Anda di halaman 1dari 8

DERAJAT LUKA KORBAN TINDAK PIDANA

Untuk menentukan derajat luka secara tepat, maka dokter sebaiknya melakukan evaluasi dengan
beberapa tahapan sebagai berikut:
a. Cek apakah cedera tersebut memenuhi salah satu dari kriteria luka berat menurut pasal
90 KUHP. Pasal 90 KUHP menyatakan bahwa luka berat, adalah:
1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau
2. Yang menimbulkan bahaya maut
3. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian
4. Kehilangan salah satu pancaindera
5. Mendapat cacat berat
6. Menderita sakit lumpuh
7.Terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu
8.Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
9. Luka yang memenuhi salah satu kriteria pada pasal 90 KUHP merupakan luka derajat tiga atau luka
berat. Jika luka tersebut tidak memenuhi kriteria tersebut diatas, maka lukanya termasuk derajat satu
atau dua.

b. Untuk membedakan luka derajat satu atau dua, maka dilakukan pengujian dengan
beberapa kriteria sbb:
1. Apakah luka tersebut memerlukan perawatan medis, seperti penjahitan luka, pemberian infus dsb
2. Apakah luka atau cedera tersebut menyebabkan terjadinya gangguan fungsi (fungsiolesa)?
3. Apakah lokasinya di tempat yang rawan, seperti mulut, hidung, leher, skrotum?
4. Apakah lukanya tunggal, sedikit, atau banyak?
5. Jika luka tersebut mutlak memerlukan perawatan medis, menyebabkan gangguan fungsi, lokasinya
pada lokasi rawan dan jumlah lukanya banyak, maka lukanya pada umumnya merupakan luka derajat
dua. Jika tidak ada satupun hal tersebut yang
terpenuhi maka derajat lukanya adalah satu. Pembedaan luka derajat satu dan dua pada banyak kasus
merupakan hal yang sulit, sehingga kesimpulan seorang dokter dengan dokter lainnya kadang berbeda.

Pasal 89 KUHAP menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan. Dalam konteks ini, maka kasus keracunanpun dapat dan harus diperlakukan
seperti perlukaan fisik. Jadi pada kasus keracunanpun kita harus juga menentukan derajat lukanya.
Penentuan derajat luka pada kasus keracunan didasarkan atas efek racun terhadap metabolisme dan
fungsi organ. Jika keracunan tersebut mempunyai dampak yang ringan saja, sehingga tidak memerlukan
pengobatan spesifik oleh dokter atau tenaga medis, dan pulih sendiri, maka lukanya termasuk luka
derajat satu. Jika keracunannya menimbulkan gejala yang cukup berat, sehingga korbannya memerlukan
perawatan medis, memerlukan pemberian antidotum dan dampaknya tidak segera pulih, maka derajat
lukanya adalah derajat dua. Jika keracuna tersebut menimbulkan dampak pada tubuh sesuai dengan
salah satu kriteria pasal 90 KUHP, maka lukanya termasuk luka derajat tiga.

PROSES AUTOPSI
1. Mulailah dengan memeriksa bagian luar tubuh. Pertama-tama, catat tinggi badan, berat
badan, umur, dan jenis kelamin mayat. Catat karakter yang membedakan seperti tanda lahir,
bekas luka, juga tato.
Ambil sidik jari, yang mungkin dibutuhkan pada investigasi pihak kepolisian.
Periksa adanya tanda yang tak biasa pada pakaian dan kulit. Perhatikan bercak darah, bahan organik,
dan sisa apa pun yang ditemukan pada pakaian. Perhatikan juga adanya memar, jahitan, atau tanda
pada kulit.
Fotografi dapat berguna untuk mendokumentasikan penampilan tubuh jenazah dan setiap temuan yang
signifikan atau hal-hal tidak biasa yang Anda lihat di tengah penyelidikan. Ambil foto saat mayat
menggunakan dan tidak menggunakan pakaian.
Hasil temuan Anda dapat didokumentasikan dengan pena dan kertas catatan, atau melalui alat pendikte
yang merekam perkataan Anda dan kemudian diketik oleh penulis medis.
2. Lakukan rontgen. Rontgen membantu Anda menemukan adanya tulang yang patah atau retak,
atau peralatan medis, seperti pace-maker (alat pacu jantung). Catatan-catatan ini juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi jenazah.
Periksa adanya perbaikan gigi. Catatan gigi biasanya digunakan untuk mengidentifikasi tubuh.
3. Periksa bagian genitalia untuk mengetahui adanya tanda perkosaan. Memar dan sobek
merupakan tanda yang umum di beberapa kasus.
4. Ambil sampel darah. Darah dapat digunakan untuk mengetahui DNA, membantu menentukan
pemakaian obat-obatan pada korban, konsumsi alkohol, atau adanya racun.
Ambil sampel urine dari saluran kencing menggunakan alat suntik. Seperti darah, urine dapat digunakan
untuk mendeteksi obat-obatan atau racun.
5. Bukalah rongga tubuh setelah pemeriksaan selesai. Menggunakan pisau bedah, buat irisan
huruf "Y" besar mulai dari kedua sisi bahu melintang sepanjang dada, kemudian turunlah hingga
tulang kemaluan. Buka lebar kulit dan periksa adakah tulang rusuk yang patah.
Belah tulang rusuk menggunakan gunting rusuk, buka, dan periksalah paru-paru dan jantung
mayat.[8] Carilah tanda kelainan apa pun, kemudian ambil sampel darah kedua langsung dari jantung.
6. Teliti setiap organ pada rongga dada secara terpisah. Timbang masing-masing organ, catat
setiap hal penting, dan ambil sampel jaringan jika pemeriksaan lebih lanjut dibutuhkan.
Anda juga dapat melakukan pembedahan kecil pada organ utama lainnya dengan membuka dan
memeriksanya untuk mencari adanya penyakit.
Kemudian, ulangi proses yang sama pada tubuh bagian bawah, seperti limpa dan usus, karena terkadang
sebagian makanan yang dicerna berguna untuk menentukan waktu kematian.
7. Periksa mata dengan cermat. Adanya petechial rash (bintik kecil akibat pecahnya pembuluh
darah) dapat menjadi tanda tersedak atau pencekikan
8. Lihat kondisi kepala. Periksa adanya trauma pada tengkorak kepala, termasuk keretakan atau
memar. Kemudian, lepaskan bagian atas kepala dan ambil otaknya. Ikuti prosedur yang sama
seperti pada organ lain. Timbang beratnya dan ambil sampel.
9. Selesaikan catatan atau rekaman Anda setelah autopsi selesai. Nyatakan penyebab kematian
dan alasan yang membawa Anda pada keputusan tersebut. Sebutkan semua detail yang ada,
sekecil apa pun, karena itu bisa menjadi petunjuk akhir yang dibutuhkan untuk menghentikan
seorang pembunuh atau menenangkan anggota keluarga jenazah.
Berdasarkan temuan Anda (asumsikan Anda seorang ahli patologi berlisensi), kepala pemeriksa medis
akan membuat Akta Kematian.
Jenazah akan dikembalikan kepada anggota keluarga yang ditinggalkan untuk merencanakan
pemakaman.

ANTROPOLOGI FORENSIK
Forensik Antropologi merupakan bentuk dari Antropologi Terapan yang menggabungkan ilmu
Antropologi Fisik/Biologi dengan Osteologi, atau ilmu tentang tulang juga Odontologi atau ilmu tentang
gigi. Kedua ilmu tersebut, Osteologi dan Odontologi digunakan khusus dalam forensik guna
mengidentifikasi tulang ataupun gigi dari mayat yang bisa jadi adalah korban kejahatan atau
kecelakaan.

Antropologi memainkan peran di sini dikarenakan manusia memiliki ciri khusus dalam dirinya, termasuk
dalam bentuk tulang dan giginya, dan ciri khas itu biasanya menandakan jenis kelamin, usia, gaya hidup,
dan asal mereka (ras). Dan di sanalah Antropologi fisik berperan.

Bentuk fisik setiap ras di dunia memiliki perbedaan, hal tersebut dikarenakan banyak faktor, di
antaranya juga faktor lingkungan dan makanan. Orang yang hidup di tempat yang tinggi memiliki otot
betis yang lebih kuat dan tulang yang lebih besar di kaki, begitu juga pada atlet lari atau olahraga lain
yang membutuhkan kekuatan kaki.
Pada orang yang memiliki kebiasaan makan - makanan yang lembek, maka bentuk rahangnya lebih
lembut dibandingkan mereka yang terbiasa makan - makanan keras (hal ini tidak lantas membuat
rahang menjadi kotak, hanya lebih kuat). Dari bentuk gigi bisa lihat kebiasaan serta asal orang tersebut.
Orang Asia Timur memiliki gigi depan yang lebih besar, gigi Orang Barat lebih besar - besar dll. Hal
seperti ini memang dipelajari oleh Antropologi Fisik dikarenakan ciri fisik juga berhubungan dengan
kebudayaan.

Selain untuk mengidentifikasi identitas kerangka, Antropologi forensik juga digunakan untuk melihat
penyebab kematian dari pemilik kerangka, dan bila ditemukan maka akan ada bekas - bekas seperti
fraktur, bekas kecelakaan, cacat, penyakit, dsb. Bekas seperti tulang yang retak, lubang, atau patahan
bisa dicurigai sebagai penyebab kematian.

Antropologi forensik juga menunjang pelayanan yang diberikan kedokteran forensik- salah satu
jenis forensik yang sering dipakai untuk mengungkap tindak kejahatan pidana- dalam
melakukan identifikasi forensik untuk membantu penyidik saat memenuhi permintaan visum et
repertum, untuk menentukan identitas seseorang. Peran kedokteran forensik dalam identifikasi forensik
terutama dilakukan pada jenazah yang tidak dikenal. Identitas seseorang dapat dipastikan bila paling
sedikit dua metode yang digunakan memberikan hasil yang tidak meragukan. Keterangan ahli
kedokteran forensik dalam perkara pidana menyangkut tubuh, kesehatan, dan nyawa manusia, serta
dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, tertuang dalam visum et repertum. Namun pada kasus
pidana, korban akan tetap berada di tahap lanjutan dekomposisi hingga antropologi forensik dapat
mengidentifikasi identitas jenazah yang dimutilasi/tidak dikenali tersebut. Peran penting antropologi
forensik itu memerlukan adanya bantuan keluarga, teman-teman, dan orang-orang di sekitar pada
proses akuisisi data antemortem untuk dijadikan informasi kunci pada proses identifikasi dan
keberlanjutan penyelesaian kasus dalam mengungkap pelaku dan penegakan keadilan.
Proses identifikasi dilakukan dengan minimal menggunakan salah satu dari tiga kriteria primer yang ada,
yakni gigi, tulang, sidik jari, atau DNA. Kriteria sekunder dapat berasal dari bukti foto dan properti benda
yang ditemukan. Kemampuan dalam antropologi forensik yang antara lain terdiri dari: 1) pemeriksaan
tulang-belulang manusia; 2) pemeriksaan titik antropologi manusia; 3) pemeriksaan kematangan tulang
manusia; dan 4) pelaksanaan rekonstruksi wajah digunakan untuk mengetahui ras, jenis kelamin, serta
umur. Beragam metode telah dikembangkan dalam antropologi forensik untuk menyelesaikan
bermacam kasus forensik yang memerlukan identifikasi identitas jasad manusia. Salah satu metode yang
digunakan dalam antropologi forensik ialah antropometri. Antropometri merupakan metode dengan
cara mengukur bagian tubuh. Pengukuran antropometri dilakukan berdasarkan tinggi badan, panjang
dan lebar kepala, sidik jari, bentuk hidung, telinga, dagu, warna kulit, warna rambut, tanda pada tubuh,
atau DNA. Pengukuran panjang segmen tertentu, misalnya panjang tulang tertentu, yang kemudian
dimasukkan ke dalam rumus tinggi badan juga dapat digunakan, sebab tinggi badan merupakan salah
satu profil biologis utama pada tubuh manusia. Sebagai contoh, salah satu bagian tubuh yang dapat
diukur untuk menentukan tinggi badan ialah tinggi kepala. Korelasi antara tinggi badan dengan tinggi
kepala dapat ditemukan. Pertambahan tinggi badan berbanding lurus dengan pertambahan tinggi
kepala. Sehingga, untuk setiap penambahan tinggi badan akan diikuti pula dengan penambahan tinggi
kepala. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perbandingan antara tinggi kepala dan tinggi
badan ialah 1 : 7 baik pada laki-laki maupun perempuan, demikian pula dengan perbandingan yang
sama, terdapat korelasi antara panjang kedua telapak kaki dengan tinggi badan.

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


Ketika sebuah bencana terjadi, baik secara alami maupun akibat buatan manusia, terdapat lima langkah
dalam identifikasi korban bencana/Disaster Victim Identification (DVI) berdasarkan acuan komite polisi
internasional/International Police (Interpol). Indonesia menggunakan prosedur DVI Interpol ini untuk
menemukan dan mengidentifikasi jasad manusia. Namun, tidak semua negara menggunakan acuan ini.
Ada negara-negara yang tidak menggunakan prosedur DVI berdasarkan acuan Interpol,
misalnya Amerika Serikat. Lima langkah prosedur DVI berdasarkan acuan Interpol ialah: 1) proses
pencarian dan evakuasi, 2) memasukkan ke kamar mayat untuk pemeriksaan postmortem, 3)
mengumpulkan data antemortem, 4) rekonsiliasi data antemortem, dan 5) menyampaikan atau
mengeksekusi hasil/release debrief.
Fase I: Lokasi
Pada fase I ini, berlokasi di tempat kejadian dan area di sekitarnya, dilakukan proses pencarian
tubuh/anggota tubuh dan benda-benda yang mempunyai keterkaitan, pemetaan terhadap area
bencana, pemberian label (untuk setiap lokasi yang berbeda diberi label yang berbeda), dokumentasi,
dan penyimpanan tubuh/anggota tubuh ke dalam kantung yang telah disiapkan. Informasi mengenai
tempat ditemukan tubuh/sisa tubuh serta posisi anatomis tubuh/sisa tubuh juga sangat penting. Para
evakuator yang telah mendapat pelatihan DVI akan sedapat mungkin mendapatkan informasi tersebut.
Namun, yang seringnya terjadi ialah orang-orang di sekitar lokasi kejadian yang tidak mengetahui
prosedur DVI yang datang melakukan evakuasi pertama kali.
Fase II: Mortuarium
Pada fase II dilakukan yang disebut pemeriksaan postmortem, biasanya dilakukan di rumah
mayat/kamar mayat yang ada di rumah sakit. Tahapan pada fase II ini yaitu:

1. Menerima kantung berisi tubuh/bagian tubuh di rumah mayat setelah pengambilan sidik jari
dan penandatanganan formulir pelacakan untuk menunjukkan darimana kantung itu berasal.
2. Menuliskan nomer kantung tubuh dan mencocokkannya dengan formulir postmortem
(merupakan tugas ahli patologi forensik dan orang yang melakukan pencatatan).
3. Melepaskan pakaian, perhiasan, atribut pada tubuh/sisa tubuh, membersihkan (mencuci dan
membilas) tubuh/sisa tubuh tersebut, memberikan deskripsi, dan membuat dokumentasi
(merupakan tugas ahli fotografi dan orang yang melakukan pencatatan).
4. Melakukan identifikasi jenis kelamin, umur, tinggi badan, serta ras oleh ahli antropologi forensik.
5. Mengambil pemeriksaan Sinar-X pada dada bila para korban berusia lanjut untuk lebih
memudahkan pada proses pencocokan dengan rekaman yang sudah ada.
6. Melakukan otopsi, merekam tato, luka, bukti luka-luka, penyakit, dan ketidaknormalan fisik yang
dapat teramati (merupakan tugas ahli patologi forensik).
7. Menandatangani formulir pelacakan.
8. Memeriksa gigi, mengambil radiografi gigi, mengamati bila ada tambalan gigi, gigi palsu, dll
untuk dicocokkan dengan rekaman gigi yang sudah ada.
9. Merekam fragmentasi tubuh (pada kasus tubuh yang terfragmentasi) untuk mendapat informasi
bagian tubuh yang hilang (kanan atau kiri, atas atau bawah, dst.), yang berguna dalam proses
identifikasi. Misalnya, seseorang tidak mungkin mempunyai dua telinga kiri, dsb., pada kasus
tubuh yang kehilangan kepala atau kepala yang kehilangan tubuh, dst.
10. Mengambil sampel (darah, jaringan tubuh) untuk kemungkinan pemeriksaan tes DNA lebih jauh.
Seluruh data postmortem atau seluruh data yang didapatkan dari fase II ini kemudian disimpan dalam
formulir yang berwarna merah muda.
Fase III: Data Antemortem
Data antemortem dikumpulkan melalui informasi dari anggota keluarga maupun teman-teman, orang
terdekat, berupa data mengenai tanda di tubuh/ciri khusus, barang-barang yang dikenakan- perhiasan,
jam tangan, pakaian- untuk dicocokkan dan dijadikan kriteria sekunder teridentifikasi. Selain itu, catatan
medis dari dokter dan dokter gigi juga dibutuhkan untuk keperluan mencocokkan kriteria primer
teridentifikasi dengan data yang sudah ada.
Data antemortem ini seluruhnya dimasukkan ke dalam formulir berwarna kuning. Pembedaan warna
formulir data antemortem dari hasil pemeriksaan postmortem sangat penting agar tidak tercampur.
Terdapat formulir A hingga G di dalam formulir kuning antemortem yang membutuhkan ketelitian dalam
pengisiannya. Data antemortem yang dikumpulkan dari anggota keluarga dan teman, contohnya: kapan
waktu terakhir bertemu, pakaian apa yang dikenakan, berapa ukuran sepatu, berapa tinggi
badan, apakah menyimpan foto terakhir, apakah pernah dioperasi atau memiliki karakter fisik yang
unik. Dan untuk mendapatkan data mengenai tinggi badan, diperlukan informasi jenis kelamin, golongan
darah, sidik jari, serta catatan kesehatan atau catatan gigi, dsb.

Fase IV: Rekonsiliasi


Fase ini merupakan tahap dimana hasil pemeriksaan postmortem dicocokkan dengan data antemortem.
Perdebatan sering terjadi pada fase IV ini ketika metode identifikasi primer yang meliputi gigi, sidik jari,
dan DNA tidak sesuai dengan metode identifikasi sekunder yang meliputi barang-barang properti,
rekaman medis, foto, serta dokumen lainnya.
Fase V: Release Debrief
Pada fase ini jenazah sudah dapat diidentifikasi dan dikembalikan kepada keluarga bersamaan dengan
surat pelepasannya.
Peran seorang ahli antropologi forensik pada skenario DVI adalah sebagai bagian dari tim medis pada
fase lokasi/TKP, antemortem, postmortem, dan rekonsiliasi. Dalam menghadapi hal-hal yang
berhubungan dengan korban bencana, seperti pencarian, pemulihan, proses identifikasi, penanganan
bencana serta keluarga korban, idealnya juga ditangani oleh ahli antropologi forensik karena mereka
telah terlatih dalam menangani hal-hal tersebut.

EKSHUMASI
Penggalian mayat (exhumation) adalah pemeriksaan terhadap mayat yang sudah
dikuburkan dari dalam kuburannya yang telah disahkan oleh hukum untuk membantu peradilan. Ex
dalam bahasa latin berarti keluar dan humus berarti tanah. Pada umumnya, penggalian mayat
dilakukan kembali karena adanya kecurigaan bahwa mayat mati secara tidak wajar, adanya laporan
yang terlambat terhadap terjadinya pembunuhan yang disampaikan kepada penyidik atau adanya
anggapan bahwa pemeriksaan mayat yang telah dilakukan sebelumnya tidak akurat1.

Ekshumasi tidak hanya dilakukan pada penggalian kuburan personal namun juga dapat
dilakukan penggalian kuburan massal seperti penggalian kuburan massal di hutan Situkup selama 3 hari.
Penelitian massal ini bertujuan untuk mengungkapkan jumlah korban pembunuhan, penahanan,
penyiksaan, dan pelanggaraan HAM. Menurut keterangan dr. Handoko (Tim Forensik), dari proyektil
proyektil yang ditemukan pada kerangka yang digali bisa ditarik kesimpulan bahwa pembunuhan ini
dilakukan dengan menggunakan senjata laras panjang maupun pendek yang diduga hanya dimiliki oleh
militer.7

2.2 Indikasi Ekshumasi


Indikasi dilakukan penggalian mayat adalah sebagai berikut :
1. Terdakwa telah mengaku dia telah membunuh seseorang dan telah menguburnya di suatu tempat.8
2. Jenazah setelah dikubur beberapa hari baru kemudian ada kecurigaan bahwa jenazah
meninggal secara tidak wajar.8
3. Atas perintah hakim untuk melakukan pemeriksaan ulang terhadap jenazah yang telah
dilakukan pemeriksaan dokter untuk membuat visum et repertum.8
4. Penguburan mayat secara ilegal untuk menyembunyikan kematian atau karena alasan criminal.1
5. Pada kasus dimana sebab kematian yang tertera dalam surat keterangan kematian tidak jelas dan
menimbulkan pertanyaan seperti keracunan dan gantung diri.1 Dalam pembongkaran dua kuburan
seperti yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri di Kecamatan Kuta baro yang hanya ditemukan tulang
berulang korban. Melihat dari kondisi korban, korban ditembak di pelipisnya dalam posisi jongkok di
depan lubang yang telah disediakan dengan kedua tangan dan kaki terikat, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan bagian rambut dan gigi di lab forensik. Sedangkan satu kuburan lagi yang hanya ditemukan
tengkorak kepala bersama separuh rahang bawah kiri dan empat tulang rusuk serta tulang tangan dan
kaki tidak ditemukan. Proses penggalian tersebut disaksikan oleh keuchik dan tokoh masyarakat.9
6. Pada kasus dimana identitas mayat yang dikubur tidak jelas kebenarannya atau diragukan.1
7. Pada kasus criminal untuk menentukan penyebab kematian yang diragukan, misalnya pada kasus
pembunuhan, yang ditutupi seakan bunuh diri.1

2.3 Hal Hal Yang Harus Diperhatikan Dalam Exhumasi

Persiapan penggalian kuburan,

- Dokter harus mendapat keterangan lengkap tentang peristiwa kematian agar dapat memusatkan
perhatian dan periksaan pada hal yang dicurigai.

- Jika pemeriksaan dilakukan lokasi penggalian harus disiapkan tenda lengkap dengan dinding penutup,
meja pemeriksaan, air wadah, dan perlengkapan pengankatan mayat.
Perlengkapan yang diperlukan dalam penggalian kubur :
a. Kendaraan
b. Perlengkapan untuk melakukan penggalian misalnya cangkul, ganco, linggis, secrop.
c. Perlengkapan untuk melakukan otopsi, yaitu pisau dapur, scalpel, gunting, pinset, gergaji, jarum (jarum
karung goni), benang, timbangan berat, gelas pengukur,alat penggaris, ember, stoples berisi alkohol 95%
ini bila ada indikasi mati oleh keracunan dan stoples berisi formalin 10%.
1 dan 2 disediakan penyidik.Perlu membawa 1 atau 2 pembantu.

2. Waktu yang baik,


Waktu yang baik untuk melakukan ekshumasi adalah :

- Jika mayatnya masih baru maka di lakukan secepat mungkin sedangkan jika mayatnya sudah lama atau
lebih dari satu bulan dapat dicari waktu yang tepat untuk penggalian.

- Penetapan batas waktu ekshumasi di India, Inggris dan Indonesia tidak mempunyai batas waktu. Di
Prancis sekitar 10 tahun, Skotlandia 20 tahun, Jerman 30 tahun.

- Waktu penggalian dilakukan pada pagi hari untuk mendapatkan cahaya yang cukup terang, udara
masih segar, matahari belum terlalu terik dan untuk menghindari kerumunan masyarakat yang sering
mengganggu pemeriksaan. Bila tidak memungkinkan dilakukan pada pagi hari, pemeriksaan dilakukan
pada siang hari dengan cuaca yang baik. Penggalian mayat pada sore hari sebaiknya dihindari.

3. Kehadiran petugas
Pada saat pelaksanaan penggalian harus dihadiri oleh :
- Penyidik atau polisi beserta pihak keamanan
- Pemerintah setempat / pemuka masyarakat.
- Dokter beserta pembantunya
- Keluarga korban / ahli waris korban
- Petugas pengamanan/ penjaga kuburan.
- Penggali kuburan

Dalam penggalian kuburan, kewenangannya dimiliki oleh Tim Penyidik sebagaimana yang dikatakan oleh
Direktur I Keamanan Trans Nasional Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Brigjen Pol Aryanto Sutadi
bahwa TNI tidak memiliki kewenagan untuk melakukan penggalian kuburan massal di Aceh meskipun
sedang diberlakukan darurat militer karena dapat merusak barang bukti, akan tetapi penyidik
memerlukan izin dari penguasa darurat militer karena tugas PDM adalah mengamankan.10

4. Keamanan, yaitu penyidik harus mengamankan tempat penggalian dari kerumunan massa.

5. Proses penggalian kuburan


- Untuk menentukan lokasi, bila dikuburan umum, adalah keluarga atau juru kunci kuburan. Bila letaknya
tersembunyi maka tersangka yang menunjukan.Kadang tersangka sulit menunjukkan letaknya secara
pasti sehingga penggalian dapat mengalami kegagalan.
- Saat peti diangkat ke atas, penutup peti sebaiknya dibuka sedikit dengan membuka mur atau engsel peti
agar gas-gas di dalamnya bias dikeluarkan ke udara bebas. Selanjutnya peti dikirim ke kamar mayat,
apabila terjadi pembusukan maka ditempatkan potongan kayu atau kerangka fiberglass di dasarnya.
Tanah dan lumpur harus dipindahkan sebelum peti dikirim ke kamar otopsi untuk menghindari
pencemaran.
6. Pemeriksaan mayat
Pemeriksaan mayat mayat sebaiknya dilakukan ditempat penggalian agar mempermudah penguburan
kembali selain karena mengingat adanya masalah transportasi dan waktu. Akan tetapi pemeriksaan
dikamar mayat lebih baik karena dapat dilakukan dengan tenang tanpa harus ditonton oleh masyarakat
banyak dan lebih teliti.1
Sebelum ahli patologi melakukan pemeriksaan terhadap mayat, terlebih dahulu
dipastikan bahwa mayat yang akan diperiksa adalah benar. Pada umumnya, kerabat atau teman dekat
korban yang melihat wajah mayat dan kemudian menyatakan secara verbal kepada polisi, petugas
kamar mayat atau dokter bahwa benar itu mayat yang dimaksud. Apabila mayat terbakar dan
tidak dapat dikenali, dimutilasi, maka identifikasi dilakukan dengan cara menunjukkan dokumen atau
benda- benda seperti pakaian dan perhiasan milik mayat kepada kerabat.1
Petugas pemeriksa mayat harus memakai sarung tangan dan masker yang telah dicelupkan ke
dalam larutan potassium permanganas. Bila mayat telah mengalami pembusukan dan mengeluarkan
cairan, maka kain pembungkus mayat harus diambil juga untuk pemeriksaan laboratorium, setentang
daerah punggung mayat. Bila mayat telah hancur semuanya maka setiap organ yang tinggal harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Jika organ dalam tidak dijumpai lagi maka yang diperiksa adalah
rambut, gigi, kuku, tulang dan kulit korban.1
Pemeriksaan mayat mencakup pemeriksaan luar dan dalam.1

Pemeriksaan luar yaitu :

a. Label mayat
b. Tutup dan pengbungkus mayat
c. Pakaian
d. Perhiasan
e. Tanda tanda kematian
f. Identifikasi umum : usia, jenis kelamin, TB
g. Identifikasi khusus : tato, tahi lalat, kelainan bawaan
h. Pemeriksaan local : kepala, rambut, mata, telinga, mulut, leher, dada, perut, ekstremitas, alat
kelamin, punggung dan dubur.
i. Pemeriksaan luka

Tahap pemeriksaan dalam yaitu11 :

a. Pembukaan jaringan kulit dan otot


b. Pembukaan rongga tubuh, dapat dilakukan dengan dua metode yaitu insisi I dan insisi Y
c. Pengeluaran organ dalam tubuh, dapat dilakukan dengan teknik :
- Teknik Virchow, yang paling sering dilakukan dengan ketelitian yang lebih rendah.

- Teknik Rokitansky

- Teknik Letulle

- Teknik Gohn

Teknik Letulle dan Gohn memiliki ketelitian yang lebih tinggi.11


Upaya identifikasi pada kerangka bertujuan untuk membuktikan bahwa kerangka tersebut
adalah kerangka manusia, ras, jenis kelamin, perkiraan umur, tinggi badan, ciri ciri khusus, dan
deformitas serta tidak memungkinkan dilakukan rekonstruksi wajah. Dicari juga apakah terdapat tanda
tanda kekerasan pada tulang serta memperkirakan sebab kematian. Perkiraan saat kematian ini dapat
dilakukan dengan memperhatikan kekeringan tulang. Bila terdapat dugaan bahwa itu seseorang
tertentu, maka identifikasi dilakukan dengan membandingkan data antemortem orang tersebut. Dapat
dilakukan identifikasi dengan teknik superimposisi yaitu suatu system pemeriksaan untuk melakukan
jatidiri seseorang dengan membandingkan korban semasa hidup dengan kerangka atau tengkorak yang
ditemukan. Kesulitan kesulitan dalam teknik imposisi adalah korban tidak pernah membuat foto
semasa hidup, foto korban harus baik kondisi dan kualitasnya, tengkorang yang ditemukan sudah hancur
dan tidak terbentuk lagi, dan kesulitan proses kamar gelap yang butuh banyak biaya.11

2.4 Prosedur Pengggalian Jenazah


- Permintaan secara tertulis oleh penyidik, disertai permintaan untuk otopsi.
- Penyidik harus memberikan keterangan tentang modus dan identitas korban sehingga dokter dapat
mempersiapkan diri. Misalnya korban pencekikan maka pemeriksaan leher akan lebih berhati-
hati. Korban keracunan, maka dipersiapkan alkohol 95% untuk pengawet.
- Yang harus diperhatikan dalam identitas korban adalah
1. Jenis kelamin, laki-laki atau perempuan
2. Tinggi badan.
3. Umur korban.
4. Pakaian, perhiasan yang menempel pada tubuh korban.
5. Sidik jari. (dari Satlantas saat mengambil SIM).
6. Tanda-tanda yang ada pada tubuh korban :
Warna dan bentuk rambut serta panjangnya.
Bentuk dan susunan gigi. Memakai gigi palsu / tidak.
Ada tatou di kulit atau tidak. (bentuk dan lokasinya)
Adanya cacat pada tubuh korban misalnya : Adanya luka perut, pada kulit, penyakit-penyakit lainnya.
Label identitas diikat erat pada ibu jari atau gelang tangan dan kaki.1
Pada kasus non kriminal, seperti mati mendadak ( sudden death), kecelakaan, dan bunuh diri,
maka identitas mayat disertakan dengan label oleh polisi, perawat, atau petugas kamar mayat, yang
berisi nama, alamat, nomor seri dan detail lain yang relevan.1
Ahli patologi harus mencocokkan dokumen resmi tentang label tersebut. Bila ada ketidaksamaan
maka otopsi tidak boleh dilakukan sampai didapatkan identitas yang benar dari polisi.1
Jika ada kecurigaan tertentu, sampel tanah harus diambil pada permukaan kuburan, bagian di
sekitar makam dan tanah di atas peti mayat. Saat peti telah dipindahkan, ahli forensik akan mengambil
sampel tanah dari pinggir dan bawah peti mayat. Saat ada kecurigaan atau diduga tindak criminal,
rekaman gambar pada setiap bagian identifikasi dimakamkan harus diambil ( biasa difoto oleh polisi)
untuk menemukan bukti-bukti selama otopsi1.
Jika dicurigai diracun, contoh dari kain kafan, pelengkapan peti mati dan benda yang hilang
seperti cairan harus dianalisis. Mayat dipindahkan dilucuti pakaian dan dilakukan otopsi sesuai kondisi
pada tubuh. Pembusukan, adiposere dan mumifikasi merupakan penyulit pemeriksaan, kadang
ketiganya berada pada tubuh yang sama. Pada posisi yang tinggi akan membuat keadaan mayat lebih
baik daripada tanah yang berisi air ditempat penguburan1.

Sebelum mayat dikubur kembali harus dipastikan apakah bahan bahan yang diperlukan sudah
cukup untuk menghindari penggalian ulang

Anda mungkin juga menyukai