Anda di halaman 1dari 40

Asuhan keperawatan Paliatif Pada Pasien HIV AIDS

Dosen : Ns. Pipit Feriani. S.kep, MARS

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Achmad Ryanda 1811102411052


Erika Dewi Saputri 1811102411082
Hikmata Anis Kurlilah P 1811102411090
Muhammad Ali Purnomo Adji 1811102411110
Muhammad Ahluddin Ibnus S 1811102411109
Muhammad Fitra Panji P 1811102411111
Muhammad Izza Nuril H 1811102411114
Nurmalasari eksaputri 1811102411135
Nova Fitriyanti 1811102411129
Rahma Nur Aisyah 1811102411145

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah asuhan keperawatan Paliatif pada pasien
HIV AIDS dengan baik dan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
tugas kelompok yang diberikan oleh dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Menjelang
Ajal dan Paliatif yaitu Ns. Pipit Feriani S.kep, MARS

Dengan makalah ini diharapkan pembaca dapat memahami Perawatan Paliatif pada
pasien stroke dan Asuhan Keperawatan dengan Stroke dengan benar. Ucapan terima kasih
penulis ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Menjelang Ajal dan
Paliatif yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar makalah Perawatan
Paliatif pada pasien HIV AIDS. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada seluruh
pihak yang telah memberikan bantuan berupa konsep, pemikiran dalam penyusunan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Dengan segala kerendahan hati, saran dan
kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari pembaca guna meningkatkan pembuatan
makalah pada tugas lain dan pada waktu mendatang.

Samarinda, 05 Maret 2021

Kelompok 4
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Penyakit HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus HIV dan menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS (Acquired Immune
Deficiency Syndrome) adalah sindrom atau kumpulan gejala yang timbul karena sangat
turunnya kekebalan tubuh penderita HIV dan merupakan stadium akhir dari HIV.
Menurut WHO, total penderita HIV lebih dari 35 juta jiwa. Pada tahun 2017, 940.000
orang meninggal karena penyebab HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan
HIV pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang terinfeksi baru pada tahun 2017. Pada
tahun 2017 diperkirakan 47% infeksi baru terjadi diantara populasi kunci dan
pasangannya.2 Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2017 terdapat 33.660 kasus
baru HIV di Indonesia. Di Indonesia jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987-2017
terdapat 97.942 kasus, untuk kasus baru AIDS pada tahun 2017 terdapat 4.555 kasus.
Jumlah kasus AIDS di DIY dari tahun 1987-2017 terdapat 1.403 kasus, dan pada tahun
2017 terdapat 42 kasus baru AIDS. Virus HIV menghancurkan dan merusak fungsi sel
kekebalan, sehingga individu yang terinfeksi secara bertahap menjadi imunodefisiensi.
Imunodefisiensi menghasilkan peningkatan kerentanan terhadap berbagai macam infeksi,
kanker dan penyakit lain yang orang dengan sistem kekebalan yang sehat dapat melawan.
Tahap paling lanjut dari infeksi HIV adalah AIDS, yang dapat berlangsung dari 2 hingga
15 tahun untuk berkembang tergantung pada individu. AIDS didefinisikan oleh
perkembangan kanker tertentu, infeksi, atau manifestasi klinis berat lainnya. Penyakit
HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih di dalam tubuh (limfosit) yang
mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia dan membuatnya lebih rentan
terhadap berbagai penyakit, sulit sembuh dari berbagai penyakit infeksi oportunistik dan
bisa menyebabkan kematian.
B. Rumusan Masalah

1. Apa saja tanda dan gejala HIV Aids pada anak dan dewasa ?
2. Apa penyebab dari HIV AIDS ?
3. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada HIV Aids ?
4. Pengobatan apa saja yang dapat dilakukan untuk HIV ?
5. Bagaimana cara menentukan asuhan keperawatan paliatif pada pasien HIV Aids ?
BAB II
A. PENGERTIAN
Acquired immunodeficiency syndrom (AIDS) suatu gejala penyakit yang
menunjukkan kelemahan atau kerusakan daya tahan tubuh atau gejala penyakit infeksi
tertentu / keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh
(kekebalan) oleh virus yang disebut dengan HIV. Sedang Human Imuno Deficiency
Virus merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia yang kemudian
mengakibatkan AIDS. HIV sistem kerjanya menyerang sel darah putih yang menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk dalam limfosit yang disebut dengan T4 atau sel
T penolong. ( T helper ), atau juga sel CD 4. HIV tergolong dalam kelompok retrovirus
sub kelompok lentivirus. Juga dapat dikatakan mempunyai kemampuan mengopi cetak
materi genetika sendiri didalam materi genetik sel - sel yang ditumpanginya dan melalui
proses ini HIV dapat mematikan sel - sel T4. ( DEPKES: 1997 )

AIDS adalah salah satu penyakit retrovirus epidemic menular, yang disebabkan oleh
infeksi HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler,
dan mengenai kelompok resiko tertentu, termasuk pria homoseksual, atau biseksual,
penyalahgunaan obat intra vena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah
lainnya, hubungan seksual dan individu yang terinfeksi virus tersebut. ( DORLAN 2002 )

AIDS merupakan bentuk paling hebat dari infeksi HIV, mulai dan kelainan ringan
dalam respon imun tanpa tanda dan gejala yang nyata hingga keadaan imunosupresi dan
berkaitan dengan berbagai infeksi yang dapat membawa kematian dan dengan kelainan
malignitas yang jarang terjadi. (Centre for Disease Control and Prevention)
B. ETIOLOGI
Resiko HIV utama pada anak-anak yaitu:
 Air susu ibu yang merupakan sarana transmisi
 Pemakaian obat oleh ibunya
 Pasangan sexual dari ibunya yang memakai obat intravena
 Daerah asal ibunya yang tingkat infeksi HIV nya tinggi

C. TANDA DAN GEJALA HIV PADA ANAK


 Tidak berenergi atau lemah.

 Gangguan tumbuh kembang.

 Demam terus-menerus, dibarengi dengan keringat.

 Sering diare.

 Pembesaran kelenjar getah bening.

 Infeksi berkepanjangan yang tidak kunjung sembuh, walau sudah diobati.

 Penurunan berat badan.

 Berat badan tidak kunjung naik.

 Badan yang kurus karena berat badan anak yang sulit bertambah

 Sistem kekebalan tubuh yang lemah sehingga anak lebih sering sakit

 Kulit muncul ruam kemerahan hingga infeksi kulit


 Anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat.

D. KOMPLIKASI
Komplikasi sistemik Komplikasi pada anak HIV/AIDS dapat mengenai berbagai
sistem organ tubuh. Penyakit jantung yang terkait dengan infeksi HIV atau infeksi
oportunistik yang meliputi perikarditis dan miokarditis. Komplikasi kardiovaskular
infeksi HIV seperti kardiomiopati dan perikarditis telah dikurangi dengan terapi
antiretroviral yang sangat aktif, tapi aterosklerosis koroner prematur sekarang menjadi
masalah yang berkembang karena obat antiretroviral dapat menyebabkan gangguan
metabolisme yang serius menyerupai orang-orang dalam sindrom metabolik. 34
Keterlambatan motorik, hipotonia, hipertonia, dan tanda traktus piramidal menunjukan
telah terjadi ensefalopati di sistem saraf pusat.35 Kejadian diare kronik pada anak dengan
infeksi HIV bervariasi antara 30-90%. Lesi esofageal, kelainan hepatobilier dan diare
merupakan penyakit yang paling sering, dan dapat menyebabkan malabsorbsi, maldigesti,
penurunan asupan nutrisi sehingga menyebabkan malnutrisi.

E. PATOFISILOGI
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel
yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi
dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV )
menginfeksi sel lewat pengikatan dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus
yang bersesuaian yaitu antigen grup

Pada saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human
Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan
reproduksi dan banyaknya kematian sel T4 yang juga dipengaruhi respon imun sel
killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel yang terinfeksi. Virus HIV
dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan pemograman ulang
materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded DNA. DNA
ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat
mengenali virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh
tidak dihancurkan oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan
sel T4 helper. Fungsi dari sel T4 helper adalah mengenali antigen yang asing,
mengaktifkan limfosit B yang memproduksi antibodi, menstimulasi limfosit T
sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh terhadap infeksi parasit.
Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya tidak
menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan
menyebabkan penyakit yang serius. Dengan menurunya jumlah sel T4, maka sistem
imun seluler makin lemah secara progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan
makrofag dan menurunnya fungsi sel T penolong. Seseorang yang terinfeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala
(asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat
berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300
per ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-
gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian
menurun akibat timbulnya penyakit baru akan menyebabkan virus berproliferasi.
Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis mengidap AIDS apabila
jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi infeksi
opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.
F. PATHWAY
G. TANDA GEJALA HIV PADA DEWASA
Melansir Buku HIV & AIDS: Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial Edisi 2
(2014) oleh Nasronudin, perjalanan infeksi HIV, jumlah virus dan gejala klinis melalui 3
fase ditambah 1 periode (4 tahap).

Berikut tahapan infeksi HIV berkembang menjadi AIDS:

1. Periode masa jendela

Periode masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes antibody HIV masih
menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah masuk ke dalam darah pasien dengan
jumlah yang banyak.

Antibodi yang terbentuk belum cukup terdeteksi melalui pemeriksaan


laboratorium karena kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya baru
muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer.

Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini
pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada periode ini sebaiknya yang


mampu mendeteksi antigen p18, p24, p31, p36, gp120, gp41.

2. Fase infeksi akut

Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan
virus-virus baru (virion) dengan jumlah hingga berjuta-juta virion. Viremia dari begitu
banyak virion tersebut dapat memicu munculnya sindrom infeksi akut dengan gejala yang
mirip penyakit flu atau infeksi mononukleosa.
Diperkirakan bahwa sekitar 50-70 persen orang yang terinfeksi HIV mengalami
sindrom infeksi akut selama 3-6 minggu setelah terinfeksi virus dengan gejala umum,
yakni:

 Demam
 Faringitis
 Limfadenopati
 Artralgia
 Mialgia
 Letargi
 Malaise
 Nyeri kepala
 Mual
 Muntah
 Diare
 Anoreksia,
 Penurunan berat badan

HIV juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf meski paparan HIV
baru terjadi pada stadium infeksi yang masih awal. Kondisi itu, antara lain bisa
menyebabkan: Meningitis Ensefalitis Neuropati perifer Mielopati Sementara, gejala pada
dematologi atau kulit, yaitu ruam makropapuler eritematosa dan ulkus mukokutan.

3. Fase infeksi laten

Pembentukan respons imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam sel
dendritik folikuler (SDF) di pusat germinativum kelenjar limfa dapat menyebabkan virion
dapat dikendalikan, gejala hilang, dan mulai memasuki fase laten.
Pada fese ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma
menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi
di kelenjar limfa.

Fase infeksi laten berlangsung rata-rata sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13 tahun)
setelah terinfeksi HIV. Pada tahun ke-8 setelah terinfeksi HIV, penderita mungkin akan
mengalami berbagai gejala klinis, berupa:

 Demam
 Banyak berkeringat pada malam hari
 Kehilangan berat badan kurang dari 10%,
 Diare
 Lesi pada mukosa dan kulit berulang,
 Penyakit infeksi kulit berulang

Gejala ini merupakan tanda awal munuculnya infeksi oportunistik.


Pembengkakan kelenjar limfa dan diare secara terus-menerus termasuk gejala infeksi
oportunistik.

4. Fase infeksi kronos (AIDS)

Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfa terus terjadi replikasi
virus HIV yang diikuti kerusakan dan kematian SDF karena banyaknya virus. Fungsi
kelenjar limfa adalah sebagai perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus
dicurahkan ke dalam darah.

Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam
sirkulasi sistemik. Respons imum tidak mampu meredam jumlah virion yang berlebihan
tersebut.

Sementara, limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang kian banyak.
Penurunan limfosit ini mengakibatkan sistem imun menurun dan penderita semakin
rentan terhadap berbagai penakit infeksi sekunder.
Perjalanan penyakit kemudian semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS.
Infeksi sekunder yang sering menyertai, di antaranya adalah:

 Pneumonia yang disebabkan oleh Pneumocytis


 Tuberkulosis
 Sepsis
 Toksoplasmosis ensefalitis
 Diare akibat kriptisporidiasis
 Infeksi virus sitomegalo
 Infeksi virus herpes
 Kandidiasis esophagus
 Kandidiasis trachea
 Kandidiasis bronchus atau paru-paru
 Infeksi jamur jenis lain, misalnya histoplasmosis, koksidiodomikosis

Kadang-kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker, yakni kanker kelenjar


getah bening dan kanker sarcoma Kaposi’s.

Pada tahap ini, penderita HIV/AIDS harus segera dibawa ke dokter dan menjalani
terapi anti-retroviral virus (ARV). Terapi ARV bakal mengandalikan virus HIV di dalam
tubuh sehingga dampak infeksi bisa ditekan.

Meski demikian, HIV sebenarnya dapat dikendalikan sedini mungkin sehingga


bisa menekan peluang timbulnya AIDS.

Maka dari itu, sangat dianjurkan bagi masyarakat yang berisiko tinggi tertular
HIV/AIDS untuk melakukan cek darah sedini mungkin. Masyarakat yang termasuk
berisiko tinggi, di antaranya yakni pengguna narkoba dengan jarum suntik, kerap berganti
pasangan dan berhubungan seks tanpa kondom. (Irawan Sapto Adhi)

H. ETIOLOGI
Penyebabnya adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency
Virus yaitu HTL II, LAV,RAV yang berupa agen viral yang dikneal dengan retrovirus yang
ditularkan oleh darag dan punya afinitas yang kuat terhadap limfosit T. Virus ini
ditransmisikan melalui kontak intim (seksual), darah atau prduk darah yang terinfeksi (HIV).
HIV pertema kali ditemukan pada tahun 1983 sebagai retrovirus dan disebut HIV-1. Pada
tahun 1986 di Afrika ditemukan lagi retrovirus baru yang diberi nama HIV-2. HIV-2
dianggap sebagai virus kurang pathogen dibandingkan dengan HIV-1. Maka untuk
memudahkan keduanya disebut HIV.

Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu :

1. Periode jendela
Lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
2. Fase infeksi HIV Primer akut
Lamanya 1-2 minggu dengan gejala flu
3. Infeksi asimtomatik
Lamanya 1-15 minggu atau lebih dengan gejala tidak ada
4. Supresi imun simtomatik
diatas 3 tahun dengan gejala demam,keringat di malam hari, diare, neuropati,
lemah, limfadenopati, lesi dimulut
5. AIDS
Lamanya bervariasi anatar 1-5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi opurtunistik berat dan tumor pada berbagai system tubuh dan
menifestasi neurologis

Cara penularan HIV/AIDS (Arif, 2000) antara lain sebagai berikut :

a. Hubungan sesksual, dengan risiko penularan 0,1-1% tiap hubungan seksual


b. Melalui darah
- Tranfusi darah yang mengandung HIV (risiko penularan 90-98%)
- Transfusi jarum yang mengandung HIV (risiko penularan 0,03%)
- Terpapar mukosa yang mengandung HIV (risiko penularan 0,0051%)
- Tarsmisi dari ibu ke anak :
a) Selama kehamilan
b) Saat persalinana risiko penularan 50%
c) Melalui air susu ibu/ASI 14%

I. KOMPLIKASI

Infeksi oportunistik sebagai komplikasi HIV & AIDS


Infeksi oportunistik sering dihubungankan dengan HIV dan AIDS, karena HIV
menyerang sel-T CD4 (sering disebut hanya CD4), yang merupakan bagian dari sistem
kekebalan tubuh.Umumnya, orang sehat memiliki CD4 dengan rentang 500-1400 per
milimeter kubik darah (sering dituliskan 500-1400). Orang yang positif HIV memiliki
risiko lebih rendah untuk terserang infeksi oportunistik, jika memiliki jumlah CD4 di atas
500. Semakin rendah CD4 seseorang, semakin rentan ia untuk mengidap
penyakit.Berikut ini 20 infeksi oportunistik atau komplikasi HIV yang umum terjadi.

 Candidiasis. Kondisi ini merupakan infeksi jamur umum, dan dan dapat diobati dengan
obat antijamur setelah dilakukan pemeriksaan fisik oleh dokter.
 Coccidioidomycosis,yaitu infeksi yang juga dipicu oleh jamur dan dapat berujung
pneumonia, jika tidak ditangani.
 Cryptococcosis, sebagai infeksi jamur yang sering masuk melalui paru-paru. Infeksi ini
dapat dengan cepat menyebar ke otak, dan sering berakibat fatal, karena menyebabkan
meningitis cryptococcus.
 Cryptosporidiosis, yaitu penyakit diare yang kerap menjadi kronis. Penyakit ini
dicirikan oleh kram perut dan diare yang parah.
 Sitomegalovirus, infeksi virus yang sering terjadi di bagian mata dan organ pencernaan.
Infeksi ini sebenarnya umum terjadi, terutama pada orang dewasa.
 Ensefalopati yang berkaitan dengan HIV. Gangguan medis ini menyerang otak seiring
berjalannya usia, dan sering menyerang individu yang memilki jumlah CD4 kurang dari
100.
 Herpes simplex (kronis) dan herpes zoster. Herpex simplex merupakan infeksi yang
dicirikan oleh luka pada mulut atau bagian kelamin. Sementara itu, herpes zoster
menyebabkan lepuhan pada kulit, yang disertai rasa sakit.
 Histoplasmosis, yaitu infeksi oleh spora jamur yang sering berasal dari kotoran burung
atau tanah. Kondisi medis ini dapat diobati melalui pemberian antibiotik.
 Isosporiasis, yaitu infeksi parasit yang dapat berkembang saat penderitanya melakukan
kontak dengan aliran air, atau makanan yang sudah terkontaminasi.
 Kompleks Mikobakterium Avium (MAC), yang merupakan infeksi akibat bakteri, dan
sering terjadi pada orang dengan jumlah CD4 kurang dari 50. Apabila bakteri tersebut
masuk ke aliran darah, infeksi ini dapat berakibat kematian.
 Pneumonia jiroveci pneumocystis, yaitu jenis pneumonia yang disebabkan oleh infeksi
jamur Pneumocystis jiroveci (dahulu disebut jamur Pneumocystis carinii). Infeksi
oportunistik ini menjadi penyebab kematian utama pada orang dengan HIV.
 Pneumonia kronis. Anda mungkin sudah sering mendengar penyakit
ini. Pneumonia merupakan infeksi baru-baru, yang bisa disebabkan oleh bakteri, jamur,
atau virus. Pneumonia dapat terjadi di salah satu paru-paru, atau keduanya sekaligus.
 Leukoensefalopati multifokal progresif, yaitu gangguan saraf yang disebabkan oleh
virus dansering menyerang orang dengan jumlah CD4 di bawah 200.
 Toksoplasmosis, yaitu infeksi parasit yang juga umum menyerang orang-orang dengan
CD4 di bawah 200.
 Tuberkulosis, yaitu penyakit yang juga menyerang organ paru-paru, dan disebabkan oleh
infeksi kuman mycobacterium tuberuculosis.
 Wasting syndrome (berkaitan dengan HIV). Sindrom ini merupakan infeksi oportunistik
yang menyebabkancpenderitanya. Penurunan berat badan tersebut dapat mencapai lebih
dari 10% berat badan normal penderita.
 Sarkoma kaposi, yaitu jenis kanker yang kerap muncul dengan lesi di bagian mulut, atau
lesi yang menutupi permukaan kulit. Terapi radiasi dan kemoterapi merupakan
penanganan kondisi medis ini, yang bertujuan untuk mengecilkan tumor.
 Limfoma. Beberapa jenis kanker yang menyerang sistem limfatik (getah bening) dan
kerap terjadi pada orang-orang yang hidup dengan HIV. Penanganan kondisi ini akan
bergantung pada kesehatan penderitanya, serta jenis kanker yang diidap.
 Kanker serviks. Kanker ini menyerang leher rahim, sehingga hanya terjadi pada wanita.
Wanita yang hidup dengan HIV berisiko tinggi untuk menderita kanker serviks.
J. PATOFISIOLOGI

Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS diperkirakan antara
10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50% orangyang terinfeksi HIV akan
menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun pertama, danmencapai 70% dalam sepuluh tahun
akan mendapat AIDS. Berbeda dengan viruslain yang menyerang sel target dalam waktu
singkat, virus HIVmenyerang seltarget dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi infeksi,
virus harus masuk kedalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang disebut limfosit. Materi
genetik virusdimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi. Di dalam sel,
virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel serta melepaskan partikelvirus
yang baru. Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnyadan
menghancurkannya.

Virus menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama selsel limfosit.
Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong.
Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem
kekebalan (misalnya limfosit B, makrofag dan limfositT sitotoksik), yang kesemuanya
membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing. Infeksi HIV menyebabkan
hancurnya limfosit T penolong,sehingga terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi
dirinya terhadapinfeksi dan kanker.

Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T penolongmelalui 3


tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang yang sehat memilikilimfosit CD4
sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertamasetelah terinfeksi HIV,
jumlahnya menurun sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulanini penderita bisa menularkan
HIV kepada orang lain karena banyak partikel virusyang terdapat di dalam darah. Meskipun
tubuh berusaha melawan virus, tetapitubuh tidak mampu meredakan infeksi. Setelah sekitar 6
bulan, jumlah partikelvirus di dalam darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada
setiap penderita. Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanj
ut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang rendah membantu dokter
dalam menentukan orang-orang yang beresiko tinggi menderitaAIDS. 1-2 tahun sebelum
terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanyamenurun drastis. Jika kadarnya mencapai
200 sel/mL darah, maka penderitamenjadi rentan terhadap infeksi.

Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosityang


menghasilkan antibodi) dan sering kali menyebabkan produksi antibodi
yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan HIV dan infeksi yang
dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak banyak membantu dalam melawan berbagai
infeksi oportunistik pada AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+
oleh virus menyebabkan berkurangnya kemampuan system kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.

Setelah virus HIV masuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6
bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode jendela” (window 
period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang selama lebih kurang 1-20 bulan,
namun apabila diperiksa titer antibodinya terhadapHIV tetap positif (fase ini disebut fase
laten) Beberapa tahun kemudian baru timbulgambaran klinik AIDS yang lengkap
(merupakan sindrom/kumpulan gejala).Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari 10 tahun setelah
diketahui HIV positif. (Heri : 2012)

Perawatan paliatif pada pasien orang dewasa dengan HIV/AIDS

Perawatan paliatif umumnya dianggap berhubungan dengan rasa nyeri dan peringanan
gejala pada akhir hayat, tetapi walau tanggapan ini harus dicakup, perawatan paliatif harus
menjadi pendekatan pada seseorang dengan penyakit yang membatasi hidup, dengan
mempertimbangkan keluarga dan budayanya – dengan tujuan akhir meningkatkan mutu
hidupnya.

Perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai mutu hidup yang optimal untuk Odha dan
keluarganya, serta meminimalkan penderitaan melalui penggerakan perawatan klinis, psikologis,
spiritual dan sosial selama masa infeksi HIV. Perawatan paliatif juga menyediakan pemantauan
berkala dan berlanjut terus selama dan setelah permulaan terapi. Perawatan paliatif mencakup
dan melampaui penatalaksaan medis masalah penularan, neurologis atau onkologis HIV/AIDS
untuk menghadapi gejala dan penderitaan secara memadai selama rangkaian penyakit HIV.

Perawatan pencegahan

Intervensi perawatan pencegahan adalah kegiatan, alat atau pengobatan yang dapat
mencegah permulaan penyakit berat atau gawat misalnya pneumonia bakteri, TB, malaria, diare
dan malanutrisi yang dapat memperumit atau mengancam jiwa Odha, bahkan pada stadium awal
penyakit HIV.
PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI

A. Penatalaksanaan farmakologi
Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka terapinya yaitu (Endah
Istiqomah : 2009) :

a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,


nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.

b. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang
jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3 c. Terapi
Antiviral Baru

Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan


menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-
obat ini adalah :

– Didanosine

– Ribavirin

– Diedoxycytidine

– Recombinant CD 4 dapat larut


1. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

2. Diet

Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah


PENATALAKSANAAN MEDIS. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV), maka terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :

3. Pengendalian Infeksi Opurtunistik

Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,


nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.

4. Terapi AZT (Azidotimidin)

Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap
AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang
jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human

Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3 c.
Terapi Antiviral Baru beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun
dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada
prosesnya. Obat-obat ini adalah :

– Didanosine

– Ribavirin
– Diedoxycytidine

– Recombinant CD 4 dapat larut

d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus

Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon,
maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses
keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.

Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS

- Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan mempertimbangkan seluruh aspek


dukungan gizi pada semua tahap dini penyakit infeksi HIV. Mencapai dan
mempertahankan berat badan secara komposisi tubuh yang diharapkan, terutama
jaringan otot (Lean Body Mass).
- Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
- Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga dan relaksasi.

Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS

- Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.


- Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian, yang terlihat pada: pasien
dapat membedakan antara gejala anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra
pengecap dan kesulitan menelan.
- Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
- Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama jaringan otot).
- Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang adekuat sesuai dengan
kemampuan makan dan jenis terapi yang diberikan.

Syarat-syarat Diet HIV/AIDS


- Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi, diperhatikan faktor stres, aktivitas
fisik, dan kenaikan suhu tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap
kenaikan Suhu 1°C.
- Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan mengganti jaringan sel
tubuh yang rusak. Pemberian protein disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.
Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total. Jenis lemak disesuaikan
dengan toleransi pasien. Apabila ada malabsorpsi lemak, digunakan lemak
denganikatan rantai sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan (asam
lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT dapat memperbaiki fungsi
kekebalan.
- Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 1⁄2 kali (150%) Angka Kecukupan Gizi yang di
anjurkan (AKG), terutama vitamin A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng
dan Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa suplemen, tapi
megadosis harus dihindari karena dapat menekan kekebalan tubuh.
- Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
- Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien dengan gangguan fungsi
menelan, pemberian cairan harus hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi
yang sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick fluid), semi kental
(semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
- Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare perlu diganti
(natrium,kalium dan klorida).

Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien. Hal ini sebaiknya
dilakukan dengan cara pendekatan perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi
pasien. Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka dianjurkan pemberian
makanan melalui pipa atau sonde sebagai makanan utama atau makanan selingan.
Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering. Hindari makanan yang merangsang
pencernaan baik secara mekanik, termik, maupun kimia.

Jenis Diet dan Indikasi Pemberian Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah
terkena infeksi HIV, yaitu kepada pasien dengan:
- Infeksi HIV positif tanpa gejala.
- Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare, kesulitan menelan,
sariawan dan pembesaran kelenjar getah bening).
- Infeksi HIV dengan gangguan saraf.
- Infeksi HIV dengan TBC.
- Infeksi HIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.

Makanan untuk pasien AIDS dapat diberikan melalui tiga cara, yaitu secara oral,
enteral(sonde) dan parental(infus). Asupan makanan secara oral sebaiknya dievaluasi
secara rutin. Bila tidak mencukupi, dianjurkan pemberian makanan enteral atau parental
sebagai tambahan atau sebagai makanan utama. Ada tiga macam diet AIDS yaitu Diet
AIDS I, II dan III :

1) Diet AIDS I

Diet AIDS I diberikan kepada pasien infeksi HIV akut, dengangejala panas tinggi,
sariawan, kesulitan menelan, sesak nafas berat, diare akut, kesadaran menurun, atau
segera setelah pasien dapat diberi makan.Makanan berupa cairan dan bubur susu,
diberikan selama beberapa hari sesuai dengan keadaan pasien, dalam porsi kecil setiap 3
jam. Bila ada kesulitan menelan, makanan diberikan dalam bentuk sonde atau dalam
bentuk kombinasi makanan cair dan makanan sonde. Makanan sonde dapat dibuat sendiri
atau menggunakan makanan enteral komersial energi dan protein tinggi. Makanan ini
cukup energi, zat besi, tiamin dan vitamin C. bila dibutuhkan lebih banyak energy dapat
ditambahkan glukosa polimer (misalnya polyjoule).

2) Diet AIDS II

Diet AIDS II diberikan sebagai perpindahan Diet AIDS I setelah tahap akut
teratasi. Makanan diberikan dalam bentuk saring atau cincang setiap 3 jam. Makanan ini
rendah nilai gizinya dan membosankan. Untuk memenuhi kebutuhan energy dan zat
gizinya, diberikan makanan enteral atau sonde sebagai tambahan atau sebagai makanan
utama.

3)Diet AIDS III


Diet AIDS III diberikan sebagai perpindahan dari Diet AIDS II atau kepada
pasien dengan infeksi HIV tanpa gejala. Bentuk makanan lunak atau biasa, diberikan
dalam porsi kecil dan sering. Diet ini tinggi energy, protein, vitamin dan mineral. Apabila
kemampuan makan melalui mulut terbatas dan masih terjadi penurunan berat badan,
maka dianjurkan pemberian makanan sonde sebagai makanan tambahan atau makanan
utama.

A. Penatalaksanaan Non- Farmakologi


Penyakit AIDS belum di temukan cara penyembuhanya, yang perlu di lakukan
adalah pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah
terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :

1. melakukan hubungan kelamin/sex dengan pasangan yang tidak terinfeksi.

2. Melakukan pemeriksaan 6 bulan setelah hubungan seks terakhir yang tidak terlindungi.

3. Menggunakan alat kontrasepsi atau pelindung jika berhubungan dengan orang


yang tidak jelas status HIV nya.

4. Tidak melakukan pertukaran jarum suntik,jaru tato,dan sebagainya.

5. Melakukan pencegahan infeksi ke bayi baru lahir atau janin.

Pengobatan penunjang seperti tatalaksana gejala multivitamin, dukungan nutrisi,


pendidikan kesehatan, pencegahan komplikasi dan infeksi oportunistik, perawatan
paliatif, dukungan psikologis kesehatan mental, dukungan sosial ekonomi, kelompok-
kelompok dukungan. Melakukan cara penanggulangan HIV AIDS

1. Promosi Kesehatan

2. Pencegahan penularan HIV

3. Pengobatan, perawatan dan dukungan

4. Rehabilitasi
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF

3.1. Anamnesa
A. Identitas
1. Identitas Klien
Nama, tempat / tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin, agama,
pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis.
2. Identias Penanggung Jawab
Terdiri dari nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan,
hubungan dengan pasien.
B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori ditemui
keluahn utama sesak nafas. Keluahn utama lainnya dirtemui pada pasien penyakit
HIV AIDS, yaitu demam yang berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis
lebih dari 1 bulan berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih
dari 10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi mulut dan tenggorokan
disebabkan oleh jamur candida albikans,pembekakan kelenjar getah bening
diseluruh tubuh, munculnya herpes zooster berulang dan bercak-bercak gatal
diseluruh tubuh.
2. Riwayat Kesehatan Sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang baisanuya disampaikan pasien HIV AIDS
adalah: pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi pasien yang
memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyreri dada, dan demam, pasien
akan mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.
3. Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkoba suntik, hubungan seks bebas atau berhubungan seks
dengan penderita HIV/AIDS terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga


Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang menderita
penyakit HIV/ AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang tua yang terinfeksi
HIV. Pengakajian lebih lanjut juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga,
adanya keluarga bekerja ditempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja
Seks Komersial).

3.2. Pengkajian
A. Pengkajian Fisik
Permasalahan fisik yang sering dialami pasien HIV/AIDS biasanya diakibatkan
oleh karena penyakitnya maupun efek samping dari pengobatan yang diterimanya.
Diantaranya adalah nyeri, nutrisi, kelemahan umum, eliminasi, luka decubitus,
pernafasan. Serta masalah keperawatan lainnya.
1. Keadaan umum : Ditemukan pasien tampak lemah, vital sign takikardi, pernafasan
cepat suhu badan meningkat karena demam
2. Kesadaran : Composmentis kooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat kesadaran,
apatis, somnolen, stupor bahkan koma
3. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis seboroika
4. Mata : Konjungtiva anemis , scelera tidak ikterik, pupil isokor,refleks pupil terganggu
5. Hidung : Adanya pernapasan cuping hidung
6. Leher : Kaku kuduk (penyebab kelainan neurologic karena infeksi jamur criptococus
neofarmns)
7. Gigi dan mulut : Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak- bercak putih seperti
krim yang menunjukan kandidiasis
8. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
9. Paru-paru : Biasanya terdapat nyeri dada pada pasien AIDS yang disertai dengan TB
napas pendek (cusmaul)
10. Abdomen : Biasanya bising usus yang hiperaktif
11. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda lesi (lesi
sarkoma kaposi)
12. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus oto menurun, akral dingin

B. Pengkajian Psikososial Spiritual dan Kulturan


Perawat mekakukan pengkajian kemampuan fungsi sosial, kondisi
mental/emosional, hubungan interpersonal, kegiatan yang dilakukan oleh pasien
HIV/Aids, konflik dalam keluarga yang dialami pasien jika ada, peran sistem budaya,
spiritual dan aspek religius, sumber keuangan, komunikasi, kepribadian.personality,
adat istiadat budaya/pembuat keputusan, aspek religius/kepercayaan, pertahanan
koping, sistem nilai, hubungan antar keluarga dan stres yang dihadapi oleh ODHA.

3.3. Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang / Diagnostik


A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan diagnosis infeksi HIV dapat dibagi
dalam 2 kelompok yaitu Pemeriksaan Deteksi Antigen dan Deteksi Antibodi
1. Deteksi Antigen
a) Biakan Virus
Metode ini merupakan pemeriksaan untuk menentukan adanya
infeksi virus HIV. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pembiakan limfosit
penderita bersama sel indikator atau sel mononuclear orang sehat. Setelah
pembiakan selama 4 minggu pertumbuhan HIV dapat dideteksi dengan
memeriksa adanya aktivitas antigen p24 dalam biakan tersebut
b) Metode ELISA
Metode ELISA ini dilakukan untuk mendiagnosis infeksi HIV
secara dini terutama pada neonates dan seronegatif dengan orang tua
riwayat terpapar virus HIV. Antigen HIV dapat tedeteksi dalam darah
pada saat jumlah antigen lebih banyak dari pada antibodi. Oleh sebab itu
dateksi antigen hanya dapat dilakukan pada stadium dini infeksi dimana
belum terbentuk antibodi dalam jumlah banyak atau stadium akhir
penyakit dimana tidak lagi terbentuk antibodi terhadap p24.
c) Metode PCR HIV
Metode Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan metode
molekuler untuk mendeteksi adanya genetic virus HIV. Dimana suatu
segmen DNA provirus akan diamplifikasi secara invitro sehingga dapat
terdeteksi. Deteksi amplifikasi (pembesaran) dapat dilakukan dengan
melakukan elektroforesis pada agar rose dengan pewarnaan ethidium
bromide. Adanya pita dengan berat molekul tertentu berarti telah terjadi
amplifikasi segmen DNA virus.
2. Deteksi Antibodi HIV
a) Rapid Tes (Imunochromatografi)
Pemeriksaan rapid tes adalah tes imunochromatografi untuk
differensial dan deteksi kualitatif dari semua isotope (IgG, IgM dan IgA)
antibodi spesifik untuk HIV-1 termasuk sub tipe O dan HIV-2. Antigen
recombinan yang terkonjugasi dalam sampel berpindah ke membrane
imunochromatografi ke zona reaksi dan terbentuk ikatan antigen –
antibodi - antigen. Apabila terbentuk garis pada zona tes satu maka
hasilnya positif HIV-1, sedang pada garis zona dua yang terbentuk maka
hasilnya positif HIV-2- tetapi jika kedua garis terbentuk maka penentuan
hasil dilihat garis yang paling gelap.
Antibodi virus HIV biasanya mulai terdeteksi pada 4-8 minggu
setelah terinfeksi. Waktu antara saat terinfeksi dengan mulai terdeteksinya
antibodi dalam serum penderita dikenal dengan window period.
Pemeriksaan untuk mendeteksi antibodi dalam serum penderita dibagi
menjadi 2 kelompok yaitu sebagai tes penyaring dan konfirmasi.
B. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk HIV berupa tes serologi antibodi yang
dapat dilakukan menggunakan rapid test, chemiluminescent microparticle
immunoassay , enzyme immunoassay , dan western blot. Tes serologi ini
merupakan dasar diagnosis awal dan utama HIV, mendeteksi adanya antibodi
yang spesifik dibentuk oleh tubuh sebagai respon antigen-antibodi. Tes serologi
antibodi sebaiknya dilakukan setelah melewati masa jendela infeksi HIV, yakni
menurut WHO dan Permenkes RI adalah 2 minggu – 3 bulan sejak perilaku
berisiko atau terpapar HIV.
Pemeriksaan penunjang untuk HIV berupa pemeriksaan Baseline, Antigen
P2, Sel CD4 dan Viral Load
a) Pemeriksaan Baseline
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mempelajari kondisi penderita
yang baru saja terdeteksi mengidap HIV dan melihat apakah memiliki
koinfeksi dari beberapa infeksi berikut:
 Tuberkulosis
 Hepatitis (terutama B dan C)
 Infeksi menular seksual lainnya (gonorea, klamidia, sifilis)
 Pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, hematokrit, trombosit,
leukosit – hitung jenis leukosit, eritrosit, laju endap darah)
 Fungsi Hati (SGOT/SGPT)
 Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin, BUN)
 Urinalisis
 Profil Lipid
Pemeriksaan-pemeriksaan di atas juga bertujuan sebagai pemeriksaan
penyaring untuk menilai apakah penderita dapat segera memulai terapi
ARV, karena kondisi-kondisi yang berkaitan dengan pemeriksaan
tersebut, dapat dipengaruhi oleh pemberian ARV.
b) Antigen P24
Merupakan pemeriksaan yang sifatnya lebih spesifik karena
mendeteksi infeksi HIV melalui protein pembungkus HIV, dapat 
terdeteksi lebih cepat yakni 1-3 minggu setelah infeksi awal, sehingga
membantu efektivitas deteksi dini HIV.
c) Sel CD4
Pemeriksaan dilakukan umumnya dilakukan pada penderita yang
telah terbukti positif terinfeksi HIV, untuk mendapatkan gambaran
imunitas seseorang, melalui jumlah sel CD4, juga bermanfaat sebagai
kontrol keberhasilan pengobatan ARV (Antiretroviral). Nilai normal
berkisar antara 500-1500 sel/mm3. Dokter perlu memperhatikan jumlah
sel CD4 karena bila di bawah 200 sel/mm3 mengarah kepada kondisi
imunokompromais, salah satu tanda fase acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS).
d) Viral Load
Pemeriksaan viral load dilakukan untuk mengetahui perkiraan
jumlah virus HIV dalam darah. Nilai hasil pemeriksaan viral load akan
menjadi penanda tingkatan virulensi penderita. Pemeriksaan ini menjadi
indikator dan sebagai target dalam terapi antiretroviral (ARV). Diharapkan
setelah menjalani ARV, nilai viral load dapat turun hingga tidak
terdeteksi. Hal ini menandakan konsumsi ARV berhasil menekan aktivitas
HIV dan virulensi menjadi tergolong rendah.
3.4. Peran dan Fungsi Perawat pada Perawatan Paliatif
Sebagai anggota tim perawatan paliatif, apa yang dapat dilakukan
perawat dalam upaya membantu pasien HIV/AIDS untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Berikut ini adalah peran dan fungsi perawat dalam
perawatan paliatif :
1. Pelaksana perawatan : Sebagai pelaksana perawatan perawat
dapat bertindak sebagai pemberi asuhan keperawatan pada pasien
HIV/AIDS, memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan
keluarganya, memberikan advokasi serta melakukan peran kolaborasi
dengan profesi lain yang terlibat dalam perawatan pasien HIV/AIDS.
Perawat juga dapat melakukan fasilitasi terhadap semua kebutuhan pasien
serta melakukan modifikasi lingkungan untuk memberikan kenyamanan
kepada pasien HIV/AIDS.
2. Pengelola Sebagai pengelola perawatan, perawat dapat berperan
sebagai manajer kasus, maupun konsultan pasien HIV/AIDS dan
keluarganya.
3. Pendidik Sebagai pendidik perawat dapat berperan di
pendidikan keperawatan sebagai pengajar yang memberikan materi
tentang perawatan paliatif kepada mahasiswa sebagai peserta didik
maupun di jajaran pelayanan keperawatan dengan memberikan pendidikan
atau pelatihan kepada sejawat tentang perawatan paliatif pada pasien
HIV/AIDS.
4. Peneliti Sebagai peneliti, perawat dapat berperan melakukan
penelitian di bidang keperawatan dengan tema perawatan paliatif
khususnya pada pasien HIV/AIDS sebagai evidence based practice dalam
mengembangkan pelayanan keperawatan paliatif pada pasien HIV/AIDS
dan keluarganya.
Selain peran perawat tersebut diatas, terdapat perbedaan peran
yang mendasar antara profesi perawat dan profesi dokter atau medis dalam
perawatan paliatif, khususnya dalam merawat pasien HIV/AIDS dengan
kondisi terminal menghadapi kematian. Penekanan peran profesi perawat
adalah pada peran pemberi perawatan (caring) dengan orientasi pada
penguatan support system pasien dan keluarga, sedangkan dokter lebih
pada penekanan peran pemberi terapi (treatment) atau pengobatan pasien
HIV/AIDS. Sehubungan dengan peran pemberi perawatan (caring) pada
pasien HIV/AIDS dan keluarganya, maka perawatan harus mampu
melakukan hubungan terapeutik dengan pasien HIV/AIDS dan keluarga
(Muetzel 1998).
3.5. Asuhan Keperawatan Paliatif
Asuhan keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau rangkaian
kegiatan praktek keperawatan yang langsung diberikan kepada pasien
paliatif dengan menggunakan pendekatan metodologi proses keperawatan
berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etika profesi dalam
lingkup wewenang serta tanggung jawab perawat yang mencakup seluruh
proses kehidupan, dengan pendekatan yang holistik mencakup pelayanan
biopsikhososiospiritual yang komprehensif, dan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan paliatif pada pasien HIV/AIDS adalah
meliputi kompetensi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill) dan
sikap (attitude). Sedangkan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang
perawat untuk memberikan asuhan keperawatan paliatif adalah:
1. Pendidikan minimal DIII Keperawatan
2. Mempunyai pengalaman klinik minimal 3 tahun
3. Telah mengikuti pelatihan perawat paliatif.
3.6. Prinsip Asuhan Keperawatan Paliatif
Berikut ini adalah prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan
asuhan keperawatan paliatif pada pasien HIV/AIDS:
1. Melakukan pengkajian secara cermat, mendengarkan keluhan
dengan sungguh- sungguh
2. Menetapkan diagnosis / masalah keperawatan dengan tepat sebelum
bertindak
3. Melaksanakan tindakan / asuhan pemberian obat, perawatan luka dll
secara tepat dan akurat
4. Mengevaluasi perkembangan pasien secara cermat Asuhan
Keperawatan Paliatif diberikan dengan melihat kebutuhan pasien
HIV/AIDS secara holistik meliputi kebutuhan biologis, psikologis, sosial,
spiritual dan kultural pasien dan keluarga dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan, meliputi pengkajian keperawatan
(asessment), intervensi keperawatan (nursing care plan), implementasi
keperawatan (implementation), penetapan diagnose keperawatan (nursing
diagnosis) dan evaluasi keperawatan (evaluation).
3.7. Diagonsa Keperawatan Berdasarkan Priotitas (SDKI)
1. Gangguan Citra Tubuh b/d gangguan psikososial (D.0083)
2. Pola seksual tidak efektif b/d ketakutan terinfeksi penyakit menular
seksual HIVAIDS (D.0071)
3. Penurunan koping keluarga b/d kurangnya saling mendukung kondisi
terkait HIVAIDS (D.0097)
4. Harga diri rendah situasional b/d perubahan peran sosial (D.0087)
5. Ketidakmampuan koping keluarga b/d hubungan keluarga ambivalen
(D.0093)
6. Kesiapan peningkatan koping keluarga b/d kondisi kronis HIV AIDS
( D.0090)
7. Defisit kesehatan komunitas b/d hambatan akses ke pemberi pelayanan
kesehatan tentang kondisi klinis terkait HIV/AIDS (D.0110)
8. Kesiapan peningkatan manajemen kesehatan b/d HIV AIDS ( D.0112)
9. Isolasi Sosial b/d HIV AIDS (D.0121)
10. Gangguan interaksi sosial b/d disfungsi sistem keluarga (D.0118)
11. Gangguan proses keluarga b/d perubahan status kesehatan (D.0120)
12. Gangguan Pola Tidur b/d Hambatan lingkungan (D.0055)
3.8. Rencana Asuhan Keperawatan

No SDKI SLKI SIKI


1 Gangguan Setelah dilakukan tindakan Promosi Citra Tubuh (1.09305)
Citra keperawatan 3x24 jam 1.1 Identifikasi Harapan citra
Tubuh b/d diharapkan harga diri tubuh berdasarkan tahap
gangguan (L.09069) dapat perkembangan
psikososia dipertahankan dengan 1.2 Identifikasi perubahan citra
l (D.0083) kriteria hasil : tubuh yang mengakibatkan isolasi
1. Penilaian diri sosial
positif 1 ke 5 1.3 Monitor frekuensi pernyataan
2. Perasaan malu 1 ke kritik terhadap diri sendiri
5 1.4 Diskusikan perubahan tubuh
3. Perasaan bersalah dan fungsinya
1 ke 5 1.5 Diskusikan perubahan
4. Minat mencoba hal penampilan fisik terhadap harga
baru 1 ke 5 diri rendah
1.6 Jelaskan kepada keluarga
Keterangan : tentang perawatan perubahan
1. Memburuk citra tubuh
2. Cukup memburuk 1.7 Diskusikan persepsi pasien
3. Sedang dan keluarga tentang perubahan
4. Cukup membaik citra tubuh
5. Membaik
2 Pola Setelah dilakukan tindakan Edukasi Seksualitas (1.12447)
seksual keperawatan 3x24 jam 2.1 Identifikasi kesiapan &
tidak diharapkan Kontrol Risiko kemampuan menerima informasi
efektif b/d (L.14128) dapat 2.2 Sediakan materi dan media
ketakutan dipertahankan dengan penkes
terinfeksi kriteria hasil : 2.3 Jadwalkan penkes sesuai
penyakit 1. Kemampuan kesepakatan
menular merubah perikalu 1 2.4 Berikan kesempatan untuk
seksual ke 5 bertanya
HIVAIDS 2. Pemantauan 2.5 Jelaskan resiko tertular
(D.0071) perubahan status penyakit menular seksual dan
kesehatan 1 ke 5 AIDS akibat seks bebas
3. Kemampuan 2.6 Anjurkan orang tua menjadi
mencari informasi edukator seksualitas bagi
tentang faktor anakanaknya
risiko 1 ke 5 2.7 Anjurkan anak tidak
4. Kemampuan melakukan aktivitas seksual
mengidentifikasi diluar nikah
faktor risiko 1 ke 5 2.8 Fasilitasi kesadaran keluarga
Keterangan : terhadap anak serta pengaruh
1. Memburuk media.
2. Cukup memburuk
3. Sedang
4. Cukup membaik
5. Membaik
3 Penurunan Setelah dilakukan tindakan Dukungan koping keluarga
koping keperawatan 3x24 jam ( 1.09260)
keluarga diharapkan status koping 3.1 Identifikasi respons
b/d keluarga (L.09088) dapat emosional terhadap kondisi saat
kurangnya dipertahankan dengan ini
saling kriteria hasil : 3.2 identifikasi kesesuaian antara
mendukun 1. Perasaan diabaikan harapan pasien ,keluarga dan
g kondisi 1 ke 5 tenaga kesehatan
terkait 2. Kekhawatiran 3.3 dengarkan masalah , perasaan,
HIVAIDS tentang anggota dan pertanyaan keluarga
(D.0097) keluarga 1 ke 5 3.4 diskusikan rencana medis dan
3. Komunikasi antara perawatan
anggota keluarga 1 3.5 fasilitasi pengungkapan
ke 5 perasaan antara pasien dan
4. Toleransi 1 ke 5 keluarga
5. Perasaan tertekan 3.6 informasikan kemajuan
1 ke 5 pasien secara berkala
3.7 informasikan fasilitas
Keterangan : perawatan kesehatan yang
1. Memburuk tersedia
2. Cukup memburuk 3.8 Rujuk untuk terapi keluarga ,
3. Sedang jika perlu.
4. Cukup membaik
5. Membaik
BAB IV

PENUTUP
Kesimpulan

Tingginya HIV/AIDS pada anak sebagai korban transmisi infeksi vertical dapat menjadi
sebuah permasalahan sehingga penemuan dini tentang diagnostik HIV pada ibu adalah menjadi
lead penemuan kasus untuk menurunkan transmisi infeksi. Anak adalah korban kedua dari
penularan HIV/AIDS. Sementara dampak kondisi sakit kronik pada anak berbeda dengan
dewasa, Sakit yang dialami anak membutuhkan peran dan tugas keluarga baik emosional, sosial,
maupun spiritual. Perawatan paliatif dapat menjadi alternatif pelayanan tenaga profesional untuk
meningkatkan kualitas hidup anak dengan HIV/AIDS dengan mengimplementasikan
interprofessional collaborative prantice yang dapat diintegrasikan dengan pelayanan berbasis
rumah/home care.

Saran

Kami berharap para penderita atau ODHA baik dari usia anak anak maupun dewasa dapat
mendapatkan perawatan paliatif yang memadai, oleh karena itu kami menyarankan agar dapat
dilakukan pengoptimalan pemberian perawatan paliatif dari rumah maupun sampai rumah sakit,
sehingga para penderita dapat meningkatkan kualitas hidupnya sesuai tujuan perawatan paliatif.
DAFTAR PUSTAKA

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan kriteria Hasil Keperawatan ,
Edisi 1 . Jakarta : DPP PPNI.

PPNI (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi
1 . Jakarta : DPP PPNI.

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan tindakan keperawatan ,
Edisi 1 . Jakarta : DPP PPNI.

Nendra, et al.(2011). Buku penanganan paliatif care HIVAIDS. Jakarta: Lembaga kesehatan
nahdatul ulama
Wan Nedra, et al.(2015). Buku pegangan perawatan paliatif HIV AIDS. Jakarta: Lembaga
kesehatan nahdatul ulama
Shatri, H., Faisal, E., Putranto, R., & Sampurna, B. (2020). Advanced Directives pada Perawatan
Paliatif. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 7(2), 125-132.
MUNTAMAH, U., & Kp, S. (2020). BUKU REFERENSI UNTUK PERAWAT “PEDOMAN
PERAWATAN PALIATIF PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI
RUMAH SAKIT”.
Natosba, J., & Andhini, D. (2017, December). GAMBARAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN
TINDAKAN PERAWATAN PALIATIF PERAWAT. In Proceeding Seminar
Nasional Keperawatan (Vol. 3, No. 1, pp. 218-222).

Zcorpius, Dedy. UMY. ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN HIV/AIDS 06, 2012

https://www.academia.edu/35527611/ASKEP_HIV_AIDS_PADA_ORANG_DEWASA

http://spiritia.or.id/cdn/files/dokumen/hatip-89:-menuju-paket-perawatan-pencegahan-dan-
paliatif-yang-memadai-_5c3595b9136a9.pdf

https://www.alodokter.com/tanda-hiv-pada-anak-yang-perlu-diwaspadai

Anda mungkin juga menyukai