Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Terminal
2.1.1. Definisi Penyakit Terminal
Penyakit terminal adalah suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan lagi.
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalanmelalui
suatu proses penurunan fisik, psikososial, dan spiritual bagi individu.( Carpenito,1995 ).
Pasien terminal adalah pasien – pasien yang dirawat , yang sudah jelas bahwa
mereka akan meninggal atau keadaan mereka makin lama makin memburuk.
( P.J.M.Stevebs,dll,hal 282,1999). Kematian adalah suatu tahap akhir kehidupan, yang
bisa dating secara tiba – tiba tanpa peringatan atau melalui suatu priode penyakit yang
panjang.
Kondisit terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan
melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu
(Carpenito, 1995).
Jenis – jenis penyakit terminal meliputi diabetes militus, penyakit kanker,
congestik renal falure, stroke, Aids, gagal ginjal kronik, akibat kecelakaan fatal.
Perawatan terminal dapat dimulai pada minggu-minggu, hari-hari dan jaminan
terakhir kehidupan dimana bertujuan:
1. Mempertahankan hidup

2. Menurunkan stress

3. Meringankan dan mempertahankan kenyamanan selama mungkin

(Weisman)

2.1.2. Jenis-jenis Penyakit Terminal

Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah:

1. Penyakit-penyakit kanker.

2. Penyakit-penyakit infeksi.

3. Congestif Renal Falure (CRF)

4. Stroke Multiple Sklerosis.

5. Akibat kecelakaan fatal.


6. HIV AIDS.
2.1.3. Manifestasi Klinik
1. Fisik
a. Gerakan pengindaran menghilang secara berangsur-angsur dimulai
dari ujung kaki dan ujung jari.
b. Reflek mulai menghilang.
c. Suhu klien biasanya tinggi tapi merasa dingin dan lembab terutama
pada kaki dan tangan dan ujung-ujung ekstremitas.
d. Kulit kelihatan kebiruan dan pucat.
e. Denyut nadi tidak teratur dan lemah.
f. Nafas berbunyi, keras dan cepat ngorok.
g. Penglihatan mulai kabur.
h. Klien kadang-kadang kelihatan rasa nyeri.
i. Klien dapat tidak sadarkan diri.
2. Psikososial
Sesuai dengan fase-fase kehilangan menurut seorang ahli E. Kuber Ross
mempelajari respon-respon atas menerima kematian dan maut secara mendalam
dari hasil penyelidikan/penelitiannya yaitu:
a. Respon kehilangan
1). Rasa takut diungkapkan dengan ekspresi wajah (air muka),
ketakutan, cara tertentu untuk mengulurkan tangan.
2). Cemas diungkapkan dengan cara menggerakkan otot rahang dan
kemudian mengendor.
3). Rasa sedih diungkapkan dengan mata setengah terbuka atau
menanggis.
b. Hubungan dengan orang lain
Kecemasan timbul akibat ketakutan akan ketidak mampuan untuk
berhubungan secara interpersonal serta akibat penolakan.
2.1.4. Fase-Fase Kehilangan dan respon cemas yang berhubungan dengan penyakit
terminal
Masuknya klien ke dalam ancaman peran sakit pada rentang hidup-mati
mengamcam dan mengubah hemostatis. Lebih dari rasa takut yang nyata tentang
kematian dan pengaruh terhadap anggota keluarga yang dirawat dirasakan oleh keluarga.
Banyak faktor yang mempengaruhi klien dalam perawatan penyakit terminal, apabila
seseorang sudah divonis/prognosa jelek, ia tiak akan bisa menerima begitu saja tentang
apa yang ia hadapi sekarang.
Elizabeth Kubbler Ross menggambarkan 5 tahap yang akan dilalui klien dalam
menghadapi bayangan akan kematian/kehilangan yang sangat bermanfaat untuk
memahami kondisi klien pada saat ini, yaitu:
1. Tahap penyangkalan (Denial)
Adalah ketidakmampuan menerima, kehilangan untuk membatasi atau
mengontrol nyeri dan dystress dalam menghadapinya. Gambaran pada tahap
denial yaitu:
a. Tidak percaya diri
b. Shock
c. Mengingkari kenyataan akan kehilangan
d. Selalu membantah dengan perkataan baik
e. Diam terpaku
f. Binggung, gelisah
g. Lemah, letih, pernafasan, nadi cepat dan berdebar-debar
h. Nyeri tubuh, mual
2. Tahap marah (Anger)
Adalah kekesalan terhadap kehilangan. Gambaran pada tahap anger yaitu:
a. Klien marah-marah
b. Nada bicara kasar
c. Suara tinggi
3. Tahap tawar menawar (Bargaining)
Adalah cara coping dengan hasil-hasil yang mungkin dari penyakit dan
menciptakan kembali tingkat kontrol. Gambaran pada tahap ini yaitu:
a. Sering mengungkapkan kata-kata kalau, andai.
b. Seirng berjanji pada Tuhan.
c. Mempunyai kesan mengulur-ulur waktu.
d. Merasa bersalah terus menerus.
e. Kemarahan mereda.
4. Tahap depresi (Depression)
Adalah ketiada usaha apapun untuk mengungkapkan perasaan atau
reaksi kehilangan. Gambaran pada tahap ini yaitu:
a. Klien tidak banyak bicara.
b. Sering menanggis.
c. Putus asa.
5. Tahap menerima (Acceptance)
Adalah akhir klien dapat menerima kenyataan dengan kesiapan. Gambaran
pada tahap ini yaitu:
a. Tenang/damai.
b. Mulai ada perhatian terhadap suatu objek yang baru.
c. Berpartisipasi aktif.
d. Tidak mau banyak bicara.
e. Siap menerima maut.
Tidak semua orang dapat melampaui kelima tahap tersebut dengan baik, dapat
saja terjadi, ketidakmampuan menggunakan adaptasi dan timbul bentuk-bentuk reaksi
lain. Jangka waktu periode tahap tersebut juga sangat individual.

Penerimaan suatu prognosa penyakit terminal memang berat bagi setiap individu.
Ini merupakan suatu ancaman terhadap kehidupan dan kesejahteraan pada individu
tersebut. Dari ancaman tersebut timbul suatu rentang respon cemas pada individu, cemas
dapat dipandang suatu keadaan ketidakseimbangan atau ketegangan yang cepat
mengusahakan koping.

Rentang respon seseorang terhadap penyakit terminal dapat digambarkan dalam


suatu rentang yaitu harapan ketidakpastian dan putus asa.

1. Harapan
Mempunyai respon psikologis terhadap penyakit terminal. Dengan adanya
harapan dapat mengurangi stress sehingga klien dapat menggunakan koping
yang adekuat.
2. Ketidakpastian
Penyakit terminal dapat mengakibatkan ketidakpastian yang disertai dengan
rasa tidak aman dan putus asa, meskipun secara medis sudah dapat
dipastikan akhirnya prognosa dapat mempercepat klien masuk dalam
maladaptif.
3. Putus asa
Biasanya ditandai dengan kesedihan dan seolah-olah tidak ada lagi upaya
yang dapat berhasil untuk mengobati penyakitnya. Dalam kondisi ini dapat
membawa klien merusak atau melukai diri sendiri.
2.1.5. Patofisiologi Penyakit Terminal
1. Penyakit HIV
Infeksi human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit kekurang
sistem imun yang disebabkan oleh retro virus HIV tipe 1 atau HIV tipe 2
(Copstead dan banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara
progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat
pada kerusakan sistem kekbalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya
infeksi oportunistik dan kanker tertentu (terutama pada orang dewasa) (Bararah
dan jauhar, 2013). Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu
kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi oleh HIV
(Sylvia dan lorraine, 2012).
Menurut Robbins, Dkk (2011) perjalanan HIV paling baik dipahami dengan
menggunakan kaidah saling mempengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada tiga
tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan
penjamu.
1 fase akut pada tahap awal;
2 fase kronis pada tahap menengah; dan
3 fase kritis pada tahap akhir.
Fase akut menggambarkan respon awal seseorang deawas yang
imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yanmg khas merupakan
penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang
dewasa selama 3-6 minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejalah
nonspesifik yaitu nyeri tenggorokan, nilagioa, demam, ruam, dan kadang-kadang
meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan prooduksi virus dalam jumlah
besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang
secara khas disertai dengtan berkurangnya sel T CD4+ kembali mendekati jumlah
normal. Namun segera setelah hali itu terjadi, akan muncul respon imun yang
spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi ( biasanya dalam
rentang waktu 3 hingg 17 minggu setelah pejanan) dan munculnya sel T sitoksik
CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia meredah, sel T CD4+
kembali mendekati jumlah normal. Namun berkurangnya virus dalam plasma
bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berkanjut
didalam magkrofak dan sel T CD4+ jaringan.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukan tahap penahanan relatif
virus. Pada fase ini, sebagaian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukan gejala ataupn
limfadenopati persisten, dsan banyak penderita yang mengalami infeksi
oportunistik ”ringan” seperti sariawan (candida) atau herpes zoster selama fase ini
replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang
meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun, karena
kemampuan regenerasi imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dengan juumlah
yang besar. Oleh karena itu penuruna sel CD4+ dalam darah perifer hanyalah hal
yang sederhana. Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan
mulai berkkurang, jumlah CD4+ mulai menurun, dan jumlah CD4+ hidup yang
terinfeksi oleh HIV semakin meningkat. Linfadenopati persisten yang disertai
dengan kemunculan gejala konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah
lelah) mencerminkan onset adanya deokompesasi sistem imun, peningkatan
replikasi virus, dan onset fase “kritis”.
Tahap akhir, fase kritis , ditandai dengan kehancuran pertahanna penjamu
yang sangat merugikan viremia yang nyata, srerta penyakit kinis. Para pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari satu bulan, mudah lelah, penurunan
berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/µL. Setelah
adanya interval yang berubah- ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik
yang serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi neurologis (disebut kondisi
yang menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah
menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jikakondisi lazim yang menentukan
AIDS tidak muncul, pedoman CDC yanng digunakan saat ini menentukan bahwa
seseorang teerinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sma dengan
200/µL sebagai pengidap AIDS.
2. Penyakit Kanker
Pelayanan paliatif pasien kanker adalah pelayanan terintegrasi oleh tim
paliatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan memberikan dukungan bagi
keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan kondisi pasien
dengan mencegah dan mengurangi penderitaan melalui identifikasi dini, penilaian
yang seksama serta pengobatan nyeri dan masalah-masalah lain, baik masalah
fisik, psikososial dan spiritual (WHO, 2002) dan pelayanan masa dukacita bagi
keluarga (WHO, 2005) dalam Pedoman teknis pelayanan paliatif kanker, 2013).
Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan
menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi.
Perawatan paliatif berupaya meringankan penderitaan penderita yang sudah
sakit parah dan tidak dapat disembuhkan seperti misalnya kanker stadium akhir,
penderita penyakit motor neuron, penyakit degeneratif saraf dan penderita
HIV/AIDS. Pada akhirnya penderita diharapkan dapat menjalani hari-hari
sakitnya dengan semangat dan tidak putus asa serta memberi dukungan agar
mampu melakukan hal-hal yang masih bisa dilakukan dan bermanfaat bagi
spiritual penderita. Perawatan paliatif lebih berfokus pada dukungan dan motivasi
ke penderita. Kemudian setiap keluhan yang timbul ditangani dengan pemberian
obat untuk mengurangi rasa sakit. Perawatan paliatif ini bisa mengeksplorasi
individu penderita dan keluarganya bagaimana memberikan perhatian khusus
terhadap penderita, penanggulangannya serta kesiapan untuk menghadapi
kematian. Perawatan paliatif dititikberatkan pada pengendalian gejala dan
keluhan, serta bukan terhadap penyakit utamanya karena penyakit utamanya tidak
dapat disembuhkan. Dengan begitu penderita terbebas dari penderitaan akibat
keluhan dan bisa menjalani akhir hidupnya dengan nyaman. Perawatan paliatif
diperlukan karena: Setiap orang berhak dirawat dan mati secara bermartabat,
menghilangkan nyeri: fisik, emosional, spiritual dan sosial adalah hak asasi
manusia, perawatan paliatif adalah kebutuhan mendesak seluruh dunia untuk
orang yang hidup dengan kanker stadium lanjut. Berbagai hal terkait pendekatan
keperawatan paliatif yang perlu mendapatkan perhatian diantaranya adalah:
1 Komunikasi antar tim,
2 Manajemen nyeri,
3 Bimbingan dan pertimbangan budaya dalam pengambilan keputusan, dan
4 Dukungan emosional dan spiritual bagi paisen dan keluarga
3. Penyakit Stroke
Stroke atau gangguan vaskuler otak atau dikenal dengan cerebro vaskuler
disease (CVD) adalah suatu kondisi susunan sistem saraf pusat yang patologis
akibat adanya gangguan peredaran darah. Stroke merupakan penyakit gangguan
fungsional otak berupa kelumpuhan saraf (defisit neurologis) akibat terhambatnya
aliran darah ke otak. Secara sederhana stroke dapat didefinisikan sebagai penyakit
otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena sumbatan ( Stroke Non
Hemoragik) ataupun perdarahan (Stroke Hemoragik) (Junaidi, 2011).
Otak sangat bergantung pada oksigen dan tidak mempunyai cadangan
oksigen, bila terjadi anoreksia seperti halnya yang terjadi pada CVA/ Stroke,
metabolisme di otak segera mengalami perubahan, kematian sel dan kerusakan
permanen dapat terjadi dalam 3 sampai 10 menit. Tetapi kondisi yang
menyebabkan perubahan perfusi otak akan menimbulkan hipoksia atau anoreksia.
Hipoksia menyebabkan iskemik otak. Iskemik otak dalam waktu yang lama
menyebabkan sel mati permanen dan berakibat terjadi infark otak yang disertai
dengan edema otak karena pada daerah yang dialiri darah terjadi penurunan
perfusi dan oksigen, serta meningkatkan karbondioksida dan asam laktat. Adanya
gangguan perdarahan darah ke otak menimbulkan jejas atau cedera pada otak
melalui empat mekanisme yaitu:
1 Penebalan dinding arteri serebral yang menimbulkan penyempitan atau
penyumbatan lumen sehingga aliran darah dan suplai kesebagian otak
tidak adekuat, serta selanjutnya dan mengakibatkan perubahan-
perubahan iskemik otak. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus
dapat menimbulkan nekrosis (infark).
2 Dinding arteri serebral pecah sehingga akan menyebabkan bocornya
darah ke jaringan (hemoragi).
3 Pembesaran sebuat atau kelompok pembulu darah yang menekan
jaringan otak, misalnya: malformasiangiomatosa, aneurisma.
4 Edema serebri yang merupakan pengumpulan cairan di ruang intersisial
jaringan otak (Satyanegara dalam Ariani, 2012).
2.1.6. Penatalaksanaan Medis
1. Pelaksanaan Bimbingan Dan Konseling pada Pasien Terminal
a. Konsep Bimbingan dan Konseling pada Pasien Terminal
Perawat membantu klien untuk meraih kembali martabatnya. Pokok-
pokok dalam memberikan bimbingan dan konseling dalam perawatan
pasien terminal terdiri dari:
1) Peningkatan Kenyamanan
Ketakutan terhadap nyeri umum terjadi pada klien kanker.
Pemberian kenyamanan bagi klien terminal juga mencakup
pengendalian gejala penyakit dan pemberian terapi. Klien
mungkin akan bergantung pada perawat dan keluarganya untuk
pemenuhan kebutuhan dasarnya, sehingga perawat bisa
memberikan bimbingan dan konseling bagi keluarga tentang
bagaimana cara memberikan kenyamanan pada klien.
2) Pemeliharaan Kemandirian
Tempat perawatan yang tepat untuk pasien terminal adalah
perawatan intensif, pilihan lain adalah perawatan hospice yang
memungkinkan perawatan komprehensif di rumah. Perawat
harus memberikan informasi tentang pilihan ini kepada
keluarga danklien. Sebagian besar klien terminal ingin mandiri
dalam melakukan aktivitasnya. Mengizinkan pasien untuk
melakukan tugas sederhana seperti mandi, makan, membaca,
akan meningkatkan martabat klien. Perawat tidak boleh
memaksakan partisipasi klien terutama jika ketidakmampuan
secara fisik membuat partisipasi tersebut menjadi sulit. Perawat
bisa memberikan dorongan kepada keluarga untuk membiarkan
klien membuat keputusan.
3) Pencegahan Kesepian dan Isolasi
Untuk mencegah kesepian dan penyimpangan sensori, perawat
mengintervensi untuk meningkatkan kualitas lingkungan.
Lingkungan harus diberi pencahayaan yang baik, keterlibatan
anggota keluarga, teman dekat dapat mencegah kesepian.
4) Peningkatan Ketenangan Spiritual
Peningkatan ketenangan spiritual mempunyai arti lebih besar
dari sekedar meminta rohaniawan. Ketika kematian mendekat,
klien sering mencari ketenangan. Perawat dan keluarga dapat
membantu klien mengekspresikan nilai dan keyakinannya.
Klien terminal mungkin mencari untuk menemukan tujuan dan
makna hidup sebelum menyerahkan diri kepada kematian.
Klien mungkin minta pengampunan baik dari yang maha kuasa
atau dari anggota keluarga. Selain kebutuhan spiritual ada juga
harapn dan cinta, cinta dapat diekspresikan dengan baik
melalui perawatan yang tulus dan penuh simpati dari perawat
dan keluarga. Perawat dan keluarga memberikan ketenangan
spiritual dengan menggunakan ketrampilan komunikasi,
empati, berdoa dengan klien, membaca kitab suci, atau
mendengarkan musik.
5) Dukungan Untuk Keluarga Yang Berduka
Anggota keluarga harus didukung melewati waktu menjelang
ajal dan kematian dari orang yang mereka cintai. Semua
tindakan medis, peralatan yang digunakan pada klien harus
diberikan penjelasan, seperti alat bantu nafas atau pacu
mjantung. Kemungkinan yang terjadi selama fase kritis pasien
terminal harus dijelaskan pada keluarga.
b. Prosedur Bimbingan dan Konseling pada Pasien Terminal
Dalam memberikan bimbingan dan konseling kepada pasien
terminal atau keluarganya, harus ditetapkan tujuan bersama. Hal ini
menjadi dasar untuk evaluasi tindakan perawatan. Bimbingan yang
diberikan harus berfokus pada peningkatankenyamanan dan perbaikan sisa
kualitas hidup, hal ini berarti memberikan bimbingan pada aspek
perbaikan fisik, psikologis, social dan spiritual.
2. Pelaksanaan Perawatan Lanjutan Dirumah
a. Batasan Perawatan Lanjut di Rumah
Penyakit terminal menempatan tuntutan yang besar pada sumber
social dan finansial. Keluarga mungkin takut berkomunikasi dengan klien,
banyak hal sulit yang dialami keluarga untuk mengatasi kondisi anggota
keluarganya yang terminal. Hal ini mencakup lamanya periode menjelang
ajal, gejala yang sulit dikontrol, penampilan dan bau yang tidak
menyenangkan, sumber koping yang terbatas, dan buruknya hubungan
dengan pemberi perawatan. Alternatif perawatan bisa dilaksanakan di
rumah, dikenal dengan Perawatan Hospice.
Perawatan Hospice adalah program perawatan yang berpusat pada
keluarga yang dirancang untuk membantu klien terminal dapat hidup
nyaman dan mempertahankan gaya hidup senormal mungkin sepanjang
proses menjelang ajal. Sebagian besar klien dalam program hospice
mempunyai waktu hidup 6 bulan atau kurang. Program ini dimulai di
Irlandia tahun 1879, yang kemudian di Inggris, amerika, dan Canada pada
tahun 1970-an. Komponen Perawatan Hospice, yaitu :
1) Perawatan di rumah yang terkoordinasi dengan pelayanan
rawat jalan dibawah administrasi rumah sakit.
2) Control gejala (fisik, fisiologis, sosio-spiritual)
3) Pelayanan yang diarahkan dokter.
4) Ketentuan tim perawatan interdisiplin ilmu yang terdiri dari
dokter, perwat, rohaniawan, pekerja sosial, dan konselor.
5) Pelayanan medis dan keperawatan tersedia sepanjang waktu.
6) Klien dan keluarga sebagai unit perawatan.
7) Tindak lanjut kehilangan karena kematian setelah keamatian
klien.
8) Penggunaan tenaga sukarela terlatih sebagai bagian dari tim.
9) Penerimaan kedalam program didasarkan pada kebutuhan
perawatan kesehatan ketimbang pada kemampuan untuk
membayar.
Program hospice menekankan pengobatan paliatif yang mengotrol
gejala ketimbang pengobatan penyakit. Klien dan keluarga berpartisipasi
dalam perawatan, perawatan klien dikoordinasikan antara lingkungan
rumah dan klien. Upaya diarahkan untuk tetap merawat klien dirumah
selama mungkin. Keluarga menjadi pemberi perawatan primer, pemberian
medikasi dan pengobatan, tim interdisiplin memberikan sumber psikologis
dan fisik yang diperlukan untuk mendukung keluarga.
b. System Rujukan
Dalam pelayanan rujukan, rujukan pasien harus dibuat oleh
penanggung jawab perawatan. Diluar negeri Registered nurses (RN),
mempunyai kewenangan untuk merujuk pasien ke system pelayanan yang
lebih tinggi lagi. Dalam perawatan pasien di rumah, system rujukan bisa
dibuat, dimana perawatan klien oleh perawat home care dibawah
yurisdiksi Registered nurses (RN). RN membuat delegasi tugas-tugas
perawatan yang harus dilaksanakan oleh perawat pelaksana yang telah
mempunyai izin (lisenced) dari lembaga berwenang. Prinsip delegasiatau
rujukan:
1) Perawat pelaksana secara hukum bertanggung jawab
langsung untuk merawat klien.
2) Perawat pelaksana bertanggung jawab untuk merujuk
pasien, mengevaluasi asuhan yang diberikan, bimbingan
dan konseling pasien terminal.
3) Pemberian terapi intravena tergantung peraturan
pemerintah setempat, ada yang memberi kewenangan untuk
melakukan terapi intravena oleh pelaksana perawat, ada
juga yang tidak.
4) Lembaga berwenang (Rumah sakit, binas kesehatan)
memberi kan izin pada perawat pelaksana untuk merawat
dan membuat rujukan berdasarkan standar asuhan
keperawatan.
c. Langkah Perawatan Lanjut Dirumah
Perawatan lanjut di rumah ditujukan untuk memberikan perawatan
fisik berupa perawatan kebersihan diri, perawatan kulit, ambulasi, laithan
dan mobilisasi, berpakaian, kemampuan eliminasi dan lainnya. Perawatan
harus memberikan kebersihan, keamanan, kenyamanan dan lingkungan
yang tenang. Inti perawatan harus bisa memberikan kenyamanan bagi
klien, peningkatan kemandirian, Pencegahan Kesepian dan Isolasi,
peningkatan ketenagan spiritual.
2.2. Penyakit Kronis
2.2.1. Definisi Penyakit Kronis
Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau
bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama, yakni lebih dari enam bulan. Orang yang
menderita penyakit kronis cenderung memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dan
cenderung mengembangkan perasaan hopelessness dan helplessness karena berbagai
macam pengobatan tidak dapat membantunya sembuh dari penyakit kronis (Sarafino,
2006). Rasa sakit yang diderita akan mengganggu aktivitasnya sehari-hari, tujuan dalam
hidup, dan kualitas tidurnya (Affleck et al. dalam Sarafino, 2006).
2.2.2. Etiologi Penyakit Kronis
Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat sosial ekonomi,
dan budaya. Penyakit kronis cenderung menyebabkan kerusakan yang bersifat permanen
yang memperlihatkan adanya penurunan atau menghilangnya suatu kemampuan untuk
menjalankan berbagai fungsi, terutama muskuloskletal dan organ-organ pengindraan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan penyakit kronis dapat menjadi masalah kesehatan
yang banyak ditemukan hampir di seluruh negara, di antaranya kemajuan dalam bidang
kedokteran modern yang telah mengarah pada menurunnya angka kematian dari penyakit
infeksi dan kondisi serius lainnya, nutrisi yang membaik dan peraturan yang mengatur
keselamatan di tempat kerja yang telah memungkinkan orang hidup lebih lama, dan gaya
hidup yang berkaitan dengan masyarakat modern yang telah meningkatkan insiden
penyakit kronis (Smeltzer & Bare, 2010).
2.2.3. Fase Penyakit Kronis
Menurut Smeltzer & Bare (2010), ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu
sebagai berikut.
a) Fase pra-trajectory adalah risiko terhadap penyakit kronis karena faktor-
faktor genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap
penyakit kronis.
b) Fase trajectory adalah adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis.
Fase ini sering tidak jelas karena sedang dievaluasi dan sering dilakukan
pemeriksaan diagnostik.
c) Fase stabil adalah tahap yang terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan
penyakit terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari-hari tertangani dalam
keterbatasan penyakit.
d) Fase tidak stabil adalah periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap
terkontrol atau reaktivasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
e) Fase akut adalah fase yang ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak
dapat pulih atau komplikasi yang membutuhkan perawatan di rumah sakit
untuk penanganannya.
f) Fase krisis merupakan fase yang ditandai dengan situasi kritis atau
mengancam jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan.
g) Fase pulih adalah keadaan pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam
batasan yang dibebani oleh penyakit kronis.
h) Fase penurunan adalah kejadian yang terjadi ketika perjalanan penyakit
berkembang disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan
dalam mengatasi gejala-gejala.
i) Fase kematian adalah tahap terakhir yang ditandai dengan penurunan bertahap
atau cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual.
2.2.4. Kategori Penyakit Kronis
Menurut Christensen et al. (2006) ada beberapa kategori penyakit kronis, yaitu
seperti di bawah ini.
a) Lived with illnesses. Pada kategori ini individu diharuskan beradaptasi dan
mempelajari kondisi penyakitnya selama hidup dan biasanya tidak
mengalami kehidupan yang mengancam. Penyakit yang termasuk dalam
kategori ini adalah diabetes, asma, arthritis, dan epilepsi.
b) Mortal illnesses. Pada kategori ini secara jelas kehidupan individu
terancam dan individu yang menderita penyakit ini hanya bisa merasakan
gejala-gejala penyakit dan ancaman kematian. Penyakit dalam kategori ini
adalah kanker dan penyakit kardiovaskuler.
c) At risk illnesses. Kategori penyakit ini sangat berbeda dari dua kategori
sebelumnya. Pada kategori ini tidak ditekankan pada penyakitnya, tetapi
pada risiko penyakitnya. Penyakit yang termasuk dalam kategori ini
adalah hipertensi dan penyakit yang berhubungan dengan hereditas.
2.2.5. Tanda dan Gejala
Karakteristik penyakit kronis adalah penyebabnya yang tidak pasti, memiliki
faktor risiko yang multiple, membutuhkan durasi yang lama, menyebabkan kerusakan
fungsi atau ketidakmampuan, dan tidak dapat disembuhkan secara sempurna (Smeltzer &
Bare, 2010). Tanda-tanda lain penyakit kronis adalah batuk dan demam yang berlangsung
lama, sakit pada bagian tubuh yang berbeda, diare berkepanjangan, kesulitan dalam
buang air kecil, dan warna kulit abnormal (Heru, 2007).
2.2.6. Patofisiologi Penyakit Kronis
A. Gagal Ginjal Kronik
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
progresif dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara
metabolisme dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang
berakibat pada peningkatan ureum (Desfrimadona, 2016). Gagal ginjal kronik
(GGK) sebagai suatu proses patofisiologi yang menyebabkan kerusakan struktural
dan fungsional ginjal ini masih menjadi permasalahan serius di dunia kesehatan
(Mayuda dkk, 2017).
Pada awal perjalananya, keseimbangan cairan, penanganan garam, dan
penimbunanan zat-zat sisa masih bervariasi dan bergantung pada bagian ginjal
yang sakit. Sampai fungsi ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi klinis
gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa yang sehat
mengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan
kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan sekresinya serta mengalami hipertrofi. Seiring
dengan semakin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisia
menghadapi tugas yang semakin berat, sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak
dan akhirnya mati.
Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitan dengan tuntutan
pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Seiring
dengan penyusutan progresif nefron-nefron, terjadi pembentukan jaringan parut
dan aliran darah ginjal mungkin berkurang. Pelepasan renin meningkat bersama
dengan kelebihan beban cairan yang menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan
mempercepat gagal ginjal.
B. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit atau
gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran
pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini
berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas
yang berbahaya (Depkes,2007).
Perubahan patologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for
Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2017 antara lain:
1 Inflamasi kronis, dengan peningkatan jumlah sel radang di paru
2 Perubahan stuktur saluran napas, akibat luka dan perbaikan yang
berulang kali.
Inflamasi yang terjadi pada saluran napas pasien PPOK sebagai respons
peradangan terhadap iritan kronis, seperti asap rokok. Inflamasi paru tetap
bertahan setelah berhenti merokok Mekanisme patogenesis meliputi:
1 Oxidative stress
2 Ketidakseimbangan Protease – antiprotease
3 Inflammatory cells: di beberapa pasien terdapat peningkatan eosinophil,
Th2 atau ILC2, terutama jika terjadi bersamaan dengan asma.
4 Mediator inflamasi
Karakteristik utama PPOK adalah keterbatasan aliran udara sehingga
membutuhkan waktu lebih lama untuk pengosongan paru. Peningkatan tahanan
jalan napas pada saluran napas kecil dan peningkatan compliance paru akibat
kerusakan emfisematus menyebabkan perpanjangan waktu pengosongan paru. Hal
tersebut dapat dinilai dari pengukuran Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
(FEV1) dan rasio FEV1 dengan Kapasitas Vital Paksa (FEV1/FVC) (Masna dan
Fachri, 2014). Patofisiologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for
Chronic Obstructive Pulmonary Disease 2017 sebagai berikut :
1 Keterbatasan aliran udara dan air trapping
2 Ketidaknormalan pertukaran udara
3 Hipersekresi mukus
4 Hipertensi pulmoner
5 Eksaserbasi
6 Gangguan sistemik
C. Kanker
Tumor (dalam bahasa latin artinya ”pembengkakan”) merupakan
sekelompok sel abnormal yang terbentuk hasil proses pembelahan sel yang
berlebihan dan tidak terkoordinasi. Dalam bahasa medisnya, tumor dikenal
sebagai neoplasia. “Neo” berarti “baru”, “plasia” berarti “pertumbuhan” atau “
pembelahan”. Neoplasia mengacu pada pertumbuhan sel-sel di sekitarnya yang
normal. Berdasarkan pengertian tumor diatas, tumor dibagi menjadi dua golongan
besar, yaitu tumor jinak (beningn) dan tumor ganas (malignan) atau kanker.
Proses pembentukan kanker berlangsung lama dan dibagi menjadi tiga
tahap yaitu inisiasi, promosi dan perkembangan. Pada tahap inisiasi kondisi sel
sudah mengalami perubahan permanen di dalam genom akibat kerusakan DNA
yang berakhir pada mutasi gen. Sel yang telah berubah ini tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan sel normal di sekitarnya. Tahap inisiasi memakan waktu
satu sampai beberapa hari. Tahap yang kedua yaitu tahap promosi. Periode
berlangsungnya tahap ini memakan waktu hingga sepuluh tahun lebih karena pada
tahap ini merupakan proses panjang yang disebabkan oleh kerusakan yang
melekat dalam materi genetik sel. Diawali dengan mekanisme epigentic akan
terjadi ekspansi sel-sel rusak membentuk premalignasi (mengarah ke kanker).
Tahapan yang terakhir yaitu tahap perkembangan (Progression). Pada tahapan ini
terjadi ketidakstabilan genetik yang menyebabkan perubahan-perubahan
mutagenik dan epigenetik. Hasil dari proses ini adalah klon baru sel-sel tumor
yang memiliki aktivitas pembelahan terus menerus, bersifat ganas, berkembang
biak, menyerbu jaringan sekitar, lalu menyebar ke tempat lain.
D. Anemia Kronik
Kebanyakan pasien yang menderita penyakit kronik mengalami anemia.
Anemia ini ditandai dengan kadar besi serum yang rendah, kadar transferin yang
rendah atau normal, dan kadar feritin yang normal atau tinggi. Disamping itu,
kadar hemoglobin berkisar antara 7-12 g/dL.
Secara garis besar, anemia penyakit kronis dibagi menjadi beberapa
kategori yaitu:
1 Infeksi: AIDS/ HIV, tuberkulosis, malaria, osteomielitis, abses kronik,
dan sepsis.
2 Inflamasi: arthritis rheumatoid, kelainan reumatologi, inflammatory
bowel disease, sindrom respons inflamasi sistemik,
3 Keganasan: karsinoma, myeloma multipel, limfoma,
4 Disregulasi sitokin: anemia akibat penuaan.
Penyebab utama dari AI adalah ketidakmampuan tubuh meningkatkan
produksi eritrosit. Ciri khas dari AI adalah disregulasi homeostasis besi dimana
terjadi pengambilan dan penyimpanan besi melalui sistem retikuloendotelial.
Dengan demikian, jumlah besi untuk sel progenitor eritroid dan eritropoeisis tidak
memadai.

Mekanisme pasti dari AI masih belum dimengerti. Dari beberapa


penelitian, AI pada arthritis rheumatoid melibatkan banyak faktor seperti
gangguan pelepasan besi oleh sistem fagositik mononuklear, besi yang terikat kuat
dengan protein, penurunan respons eritropoeitin, dan efek supresif interleukin
dalam eritropoeisis.

Adapun patogenesis dari AI adalah:

1 Destruksi eritrosit yang disebabkan oleh aktivasi faktor pejamu seperti


makrofag yang memfagosit eritrosit prematur. Hal ini ditandai dengan
ditemukannya eritrosit muda dalam jumlah besar. Keterlibatan faktor
ekstrinsik seperti toksin bakteri dan pengobatan belum diketahui.
2 Resistensi dan inadekuasi eritropoetin. Penurunan produksi
eritropoetin disebabkan oleh efek inhibisi sitokin inflamasi seperti 
TNF alfa dan interleukin 1. Inhibisi ini diperantarai oleh GATA 1
pada promoter eritropoetin.  Disamping itu, berdasarkan penelitian,
terjadinya resistensi dibuktikan melalui pasien dengan kadar
eritropoetin yang tinggi,  memiliki hemoglobin yang  rendah.
3 Keterbatasan besi sehingga menghambat eritropoeisis. Hal ini dapat
disebabkan oleh:
a. Pengeluaran sitokin inflamasi yaitu IL-6 merangsang
pengeluaran hepsidin . Hepsidin ini akan menginduksi
internalisasi serta degradasi ferroportin, transpor keluar besi.
Oleh karena itu, pengeluaran hepsidin akan menghambat
pengeluaran besi dari makrofag, hepatosit, dan enterosit. Pada
akhirnya, akan terjadi hipoferemia.
b. Inhibisi absorpsi besi pada usus oleh IL-6 dan hepsidin selama
inflamasi. Setiap hari, 1-2 mg besi yang berasal dari makanan
dibutuhkan untuk eritropoeisis.
c. Keterbatasan besi menyebabkan protoporfirin yang seharusnya
berikatan dengan besi untuk membentuk heme, lebih cenderung
mengikat zinc. Oleh karena itu, kadar protoporfirin-zinc
meningkat pada pasien AI.
d. Kegagalan proliferasi sel progenitor eritroid terutama oleh efek
inhibisi interferon gamma. Selain itu, sitokin seperti NO yang
diproduksi oleh makrofag bersifat toksik terhadap sel progenitor.
E. Diabetes Mellitus
Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan
yaitu :
1 Resistensi insulin
2 Disfungsi sel B pancreas
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.1,8
Resistensi insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik
serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi
glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B
langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi
insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak
absolut.4,5 Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan
gangguan pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada
perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan
sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan
defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada
penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
2.2.7. Pencegahan
Sekarang ini pencegahan penyakit diartikan secara luas. Dalam pencegahan
penyakit dikenal pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Djauzi, 2009). Pencegahan
primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau
mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat
berupa pencegahan umum (melalui pendidikan kesehatan dan kebersihan lingkungan)
dan pencegahan khusus (ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai risiko dengan
melakukan imunisasi). Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk menghambat
progresivitas penyakit, menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan yang
dapat dilakukan melalui deteksi dini dan pengobatan secara cepat dan tepat. Pencegahan
tersier dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.
Upaya pencegahan tingkat ketiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi
organ yang mengalami kecacatan (Budiarto & Anggreni, 2007).
2.2.8. Penatalaksanaan
Kondisi kronis mempunyai ciri khas dan masalah penatalaksanaan yang berbeda.
Sebagai contoh, banyak penyakit kronis berhubungan dengan gejala seperti nyeri dan
keletihan. Penyakit kronis yang parah dan lanjut dapat menyebabkan kecacatan sampai
tingkat tertentu, yang selanjutnya membatasi partisipasi individu dalam beraktivitas.
Banyak penyakit kronis yang harus mendapatkan penatalaksanaan teratur untuk
menjaganya tetap terkontrol, seperti penyakit gagal ginjal kronis (Smeltzer & Bare,
2008).

Anda mungkin juga menyukai