Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

UNIVERSAL PRECAUTION
(Kewaspadaan Universal)

Oleh :

Nama : Novinda Walangitan


Nim : 1614201266
Kelas : A4 Semester VI
Dosen : Ns. Samuel Kumajas, S.Kep.,M.Kep

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA

FAKULTAS KEPERAWATAN

MANADO

2020
KATA PENGANTAR

Segalah puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan

rahmat-NYA sehingga saya bisa menyelesaikan Makalah ini, dengan judul “ Universal

Precaution “ , akan tetapi penulis sadari meskipun banyak masukan, arahan, bimbingan yang

diberikan bagi Dosen Manajemen Kegawatdaruratan sebagai upaya penyempurnaan dalam

penyusunan Makalah ini, penulis merasakan bahwa Makalah ini masih jauhdari kesempurnaan

dan banyak kekurangan. Hal ini merupakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis,

dan bukan merupakan suatu kesengajaan.

Dengan kerendahaan hati penulis mengharapkan adanya masukan, kritik serta saran yang

bersifat membangun guna kesempurnaan Makalah ini.

Dalam kesempatan yang baik ini dan dengan kerendahaan hati serta penuh rasa hormat

yang tinggi penulis menghanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada yang terhormat:

1. Ns Samuel Kumajas S.Kep.,M.Kes

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………………………………………………………………...2

DAFTAR ISI………………………………………………………………………….3

BAB I PENDAHULUAAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………..….…4


B. Tujuan Penelitian………………………………………………………….....5

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Universal Precaution……………………………………….…...6


B. Kewaspadaan Universal Di Pelayanan Kesehatan………………………….7
C. Contoh Kasus Terkait Kewaspadaan Universal Di Pelyanan Kesehatan…...9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………..…………………12

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….…..13
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Infeksi adalah suatu keadaan saat tubuh kemasukan bibit penyakit (kuman) sehingga

menimbulkan gejala demam atau panas tubuh sebagai suatu reaksi tubuh menolak antigen

(kuman) agar dapat melumpuhkan atau mematikan kuman tersebut. Dalam Kamus Besar

Bahasa ndonesia, infeksi merupakan peradangan; kemasukan bibit penyakit; ketularan

penyakit.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas dalam rangka meningkatkan efektifitas

penanganan PONED (Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) di Puskesmas, maka pengendalian

penyakit infeksi penting dilaksanakan, mengingat dewasa ini di Indonesia telah memasuki

epidemi HIV/AIDS gelombang kelima yang ditandai dengan munculnya kasus HIV/AIDS

pada ibu rumah tangga/para isteri, bahkan Ibu dengan janin yang sedang  dikandungnya.

Data sampai 2001 tercatat 2000 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dan

sepertiga diantaranya adalah wanita. Ternyata kasus infeksi HIV bertambah lebih cepat

diantara wanita dan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan menyusul jumlah infeksi pada

laki-laki. Kasus HIV (+) tidak menampilkan gejala dan tanda klinik yang spesifik, tetapi

dapat menularkan penyakit sebagaimana kasus Hepatitis B(+). Sementara itu dalam

melakukan pengelolaan kasus HIV/AIDS, petugas mesehatan dapat terinfeksi bila terjadi

kontak dengan cairan tubuh/darah pasien.

Dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap ibu hamil, bersalin dan nifas,

ataupun diluar masa itu, petugas kesehatan selalu memiliki risiko terinfeksi oleh
mikroorganisme melalui darah/cairan tubuh. Maka setiap petugas pelaksana pelayanan

kesehatan perlu memegang prinsip-prinsip pencegahan infeksi, khususnya prinsip

Kewaspadaan Universal (KU).  Kewaspadaan Universal adalah pedoman yang ditetapkan

untuk mencegah penyebaran berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh di

lingkungan rumah sakit atau sarana kesehatan lainnya. Konsep yang dianut adalah bahwa

semua darah/cairan tubuh harus dikelola sebagai sumber yang dapat menularkan HIV,

Hepatitis B dan berbagai penyakit lain yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh.

B. TUJUAN

Ada beberapa tujuan dalm penulisan makalah ini, diantaranya:

a. Mahasiswa  mampu menjaga diri dari penyebaran infeksi dan mampu mencegah infeksi.

b. Mengetahui tentang  Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan.

c. Mahasiswa dapat menerapkan Kewaspadaan Universal untuk mencegah terjadinya

infeksi dan mengurangi penularan penyakit yang diakibatkan oleh infeksi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Universal Precaution


Kewaspadaan Universal merupakan (Universal Precaution) adalah kewaspadaan
terhadap darah dan cairan tubuh yang tidak membedakan perlakuan terhadap setiap pasien,
dan tidak tergantung pada diagnosis penyakitnya (kamus-medis) .
Kewaspadaan universal merupakan bagian dari upaya pengendalian infeksi di sarana
pelayanan kesehatan. Merupakan salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit dari
cairan tubuh, baik dari pasien ke petugas kesehatan atau sebaliknya.            
Dasar Kewaspadaan Universal ini meliputi pengelolaan alat kesehatan, cuci tangan guna
mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung diantaranya sarung tangan untuk
mencegah kontak dengan darah serta cairan infeksius yang lain, pengelolaan jarum dan alat
tajam untuk mencegah perlukaan, serta pengelolaan limbah (Depkes RI, 2003).
Dalam menggunakan Kewaspadaan Universal petugas kesehatan memberlakukan semua
pasien sama, tanpa memandang penyakit atau diagnosanya dengan asumsi bahwa risiko atau
infeksi berbahaya.
Dalam semua sarana kesehatan, termasuk rumah sakit, puskesmas dan praktek dokter
gigi, tindakan yang dapat mengakibatkan luka atau tumpahan cairan tubuh, atau penggunaan
alat medis yang tidak steril, dapat menjadi sumber infeksi penyakit tersebut pada petugas
layanan kesehatan dan pasien lain. Jadi seharusnya ada pedoman untuk mencegah
kemungkinan penularan terjadi. 
Pedoman ini disebut sebagai kewaspadaan universal. Harus ditekankan bahwa pedoman
tersebut dibutuhkan tidak hanya untuk melindungi terhadap penularan HIV, tetapi yang tidak
kalah penting terhadap infeksi lain yang dapat berat dan sebetulnya lebih mudah menular.

B. Kewaspadaan Universal Di Pelayanan Kesehatan


a. Penerapan Kewaspadaan Universal di Pelayaanan Kesehatan
Sebelum kewaspadaan universal pertama dikenalkan di AS pada 1987, semua pasien
harus dites untuk semua infeksi tersebut. Bila diketahui terinfeksi, pasien diisolasikan dan
kewaspadaan khusus lain dilakukan, misalnya waktu bedah.
Banyak petugas layanan kesehatan dan pemimpin rumah sakit masih menuntut tes
HIV wajib untuk semua pasien yang dianggap anggota ‘kelompok berisiko tinggi’ infeksi
HIV, misalnya pengguna narkoba suntikan.
Karena akan sulit untuk mengetahui apakah pasien terinfeksi atau tidak, petugas
layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam
hubungan dengan semua pasien, dengan melakukan tindakan berikut: 
 Cuci tangan setelah berhubungan dengan pasienatau setelah membuka  sarung tangan.

 Segera cuci tangan setelah ada hubungan dengan cairan tubuh.     

 Menggunakan sarung tangan bila mungkin ada hubungan dengan cairan tubuh.

 Menggunakan masker dan kacamata pelindung jika kemungkinan terdapat percikan

cairan tubuh.          

 Buang jarum suntik dan alat tajam lain secara aman (yang sekali pakai, tidak boleh

dipakai ulang).         

 Bersihkan tumapahan cairan tubuh dengan bahan yang cocok.      

 Patuhi standar sterilisasi alat medis.

 Tangani semua bahan yang tercemar dengan cairan tubuh sesuai dengan prosedur.

 Buang limbah sesuai dengan prosedur.       

Penerapan Kewaspadaan Universal (Universal Precaution) didasarkan pada

keyakinan bahwa darah dan cairan tubuh sangat potensial menularkan penyakit, baik

yang berasal dari pasien maupun petugas kesehatan. Prosedur Kewaspadaan Universal ini

juga dapat dianggap sebagai pendukung progran K3 bagi petugas kesehatan.


Dengan menerapkan KU, setiap petugas kesehatan akan terlindung secara maksimal

dari kemungkinan terkena infeksi penyakit yang ditularkan melalui darah/cairan tubuh,

baik dari kasus yang terdiagnosis maupun yang tidak terdiagnosis.           

b. Alasan Kewaspadaan Universal Sering Diabaikan      

Ada banyak alasan mengapa kewaspadaan universal tidak diterapkan, termasuk

 Kurangnya pengetahuan petugas pelayan kesehatan

 Kurang dana untuk menyediakan pasokan yang dibutuhkan, misalnya sarung tangan

dan masker

 Kurangnya pasokan pennyedia yang dibutuhkan

c. Risiko jika Kewaspadaan Universal Kurang Diterapkan

Kewaspadaan universal diciptakan untuk melindungi terhadap kecelakaan yang


dapat terjadi. Kecelakaan yang paling umum adalah tertusuk jarum suntik, yaitu jarum
suntik yang dipakai pada pasien menusuk kulit seorang petugas layanan kesehatan.
Penelitian menunjukkan bahwa risiko penularan rata-rata dalam kasus pasien yang
bersangkutan terinfeksi HIV adalah kurang lebih 0,3%, dibandingkan dengan 3% untuk
hepatitis C dan lebih dari 30% untuk hepatitis B. Jika darah dari pasien yang terinfeksi
mengenai selaput mukosa (misalnya masuk mata) petugas layanan kesehatan, risiko
penularan HIV adalah kurang lebih 0,1%. Walaupun belum ada data tentang kejadian
serupa dengan darah yang dicemar hepatitis B, risiko jelas jauh lebih tinggi.
Kewaspadaan Universal yang tidak sesuai dapat menghasilkan bukan hanya risiko
pada petugas layanan kesehatan dan pasien lain, tetapi juga peningkatan pada stigma dan
diskriminasi yang dihadapi oleh ODHA.
C. Contoh Kasus Terkait Kewaspadaan Universal Di Pelyanan Kesehatan      
Contoh kasus yang ditemukan terkait penerapan kewaspadaan universal dalam pelayanan
kesehatan yaitu Infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan. Nosokomial
berasal dari kata Yunani nosocomium, yang berarti rumah sakit. Maka, kata nosokomial
artinya "yang berasal dari rumah sakit" kata infeksi cukup jelas artinya, yaitu terkena hama
penyakit.
Menurut Patricia C Paren, pasien dikatakan mengalami infeksi nosokomial jika pada
saat masuk belum mengalami infeksi kemudian setelah dirawat selama 48-72 jam klien
menjadi terinfeksi Infeksi nosokomial bisa bersumber dari petugas kesehatan, pasien yang
lain, alat dan bahan yang digunakan untuk pengobatan maupun dari lingkungan rumah sakit.
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar berikut), yang
ada pada sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian dengan cara
penularan tertentu masuk ke tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di rumah
sakit rentan terhadap infeksi (terutama ODHA yang mempunyai sistem kekebalan yang
lemah), mereka dapat tertular dan jatuh sakit tambahan. Selanjutnya, kuman penyakit ini
keluar dari pasien tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi.         
Pada 1847, seorang dokter bernama Ignaz Semmelweis bekerja di bagian kebidanan di
sebuah rumah sakit di Vienna, Austria. Semmelweis mengamati bahwa angka kematian di
antara ibu di bangsal yang dilayani oleh mahasiswa kedokteran tiga kali lebih tinggi
dibandingkan bangsal yang dilayani oleh bidan. Semmelweis mendalilkan bahwa hal ini
terjadi karena mahasiswa langsung ke bangsal kebidanan setelah belajar otopsi (bedah
mayat), dan membawa infeksi dari mayat ke ibu yang melahirkan. Dia memerintahkan dokter
dan mahasiswa untuk mencuci tangannya dengan larutan klorin sebelum memeriksakan ibu
tersebut. Setelah aturan ini diterapkan, angka kematian menurun menjadi serupa dengan
bangsal yang dilayani oleh bidan. 
Dengan masalah infeksi nosokomial menjadi semakin jelas, dicari kebijakan baru untuk
menguranginya. Solusi pertama pada 1877 adalah mendirikan rumah sakit khusus untuk
penyakit menular.
Pengenalan sarung tangan lateks pada 1887 membantu mengurangi penularan. Tetapi

dengan peningkatan mortalitas (angka kematian) di 1960-an, Departemen Kesehatan di


Amerika Serikat pada tahu 1970 mengeluarkan kebijakan untuk mengisolasikan semua

pasien yang diketahui tertular infeksi menular.

Namun kebijakan ini kurang berhasil serta menimbulkan banyak masalah lain.

Perhatian pada masalah ini menjadi semakin tinggi dengan munculnya HIV pada 1985,

kebijakan kewaspadaan universal dikenalkan pada 1985.     

Sesuai dengan kebijakan ini yang dikembangkan pada 1970, semua pasien yang

diketahui terinfeksi penyakit menular melalui tes wajib diisolasi. Kebijakan ini menentukan

tujuh kategori isolasi berdasarkan sifat infeksinya (daya menular, ganas, dll.). Kewaspadaan

khusus (sarung tangan dsb.) dengan tingkat yang ditentukan oleh kategori hanya dipakai

untuk pasien ini.      

Teknik isolasi mengurangi jumlah infeksi nosokomial, tetapi timbul beberapa

tantangan:      

 Peningkatan dalam jenis dan jumlah infeksi menular, sehingga semakin banyak tes harus

dilakukan, dan semakin banyak pasien harus diisolasi.

 Hasil tes sering diterima terlambat, sering setelah pasien pulang.

 Biaya sangat tinggi, bila semua orang dites untuk setiap infeksi

 Stigma dan diskriminasi meningkat bila hanya pasien yang dianggap berisiko tinggi dites

untuk menenkankan biaya.

 Hasil tes dapat negatif palsu (hasil negatif walau terinfeksi), terutama dalam masa

jendela, dengan akibat petugas layanan kesehatan kurang waspada.

 Sebaliknya hasil tes positif palsu (hasil positif walau tidak terinfeksi), dengan akibat

kegelisahan untuk pasien dan petugas layanan kesehatan .


 Perhatian pada hak asasi mengharuskan pasien memberi informed consent (disertai oleh

konseling untuk HIV).

Sejak AIDS diketahui, kebijakan baru yang bernama kewaspadaan universal (KU)

dikembangkan. Kebijakan ini menganggap bahwa setiap darah dan cairan tertentu lain dapat

mengandung infeksi, tidak memandang status sumbernya. Lagipula, semua alat medis harus

dianggap sebagai sumber penularan, dan penularan dapat terjadi pada setiap layanan

kesehatan, termasuk layanan kesehatan gigi dan persalinan, pada setiap tingkat (klinik dan

puskesmas sampai dengan rumah sakit rujukan).

Harus ditekankan bahwa kewaspadaan universal dibutuhkan tidak hanya untuk

melindungi terhadap penularan HIV tetapi yang tidak kalah penting terhadap infeksi lain

yang dapat parah dan sebetulnya lebih mudah menular, misalnya virus Hepatitis B dan C.

Petugas layanan kesehatan harus menerapkan kewaspadaan universal secara penuh dalam

hubungan dengan semua pasien.          

Kita biasanya menganggap cairan yang dapat menular HIV sebagai darah, cairan

kelamin dan ASI saja. Namun ada cairan lain yang dapat mengandung kuman lain, dan dalam

sarana kesehatan, lebih banyak cairan tubuh biasanya tersentuh. Contohnya, walaupun tinja

tidak mengandung HIV, cairan berikut mengandung banyak kuman lain nanah, cairan

ketuban, cairan limfa, ekskreta (air seni, tinja).     


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh
tenaga kesehatan untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip
bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien
maupun petugas kesehatan.
Perawat sebagai petugas kesehatan yang memberikan pelayanan keperawatan dan
melakukan prosedur keperawatan baik yang invansive maupun non invansive untuk
memenuhi kebutuhan passion akan kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh pasien.
Hal ini sangat berisiko terpapar infeksi yang secara potensial membahayakan jiwanya dan
menjadi tempat dimana agen infeksius dapat berkembang biak yang kemudian menularkan
infeksi dari satu pasien ke pasien lain. Oleh karena itu, tindakan Kewaspadaan Univeersal
sangat penting dilakukan.
Jadi kita harus mengerti dasar pemikiran kewaspadaan universal dan terus menerus
mengadvokasikan untuk penerapannya. Kita harus mengajukan keluhan jika kewaspadaan
universal diterapkan secara pilih-pilih (‘kewaspadaan Odha’) dalam sarana medis. Kita harus
protes dan menolak bila ada tes HIV wajib sebelum kita diterima di rumah sakit. Kita
mungkin juga harus beradvokasi pada pemerintah daerah melalui KPAD dan pada DPRD
agar disediakan dana yang cukup untuk menerapkan kewaspadaan universal dalam sarana
medis pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

http://kbbi.web.id/infeksi

http://kamuskesehatan.com/arti/infeksi/

http://deaulfiah.wordpress.com/2013/10/15/pencegahan-infeksi/

http://www.diskes.baliprov.go.id/id/PENGENDALIAN-PENYAKIT-INFEKSI---PPI--PADA-

PELAYANAN-OBSTETRI-NEONATAL-EMERGENSI-DASAR--PONED-

Anda mungkin juga menyukai