Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KASUS

DIFTERI

DOSEN PEMBIMBING

Niafatun Nofiah. S.Kep.,Ns.M. Kep

DISUSUN OLEH

Faridatul Islamiyah (202014201006)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES BAHRUL ULUM TAMBAKBERAS
JOMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah


memberikan kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan Asuhan Keperawatan
Anak Dengan Kasus Difteri. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikanya.

Asuhan Keperawatan Anak Dengan Kasus Difteri disusun guna memenuhi


tugas yang di ampu oleh Niafatun Nofiah. S.Kep.,Ns.M. Kep. pada mata kuliah
Keperawatan Anak di STIKES BAHRUL ULUM. Selain itu, penulis juga
berharap agar Asuhan Keperawatan Anak ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kasus Difteri.

Penulis menyadari Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi
kesempurnaan penulisan selanjutnya.

Jombang, 6 Juni 2022

Penulis

1
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................1
DAFTAR ISI...........................................................................................................2
BAB I................................................................................................................4
PENDAHULUAN...........................................................................................4
1.1 Latar Belakang...................................................................................4
1.2 Batasan Masalah.................................................................................6
1.3 Rumusan Masalah..............................................................................6
1.4 Tujuan.................................................................................................6
1.5 Manfaat Penelitian..............................................................................7
BAB II.....................................................................................................................9
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................9
2.1 Konsep Dasar Difteri.......................................................................9
2.1.1 Pengertian........................................................................................9
2.1.2 Etiologi..........................................................................................10
2.1.3 Patofisiologi Penyakit...................................................................10
2.1.4 Pathway.........................................................................................11
2.1.5 Klasifikasi......................................................................................13
2.1.6 Manifestasi Klinis..........................................................................14
2.1.7 Komplikasi....................................................................................14
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang.................................................................15
2.1.9 Penatalaksanaan.............................................................................15
BAB III..................................................................................................................17
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN...............................................17
KASUS DIFTERI.................................................................................................17
3.1 Pengkajian........................................................................................17
3.2 Diagnosa Keperawatan.....................................................................19
3.1 Intervensi..........................................................................................20
3.4 Implementasi....................................................................................24
3.5 Evaluasi............................................................................................24
BAB V........................................................................................................25
PENUTUP..................................................................................................25

2
3

4.1 Kesimpulan........................................................................................25
4.2 Saran.................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA................................................................................26

3
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

4
5

AIDS merupakan salah satu penyakit menular seksual yang masih


menjadi perbincangan utama dalam permasalahan global. AIDS adalah
singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh
yang disebabkan infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).
Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari
serangan luar seperti kuman, virus, dan penyakit. HIV menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia dan melemahkan atau merusak sistem
pertahanan tubuh, sehingga akhirnya tubuh mudah terserang berbagai jenis
penyakit (IKAPI, 2020). Seseorang yang positif mengidap HIV belum
tentu mengidap AIDS. Namun, HIV yang ada pada tubuh seseorang
akan terus merusak sistem imun. Akibatnya virus, jamur dan bakteri
yang biasanya tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya karena
rusaknya sistem imun tubuh (Sopiah, 2019).

Trend kejadian HIV/AIDS didunia cenderung meningkat setiap


tahunnya. Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun
2014 didapatkan 36.900.000 orang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh
dunia. Menurut Depkes RI (2017), jumlah kasus HIV yang
dilaporkan di Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2017
mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah infeksi HIV yang
dilaporkan sampai dengan Desember 2017 di Indonesia sebanyak
48.300 orang. Adapun jumlah infeksi HIV tertinggi berada di
provinsi Jawa Timur, yaitu sebanyak 8.204 orang, diikuti DKI Jakarta
(6.626 orang), Jawa Barat (5.819 orang), Jawa Tengah (5.425 orang),
dan Papua (4.358 orang). Penyebaran HIV-AIDS di Indonesia sangat
cepat, sehingga Indonesia berada pada situasi epidemi
terkonsentrasi. Saat ini tidak ada provinsi di Indonesia yang bebas HIV.

Permasalahan yang biasa muncul pada pasien HIV/AIDS adalah


selain masalah fisik juga adanya stigma negatif. Stigma ini muncul
karena penyakit ini dianggap sebagai akibat dari sering melakukan
kegiatan seks bebas. Bagi orang yang dinyatakan positif HIV pasti

5
6

akan mengalami atau menghadapi isu-isu kompleks seperti


permasalahan bio, psiko, sosial dan spiritual, (Departemen
Kesehatan RI, 2018). Isolasi sosial menjadi permasalahan yang terjadi
berikutnya. Permasalahan yang begitu kompleks pada pasien
HIV/AIDS diiringi dengan kehilangan dukungan sosial seperti
kurangnya perhatian keluarga dan masyarakat. Selain adanya stigma
negatif untuk penderita HIV/AIDS, di masyarakat juga banyak beredar
trend dan isu-isu tentang penyakit ini, contohnya saja trend dan isu terkait
penularan HIV/AIDS.

1.2 Batasan Masalah


Masalah pada studi kasus ini dibatasi pada asuhan keperawatan
pada anak dengan kasus difteri di ruang Dahlia RSUD Sumatra Barat

1.3 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang diuraikan diatas rumusan masalah yang
dapat diangkat adalah “Bagaimanakah asuhan keperawatan anak dengan
kasus difteri di ruang Dahlia RSUD Sumatera Barat?”.

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum

Melaksanakan asuhan keperawatan anak dengan kasus difteri di


ruang Dahlia RSUD Sumatera Barat.

1.4.2 Tujuan Khusus


1. Melakukan pengkajian pada anak dengan kasus difteri di ruang
Dahlia RSUD Sumatera Barat.
2. Menetapkan diagnosis keperawatan pada anak dengan kasus difteri di
ruang Dahlia RSUD Sumatera Barat.
3. Menyusun perencanaan keperawatan pada anak dengan kasus difteri
di ruang Dahlia RSUD Sumatera Barat.
4. Melaksanakan tindakan keperawatan pada anak dengan kasus difteri
di ruang Dahlia RSUD Sumatera Barat.

6
7

5. Melakukan evaluasi pada anak dengan kasus difteri di ruang Dahlia


RSUD Sumatera Barat.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Secara Teoritis


Hasil penelitian diharapkan dapat berguna sebagai tambahan teori dan
bahan tambahan untuk pemberian tindakan keperawatan, dalam mengatasi
masalah nyeri menggunakan terapi nonfarmakologi relaksasi nafas dalam
dan teknik distraksi pada anak dengan kasus difteri.

1.5.2 Secara Praktis


1. Bagi Institusi pendidikan
Sebagai tambahan informasi dan bahan kepustakaan dalam pemberian
asuhan keperawatan pada anak dengan kasus difteri
2. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan yang optimal dengan menggunakan terapi
nonfarmakologi relaksasi nafas dalam dan teknik distraksi pada anak
dengan kasus difteri.
3. Bagi peneliti
Menambah pengetahuan sejauh mana efektifitas relaksasi nafas dalam
dan teknik disteraksi dalam mengatasi masalah keperawatan nyeri
pada anak dengan kasus difteri.
4. Bagi Responden
Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam
mengaplikasikan teori-teori yang didapat dalam bentuk penelitian dan
dapat memberikan wawasan tentang cara penanganan dalam
menghadapi anak dengan kasus difteri.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar HIV/AIDS

2.1.1 Definisi Trend dan Issue Keperawatan

Difteri

Dalam Jurnal Pasarpolis (2017) Penyakit difteri didefinisikan


sebagai penyakit yang menyerang saluran pernafasan terutama pada
bagian laring, amandel, atau tonsil, dan tenggorokan. Ketika saluran
pernafasan terinfeksi oleh virus ini, membran atau lapisan lengket
yang berwarna abu-abu akan berkembang di area tenggorokan
sehingga menyebabkan batuk disertai sesak nafas akut yang akan
berujung kepada kematian. Kemudian ada juga resiko langsung
berupa kerusakan jantung dan syaraf (neuro-damage). Bakteri induk
Difteri ini juga menghasilkan racun yang berbahaya jika menyebar ke
bagian tubuh yang lain.

Dari beberapa definisi di atas dapat simpulkan bahwa difteri adalah


penyakit infeksi menular berbahaya pada saluran pernafasan yang
disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae.

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah jenis bakteri yang diberi nama


Cornyebacterium Diphteriae. Bakteri ini bersifat polimorf, tidak
bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan dapat memproduksi
eksotoksin (Sudoyo, 2019). Uji schick merupakan pemeriksaan untuk
mengetahui apakah seseorang telah memiliki anti toksin (Wardhani, &
Setiowulan, 2021). Terdapat dua jenis basil, yaitu bentuk gravis, mitis,
dan intermedius. Basil dapat membentuk (Mansjoer et al., 2020):

8
9

1. Pseudomembrane yang sulit diangkat, mudah berdarah, dan


berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena;
terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik, dan basil
2. Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan
jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan
saraf. Minimum Lethal Dose (MLD) toksin ini adalah 0,02 ml.

2.1.3 Patofisiologi Penyakit

Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada


permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi
toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Setelah melalui masa
inkubasi selama 2-4 hari kuman difteri membentuk racun atau toksin
yang mengakibatkan timbulnya panas dan sakit tenggorokan. Kemudian
berlanjut dengan terbentuknya selaput putih di tenggorokan akan
menimbulkan gagal nafas, kerusakan jantung dan saraf. Difteri ini akan
berlanjut pada kerusakan kelenjar limfe, selaput putih mata, vagina.
Komplikasi lain adalah kerusakan otot jantung dan ginjal (Sudoyo,
2021).

2.1.4 Pathway

Imunisasi tidak
lengkap faktor Bakteri Difteri Masuk melalui
lingkungan mukosa dan kulit
daerah epidemik
bakteri

9
10

Memproduksi toksin Berkembangbiak pada


permukaan mukosa saluran
nafas bagian atas

10
11

Toksin Seluruh tubuh


Resiko

Menghambat Jantung Syaraf Ginjal


pembentukan
protein dalam
sel Nekrosistosik Nekrosistosik Tampak
dan dengan degenerasi perdarahan
degenerasi lemah pada selaput adrenal dan
hialin mielin nekrosis
Toksin
tubula

Paralisis
Miokarditis
Obstriksi dipalatumeole
payah jantung Proteinuria
saluran otot mata,
pernafasan ektermitas
inferior
Edema kongesti
Inkontensia
infiltrasi sel morte
urine aliran
nuclear pada serat
berlebih
otot dan sistem
konduksi

Ansietas Gangguan
Penurunan
menelan
curah jantung

Sel mati respon


Hamabatan
inflasi lokal
komunikasi verbal

Pseudomembrane
(eksudat fibrin sel
radang eritrosit
nekrosis sel-sel epitel

11
12

Menyumbat jalan
nafas

12
13

Ketidakefektifan
pola nafas

Kelebihan volume
cairan

2.1.5 Klasifikasi

Widoyono (2021) mengklasifikasikan difteri menjadi dua jenis difteri,


yaitu:

2.1.1.1 Difteri Tipe Respirasi


Difteri tipe ini disebabkan oleh strain bakteri yang
memproduksi toksin (toksigenik). Biasanya dapat menyebabkan
gejala yang berat sampai meninggal. Difteri tipe respirasi terbagi
lagi menjadi beberapa tipe, yaitu:

13
14

1. Difteri hidung (anterior nasal diphteria)


Difteria ini umumnya timbul pada bayi.
2. Difteri faucial
Merupakan bentuk paling umum dari difteri. Gejala dapat
berupa tonsilitis disertai dengan pseudomembran yang
berwarna kuning keabuan pada salah satu atau kedua tonsil.
Pseudomembran dapat membesar hingga ke uvula, palatum
mole, orofaring, nasofaring, atau bahkan laring. Gejala dapat
disertai dengan mual, muntah, dan disfagia.
3. Difteri tracheolaryngeal
Difteri laring biasanya terjadi sekunder akibat difteri faucial.
Difteri tracheolaryngeal dapat menimbulkan gambaran
bullneck pada pasien difteri akibat cervical adenitis dan edema
yang terjadi pada leher. Timbulnya bullneck merupakan tanda
dari difteri berat, karena dapat timbul obstruksi pernapasan
akibat lepasnya pseudomembran sehingga pasien
membutuhkan trakeostomi.
4. Difteri maligna
Hal ini merupakan bentuk difteri yang paling parah dari
difteri. Toksin secara cepat menyebar dengan demam tinggi,
denyut nadi cepat, penurunan tekanan darah dan sianosis.
Biasanya penyebaran membran meluas dari tonsil, uvula,
palatum, hingga lubang hidung. Gambaran bullneck dapat
terlihat, dan timbul perdarahan dari mulut, hidung, dan kulit.
Gangguan jantung berupa heart block muncul beberapa hari
sesudahnya (FK UB, 2016).

14
15

2.1.2.2 Difteri Kutan/Kulit


Difteri ini menyerang pada kulit dengan gejala yang ringan
disertai peradangan yang tidak khas dan sulit untuk dikenali
sehingga seringkali tidak masuk dalam catatan kasus maupun
program penanggulangan. Disebabkan oleh strain bakteri
toksigenik maupun nontoksigenik. Difteri kutan saat ini lebih
sering muncul daripada penyakit nasofaring di negara barat. Hal ini
berkaitan dengan alkoholisme dan kondisi lingkungan yang tidak
higienis (FK UB, 2016).
2.1.6 Manifestasi Klinis

Penetapan kasus salah satunya dilihat dari tanda dan gejala klinis
yang muncul hal ini karena penanganan sedini mungkin sangatlah
penting untuk dilakukan (Widoyono, 2017). Tanda dan gejala yang
digunakan sebagai alat diagnosa penyakit difteri, yaitu:

1. Mengalami infeksi pada faring, laring, trakhea, atau kombinasinya


2. Muncul selaput berwarna putih keabu-abuan (pseudomembran)
yang tidak mudah lepas pada tenggorokan, amandel, rongga mulut,
atau hidung
3. Pembengkakan kelenjar limfa pada leher (bullneck)
4. Demam yang tidak tinggi (<38,5 ̊C)
5. Mengeluarkan bunyi saat menarik napas (stidor)
6. Kesulitan bernapas

2.1.7 Komplikasi

Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem


saraf, ginjal ataupun organ lainnya (Mansjoer et al., 2020):

1. Saluran nafas : obstruksi jalan nafas, bronkopneumonia, atelektasis


paru
2. Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman

15
16

3. Urogenital : nefritis
4. Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II),
otot mata (minggu III), dan umum (setelah minggu IV)
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Adapaun pemeriksaan difteri yang dapat dilakukan berikut ini adalah:

1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorokan terdapat kuman


Corynebacterium Diphtheriae (Buku kuliah imu kesehatan anak
2018).

2. Pada pemeriksaan darah: Terdapat penurunan kadar hemoglobin


dan leukosit polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan
kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan ( Ngastiyah,
2017).

3. Pemeriksaan bakteriologis: Mengambil bahan dari membran atau


bahan dibawah membran, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan
media blood (Rampengan, 2020).

4. Leukosit: Dapat meningkat atau normal, kadang terjadi anemia


karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 2020)

5. Pada neuritis difteri: Cairan serebrospionalis menunjukkan sedikit


peningkatan protein (Rampengan, 2020).

6. Shick Tes: Tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita,


suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin.

2.1.9 Penatalaksanaan

2.1.1 Penatalaksanaan Medis


Pasien harus dirawat di ruang isolasi rumah sakit untuk
menghindari penularan ke pasien lainnya. Isolasi dapat dilakukan
selama 48 jam sejak pemberian antibiotik hingga tidak lagi

16
17

menular (Kemenkes RI, 2017). Sementara menurut Widoyono


(2018) untuk pengobatan sendiri terdapat dua tujuan utama yaitu
untuk memulihkan pasien dari peradangan dan toksin bakteri itu
sendiri. Pengobatan tersebut diantaranya:
1. Trakeostomi merupakan prosedur pembedahan dengan
memasang slang melaui sebuah lubang ke dalam trakhea untuk
mengatasi obstruksi jalan nafas bagian atas atau
mempertahankan jalan nafas dengan cara menghisap sekret
untuk penggunaan ventilasi mekanik yang kontinue.
Trakeostomi dapat digunakan sementara yaitu dalam jangka
pendek untuk masalah akut, atau jangtka panjuang biasanya
permanen dan slang dapat dilepas (Marelli, 2018).
2. ADS (Antidiphteria Serum), merupakan antitoksin yang dapat
mengikat toksin dalam darah. Namun ADS ini tidak mampu
mengikat toksin dalam jaringan. ADS dapat diperoleh dari
serum kuda. ADS ini diberikan kepada suspek difteri tanpa
menunggu hasil laboratorium.
3. Antibiotik berupa eritromisin atau penisilin diberikan untuk
terapi dan profilaksis. Pengobatan jenis ini diberikan kepada
suspek difteri serta kontak kasus dengan tujuan untuk dapat
menekan penularan penyakit.
4. Kortikosteroid, untuk mencegah dan mengurangi peradangan.

2.1.2 Penatalaksanaan Keperawatan


Pasien harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas
harus memakai gaun khusus (celemek) dan masker yang harus
diganti tiap pergantian tugas atau sewaktu-waktu bila kotor (jangan
dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya penunggu pasien juga
harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke
luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangtan seperti:
Desinfektan, sabun, lap, atau handuk yang kering (bila ada tisu) air
bersih jika ada kran juga tempat untuk merendam alat makan yang

17
18

diisi dengan desinfektan. Resiko terjadi komplikasi obstruksi jalan


nafas, miokarditis, Pneumonia. Pasien diftei walaupun penyakitnya
ringan perlu dirawat dirumah sakit karena potensial terjadi
komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya
pseidomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri
tersebut.
Sumbatan jalan nafas terjadi kelainan karena adanya edema
pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala
sumbatan adalah suara serak dan stridor inspiratoir bila makin
berat maka akan terjadi sesak nafas, sianosis, tampak retraksi otot,
dan akan kedengaran stridor. Maka yang harus dilakukan oleh
perawat yaitu:
1. Memberikan O2
2. Membaringkan setengah duduk
3. Menghubungi dokter
4. Pasang infus

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN

KASUS DIFTERI

3.1 Pengkajian

Pengkajian adalah pengumpulan data tentang individu, keluarga, dan


kelompok (Nursalam, 2020 dalam Wahyu Adi 2021) proses pengkajian

18
19

pertama yang dilakukan adalah pengumpulan data, data yang dikumpulkan


antara lain:

1. Identitas
Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10
tahun dan jarang ditemukan pada bayi
berumur dibawah 6 bulan dari pada orang
dewasa diatas 15 tahun
Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di
negara-negara miskin
Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-
tempat pemukiman yang rapat-rapat, higien
dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan
yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat,
sakit kepala, anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat,
sakit kepala, anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring,
laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret
bercampur darah

5. Riwayat Penyakit Keluarga


Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
2) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan
demam

19
20

3) Pola istirahat dan tidur


Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu
istirahat dan tidur
4) Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena
jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda-tanda Vital
Nadi : meningkat
Tekanan darah : menurun
Respirasi rate : meningkat
Suhu : ≤38°C
2) Inspeksi
Lidah kotor, anoreksia, dan ditemukan pseudomembran
3) Auskultasi
Napas cepat dan dangkal
8. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan uji schickdi
laboratorium.
2) Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan
EKG.

9. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut
setelah masa akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai
tindakan-tindakan berikut terlaksana :
1) Biakan hidung dan tenggorok
2) Sebaiknya dilakukan tes schick(tes kerentanan terhadap
diphtheria)
3) Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.

20
21

4) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster


dengan toksoid diphtheria.

3.2 Diagnosa Keperawatan (Doengoes, 2020)

1. Ketidakefektifan pola napas b.d edema laring


2. Gangguan menelan b.d abnormalitas jalan napas atas, laring,
orofaring, gangguan neuromaskular
3. Kelebihan volume cairan b.d gangguan mekanisme regulasi

3.1 Intervensi

NO NANDA NIC NOC

1. Ketidakefektifan Tujuan : Setelah 1x24 Manajemen Jalan


pola napas b.d jamdiharapkan bersihan Nafas
edema laring jalan napas pasien efektif Aktivitas-aktivitas :
1. Posisikan
Kriteria hasil : klien untuk
1. Mendemonstrasikan memaksimal
batuk efektif dan kan ventilasi
suara nafas yang 2. Lakukan
bersih, tidak ada fisioterapi
syanosis dan dispneu dada,sebagai
(mampu mana
mengeluarkan mestinya
sputum, mampu 3. Ajari klien
bernapas dengan untuk
mudah, tidak ada bernapas
purse lips) pelan, dalam,
2. Menunjukkan jalan berputar
napas yang paten danbatuk
(klien tidak merasa 4. Intruksikan
tercekik, irama bagaimana
nafas, frekuensi agar bisa

21
22

nafas dalam rentang melakukan


normal, tidak ada batuk efektif
nafas abnormal) Monitor Tanda-
3. Tanda-tanda vital tanda vital
dalam rentang Aktivitas-aktivitas :
normal (TD, Nadi,
RR) 1. Monitor
tekanan
darah, nadi,
suhu, dan
status
pernafasan
dengan tepat
2. Catat gaya
dan fluktuasi
yang luas
pada tekanan
darah
3. Monitordanl
aporkan
tandadangeja
la hipotermia
sertahiperter
mia
4. Monitor
keberadaan
dan kualitas
nadi
5. Identifikasi
kemungkina
n penyebab
perubahan

22
23

vital sign

2. Gangguan menelan Tujuan : Setelah 3x24 jam Pemberian Makan


b.d abnormalitas diharapkan klien tidak Aktivitas-aktivitas :
jalan napas atas, mengalami gangguan 1. Identifikasi
laring, orofaring, menelan makanan diet yang
gangguan Kriteria hasil : disarankan
neuromaskular 1. Klien dapat 2. Cipta kan
mempertahankan lingkungan
makanan dalam yang
mulut menyenangk
2. Kemampuan an selama
menelan yang makan
adekuat 3. Identifikasi
3. Kemampuan untuk adanya
mengosongkan refleks
rongga mulut menelan,jika
4. Hidrasi tidak diperluka
ditemukan 4. Catat asupan
dengan tepat
5. Dorong
orang
tua/keluarga
untuk
menyuapi
klien
Manajemen Obat
Aktivitas-aktivitas :
1. Monitor
efektifitas
cara
pemberian

23
24

obat yang
sesuai
2. Monitor
pasien
mengenai
efek
terapeutik
obat
3. Monitor
tanda dan
gejala
toksisitas
obat
4. Monitor
efek
samping
obat
5. Ajarkan
klien
dan/atau
anggota
keluarga
mengenai
metode
pemberian
obat yang
sesuai
Manaejemen
Nutrisi
Aktivitas-aktivitas :
1. Identifikasia
danya alergi

24
25

atau
intoleransim
akanan yang
dimiliki
klien
2. Monitor
kalori dan
asupan
makanan
3. Kelebihan volume Tujuan : Setelah 3x24 jam Terapi Intravena
cairan b.d diharapkan edema teratasi Aktivitas-aktivitas
gangguan 1. Jaga teknik
mekanisme Kriteria hasil : aseptik
regulasi dengan ketat
1. Terbebas dari edema, 2. Berikan
efusi pengobatan
2. Bunyi nafas bersih, IV, sesuai
tidak ada dyspneu yang
3. Terbebas dari diresepkan,
distensi vena dan monitor
jugularis dan vital untuk
sign normal hasilnya
4. Terbebas dari 3. Monitor
kelelahan kecepatan
5. Menjelaskan aliran
indikator kelebihan intravena
cairan dan area
intravena
selama
pemberian
infus
4. Monitor

25
26

tanda-tanda
vital
5. Monitor
tanda dan
gejala
plebitis dan
infeksi lokal
6. Dokumentasi
kan terapi
yang
diberikan,
sesuai
prosedur
diinstitusi
Manaejemen Berat
Badan
Aktivitas-aktivitas :
1. Hitung berat
badan klien
2. Hitung
persentase
lemak ideal
3. Bantu klien/
keluarga
membuat
perencanaan
makanan
yang
seimbang
dan
konsisten
dengan

26
27

jumlah
energi yang
dibutuhkan
setiap
harinya

3. 4 Implementasi

Implementasi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan


oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang
dihadapi ke status kesehatan yang baik dan menggambarkan kriteria hasil
yang diharapkan. Implementasi keperawatan bertujuan untuk membantu
klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi koping. Implementasi keperawatan berlangsung dalam tiga
tahap. Tahap pertama adalah persiapan, tindakan keperawatan ini
menuntut perawat mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk
melakukan tindakan. Tahap kedua adalah intervensi, tahap ini merupakan
tahap yang berfokus pada pelaksanaan tindakan keperawatan. Tahap ketiga
adalah dokumentasi, tahap ini merupakan pelaksanaan tindakan
keperawatan harus diikuti oleh pencatatan yang lengkap dan akurat
terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan (Aditio Musa, 2019).

27
28

3.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan


untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan
tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil
akhil yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada
rencana keperawatan. Tujuan dari evaluasi adalah untuk melihat dan
menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan, menentukan apakah
tujuan asuhan keperawatan sudah tercapai atau belum, mengkaji
penyebab jika tujuan keperawatan belum tercapai (Aditio Musa, 2019).

28
29

29
30

BAB V

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Difteria merupakan penyakit infeksi menular berbahaya pada


saluran pernafasan yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
Diphtheriae. Bakteri ini biasanya menyerang saluran pernafasan
terutama pada bagian laring, faring, amandel, atau tonsil, dan
tenggorokan. Difteri adalah penyakit infeksi pertama atas dasar
prinsip-prinsip mikrobiologi dan kesehatan masyarakat. Maka
diperlukanya perhatian khusus terhadap penanggulangan kasus
difteri ini, karena anak-anak yang berumur satu sampai sepuluh
tahun sangat rentang terhadap penyakit ini. Adaupun penularan
difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang
tercemar, melalui batuk, dan bersin yang ditularkan oleh penderita.
2. Peran perawat juga dibutuhkan dalam hal ini, yaitu memberikan
penyuluhan mengenai bahaya difteri serta memberikan cara terbaik
untuk mencegah difteri yaitu dengan cara memberikan imunisasi
pada anak-anak dan memberikan perawatan pada klien yang telah
terjangkit bakteri penyebab difteri tersebut.

4.2 Saran

Semoga dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini berguna bagi


pembaca pada umumnya dan khusunya berguna bagi penulis dalam
memberikan Asuhan Keperawatan pada anak dengan kasus difteri.
Dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini, penulis menyadari bahwa
Asuhan Keperawatan ini jauh dari kata kesempurnaan untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun, agar
pembuatan Asuhan Keperawatan selanjutnya bisa lebih baik lagi.

30
31

DAFTAR PUSTAKA

Izza, N., & Soenarnatalina. (2018). Analisis Data Spasial Penyakit Difteri di
Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 DAN 2011. Buletin
PenelitianSistem Kesehatan, 18(2), 211–219.
Pasarpolis, Jurnal. (2017). Waspadai Penyakit Difteri,Bahaya yang Mengintip.
Diambil 5 Januari 2018, dari
https://jurnal.pasarpolis.com/2017/12/19/waspadai-
penyakit-difteri-bahaya-yang-mengintip/
Pediatri, Jurnal. (2017). Gejala dan Penanganan Difteri. Diambil 5 Januari 2018,
dari https://jurnalpediatri.com/2017/12/09/gejala-dan-
penanganan-difteri/
NANDA Internasional. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. (T. H. Herdman &S.Kamitsuru, Ed., B. A.
Keliat, H. D. Windarwati, A. Pawirowiyono, & A. Subu,
Penerj.) (10 ed.). Jakarta: EGC.
Aditio Musa 2019. Asuhan Keperawatan Pada An. R.L Dengan Difteri Dalam
Pemenuhan Kebutuhan Aman Nyaman Di Wilayah RSUD
Prof.DR.W.Z.Johannes Kupang. Karya Tulis Ilmiah.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang.
Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., & Setiowulan, W. (Ed.). (2017).
Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Sudoyo, A. W. (2021). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2(5 ed.). Internal
Publishing.
Faisal, (2017). Waspada Penyakit Difteri “Sepanjang 2017 Puluhan Anak
Meninggal Karena Difteri.”Diambil 5 Januari 2018, dari
http://www.jurnalmediaindonesia.com/2017/12/waspada-
penyakit-difteri-sepanjang-2017.

31
32

Anda mungkin juga menyukai