening (KGB) karena infeksi, hal
ini juga sesuai penyebaran (letak) dari kelenjar getah bening di bagian
servikal dan inguinal. Jika disebabkan oleh infeksi, yang pada kebanyakan
kasus disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, biasanya
didahului oleh gejala sistemik seperti demam, penurunan berat badan, fatigue,
dan keringat malam. Pada pasien ini ditemukan gejala demam yang tidak
tinggi dan meningkat secara perlahan, keringat malam, penurunan berat badan
yang progresif sebanyak 8 kg dalam 2 bulan terakhir, disertai lemas di seluruh
tubuh. Demam biasanya menandakan adanya proses peradangan akibat
infeksi, dan demam yang tidak tinggi dan meningkat secara perlahan dicurigai
kemungkinan disebabkan oleh infeksi bakteri. Pasien juga mengeluhkan
batuk sejak 1 bulan yang lalu, berdahak warna kuning kehijauan. Hal ini
semakin menguatkan kemungkinan infeksi akibat bakteri.
Pasien memiliki riwayat mengonsumsi alkohol dan mengonsumsi
obat-obatan terlarang, namun riwayat narkoba suntik dan riwayat seks bebas
disangkal, sehingga perlu dicurigai juga kemungkinan adanya infeksi
oportunistik.
Pada pemeriksaan fisik, jika disebabkan oleh virus pembesaran KGB
umumnya bilateral, lunak, dan mobile. Bila ada infeksi oleh bakteri, kelenjar
biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi, mobile, dan dapat
fluktuatif. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari sekitarnya
mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya
abses. Bila limfadenitis disebabkan keganasan, tanda-tanda peradangan tidak
ada, KGB keras, dan tidak dapat digerakkan (terfiksasi dengan jaringan di
bawahnya).
Pada pasien didapatkan beberapa pembesaran KGB. Pertama,
pembesaran KGB di cervikal dextra sebesar 3x5x4 cm, sewarna kulit,
konsistensi keras, permukaan rata, tidak nyeri, tidak panas, pus (-), darah (-),
fluktuatif (-). Kedua, pembesaran KGB di submandibula dextra dan sinstra
seukuran 1,5x1,5x1,5 cm, konsistensi kenyal, sewarna kulit, permukaan rata,
tidak nyeri, mobile, tidak panas, pus (-), darah (-), fluktuatif (-). Ketiga,
pembesaran KGB submental sebesar 3x3x3 cm, konsistensi keras, permukaan
rata, tidak nyeri, mobile, tidak panas, pus (-), darah (-), fluktuatif (-). Terakhir,
pembesaran KGB inguinal sinistra, multipel sebanyak 2 buah, sebesar
kelereng dan bola pingpong, sewarna kulit, konsistensi keras, permukaan rata,
nyeri tekan (+), pus (-), darah (-), fluktuatif (-).
Dari temuan tersebut, dapat dipikirkan kemungkinan infeksi oleh
bakteri, yang biasanya disebabkam oleh mycobacterium tuberculosis, dimana
pembesaran kelenjar berjalan mingguan-bulanan, walaupun dapat mendadak,
KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah
membentuk ulkus. Progresivitas pembesaran pada pasien ini sesuai dengan
infeksi kuman tersebut, namun belum terdapat abses maupun ulkus. Benjolan
yang tidak nyeri dan makin lama makin membesar, jika tidak ditatalaksana
dengan cepat bisa mengalami peradangan kemudian pecah mengeluarkan
nanah membentuk sebuah ulkus.
Pembengkakan yang terjadi biasanya tidak menimbulkan nyeri kecuali
jika telah terjadi infeksi sekunder bakteri, pembesaran kelenjar getah bening
yang progresif, atau konsidensi dengan infeksi HIV. Koinfeksi HIV dapat
memengaruhi manifestasui klinis limfadenitis TB. Pasien dengan HIV/AIDS
cenderung memiliki manifestasi TB diseminata dengan keterlibatan lebih dari
satu lokasi nodus limfe. Pasien HIV dengan limfadenitis TB juga dapat
terkena infeksi oportunistik lainnya pada saat yang bersamaan. Pada pasien
ini, pembesaran KGB multipel dan adanya nyeri tekan pada KGB inguinal
sinistra, serta terdapat bercak berwarna putih susu yang menempel pada
palatum, peritonsil dan lidah yang kemungkinan adalah candidiasis oral
semakin menguatkan kecurigaan HIV pada pasien ini.
Kesulitan menelan dan suara serak merupakan dampak penekanan
yang ditimbulkan dari benjolan yang makin membesar. Pembesaran benjolan
tersebut bisa saja dapat menekan muskulus atau nervus yang terdapat di
sekitar benjolan, salah satunya dapat menekan nervus laringeus rekuren yang
merupakan cabang nervus fasialis yang mengatur proses menelan dan fonasi,
sehingga dapat mengakibatkan sulit menelan, suara serak sampai tidak dapat
mengeluarkan suara, terbatasnya gerakan lidah, dan terganggunya refleks
muntah. Pada pasien ini keluhan sulit menelan dan suara serak tidak ada,
refleks muntah ada, dan tidak ada gerakan lidah yang terbatas.
Selain itu, pada pemeriksaan paru didapatkan gerak dinding dada
kanan tertinggal dibanding kiri, fremitus kanan meningkat, perkusi redup di
lapangan tengah dan bawah paru kanan dan kiri , serta pada auskultasi suara
napas bronkial dan ditemukan rhonki di lapangan tengah dan bawah paru
kanan dan kiri. Rhonki merupakan tanda adanya infiltrate di parekim paru
dan dari temuan ini dipikirkan adanya infeksi TB paru atau pneumonia pada
pasien ini.
Pada pemeriksaan radiologi, didapatkan infiltrat di perihiler dan
parakardial kedua lapangan paru. Walaupun gambaran radiologi pada pasien
ini tidak khas untuk TB paru (khasnya adalah infiltrat di lapangan atas paru),
namun tetap dapat menguatkan kemungkinan TB paru yang didasarkan pula
dari temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hal ini membuktikan bahwa
patogenesis basil TB menginfeksi kelenjar limfe kemungkinan didahului
dengan infeksi di paru (TB paru) pada pasien ini.
Droplet nuklei yang berukuran cukup kecil dihirup dan melewati
pertahanan mukosilia pada bronkus dan berlanjut ke alveoli. Sampai di paru,
droplet ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua
kemungkinan, Pertama, basil TB akan mati akibat difagosit oleh makrofag.
Kedua, basil TB akan bertahan hidup dengan cara bermultiplikasi dalam
makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,
perkontinuitatum, bronkogen bahkan hematogen.
Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah
infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon dapat
membentuk kompleks primer. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan
dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah
terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon
merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam
keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit. Sistem limfatik mengalirkan
basil tersebut ke kelenjar getah bening hilus. Infeksi dapat menyebar dari
fokus primer ke getah bening regional. Dari nodus regional, basil dapat terus
menyebar melalui sistem limfatik ke kelenjar lain, termasuk KGB servikal
dan inguinal. Peningkatan ukuran KGB mungkin disebabkan oleh
multiplikasi sel dalam nodus, termasuk limfosit, plasma sel, monosit, atau
histiosit; infiltrasi sel-sel dari luar nodus, misalnya sel ganas atau neutrofil;
atau drainase sumber infeksi oleh kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan BTA sputum juga ditemukan kuman basil M.
tuberculosis berupa hasilnya positif tiga yang membuktikan adanya TB paru
pada pasien ini. Pada pasien yang terinfeksi HIV dengan limfadenitis
tuberkulosis, lebih banyak terdapat bukti bahwa infeksi mereka lebih
menyeluruh seperti sering timbul demam yang tiba-tiba, gambaran foto
thoraks yang abnormal dan jumlah mycobacterium yang lebih banyak.
Reaktivasi dari infeksi yang laten lebih sering terjadi pada pasien yang
terinfeksi HIV. Rute yang menjadi kemungkinan tempat masuknya
mikobakterium tuberkulosa ke kelenjar limfe, antara lain reaktivasi dari TB
paru atau pelebaran hilus (paling sering), keterlibatan cervical melalui infeksi
laring, dan jalur hematogen.
Penatalaksanaan pada pasien dilakukan secara farmakologis dan non
farmakologis. Secara farmakologis diberikan IVFD NaCl 0,9% 8 jam/kolf
sebagai penambahan cairan tubuh secara parenteral, OAT kategori I dengan
prinsip multidrug theraphy untuk mencegah resistensi. Tahap pengobatan
OAT dibagi dua yaitu intensif (dosis harian) dan lanjutan (dosis 3x sehari).
Pada pasien ini, tahap intensif dengan lamanya pengobatan 2 bulan diberikan
obat bakterisidal, antara lain rifampisin 450 mg, isoniazid 300 mg,
pirazinamid 1000 mg, serta obat bakteriostatik yaitu etambutol 750 mg.
Selain itu, diberikan vitamin B6 sebagai sumplemen dan nistatin drop untuk
mengobati candidiasis oral akibat jamur pada pasien ini.
Pada penatalaksanaan non farmakologis pada pasien ini tirah baring,
diet makanan biasa sesuai dengan kalori yang dibutuhkan sebesar 1450 kkal
yang dihitung dari kebutuhan kalori pasien. Edukasi pada pasien mengenai
aturan minum obat OAT yang dimakan setiap hari tanpa putus harus
dijelaskan. Pada pasien ini juga perlu dilakukan pemeriksaan rapid test anti
HIV untuk menegakkan diagnosis HIV pada pasien ini. Prognosis pada pasien
ini secara keseluruhan adalah bonam jika segera diobati dengan penanganan
yang tepat sebelum timbulnya komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ohasi K, Takamori M, Wada A Diagnosis and treatment of the lymph node


tuberculosis. American Thoracic Association. 2014: 1-2
2. Amin Z, Bahar A. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam: Tuberkulosis Paru. Ed.4.
Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2006.
3. Sharma S, Mohan K.. Extrapulmonary Tuberculosis. Departement of
Medicine. All India Institute of Medical Sciences, New Delhi. Indian J Res .
2004120:316-353.
4. Mohapatra PR, Janmeja AK. Tuberculous Lymphadenitis. Journal Of The
Association Of India
5. Spelman D.. Tuberculous Lymphadenitis. Uptodate Journal.2008.
6. Spelman, D., 2009. Tuberculous Lymphadenitis. www.Uptodate.com
7. Clevenbergh, P., et.al., 2010. Lymph Node Tuberculosis in Patients from
Regions with Varying Burdens of Tuberculosis and Human Immunodeficiency
Virus (HIV) Infection. Original Article Presse Med. 2010; 39 : e223-e230.
8. Reyn, Ford Von, Elizabeth Talbot, Dr. J F Fontanilla, Dr. J Parsonnet.
Tuberculous Lymphadenitis and the role of M.bovis. Available from :
http://newenglandtb.pbworks.com/f/TB+Intensive+Tuberculous+Lymphadenit
is+and+M+bovis+Arti+Barnes.pdf (Accessed 22 April 2018)
9. Sharma, Sangeeta, dkk. 2009. Clinical Profile And Treatment Outcome Of
Tuberculous Lymphadenitis In Children Using Dots Strategy. Available from :
http://medind.nic.in/ibr/t10/i1/ibrt10i1p4.pdf (Accessed 22 April 2018)
10. Puiu, Ileana, dkk. 2008. Diagnosis Of Tuberculosis Lymphadenitis In
Children. American Academy of Pediatrics. Available from :
http://pediatrics.aappublications.org/content/121/Supplement_2/S130.2.full.pd
f+html (Accessed 22 April 2018)
11. Legesse, Mengistu, dkk. 2011. Knowledge of cervical tuberculosis
lymphadenitis and its treatment in pastoral communities of the Afar region,
Ethiopia. Available from : http://www.biomedcentral.com/1471-2458/11/157
(Accessed 22 April 2018)
12. Fontanilla JM, Barnes A.Current Diagnosis and Management of Peripheral
Lympadenitis.Clin infect Dis 2011: 555.
13. Nanda BP, Padhi NC, Dandapat MC. Peripheral Lymph Node Tuberculosis –
A Comparison of Various Methods of Management. Ind. J. Tub 1986; 33: 20-
24.http://openmed.nic.in/2992/ (Accessed 22 April 2018).
14. PDPI. Tuberkulosis – Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia
2006. Indah Offset Citra Grafika, 2006.
15. Amin Z & Bahar A. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. In: Sudoyo, et al.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid II. Pusat Penerbitan
Departemen IPD FK UI, 2006; 1007-1010.
16. Gupta P.R. Difficulties in Managing Lymph Node Tuberculosis. Lung India
2004; 21: 50-53. http://www.lungindia.com/temp/LungIndia21450-
8399459_231954.pdf (Accessed 22 April 2018).
17. Shaikh U & Blumberg DE. Lymphadenitis Treatment & Management.
Medscape, 2010. http://emedicine.medscape.com/article/960858-
treatment#a1128 (Accessed 22 April 2018).

Anda mungkin juga menyukai