Anda di halaman 1dari 52

KONSEP UNIVERSAL PRECAUTION YANG BERHUBUNGAN DENGAN

HIV/AIDS

OLEH KELOMPOK 6 :

1. Ida Ayu Putu Desta Candra Devi (17089014021)


2. Ni Luh Astri Kumala Devi.W (17089014011)
3. Gusti Ayu Putu Apriliani (17089014007)
4. I Gusti Ngurah Devasya Tindara (17089014022)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG


PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmat, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “KONSEP
UNIVERSAL PRECAUTION YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIV/AIDS
” yang disusun agar pembaca dapat mengetahui dan memahami konsep Konsep
Universal Precaution yang Berhubungan Dengan HIV/AIDS. Makalah ini diajukan
sebagai salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Keluarga. Makalah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi sempurnanya makalah ini, khususnya dari dosen mata kuliah guna
menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik  di masa yang akan
datang.
Semoga makalah ini memberikan informasi dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Singaraja, 19 Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................ii
Daftar Isi…………………………………………………………………….iii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang…………………………………………………..1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………….2
1.3 Tujuan…………………………………………………………...3
1.4 Manfaat…………………………………………………….…....3
Bab II Konsep Teori
2.1 Definisi Universal Precaution..………...………………………..4
2.2 Tujuan dan Manfaat Universal Precaution.………………..…....5
2.3 Universal Precaution di Rumah Sakit……………………..……5
2.4 Beberapa Jurnal………………………………………………...13
Bab III Analisis Jurnal
3.1 Judul dan Abstract………………………………………………....43
3.2 Justifikasi Metode dan Desain……………………………………..43
3.3 Pengumpulan data………………………………………………....44
3.4 Analisa Data…………………………………………………….....45
3.5 Kelebihan Jurnal…………………………………………………...45
3.6 Kekurangan Jurnal………………………………………………....46
Bab IV Penutup
3.1 Kesimpulan………………………………………………….....47
3.2 Saran……………………………………………………..…….47
Daftar Pustaka……………………………………………………………..48

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
HIV/AIDS adalah penyakit defisiensi imun sekunder yang paling umum
di dunia dan sekarang menjadi masalah epidemik dunia yang serius
(Ignatavicius & Workman, 2010). Menurut UNAIDS WHO (2009), total
orang hidup dengan positif HIV di dunia adalah 33,4 juta. Di Indonesia,
hingga Desember 2010 jumlah kasus AIDS baru yang dilaporkan adalah
1.405 kasus (P2PL, 2011).
Jumlah pasien HIV di Indonesia terus bertambah. Total jumlah pasien
HIV/AIDS yang dilaporkan sebanyak 4.159 orang (Pelita Ilmu, 2003).
Namun dari Badan Narkotika Nasional memperkirakan pada 2002 ada
110.000 orang mengidap HIV positif, dan yang lebih mengejutkan lagi
mereka memperkirakan pada 2005 terdapat 570.000 pengguna narkoba
suntik di mana 80% dari mereka diperkirakan HIV positif.
Peningkatan jumlah penderita HIV /AIDS saat ini sudah selayaknya
diikuti dengan peningkatan pengetahuan perawat dan keluarga yang merawat
pasien HIV/AIDS. Untuk perawat, tidak hanya pengetahuan saja yang
penting ditingkatkan namun juga keterampilan yang mereka miliki untuk
merawat pasien dengan HIV/AIDS baik di fasilitas kesehatan maupun di
masyarakat (WHO, 2004).
Dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, maka
diperlukan pelayanan kesehatan yang optimal. Pelayanan kesehatan adalah
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya pemenuhan
kebutuhan masyarakat, sehingga perlu sarana pelayanan kesehatan yang
strategis dan terjangkau oleh masyarakat. 4 Oleh karena itu, diperlukan
upaya peningkatan mutu fasilitas kesehatan yang menjadi prioritas dalam
pembangunan bidang kesehatan.
Dalam upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan diperlukan tenaga
kesehatan yang berkualitas, karena tenaga kesehatan mempunyai peranan

1
2

penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tenaga


kesehatan yang berkualitas tidak hanya memiliki etika dan moral yang tinggi
tetapi juga upaya untuk meningkatkan keahliannya secara terus menerus
melalui peningkatan pendidikan salah satunya. Pendidikan yang tinggi
diharapkan mampu membuat tenaga kesehatan berperilaku positif dalam
memahami dan melaksanakan prosedur universal precaution, selain
ditunjang oleh sarana dan prasarana, serta Standard Operating Procedure
(SOP) yang mengatur langkah langkah tindakan universal precaution.
Universal precaution merupakan pendekatan yang fokus pada tujuan
untuk melindungi pasien dan petugas kesehatan dari semua cairan lendir dan
zat tubuh (sekret dan ekskret) yang berpotensi menginfeksi bukan hanya
darah. Tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
pasien terjadi kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien,
sehingga dapat menjadi tempat dimana agen infeksius dapat hidup dan
berkembang biak yang kemudian menularkan dari pasien satu ke pasien yang
lainnya, khususnya bila kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh tidak
dilaksanakan terhadap semua pasien.
Universal precaution merupakan metode yang efektif untuk melindungi
petugas kesehatan dan pasien. Kemungkinan pasien menularkan HIV pada
saat pelayanan kesehatan sangat rendah yaitu sekitar 0,3% dan hal ini
kebanyakan dari kecelakaan jarum suntik dari pasien yang terinfeksi HIV
yang belum melalui proses desinfeksi atau sudah didesinfeksi namun tidak
adekuat. Metode ini sebenarnya bukan hal khusus untuk mencegah infeksi
HIV, melainkan prosedur yang sama untuk mencegah infeksi penyakit
lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan universal precaution ?
1.2.2 Apa saja tujuan dan manfaat dari universal precaution ?
1.2.3 Bagaimana universal precaution di rumah sakit ?
3

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan universal
precaution
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja manfaat dari universal precaution
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana universal precaution di rumah sakit
1.4 Manfaat
1.4.1 Agar pembaca dan penulis dapat memahami hasil analisis dari
jurnal Konsep Universal Precaution yang Berhubungan Dengan
HIV/AIDS
BAB II
KONSEP TEORI

2.1 Definisi Universal Precaution


Universal precaution merupakan tindakan pengendalian infeksi
sederhana yang digunakan oleh seluruh petugas kesehatan, untuk semua pasien,
pada semua tempat pelayanan dalam rangka mengurangi risiko penyebaran
infeksi (Nursalam, 2009).
Universal precaution merupakan metode yang efektif untuk melindungi
petugas kesehatan dan pasien. Kemungkinan pasien menularkan HIV pada saat
pelayanan kesehatan sangat rendah yaitu sekitar 0,3% dan hal ini kebanyakan
dari kecelakaan jarum suntik dari pasien yang terinfeksi HIV yang belum
melalui proses desinfeksi atau sudah didesinfeksi namun tidak adekuat. Metode
ini sebenarnya bukan hal khusus untuk mencegah infeksi HIV, melainkan
prosedur yang sama untuk mencegah infeksi penyakit lainnya.
Universal precaution adalah suatu metode atau petunjuk yang dirancang
oleh pusat dan kendali Pencegahan Penyakit untuk mereduksi penyebaran
penyakit dan infeksi pada penyedia pelayanan kesehatan dan pasien yang
terdapat di dalam ruang lingkup kesehatan ( Dailey, 2010).
Universal precaution adalah tindakan petugas kesehatan agar dalam
melaksanakan pekerjaannya tidak menimbulkan infeksi silang, yakni infeksi dari
dokter/petugas kesehatan ke pasien dan sebaliknya atau dari pasien satu ke
pasien lainnya.
Jadi dapat saya simpulkan bahwa universal precaution merupakan suatu
tindakan dimana tindakan pengendalian infeksi sederhana yang dimana
dipergunakan untuk seluruh petugas kesehatan guna untuk mengendalikan atau
mencegah penyebaran penyakit dan infeksi pada pelayanan kesehatan dan pasien
yang terdapat diruang lingkup lkesehatan.

4
5

2.2 Tujuan dan Manfaat Universal precaution


Tujuan Universal Precaution Menurut Nursalam (2009) Universal
precaution perlu diterapkan dengan tujuan untuk:
a. Mengendalikan infeksi secara konsisten
b. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak di
diagnosis atau tidak terlihat seperti berisiko
c. Mengurangi risiko bagi petugas kesehatan dan pasien
d. Asumsi bahwa risiko atau infeksi berbahaya.
Prinsip UPI di pelayanan kesehatan adalah menjaga higiene sanitasi
individu, higiene sanitasi ruangan, serta sterilisasi peralatan. Hal ini penting
mengingat sebagian orang yang terinfeksi virus lewat darah seperti HIV dan
HBV tidak menunjukkan gejala-gejala fisik.
Universal precaution diterapkan untuk melindungi setiap orang (pasien
dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak. Universal
precaution berlaku untuk darah, sekresi dan ekskresi(kecuali keringat), luka pada
kulit dan selaput lendir. Penerapan standar ini penting untuk mengurangi resiko
penularan mikroorganisme yang berasal dari sumber infeksi yang diketahui atau
tidak diketahui (misalnya pasien, benda terkontaminasi, jarum suntik bekas
pakai, dan spuit) di dalam sistem pelayanan kesehatan. Pencegahan yang baik
merupakan langkah awal untuk mencegah infeksi nosokomial bagi pasien rawat
inap. Cairan yang berpotensi infeksius di fasilitasi pelayanan kesehatan antara
lain darah, cairan semen, sekresi vagina, sekresi leher rahim, ASI, sekresi luka,
CSF (crebrospinal fluid), cairan amnion, cairan sendi, cairan perikardium
(Nursalam, 2009).
2.3 Universal Precaution di Rumah Sakit
2.3.1 Dasar Pemikiran Universal Precaution
Menurut Noviana (2016) pemahaman dan penerapan kewaspadaan
universal (universal precaution) disarana pelayanan kesehatan untuk mengurangi
resiko infeksi yang ditularkan melalui darah. Kewaspadaan universal, meliputi :
a. Cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah
melakukan tindakan/ perawatan.
6

b. Penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan.


c. Pengelolaan dan pembuangan alat-alat tajam dengan hati-hati.
d. Pengelolaan limbah yang tercemar darah/ cairan tubuh dengan
aman.
e. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan
dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi yang benar.
f. Melakukan skrining adanya antibodi HIV untuk mencegah
penyebaran melalui darah, produk darah dan donor darah.
g. Mencegah penyebaran HIV secara vertikal dari ibu yang
terinfeksi HIV ke anak yang dapat terjadi selama kehamilan, saat
persalinan dan saat menyusui.
WHO mencanangkan empat strategi pencegahan penularan HIV terhadap bayi, yaitu:
1) Mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV.
2) Bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang
tidak diinginkan.
3) Bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya.
4) Bila ibu dan anak sudah terinfeksi perlu diberikan dukungan dan
perawatan bagi ODHA dan keluarganya.
a) Layanan Voluntary Counseling & Testing (VCT), yakni
merupakan program pencegahan sekaligus jembatan untuk
mengakses layanan manajemen kasus (MK) dan CST (Care,
Support, Trade) atau perawatan, dukungan dan pengobatan bagi
ODHA. Layanan VCT meliputi pre test konseling, testing HIV,
dan post-test konseling. Kegiatan tes dan hasil dijalankan atas
dasar prinsip kerahasiaan.
b) Area Pencegahan HIV/Aids
Penyebaran HIV dipengaruhi oleh perilaku berisiko
kelompokkelompok masyarakat. Kegiatan-kegiatan dari
pencegahan dalam bentuk penyuluhan, promosi hidup sehat,
pendidikan sampai kepada cara menggunakan alat penvegahan
yang efektif dikemas sesuai dengan sasaran upaya pencegahan.
7

Dalam mengemas program-program pencegahan dibedakan


kelompok-kelompok sasaran sebagai berikut:
1) Kelompok tertular (infected people)
Kelompok tertular adalah mereka yang sudah terinfeksi
HIV. Pencegahan ditujukan untuk menghambat lajunya
perkembangan HIV, memelihara produktifitas individu
dan meningkatkan kualitas hidup.
2) Kelompok beresiko tertular atau rawan tertular (high risk
people) Kelompok beresiko tertular adalah mereka yang
berperilaku sedemikian rupa sehingga sangat beresiko
untuk tertular HIV. Dalam kelompok ini termasuk penjaja
seks, penyalahguna napza suntik dan pasangannya, waria
penjaja seks dan pelanggannya serta lelaki suka lelaki.
Karna kekhususannya, narapidana termasuk dalam
kelompok ini. Pencegahan untuk kelompok ini ditujukan
untuk mengubah perilaku berisiko menjadi perilaku
aman.
3) Kelompok rentan (vulnerable people) Kelompok rentan
adalah kelompok masyarakat yang karena lingkup
pekerjaan, lingkungan, ketahanan dan atau kesejahteraan
keluarga yang rendah dan status kesehatan yang labil,
sehingga rentan terhadap penularan HIV. Termasuk
dalam kelompok rentan adalah orang dengan moblitas
tinggi baik sipil maupun militer, perempuan remaja, anak
jalanan, pengungsi, ibu hamil, penerima transfusi darah,
dan petugas pelayanan kesehatan. Pencegahan untuk
kelompok ini ditujukan agar tidak melakukan
kegiatankegiatan yang beresiko tertular HIV
( Menghambat menuju kelompok berisiko).
4) Masyarakat Umum (general population) Masyarakat
umum adalah mereka yang tidak termasuk dalam tiga
8

kelompok terdahulu. Pencegahan ditujukan untuk


pneingkatan kewaspadaan, kepedulian dan keterlibatan
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/Aids
di lingkungannya.
2.3.2 Pelaksanaan universal precaution
Pelaksanaan universal precaution menurut Nursalam & kurniawati N.D.
(2009), yaitu:
a. Mencuci tangan
Mencuci tangan harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan keperawatan walaupun memakai sarung tangan
dan alat pelindung lainnya. Tindakan ini penting untuk
menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan
sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja
terjaga dari infeksi. Cuci tangan dilakukan dengan cara aseptic dan
cairan antiseptic. Cuci tangan dilakukan dengan antisipasi
perpindahan kuman melalui tangan, dilakukan pada saat tiba
dikantor, akan memeriksa, memakai sarung tangan, saat akan
melakukan injeksi, saat akan pulang ke rumah, setelah menyentuh
cairan tubuh (darah, mukosa dan cairan infeksius lain).
b. Pemakaian Alat Pelindung Diri
1) Sarung tangan, untuk mencegah perpindahan mikroorganisme
yang terdapat pada tangan petugas kesehatan kepada pasien,
dan mencegah kontak antara tangan petugas dengan darah
atau cairan tubuh pasien, selaput lendir, luka, alat kesehatan,
atau permukaan yang terkontaminasi.
2) Pelindung wajah (masker, kacamata, helm) : untuk mencegah
kontak antara droplet dari mulut dan hidung petugas yang
mengandung mikroorganisme ke pasien dan mencegah
kontak droplet/darah/cairan tubuh pasien kepada petugas.
3) Penutup kepala : untuk mencegah kontak dengan percikan
darah atau cairan tubuh pasien.
9

4) Gaun pelindung (baju kerja atau celemek) : untuk mencegah


kontak mikroorganisme dari pasien atau sebaliknya.
5) Sepatu pelindung: mencegah perlukaan kaki oleh benda tajam
yang terkontaminasi, juga terhadap darah dan cairan tubuh
lainnya. Indikasi pemakaian alat pelindung diri: tidak semua
alat pelindung diri harus dipakai, tergantung pada jenis
tindakan atau kegiatan yang akan dilakukan
c. Pengelolaan Alat Kesehatan
Pengelolaan alat kesehatan dapat mencegah penyebaran infeksi
melalui alat kesehatan, atau menjamin alat tersebut selalu dalam
kondisi steril dan siap pakai. Pemilihan pengelolaan alat tergantung
pada kegunaan alat dan berhubungan dengan tingkat risiko
penyebaran infeksi. Pengelolaan alat dilakukan melalui empat tahap:
1) Dekontaminasi
2) Pencucian
3) Sterilisasi atau DTT
4) Penyimpanan
2.3.3 Universal precaution Di Rumah Sakit
Universal precaution adalah suatu metode yang diterapkan untuk
melindungi setiap orang (pasien dan petugas kesehatan) apakah mereka
terinfeksi atau tidak. Penerapan universal precaution adalah merupakan upaya
untuk memberikan perlindungan, pencegahan dan meminimalkan infeksi silang
(cross infection) antara petugas yang melakukan kontak langsung terhadap
pasien dan cairan tubuh pasien yang terinfeksi penyakit menular.
Dengan pemahaman tenaga kesehatan yang terbatas mengenai universal
precaution ini, maka akan mempengaruhi tindakan dalam pelayanan kesehatan
yang dilakukan pada pasien, maka akan besar kemungkinan tindakan yang
diberikan tanpa memperhatikan standar pelayanan yang seharusnya berlaku.

1. Pemahaman Tenaga Kesehatan mengenai Pelaksanaan Universal


Precaution untuk Pencegahan HIV/AIDS
10

Hasil kajian menunjukkan bahwa 66,7 persem responden


mempunyai pemahaman yang kurang terhadap penatalaksanaan universal
precaution dan 33,3 persem responden termasuk dalam kategori
pemahaman sedang tentang penatalaksanaan universal precaution. Dalam
kategori pemahaman yang dipertanyakan adalah pemahaman responden
tentang universal precaution, antara lain tentang definisi, manfaat, tujuan,
rantai penularan, protokol/penatalaksanaan, kegiatan yang berisiko.
Kurangnya pemahaman tentang universal precaution dikarenakan tidak
adanya sosialisasi mengenai SOP untuk protokol universal precaution
kepada para petugas kesehatan, bahkan sebagian perawat tidak pernah
tahu ada SOP tentang protokol universal precaution. Hasil penelitian
serupa di salah satu RS di Malang juga menunjukkan 50 persen universal
precaution bagi tenaga kesehatan.
2. Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk pencegahan
HIV/AIDS
Universal precaution merupakan metode yang efektif untuk
melindungi petugas kesehatan dan juga pasien. Metode ini tidak hanya
untuk mencegah infeksi HIV tetapi juga mencegah infeksi lainnya.
Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa 85 persen responden
memberlakukan universal precaution hanya untuk pasien yang menderita
HIV/AIDS, yang dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan
penyebaran penyakit menular apabila tidak diatasi dengan benar. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan di RS di Provinsi Mazandaran,
bahwa pemahaman tenaga kesehatan serta mahasiswa kedokteran di sana
memiliki pemahaman yang rendah terhadap universal precaution, bahkan
mereka tidak bisa membedakan antara cairan tubuh yang dianggap
menular. Apabila tenaga kesehatan tidak bisa membedakan cairan yang
dapat menularkan penyakit, maka akan memberikan kontribusi dalam
peningkatan infeksi baik pada pasien, keluarga pasien maupun pada
tenaga kesehatan itu sendiri.
11

3. Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk Melindungi Petugas


Kesehatan
Universal precaution adalah suatu metode yang diterapkan untuk
melindungi setiap orang (pasien dan petugas kesehatan) apakah mereka
terinfeksi atau tidak. Penerapan universal precaution adalah merupakan
upaya untuk memberikan perlindungan, pencegahan dan meminimalkan
infeksi silang (cross infection) antara petugas yang melakukan kontak
langsung terhadap pasien dan cairan tubuh pasien yang terinfeksi
penyakit menular.
Dengan pemahaman tenaga kesehatan yang terbatas mengenai
universal precaution ini, maka akan mempengaruhi tindakan dalam
pelayanan kesehatan yang dilakukan pada pasien, maka akan besar
kemungkinan tindakan yang diberikan tanpa memperhatikan standar
pelayanan yang seharusnya berlaku.
4. Pemahaman Tenaga Kesehatan mengenai Penatalaksanaan Mencuci
Tangan
Penatalaksanaan protokol universal precaution salah satunya
adalah mencuci tangan dengan air bersih dan mengalir. Dalam hal ini
pemahaman tenaga kesehatan masih rendah, karena mereka mengetahui
kalau mencuci tangan itu hanya dengan air bersih jadi tidak masalah air
mengalir atau tidak.
5. Pemahaman mengenai Penatalaksanaan Alat Kesehatan dan Bahan
Bekas Pakai
Pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan
desinfeksi yang kurang tepat adalah merupakan faktor risiko infeksi di
sarana kesehatan. Tujuan pengelolaan alat kesehatan ini untuk mencegah
penyebaran infeksi dan menjamin alat tersebut dalam kondisi steril dan
siap pakai. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui empat
tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian, sterilisasi atau Dichloro-
DiphenylTrichloroethane (DDT) dan penyimpanan.
12

6. Pemahaman mengenai Membuang Sampah Medis pada Tempat Sampah


yang Khusus
Sampah medis adalah merupakan sampah dari rumah sakit yang
terpapar oleh darah atau cairan tubuh, hal ini disebut sebagai limbah
berisiko tinggi. Sampah rumah sakit harus dipilah agar sesuai dengan
jenis sampah medis, sehingga dapat ditampung berdasarkan jenisnya.
Dalam hal ini, perawat tidak pernah melakukan dekontaminasi sampah
medis berupa jarum suntik sebelum dibuang, dan mereka kadang
membuang sampah medis pada bak sampah biasa. Sampah medis
dibuang pada tempat sampah yang sama dengan sampah lainnya tanpa
dilakukan pemisahan jenis sampah. Hal ini karena petugas kesehatan
tidak mengetahui pengelolaan limbah medis dan pernah melakukan
pengelolaan limbah medis sehingga limbah medis (jarum suntik)
langsung dibuang pada bak sampah.
7. Pemahaman mengenai Penatalaksanaan Instrumen dan Linen
Instrumen dan linen harus diperhatikan cara penanganannya dan
pemrosesannya. Untuk instrumen dan linen yang tercemar darah maupun
cairan tubuh diberikan larutan klorin 0,5 persen, dan bila linen yang
tercemar maka diberika klorin 0,5 persen pada bagian yang terpapar
darah maupun cairan tubuh kemudian masukkan dalam plastik dan diikat
serta diberi label bahan menular sebelum dikirim ketempat pencucian.
Rendahnya pemahaman tenaga kesehatan mengenai universal
precaution menyebabkan rendahnya kepatuhan petugas kesehatan dalam
melaksanakan protokol universal precaution, dan berpotensi
meningkatkan penyebaran penyakit menular terutama HIV/AIDS. Hal ini
dapat dihindari bila semua faktor dapat diterapkan dengan baik dan
memaksimalkan tindakan universal precaution untuk pencegahan
HIV/AIDS di RS.
13

2.4 Jurnal 1
Jurnal Kesehatan Reproduksi, 8(2), 2017: 143-151
DOI: 10.22435/kespro.v8i2.4431.143-151
UNIVERSAL PRECAUTION: PEMAHAMAN TENAGA KESEHATAN
TERHADAP PENCEGAHAN HIV/AIDS
Universal Precaution: Understanding of Health Workers toward HIV/AIDS Prevention

Nana Noviana
Balitbang Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
Naskah masuk 1 Januari 2016; review 3 April 2017; disetujui terbit 31 Desember 2017

2.4.1 Abstract
One of the priorities of health development is the prevention of
the spread of infection especially HIV/AIDS. Increasing HIV/AIDS
prevalence also increases the risk of health workers working in health facilities
and may be exposed to infection and potentially life-threatening.
Prevention efforts are undertaken by improving the understanding of health
personnel about implementing universal precaution in providing health services
for HIV/AIDS prevention.
The study aims to identify information on universal precaution action for
HIV/AIDS prevention as evidence based for decision maker's consideration in
hospital policy.
The study was conducted with a qualitative approach presented by
descriptive explorative, both primary and secondary data in one referral
hospital in South Kalimantan in the inpatient room in 2012. Primary data
obtained through questionnaire on sample of 107 respondents, in-depth
interviews and observations. Secondary data is done by reviewing documents
against relevant books and regulations.
The study showed that most of the respondents were educated at D3
(72.0%), working period ≥ 5 years (63.6%), Understanding less (66.7%).
Understanding of health workers about universal precaution is still lacking
14

and at risk of of the hospital leaders to make a policy by seeking the refresher
of information, training on universal precaution and more motivating the health
officer to better understand the management of universal precaution
 Abstract
Salah satu prioritas pembangunan kesehatan adalah pencegahan
penyebaran infeksi terutama HIV/AIDS. Peningkatan prevalensi
HIV/AIDS juga meningkatkan risiko tenaga kesehatan yang bekerja di
fasilitas kesehatan dan dapat terpapar oleh infeksi dan potensial
membahayakan jiwanya. Upaya pencegahan yang dilakukan dengan
meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan mengenai pelaksanaan
universal precaution dalam memberikan pelayanan kesehatan untuk
pencegahan HIV/AIDS. Diperolehnya informasi pemahaman perawat
terhadap tindakan universal precaution untuk pencegahan HIV/AIDS
sebagai bahan masukan dan pertimbangan pengambil keputusan dalam
menentukan kebijakan di rumah sakit.
Kajian dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang disajikan secara
deskriptif eksploratif, baik data primer maupun sekunder di salah satu RS
rujukan di Kalimantan Selatan pada ruang rawat inap tahun 2012. Data
primer diperoleh melalui kuesioner pada sampel 107 responden,
wawancara mendalam dan pengamatan. Data sekunder dilakukan dengan
telaah dokumen terhadap buku dan peraturan yang terkait.
Hasil kajian menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan
D3 (72,0%), masa kerja ≥ 5 mengupayakan penyegaran informasi, pelatihan
mengenai universal precaution dan lebih memotivasi petugas kesehatan
agar lebih memahami penatalaksanaan universal precaution.
2.4.2 Pendahuluan
Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal salah satu upaya adalah dengan pencegahan penyebaran infeksi
terutama Human Immunodeficiency Virus (HIV)/Acquired Immunodeficiency
Syndrome (AIDS).1 Peningkatan prevalensi HIV/AIDS meningkatkan risiko
tenaga kesehatan yang bekerja di fasilitas kesehatan akan terpapar oleh infeksi
15

yang secara potensial dapat membahayakan jiwanya. Hal ini dapat terjadi
apabila tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan kesehatan tanpa
memperhatikan dan melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Dalam upaya
menurunkan risiko terinfeksi HIV/AIDS maka diperlukan peran Pemerintah dan
masyarakat untuk melaksanakan upaya pemeliharaan dan peningkatan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya secara optimal sesuai amanat
Undang-undang Kesehatan No. 36 tahun 2009.2 Sejak adanya pandemik AIDS,
konsep universal precaution telah diterapkan pada semua pasien dan spesimen
laboratorium tanpa mempedulikan diagnosis. Tindakan kewaspadaan universal
bertujuan untuk mencegah paparan tenaga kesehatan dan pasien terhadap darah
dan cairan tubuh yang dianggap berpotensi terinfeksi dan dapat ditularkan
melalui darah seperti tindakan HIV dan hepatitis B dan C.3
Dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal, maka
diperlukan pelayanan kesehatan yang optimal. Pelayanan kesehatan adalah
merupakan suatu hal yang sangat penting dalam upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat, sehingga perlu sarana pelayanan kesehatan yang strategis dan
terjangkau oleh masyarakat.4 Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan
mutu fasilitas kesehatan yang menjadi prioritas dalam pembangunan bidang
kesehatan.
Dalam upaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan diperlukan tenaga
kesehatan yang berkualitas, karena tenaga kesehatan mempunyai peranan
penting dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan
yang berkualitas tidak hanya memiliki etika dan moral yang tinggi tetapi juga
upaya untuk meningkatkan keahliannya secara terus menerus melalui
peningkatan pendidikan salah satunya. Pendidikan yang tinggi diharapkan
mampu membuat tenaga kesehatan berperilaku positif dalam memahami dan
melaksanakan prosedur universal precaution, selain ditunjang oleh sarana dan
prasarana, serta Standard Operating Procedure (SOP) yang mengatur langkah
langkah tindakan universal precaution.
Universal precaution merupakan pendekatan yang fokus pada tujuan
untuk melindungi pasien dan petugas kesehatan dari semua cairan lendir dan zat
16

tubuh (sekret dan ekskret) yang berpotensi menginfeksi bukan hanya darah.5
Tenaga kesehatan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien terjadi
kontak langsung dengan cairan tubuh atau darah pasien, sehingga dapat menjadi
tempat dimana agen infeksius dapat hidup dan berkembang biak yang kemudian
menularkan dari pasien satu ke pasien yang lainnya, khususnya bila
kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh tidak dilaksanakan terhadap
semua pasien.
Universal precaution merupakan metode yang efektif untuk melindungi
petugas kesehatan dan pasien. Kemungkinan pasien menularkan HIV pada saat
pelayanan kesehatan sangat rendah yaitu sekitar 0,3% dan hal ini kebanyakan
dari kecelakaan jarum suntik dari pasien yang terinfeksi HIV yang belum
melalui proses desinfeksi atau sudah didesinfeksi namun tidak adekuat. Metode
ini sebenarnya bukan hal khusus untuk mencegah infeksi HIV, melainkan
prosedur yang sama untuk mencegah infeksi penyakit lainnya.
Penerapan universal precaution ini tidak lepas dari peran masing-masing
pihak yang terlibat di dalamnya seperti pelaksana pelayanan dan para pengguna
jasa, yaitu pasien dan pengunjungnya. Untuk dapat bekerja secara maksimal,
tenaga kesehatan harus selalu mendapatkan perlindungan dari risiko tertular
penyakit. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 27 tahun 2017 tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan telah menyebutkan bahwa infeksi dapat muncul setelah pasien
pulang. Hal ini terkait dengan proses pelayanan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan.5 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Atlanta juga
merekomendasikan bahwa seluruh petugas kesehatan harus melakukan tindakan
pencegahan untuk mencegah cedera yang disebabkan oleh jarum, pisau bedah,
dan intrumen atau peralatan yang tajam. Data dari CDC memperkirakan setiap
tahun terjadi 385.000 kejadian luka akibat benda tajam yang terkontaminasi
darah pada tenaga kesehatan di rumah sakit di Amerika.
Dari hasil penelitian yang dilakukan di RS Karyadi Semarang
menunjukkan angka kepatuhan tenaga kesehatan untuk menerapkan penerapan
beberapa elemen universal precaution kurang dari 50 persen. Adapun hasil
17

penelitian jaringan epidemiologi nasional tahun 1992 tentang pengetahuan,


sikap, persepsi dan perilaku petugas kesehatan dalam rangka penerapan
universal precaution terutama yang berhubungan dengan potensi penyebaran
HIV/AIDS dalam tingkat memprihatinkan. Hal ini merupakan kontribusi dari
kelalaian tenaga kesehatan yang kurang, bahkan tidak melaksanakan protokol
universal precaution. Di RS Dr. Soetomo dan rumah sakit swasta di Surabaya,
terdapat 16 kasus kecelakaan kerja pada petugas kesehatan dalam dua tahun
terakhir meskipun setelah dievaluasi dan ditindaklanjuti terbukti tidak terpapar
HIV.
Kasus HIV/AIDS Provinsi Kalimantan Selatan termasuk dalam urutan
ke-27 dari 33 provinsi. Kasus HIV/AIDS Provinsi Kalimantan Selatan tersebar
di beberapa kabupaten di Kalimantan Selatan. Kota Banjarmasin yang
merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dan merupakan daerah yang
paling tinggi kasus AIDS dari kota yang ada di Kalimantan Selatan. Departemen
Kesehatan berdasarkan SK Menkes No. 760/Menkes/SK/VI/2007 menetapkan
salah satu rumah sakit di Kalimantan Selatan sebagai RS rujukan HIV/AIDS di
Provinsi Kalimantan Selatan.11 Hal ini dipandang perlu dilakukan dalam rangka
penanganan, penanggulangan dan untuk memberikan pelayanan kesehatan yang
bermutu bagi ODHA (Orang dengan HIV/AIDS).
Dari hasil pengamatan didapat bahwa SOP untuk protokol universal
precaution yang telah dibuat oleh rumah sakit tidak disosialisasikan kepada para
petugas kesehatan, bahkan sebagian perawat tidak pernah tahu ada SOP tentang
protokol universal precaution dan tidak pernah ada sanksi maupun rewards bagi
petugas kesehatan yang selalu melaksanakan maupun yang tidak melaksanakan
universal precaution. Meski belum ada data yang menyebutkan, namun
peningkatan risiko paramedis yang tidak diiringi dengan penerapan
penatalaksanaan universal precaution akan semakin meningkat dan
kemungkinan terpajan darah atau cairan tubuh pasien saat melakukan
tindakan.12 Dalam hal ini, peran petugas kesehatan sangatlah penting karena
melakukan kontak langsung dengan pasien dalam memberikan pelayanan.
Adapun elemen dalam kewaspadaan universal ini meliputi, pengelolaan alat
18

kesehatan, cuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung
di antaranya sarung tangan untuk mencegah kontak dengan darah serta cairan
infeksius yang lain, pengelolaan jarum dan alat tajam untuk mencegah
perlukaan, pengelolaan limbah.
Dari data tersebut diatas didapatkan bahwa kejadian HIV/AIDS terutama
di Kota Banjarmasin yang merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Selatan telah
mengalami peningkatan. Selain itu, karena Kota Banjarmasin merupakan
ibukota provinsi dan merupakan pusat perdagangan yang besar serta merupakan
tempat transit bagi penduduk yang melakukan transaksi dan aktifitas di Kota
Banjarmasin, maka akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan kejadian
HIV/AIDS.
Kajian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pemahaman tenaga
kesehatan mengenai pelaksanaan universal precaution untuk pencegahan
HIV/AIDS di RS rujukan ODHA di Banjarmasin. Kajian ini diharapkan dapat
memberikan informasi untuk meningkatkan pemahaman paramedis perawatan
terhadap standar pelayanan dan kewaspadaan universal sebagai upaya
pencegahan HIV/AIDS.

2.4.3 Metode Penelitian


Kajian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif yang disajikan
secara deskriptif eksploratif. Data primer dan sekunder dikumpulkan dengan
teknik pengumpulan data dilakukan melalui angket (kuesioner), wawancara
mendalam (in-depth interview), pengamatan langsung yang dilakukan pada
petugas kesehatan dalam memberikan tindakan pelayanan kepada pasien serta
melakukan pengamatan pada petugas kesehatan dalam melakukan penyimpanan
maupun membersihkan alat-alat kesehatan yang telah digunakan, dan telaah
dokumen.
Responden sebagai sampel kuantitatif sebanyak 107 orang. Data primer
diperoleh secara langsung dengan responden melalui kuesioner dan wawancara
mendalam, sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari buku dan peraturan
yang terkait. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pegawai
19

negeri sipil (PNS) yang bekerja di ruang rawat inap RS rujukan ODHA di
Banjarmasin dan dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012.
2.4.4 Hasil Pembahasan
Responden tenaga kesehatan sebanyak 107 orang behasil diwawancarai.
Tabel 1 menunjukkan karakteristik responden yang terdiri dari pendidikan dan
lama bekerja. Pendidikan Perawat dan Lama Bekerja
Tabel 1 berikut menyajikan karakteristik responden menurut pendidikan
dan lama bekerja di rumah sakit.
Tabel 1. Gambaran Karakteristik Responden
Karakteristik Jumlah Persentase
Pendidikan
Tinggi 29 27,1
Menengah 77 72,0
Rendah 1 0,9
Lama Bekerja
Baru < 5 39 36,4
tahun
Lama ≥ 5 68 63,6
tahun
Jumlah 107 100,0

Pemahaman Tentang Universal Precaution


Pemahaman tenaga kesehatan terhadap pelaksanaan universal precaution untuk
Pencegahan HIV/AIDS disajikan pada Tabel 2.

Pendidikan Perawat
Pendidikan responden terbanyak adalah mempunyai pendidikan menengah yaitu
D3 Keperawatan (72,0%). Pendidikan merupakan pembelajaran seumur hidup yang
terjadi disetiap sendi kehidupan. Pendidikan merupakan bimbingan untuk mengeluarkan
kemampuan yang tersimpan dalam diri seseorang sehingga dapat mengembangkan diri
semakin cerdas, dewasa dan matang. Semakin tinggi pendidikan paramedis perawat,
diharapkan akan mampu melaksanakan tindakan Universal Precaution dengan
professional. Asrini dkk menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pengetahuan
dalam masyarakat yaitu: 1) sosial ekonomi, 2) kultur (budaya dan agama), 3)
20

pendidikan, dan 4) pengalaman. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat
langgeng.14 Hasil penelitian mahasiswa juga menunjukkan adanya hubungan
Pengetahuan dengan sikap dan sikap dengan praktik terdapat hubungan yang signifikan
terhadap pencegahan infeksi
Tabel 2. Pemahaman tenaga kesehatan
Uraian Persentase Keterangan
Pemahaman Tenaga 66,7% Hasil kajian menunjukkan
Kesehatan mengenai bahwa (66,7%) responden
Pelaksanaan Universal mempunyai pemahaman
Precaution untuk yang kurang terhadap
Pencegahan HIV/AIDS. penatalaksanaanUniversal
Precaution
Pemahaman mengenai 85,0% Berdasarkan hasil kajian
Universal Precaution untuk diketahui bahwa (85,0%)
pencegahan HIV/AIDS. responden memberlakukan
Universal precaution hanya
untuk pasien yang
menderita HIV/AIDS
Pemahaman mengenai 75,7% Dari hasil kajian diketahui
Universal Precaution untuk bahwa 75,7% responden
melindungi petugas berpendapat bahwa
kesehatan. Universal Precaution
hanya efektif untuk
melindungi petugas
kesehatan.
Pemahaman Tenaga 65,4% Dari hasil kajian diketahui
kesehatan mengenai bahwa 65,4% responden
penatalaksanaan mencuci hanya tahu kalau salah satu
tangan Penatalaksanaan/protocol
Universal precaution
adalah mencuci tangan
dengan air bersih
Pemahaman mengenai 61,7% Dari hasil kajian diketahui
21

penatalaksanaan alat bahwa responden kurang


kesehatan dan bahan bekas memahami
pakai. penatalaksanaan peralatan
perlu didekontaminasi dan
disterilisasi sebesar 61,7%.
Pemahaman mengenai 74,8% Dari hasil kajian diketahui
membuang sampah medis 74,8% responden belum
pada tempat sampah yang memahami membuang
khusus. sampah medis pada tempat
sampah yang khusus.
Pemahaman mengenai 61,7% Dari hasil kajian diketahui
penatalaksanaan instrument bahwa responden kurang
dan linen. memahami
penatalaksanaan peralatan
perlu didekontaminasi dan
disterilisasi sebesar 61,7%

Lama Bekerja Tenaga Kesehatan


Lama masa kerja menunjukkan durasi pengalaman individu yang dapat
menentukan peningkatan keterampilan dan kemampuan tenaga kerja dalam pekerjaan.
Semakin lama dia bekerja akan semakin baik dalam melaksanakan tindakan universal
precaution.
Lama bekerja responden menunjukan bahwa sebagian besar responden termasuk
dalam kategori masa kerja lama ≥ 5 tahun (63,6%) dan selebihnya masuk dalam
kategori masa kerja baru 36,4 persem. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas
kesehatan yang bekerja di RS ini, bahwa dalam melaksanakan tugas selalu dikaitkan
dengan seberapa seniornya seseorang. Senioritas disini dikaitkan dengan masa kerja
seseorang, dan pengalaman bekerja seseorang. Senioritas ini dikaitkan dengan asumsi
bahwa semakin lama masa kerja seseorang maka semakin banyak pengalaman serta
kasus/kejadian yang ditangani dalam merawat pasien yang diharapkan akan membuat
seorang perawat akan mahir dan professional dalam menyelesaikan pekerjaan dalam
perawatan terhadap pasien. Hasil penelitian Ahmad Farizal Lutfi dkk, memperoleh hasil
22

adanya hubungan dengan tingkat keeratan sedang antara lama masa kerja tenaga
kesehatan dengan kemampuan triase hospital di Instalasi Gawat Darurat. Penelitian di
Pakistan juga menunjukkan hasil bahwa lama kerja mempengaruhi pengalaman tenaga
kesehatan.

Pemahaman Tenaga Kesehatan mengenai Pelaksanaan Universal Precaution untuk


Pencegahan HIV/AIDS
Hasil kajian menunjukkan bahwa 66,7 persem responden mempunyai
pemahaman yang kurang terhadap penatalaksanaan universal precaution dan 33,3
persem responden termasuk dalam kategori pemahaman sedang tentang
penatalaksanaan universal precaution. Dalam kategori pemahaman yang dipertanyakan
adalah pemahaman responden tentang universal precaution, antara lain tentang definisi,
manfaat, tujuan, rantai penularan, protokol/penatalaksanaan, kegiatan yang berisiko.
Kurangnya pemahaman tentang universal precaution dikarenakan tidak adanya
sosialisasi mengenai SOP untuk protokol universal precaution kepada para petugas
kesehatan, bahkan sebagian perawat tidak pernah tahu ada SOP tentang protokol
universal precaution. Hasil penelitian serupa di salah satu RS di Malang juga
menunjukkan 50 persen universal precaution bagi tenaga kesehatan.

Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk pencegahan HIV/AIDS


Universal precaution merupakan metode yang efektif untuk melindungi petugas
kesehatan dan juga pasien. Metode ini tidak hanya untuk mencegah infeksi HIV tetapi
juga mencegah infeksi lainnya. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa 85 persen
responden memberlakukan universal precaution hanya untuk pasien yang menderita
HIV/AIDS, yang dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan penyebaran
penyakit menular apabila tidak diatasi dengan benar.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di RS di Provinsi Mazandaran,
bahwa pemahaman tenaga kesehatan serta mahasiswa kedokteran di sana memiliki
pemahaman yang rendah terhadap universal precaution, bahkan mereka tidak bisa
membedakan antara cairan tubuh yang dianggap menular.18 Apabila tenaga kesehatan
tidak bisa membedakan cairan yang dapat menularkan penyakit, maka akan
23

memberikan kontribusi dalam peningkatan infeksi baik pada pasien, keluarga pasien
maupun pada tenaga kesehatan itu sendiri.

Pemahaman mengenai Universal Precaution untuk Melindungi Petugas Kesehatan


Universal precaution adalah suatu metode yang diterapkan untuk melindungi
setiap orang (pasien dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.
Penerapan universal precaution adalah merupakan upaya untuk memberikan
perlindungan, pencegahan dan meminimalkan infeksi silang (cross infection) antara
petugas yang melakukan kontak langsung terhadap pasien dan cairan tubuh pasien yang
terinfeksi penyakit menular.1,3 Dari hasil kajian diketahui bahwa 75,7 persen responden
berpendapat bahwa universal precaution hanya efektif untuk melindungi petugas
kesehatan.
Hal ini karena belum ada sosialisasi kepada petugas kesehatan mengenai
pentingnya protocol universal precaution bagi petugas kesehatan, sehingga sebagian
besar petugas kesehatan mempunyai pemahaman bahwa universal precaution hanya
untuk petugas kesehatan saja. Dengan pemahaman tenaga kesehatan yang terbatas
mengenai universal precaution ini, maka akan mempengaruhi tindakan dalam
pelayanan kesehatan yang dilakukan pada pasien, maka akan besar kemungkinan
tindakan yang diberikan tanpa memperhatikan standar pelayanan yang seharusnya
berlaku. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Ethiopia diketahui bahwa
ada beberapa praktek/ tindakan pencegahan yang dilakukan dengan tidak
konsisten.13,18 Sehingga keadaan ini menempatkan pasien dan petugas kesehatan
berisiko untuk tertular infeksi.

Pemahaman Tenaga Kesehatan mengenai Penatalaksanaan Mencuci Tangan


Penatalaksanaan protokol universal precaution salah satunya adalah mencuci
tangan dengan air bersih dan mengalir. Dalam hal ini pemahaman tenaga kesehatan
masih rendah, karena mereka mengetahui kalau mencuci tangan itu hanya dengan air
bersih jadi tidak masalah air mengalir atau tidak. Dari hasil kajian diketahui bahwa 65,4
persen responden hanya tahu kalau salah satu penatalaksanaan universal precaution
adalah mencuci tangan dengan air bersih. Dari hasil observasi ditemukan bahwa
24

beberapa tenaga kesehatan mencuci tangan dengan air dalam waskom bukan dengan air
yang mengalir. Tidak hanya itu, dari hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap 10
orang paramedis perawatan, didapatkan data hanya dua orang yang benar-benar
menggunakan sarung tangan dalam setiap melakukan tindakan keperawatan.
Hal ini juga terjadi di RS di Provinsi Mazandaran,18 bahwa pemahaman tenaga
kesehatan serta mahasiswa kedokteran di sana memiliki pemahaman yang rendah
terhadap universal precaution dalam melakukan cuci tangan. Hasil penelitian di salah
satu RS swasta di Malang melaporkan hasil 50 persen yang mempunyai kebiasaan cuci
tangan.17

Pemahaman mengenai Penatalaksanaan Alat Kesehatan dan Bahan Bekas Pakai


Pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan desinfeksi yang kurang
tepat adalah merupakan faktor risiko infeksi di sarana kesehatan. Tujuan pengelolaan
alat kesehatan ini untuk mencegah penyebaran infeksi dan menjamin alat tersebut dalam
kondisi steril dan siap pakai. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui empat
tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian, sterilisasi atau Dichloro-Diphenyl-
Trichloroethane (DDT) dan penyimpanan. Dari hasil kajian diketahui bahwa responden
kurang memahami penatalaksanaan peralatan perlu didekontaminasi dan disterilisasi
sebesar 61,7 persen.
Hal ini karena tenaga kesehatan melakukan sterilisasi sendiri alat-alat kesehatan.
Dari hasil observasi, alat kesehatan yang telah digunakan langsung dicuci dengan air
dan air sabun kemudian dibilas tanpa dilakukan perendaman dengan larutan klorin. Hal
ini dapat meningkatkan penyebaran infeksi bila tidak dilakukan proses penatalaksanaan
peralatan secara tepat. Dari hasil penelitian RS di Provinsi Mazandaran, bahwa
pemahaman tenaga kesehatan serta mahasiswa kedokteran mengenai penatalaksanaan
jarum suntik di sana masih rendah.18

Pemahaman mengenai Membuang Sampah Medis pada Tempat Sampah yang


Khusus
Sampah medis adalah merupakan sampah dari rumah sakit yang terpapar oleh
darah atau cairan tubuh, hal ini disebut sebagai limbah berisiko tinggi. Sampah rumah
25

sakit harus dipilah agar sesuai dengan jenis sampah medis, sehingga dapat ditampung
berdasarkan jenisnya. Dalam hal ini, perawat tidak pernah melakukan dekontaminasi
sampah medis berupa jarum suntik sebelum dibuang, dan mereka kadang membuang
sampah medis pada bak sampah biasa.
Dari hasil kajian diketahui 74,8 persen responden belum memahami membuang
sampah medis pada tempat sampah yang khusus. Sampah medis dibuang pada tempat
sampah yang sama dengan sampah lainnya tanpa dilakukan pemisahan jenis sampah.
Hal ini karena petugas kesehatan tidak mengetahui pengelolaan limbah medis dan
pernah melakukan pengelolaan limbah medis sehingga limbah medis (jarum suntik)
langsung dibuang pada bak sampah. Rendahnya kesadaran tenaga kesehatan dalam
pembuangan sampah pada tempat khusus juga terjadi di rumah sakit di Provinsi
Mazandaran, Iran.18

Pemahaman mengenai Penatalaksanaan Instrumen dan Linen


Instrumen dan linen harus diperhatikan cara penanganannya dan pemrosesannya.
Untuk instrumen dan linen yang tercemar darah maupun cairan tubuh diberikan larutan
klorin 0,5 persen, dan bila linen yang tercemar maka diberika klorin 0,5 persen pada
bagian yang terpapar darah maupun cairan tubuh kemudian masukkan dalam plastik dan
diikat serta diberi label bahan menular sebelum dikirim ketempat pencucian.1 Dari hasil
kajian diketahui bahwa 80,4 persen responden tidak memahami penatalaksanaan
instrumen dan linen dalam cairan klorin, instrumen dan linen seharusnya direndam
selama 10 menit sebelum dicuci biasa. Mereka tidak memahami berapa lama harus
merendam alat maupun linen karena mereka tidak melakukan pencucian terutama untuk
linen. Pemahaman yang rendah juga terjadi pada penelitian di RS Manzandaran
mengenai penatalaksanaan baju atau kain.
Berbagai penelitian telah melaporkan, bahwa kebijakan untuk universal
precaution tidak berjalan sesuai harapan. Kepatuhan petugas kesehatan bervariasi.
Kekurangan ini mencerminkan keterbatasan pendekatan keselamatan yang bergantung
pada kepatuhan aktif oleh individu, dan bukan pada kontrol lingkungan pasif.
Rendahnya pemahaman tenaga kesehatan mengenai universal precaution menyebabkan
rendahnya kepatuhan petugas kesehatan dalam melaksanakan protokol universal
26

precaution, dan berpotensi meningkatkan penyebaran penyakit menular terutama


HIV/AIDS. Hal ini dapat dihindari bila semua faktor dapat diterapkan dengan baik dan
memaksimalkan tindakan universal precaution untuk pencegahan HIV/AIDS di RS
rujukan ODHA Banjarmasin.
Perlu dilakukan berbagai upaya kegiatan dalam pelaksanaan universal
precaution untuk pencegahan HIV/AIDS dengan memaksimalkan tindakan universal
precaution yang dapat memberikan perlindungan yang baik bagi perawat dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya serta pasien yang menerima pelayanan kesehatan
agar terhindar dari HIV/AIDS.
Untuk meningkatkan pemahaman tenaga kesehatan dalam pelaksanaan Universal
Precaution perlu dilakukan pelatihan bagi tenaga kesehatan.
KESIMPULAN
Pemahaman tenaga kesehatan mengenai Universal Precaution yang masih kurang
sehingga kepatuhan petugas kesehatan dalam melaksanakan protocol Universal
Precaution juga rendah.
SARAN
Yang dapat dilakukan adalah berbagai kegiatan untuk memaksimalkan tindakan
universal precaution. Selain itu, perlu adanya pelatihan atau penyegaran informasi
mengenai penatalaksanaan universal precaution yang telah ditetapkan di rumah sakit
serta memasang protokol universal precaution ditempat yang mudah dilihat petugas
kesehatan. Rendahnya pemahaman perawat dalam melaksanakan protocol universal
precaution untuk pencegahan HIV/AIDS setiap melakukan perawatan pada semua
pasien sehingga perlu meningkatkan motivasi dari partner kerja untuk selalu
melaksanakan universal precaution.
2.5 Jurnal 2
The 2nd University Research Coloquium 2015 ISSN 2407-9189215

PENGELOLAAN UNIVERSAL PRECAUTION DALAM PENCEGAHAN


PENYAKIT HIV/AIDS DI RSUD TUGUREJO SEMARANG
Dwi Retnaningsih
Program Studi Ilmu Keperawatan, STIKES Widya Husada Semarang
27

Email: dwiretnaningsih81@yahoo.co.id
2.5.1 Abstract
Forms of Family Support to Mothers With HIV Positive in Compliance
With ARV Therapy in The City of Semarang; Health workers have the risk is
high enough to be exposed to HIV/AIDS trough splashing of blood or body
fluids at a time when the procedure is done at the time of processingor treatment
in hospital. In its development of the new policy began called Universal
Precaution which aims to prevent transmission between patients and health care
personnel either in the hospital or other health services. This study aims to
explore the management universal precaution of HIV/AIDS disease prevention
in the RSUD Tugurejo Semarang.This research used the qualitative approach
with the method of case study research team performed against managers
control the prevention of infection in this case team PPI from RSUD Tugurejo
Semarang and the officer who runs the execution of the operations. This
research showed that Implementation of the universal precaution in RSUD
Tugurejo has been since May 2010. From the input factors include human
resources, PPI team structure headed by a physician, assisted by 3 people IPCN
and IPCLN every office, infrastructure is not yet complete and will be improved
completeness, still a global financial organization refers Hospital policies,
factors of process that includes planning work program refers to the guide
books, organizing, and controlling; factor output is seen from a number of
health care personnel who apply universal precaution; and the feedback factor
include surveillans and evaluation in the implementation on the ground is still
based on the PPI manual and have not adapted to the conditions in the RSUD
Tugurejo that are still in the process of adaptation, development and repair.
Human resources have enough like standard. Financial programme haven’t
made specific yet. The completeness of tools have been improved day by day. A
little of policy still uses manual from central.Planning, organizing and
controlling grounded on manual and be appropriated with field condition.
According IPCN data, all of health worker obedient in to universal precaution
28

implementation. Surveillans and evaluation did each month with continued data
invention socialiszation.
2.5.2 Pendahuluan
Kasus HIV/AIDS di Indonesia memasuki taraf epidemi terkonsentrasi
atau dalam ilmu epidemi, red epidemic level (tingkat epidemi merah), dalam arti
kata lebih dari 5 % kelompok orang perilaku resiko tinggi telah terpapar
HIV/AIDS2. Menurut menteri kesehatan Nafsiah Mboi, data jumlah kasus AIDS
tahun ini dilihat sampai dengan September 2012 sudah sebanyak 15.372 kasus
dan diperkirakan akan bertambah hingga akhir tahun ini.(Agustia R, 2013).
Di tingkat Provinsi Jawa Tengah, jumlah orang dengan AIDS (ODHA)
sebanyak 1.745 orang (Data dari Tahun 1993 sampai dengan 30 September
2011). Penderita HIV/AIDS yang meninggal dunia dari Januari hingga
September 2012 tercatat 108. Berdasarkan data Komisi Penanggulangan
HIV/AIDS Provinsi Jawa Tengah, pengidap HIV/AIDS terbesar di Jawa Tengah
berada di Kota Semarang. Sejak tahun 1993 hingga Juni 2011, tercatat 504
orang yang positif terinfeksi HIV dan 169 orang dengan AIDS di Kota
Semarang. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan sejak
Januari hingga September 2012, 110 kasus HIV/AIDS tercatat di Semarang dan
menjadikannya sebagai kota tertinggi jumlah penderita HIV/AIDS di Jawa
Tengah.(Assifa F, 2013)
Penyakit HIV/AIDS sejak diketahui oleh pemerhati kesehatan, mulai
dikembangkan kebijakan baru yang bernama Kewaspadaan Universal.
Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan tertentu lain dapat
mengandung infeksi, tidak memandang status sumbernya Universal Precaution
adalah pedoman untuk melindungi pekerja kesehatan dari infeksi HIV/AIDS dan
lainnya. Pedoman ini dengan cepat dikembangkan dan kemudian dikenal sebagai
Kewaspadaan Universal (UP). Dari saat UP diterbitkan dan mulai
diimplementasikan oleh rumah sakit serta klinik, diakui bahwa strategi UP
tersebut sangat bermanfaat karena dapat melindungi tenaga kesehatan di rumah
sakit. Banyak orang terkena infeksi melalui darah seperti HIV / AIDS tidak
memiliki gejala, dan tidak terlihat terinfeksi, UP berfokus pada melindungi
29

pasien dan petugas kesehatan dari terpaparnya cairan tubuh yang berpotensi
terinfeksi (termasuk sekresi dan ekskresi, bukan hanya darah).(Muchtarudin M,
2007).
Belum maksimalnya penyediaan sarana prasarana untuk menunjang
universal precaution serta kurangnya pengawasan, berisiko terhadap terjadinya
kecelakaan kerja yang berakibat pada penularan penyakit. Kecelakaan kerja
yang berakibat pada penularan penyakit pada tenaga kesehatan pernah
ditemukan di RSUP Dr.M.Djamil, Padang. Selama tahun 2009 ditemukan
sebanyak 9 kasus, sedangkan tahun 2010 sebanyak 6 kasus. Diantara kasus yang
terjadi adalah tertusuk jarum bekas pakai pasien HIV/AIDS. (Aulia P, 2011.
Rumah Sakit Tugurejo Semarang adalah rumah sakit milik pemerintah
Propinsi Jawa Tengah yang terletak di kota Semarang dan merupakan rumah
sakit pendidikan tipe B sehingga rumah sakit Tugurejo Semarang menjadi
rumah sakit pendidikan (teaching hospital) dan juga sebagai lahan praktek bagi
mahasiswa program kedokteran, keperawatan, Kebidanan, dari beberapa institusi
pendidikan. Dijadikannya RS Tugurejo Semarang sebagai Rumah Sakit
pendidikan sudah seyogyanya tenaga kesehatan Rumah Sakit Tugurejo
Semarang menjadi suri tauladan bagi mahasiswa dalam hal tindakan maupun
penanganan kepada klien haruslah dengan prosedur tetap yang telah disesuaikan
dengan kriteria yang dianjurkan oleh Depkes. (Depkes RI, 1999Data
pendahuluan yang dilakukan di RSUD Tugurejo didapatkan dari bulan Februari
2010 sampai dengan Oktober 2011 didapatkan pasien dengan penyakit
HIV/AIDS sejumlah 39 orang. Sedangkan untuk data penyakit infeksi dari bulan
februari sampai dengan November 2013 ada 159 penyakit infeksi yang
dilaporkan oleh rekam medik.
Berdasarkan informasi pendahuluan dari tim penanggulangan penyakit
infeksi di RS. Tugurejo pernah ditemui laporan tenaga kesehatan yang terkena
atau terpapar jarum suntik bekas digunakan untuk menyuntik pasien, namun data
jumlah tenaga kesehatan yang terkena belum ada data yang pasti. Kasus ini
terjadi karena perawat masih saja memasukkan jarum suntik ke dalam spuitnya
dengan menggunakan dua tangan yang seharusnya langsung dibuang tanpa harus
30

menutup kembali spuitnya atau menutup dengan satu tangan. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi pengelolaan Universal Precaution
Dalam pencegahan penyakit Hiv/AIDS di RSUD Tugurejo Semarang.
2.5.3 Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan
kualitatif. Pelaksanaan penelitian dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang.
Penelitian dilakukan terhadap tim pengelola pengendalian pencegahan infeksi
dalam hal ini Tim Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Infeksi (TPPI) dari
RS Tugurejo Semarang serta petugas yang menjalankan pelaksanaan
pengelolaannya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah peneliti
sendiri dengan pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka
yang berhubungan dengan informan, sehingga pelaksanaan pengumpulan data
dapat berlangsung efisien. Pengolahan data dengan menggunakan langkah-
langkah analisis data kualitatif yang meliputi : transcribing, reduksi data,
penyajian data, dan kesimpulan. Setelah itu dilakukan validitas dan reliabilitas
untuk menunjang keabsahan hasil penelitian yaitu dengan cara crosscheck.
2.5.4 Hasil Pembahasan
Karakteristik Informan
Tabel 1. Karakteristik Informan Utama Berdasarkan Pendidikan, Pekerjaan, Usia dan
Masa Kerja
No Informan Pendidikan Pekerjaan Usia Masa
Kerja
1 Informan 1 Spesialis Bedah Mulut Ketua Komite 50 thn 23
thn
2 Informan 2 Sarjana Keperawatan IPCN 38 thn 12
thn
3 Informan 3 Sarjana Keperawatan IPCN 40 thn 17
thn
4 Informan 4 Sarjana Keperawatan IPCN 39 thn
15 thn
5 Informan 5 Sarjana Keperawatan IPCLN 37 thn
16 thn
6 Informan 6 D3 Keperawatan IPCLN 38 thn
31

10 thn

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat tingkat pendidikan informan utama sebagian besar
sarjana hanya 1 yang tingkat spesialis dan 1 diploma 3. Usia informan utama yang
paling tinggi adalah 50 tahun sedangkan paling rendah 37 tahun. Masa kerja informan
utama yang paling lama mencapai 23 tahun dan yang paling sedikit 10 tahun. Sementara
yang lainnya berkisar 12-17 tahun.
Aspek Input Pengelolaan Universal Precaution Dalam Pencegahan Penyakit
HIV/AIDS di RSUD Tugurejo.
Sumber Daya Manusia
Di RSUD Tugurejo, pengelolaan Universal Precaution dalam Pencegahan
Penyakit HIV/AIDS dilakukan oleh Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Rumah Sakit/KPPIRS. Menurut ketua komite dan IPCN terdapat tim tersendiri yang
khusus menangani pengelolaan universal precaution. Tim tersebut terdiri dari tiga IPCN
dimana tiap IPCN dibantu oleh IPCLN dalam mengelola UP di setiap ruangannya
Jumlah SDM sudah mencukupi sesuai dengan standar yang ada yaitu setiap IPCN
bertanggung jawab atas 150 kamar. Seluruh IPCN sudah mendapat pelatihan tentang
PPI dasar, hanya satu orang IPCN yang belum mendapat pelatihan IPCN mengingat
pelatihan hanya diadakan 2 kali dalam setahun dan jumlah peserta pun dibatasi.
Secara keorganisasian fungsional komite pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial berada di bawah kepala rumah sakit. Ketua Komite saat ini dipegang oleh
dokter yang sudah pernah mendapat pendidikan dan pelatihan mengenai infeksi
nosokomial. Komite ini mempunyai 3 IPCN (Infection Prevention and Control Nurse).
Ketiga IPCN sebelumnya pernah menjabat sebagai kepala ruangan dan sudah pernah
mendapat pendidikan dan pelatihan tentang pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial. Menurut informan, komite PPI sudah agak lama terbentuk namun masih
belum memadai yakni masih paruh waktu, baru pada akhir tahun menjadi tenaga full
time.
Untuk menjamin sumber daya manusia bekerja secara efektif ditetapkan syarat –
syarat teknis yang harus dimiliki oleh personalia yang terlibat.(Depkes RI, 1999)
Kriteria yang ditetapkan untuk ketua komite adalah dokter yang mempunyai minat
32

dalam PPI, sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI serta memiliki
kemampuan leadership. Adapun kriteria untuk IPCN adalah : Perawat dengan
pendidikan minimal D3 dan memiliki sertifikasi PPI, memiliki komitmen di bidang
pencegahan dan pengendalian infeksi, memiliki pengalaman sebagai Kepala Ruangan
atau setara, memiliki kemampuan leadership, inovatif dan confident, bekerja purna
waktu.(Depkes RI, 2004)
Personalia dalam pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit
HIV/AIDS di RSUD Tugurejo sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan. Ketua komite
adalah dokter yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan dasar PPI serta memiliki
kemampuan leadership dan berkomitmen. Demikian pula 3 orang IPCN yang
sebelumnya adalah kepala ruangan yang tentunya memiliki kemampuan leadership dan
inovatif. Ketiganya memiliki komitmen dan sejak ada surat keputusan penetapan dari
direktur RSUD Tugurejo, ketiganya bekerja sebagai IPCN secara purna waktu.
Sumber daya manusia merupakan pelaku dalam manajemen, yang bekerja sama
untuk mencapai tujuan. Sumber daya manusia juga berperan penting, karena yang akan
menjalankan metode dan menggunakan sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan.
(Graham AJ, 2001) Pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit
HIV/AIDS memerlukan sumber daya manusia yang mampu memahami metode yang
akan dijalankan, mampu menggunakan sarana dan prasarana. Di samping itu diperlukan
komitmen untuk melaksanakannya.(Rasmuson RM,1988)
Pelaksana pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit
HIV/AIDS sesuai dengan standar yang berlaku melibatkan seluruh unit yang ada di
rumah sakit. Sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan universal
precaution sesuai dengan penetapan Direktur Rumah Sakit Umum no 445/014/2010,
tergabung dalam suatu komite yang meliputi dokter ahli epidemiologi, dokter
mikrobiologi, laboratorium, farmasi, perawat pengendalian penyakit infeksi, laundry,
bagian sarana prasarana, bagian sterilisasi, sanitasi, gizi, petugas kebersihan, Kesehatan
Keselamatan Kerja (K3), serta petugas kamar jenazah. Perencanaan sumber daya
manusia sebagai pelaksana utama dari universal precaution baru ada ketua komite,
IPCN (Infection Prevention And Control Nurse) serta IPCLN (Infection Prevention And
33

Control Link Nurse). Penetapan personalia yang menjadi ketua komite, IPCN maupun
IPCLN juga baru dilakukan. (Gerry M. 2004).

Keuangan
Perencanaan keuangan dalam pengelolaan universal precaution dalam
pencegahan penyakit HIV/AIDS di RSUD Tugurejo belum dilakukan secara terperinci.
Tim PPI menyatakan belum ada perencanaan keuangan secara khusus, keuangan
mengikuti rumah sakit secara umum. Kondisi keuangan tim PPI di RSUD Tugurejo
sampai saat ini masih stabil, karena anggaran sesuai dengan proposal yang diajukan
kepada pimpinan. Biaya untuk pembelian APD pasien dibebankan kepada pasien itu
sendiri.
Keuangan merupakan alat yang penting untuk mencapai tujuan karena segala
sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Perencanaan keuangan harus meliputi
perencanaan untuk pembiayaan gaji tenaga kerja serta alat – alat yang diperlukan dan
harus dibeli. Di dalam perencanaan keuangan juga perlu diperhatikan sumber dana
untuk pembiayaannya. Perencanaan keuangan yang baik akan menjamin sarana dan
prasarana serta sumber daya manusia selalu tersedia ketika dibutuhkan sehingga
kegiatan organisasi dapat berjalan dengan lancar.( Horan ME, 2006)
Pembiayaan untuk kegiatan – kegiatan yang akan dilakukan diambilkan dari unit
– unit yang berkaitan dengan kegiatan tersebut, sebagai contoh untuk pembiayaan
pendidikan dan pelatihan universal precaution bagi tenaga kesehatan, dibebankan
kepada bagian pendidikan dan pelatihan.( Linda J &Taylor S, 1999) Selama ini kegiatan
– kegiatan terkait pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit
HIV/AIDS sudah dilakukan oleh unit VCT sehingga sudah ada anggarannya. Namun
untuk sarana – prasarana maupun pembiayaan kegiatan lain yang belum dilakukan, pada
akhirnya belum dianggarkan. Sehingga sarana dan prasarana yang harus ada belum
semuanya terpenuhi. Demikian pula kegiatan – kegiatan untuk pengelolaan universal
precaution dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS belum sepenuhnya dilakukan,
ataupun jika mendesak maka akan dibebankan pada unit yang terkait.(Pottinger JM,
1997)
34

Tata cara kerja yang baik diperlukan untuk menjamin kelancaran kegiatan.
Pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS perlu
ditunjang oleh perencanaan secara rinci dalam strategi dan langkah yang memerlukan
koordinasi dari banyak pihak, sumber daya manusia, maupun unit – unit pelayanan yang
terdapat di rumah sakit.(Depkes RI, 1999) Program harus dijabarkan secara tertulis dan
menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dan sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan.
Program pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan.

Sarana dan Prasarana


Kegiatan pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit
HIV/AIDS, memerlukan fasilitas, sarana dan prasarana. Alat-alat APD memang
sepenuhnya belum lengkap, akan tetapi dari waktu ke waktu tim PPI berusaha
melengkapi peralatan yang ada disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Penggunaan
sarana dan prasarana yang memadai akan membawa kemudahan serta menciptakan
efesiensi kerja.(Mandal BK, et.al. 2008) Berdasarkan standar yang ada sarana dan
prasarana yang diperlukan paling tidak meliputi sarana kesekretariatan, kebijakan dan
standar prosedur operasional, serta pengembangan dan pendidikan. RSUD Tugurejo
telah memiliki ruang kesekretariatan khusus untuk tim PPIRS. Pengadaan ruang masih
relatif baru sehingga sarana kesekretariatan masih ada beberapa yang dalam proses
persiapan. Perlengkapan kantor secara umum juga sudah terdapat di ruang
kesekretariatan.

Peraturan/Kebijakan
Menurut ketua komite dan IPCN peraturan tentang pengelolaan UP di RS
Tugurejo menurut pedoman PPI. Peraturan-peraturan yang masih belum ada, akan
diperbaharui dan dilengkapi sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Seperti
penuturan ketua komite dan IPCN, menurut IPCLN kebijakan/peraturan tentang
pengelolaan universal precaution disusun oleh tim PPI dan dituangkan ke dalam buku
pedoman PPI yang disahkan oleh Direktur rumah sakit. Namun demikian, kebijakan dan
standar prosedur operasional yang meliputi kebijakan manajemen dan kebijakan teknis,
35

sebagian besar masih menggunakan panduan dari pusat. Kebijakan yang dibuat oleh
pihak rumah sakit baru yang berkaitan dengan keorganisasian tim PPI.
Sesuai dengan buku Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya menyatakan tentang
kebijakan yang meliputi semua rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
harus melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).(Depkes RI, 2008)
1. Pelaksanaan PPI yang dimaksud sesuai dengan Pedoman Manajerial Pencegahan
dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Lainnya dan pedoman PPI lainnya yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan RI.
2. Direktur rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya membentuk
Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (KPPI) dan Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi (TPPI) yang langsung berada dibawah koordinasi direktur.
3. Komite dan Tim PPI mempunyai tugas, fungsi dan kewenangan yang jelas
sesuai dengan Pedoman Manajerial Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya.
4. Untuk lancarnya kegiatan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi, maka setiap
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya wajib memiliki IPCN
(Infection Prevention and Control Nurse) purna waktu.

Aspek Proses Pengelolaan Universal Precaution Dalam Pencegahan Penyakit


HIV/AIDS di RSUD Tugurejo
Perencanaan
Program kerja di RSUD Tugurejo untuk pengelolaan universal precaution dalam
pencegahan penyakit HIV/AIDS dibuat dengan mengacu pada buku panduan secara
umum. Belum dilakukan perincian program kerja yang disesuaikan dengan kondisi di
RSUD Tugurejo. Unsur perencanaan dalam program kerja tercakup dalam kegiatan
surveillans. Bagi tim PPI RSUD Tugurejo, surveillans saat ini sangat diperlukan untuk
mengetahui permasalahan potensial yang ada terkait pelaksanaan universal precaution
dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS. Hasil dari surveillans dapat digunakan sebagai
acuan pembuatan kebijakan – kebijakan maupun standar prosedur operasional yang
36

sudah disesuaikan dengan kondisi rumah sakit mengingat saat ini yang digunakan
adalah standar prosedur operasional maupun kebijakan dari pusat yang bersifat umum.
Pelaksanaan di dalam program kerja tercakup dalam kegiatan sosialisasi maupun
pembuatan kebijakan dan standar prosedur operasional yang diperlukan. Pembinaan
diprogramkan untuk dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi
tenaga kesehatan setiap 3 bulan sekali. Sosialisasi juga diprogramkan untuk dilakukan
memanfaatkan waktu – waktu pertemuan seluruh tenaga kesehatan maupun staf rumah
sakit, sebagai contoh pada saat apel. Pengawasan direncanakan dilakukan dengan
pelaporan di setiap ruangan setiap hari dengan formulir yang berisi poin-poin indikator
yang akan dievaluasi.(Prabowo H. 1996)

Pengorganisasian
Setiap sistem melakukan kegiatan atau proses transformasi atau proses
mengubah masukan menjadi keluaran. Proses pengelolaan universal precaution dalam
pencegahan penyakit HIV/AIDS merupakan pengorganisasian sumber daya manusia
dan keuangan, serta teknis operasional sebagai bentuk dari pelaksanaan (actuating).
(Poerwandari E & Kristi. 1998) Pengorganisasian pada prinsipnya membuat
penggunaan maksimal dari sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana
dengan baik. Pengorganisasian yang berkaitan dengan sumber daya manusia terwujud
dalam suatu struktur organisasi.
Dalam struktur organisasi, ditentukan bagaimana pekerjaan didistribusikan,
dikelompokkan dan dikoordinasikan secara formal. Struktur organisasi juga akan
menunjukkan susunan dan hubungan antar tiap bagian berdasarkan posisi yang ada pada
organisasi dalam menjalin kegiatan operasional untuk mencapai tujuan. Prinsipnya di
dalam struktur organisasi terdapat dua tingkatan organisasi yaitu tingkat penentu atau
penyusun kebijakan dan tingkat pelaksana kebijakan.(Nawawi, 2006) Komite PPIRS di
RSUD Tugurejo secara organisasional langsung berada di bawah direktur RSUD
Tugurejo. Struktur organisasi komite PPI juga sudah ada meskipun belum lengkap
sebagaimana di dalam buku panduan, namun disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
Meskipun di dalam surat ketetapannya anggota komite meliputi dokter ahli
epidemiologi, dokter mikrobiologi, laboratorium, farmasi, perawat pengendalian
37

penyakit infeksi, laundry, bagian sarana prasarana, bagian sterilisasi, sanitasi, gizi,
petugas kebersihan, Kesehatan Keselamatan Kerja (K3), serta petugas kamar jenazah
namun koordinasi antar unit tidak tercakup di dalam struktur.
Pengorganisasian antar personalia yang menjadi anggota komite juga belum
sepenuhnya dilakukan melainkan masih menggunakan jalur struktur organisasi yang
sudah ada selama ini yaitu melalui direktur RSUD. Pembagian tugas untuk ketua, IPCN
maupun IPCLN juga sudah dilakukan meskipun belum sepenuhnya bisa dilakukan.
Sebagai contoh untuk IPCLN sebagai pengawas di ruangan, karena IPCLN terbatas jam
kerjanya, maka tidak sepenuhnya bisa mengawasi tenaga kesehatan di ruangan.
Tingkatan organisasi di dalam struktur komite PPIRS juga tidak tampak secara jelas.
Komite PPIRS sebagai penentu kebijakan dan tim PPIRS sebagai pelaksana kebijakan
belum dapat sepenuhnya dilakukan. Kebijakan yang ada masih banyak menggunakan
kebijakan dari direktur secara umum, di samping anggota komite juga belum
sepenuhnya dapat diorganisasikan.
Pengorganisasian keuangan juga masih secara global mengacu pada kebijakan
RSUD, belum secara rinci ditetapkan oleh komite PPIRS. Pengeluaran disesuaikan
dengan kebutuhan dan dibebankan kepada unit terkait. Kondisi ini disesuaikan dengan
jenis kegiatan yang memang belum banyak dilakukan oleh komite PPIRS, hanya saja
ketika berkaitan dengan sarana dan prasarana maka akan menimbulkan suatu kesulitan.
Beberapa sarana belum dapat disediakan sebagaimana seharusnya yang terdapat dalam
buku panduan.
Teknis operasional pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit
HIV/AIDS dilaksanakan sesuai program kerja yang berlaku dan berdasarkan standar
prosedur operasional universal precaution yang sudah ada. Pelaksanaan surveillans
sebagai langkah awal untuk identifikasi masalah sudah mulai dilaksanakan meskipun
masih terkendala dengan kesibukan – kesibukan tenaga kesehatan. Pendidikan dan
pelatihan untuk universal precaution dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS sudah
dijalankan secara berkala oleh unit VCT menggunakan standar dari PPI. Sosialisasi juga
sudah dilakukan secara berkala dalam bentuk mini workshop dengan menghadirkan
nara sumber yang berkompeten. Disamping itu meskipun masih terbatas sosialisasi
dalam bentuk tulisan seperti pamflet juga dilakukan. Namun sasaran dari kegiatan
38

pendidikan, pelatihan dan sosialisasi masih belum secara luas. Unit lain seperti staf
bagian umum, pihak luar rumah sakit seperti mahasiswa PPDS serta pengunjung secara
umum belum mendapatkan sosialisasi. Terutama mahasiswa yang melakukan praktek
kerja lapangan, yang sebenarnya juga bagian dari tenaga kesehatan belum sepenuhnya
mendapatkan sosialisasi.
Pelaksanaan prosedur universal precaution dalam pencegahan penyakit
HIV/AIDS sudah dilakukan sebelumnya oleh unit VCT terutama terhadap pasien
suspect HIV/AIDS. Prosedur cuci tangan bagi tenaga kesehatan maupun staf rumah
sakit lain menjadi prioritas utama karena sederhana sehingga diharapkan semua
melakukannya. Penggunaan alat pelindung diri juga tidak sepenuhnya diberlakukan
terhadap semua pasien tapi sesuai kebutuhan. Jika seorang pasien tidak menunjukkan
gejala – gejala ataupun indikasi terdapat penyakit HIV/AIDS penggunaan APD hanya
secara umum seperti penggunaan sarung tangan ketika melakukan tindakan yang
langsung berkaitan dengan cairan tubuh. Namun penggunaan masker pelindung wajah
tidak dilakukan kecuali tenaga kesehatan sedang tidak sehat. Hal ini dilakukan terkait
juga dengan psikologis pasien yang terkadang kurang nyaman menghadapi tenaga
kesehatan yang menggunakan APD secara lengkap. Pengelolaan alat kesehatan juga
disesuaikan dengan sarana yang ada seperti tersedianya tempat sampah medis dan non
medis, tempat benda tajam habis pakai. Proses dekontaminasi juga dilakukan sesuai
prosedur yang umum. Hanya khusus untuk alat kesehatan yang digunakan pasien
suspect HIV/AIDS diberikan perlakuan tertentu sesuai standar.

Pengendalian
Pengendalian diperlukan untuk memastikan bahwa sumber daya digunakan
dengan cara yang efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi.(Moleong LJ,
2006) Dalam pengendalian ditetapkan standar pelaksanaan sesuai dengan tujuan
perencanaan, merancang sistem informasi umpan balik, membandingkan kegiatan yang
dilaksanakan dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan
mengukur penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi jika diperlukan.( Miles B,
Matthew & Michel HA, 1992)
39

Pengendalian pada pengelolaan universal precaution dalam pencegahan


penyakit HIV/AIDS di RSUD Tugurejo dilakukan melalui kegiatan monitoring, laporan
dan evaluasi. Kegiatan monitoring dilakukan setiap hari dengan mengumpulkan data
untuk surveillans menggunakan formulir yang telah disediakan. Hasil dari monitoring
setiap hari oleh IPCLN maupun IPCN selanjutnya dibuat laporan secara berkala untuk
disampaikan kepada ketua komite dan selanjutnya kepada direktur. Apabila terjadi
permasalahan maka akan diselesaikan terlebih dahulu oleh tim, namun jika tidak
terselesaikan baru di serahkan kepada direktur. Sebagai contoh, untuk tenaga kesehatan
yang tidak mematuhi standar prosedur operasional yang berlaku, maka akan dilakukan
teguran. Namun jika perilaku ini terus berlangsung, tim tidak dapat memberikan sanksi,
hanya melaporkannya kepada pihak yang berkaitan yaitu direktur. Penanganan
permasalahan tenaga kesehatan lebih mengedepankan timbulnya kesadaran untuk
mematuhi kebijakan maupun standar prosedur operasional yang berlaku karena pada
dasarnya untuk keselamatan tenaga kesehatan itu sendiri.
Kegiatan yang dilakukan tim PPI saat ini surveillans, kegiatan evaluasi seperti
memberikan edukasi kepada semua tenaga kesehatan yang dilakukan setiap waktu,
misalnya saat apel pagi, atau saat pre conference, misalnya memberikan pendidikan
kesehatan tentang manajemen limbah, handhigiene, kepatuhan APD.

Aspek Output Pengelolaan Universal Precaution Dalam Pencegahan Penyakit


HIV/AIDS di RSUD Tugurejo
Menurut ketua komite dan IPCN tidak ada hukuman bagi yang melakukan
pelanggaran terhadap peraturan yang berkaitan tentang pelaksanaan universal
precaution. Dalam hal ini IPCN bertugas untuk menegur dan membina petugas
kesehatan maupun pasien yang melakukan pelanggaran. Serta memberikan edukasi
bahwa pelaksanaan universal precaution menjadi kebutuhan bagi tiap individu.
Pelanggaran yang dilakukan akan membawa dampak negatif bagi individu itu sendiri.
Menurut IPCN dan Ketua Komite, IPCLN pemberian sanksi akan diberikan
kepada petugas kesehatan yang bisa merugikan pasien. Jika terdapat kasus pelanggaran
terhadap SOP dalam universal precaution, maka akan diberikan pembinaan kepada
petugas kesehatan tersebut.
40

Ketua Komite mengatakan tidak ada sanksi yang diberikan ketika ada tenaga
kesehatan tidak sesuai prosedur, yang ada pembinaan. Tenaga kesehatan yang
melanggar pun diberikan penjelasan bahwa risiko dari pelanggaran yang dilakukan
tersebut ada pada diri mereka masaing-masing yaitu dapat terjadinya infeksi HIV pada
tubuh mereka.

Aspek Umpan Balik Pengelolaan Universal Precaution Dalam Pencegahan


Penyakit HIV/AIDS di RSUD Tugurejo
Surveilans
Menurut ketua komite dan IPCN data temuan di lapangan terkait pelaksanaan
universal precaution didokumentasikan di bagian rekam medik Namun demikian, untuk
kasus yang terkait dengan privacy dari tenaga kesehatan dan pasien seperti HIV/AIDS
tidak akan dipublikasikan. Hal tersebut dilakukan untuk menghargai privacy penderita
HIV/AIDS dan menghindari diskriminasi dan stigma yang terjadi.

Evaluasi
Menurut ketua komite, IPCLN dan IPCN evaluasi dalam pengelolaan universal
precaution dilakukan setiap satu bulan sekali oleh tim PPI. Menurut IPCLN tindak
lanjut yang dilakukan dari evaluasi setiap bulannya adalah melakukan sosialisasi dari
temuan data yang ditemukan di lapangan.
Menurut ketua komite dan IPCN tindak lanjut dari evaluasi yang dilakukan
setiap bulannya adalah sosialisasi temuan data di lapangan dan juga pelaksanaan
pelatihan atau seminar bagi IPCLN untuk meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan
terkait dengan pelaksanaan universal precaution.
2.5.5 Kesimpulan
Pengelolaan Universal Precaution dalam Pencegahan Penyakit
HIV/AIDS dilakukan oleh Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah
Sakit/KPPIRS yang terdiri dari tiga IPCN dimana tiap IPCN dibantu oleh
IPCLN dalam mengelola UP di setiap ruangannya. Perencanaan keuangan dalam
pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di
RSUD Tugurejo belum dilakukan secara terperinci. Tim PPI menyatakan belum
41

ada perencanaan keuangan secara khusus, keuangan mengikuti rumah sakit


secara umum. Perlengkapan kantor secara umum juga sudah terdapat di ruang
kesekretariatan. Peralatan APD di setiap ruangan belum tersedia secara lengkap,
namun kelengkapan peralatan sudah semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Hal tersebut dikarenakan tim PPI menyesuaikan anggaran dari rumah sakit.
Peraturan tentang pengelolaan UP di RS Tugurejo menurut pedoman PPI.
Namun demikian, kebijakan dan standar prosedur operasional yang meliputi
kebijakan manajemen dan kebijakan teknis, sebagian besar masih menggunakan
panduan dari pusat.
Program kerja di RSUD Tugurejo untuk pengelolaan universal
precaution dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS dibuat dengan mengacu pada
buku panduan secara umum. Belum dilakukan perincian program kerja yang
disesuaikan dengan kondisi di RSUD Tugurejo. Untuk program kerja
disesuaikan dengan buku pedoman PPI dan juga menyesuaikan dengan kondisi
di lapangan. Komite PPIRS di RSUD Tugurejo secara organisasional langsung
berada di bawah direktur RSUD Tugurejo. Struktur organisasi komite PPI juga
sudah ada meskipun belum lengkap sebagaimana di dalam buku panduan,
namun disesuaikan dengan kebutuhan saat ini. Pengorganisasian antar personalia
yang menjadi anggota komite juga belum sepenuhnya dilakukan melainkan
masih menggunakan jalur struktur organisasi yang sudah ada selama ini yaitu
melalui direktur RSUD. Tidak ada kendala untuk struktur organisasional. Semua
dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai tim PPI. Pengendalian
pada pengelolaan universal precaution dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS
di RSUD Tugurejo dilakukan melalui kegiatan monitoring, laporan dan evaluasi.
Kegiatan monitoring yang dilakukan oleh TIM PPI saat ini seperti kegiatan
surveillance. Untuk kegiatan evaluasi seperti memberikan edukasi kepada semua
tenaga kesehatan yang dilakukan setiap waktu, misalnya saat apel pagi, atau saat
pre conference, dengan memberikan pendidikan keehatan tentang manajemen
limbah, handhigiene, kepatuhan APD.
Data yang diperoleh baik dari IPCN maupun IPCLN menunjukkan
bahwa tenaga kesehatan patuh dan selalu menggunakan APD saat melakukan
42

aktivitas kerja. Data temuan di lapangan terkait pelaksanaan universal


precaution didokumentasikan di bagian rekam medik Namun demikian, untuk
kasus yang terkait dengan privacy dari tenaga kesehatan dan pasien seperti
HIV/AIDS tidak akan dipublikasikan. IPCN datang ke setiap ruangan untuk
melakukan monitoring, dan juga laporan dari IPCLN di setiap ruangan. Evaluasi
dalam pengelolaan universal precaution dilakukan setiap satu bulan sekali oleh
tim PPI. Tindak lanjut yang dilakukan dari evaluasi setiap bulannya adalah
melakukan sosialisasi dari temuan data yang ditemukan di lapangan. Kegiatan
evaluasi belum dapat dilakukan apabila petugas kesehatan belum diberi edukasi
dan sosialisasi sebelumnya. Namun demikian, dilakukan kunjungan setiap
harinya di tiap ruangan. .
BAB III
ANALISIS JURNAL
3.1 Judul Dan Abstract
3.1.1 Judul jurnal sudah sesuai dengan abstrak :
 UNIVERSAL PRECAUTION: PEMAHAMAN TENAGA
KESEHATAN TERHADAP PENCEGAHAN HIV/AIDS
 PENGELOLAAN UNIVERSAL PRECAUTION DALAM
PENCEGAHAN PENYAKIT HIV/AIDS DI RSUD TUGUREJO
SEMARANG
3.1.2 Abstrak tersebut sudah memberikan informasi yang lengkap tentang latar
belakang , tujuan, metode, dan hasil penelitian.
3.1.3 Di dalam jurnal pada latar belakang dijelaskan alasan melakukan penelitian yaitu
untuk Upaya pencegahan yang dilakukan dengan meningkatkan pemahaman
tenaga kesehatan mengenai pelaksanaan universal precaution dalam memberikan
pelayanan kesehatan untuk pencegahan HIV/AIDS.
3.2 Justifikasi Metode dan Desain

3.2.1 Di dalam jurnal pada pendahuluan dijelaskan alasan melakukan penelitian


3.2.1 Tinjauan pustaka dalam jurnal cukup
3.2.2 Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi
kasus, yang bertujuan untuk memperoleh pemahaman secara menyeluruh
tentang fenomena yang diteliti (Poerwandari, 2007). Dengan demikian, deskripsi
pemahaman hingga pengambilan keputusan dari partisipan akan diungkapkan.

43
44

3.3 Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penelitian ini (UNIVERSAL
PRECAUTION: PEMAHAMAN TENAGA KESEHATAN TERHADAP
PENCEGAHAN HIV/AIDS) melalui wawancara mendalam yang direkam,
didukung oleh observasi tingkah laku partisipan selama wawancara berlangsung.
pengumpulan data dilakukan melalui angket (kuesioner), wawancara mendalam
(in-depth interview), pengamatan langsung yang dilakukan pada petugas
kesehatan dalam memberikan tindakan pelayanan kepada pasien serta
melakukan pengamatan pada petugas kesehatan dalam melakukan penyimpanan
maupun membersihkan alat-alat kesehatan yang telah digunakan, dan telaah
dokumen.
Responden sebagai sampel kuantitatif sebanyak 107 orang. Data primer
diperoleh secara langsung dengan responden melalui kuesioner dan wawancara
mendalam, sedangkan untuk data sekunder diperoleh dari buku dan peraturan
yang terkait.
Jenis penelitian ini (PENGELOLAAN UNIVERSAL PRECAUTION
DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT HIV/AIDS DI RSUD TUGUREJO
SEMARANG) adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Pelaksanaan penelitian dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang. Penelitian
dilakukan terhadap tim pengelola pengendalian pencegahan infeksi dalam hal ini
Tim Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Infeksi (TPPI) dari RS Tugurejo
Semarang serta petugas yang menjalankan pelaksanaan pengelolaannya.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah peneliti sendiri dengan
pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan terbuka yang
berhubungan dengan informan, sehingga pelaksanaan pengumpulan data dapat
berlangsung efisien. Pengolahan data dengan menggunakan langkah-langkah
analisis data kualitatif yang meliputi : transcribing, reduksi data, penyajian data,
dan kesimpulan. Setelah itu dilakukan validitas dan reliabilitas untuk menunjang
keabsahan hasil penelitian yaitu dengan cara crosscheck atau triangulasi.
45

3.4 Analisa dan Hasil


Jurnal berjudul : PENGELOLAAN UNIVERSAL PRECAUTION DALAM
PENCEGAHAN PENYAKIT HIV/AIDS DI RSUD TUGUREJO SEMARANG:
 Hasil wawancara yang dibuat disimpulkan secara hati-hati.Berdasarkan tabel
1, dapat dilihat tingkat pendidikan informan utama sebagian besar sarjana
hanya 1 yang tingkat spesialis dan 1 diploma 3. Usia informan utama yang
paling tinggi adalah 50 tahun sedangkan paling rendah 37 tahun. Masa kerja
informan utama yang paling lama mencapai 23 tahun dan yang paling sedikit
10 tahun. Sementara yang lainnya berkisar 12-17 tahun.
Jurnal yang berjudul : UNIVERSAL PRECAUTION: PEMAHAMAN TENAGA
KESEHATAN TERHADAP PENCEGAHAN HIV/AIDS
 Pendidikan responden terbanyak adalah mempunyai pendidikan menengah
yaitu D3 Keperawatan (72,0%). Pendidikan merupakan pembelajaran
seumur hidup yang terjadi disetiap sendi kehidupan. Pendidikan merupakan
bimbingan untuk mengeluarkan kemampuan yang tersimpan dalam diri
seseorang sehingga dapat mengembangkan diri semakin cerdas, dewasa dan
matang. Semakin tinggi pendidikan paramedis perawat, diharapkan akan
mampu melaksanakan tindakan Universal Precaution dengan professional.
Asrini dkk menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pengetahuan
dalam masyarakat yaitu: 1) sosial ekonomi, 2) kultur (budaya dan agama), 3)
pendidikan, dan 4) pengalaman. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan bersifat langgeng.14 Hasil penelitian mahasiswa juga menunjukkan
adanya hubungan Pengetahuan dengan sikap dan sikap dengan praktik
terdapat hubungan yang signifikan terhadap pencegahan infeksi.
Dalam analisis, nama partisipan diganti dengan nama samaran untuk menjaga
kerahasiaan semua partisipan. Semua partisipan memiliki pola yang sama pada latar
belakang penyebab ketergantungan mereka pada narkoba, yaitu eksternal, stability dan
global.
3.5 Kelebihan Jurnal
3.5.1 Metode penelitian cukup jelas yaitu menggunakan penelitian kualitatif dengan
metode studi kasus. Bertujuan untuk melihat pemahaman mereka terhadap
46

kondisi yang ada hingga cara-cara yang dilakukan untuk memaknai masalah
tersebut.
3.5.2 Penelitian ini yang memuat situasi berisikan tentang universal precaution yang
dimana bertujuan untuk mengurangi pencegahan penularan HIV/AIDS dalam
rumah sakit
3.6 Kekurangan Jurnal
3.6.1 Dalam jurnal ini tidak terdapat tujuan umum dan tujuan khusus.
3.6.2 Dalam pendahuluan jurnal manfaat tidak dicantumkan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Universal precaution merupakan suatu tindakan dimana tindakan
pengendalian infeksi sederhana yang dimana dipergunakan untuk seluruh
petugas kesehatan guna untuk mengendalikan atau mencegah penyebaran
penyakit dan infeksi pada pelayanan kesehatan dan pasien yang terdapat
diruang lingkup kesehatan.
Pemahaman tenaga kesehatan tentang universal precaution masih kurang
dan berisiko terinfeksi penyakit HIV/AIDS. Untuk itu perlu perhatian dari
pimpinan RS untuk membuat kebijakan dengan mengupayakan penyegaran
informasi, pelatihan mengenai universal precaution dan lebih memotivasi
petugas kesehatan agar lebih memahami penatalaksanaan universal
precaution.
Pengelolaan Universal Precaution dalam Pencegahan Penyakit
HIV/AIDS dilakukan oleh Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Rumah Sakit/KPPIRS yang terdiri dari tiga IPCN dimana tiap IPCN dibantu
oleh IPCLN dalam mengelola UP di setiap ruangannya. Perencanaan
keuangan dalam pengelolaan universal precaution dalam pencegahan
penyakit HIV/AIDS di RSUD Tugurejo belum dilakukan secara terperinci.
Tim PPI menyatakan belum ada perencanaan keuangan secara khusus,
keuangan mengikuti rumah sakit secara umum. Perlengkapan kantor secara
umum juga sudah terdapat di ruang kesekretariatan. Peralatan APD di setiap
ruangan belum tersedia secara lengkap, namun kelengkapan peralatan sudah
semakin meningkat dari waktu ke waktu.
4.2 SARAN
Jadi, kita sebagai mahasiswa agar dapat mempelajari materi ini dan juga
jurnal yang telah diberikan agar lebih memahami universal precaution

47
DAFTAR PUSTAKA
Basuni, H. 2019. Universal Precaution di RSUD(pdf) Diakses tanggal 18 Maret 2020
pukul 10.00 Wita
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=2ahUK
Ewiv2uz7zsHoAhUQeysKHSwfC3UQFjABegQIAhAB&url=https%3A%2F
%2Fejournal.undip.ac.id%2Findex.php%2Fjmki%2Farticle%2Fview
%2F20808&usg=AOvVaw1oBzu1xZps6QpD2geEzU9P
Noviana, Nana. 2017. Universal Precaution: Pemahaman Tenaga Kesehatan
Terhadap Pencegahan HIV/AIDS(Pdf) Diakses tanggal 18 Maret 2020 pukul
10.00 Wita https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUK
Ewiv2uz7zsHoAhUQeysKHSwfC3UQFjAAegQIBhAB&url=http%3A%2F
%2Fejournal.litbang.kemkes.go.id%2Findex.php%2Fkespro%2Farticle
%2Fdownload%2F4431%2Fpdf&usg=AOvVaw10yn2V9k-
QWWcWjxGpu9BG
Retnaningsih, Dwi. 2015. PENGELOLAAN UNIVERSAL PRECAUTION DALAM
PENCEGAHAN PENYAKIT HIV/AIDS DI RSUD TUGUREJO SEMARANG
Diakses tanggal 18 Maret 2020 pukul 10.00 Wita
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=2ahUK
EwjMx_ze1MHoAhW-ILcAHabNAzgQFjAAegQIBxAB&url=https%3A
%2F%2Fjurnal.unimus.ac.id%2Findex.php%2Fpsn12012010%2Farticle
%2Fview%2F1591&usg=AOvVaw1R0e3DS2FgyZ8Uypm5uVy2
Sholikhah, HH. 2015. Pelaksanaan Universal Precaution oleh Perawat dan Pekarya
Kesehatan Diakses tanggal 18 Maret 2020 pukul 10.00 Wita
https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=2ah
UKEwiv2uz7zsHoAhUQeysKHSwfC3UQFjAFegQIBxAB&url=https%3A
%2F%2Fmedia.neliti.com%2Fmedia%2Fpublications%2F21115-ID-

48
pelaksanaan-universal-precautions-oleh-perawat-dan-pekerja-kesehatan-
studi-kasus.pdf&usg=AOvVaw1vziTbn0VyOd5TMoLDjuC9

49

Anda mungkin juga menyukai