Anda di halaman 1dari 43

MEMAHAMI KONSEP UNIVERSAL PRECAUTION YANG

BERHUBUNGAN DENGAN HIV/AIDS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
KEPERAWATAN B SEMESTER 6
1. Luh Putu Satyarini Giri. (17089014077)
2. Kadek Ngurah Susanto (17089014085)
3. I Gusti Ayu Made Yoni Sunyantari (17089014099)
4. Putu Yuli Purnama Dewi (17089014101)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG


PRODI S1 KEPERAWATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Universal Precaution yang Berhubungan dengan HIV/Aids ” yang
disusun agar pembaca dapat mengetahui dan memahami rumusan dan macam-
macam diagnose keperawatan keluarga. Makalah ini diajukan sebagai salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan keluarga
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini,
khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman
bagi kami untuk lebih baik  di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini memberikan informasi dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Bungkulan,17 Maret 2020


Penyusun

(Kelompok 6)

ii
DAFTAR ISI

Cover.................................................................................................................i
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I
Latar Belakang.............................................................................................1
Rumusan Masalah........................................................................................2
Tujuan Penulisan..........................................................................................2
Manfaat Penulisan........................................................................................2
BAB II
Pengertian Universal Precution....................................................................3
Manfaat Universal Precaution......................................................................6
Universal Precaution di rumah sakit............................................................7
BAB III
Kesimpulan..................................................................................................9
Saran.............................................................................................................9
Daftar Pustaka...................................................................................................10

iii
8
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Infeksi adalah suatu keadaan saat tubuh kemasukan bibit penyakit (kuman) sehingga
menimbulkan gejala demam atau panas tubuh sebagai suatu reaksi tubuh menolak
antigen (kuman) agar dapat melumpuhkan atau mematikan kuman tersebut. Dalam
Kamus Besar Bahasa ndonesia, infeksi merupakan peradangan; kemasukan bibit
penyakit; ketularan penyakit.
Data 2019 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dan sepertiga diantaranya
adalah wanita. Ternyata kasus infeksi HIV bertambah lebih cepat diantara wanita dan
dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menyusul jumlah infeksi pada laki-laki. Kasus
HIV (+) tidak menampilkan gejala dan tanda klinik yang spesifik, tetapi dapat
menularkan penyakit sebagaimana kasus Hepatitis B(+). Sementara itu dalam melakukan
pengelolaan kasus HIV/AIDS, petugas mesehatan dapat terinfeksi bila terjadi kontak
dengan cairan tubuh/darah pasien.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas,
ataupun diluar masa itu, petugas kesehatan selalu memiliki risiko terinfeksi oleh
mikroorganisme melalui darah/cairan tubuh. Maka setiap petugas pelaksana pelayanan
kesehatan perlu memegang prinsip-prinsip pencegahan infeksi, khususnya prinsip
Kewaspadaan Universal (KU).  Kewaspadaan Universal adalah pedoman yang ditetapkan
untuk mencegah penyebaran berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan
tubuh di lingkungan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya. Konsep yang dianut
adalah bahwa semua darah/cairan tubuh harus dikelola sebagai sumber yang dapat
menularkan HIV, Hepatitis B dan berbagai penyakit lain yang ditularkan melalui
darah/cairan tubuh.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun Rumusan masalah makalah ini adalah :
1.2.1 Apa pengertian Universal Precaution?
1.2.2 Apa manfaat Universal Precaution?
1.2.3 Bagaimana Universal Precaution di rumah sakit?

8
9
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Universal Precaution
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja manfaat Universal Precaution
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana Universal Precaution di rumah sakit

1.4 MANFAAT PENULISAN


Adapun tujuan manfaat makalah ini adalah :
1.4.1 Agar mahasiswa memahami dan mengetahui Universal Precaution
1.4.2 Agar mahasiswa memahami manfaat Universal Precaution
1.4.3 Agar mahasiswa memahami Universal Precaution di RS

9
10

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Universal Precaution
Kewaspadaan Universal merupakan (Universal Precaution) adalah kewaspadaan
terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien,
dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (kamus-medis) .
Kewaspadaan universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana
pelayanan kesehatan. Merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit dari
cairan tubuh, baik dari pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya.
Dasar Kewaspadaan Universal ini meliputi pengelolaan alat kesehatan, cuci tangan guna
mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya sarung tangan untuk
mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan jarum dan alat
tajam untuk mencegah perlukaan, serta pengelolaan limbah (Depkes RI, 2003).Dalam
menggunakan Kewaspadaan Universal petugas kesehatan memberlakukan semua pasien
sama, tanpa memandang penyakit atau diagnosanya dengan asumsi bahwa risiko atau infeksi
berbahaya.
Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek dokter
gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan
alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut pada petugas
layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada pedoman untuk mencegah
kemungkinan penularan terjadi. Pedoman ini disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus
ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap
penularan HIV, tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan
sebetulnya lebih mudah menular.
World Health Organisation(WHO)dalam Nasronudin (2007),universal precautions
merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers for Disease Control and
Prevention(CDC) Atlanta dan the Occupational Safetyand Health Administration(OSHA),
untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah dilingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan. Kurniawati dan Nursalam (2009)universal precautions
merupakan upaya-upaya yang dilakukan olehseluruh tenaga kesehatan untukmengendalikan
dan mengurangi resiko penyebaran infeksi yang ditujukanpada semua pasien padasaat
melakukan setiap tindakan, dan dilakukandisemua tempat pelayanan kesehatan tanpa

10
11
memandang status infeksipasien.Universal precautionsmerupakan tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi yang ditujukanpada semua pasien, saat melakukansetiap tindakanoleh
seluruh tenagakesehatanyang terlibat disemuafasilitas pelayanan kesehatan.

2.2 Manfaat Universal Precautiom


Adapun beberapa manfaat universal precaution :
1. Untuk melindungi perawat dan pasien dari resiko tertular penyakit infeksi tersebut
maka dalam melaksanakan tindakan keperawatan.
2. untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah
dilingkungan fasilitas pelayanan kesehatan.
3. Sebagai alat pelindung diri
4. Untuk mencegah penularan penyakit dari cairan tubuh, baik dari pasien ke petugas
kesehatan atau sebaliknya
5. Sebagai pengendalian infeksi
6. Untuk keselamatan, kesehatan dalam bekerja

Pengamatan awal pada petugas pelayanan poli gigi dalam melakukan tindakan
prosedur universal precautions menggunakan daftar tilik untuk petugas kesehatan dengan
mengacu pada indikator pelaksanaan universal precautions poli gigi pada lima Puskesmas
yaitu:

1. Cuci tangan untuk mencegah penularan infeksi

2. Pemakaian sarung tangan dan alat pelindung untuk mencegah kontak dengan darah
serta cairan infeksius lain

3. Pengelolaan jarum suntik dan alat tajam untuk mencegah luka

4. Penatalaksanaan peralatan (sterilisasi)

5. Pengelolaan limbah dan sanitasi

2.3 Universal Precaution di Rumah Sakit

11
12
1. Cuci Tangan
Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam
pencegahan dan pengontrolan infeksi (Potter & Perry, 2005). Tujuan mencuci
tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari
tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Mikroorganisme
pada kulit manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu flora residen
dan flora transien. Flora residen adalah mikrorganisme yang secara konsisten dapat
diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah dihilangkan dengan gesekan mekanis
yang telah beradaptasi pada kehidupan tangan manusia. Flora transien yang flora
transit atau flora kontaminasi, yang jenisnya tergantung dari lni gkungan
tempat bekerja.

12
13

Mikroorganisme ini dengan mudah dapat dihilangkan dari permukaan dengan


gesekan mekanis dan pencucian dengan sabun atau detergen.
Cuci tangan harus dilakukan dengan benar sebelum dan
sesudah melakukan tindakan perawatan walupun memakai sarung tangan atau alat
pelindung lain untuk menghilangkan atau mengurangi mikrorganisme yang ada di
tangan sehingga penyebaran penyakit dapat di kurangi dan lingkungan terjaga dari
infeksi. Tangan harus di cuci sebelum dan sesudah memakai sarung tangan. Cuci
tangan tidak dapat digantikan oleh pemakaian sarung tangan.
a. Cara Cuci Tangan
Cuci tangan higienik atau rutin yang berfungsi mengurangi kotoran dan flora
yang ada di tangan dengan menggunakan sabun atau detergen. Cuci tangan aseptik
yaitu cuci tangan yang dilakukan sebelum tindakan aseptik pada pasien dengan
menggunakan antiseptik. Cuci tangan bedah yaitu cuci tangan yang dilakukan
sebelum melakukan tindakan bedah aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.

13
14
Langkah mencuci tangan (Potter & Perry, 2005) adalah sebagai berikut:

1) Gunakan wastapel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat, sabun
biasa atau sabun antimikrobial, lap tangan kertas atau pengering.
2) Lepaskan lap tangan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan tangan.
Hindari memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.
3) Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar.
4) Inspeksipermukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada kulit dan
kutikula.
5) Berdiri didepan wastapel. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh
wastapel.
6) Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau
dorong pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.
7) Hindari percikan air mengenai seragam.
8) Atur aliran air sehingga suhu hangat.
9) Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan air
hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah dari pada
siku selama mencuci tangan.
10) Taruh sedikit sabun biasa atau sabun anti mikrobial cair pada tangan, sabuni
dengan seksama.
11) Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10 – 15 detik. Jalin jari-jari
tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan dengan gerakan

14
15
sirkuler paling sedikit masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung jari berada
dibawah untuk memungkinkan pemusnahan mikroorganisme.
12) Jika daerah di bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang
satunya, dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih
13) Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama, pertahankan supaya letak
tangan dibawah siku.
14) Ulangi langkah 10 sampai a2 namun tambah periode mencuci tangannya 1, 2, 3
dan detik.
15) Keringkan tangan dengan seksama dan jari tangan ke pergelangan tangan dan
lengan bawah dengan handuk kertas (tisue) atau pengering.
16) Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.
17) Tutup air dengan kaki dan pedal lutut.
b. Indikasi Cuci Tangan
Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang di antisipasi akan terjadi
perpindahan kuman melalui tangan yaitu sebelum malakukan suatu tindakan yang
seharusnya dilakukan secara bersih dan setelah melakukan tindakan
yang memungkinkan terjadi pencemaran seperti:
Sebelum melakukan tindakan misalnya memulai pekerjaan, saat akan
memeriksa, saat akan memakai sarung tangan yang steril atau sarung tangan yang
telah didesinfeksi tingkat tinggi untuk melakukan tindakan, saat akan melakukan
peralatan yang telah di DTT, saat akan injeksi , saat hendak pulang ke rumah.

15
16
Setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran. Misalnya setalah
memeriksa pasien, setelah mamakai alat bekas pakai dan bahan lain yang beresiko
terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lain, setelah
membuka sarung tangan.
c. Sarana Cuci Tangan
Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan
saluran pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan guyuran air
mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah gesekan
mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan terhalau dan tidak
menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau
dengan cara mengguyur dengan gayung.
Penggunaan sabun tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan
mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan
sehingga mikroorganisme mudah terlepas dari permukaan kulit. Jumlah
mikroorganisme akan berkurang dengan sering mencuci tangan.
Larutan antiseptik atau anti mikroba topikal yang dipakai pada kulit atau
jaringan hidup lain menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada
kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah
penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama pada
kuman transien.

16
17

Kriteria memilih antiseptik adalah sebagai berikut:


1) Efektifitas
2) Kecepatan aktivitas awal
3) Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam pertumbuhan.
4) Tidak mengakibatkan iritasai kulit
5) Tidak menyebabkan alergi
6) Afektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang.
7) Dapat diterima secara visual maupun estetik.

2. Alat Pelindung Diri


Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput lendir
petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret atau ekskreta,
kulit yang tidak utuh dan selaput lendir pasien. Jenis tindakan yang beresiko
mencakup tindakan rutin. Jenis alat pelindung: Sarung tangan, masker dan gaun
pelindung. Tidak semua alat pelindung tubuh harus dipakai, tetapi tergantung pada
jenis tindakan yang akan dikerjakan.
a. Sarung Tangan
Pemakaian sarung tangan bertujuan untuk melindungi tangan dari kontak
dengan darah, semua jenis cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh,
selaput lendir pasien dan benda yang terkontaminasi. Sarung tangan harus selalu

17
18

dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan darah atau semua jenis cairan
tubuh.
Jenis sarung tangan yang dipakai di sarana kesehatan, yaitu :

1) Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi dan
digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir. Misalnya
tindakan medis pemeriksaaan dalam, merawat luka terbuka.
2) Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan
pada tindakan bedah. Bila tidak ada sarung tangan steril baru dapat digunakan
sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi.
3) Sarung tangan rumah tangga adalah sarung tangan yang terbuat dari latex atau
vinil yang tebal. Sarung tangan ini dipakai pada waktu membersihkan alat
kesehatan, sarung tangan ini bisa dipakai lagi bila sudah dicuci dan dibilas
bersih.
Sarung tangan ini harus selalu dipakai pada saat melakukan tindakan yang
kontak atau diperkirakan akan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekret,
kulit yang tidak utuh, selaput lendri pasien dan benda terkontaminsi.
Yang harus diperhatikan ketika menggunakan sarung tangan yaitu gunakan
sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, segera lepas sarung tangan apabila
telah selesai dengan satu pasien dan ganti dengan sarung tangan yang lain apabila
menangani sarung tangan lain. Hindari jamahan pada benda lain selain yang
berhubungan dengan tindakan yang sedang dilakukan. Tidak dianjurkan
menggunakan sarung tangan rangkap karena akan menurunkan kepekaan.
Prosedur pemakaian sarung tangan steril (DepKes RI, 2003 : 22) adalah
sebagai berikut:
1) Cuci tangan

2) Siapkan area yang cukup luas, bersih dan kering untuk membuka paket sarung
tangan. Perhatikan tempat menaruhnya (steril atau minimal DTT)
3) Buka pembungkus sarung tangan, minta bantuan petugas lain untuk membuka
pembungkus sarung tangan. Letakan sarung tangan dengan bagian telapak

18
19
tangan menghadap keatas
4) Ambil salah satu sarung tangan dengan memegang pada sisi sebelah dalam
lipatannya, yaitu bagian yang akan bersentuhan dengan kulit tangan saat
dipakai
5) Posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan menggantung ke lantai, sehingga
bagian lubang jari-jari tangannya terbuka. Masukan tangan (jaga sarung tangan
supaya tidak menyentuh permukaan)
6) Ambil sarung tangan kedua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan yang
sudah memakai sarung tangan ke bagian lipatannya, yaitu bagian yang tidak
akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai

19
20

7) Pasang sarung tangan yang kedua dengan cara memasukan jari-jari tangan yang
belum memakai sarung tangan, kemudian luruskan lipatan, dan atur posisi
sarung tangan sehingga terasa pas dan enak ditangan
b. Pelindung Wajah (Masker)

Pemakaian pelindung wajah ini dimaksudkan untuk melindungi selaput


lendir hidung, mulut selama melakukan perawatan pasien yang memungkinkan
terjadi percikan darah dan cairan tubuh lain.
Masker tanpa kaca mata hanya digunakan pada saat tertentu misalnya
merawat pasien tuberkulosa terbuka tanpa luka bagian kulit atau perdarahan.
Masker kaca mata dan pelindung wajah secara bersamaan digunakan petugas yang
melaksanakan atau membantu melaksanakan tindakan beresiko tinggi terpajan lama
oleh darah dan cairan tubuh lainnya antara lain pembersihan luka, membalut luka,
mengganti kateter etau dekontaminasi alat bekas pakai. Bila ada indikasi untuk
memakai ketiga macam alat pelindung tersebut, maka masker selalu dipasang
dahulu sebelum memakai gaun pelindung atau sarung tangan, bahkan sebelum
melakukan cuci tangan bedah.
Langkah – langkah pemakaian masker (Potter & Perry, 2005) sebagai berikut :

1) Ambil bagian tepi atas masker (biasaanya sepanjang tepi tersebut / metal yang
tipis).
2) Pegang masker pada dua tali atau ikatan bagian atas. Ikatan dua tali atas pada
bagian atas belakang kepala dengan tali melewati atas telinga.

20
21

3) Ikatkan dua tali bagian bawah pas eratnya sekeliling leher dengan masker
sampai kebawah dagu.
4) Dengan lembut jepitkan pita metal bagian atas pada batang hidung.

c. Gaun Pelindung

Gaun pelindung merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Jenis bahan
sedapat mungkin tidak tembus cairan. Tujuan pemakaian gaun pelindung adalah
untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau
cairan tubuh lain. gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi seperti halnya
pada saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase,
menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam lubang wc, mengganti pembalut,
menangani pasien dengan perdarahan masif. Sebaiknya setiap kali dinas selalu
memakai pakaian kerja yang bersih, termasuk gaun pelindung. Gaun pelindung
harus segera diganti bila terkena kotoran, darah atau cairan tubuh.
Cara menggunakan gaun pelindung (Anita, D, A, 2004) sebagai berikut :

1) Hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun
untuk melindungi pemakai dari infeksi.
2) Gaun dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain.

3. Pengelolaan Alat-Alat Kesehatan

Pengelolaan alat kesehatan bertujuan untuk mencegah penyebaran


infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat tersebut dalam kondisi
steril dan siap pakai. Semua alat, bahan dan obat yang akan dimasukan ke dalam
jaringan di bawah

21
22

kulit harus dalam keadaan steril. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui

4 tahap kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian,sterilisasi atau DDT dan


penyimpanan. Pemilihan cara pengelolaan alat kesehatan tergantung pada kegunaan
alat tersebut dan berhubungan dengan tingkat resiko penyebaran infeksi.
a. Dekontaminasi

Dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran


dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya dan dilakukan
sebagai langkah pertama bagi pengelolaan pencemaran lingkungan, seperti
misalnya tumpahan darah atau cairan tubuh, Juga sebagai langakah pertama
pengelolaan limbah yang tidak dimusnahan dengan cara insinerasi atau
pembakaran.
Dekontaminasi bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi melalui alat
kesehatan atau suatu permukaan benda, sehingga dapat melindungi petugas atau
pun pasien. Dekontaminasi dilakukan dengan menggunakan bahan desinfektan
yaitu suatu bahan atau larutan kimia yang digunakan untuk membunuh
mikroorganisme pada benda mati dan tidak digunakan untuk kulit atau jaringan
mukosa. Salah satu yang biasa dipakai terutama di negara berkembang seperti
Indonesia adalah larutan klorin 0,5% atau 0,05 % sesuai dengan intensitas cemaran
dan jenis alat atau permukaan yang akan didekontaminasi. Karena demikian banyak
macam dan bentuk alat kesehatan maka perlu dipilih cara dekontaminasi yang
tepat.
Ada tiga macam pertimbangan dalam memilih cara dekontaminasi yaitu
keamanan, efikasi atau efektifitas dan efisien. Keamanan dan efektifitas merupakan

22
23

pertimbangan utama sedang efisien dapat dipertimbangkan kemudian setelah


keamanan dan efektifitas terpenuhi. Yang dipertimbangkan dalam keamanan adalah
antisifasi terjadinya kecelakaan atau penyakit pada petugas kesehatan yang
mengelola benda-benda terkontaminasi dan melakukan proses dekontaminasi.
Sedapat mungkin pemilahan dilakukan oleh si pemakai ditempat segera setelah
selesai pemakaian selagi mereka masih menggunakan pelindung yang memadai
sehingga pajanan pada petugas dapat diminimalkan.
b. Pencucian alat

Setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan langkah


penting yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang memadai maka pada
umumnya proses disenfeksi atau selanjutnya menjadi tidak efektif. Kotoran yang
tertinggal dapat mempengaruhi fungsinya atau menyebabkan reaksi pirogen bila
masuk ke dalam tubuh pasien.
Pada alat kesehatan yang tidak terkontaminasi dengan darah, misalnya kursi
roda, alat pengukur tekanan darah, infus pump dsb. Cukup dilap dengan larutan
detergen, namun apabila jelas terkontaminasi dengan darah maka diperlukan
desinfektan.
Pembersihan dengan cara mencuci adalah menghilangkan segala kotoran
yang kasat mata dari benda dan permukaan benda dengan sabun atau detergen, air
dan sikat. Kecuali menghilangkan kotoran pencucian akan semakin menurunkan
jumlah mikroorganisme yang potensial menjadi penyebab infeksi melalui alat
kesehatan atau

23
24

suatu permukaan benda dan juga mempersiapkan alat untuk kontak langsung
dengan desinfektan atau bahan sterilisasi sehingga dapat berjalan secara sempurna.
Pada pencucian digunakan detergen dan air. Pencucian harus dilakukan
dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain betul-betul hilang dari
permukaan tersebut. Pencucian yang hanya mengandalkan air tidak dapat
menghilangkan minyak, protein dan partike-lpartikel. Tidak
dianjurkan mencuci dengan menggunakan sabun biasa untuk membersihkan
peralatan, karena sabun yang bereaksi dengan air akan menimbulkan residu yang
sulit untuk dihilangkan.
c. Disinfeksi dan Sterilisasi

Seperti sudah dibicarakan sebelumnya bahwa faktor resiko infeksi disarana


kesehatan adalah pengelolaan alat kesehatan atau cara dekontaminasi dan
desinfeksi yang kurang tepat. Pengelolaan alat dikategorikan menjadi 3 yaitu:
1) Resiko tinggi

Suatu alat termasuk dalam kategori resiko tinggi karena penggunaan alat
tersebut beresiko tinggi untuk menyebabkan infeksi apabila alat tersebut
terkontaminasi oleh mikroorganisme atau spora bakterial. Alat tersebut mutlak
perlu dalam keadaan steril karena penggunaannya menembus jaringan atau sistem
pembuluh darah yang steril. Dalam kategori ini meliputi alat kesehatan bedah,
kateter jantung dan alat yang ditanam. Alat-alat tersebut harus dalam keadaan steril
pada saat pembeliaannya atau bila mungkin disterilkan dengan otoklaf. Apabila alat
itu tidak tahan panas maka sterilisasi dilakukan dengan etilen oksida atau kalau
terpaksa

24
25

apabila cara lain tidak memungkinkan dilakukan streilisasi kimiawi seperi dengna
glutaraldehide 2% atau hidrogen peroksida 6%. Cara tersebut harus tetap
memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu pencucian yang cermat
sebelumnya.
2) Resiko sedang

Alat yang digunakan untuk menyentuh lapisan mukosa atau kulit yang tidak
utuh harus bebas dari semua mikroorganisme kecuali spora. Lapisan mukosa yang
utuh pada umumnya dapat menahan infeksi spora tetapi tetap rentan terhadap
infeksi basil TBC dan virus, yang termasuk dalam kategori resiko sedang antara
lain alat untuk terapi pernafasan, alat anestesi, endoskopi dan ring diagfragma. Alat
beresiko sedang memerlukan paling tidak desinfeksi tingkat tinggi, baik secara
pasteurisasi atau kimiawi.
Pemilihan proses desinfeksi harus memperhatikan efek sampingnya seperti
klorin yang mempunyai sifat korosif. Laparascopi dan artroskopi yang dipakai
dengan menmbus jaringan steril secara ideal harus disterilkan terlebih dahulu,
namun biasanya hanya dilakukan disenfeksi tingkat tinggi saja. Disarankan agar
semua alat dibilas dengan air steril untuk menghindari kontaminasi dengan
mikroorganisme yang berasal dari air seperti mikrobakteria nontuberkulosa dan
legionella. Bila tidak tersedia air steril dapat dengan air biasa diikuti dengan bilasan
air alkohol dan cepat dikeringkan dengan semprotan udara. Semprotan udara ini
dapat mengurangi

25
26

cemaran mikroorganisme dan mengurangi kelembaban yang dapat mempercepat


pertumbuhan bakteri.
3) Resiko rendah

Alat yang masuk dalam kategori resiko rendah adalah yang digunakan pada
kulit yang utuh dan bukan untuk lapisan mukosa. Kulit utuh adalah pertahanan yang
efektif terhadap infeksi semua jenis mikroorganisme, oleh karena itu sterilisasi
tidak begitu diperlukan. Contoh alat yang masuk kategori resiko rendah adalah
pispot, tensimeter, linen, tempat tidur, peralatan makan, perabotan, lantai.
Walaupun peralatan tersebut mempunyai resiko rendah untuk menyebabkan
infeksi, namun dapat menjadi perantara sekunder dengan jalan mengkontaminasi
tangan petugas kesehatan atau peralatan yang seharusnya steril oleh karena itu alat
tersebut tetap perlu didesinfeksi dengan disinfeksi tingkat rendah.

4. Pengelolaan Benda Tajam

Benda tajam sangat bereskio menyebabkan perlukaan


sehingga meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah.
Penularan infeksi HIV, hepatitis B dan C di sarana pelayanan kesehatan, sebagian
besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah, yaitu tertusuk jarum suntik dan
perlukaan alat tajam lainnya.
Untuk menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda
tajam harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas tidak
boleh digunakan lagi. Sterilitas jarum suntik dan alat kesehatan yang lain yang
menembus

26
27

kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Keadaan steril tidak dapat dijamin jika alat-
alat tersebut didaur ulang walaupun sudah di otoklaf. Tidak dianjurkan untuk
melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17% kecelakaan
kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70% terjadi
sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan serta 13% sesudah
pembuangan.hampir 40% kecelakaan ini dapat dicegah dan kebanyakan kecelakaan
kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah penggunaannya.
Perlu diperhatikan dengan cermat ketika menggunakan jarum suntik atau
benda tajam lainnya. Setiap petugas kesehatan bertanggung jawab atas jarum dan
alat tajam yang digunakan sendiri, yaitu sejak pembukaan paking, penggunaan,
dekontaminasi hingga kepenampungan sementara yang berupa wadah alat tusukan.
Untuk menjamin ketaatan prosedur tersebut maka perlu menyediakan alat limbah
tajam atau tempat pembuangan alat tajam di setiap ruangan, misalnya pada ruang
tindakan atau perawatan yang mudah dijangkau oleh petugas. Seperti prosedur
pengelolaan alat kesehatan lainnya maka petugas harus selalu mengenakan sarung
tangan tebal, misalnya saat mencuci alat dan alat tajam.
Risiko kecelakaan sering terjadi pada saat memindahkan alat tajam dari
satu orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat tajan
secara langsung, melainkan menggunakan technik tanpa sentuh (hands free) yaitu
menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil
sendiri dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah. Risiko perlukaan dapat
ditekan

27
28

dengan mengupayakan situasi kerja dimana petugas kesehatan mendapat pandangan


bebas tanpa halangan, dengan cara meletakkan pasien pada posisi yang mudah
dilihat dan mengatur sumber pencahayaan yang baik. Pada dasarnya adalah
menjalankan prosedur kerja yang legeartis, seperti pada penggunaan forsep atau
pingset saat mengerjakan penjahitan.
Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada
saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai kedalam
tutupnya, oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk menutup kembali jarum
suntik tersebut melainkan langsung buang ke penampungan sementara, tanpa
menyentuh atau memanipulasinya seperti membengkokkannya. Jika jarum terpaksa
ditutup kembali (recaping) gunakanlah dengan cara penutupan dengan satu tangan
untuk mencegah jari tertusuk jarum.
Sebelum dibuang ketempat pembuangan akhir atau tempat pemusnahan,
maka diperlukan wadah penampungan sementara yang bersifat kedap air dan tidak
mudah bocor serta kedap tusukan. Wadah penampung jarum suntik bekas pakai
harus dapat digunakan dengan satu tangan agar pada saat memasukkan jarum tidak
usah memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah tersebut ditutup dan diganti
setelah
¾ bagian terisi dengan limbah, dan setelah ditutup tidak dapat dibuka lagi sehingga
tidak tumpah. Hal tersebut dimaksudkan agar menghindari perul
kaan pada pengelolaan yang selanjutnya. Idealnya benda tajam dapat diinsinerasi,
tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lainnya.

28
29

5. Pengeloaan Limbah

Limbah dari sarana kesehatan secara umum dibedakan atas:

a. Limbah rumah tangga atau limbah non medis, yaitu limbah yang tidak
kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai resiko
rendah. yakni sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan ruang
tunggu pasien, administrasi.
b. Limbah medis bagian dari sampah rumah sakit yang berasal dari bahan
yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut
sebagai limbah beresiko tinggi. Beberapa limbah medis dapat berupa:
limbah klinis, limbah laboratorium, darah atau cairan tubuh yang
lainnya, material yang mengandung darah seperti perban, kassa dan
benda-benda dari kamar bedah, sampah organik, misalnya potongan
tubuh, plasenta, benda-benda tajam bekas pakai misal jarum suntik.
a. Pemilahan

Pemilahan dilakukan dengan menyediakan sampah yang sesuai


dengan jenis sampah medis. Wadah-wadah tersebut biasanya menggunakan
kantong plastik berwarna misalnya kuning untuk infeksius hitam untuk non
medis atau wadah yang diberi label yang mudah dibaca.
b. Penampungan Sementara

Pewadahan sementara sangat diperlukan sebelum sampah dibuang.

Syarat yang harus dipenuhi adalah :

29
30

1) Di tempatkan pada daerah yang mudah dijangkau petugas, pasien, dan


pengunjung.
2) Harus tertutup dan kedap air.

3) Hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.

c. Pembuangan Benda Tajam

1) Wadah benda tajam merupakan linbah medis yang harus dimasukkan


kedalam kantong sebelum insinerasi.
2) Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi tetapi bila tidak mungkin
dapat dikubur dan dikapurisasi bersama limbah lain
3) Apapun metode yang dilakukan haruslah tidak memberikan perlukaan

b. Penyakit Infeksi

i. Pengertian

Penyakit infeksi adalah beberapa penyakit yang disebabkan oleh


pertumbuhan organisme patogenik dalam tubuh. Penyakit infeksi mungkin menular
mungkin juga tidak. Dalam dekade terakhir terdapat peningkatan dramatis adanya
penyakit infeksi. Oleh karena itu sangat penting untuk memahami prinsip infeksi
dan informasi spesifik tentang penyakit infeksi. Di sini sangat penting untuk
mengerti pola umum infeksi pada manusia dan untuk dapat memebedakan antara
penyakit infeksi yang mudah menyebar, yang serius atau yang sudah sering
muncul.

30
31

Penularan dan isu pengendalian infeksi merupakan elemen penting yang


sesuai dengan penyakit infeksi. Tentunya peran perawat selalu penting dalam
mengontrol infeksi dimana perawat yang menyediakan perawatan setiap waktu
secara konsisten pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Mencuci tangan,
perawatan luka aseptik dan mendukung aktivitas pasien dan nutrisi telah
meur pakan strategi menurunkan infeksi yang sangat penting.
ii. Proses infeksi

Untuk sampai terjadinya infeksi harus ada elemen seperti:

1) Organisme penyebab

Beberapa kelas dari mikroorganisme dapat bertindak sebagai


organisme penyebeb. Infeksi dapat disebabkan bakteri,virus, protozoa,
jamur atau cacing.
2) Reservoar

Penyimpanan adalah istilah yang digunakan untuk orang, tanaman,


binatang, substansiyang menyediakan makanan mikroorganisme
dan memungkinkan pemindahan lebih lanjut dari organisme. Organisme
penyebab dan reservoar menjadi sumber infeksi.
3) Cara untuk keluar

Organisme harus mempunyai cara untuk ke luar dari reservoar.


Pejamu yang terinfeksi harus memindahkan organisme pada pejamu lain
atau pada lingkunganagar tejadi penularan.

31
1

4) Rute dari penularan

Rute ini dibutuhkan untuk dapat menghubungkan sumber


infeksi dengan pejamu baru. Organisme mungkin ditularkan
melalui cariran parenteral atau seksual, kulit ke kulit, terpajan,
atau partikel uadara. Penting disini untuk untuk mengenal
perbedaan organisme yang membutuhkan rute spsifik dari
penularan agar infeksi terjadi.
5) Pejamu yang cocok
Supaya terjadi infeksi, pejamu harus cocok. Infeksi
sebelumnya atau vaksin dapat membuat pejamu jadi kebal
(tidak cocok) untuk infeksi lanjutan agen tersebut. Beberapa
infeksi dicegah karena kekuatan pertahanan kekebelan
manusia. Meskipun terpajan pada banyak organisme tiap hari,
secara relatif hanya beberapa individu yang terinfeksi.
6) Jalan masuk
Jika penjamu cocok untuk infeksi dan adanya jalan masuk
seperti ada luka atau sariawan. Organisme harus mempunyai
jalan untuk masuk dimana organisme dapat berinteraksi.
Kecocokan dan jalan masuk yang ada menyebakan organisme
menyerang pejamu baru.

2.4 Kritisi Jurnal Universal Precaution


Dari jurnal Analisis Pelaksanaan Universal Precaution Pada
Pelayanan Kesehatan Gigi dapat kami simpulkan strategi control universal
precaution pada kedokteran gigi diperlukan untuk mengurangi risiko
tertularnya penyakit pada lingkungan gigi yaitu dari dokter gigi ke pasien dan
dari pasien ke pasien, terutama penularan dari penyakit penyakit infeksi
seperti HBV dan HIV karena semua pasien yang terinfeksi tidak dapat

1
2
diidentifikasi dengan catatan medic, pemeriksaan fisik ataupun tes
laboratorium. Maka dari itu dianjurkan untuk menggunakan pelindung pada
saat melakukan pelayanan gigi, yaitu dengan cara cuci tangan, pemakaian
sarung tangan, sterilisasi alat serta penggunaan alat sekali pakai dan tersedia
tempat pembuangan sampah. Ada beberapa fakto yang menyababkan
universal precaution tidak dapat terlaksana ssperti faktor petugas yaitu
kemampuan petugas (pengetahuan dan keterampilan) dan persepsi didapatkan
bahwa sebagian petugas tidak mengetahui dengan tepat pengertian tentang
universal precautions. Pada keterampilan tidak semua indikator universal
precautions dilaksanakan yaitu tidak selalu menggantikan sarung tangan setiap
ganti pasien. Persepsi petugas setuju terhadap pelayanan dengan universal
precautions walaupun masih ada yang merasa pelayanan dengan universal
precautions lama. Faktor organisasi yaitu pelatihan, supervisi dan kompensasi
didapatkan bahwa ada beberapa petugas poli gigi yang belum mendapatkan
pelatihan universal precautions tetapi semua petugas merasa mendapat
supervisi tentang universal precautions dan sebagian mendapat umpan balik
dari hasil supervise secara langsung. Kompensasi tidak semua petugas
mendapatkan, sehingga pada program ini perlu diberikan reward yang
berhubungan dengan universal precautions untuk masing-masing poli.
Sedangkan jurnal Pelaksanaan Universal Precaution Oleh
Perawat dan Pekerja kesehatan Universal Precautions rnerupakan upaya yang
dilakukan dalarn rangka perlindungan, pencegahan dan rnerninirnalkan infeksi
silang (cross infections) antara petugas pasien akibat adanya kontak langsung
dengan pasien atau cairan tubuh pasien yang terinfeksi penyakit menular
(seperti HIVIAIDS dan hepatitis). Universal precaution dilakukan dengan cara
mencuci tangan, memakai sarung tangan dan pelaksanaan sterilisasi
instrumental logam, pelaksanaan desinfektan lantai, dan adanya pelatihan
lanjutan universal precaution untuk tenaga kesehatan. Sedangkan secara
kualitas, ada beberapa fasilitas penunjang yang tidaksesuai standar yaitu
handsmen yang beberapa diantaranya sangat tipis dan mudah robek serta
belum pastinya komposisi cairan desinfeksi yang digunakan selama ini oleh

2
3
petugas. Sedangkan untuk prasarana SOP (Standard Operational Procedure)
yang dimiliki rumah sakit merupakan Standar operasional yang bersifat
umum, bukan tentang pelaksanaan universal precautions yang detail dan
spesifik. Selain itu pelatihan atau pendidikan yang berkelanjutan serta
pengawasanl evaluasi terhadap pelaksanaan universalprecautions oleh pihak
managerial rumah sakit juga belum ada. Sehingga hal tersebut memungkinkan
terjadinya peningkatan risiko infeksi nosokomial di rumah sakit dan
lingkungan disekitarnya.

3
4

JURNAL
PELAKSANAAN UNIVERSAL PRECAUTIONS OLEH PERAWAT DAN
PEKARYA KESEHATAN
(Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Malang Unisma)
Hidayad Heny Shollkhah dan Andryansyah Arlfin'

A.ABSTRACT

Universal precautions is important for prevention of nosocomial infections


among patients and health care providers (especially hepatitis B/C
andHIV/AIDS). The objective of thisstudy was to determine implementation of
universalprecautions. This was a case study. Data were collected using interview
and observations, at Rumah Sakit Islam Malang Unisma year 2005.There were
ten nurses and assistant nurses working at hospital ward interviewed.

Result of this study indicated that in general the universal precautions had
been implemented but not in accordance with the standardprosedure of universal
precautions. Only 50% of the respondent practiced correctly hands washing and
none hand oloves. AN res~ondentsdid incorrect procedure for stenl,zations 01
hand gloves and medical equipments. All
" needles were not alecontaminated before disposal. Supporting
facilities particularly the standard operating prosedure for
universa11prosedunP and pre 6:ervice training were not available.
It was concluded that the it nplementation of universal precautions were not
match with the standard prosedure. So the potential nsKs of
nosocom~altnfections cannot be reduced, in the other hand increase risks of
hepatitis B/C and HIV/AIDS

transmission among patient and healthproviders. The nurses andassistant nurses


nevergotpre-service training for universal precautions by hospital management.

Based on the results. it recomended to provide the standardprosedure of


universal precautions and to train aN heanh provider (nurses ar Id assistan,
nurses) who deliver service in hospital ward to be able to implement universal
precautions correctly. And it is ,necessary to conduct further study on
implementation of universal precautions at health centers with inpatient ward
and others haspita/.

4
5
Key words: universal precautions, practices, hospital

ABSTRAK
Kewaspadaan universal penting untuk pencegahan infeksi nosokomial di antara
pasien dan penyedia layanan kesehatan (terutama hepatitis B / C dan HIV /
AIDS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan implementasi dari
perlindungan universal. Ini adalah studi kasus. Data dikumpulkan dengan
menggunakan wawancara dan observasi, di Rumah Sakit Islam Malang Unisma
tahun 2005. Ada sepuluh perawat dan asisten perawat yang bekerja di bangsal
rumah sakit yang diwawancarai.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kewaspadaan universal
telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan standar prosedur kewaspadaan
universal. Hanya 50% responden yang berlatih mencuci tangan dengan benar
tidak ada tangan oloves. Sebuah prosedur yang salah untuk stenl, sarung tangan
tangan, dan peralatan medis. Semua
"Jarum tidak didekontaminasi sebelum dibuang. Fasilitas pendukung khususnya
prosedur operasi standar untuk universitas dan pra 6: pelatihan layanan tidak
tersedia.
Disimpulkan bahwa penerapan kewaspadaan universal tidak sesuai dengan
prosedur standar. Jadi nsK potensial nosocom ~ altnection tidak dapat dikurangi,
di sisi lain meningkatkan risiko hepatitis B / C dan HIV / AIDS
penularan di antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Perawat dan perawat
yang bertahan tidak pernah memberikan layanan pelatihan untuk kewaspadaan
universal oleh manajemen rumah sakit.
Berdasarkan hasil. direkomendasikan untuk menyediakan prosedur standar
tindakan pencegahan universal dan untuk melatih penyedia layanan kesehatan
(perawat dan perawat, perawat) yang memberikan layanan di bangsal rumah sakit
untuk dapat menerapkan tindakan pencegahan universal dengan benar. Dan perlu,
untuk melakukan studi lebih lanjut tentang penerapan kewaspadaan universal di
pusat-pusat kesehatan dengan bangsal rawat inap dan lainnya.
Kata kunci: kewaspadaan universal, praktik, rumah sakit

B. Pendahuluan
Universal Precautions rnerupakan upaya yang dilakukan dalarn rangka perlindungan,
pencegahan dan rnerninirnalkan infeksi silang (cross infections) antara petugas pasien akibat
adanya kontak langsung dengan pasien atau cairan tubuh pasien yang terinfeksi penyakit
menular (seperti HIVIAIDS dan hepatitis). Prinsip kewaspadaan universal adalah bahwa
darah dan semua jenis cairan tubuh, sekreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir
penderita dianggap sebagai surnber potensial untuk penularan infeksi terrnasuk HIV (Depkes
dan Kesos RI. 2001). Sehingga diharapkan setiap petugas pelayanan kesehatan rnampu
menerapkan prinsip universal precautions. Penerapan kewaspadaan universal ini bertujuan
tidak hanya rnelindungi petugas dari resiko lerpajan oleh infeksi narnun juga melindungi klien
yang rnernpunyai kecenderungan rentan terhadap segala -
. .

rnacam infeksi yang rnungkin terbawa oleh petugas. Menurut data dinkes provinsi JawaTirnur
(2004), Jawa Tirnur m e nlpakan urutan nclrnor em1 at terbanyak dalam kas;us HIVIAIDS
di lndonesia. Dalam data terakhir peningkatan kasus HIV dan AlDS sekitar 2 kali lipat
lebih besar. Hal ini perlu diwaspadai terutarna bagi petugas kesehatan tempat
pemberi pelayanan kesehatan. Menurut WHO, untuk setia p kasus HIV positif
yang terdeteksi dianggi3p ada 101D orang yang sudah terinfeksi HIV tetapi

5
6
belum terdeteksi (fenomena gunung es). Dengan kata lain kasus-kasus HIV
positif dan AlDS yang diketahui hanyalah sebagian sangat kecil dari itasus-kasus
HIV positif dan AlDS yang sesungguhnya ada di masyarakat.
Walaupun bukti insiden kasus penyakit rnenular seperti HIVIAIDS ataupun Hepatitis B/C
pada petugas kesehatan belurn banyak diternukan, narnun adanya peningkatan prevalensi
tersebut mernungkinkan timbulnya peningkatan penularan pada petugas kesehatan medis
maupun perawat yang merawat pasien. WHO (2000) rnenyebutkan bahwa kernungkinan
risiko infeksi HIV dari pasien saat pelaksanaan pelayanan kesehatan adalah rendah yaitu
sekitar 0,3%, dan kebanyakan berhubungan dengan kecelakaan jarurn suntik dari pasien
yang terinfeksi HIV yang belum rnelalui proses desinfeksi atau sudah didesinfeksi namun
tidak adekuat, atau juga rnelalui proses transfusi darah. Berdasarkan hasil penelitian jaringan
epidemiologi nasional tahun 1992 serta penelitian Agus W Budi tahun 1995. pengetahuan,
sikap, persepsi dan perilaku petugas kesehatan dalarn rangka penerapan universal
precautions terutama yang berhubungan dengan potensi penyebaran HIVIAIDS berada
dalarn tingkat yang memprihatinkan. Sehingga peran dari kelalaian petugas kesehatan yang
kurang atau bahkan tidak mernatuhi protokol Universal Precautions adalah cukup besar.
Sehingga potensi peningkatan penyebaran penyakit menular terutarna HIVIAIDS dan
hepatitis semakin besar.

Berdasarkan data rekarn rnedik RSI Malang Unisrna, dalam 2 tahun terakhir terdapat
sekitar 3-4 orang penderita yang terdeteksi positif HIV. Dengan penelitian ini diharapkan data
yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai data primer dalam rnenangani permasalahan
yang ada sehubungan dengan pelaksanaan universal precautions di Rurnah Sakit lsiarn
Malang sesuai standar yang berlaku, baik melalui peningkatan kualitas SDM rnaupun
peningkatan sarana-prasaranaterrnasuk pernbakuan standar? operasional prosedure tentang
universal precautions di Rurnah Sakit. Dengan adanya penerapan universal precautions yang
berkualitas, diharapkan peningkatan prevalensi penyakit menular seperti HIV rnaupun
Hepatitis BIC dapat ditekan.

Adapun pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah bagairnana pelaksanaan Universal
Precautions oleh perawat di Rumah Sakit lslarn Malang Unisrna. Tujuan urnum penelitian ini
adalah untuk rnengetahui pelaksanaan Universal Precautions oleh perawat di Rurnah Sakit
Islam Malang Unisma dan tujuan khusus adalah; rnengetahui pelaksanaan upaya Universal
Precautionsoleh petugas kesehatan rneliputi tindakan rnencuci tangan, pernakaian
handscoen, sterilisasi alat kesehatan logarnltajarn, sterilisasi handscoen. desinfeksi bahan
kain, desinfeksi lantailrneja periksa dan pengelolaan lirnbah medis, serta rnengetahui
ketersediaan fasilitas penunjang Universal Precautions. Diharapkan, data yang diperoleh
dapat sebagai rnasukan dalam upaya menegakkan "disiplin universalprecautions'diternpat
pelayanan kesehatan dijadikan acuan guna penelitian selanjutnya

C .METODOLOGI PENELlTlAN

Metode penelitian rnerupakan studi kasus dengan design studi deskriptif


ekploratif. Populasi terdiri dari perawat dan pekarya kesehatan. Sampel
sebanyak 10 orang terdiri dari 8 orang perawat dan 2 orang pekarya kesehatan,
yang berasal dari ruang perawatan dewasa dan anak-anak yang dipilih secara
acak sederhana di Rumah Sakit lslarn Universitas lslam Malang.

6
7
D. Hasil Pembahasan

Pelaksanaan Universal Precautions oleh Petugas Kesehatan

Prosedur pencucian tangan yang ditakukan oleh perawat dan pekarya belum sesuai
dengan prosedur standar yang ditetapkan oleh Depkes maupun WHO. Adapun prinsip
mencuci tangan yaitu kegiatan untuk menghilangkan benda asinglkotoran terutama bekas
darah, cairan tubuh atau benda asing lainnya seperti debu. kotoran yang menempel di kulit
tangan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun dan tidak sesuai dengan
fungsi pencucian tangan yaitu melindungi diri petugas kesehatan sendiri dan misi untuk
melindungi pasien dari penularanlcross infections melalui perantara petugas kesehatan
(Depkes dan Kesos RI, 2001). Hal ini dapat menimbulkan risiko terjadinya infeksi nosokomial
akibat adanya transmisi mikroorganisme patogen dari pasien ke pasien melalui tangan
petugas kesehatan (Boyce 1999; Larson 1995).

Nampak perilaku perawat dan pekarya dalam pemakaian handscoen masih belum sesuai
standar prosedur. Perawat dan pekarya memakai handscoen pada jenis tindakan yang benar-
benar berhubungan dengan muntahanldarahlurinelfeses pasien dengan jumlah yang banyak
dan menjijikkan sebagaimana diungkapkan mereka. Sedangkan untuk jenis tindakan seperti
pengambilan sampel sputum, sampel darah, rnemasang dan merawat infus, perawat dan
pekarya masih belum melakukan pemakaian handscoen. Perawat mengatakan ha1 ini
dikarenakan tindakan-tindakan tersebut merupakan jenis tindakan yang hanya sedikit
menimbulkan kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien. Padahal seharusnya
penggunaan handscoen harus dilakukan pada tindakan tertentu seperti pemasangan infus,
pengambilan sampel darah, tindakan nebulizer dan pengambilan sputum (Depkes RI, 2000)
serta tinda'kanlain yaitu saat sterilisasi dan dekontaminasi alat kesehatan yang terkontaminasi
dengan darahlcairan tubuh pasien (JEN 1995; JHPIEGO 2003). Dan handscoen yang
digunakan harus berkualitas, tidak berlubang sehingga mampu menjadi alat peiindung yang
efektif (JHPIEGO 2003).

Perawat dan pekarya tidak melakukan pemeriksaan handscoen sebelum


digunakan dan kualitas handscoenyang mudah robek memungkinkan ada defek
(lubang) pada handscoen yang dapat menyebabkan ketidakamanan bagi
petugas kesehatan itu sendiri terhadap kontak langsung dengan cairanldarah
pasien yang berisiko untuk tertular melalui cairan tubuh seperti hepatitis BIC dan
HIVIAIDS. Demikian pula kurang terjaganya sterilitas pada waMu pemasangan
handscoen, dan apabila ada tindakan invasif pada pasien, maka dapat
menimbulkan komplikasi infeksi pada area yang terinvasi alathahan yang tidak
steril tersebut, seperti phlebitis rnaupun infeksi saluran kemih (JHPIEGO, 2003).

Proses sterilisasi handscoen merupakan upaya untuk membunuh mikrobakteri penyebab


infeksi kemungkinan masih melekat pada bahanlalat yang terpapardengan dunia luar
(Depkes dan Kesos. 201). Oleh karena itu prosedur sterilisasi harus sesuai dengan standar.
Penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur sterilisaasi handscoen yang dilakukan oleh
perawat belum sesuai dengan standar yaitu handscoen tidak didekontaminasi, belum
menggunakan autoclave dalam mesterilisasi handscoendan lama penyimpanan kurang dari
24 jam serta penyimpanannya tidak terpisah antara handscoen yang sudah steril dengan

7
8
yang baru akan disterilkan. Hal ini memungkinkan mikrobakteri penyebab infeksi tidak
seluruhnya dimusnahkan dan selanjutnya akan mengkontaminasi bagian tubuh
pasien yang tersentuh dengan handscoen tersebut hingga menimbulkan
komplikasi infeksi nosokomial pada pasien (JHPIEGO, 2003).

Prosedur sterilisasi instrurnen logam (metal) seperti pinset, gunting, bak instrumen dan
lain-lain belum sesuai dengan standar yaitu peralatantersebut tidak didekontaminasi terlebih
dahulu sebelum di cuci dan disterilkan serta perawat dan pekarya tidak menggunakan
handscoen. Sehingga ha1 ini dapat berakibat kemungkinan terjadinya risiko penularan
penyakit bagi petugas sendiri akibat kontak dengan kurnanlvirusyang masih menempel pada
alat tersebut. Disebutkan bahwa untuk mensterilisasikan instrumen dilakukan dengan 2 cara
yaitu pertama dengan heat sterilization yaitu dengan menggunakan autoclave (tempertur 121"
C atau 250" F dengan tekanan 106 kPa) dan oven/dry heat sterilization (temperatur 170" C
atau 340°F). Kedua dengan chemical sterilization yaitu dengan menggunakan formaldehyde
atau glutaraldehydes. Dan sebelum menterilisasi, alat harus didekontaminasi dengan cairan
chlorin minimal 0.5% guna menjaga kontaminasi kuman infeksi dengan petugas kesehatan
(JEN 1995; Depkes RI 1997: JHPIEGO 2003). Dikatakan bahwa selain sterilisasi, untuk
membunuh mikrobakteri patogen (bakteri, virus, jamur) dapat digunakan cara High level
desinfection yaitu dengan merebus maupun dengan chemical solutions seperti chlorin z
0,5%, formaldehyde 8%, glutaraldehyde dan hydrogen peroxide (JHPIEGO, 2003).

Sedangkan untuk penggunaan jarum injeksi seluruh perawat sudah menggunakan jarum
sekali pakai terutama untuk injeksi intravena dan intramuskular. Namun demikian, masih
perlu ditingkatkan kualitasnya mengingat pada injeksi yang dilakukan melalui selang infus
maupun plug, perawat masih menggunakan jarum injeksi lebih dari satu kali, bahkan ada
yang menggunakannya selama 2 hari (sekitar 4-8 kali suntikan) di mana berlaku satu jarum
untuk satu pasien. Alasan agar hemat diungkapkan oleh perawat. Oleh karena itu agar tetap
dapat menjaga prinsip pencegahan cross infection antar pasien, maka penyimpanan spuit
dan jarumnya antara pasien satu dengan yang lain perlu dipisahkan dalam tempat yang
berbeda. Dikatakan bahwa penyimpanan alat yang telah terkontaminasi dengan pasien harus
dilakukan secara khusus, dimungkinkan adanya tempat penyimpanan khusus untuk masing-
masing

pasien dan dikondisikan Jika memungkinkan suhu penyimpanan spuit dan jarum tersebut
perlu diupayakan untuk dapat menginaktifkan bakterilvirus yang melekat pada jarum atau
spuit pasien tersebut (JEN. 1995). Dikatakan pula bahwa penyimpanan alat bekas pakai
selama lebih dari 24jam pada suhu kamar dapat menimbulkan perkembangbiakan kuman
patogenlinfeksi, jika tidak dilakukan proses desinfeksi terhadap jarum dan spuit tersebut
makan dapat menimbulkan infeksi nosokomial seperti phlebitis (JHPIEGO, 2003)

Pada pelaksanaan desinfeksi bahan kain, dan desinfeksi lantai yang dilakukan oleh
perawat dan pekarya didapatkan kesalahan yang sama yaitu cara pencampuran komposisi
larutan desinfeksi yang belum sesuai prosedur. Dalam prosedur pencampuran dikatakan
bahwa untuk membuat chlorin yang adekuat dibutuhkan perbandingan 5 banding 5, di mana
5 bagian untuk air dan 5 bagian untuk kaparit, atau dapat digunakan cairan desinfeksi lain
seperti formaldehyde 8%, glutaraldehyde dan hydrogen peroxide. Oleh karena itu jika metode
dan komposisi pencampurannya belum tepat dimungkinkan hasil akhir desinfeksi tersebut
belum efektif, sehingga kuman patogen yang melekat pada kain maupun lantai masih belum

8
9
terbunuh sempurna. Hal ini akan meningkatkan risiko perkembangbiakan kuman infeksi di
lingkungan tempat perawatan di rumah sakit. dengan adanya tindakan desinfeksi yang
adekuat, kondisi tersebut dapat diminimalkan, sehingga angka pertumbuhan infeksi
nosokomial di rumah sakitdapat di tekan (JHPIEGO. 2003).

Pada pengelolaan limbah jarum suntik dan spuit, didapatkan bahwa saat pembuangan
jarum suntik yang habis dipakai terhadap pasien tidak dilakukan dekontaminasi terlebih
dahulu sebelum dibuang, dan proses pembuangannya masih sering lupa untuk memisahkan
jarum dengan spuit maupun dengan sampah medis yang lain. Padahal berdasarkan prosedur
yang ada seharusnya jarum suntik dan spuit harus disesinfeksi terlebih dahulu untuk
membunuh kuman penyakit yang masih menempel. Dan pembuangannya juga harus
dilakukan pemisahan. baikantara spuit dan jarumnya juga harus terpisah dari sampah medis
yang lain. Perilaku ini memungkinkan terjadinya risiko penularan penyakit pasien ke petugas
kebersihan atau petugas pengolah sampah saat melakukan pemisahan terlebih dahulu pada
sampah yang akan diolah. Mengingat cara pengolahan sampah

jarum/logam dengan sampah medis basah adalah berbeda di mana pada jarum dimasukkan
ke alat incineratorsedangkan sampah medis basah dilakukan penguburan pada lubang
khusus (JHPIEGO. 2003).

Keterangan Fasilitas Penunjang Penerapan Universal Precautions di


Rumah Sakit

Dari pengamatan langsung terhadap kondisi fasilitas penunjang penerapan


universalprecautions di Rumah Sakit Islam Malang Unisma, fasilitas yang sudah siap pakai
sudah tersedia dalam jumlah cukup. Hal ini memungkinkan adanya peluang besar untuk
memperbaiki kualitas pelayanan rumah sakit secara umum termasuk perbaikan kualitas
penerapan universal precautions procedure. Selain itu adanya potensi pengetahuan beberapa
petugas tentang prosedur universal precautions dapat dimanfaatkan untuk menciptakan dan
meningkatkan kondisi disiplin terhadap pelaksanaan universalprecautionsdi rumah sakit. Oleh
karena itu perlu peran pihak manajemen rumah sakit untuk menggali dan memanfaatkan dan
mengembangkan potensi-potensi yang ada, seperti adanya ketersediaan alat, dan
pengetahuansebagian kecil petugas. Sehingga diharapkan kondisi-kondisi perilaku kurang
tepat yang telah digambarkan sebelumnya oleh petugas kesehatan dalam pelaksanaan
universalprecautions di rumah sakit dapat dilakukan pembenahan ke arah peningkatan yang
lebih baik. Sehingga tujuan akhir dilakukannya penerapan protokol Universal Precautions
dapat dicapai oleh petugas maupun penderita pengguna pelayanan serta masyarakat yang
tinggal di sekitar Rumah Sakit Islam Malang Unisma, yaitu terlindungi dari risiko cross
infections, mengingat mencegah tetap lebih baik dari mengobati (JEN. 1995).

Karena belum adanya standar operasional prosedur tentang universal precaution secara
detail, akibatnya perawat dan pekarya tidak memiliki pedoman yang dipakai dalam
pelaksanaan universal precautions selama pelayanan di rumah sakit. Oleh karena itu perlu
upaya meningkatkan pengetahuan melalui peningkatan pengetahuan melalui pelatihan,
penyegaran ilmu dan lain sebagainya. Sehingga diharapkan adanya masukan tersebut dapat
merubah sikap dan perilaku negatif petugas kesehatan yang kemungkinan diakibatkan
adanya perbedaan persepsi dan konsep tentang pentingnya melakukan sesuatu termasuk
konsep universal precautions, demi peningkatan efektivitas kerja yang dilakukan

9
10
E. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Pelayanan univenalprecautionsoleh petugas


Kesehatan rumah Sakit Islam Malang Unisma belum

sesuai standar prosedur, antara lain;

1. Berdasarkan hasil wawancara

Menurut pengakuan petugas, pelaksanaan tindakan mencuci tangan selalu dilakukan 90%
(7 perawat dan 2 pekarya). Pemakaian handscoen oleh perawat tidak dilakukan pada
semua jenis tindakan yang dianjurkan untuk memakai handscoenantara lain semua
(100%) perawat dan pekarya tidak pernah menggunakan handscoen saat mengambil
sampel dahak, 90% (7 perawat dan 2 pekarya) tidak pemah memakai handscoen

saat ni maupun merawat infus, dan 60%

(4 PC dan 2 pekarya) tidak pernah menggunaKan handscoen saat


melakukan

tindakan nebulizer, dan sterilisasi instrumen logam serta beberapa tindakan lain sesuailabel 1,
yang berpotensi terjadi kontak langsung dengan darah a t a I ~cairan tl~ b u hpasien.
Selanjutnya perawat merigatakan proses pensterilan handscoen dilakukan oleh pihak
perawatlpekarya sendiri di ruangan dengan cara menyimpan tablet formalin bersama
handscoensetelahdibersihkan dan tidak ada ruang khusus sterilisasi di rumah sakit, yang ada
adalah tempat pensterilan di kamar operasi namun perawat tidak pernah mensterilkan
handscoen di tempat tersebut. Sembilan puluh persen (7 perawat dan 2 pekarya) mengatakan
mensterilisikan sendiri a,lat medikz11 bedah (logam)

setelah dipakrai, 10% pelrawat kad; mg-kadang saja


-

mensterilisai alat. Sedangkan pada penggunaan jarum spuit, semua perawat mengatakan
menggunakan jarum dan spuit secara single use pada tindakan injeksi intravena maupun
intrarnuskular. Sedangkan untuk injeksi melalui infus maupun plug, perawat mengatakan
menggunakan jarum dan spuit lebih dari satu kali dan penyimpanan spuit dan jarum
tersebut tidak sesuai standar, yaitu spuitdan jarum suntik semua pasien ditempatkan
dalam satu wadah yang tidak steril. 20% (1 perawat dan 1 pekarya) mengatakan selalu
melaksanakan desinfeksi bahan kain. 70% (6 perawat dan 1 pekarya) kadang-kadang dan
10% perawat tidak pernah mendesinfeksi sendiri bahan kain. Pada pengelolaan limbah
medis berupa jarum spu#,90°/~ (7 perawat dan 2 pekarya) mengatakan tidak pemah
melaksanakannya dan 10% perawat kadang- kadang melakukan dekontaminasi jarum
spuit.

2. Berdasarkan hasil observasi

10
11
Didapatkan 50% (3 perawat dan 2 pekarya) mencuci tangan tidak sesuai dengan standar
prosedur, yaitu teknikmencuci tangan yang kurang tepat, tidak memakai handuk yang
kering dan bersih dalam mengering tangan, dan waktu mencuci tangan kurang dari
30detik setelah kontak dengan darahlcairan tubuh pasien. Selanjutnya 50% (3 perawat
dan 2 pekarya) memakai handscoentidak sesuai dengan standar prosedur antara lain;
semuanya tidak melakukan pemeriksaan terhadap kebocoran handscoen. teknik
memasang handscoen kurang tepat sehingga sterilitas handscoentidak terjaga. Untuk
pelaksanaan sterilisasi handscoen, 100% petugas mensterilisasi handscoen tidak sesuai
dengan standar yaitu 70% (5 perawat dan 2 pekarya) tidak melakukan dekontaminasi
sebelum mem-bersihkannya, dan komposisi pencampuran cairan chlorinyang digunakan
untukdesinfeksi memakai

perkira(an (tidak!5 banding 5, yaitu 5 bagian untuk kaporil I dan 5 bagian untuk air DTT).
SedangCtan
. ..

untuk sterillsasi instrumen, semua (I(10%) perarNat

dan pekarya mensterilisasi alat medikal bedah logam tidak sesuai standar
prosedur, antara lain 80% (6 perawat dan 2 pekarya) tidak memakai
handscoen saat mensterilisasi alat serta 90% (7 perawat dan 2 pekarya) tidak
melakukan dekontaminasi instrumen sebelum dicucil disterilkan. Selanjutnya
terdapat 60% (4 perawat

Saran

1. Bagi pihak manajemen rumah sakit perlu mempertegas komitmen berupa kebijakan
tentang upaya pelaksanaan universal di rumah sakit dengan cara membuat kesepakatan
standar operasional prosedur tentang prosedur universal precautions secara detail,
melakukan sosialisasi kepada seluruh petugas kesehatan yang terkait dengan tujuan
pelaksanaan universalprecautions. mengadakan pelatihan dan pendidikan berkelanjutan
tentang penerapan universal precautions dalam rangka meningkatkan kognitif. afektif dan
psikomotor petugas. Adanya penyebaran info tentang cara penularan HIV/AIDS ataupun
hepatitis B serta tentang cara detail pelaksanaan universal precautions yang tepat kepada
petugas kesehatan, mulai dari bagaimana mencuci tangan dengan benar, bagaimana
efektivitas larutan desinfektan, bagaimana cara mendesinfeksi dan mensterilisasikan alat
dengan benar dan lain sebagainya, perlu disertai dengan demonstrasi secara nyata
sehingga mereka dapat benar-benar mampu melakukan proteksi terhadap tindakan yang
berisiko rnenularkan atau tertular penyakit.
2. Pihak rumah sakit juga perlu mengadakan pengawasan dan evaluasi mengenai
pelaksanaan universal precautions itu sendiri, baik dilakukan oleh atasan secara
langsung atau melalui tim khusus yang terkait dengan penanggulangan infeksi
nosokomial di rumah sakit. Hal ini termasuk juga penyediaan alat-alat proteksi yang
berkualitas standar di unit pelayanan rumah sakit seperti handscoen, masker dan
lain-lainnya (kualitas alat diupayakan tidak dibawah standar). Jika memungkinkan
ha1 ini perlu ditunjang dengan adanya sanksi tegas bagi yang melanggar. Perlu juga
diadakan surveilence mengenai prevalensi dampak-dampak yang muncul yang
terkait dengan perilaku penerapan universal precautions yang kurang sesuai.

11
12
3. Pihak rumah sakit juga perlu membuat program pemberian dan
penyebarluasan penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang penyakit-
penyakit menular yang diakibatkan oleh kontak langsung dengan pasien
atau cairanldarah pasien beserta cara penularannya, terutama yang
terkait dengan perilaku petugas kesehatan yang kurang menerapkan
upaya universal precautions saat melakukan tindakan ke pasien.
Sehingga jika pasien maupun keluarga menyadari bahwa memakai
handscoen adalah penting bagi pasien sendri maupun petugas
kesehatan, maka pasien mauapun keluarga diharapkan untuk berani
mengingatkan petugas kesehatan yang melakukan penyimpangan
terhadap pelaksanaan universal precautions pada saat melakukan
tindakan terhadap pasien.

4. Petugas kesehatan perlu menyadari bahwa tingkat kewaspadaan diri


yang ada saat ini perlu untuk lebih ditingkatkan, mengingat prevalensi
penyakit menular terutama HIV/AIDS maupun Hepatitis B di Indonesia
kian meningkat. Dan dari cara penularannya, posisi petugas kesehatan
adalah sangat rentan sekali, baik sebagai objek yang tertular maupun
sebagai objek yang menularkan baik secara langsung maupun tak
langsung kepada orang lain yang sehat sebelumnya. Oleh karena itu
petugas kesehatan harus mampu berkomitmen untuk lebih meningkatkan
upaya penerapan universal precautions di rumah sakit demi tercapainya

ANALISIS JURNAL
A. Judul dan Abstrak

12
13
 Judul jurnal sudah sesuai dengan abstrak (PELAKSANAAN
UNIVERSAL PRECAUTIONS OLEH PERAWAT DAN PEKARYA
KESEHATAN(Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Malang Unisma))
 Abstrak tersebut sudah memberikan informasi yang lengkap tentang latar
belakang , tujuan, metode, dan hasil penelitian.
 Di dalam jurnal pada latar belakang dijelaskan alasan melakukan penelitian
yaitu untuk menjawab pertanyaan bagaimana implementasi pelayanan
Universal Precaution dalam pelayanan kesehatan.
B. Justifikasi Metode dan Desain
 Di dalam jurnal pada pendahuluan dijelaskan alasan melakukan penelitian
 Tinjauan pustaka dalam jurnal cukup
 Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Sementara pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
metode content analysis.

C. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
Sampel sebanyak 10 orang terdiri dari 8 orang perawat dan 2 orang pekarya
kesehatan, yang berasal dari ruang perawatan dewasa dan anak-anak yang
dipilih secara acak sederhana di Rumah Sakit lslarn Universitas lslam Malang.

D. Analisa dan Hasil


Hasil wawancara. 90% responden menyatakan bahwa rnereka selalu rnencuci tangan
untuk setiap tindakan, sisanya 10% petugas tidak selalu rnencuci tangan, karena lupa. Waktu
rnencuci tangan dilakukan oleh 80% perawat dan pekarya sesudah kontak dengan pasien
atau darahlcairan tubuh pasien, sedangkan 20% perawat rnencuci tangan sebelurn tindakan.
Narnun hasil observasi pada saat pelaksanaan mencuci tangan, ditemukan bahwa hanya
50% perawat mencuci tangan sesuai prosedur, sisanya 50% mencuci tangan tidak sesuai
prosedur. Dari hasil wawancara, semua (100%) perawat dan pekarya menyatakan
tidak pernah menggunakan handscoen pada saat pengambilan sampel dahakl
sputum, 90% menyatakan tidak pemah menggunakan handscoen pada saat
memasang dan melakukan perawatan infus harian. 70% perawat tidak
menggunakan handscoen pada saat tindakan mengambil darah. Enam puluh
persen petugas (4 perawat dan 2 pekarya) tidak pemah menggunakan
handscoenpada saat melakukan tindakan nebulizer, pengambilan sampel urine
dan feses serta tindakan sterilisasi alat. Uraian secara rinci dapat dilihat pada
tabel 2.

13
14
Alasan perawat tidak memakai handscoen antara lain; karena telah menjadi kebiasaan,
sehingga beberapa perawat merasa terganggu saat memakai handsmen ketika melakukan
tindakan pada pasien. Contohnya pada saat melakukan pemasangan infus. perawat merasa
kesulitan untuk menusukkan jarum infus agar tepat mengenai sasaran vena pasien. Perawat
dan pekarya mengatakan bahwa merasa perlu memakai handscoen hanya jika melakukan
tindakan yang berhubungan dengan bahan yang menjijikkan yang berasal dari pasien.

Hasil observasi tentang penggunaan handscoen menunjukkan bahwa 50% petugas (3


perawat dan 2 pekarya) menggunakan handscoen tidak sesuai prosedur standar.
Ketidaksesuaian tersebut yaitu semua petugas tidak melakukan pemeriksaan kondisil
keutuhan handscoen(ada kebocoran atau tidak), tidak memasang handscoen dengan cara
yang benar antara lain; saat akan memakai, arah tangan tidak ke bawah, tidak memegang
bagian dalam handscoen saat akan rnemasukkan jari tangan, ada yang menyentuh bagian
luar dari handscoensehingga tidak menjamin handscoen dalam keadaan steril. Alasan yang
dikemukakan adalah karena mereka tidak terbiasa untuk memeriksa handscoen sebelum
memakainya dan lupa serta menganggap walaupun ada kebocoran kecil handscoen masih
layak pakai.

E. Kelebihan Jurnal
 Di dalam jurnal pada pendahuluan sudah dijelaskan secara pasti alasan
melakukan penelitian.
 Penelitian ini memuat situasi yang melatarbelakangi pelaksanaan universal
precaution oleh perawat dan pekarya kesehatan (studi kasus di Rumah Sakit
Islam Malang Unisna)
 Metode penelitian menggunakan penelitian kuantitatif
 Didalam pembahasan dan hasil sudah dijelaskan mengenai prosedur cuci
tangan dan juga sanitasi lingkungan.

F. Kekurangan
 Dalam penulisan jurnal, masih banyak kesalahan penempatan titik dan spasi.
 Dalam jurnal tidak digunakan standar dalam tindakan

14
15

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kewaspadaan Universal merupakan (Universal Precaution) adalah
kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan
perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis
penyakitnya (kamus-medis). Universal precaution salah satu cara untuk
mencegah terjadinya infeksi yang diakibatkan saat bekerja terutama di
bekerja dibidang kesehatan. Universal precaution yang sering diterapkan
biasanya adalah cuci tangan sebelum atau sesudah melakukan tindakan,
memakai alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, gaun, celemek,
sepatu boot dan melakukan sterilisasi atau desinfektan saat setelah
menggunakan alat.
3.2 Saran
Bagi semua pihak yang membaca makalah ini agar bisa memahami dan
mengerti dengan isi yang sudah kami paparkan di dalamnya. Makalah
yang kami buat ini semoga bisa jadi sumber pembelajaran dan menambah

15
16
wawasan bagi masiswa yang membaca. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami perlukan untuk bahan evaluasi kami kedepan

DAFTAR PUSTAKA
Solikhah, H. H., & Arifin, A. (2012). Pelaksanaan universal precaution oleh perawat dan
pekarya kesehatan.

Sholikhah, H. H., & Arifin, A. (2005). Pelaksanaan Universal Precautions oleh Perawat
dan Pekerja Kesehatan (Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Malang Unisma). Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, 8(1 Jun).

Soeryandari, O. D. R. (2008). Analisis Pelaksanaan Universal Precaution pada Pelayanan


Kesehatan Gigi. Berita Kedokteran Masyarakat, 24(2), 58.

16

Anda mungkin juga menyukai