DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
KEPERAWATAN B SEMESTER 6
1. Luh Putu Satyarini Giri. (17089014077)
2. Kadek Ngurah Susanto (17089014085)
3. I Gusti Ayu Made Yoni Sunyantari (17089014099)
4. Putu Yuli Purnama Dewi (17089014101)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Universal Precaution yang Berhubungan dengan HIV/Aids ” yang
disusun agar pembaca dapat mengetahui dan memahami rumusan dan macam-
macam diagnose keperawatan keluarga. Makalah ini diajukan sebagai salah satu
tugas mata kuliah Keperawatan keluarga
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini,
khususnya dari dosen mata kuliah guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman
bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini memberikan informasi dan bermanfaat untuk
pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
(Kelompok 6)
ii
DAFTAR ISI
Cover.................................................................................................................i
Kata Pengantar..................................................................................................ii
Daftar Isi...........................................................................................................iii
BAB I
Latar Belakang.............................................................................................1
Rumusan Masalah........................................................................................2
Tujuan Penulisan..........................................................................................2
Manfaat Penulisan........................................................................................2
BAB II
Pengertian Universal Precution....................................................................3
Manfaat Universal Precaution......................................................................6
Universal Precaution di rumah sakit............................................................7
BAB III
Kesimpulan..................................................................................................9
Saran.............................................................................................................9
Daftar Pustaka...................................................................................................10
iii
8
BAB I
PENDAHULUAN
8
9
1.3 TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian Universal Precaution
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja manfaat Universal Precaution
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana Universal Precaution di rumah sakit
9
10
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Universal Precaution
Kewaspadaan Universal merupakan (Universal Precaution) adalah kewaspadaan
terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien,
dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (kamus-medis) .
Kewaspadaan universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana
pelayanan kesehatan. Merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit dari
cairan tubuh, baik dari pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya.
Dasar Kewaspadaan Universal ini meliputi pengelolaan alat kesehatan, cuci tangan guna
mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya sarung tangan untuk
mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan jarum dan alat
tajam untuk mencegah perlukaan, serta pengelolaan limbah (Depkes RI, 2003).Dalam
menggunakan Kewaspadaan Universal petugas kesehatan memberlakukan semua pasien
sama, tanpa memandang penyakit atau diagnosanya dengan asumsi bahwa risiko atau infeksi
berbahaya.
Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek dokter
gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan
alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut pada petugas
layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada pedoman untuk mencegah
kemungkinan penularan terjadi. Pedoman ini disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus
ditekankan bahwa pedoman tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap
penularan HIV, tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan
sebetulnya lebih mudah menular.
World Health Organisation(WHO)dalam Nasronudin (2007),universal precautions
merupakan suatu pedoman yang ditetapkan oleh the Centers for Disease Control and
Prevention(CDC) Atlanta dan the Occupational Safetyand Health Administration(OSHA),
untuk mencegah transmisi dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah dilingkungan
fasilitas pelayanan kesehatan. Kurniawati dan Nursalam (2009)universal precautions
merupakan upaya-upaya yang dilakukan olehseluruh tenaga kesehatan untukmengendalikan
dan mengurangi resiko penyebaran infeksi yang ditujukanpada semua pasien padasaat
melakukan setiap tindakan, dan dilakukandisemua tempat pelayanan kesehatan tanpa
10
11
memandang status infeksipasien.Universal precautionsmerupakan tindakan pencegahan dan
pengendalian infeksi yang ditujukanpada semua pasien, saat melakukansetiap tindakanoleh
seluruh tenagakesehatanyang terlibat disemuafasilitas pelayanan kesehatan.
Pengamatan awal pada petugas pelayanan poli gigi dalam melakukan tindakan
prosedur universal precautions menggunakan daftar tilik untuk petugas kesehatan dengan
mengacu pada indikator pelaksanaan universal precautions poli gigi pada lima Puskesmas
yaitu:
2. Pemakaian sarung tangan dan alat pelindung untuk mencegah kontak dengan darah
serta cairan infeksius lain
11
12
1. Cuci Tangan
Mencuci tangan merupakan teknik dasar yang paling penting dalam
pencegahan dan pengontrolan infeksi (Potter & Perry, 2005). Tujuan mencuci
tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari
tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu. Mikroorganisme
pada kulit manusia dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu flora residen
dan flora transien. Flora residen adalah mikrorganisme yang secara konsisten dapat
diisolasi dari tangan manusia, tidak mudah dihilangkan dengan gesekan mekanis
yang telah beradaptasi pada kehidupan tangan manusia. Flora transien yang flora
transit atau flora kontaminasi, yang jenisnya tergantung dari lni gkungan
tempat bekerja.
12
13
13
14
Langkah mencuci tangan (Potter & Perry, 2005) adalah sebagai berikut:
1) Gunakan wastapel yang mudah digapai dengan air mengalir yang hangat, sabun
biasa atau sabun antimikrobial, lap tangan kertas atau pengering.
2) Lepaskan lap tangan dan gulung lengan panjang keatas pergelangan tangan.
Hindari memakai cincin, lepaskan selama mencuci tangan.
3) Jaga supaya kuku tetap pendek dan datar.
4) Inspeksipermukaan tangan dan jari akan adanya luka atau sayatan pada kulit dan
kutikula.
5) Berdiri didepan wastapel. Jaga agar tangan dan seragam tidak menyentuh
wastapel.
6) Alirkan air. Tekan pedal dengan kaki untuk mengatur aliran dan suhu atau
dorong pedal lutut secara lateral untuk mengatur aliran dan suhu.
7) Hindari percikan air mengenai seragam.
8) Atur aliran air sehingga suhu hangat.
9) Basahi tangan dan lengan bawah dengan seksama sebelum mengalirkan air
hangat. Pertahankan supaya tangan dan lengan bawah lebih rendah dari pada
siku selama mencuci tangan.
10) Taruh sedikit sabun biasa atau sabun anti mikrobial cair pada tangan, sabuni
dengan seksama.
11) Gosok kedua tangan dengan cepat paling sedikit 10 – 15 detik. Jalin jari-jari
tangan dan gosok telapak dan bagian punggung tangan dengan dengan gerakan
14
15
sirkuler paling sedikit masing-masing lima kali. Pertahankan supaya ujung jari berada
dibawah untuk memungkinkan pemusnahan mikroorganisme.
12) Jika daerah di bawah kuku kotor, bersihkan dengan kuku jari tangan yang
satunya, dan tambah sabun atau stik orangewood yang bersih
13) Bilas tangan dan pergelangan tangan dengan seksama, pertahankan supaya letak
tangan dibawah siku.
14) Ulangi langkah 10 sampai a2 namun tambah periode mencuci tangannya 1, 2, 3
dan detik.
15) Keringkan tangan dengan seksama dan jari tangan ke pergelangan tangan dan
lengan bawah dengan handuk kertas (tisue) atau pengering.
16) Jika digunakan, buang handuk kertas pada tempat yang tepat.
17) Tutup air dengan kaki dan pedal lutut.
b. Indikasi Cuci Tangan
Cuci tangan harus dilakukan pada saat yang di antisipasi akan terjadi
perpindahan kuman melalui tangan yaitu sebelum malakukan suatu tindakan yang
seharusnya dilakukan secara bersih dan setelah melakukan tindakan
yang memungkinkan terjadi pencemaran seperti:
Sebelum melakukan tindakan misalnya memulai pekerjaan, saat akan
memeriksa, saat akan memakai sarung tangan yang steril atau sarung tangan yang
telah didesinfeksi tingkat tinggi untuk melakukan tindakan, saat akan melakukan
peralatan yang telah di DTT, saat akan injeksi , saat hendak pulang ke rumah.
15
16
Setelah melakukan tindakan yang memungkinkan terjadi pencemaran. Misalnya setalah
memeriksa pasien, setelah mamakai alat bekas pakai dan bahan lain yang beresiko
terkontaminasi, setelah menyentuh selaput mukosa, darah atau cairan tubuh lain, setelah
membuka sarung tangan.
c. Sarana Cuci Tangan
Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan
saluran pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan guyuran air
mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah gesekan
mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan terhalau dan tidak
menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat berupa kran atau
dengan cara mengguyur dengan gayung.
Penggunaan sabun tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat dan
mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi tegangan permukaan
sehingga mikroorganisme mudah terlepas dari permukaan kulit. Jumlah
mikroorganisme akan berkurang dengan sering mencuci tangan.
Larutan antiseptik atau anti mikroba topikal yang dipakai pada kulit atau
jaringan hidup lain menghambat aktivitas atau membunuh mikroorganisme pada
kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan yang ingin dicapai adalah
penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit secara maksimal terutama pada
kuman transien.
16
17
17
18
dipakai oleh setiap petugas sebelum kontak dengan darah atau semua jenis cairan
tubuh.
Jenis sarung tangan yang dipakai di sarana kesehatan, yaitu :
1) Sarung tangan bersih adalah sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi dan
digunakan sebelum tindakan rutin pada kulit dan selaput lendir. Misalnya
tindakan medis pemeriksaaan dalam, merawat luka terbuka.
2) Sarung tangan steril adalah sarung tangan yang disterilkan dan harus digunakan
pada tindakan bedah. Bila tidak ada sarung tangan steril baru dapat digunakan
sarung tangan yang didesinfeksi tingkat tinggi.
3) Sarung tangan rumah tangga adalah sarung tangan yang terbuat dari latex atau
vinil yang tebal. Sarung tangan ini dipakai pada waktu membersihkan alat
kesehatan, sarung tangan ini bisa dipakai lagi bila sudah dicuci dan dibilas
bersih.
Sarung tangan ini harus selalu dipakai pada saat melakukan tindakan yang
kontak atau diperkirakan akan terjadi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekret,
kulit yang tidak utuh, selaput lendri pasien dan benda terkontaminsi.
Yang harus diperhatikan ketika menggunakan sarung tangan yaitu gunakan
sarung tangan yang berbeda untuk setiap pasien, segera lepas sarung tangan apabila
telah selesai dengan satu pasien dan ganti dengan sarung tangan yang lain apabila
menangani sarung tangan lain. Hindari jamahan pada benda lain selain yang
berhubungan dengan tindakan yang sedang dilakukan. Tidak dianjurkan
menggunakan sarung tangan rangkap karena akan menurunkan kepekaan.
Prosedur pemakaian sarung tangan steril (DepKes RI, 2003 : 22) adalah
sebagai berikut:
1) Cuci tangan
2) Siapkan area yang cukup luas, bersih dan kering untuk membuka paket sarung
tangan. Perhatikan tempat menaruhnya (steril atau minimal DTT)
3) Buka pembungkus sarung tangan, minta bantuan petugas lain untuk membuka
pembungkus sarung tangan. Letakan sarung tangan dengan bagian telapak
18
19
tangan menghadap keatas
4) Ambil salah satu sarung tangan dengan memegang pada sisi sebelah dalam
lipatannya, yaitu bagian yang akan bersentuhan dengan kulit tangan saat
dipakai
5) Posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan menggantung ke lantai, sehingga
bagian lubang jari-jari tangannya terbuka. Masukan tangan (jaga sarung tangan
supaya tidak menyentuh permukaan)
6) Ambil sarung tangan kedua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan yang
sudah memakai sarung tangan ke bagian lipatannya, yaitu bagian yang tidak
akan bersentuhan dengan kulit tangan saat dipakai
19
20
7) Pasang sarung tangan yang kedua dengan cara memasukan jari-jari tangan yang
belum memakai sarung tangan, kemudian luruskan lipatan, dan atur posisi
sarung tangan sehingga terasa pas dan enak ditangan
b. Pelindung Wajah (Masker)
1) Ambil bagian tepi atas masker (biasaanya sepanjang tepi tersebut / metal yang
tipis).
2) Pegang masker pada dua tali atau ikatan bagian atas. Ikatan dua tali atas pada
bagian atas belakang kepala dengan tali melewati atas telinga.
20
21
3) Ikatkan dua tali bagian bawah pas eratnya sekeliling leher dengan masker
sampai kebawah dagu.
4) Dengan lembut jepitkan pita metal bagian atas pada batang hidung.
c. Gaun Pelindung
Gaun pelindung merupakan salah satu jenis pakaian kerja. Jenis bahan
sedapat mungkin tidak tembus cairan. Tujuan pemakaian gaun pelindung adalah
untuk melindungi petugas dari kemungkinan genangan atau percikan darah atau
cairan tubuh lain. gaun pelindung harus dipakai apabila ada indikasi seperti halnya
pada saat membersihkan luka, melakukan irigasi, melakukan tindakan drainase,
menuangkan cairan terkontaminasi ke dalam lubang wc, mengganti pembalut,
menangani pasien dengan perdarahan masif. Sebaiknya setiap kali dinas selalu
memakai pakaian kerja yang bersih, termasuk gaun pelindung. Gaun pelindung
harus segera diganti bila terkena kotoran, darah atau cairan tubuh.
Cara menggunakan gaun pelindung (Anita, D, A, 2004) sebagai berikut :
1) Hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakaian gaun
untuk melindungi pemakai dari infeksi.
2) Gaun dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain.
21
22
kulit harus dalam keadaan steril. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui
22
23
23
24
suatu permukaan benda dan juga mempersiapkan alat untuk kontak langsung
dengan desinfektan atau bahan sterilisasi sehingga dapat berjalan secara sempurna.
Pada pencucian digunakan detergen dan air. Pencucian harus dilakukan
dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain betul-betul hilang dari
permukaan tersebut. Pencucian yang hanya mengandalkan air tidak dapat
menghilangkan minyak, protein dan partike-lpartikel. Tidak
dianjurkan mencuci dengan menggunakan sabun biasa untuk membersihkan
peralatan, karena sabun yang bereaksi dengan air akan menimbulkan residu yang
sulit untuk dihilangkan.
c. Disinfeksi dan Sterilisasi
Suatu alat termasuk dalam kategori resiko tinggi karena penggunaan alat
tersebut beresiko tinggi untuk menyebabkan infeksi apabila alat tersebut
terkontaminasi oleh mikroorganisme atau spora bakterial. Alat tersebut mutlak
perlu dalam keadaan steril karena penggunaannya menembus jaringan atau sistem
pembuluh darah yang steril. Dalam kategori ini meliputi alat kesehatan bedah,
kateter jantung dan alat yang ditanam. Alat-alat tersebut harus dalam keadaan steril
pada saat pembeliaannya atau bila mungkin disterilkan dengan otoklaf. Apabila alat
itu tidak tahan panas maka sterilisasi dilakukan dengan etilen oksida atau kalau
terpaksa
24
25
apabila cara lain tidak memungkinkan dilakukan streilisasi kimiawi seperi dengna
glutaraldehide 2% atau hidrogen peroksida 6%. Cara tersebut harus tetap
memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi yaitu pencucian yang cermat
sebelumnya.
2) Resiko sedang
Alat yang digunakan untuk menyentuh lapisan mukosa atau kulit yang tidak
utuh harus bebas dari semua mikroorganisme kecuali spora. Lapisan mukosa yang
utuh pada umumnya dapat menahan infeksi spora tetapi tetap rentan terhadap
infeksi basil TBC dan virus, yang termasuk dalam kategori resiko sedang antara
lain alat untuk terapi pernafasan, alat anestesi, endoskopi dan ring diagfragma. Alat
beresiko sedang memerlukan paling tidak desinfeksi tingkat tinggi, baik secara
pasteurisasi atau kimiawi.
Pemilihan proses desinfeksi harus memperhatikan efek sampingnya seperti
klorin yang mempunyai sifat korosif. Laparascopi dan artroskopi yang dipakai
dengan menmbus jaringan steril secara ideal harus disterilkan terlebih dahulu,
namun biasanya hanya dilakukan disenfeksi tingkat tinggi saja. Disarankan agar
semua alat dibilas dengan air steril untuk menghindari kontaminasi dengan
mikroorganisme yang berasal dari air seperti mikrobakteria nontuberkulosa dan
legionella. Bila tidak tersedia air steril dapat dengan air biasa diikuti dengan bilasan
air alkohol dan cepat dikeringkan dengan semprotan udara. Semprotan udara ini
dapat mengurangi
25
26
Alat yang masuk dalam kategori resiko rendah adalah yang digunakan pada
kulit yang utuh dan bukan untuk lapisan mukosa. Kulit utuh adalah pertahanan yang
efektif terhadap infeksi semua jenis mikroorganisme, oleh karena itu sterilisasi
tidak begitu diperlukan. Contoh alat yang masuk kategori resiko rendah adalah
pispot, tensimeter, linen, tempat tidur, peralatan makan, perabotan, lantai.
Walaupun peralatan tersebut mempunyai resiko rendah untuk menyebabkan
infeksi, namun dapat menjadi perantara sekunder dengan jalan mengkontaminasi
tangan petugas kesehatan atau peralatan yang seharusnya steril oleh karena itu alat
tersebut tetap perlu didesinfeksi dengan disinfeksi tingkat rendah.
26
27
kulit atau mukosa harus dapat dijamin. Keadaan steril tidak dapat dijamin jika alat-
alat tersebut didaur ulang walaupun sudah di otoklaf. Tidak dianjurkan untuk
melakukan daur ulang atas pertimbangan penghematan karena 17% kecelakaan
kerja disebabkan oleh luka tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70% terjadi
sesudah pemakaian dan sebelum pembuangan serta 13% sesudah
pembuangan.hampir 40% kecelakaan ini dapat dicegah dan kebanyakan kecelakaan
kerja akibat melakukan penyarungan jarum suntik setelah penggunaannya.
Perlu diperhatikan dengan cermat ketika menggunakan jarum suntik atau
benda tajam lainnya. Setiap petugas kesehatan bertanggung jawab atas jarum dan
alat tajam yang digunakan sendiri, yaitu sejak pembukaan paking, penggunaan,
dekontaminasi hingga kepenampungan sementara yang berupa wadah alat tusukan.
Untuk menjamin ketaatan prosedur tersebut maka perlu menyediakan alat limbah
tajam atau tempat pembuangan alat tajam di setiap ruangan, misalnya pada ruang
tindakan atau perawatan yang mudah dijangkau oleh petugas. Seperti prosedur
pengelolaan alat kesehatan lainnya maka petugas harus selalu mengenakan sarung
tangan tebal, misalnya saat mencuci alat dan alat tajam.
Risiko kecelakaan sering terjadi pada saat memindahkan alat tajam dari
satu orang ke orang lain, oleh karena itu tidak dianjurkan menyerahkan alat tajan
secara langsung, melainkan menggunakan technik tanpa sentuh (hands free) yaitu
menggunakan nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil
sendiri dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah. Risiko perlukaan dapat
ditekan
27
28
28
29
5. Pengeloaan Limbah
a. Limbah rumah tangga atau limbah non medis, yaitu limbah yang tidak
kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai resiko
rendah. yakni sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan ruang
tunggu pasien, administrasi.
b. Limbah medis bagian dari sampah rumah sakit yang berasal dari bahan
yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut
sebagai limbah beresiko tinggi. Beberapa limbah medis dapat berupa:
limbah klinis, limbah laboratorium, darah atau cairan tubuh yang
lainnya, material yang mengandung darah seperti perban, kassa dan
benda-benda dari kamar bedah, sampah organik, misalnya potongan
tubuh, plasenta, benda-benda tajam bekas pakai misal jarum suntik.
a. Pemilahan
29
30
3) Hanya bersifat sementara dan tidak boleh lebih dari satu hari.
b. Penyakit Infeksi
i. Pengertian
30
31
1) Organisme penyebab
31
1
1
2
diidentifikasi dengan catatan medic, pemeriksaan fisik ataupun tes
laboratorium. Maka dari itu dianjurkan untuk menggunakan pelindung pada
saat melakukan pelayanan gigi, yaitu dengan cara cuci tangan, pemakaian
sarung tangan, sterilisasi alat serta penggunaan alat sekali pakai dan tersedia
tempat pembuangan sampah. Ada beberapa fakto yang menyababkan
universal precaution tidak dapat terlaksana ssperti faktor petugas yaitu
kemampuan petugas (pengetahuan dan keterampilan) dan persepsi didapatkan
bahwa sebagian petugas tidak mengetahui dengan tepat pengertian tentang
universal precautions. Pada keterampilan tidak semua indikator universal
precautions dilaksanakan yaitu tidak selalu menggantikan sarung tangan setiap
ganti pasien. Persepsi petugas setuju terhadap pelayanan dengan universal
precautions walaupun masih ada yang merasa pelayanan dengan universal
precautions lama. Faktor organisasi yaitu pelatihan, supervisi dan kompensasi
didapatkan bahwa ada beberapa petugas poli gigi yang belum mendapatkan
pelatihan universal precautions tetapi semua petugas merasa mendapat
supervisi tentang universal precautions dan sebagian mendapat umpan balik
dari hasil supervise secara langsung. Kompensasi tidak semua petugas
mendapatkan, sehingga pada program ini perlu diberikan reward yang
berhubungan dengan universal precautions untuk masing-masing poli.
Sedangkan jurnal Pelaksanaan Universal Precaution Oleh
Perawat dan Pekerja kesehatan Universal Precautions rnerupakan upaya yang
dilakukan dalarn rangka perlindungan, pencegahan dan rnerninirnalkan infeksi
silang (cross infections) antara petugas pasien akibat adanya kontak langsung
dengan pasien atau cairan tubuh pasien yang terinfeksi penyakit menular
(seperti HIVIAIDS dan hepatitis). Universal precaution dilakukan dengan cara
mencuci tangan, memakai sarung tangan dan pelaksanaan sterilisasi
instrumental logam, pelaksanaan desinfektan lantai, dan adanya pelatihan
lanjutan universal precaution untuk tenaga kesehatan. Sedangkan secara
kualitas, ada beberapa fasilitas penunjang yang tidaksesuai standar yaitu
handsmen yang beberapa diantaranya sangat tipis dan mudah robek serta
belum pastinya komposisi cairan desinfeksi yang digunakan selama ini oleh
2
3
petugas. Sedangkan untuk prasarana SOP (Standard Operational Procedure)
yang dimiliki rumah sakit merupakan Standar operasional yang bersifat
umum, bukan tentang pelaksanaan universal precautions yang detail dan
spesifik. Selain itu pelatihan atau pendidikan yang berkelanjutan serta
pengawasanl evaluasi terhadap pelaksanaan universalprecautions oleh pihak
managerial rumah sakit juga belum ada. Sehingga hal tersebut memungkinkan
terjadinya peningkatan risiko infeksi nosokomial di rumah sakit dan
lingkungan disekitarnya.
3
4
JURNAL
PELAKSANAAN UNIVERSAL PRECAUTIONS OLEH PERAWAT DAN
PEKARYA KESEHATAN
(Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Malang Unisma)
Hidayad Heny Shollkhah dan Andryansyah Arlfin'
A.ABSTRACT
Result of this study indicated that in general the universal precautions had
been implemented but not in accordance with the standardprosedure of universal
precautions. Only 50% of the respondent practiced correctly hands washing and
none hand oloves. AN res~ondentsdid incorrect procedure for stenl,zations 01
hand gloves and medical equipments. All
" needles were not alecontaminated before disposal. Supporting
facilities particularly the standard operating prosedure for
universa11prosedunP and pre 6:ervice training were not available.
It was concluded that the it nplementation of universal precautions were not
match with the standard prosedure. So the potential nsKs of
nosocom~altnfections cannot be reduced, in the other hand increase risks of
hepatitis B/C and HIV/AIDS
4
5
Key words: universal precautions, practices, hospital
ABSTRAK
Kewaspadaan universal penting untuk pencegahan infeksi nosokomial di antara
pasien dan penyedia layanan kesehatan (terutama hepatitis B / C dan HIV /
AIDS). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan implementasi dari
perlindungan universal. Ini adalah studi kasus. Data dikumpulkan dengan
menggunakan wawancara dan observasi, di Rumah Sakit Islam Malang Unisma
tahun 2005. Ada sepuluh perawat dan asisten perawat yang bekerja di bangsal
rumah sakit yang diwawancarai.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum kewaspadaan universal
telah dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan standar prosedur kewaspadaan
universal. Hanya 50% responden yang berlatih mencuci tangan dengan benar
tidak ada tangan oloves. Sebuah prosedur yang salah untuk stenl, sarung tangan
tangan, dan peralatan medis. Semua
"Jarum tidak didekontaminasi sebelum dibuang. Fasilitas pendukung khususnya
prosedur operasi standar untuk universitas dan pra 6: pelatihan layanan tidak
tersedia.
Disimpulkan bahwa penerapan kewaspadaan universal tidak sesuai dengan
prosedur standar. Jadi nsK potensial nosocom ~ altnection tidak dapat dikurangi,
di sisi lain meningkatkan risiko hepatitis B / C dan HIV / AIDS
penularan di antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Perawat dan perawat
yang bertahan tidak pernah memberikan layanan pelatihan untuk kewaspadaan
universal oleh manajemen rumah sakit.
Berdasarkan hasil. direkomendasikan untuk menyediakan prosedur standar
tindakan pencegahan universal dan untuk melatih penyedia layanan kesehatan
(perawat dan perawat, perawat) yang memberikan layanan di bangsal rumah sakit
untuk dapat menerapkan tindakan pencegahan universal dengan benar. Dan perlu,
untuk melakukan studi lebih lanjut tentang penerapan kewaspadaan universal di
pusat-pusat kesehatan dengan bangsal rawat inap dan lainnya.
Kata kunci: kewaspadaan universal, praktik, rumah sakit
B. Pendahuluan
Universal Precautions rnerupakan upaya yang dilakukan dalarn rangka perlindungan,
pencegahan dan rnerninirnalkan infeksi silang (cross infections) antara petugas pasien akibat
adanya kontak langsung dengan pasien atau cairan tubuh pasien yang terinfeksi penyakit
menular (seperti HIVIAIDS dan hepatitis). Prinsip kewaspadaan universal adalah bahwa
darah dan semua jenis cairan tubuh, sekreta, kulit yang tidak utuh dan selaput lendir
penderita dianggap sebagai surnber potensial untuk penularan infeksi terrnasuk HIV (Depkes
dan Kesos RI. 2001). Sehingga diharapkan setiap petugas pelayanan kesehatan rnampu
menerapkan prinsip universal precautions. Penerapan kewaspadaan universal ini bertujuan
tidak hanya rnelindungi petugas dari resiko lerpajan oleh infeksi narnun juga melindungi klien
yang rnernpunyai kecenderungan rentan terhadap segala -
. .
rnacam infeksi yang rnungkin terbawa oleh petugas. Menurut data dinkes provinsi JawaTirnur
(2004), Jawa Tirnur m e nlpakan urutan nclrnor em1 at terbanyak dalam kas;us HIVIAIDS
di lndonesia. Dalam data terakhir peningkatan kasus HIV dan AlDS sekitar 2 kali lipat
lebih besar. Hal ini perlu diwaspadai terutarna bagi petugas kesehatan tempat
pemberi pelayanan kesehatan. Menurut WHO, untuk setia p kasus HIV positif
yang terdeteksi dianggi3p ada 101D orang yang sudah terinfeksi HIV tetapi
5
6
belum terdeteksi (fenomena gunung es). Dengan kata lain kasus-kasus HIV
positif dan AlDS yang diketahui hanyalah sebagian sangat kecil dari itasus-kasus
HIV positif dan AlDS yang sesungguhnya ada di masyarakat.
Walaupun bukti insiden kasus penyakit rnenular seperti HIVIAIDS ataupun Hepatitis B/C
pada petugas kesehatan belurn banyak diternukan, narnun adanya peningkatan prevalensi
tersebut mernungkinkan timbulnya peningkatan penularan pada petugas kesehatan medis
maupun perawat yang merawat pasien. WHO (2000) rnenyebutkan bahwa kernungkinan
risiko infeksi HIV dari pasien saat pelaksanaan pelayanan kesehatan adalah rendah yaitu
sekitar 0,3%, dan kebanyakan berhubungan dengan kecelakaan jarurn suntik dari pasien
yang terinfeksi HIV yang belum rnelalui proses desinfeksi atau sudah didesinfeksi namun
tidak adekuat, atau juga rnelalui proses transfusi darah. Berdasarkan hasil penelitian jaringan
epidemiologi nasional tahun 1992 serta penelitian Agus W Budi tahun 1995. pengetahuan,
sikap, persepsi dan perilaku petugas kesehatan dalarn rangka penerapan universal
precautions terutama yang berhubungan dengan potensi penyebaran HIVIAIDS berada
dalarn tingkat yang memprihatinkan. Sehingga peran dari kelalaian petugas kesehatan yang
kurang atau bahkan tidak mernatuhi protokol Universal Precautions adalah cukup besar.
Sehingga potensi peningkatan penyebaran penyakit menular terutarna HIVIAIDS dan
hepatitis semakin besar.
Berdasarkan data rekarn rnedik RSI Malang Unisrna, dalam 2 tahun terakhir terdapat
sekitar 3-4 orang penderita yang terdeteksi positif HIV. Dengan penelitian ini diharapkan data
yang diperoleh dapat dimanfaatkan sebagai data primer dalam rnenangani permasalahan
yang ada sehubungan dengan pelaksanaan universal precautions di Rurnah Sakit lsiarn
Malang sesuai standar yang berlaku, baik melalui peningkatan kualitas SDM rnaupun
peningkatan sarana-prasaranaterrnasuk pernbakuan standar? operasional prosedure tentang
universal precautions di Rurnah Sakit. Dengan adanya penerapan universal precautions yang
berkualitas, diharapkan peningkatan prevalensi penyakit menular seperti HIV rnaupun
Hepatitis BIC dapat ditekan.
Adapun pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah bagairnana pelaksanaan Universal
Precautions oleh perawat di Rumah Sakit lslarn Malang Unisrna. Tujuan urnum penelitian ini
adalah untuk rnengetahui pelaksanaan Universal Precautions oleh perawat di Rurnah Sakit
Islam Malang Unisma dan tujuan khusus adalah; rnengetahui pelaksanaan upaya Universal
Precautionsoleh petugas kesehatan rneliputi tindakan rnencuci tangan, pernakaian
handscoen, sterilisasi alat kesehatan logarnltajarn, sterilisasi handscoen. desinfeksi bahan
kain, desinfeksi lantailrneja periksa dan pengelolaan lirnbah medis, serta rnengetahui
ketersediaan fasilitas penunjang Universal Precautions. Diharapkan, data yang diperoleh
dapat sebagai rnasukan dalam upaya menegakkan "disiplin universalprecautions'diternpat
pelayanan kesehatan dijadikan acuan guna penelitian selanjutnya
C .METODOLOGI PENELlTlAN
6
7
D. Hasil Pembahasan
Prosedur pencucian tangan yang ditakukan oleh perawat dan pekarya belum sesuai
dengan prosedur standar yang ditetapkan oleh Depkes maupun WHO. Adapun prinsip
mencuci tangan yaitu kegiatan untuk menghilangkan benda asinglkotoran terutama bekas
darah, cairan tubuh atau benda asing lainnya seperti debu. kotoran yang menempel di kulit
tangan dengan menggunakan air bersih yang mengalir dan sabun dan tidak sesuai dengan
fungsi pencucian tangan yaitu melindungi diri petugas kesehatan sendiri dan misi untuk
melindungi pasien dari penularanlcross infections melalui perantara petugas kesehatan
(Depkes dan Kesos RI, 2001). Hal ini dapat menimbulkan risiko terjadinya infeksi nosokomial
akibat adanya transmisi mikroorganisme patogen dari pasien ke pasien melalui tangan
petugas kesehatan (Boyce 1999; Larson 1995).
Nampak perilaku perawat dan pekarya dalam pemakaian handscoen masih belum sesuai
standar prosedur. Perawat dan pekarya memakai handscoen pada jenis tindakan yang benar-
benar berhubungan dengan muntahanldarahlurinelfeses pasien dengan jumlah yang banyak
dan menjijikkan sebagaimana diungkapkan mereka. Sedangkan untuk jenis tindakan seperti
pengambilan sampel sputum, sampel darah, rnemasang dan merawat infus, perawat dan
pekarya masih belum melakukan pemakaian handscoen. Perawat mengatakan ha1 ini
dikarenakan tindakan-tindakan tersebut merupakan jenis tindakan yang hanya sedikit
menimbulkan kontak dengan darah atau cairan tubuh pasien. Padahal seharusnya
penggunaan handscoen harus dilakukan pada tindakan tertentu seperti pemasangan infus,
pengambilan sampel darah, tindakan nebulizer dan pengambilan sputum (Depkes RI, 2000)
serta tinda'kanlain yaitu saat sterilisasi dan dekontaminasi alat kesehatan yang terkontaminasi
dengan darahlcairan tubuh pasien (JEN 1995; JHPIEGO 2003). Dan handscoen yang
digunakan harus berkualitas, tidak berlubang sehingga mampu menjadi alat peiindung yang
efektif (JHPIEGO 2003).
7
8
yang baru akan disterilkan. Hal ini memungkinkan mikrobakteri penyebab infeksi tidak
seluruhnya dimusnahkan dan selanjutnya akan mengkontaminasi bagian tubuh
pasien yang tersentuh dengan handscoen tersebut hingga menimbulkan
komplikasi infeksi nosokomial pada pasien (JHPIEGO, 2003).
Prosedur sterilisasi instrurnen logam (metal) seperti pinset, gunting, bak instrumen dan
lain-lain belum sesuai dengan standar yaitu peralatantersebut tidak didekontaminasi terlebih
dahulu sebelum di cuci dan disterilkan serta perawat dan pekarya tidak menggunakan
handscoen. Sehingga ha1 ini dapat berakibat kemungkinan terjadinya risiko penularan
penyakit bagi petugas sendiri akibat kontak dengan kurnanlvirusyang masih menempel pada
alat tersebut. Disebutkan bahwa untuk mensterilisasikan instrumen dilakukan dengan 2 cara
yaitu pertama dengan heat sterilization yaitu dengan menggunakan autoclave (tempertur 121"
C atau 250" F dengan tekanan 106 kPa) dan oven/dry heat sterilization (temperatur 170" C
atau 340°F). Kedua dengan chemical sterilization yaitu dengan menggunakan formaldehyde
atau glutaraldehydes. Dan sebelum menterilisasi, alat harus didekontaminasi dengan cairan
chlorin minimal 0.5% guna menjaga kontaminasi kuman infeksi dengan petugas kesehatan
(JEN 1995; Depkes RI 1997: JHPIEGO 2003). Dikatakan bahwa selain sterilisasi, untuk
membunuh mikrobakteri patogen (bakteri, virus, jamur) dapat digunakan cara High level
desinfection yaitu dengan merebus maupun dengan chemical solutions seperti chlorin z
0,5%, formaldehyde 8%, glutaraldehyde dan hydrogen peroxide (JHPIEGO, 2003).
Sedangkan untuk penggunaan jarum injeksi seluruh perawat sudah menggunakan jarum
sekali pakai terutama untuk injeksi intravena dan intramuskular. Namun demikian, masih
perlu ditingkatkan kualitasnya mengingat pada injeksi yang dilakukan melalui selang infus
maupun plug, perawat masih menggunakan jarum injeksi lebih dari satu kali, bahkan ada
yang menggunakannya selama 2 hari (sekitar 4-8 kali suntikan) di mana berlaku satu jarum
untuk satu pasien. Alasan agar hemat diungkapkan oleh perawat. Oleh karena itu agar tetap
dapat menjaga prinsip pencegahan cross infection antar pasien, maka penyimpanan spuit
dan jarumnya antara pasien satu dengan yang lain perlu dipisahkan dalam tempat yang
berbeda. Dikatakan bahwa penyimpanan alat yang telah terkontaminasi dengan pasien harus
dilakukan secara khusus, dimungkinkan adanya tempat penyimpanan khusus untuk masing-
masing
pasien dan dikondisikan Jika memungkinkan suhu penyimpanan spuit dan jarum tersebut
perlu diupayakan untuk dapat menginaktifkan bakterilvirus yang melekat pada jarum atau
spuit pasien tersebut (JEN. 1995). Dikatakan pula bahwa penyimpanan alat bekas pakai
selama lebih dari 24jam pada suhu kamar dapat menimbulkan perkembangbiakan kuman
patogenlinfeksi, jika tidak dilakukan proses desinfeksi terhadap jarum dan spuit tersebut
makan dapat menimbulkan infeksi nosokomial seperti phlebitis (JHPIEGO, 2003)
Pada pelaksanaan desinfeksi bahan kain, dan desinfeksi lantai yang dilakukan oleh
perawat dan pekarya didapatkan kesalahan yang sama yaitu cara pencampuran komposisi
larutan desinfeksi yang belum sesuai prosedur. Dalam prosedur pencampuran dikatakan
bahwa untuk membuat chlorin yang adekuat dibutuhkan perbandingan 5 banding 5, di mana
5 bagian untuk air dan 5 bagian untuk kaparit, atau dapat digunakan cairan desinfeksi lain
seperti formaldehyde 8%, glutaraldehyde dan hydrogen peroxide. Oleh karena itu jika metode
dan komposisi pencampurannya belum tepat dimungkinkan hasil akhir desinfeksi tersebut
belum efektif, sehingga kuman patogen yang melekat pada kain maupun lantai masih belum
8
9
terbunuh sempurna. Hal ini akan meningkatkan risiko perkembangbiakan kuman infeksi di
lingkungan tempat perawatan di rumah sakit. dengan adanya tindakan desinfeksi yang
adekuat, kondisi tersebut dapat diminimalkan, sehingga angka pertumbuhan infeksi
nosokomial di rumah sakitdapat di tekan (JHPIEGO. 2003).
Pada pengelolaan limbah jarum suntik dan spuit, didapatkan bahwa saat pembuangan
jarum suntik yang habis dipakai terhadap pasien tidak dilakukan dekontaminasi terlebih
dahulu sebelum dibuang, dan proses pembuangannya masih sering lupa untuk memisahkan
jarum dengan spuit maupun dengan sampah medis yang lain. Padahal berdasarkan prosedur
yang ada seharusnya jarum suntik dan spuit harus disesinfeksi terlebih dahulu untuk
membunuh kuman penyakit yang masih menempel. Dan pembuangannya juga harus
dilakukan pemisahan. baikantara spuit dan jarumnya juga harus terpisah dari sampah medis
yang lain. Perilaku ini memungkinkan terjadinya risiko penularan penyakit pasien ke petugas
kebersihan atau petugas pengolah sampah saat melakukan pemisahan terlebih dahulu pada
sampah yang akan diolah. Mengingat cara pengolahan sampah
jarum/logam dengan sampah medis basah adalah berbeda di mana pada jarum dimasukkan
ke alat incineratorsedangkan sampah medis basah dilakukan penguburan pada lubang
khusus (JHPIEGO. 2003).
Karena belum adanya standar operasional prosedur tentang universal precaution secara
detail, akibatnya perawat dan pekarya tidak memiliki pedoman yang dipakai dalam
pelaksanaan universal precautions selama pelayanan di rumah sakit. Oleh karena itu perlu
upaya meningkatkan pengetahuan melalui peningkatan pengetahuan melalui pelatihan,
penyegaran ilmu dan lain sebagainya. Sehingga diharapkan adanya masukan tersebut dapat
merubah sikap dan perilaku negatif petugas kesehatan yang kemungkinan diakibatkan
adanya perbedaan persepsi dan konsep tentang pentingnya melakukan sesuatu termasuk
konsep universal precautions, demi peningkatan efektivitas kerja yang dilakukan
9
10
E. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Menurut pengakuan petugas, pelaksanaan tindakan mencuci tangan selalu dilakukan 90%
(7 perawat dan 2 pekarya). Pemakaian handscoen oleh perawat tidak dilakukan pada
semua jenis tindakan yang dianjurkan untuk memakai handscoenantara lain semua
(100%) perawat dan pekarya tidak pernah menggunakan handscoen saat mengambil
sampel dahak, 90% (7 perawat dan 2 pekarya) tidak pemah memakai handscoen
tindakan nebulizer, dan sterilisasi instrumen logam serta beberapa tindakan lain sesuailabel 1,
yang berpotensi terjadi kontak langsung dengan darah a t a I ~cairan tl~ b u hpasien.
Selanjutnya perawat merigatakan proses pensterilan handscoen dilakukan oleh pihak
perawatlpekarya sendiri di ruangan dengan cara menyimpan tablet formalin bersama
handscoensetelahdibersihkan dan tidak ada ruang khusus sterilisasi di rumah sakit, yang ada
adalah tempat pensterilan di kamar operasi namun perawat tidak pernah mensterilkan
handscoen di tempat tersebut. Sembilan puluh persen (7 perawat dan 2 pekarya) mengatakan
mensterilisikan sendiri a,lat medikz11 bedah (logam)
mensterilisai alat. Sedangkan pada penggunaan jarum spuit, semua perawat mengatakan
menggunakan jarum dan spuit secara single use pada tindakan injeksi intravena maupun
intrarnuskular. Sedangkan untuk injeksi melalui infus maupun plug, perawat mengatakan
menggunakan jarum dan spuit lebih dari satu kali dan penyimpanan spuit dan jarum
tersebut tidak sesuai standar, yaitu spuitdan jarum suntik semua pasien ditempatkan
dalam satu wadah yang tidak steril. 20% (1 perawat dan 1 pekarya) mengatakan selalu
melaksanakan desinfeksi bahan kain. 70% (6 perawat dan 1 pekarya) kadang-kadang dan
10% perawat tidak pernah mendesinfeksi sendiri bahan kain. Pada pengelolaan limbah
medis berupa jarum spu#,90°/~ (7 perawat dan 2 pekarya) mengatakan tidak pemah
melaksanakannya dan 10% perawat kadang- kadang melakukan dekontaminasi jarum
spuit.
10
11
Didapatkan 50% (3 perawat dan 2 pekarya) mencuci tangan tidak sesuai dengan standar
prosedur, yaitu teknikmencuci tangan yang kurang tepat, tidak memakai handuk yang
kering dan bersih dalam mengering tangan, dan waktu mencuci tangan kurang dari
30detik setelah kontak dengan darahlcairan tubuh pasien. Selanjutnya 50% (3 perawat
dan 2 pekarya) memakai handscoentidak sesuai dengan standar prosedur antara lain;
semuanya tidak melakukan pemeriksaan terhadap kebocoran handscoen. teknik
memasang handscoen kurang tepat sehingga sterilitas handscoentidak terjaga. Untuk
pelaksanaan sterilisasi handscoen, 100% petugas mensterilisasi handscoen tidak sesuai
dengan standar yaitu 70% (5 perawat dan 2 pekarya) tidak melakukan dekontaminasi
sebelum mem-bersihkannya, dan komposisi pencampuran cairan chlorinyang digunakan
untukdesinfeksi memakai
perkira(an (tidak!5 banding 5, yaitu 5 bagian untuk kaporil I dan 5 bagian untuk air DTT).
SedangCtan
. ..
dan pekarya mensterilisasi alat medikal bedah logam tidak sesuai standar
prosedur, antara lain 80% (6 perawat dan 2 pekarya) tidak memakai
handscoen saat mensterilisasi alat serta 90% (7 perawat dan 2 pekarya) tidak
melakukan dekontaminasi instrumen sebelum dicucil disterilkan. Selanjutnya
terdapat 60% (4 perawat
Saran
1. Bagi pihak manajemen rumah sakit perlu mempertegas komitmen berupa kebijakan
tentang upaya pelaksanaan universal di rumah sakit dengan cara membuat kesepakatan
standar operasional prosedur tentang prosedur universal precautions secara detail,
melakukan sosialisasi kepada seluruh petugas kesehatan yang terkait dengan tujuan
pelaksanaan universalprecautions. mengadakan pelatihan dan pendidikan berkelanjutan
tentang penerapan universal precautions dalam rangka meningkatkan kognitif. afektif dan
psikomotor petugas. Adanya penyebaran info tentang cara penularan HIV/AIDS ataupun
hepatitis B serta tentang cara detail pelaksanaan universal precautions yang tepat kepada
petugas kesehatan, mulai dari bagaimana mencuci tangan dengan benar, bagaimana
efektivitas larutan desinfektan, bagaimana cara mendesinfeksi dan mensterilisasikan alat
dengan benar dan lain sebagainya, perlu disertai dengan demonstrasi secara nyata
sehingga mereka dapat benar-benar mampu melakukan proteksi terhadap tindakan yang
berisiko rnenularkan atau tertular penyakit.
2. Pihak rumah sakit juga perlu mengadakan pengawasan dan evaluasi mengenai
pelaksanaan universal precautions itu sendiri, baik dilakukan oleh atasan secara
langsung atau melalui tim khusus yang terkait dengan penanggulangan infeksi
nosokomial di rumah sakit. Hal ini termasuk juga penyediaan alat-alat proteksi yang
berkualitas standar di unit pelayanan rumah sakit seperti handscoen, masker dan
lain-lainnya (kualitas alat diupayakan tidak dibawah standar). Jika memungkinkan
ha1 ini perlu ditunjang dengan adanya sanksi tegas bagi yang melanggar. Perlu juga
diadakan surveilence mengenai prevalensi dampak-dampak yang muncul yang
terkait dengan perilaku penerapan universal precautions yang kurang sesuai.
11
12
3. Pihak rumah sakit juga perlu membuat program pemberian dan
penyebarluasan penyuluhan bagi pasien dan keluarga tentang penyakit-
penyakit menular yang diakibatkan oleh kontak langsung dengan pasien
atau cairanldarah pasien beserta cara penularannya, terutama yang
terkait dengan perilaku petugas kesehatan yang kurang menerapkan
upaya universal precautions saat melakukan tindakan ke pasien.
Sehingga jika pasien maupun keluarga menyadari bahwa memakai
handscoen adalah penting bagi pasien sendri maupun petugas
kesehatan, maka pasien mauapun keluarga diharapkan untuk berani
mengingatkan petugas kesehatan yang melakukan penyimpangan
terhadap pelaksanaan universal precautions pada saat melakukan
tindakan terhadap pasien.
ANALISIS JURNAL
A. Judul dan Abstrak
12
13
Judul jurnal sudah sesuai dengan abstrak (PELAKSANAAN
UNIVERSAL PRECAUTIONS OLEH PERAWAT DAN PEKARYA
KESEHATAN(Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Malang Unisma))
Abstrak tersebut sudah memberikan informasi yang lengkap tentang latar
belakang , tujuan, metode, dan hasil penelitian.
Di dalam jurnal pada latar belakang dijelaskan alasan melakukan penelitian
yaitu untuk menjawab pertanyaan bagaimana implementasi pelayanan
Universal Precaution dalam pelayanan kesehatan.
B. Justifikasi Metode dan Desain
Di dalam jurnal pada pendahuluan dijelaskan alasan melakukan penelitian
Tinjauan pustaka dalam jurnal cukup
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan
deskriptif. Sementara pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
metode content analysis.
C. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
Sampel sebanyak 10 orang terdiri dari 8 orang perawat dan 2 orang pekarya
kesehatan, yang berasal dari ruang perawatan dewasa dan anak-anak yang
dipilih secara acak sederhana di Rumah Sakit lslarn Universitas lslam Malang.
13
14
Alasan perawat tidak memakai handscoen antara lain; karena telah menjadi kebiasaan,
sehingga beberapa perawat merasa terganggu saat memakai handsmen ketika melakukan
tindakan pada pasien. Contohnya pada saat melakukan pemasangan infus. perawat merasa
kesulitan untuk menusukkan jarum infus agar tepat mengenai sasaran vena pasien. Perawat
dan pekarya mengatakan bahwa merasa perlu memakai handscoen hanya jika melakukan
tindakan yang berhubungan dengan bahan yang menjijikkan yang berasal dari pasien.
E. Kelebihan Jurnal
Di dalam jurnal pada pendahuluan sudah dijelaskan secara pasti alasan
melakukan penelitian.
Penelitian ini memuat situasi yang melatarbelakangi pelaksanaan universal
precaution oleh perawat dan pekarya kesehatan (studi kasus di Rumah Sakit
Islam Malang Unisna)
Metode penelitian menggunakan penelitian kuantitatif
Didalam pembahasan dan hasil sudah dijelaskan mengenai prosedur cuci
tangan dan juga sanitasi lingkungan.
F. Kekurangan
Dalam penulisan jurnal, masih banyak kesalahan penempatan titik dan spasi.
Dalam jurnal tidak digunakan standar dalam tindakan
14
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kewaspadaan Universal merupakan (Universal Precaution) adalah
kewaspadaan terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan
perlakuan terhadap setiap pasien, dan tidak tergantung pada diagnosis
penyakitnya (kamus-medis). Universal precaution salah satu cara untuk
mencegah terjadinya infeksi yang diakibatkan saat bekerja terutama di
bekerja dibidang kesehatan. Universal precaution yang sering diterapkan
biasanya adalah cuci tangan sebelum atau sesudah melakukan tindakan,
memakai alat pelindung diri seperti masker, sarung tangan, gaun, celemek,
sepatu boot dan melakukan sterilisasi atau desinfektan saat setelah
menggunakan alat.
3.2 Saran
Bagi semua pihak yang membaca makalah ini agar bisa memahami dan
mengerti dengan isi yang sudah kami paparkan di dalamnya. Makalah
yang kami buat ini semoga bisa jadi sumber pembelajaran dan menambah
15
16
wawasan bagi masiswa yang membaca. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami perlukan untuk bahan evaluasi kami kedepan
DAFTAR PUSTAKA
Solikhah, H. H., & Arifin, A. (2012). Pelaksanaan universal precaution oleh perawat dan
pekarya kesehatan.
Sholikhah, H. H., & Arifin, A. (2005). Pelaksanaan Universal Precautions oleh Perawat
dan Pekerja Kesehatan (Studi Kasus di Rumah Sakit Islam Malang Unisma). Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, 8(1 Jun).
16