Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN UAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV/AIDS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan UAS ganjil pada
Pendidikan Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan
Tahun Akademik 2021/2022

OLEH :

LINDA AMELIA SARI

NIM :

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
DESEMBER 2021
HALAMAN PERSETUJUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN HIV/AIDS

Mataram, 01 Desember 2021

Mahasiswa,

Linda Amelia Sari

NIM

Menyetujui:,

Dosen Pengajar

MOH. ARIP,S.KP.,M.Kes

NIP, 196706071989031003

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga tugas makalah yang berjudul
.“ASUHAN KEPEPERAWATAN PADA PASIEN HIV/AIDS” Ini dapat
terselesaikan pada waktu yang telah di tentukan.
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekeliruan dan kekurangan
serta masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan
kritik dan saran dari pembaca yang besifat konstruktif dan membangun demi
kesempurnaan penyusun ke depannya.
Tugas makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan,
arahan serta bimbingan dari berbagai pihak. Maka, dari itu izinkan saya
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan tugas ini.
Akhir kata semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya
saya penyusunnya.

Mataram, 05 Desember 2021

Penyusun

Linda Amelia Sari

ii
DAFTAR ISI

Halaman Sampul

Halaman persetujuan ........................................................................................ i

Kata pengantar ................................................................................................. ii

Daftar isi...............................................................................................................iii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 3
D. Manfaat penulisan.....................................................................................3

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian HIV/AIDS .......................................................................... 4
B. Etiologi ................................................................................................ 4
C. Patofisiologis........................................................................................ 6
D. Pathway ............................................................................................... 8
E. Manifestasi klinis......................................................................................9
F. Komplikasi ........................................................................................... 10
G. Pemeriksaan diagnostik ........................................................................ 11
H. Penatalaksaan ...................................................................................... 13
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV/AIDS

A. Pengkajian............................................................................................ 16
B. Diagnosa keperawatan ......................................................................... 18
C. Intervensi keperawatan.............................................................................19

iii
D. Implementasi keperawatan.......................................................................23
E. Evaluasi keperawatan...............................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25


LAMPIRAN

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi human immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquireed
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan salah satu penyakit
mematikan didunia yang menjadi wabah internasional sejak pertama
kehadirannya (Arriza, Dewi, Dkk, 2011). Penyakit ini disebabkan oleh virus
Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang menyerang sistem kekebalan
tubuh (Kemenkes,2015).
Penyakit HIV dan AIDS menyebabkan penderita mengalami
penurunan ketahanan tubuh sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai
macam penyakit lain (Kemenkes, 2015). Meskipun ada kemajuan dalam
pengobatannya, namun infeksi HIV dan AIDS masih merupakan masalah
kesehatan yang penting (Smeltzer dan Bare 2015).
Penyebaran HIV tidak mengenal umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, status perkawinan dan daerah tempat tinggalnya (
Tanggadi, 1996 dan budiarto 1997), laporan dari United Nations Programe on
HIV and AIDS atau UNAIDS pada tahun 2015 terdapat 2,1 juta infeksi baru
diseluruh dunia, yang menjadi 36,7 juta dan penderita AIDS sebanyak 1,1 juta
orang (UNAIDS, 2016).
Penyakit HIV menular melalui cairan genetalia (sperma dan cairan
vagina penderita msuk keorang lain melalui jaringan epitel sekitar uretra,
vagina dan anus akibat hubungan seks bebas tanpa kondom, heteroseksual
atau homoseksual. Ibu yang menderita HIV sangat beresiko menularkan HIV
ke bayi yang dikandung jika tidak ditangani dengan kompeten. Orang yang
terinfeksi HIV atau mengidap AIDS (ODHA) beresiko mengalami infeksi
oportunistik. Infeksi oportunistik adalah infeksi yang terjadi karena
menurunnya kekebalan tubuh seseorang akibat virus HIV. Infeksi ini
umumnya menyerang ODHA dengan HIV stadium lanjut menyebabkan
1
gangguan berbagai aspek kebutuhan dasar, diantaraya gangguan kebutuhan
oksigenisasi, nutrisi, cairan, kenyamanan, koping, integritas kulit dan sosial
spiritual. Gangguan kebutuhan dasar ini bermanifestasi menjadi diare, nyeri
kronis pada beberapa anggota tubuh, penurunan berat badan, kelemahan,
infeksi jamur, hingga disstres dan depresi (Nursalam,2019).
Penyakit HIV AIDS juga memunculkan berbagai masalah psikologi
seperti ketakutan, keputusasaan yang disertai dengan prasangka buruk dan
diskriminasi dari orang lain, kemudian menimbulkan tekanan psikologis. Jika
ditambah dengan stres psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien
terinfeksi HIV maka akan mempercepat AIDS, bahkan meningkatkan
kematian.
Perawat memiliki tugas memenuhi kebutuhan dan membuat status
kesehatan ODHA meningkat melalui asuhan keperawatan. Asuhan
keperawatan merupakan suatu tindakan atau proses dalam praktek
keperawatan yang diberikan secara langsung kepada pasien untuk memenuhi
kebutuhan objektif pasien, sehingga dapat mengatasi masalah yang sedang
dihadapinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penyakit HIV/AIDS ?
2. Apa penyebab terjadinya HIV/AIDS?
3. Apa Patofisiologi dari penyakit HIV/AIDS ?
4. Apa pathway dari penyakit HIV/AIDS
5. Bagaimana manifestasi klinis HIV/AIDS ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari penyakit HIV/AIDS?
7. Bagaimana penatalaksanaan HIV/AIDS ?
8. Bagaimana komplikasi dari HIV/AIDS ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit HIV/AIDS?

2
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif pada pasien HIV/AIDS.

D. Manfaat Penulisan
1. Menjelaskan pengertian HIV/AIDS
2. Menjelaskan etiologi HIV/AIDS
3. Menjelaskan patofisiologi HIV/AIDS
4. Memaparkan Pathway HIV/AIDS
5. Menjelaskan manifestasi klinis HIV/AIDS
6. Menjelaskan pemeriksaan penunjang HIV/AIDS
7. Menjelaskan penatalaksanaan HIV/AIDS
8. Menjelaskan komplikasi dari HIV/AIDS
9. Menjelaskan asuhan keperawatan pasien HIV/AIDS

3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian
Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit
kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retro virus HIV tipe 1 atau HIV
tipe 2 (copstead dan banasik, 2018). Infeksi HIV adalah infeksi virus yang secara
progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV biasanya berakibat
pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara progresif, menyebabkan terjadinya
infeksi oportunistik dan kanker tertentu ( terutama pada orang dewasa).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan kondisi
klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi HIV(Sylvia dan lorraine,
2018). Munculnya syndrome ini erat hubungannya dengan berkurangnya zat
kekebalan tubuh yang prosesnya tidaklah terjadi seketika melainkan sekitar 5-10
tahun setelah seorang terinfeksi HIV.
Menurut Suensen (2017) terdapat 5-10 juta HIV positif yang dalam waktu
5-7 tahun mendatang diperkirakan 10-30% diantaranya menjadi penderita AIDS.
Pada tingkat pandemi HIV tanpa gejala jauh lebih banyak dari pada penderita
AIDS itu sendiri. Tetapi infeksi HIV itu dapat berkembang lebih lanjut dan
menyebabkan kelainan imunologis yang luas dan gejala klinik yang bervariasi.
AIDS merupakan penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai case
fatality rate 100% dalam 5 tahun setelah diagnosa AIDS ditegakkan, maka semua
penderita akan meninggal.
B. Etiologi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia yang termasuk
dalam keluarga lentivirus ( termasuk virus immunodeficiency pada kucing, virus
pada immunodeficiency pada kera, virus visna pada domba, virus anemia
infeksiosa pada kuda). Dua bentu HIV yang berbeda secara genetik, tetapi
berhubungan secara antigen, yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi
4
dari penderita AIDS. Sebagian retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan
mengandung inti berbentuk kerucut yang padat elektron dan dikelilingi selubung
lipid yang berasal dari membran sel penjamu. Inti virus tersebut mengandung
kapsid utma protein p24, nukleukapsid protein p7 atau p9, dua sirina genom, dan
ketiga enzim virus (protease, reserve, transcriptase dan integrase). Selain ketiga
gen retrovirus yang baku ini HIV ini mengandung beberapa gen lain (diberi nama
misalnya tat, rev, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintesi serta perakitan partikel
virus yang ineksius. (Robbins dkk, 2011).
Menurut Nursalam dan Kurniawati (2011) virus HIV menular melalui enam cara
penularan, yaitu:
1. Hubungan seksual dengan penderita HIV/AIDS
Hubungan seksual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita HIV tanpa
perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung,
air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat mengenai selaput lendir, penis,
dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapat dalam cairan tersebut masuk
kedalam aliran darah (Nursalam 2007). Selama berhubungan bisa terjadi lesi
mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV
untuk masuk kedalam aliran darah pasangan seksual.
2. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan. Berdasarkan CDC
Amerika, prevelensi dari ibu ke bayi 0,01% sampai dengan 7%. Bila ibu baru
terinfeksi HIV belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi 20%
sampai 30%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan
mencapai 50% (PELKESI, 1995). Penularan juga terjadi selama proses
persalinan melalui transfusi fetomaternal atau kontak kulit atau membran
mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan. Transmisi
lain terjadi selama periode post partum melalui ASI dari ibu yang positif
sekitar 10%

5
3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karna virus langsung masuk ke pembuluh darah
dan menyebar ke seluruh tubuh.
4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat-alat
lainnya yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinveksi
HIV, dan langsung digunakan untuk orang lainyang tidak terinfeksi HIV bisa
menularkan HIV.
5. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suktik yang digunakan oleh parah pengguna narkobasangat berpotensi
menularkan HIV. Selain jarum suntik para pengguna IDU secara bersama-
sama menggunakan tempat penyampur, pengaduk dan pengoplos obat,
sehingga berpotensi tinggi menularkan HIV.

C. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) perjalanan HIV paling baik dipahami dengan
menggunakan kaidah saling mempengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada
tiga tahap yang mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. Fase
akut pada tahap awal, fase kronis pada tahap menengah dan fase kritis pada tahap
akhir.
Fase akut menggambarkan respon awal seorang dewasa yang
immunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang khas merupakan
penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang
dewasa selama 3-6 minggu setelah infeksi, fase ini ditandai dengan gejala non
spesifik yaitu nyeri tenggorokan, nilagioa, demam ruam, dan kadang-kadang
meningitis aseptik. Fase ini juga ditandai dengan produksi virus dalam jumlah
besar, viremia dan persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang
secara khas disertai dengan berkurangnya sel T CD4+ kembali mendekati jumlah
normal. Namun segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon imun yang
6
spesifik terhadap virus, dibuktikkan melalui serokonversi (biasanya dalam
rentang waktu 3 hingga 17 minggu setelah perjalanan) dan munculnya sel T
sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+
kembali mendekati jumlah normal. Namun berkurangnya virus dalam plasma
bukan merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut
didalam makrofag dan sel T CD4+ jaringan.
Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif
virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
limfadenopati “ringan” seperti sariawan atau herpes zoster selama fase ini
replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang
meluas akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun, karena
kemampuan regenerasi imun besar, sel CD4+ dalam darah perifer hanyalan hal
sederhana. Setelah melewati periode yang panjang dan beragam, pertahanan
mulai berkurang, jumlah CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin
meningkat. Linfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala
konstitusional yang bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset
adanya deokompesasi sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase
“kritis”.
Tahap akhir, fase kritis ditandai dengan kehancuran pertahanan penjamu
yang sangat merugikan viremia yang nyata, serta peyakit klinis. Para pasien
khasnya akan mengalami demam lebih dari satu bulan, mudah lelah, penurunan
berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500. Setelah adanya
interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang
serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi neurologis ( disebut kondisi
yang menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah
menderita AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang
menentukan AIDS tidak muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini
menentukan bahwa seseorang terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang
atau sama dengan 200 sebagai pengidap AIDS.
7
D. Pathway
Transmisi HIV kedalam
tubuh melalui darah,
ASI/cairan tubuh lainnya.

Pengikatan gp120 HIV


dengan reseptor membran T
helper + cd4

Fusi/ peleburan membran


virus dengan membran
sel T helper +CD4

Enzim reverse
transcriptase RNA HIV
+ eDNA

Enzim integrase eDNA


masuk ke inti sel T Helper

Transkripsi mRNA dan


translasi menghasilkan
protein struktural virus

Enzim protase
merangkai RNA virus
dengan protein-protein
yang baru dibentuk

Terbentuk virus-
virus HIV yang baru
dalam tubuh

8
E. Manifestasi klinis
Menurut Mandal (2014) tanda dan gejala penyakit AIDS menyebar luas dan
pada dasarnya dapat mengenai semua sistem organ. Penyakit yang berkaitan
dengan infeksi HIV AIDS terjadi akibat infeksi dan efek langsung HIV pada
jaringan tubuh. Adanya HIV dalam tubuh seseorang tidak dapat dilihat dari
penampilan luar. Orang yang terinfeksi tidak akan menunjukkan gejala apapun
dalam jangka waktu yang relatif lama sejak tertular HIV. Masa ini disebut masa
laten. Orang tersebut masih tetap sehat dan bisa bekerja sebagaimana biasanya
walaupun darahnya mengandung HIV. Masa inilah yang mengkhawatirkanbagi
kesehatan masyarakat, karena orang yang terinfeksi secara tidak disadari dapat
menularkan kepada yang lainnya.
Menurut Nursalam (2014) pasien AIDS secara khas punya riwayat tanda dan
gejala penyakit. Pada infeksi HIV primer akut yang lamanya 1-2 minggu pasien
akan merasakan sakit seperti flu dan disaat fase supresi imun simpomatik (3
tahun) pasien akan mengalami demam, keringat dimalam hari, penurunan berat
badan, diare, neuropati, keletihan ruam kulit, pertambahan kognitif, dan lesi oral.
Ketika HIV menjadi AIDS akan terdapat gejala infeksi oportunistik, yang
paling umum adalah pneumocystic carii (PCC), pneumonia interstisial yang
disebabkan suatu protozoa, infeksi lain termasuk meningitis, kandidias,
cytomegalovirus, mikrobakterial, atipikal.
Gejala yang muncul pada HIV/AIDS :
1. Gejala mayor
a) Berat badan menurun hingga 10% atau lebih dalam waktu satu
bulan, tanpa sebab yang spesifik.
b) Diare berkepanjangan selama lebih dari satu bulan.
c) Demam terus-menerus, baik konstan maupun hilang-timbul,
selama sebulan lebih.

9
2. Gejala minor
a) Batuk kering berkepanjangan.
b) Serangan gatal pada permukaan kulit diseluruh tubuh.
c) Herpes zoster, mirip cacar air, yang tampak pada kulit, dan
tidak sembuh-sembuh.
d) Ruam pada mulut, lidah, dan tenggorokan
e) Kelenjar dileher, ketiak, atau selangkangan membengkak
tanpa sebab.
F. Komplikasi
Menurut Gunawan (2018), komplikasi dari penyakit HIV/AIDS menyerang
paling banyak pada bagian tubuh meliputi:
a. Oral lesi
Lesi ini disebabkan karena jamur kandidia, herpes simpleks, sarcoma
kapasi, HPV oral, gingivitis, periodonitis HIV, leukoplakia oral,
penurunan berat badan, keletihan, dan cacat.
b. Neurologik
Pada neurologik, virus ini dapat menyebabkan kompleks anemia AIDS
karena serangan langsung HIV pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfalgia, dan
isolasi sosial. Enselopaty akut karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis. Dengan efek
sakit kepal, malaise demam, paralise, total/parsial, infark serebral kornea
sifilis meningovaskuler, hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
c. Gastrointestinal
Pada gastrointestinal dapat menyebabkan beberapa hal seperti diare
karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan
sarcoma kaposi. Dengan efek penurunan berat badan, anoreksia, demam,
malabsorbsi, dan dehidrasi. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,
sarcoma kaposi, obat ilegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual, muntah,
nyeri abdomen, ikterik, demam atritis. Penyakit anorektal karena abses
10
dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi
dengan efek iflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
d. Respirasi
Infeksi karena pneumocitis, carinii, cytomegalovirus, virus influenza,
pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek, batuk,
nyeri, hipoksia, keletihan, dan gagal nafas.
e. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus, virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis
karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekubitus dengan efek
nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder dan sepsis.
f. Sensorik
Pada bagian sensorik virus menyebabkan pandangan sarcoma kaposis
pada konjungtiva berefek kebutaan. Pendengaran pada otitis eksternal dan
otitis media, kehilangan pendengaran dan efek nyeri.
G. Pemeriksaan Diagnostik
1) Tes laboratorium
Telah dikembangkan sejumlah tes diagnostik yang sebagian masih bersifat
penelitian. Tes dan pemeriksaan laboratorium digunakan untuk
mendiagnosis HIV dan memantau perkembangan penyakit serta responnya
terhadap terapi HIV:
a) Serologis
b) Tes antibody serum
Skrining HIV dan ELISA. Hasil tes positif, tapi bukan merupakan
diagnosa.
c). Tes blot western
mengkonfirmasi diagnosa human immunodeficiency virus
d). Sel T limfosit
penurunan jumlah total
e). Sel T4 helper
indikator sistem imun
11
f). T8 ( sel supresor sitopatik )
g). P24 ( protein pembungkus HIV )
peningkatan nilai kuantitatis protein mengidentifikasi progresi
infeksi.
h). Kadar Ig
meningkat terutama Ig A, G dan M yang normal atau mendekati
normal.
i). Reaksi rantai polimerasi
mendeteksi DNA virus dalam jumlah sedikit pada infeksi sel
perifer monoseluler.
j). Tes PHS
pembungkus hepatitis B dan antobody, sifilis, CMV mungkin
positif.
2) Laboratorium total
Histologis, pemeriksaan soitologis urine, darah, feses, cairan spina,
luka, sputum, dan sekresi, untuk mengidentifikasi adanya infeksi :
parasit, jamur, bakteri, protozoa.
3) Neurologis
EEG, MRI, CT scan otak, EMG (pemeriksaan saraf)
4) Tes lainnya
a) Sinar X dada
Menyatakan perkembangan filtrasi interstisial dari PCP tahap
lanjut atau adanya komplikasi lain.
b) Tes fungsi pulmonal
Deteksi awal pneumonia interstisial.
c) Skan gallium
Ambilan difusi pulmonal terjadi pada PCP dan bentuk
penumonia lainnya.
d) Biopsi
Diagnosa lain dari sarcoma kaposi.
12
e) Brankoskopi / pencucian trakeobronkial
Dilakukan dengan biopsi pada waktu PCP ataupun dugaan
kerusakan paru-paru.
f) Tes antibody
Jika seseorang terinfeksi HIV, maka sistem imun akan
bereaksi dengan memproduksi antibody terhadap virus
tersebut. Antibody terbentuk dalam 3-12 minggu setelah
infeksi, atau bisa sampai 6-12 bulan. Hal ini menejlaskan
mengapa orang yang terinfeksi awalnya tidak
memperlihatkan hasil tes positif. Tapi antibody ternyata tidak
efektif, kemampuan mendeteksi antibody HIV dalam darah
memungkinkan skrining produk darah dan memudahkan
evaluasi diagnostik.

H. Penatalaksanaan
1. Farmakologi
Setelah dinyatakan terinfeksi HIV, dilakukan serangkaian layanan
yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis, dan penilaian
virologi. Hal tersebut untuk menentukan apakah pasien sudah memenuhi
syarat untuk terapi antiretroviral, menilai status supresi imun pasien,
menentukan infeksi oportunistik yang pernah dan sedang terjadi, dan
menentukan paduan obat ARV yang sesuai.
Sebelum mendapat terapi ARV pasien haru disiapkan secara matang
dengan konseling kepatuhan karena terapi ARV akan berlangsung seumur
hidupnya. Untuk ODHA yang akan memulai terapi ARV dalam keadaan
jumlah CD4 dibawah 200 maka dianjurkan untuk memberikan
kontrimoksasol (1x960 mg sebagai pencegahan IO) 2 minggu sebelum
terapi ARV. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kepatuhan pasien untuk
minum obat, dan menyingkirkan kemungkinan efek samping tumpang
tindih antara kotrimoksasol dan obat ARV, mengingat bahwa banyak obat
13
ARV mempunyai efek samping yang sama dengan efek samping
kotrimosaksol.
Untuk memulai terapi ARV perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4
dan penentuan stadium klinis infeksi HIV nya. Berikut adalah rekomendasi
cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a) Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Penentuan mulai terapi ARV didasarkan pada penilaian klinis.
b) Tersedia pemeriksaan CD4
 Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4
< 350 tanpa memandang stadium klinisnya.
 Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB
aktif, ibu hamil, dan infeksi hepatitis B tanpa memandang
jumlah CD4.
c) Limfosit total <1000-1200 dapat diganti dengan CD4 dan
dijumpai tanda-tanda HIV. Hal ini pada pasien tanpa gejala (
stadium 1 menurut WHO) hendaknya jangn dilakukan pengobatan
karena belum adanya petunjuk mengenai tingkatan penyakit.
d) Pengobatan juga dianjurkan untuk pasien stadium 3 yang lanjut
termasuk kambuh luka pada mulut yang sukar sembuh dan infeksi
pada mulut yang berulang dan tidak memperhatikan hasil
pemeriksaan CD4 dan limfosit total.

Obat ARV bekerja untuk menghambat replikasi virus dalam tubuh


pasien. Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV sebelum pasien
jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Tujuan pemberian terapi ARV
adalah untuk menurunkan HIV RNA menjadi dibawah 5000 dan peningkatan
CD4 diatas 500. Pemberian terapi ini akan memperlambat perkembangan
HIV dan mencegah IO.

14
2. Non farmakologi

a) Pemberian nutrisi
Pasien dengan HIV/AIDS sangat membutuhkan beberapa unsur vitamin
dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari apa yang biasanya
diperoleh dalam makanan sehari-hari. Sebagian besar ODHA akan
mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan.
Dalam beberapa hal, HIV sendiri akan berkembang lebih cepat pada
ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Kondisi tersebut
sangat berbahaya bagi ODHA yang mengalami defisiensi vitamin dan
mineral. Vitamin dan mineral juga berfungsi untuk meningkatkn
kemampuan tubuh dalam melawan berkembangnya HIV dalam tubuh.
HIV menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan penyerapan
nutrient. Hal ini berhubungan dengan menurunnya atau habisnya
cadangan vitamin dan mineral dalam tubuh. Defisiensi vitamin dan
mineral pada ODHA dimulai sejak masih stadium dini. Walaupun
jumlah makanan ODHA sudah cukup dan berimbang seperti orang sehat,
tetapi akan tetap terjadi defisiensi vitamin dan mineral. Berdasarkan
beberapa hal tersebut, selain mengkonsumsi jumlah yang tinggi, pada
ODHA juga harus mengkonsumsi suplementasi atau nutrisi tambahan.
Pemberian nutrisi tambahan bertujuan agar beban ODHA tidak
bertambah akibat defisiensi vitamin dan minera.
b) Aktivitas dan olahraga
Hampir semua organ berespon terhadap stres olahraga pada keadaan
akut. Olahraga yang dilakukan secara teratur menimbulkan adaptasi
organ tubuh yang berefek menyehatkan.

15
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HIV/AIDS
A. Pengkajian
a. Riwayat penyakit
Jenis infeksi sering memberikan pertunjuk pertama karena sifat kelainan
imun. Umur kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens.
Respon imun sangat tertekan pada orang yang sangat muda karena belum
berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi kelenjar timus dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyait kronik yang
berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes militus, anemia
aplastik, kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan
penyakit seperti ini harus dianggap sebagai faktor penunjang saat mengkaji
status imunokompetens pasien. Berikut bentuk kelainan hospes dan
penyakit serta terapi yang berhubungan dengan kelainan hospes:
1) Kerusakan respon imun seluler ( limfosit)
Terapi radiasi, defisiensi nutrisi, penuaan, aplastik, limpoma,
kortikosteroid, globulin anti limfosit, disfungsi timikcongenital.
2) Kerusakan imunitas humoral (antibody)
Limfositik leukimia kronis, mieloma, hipogamaglobulemiackongenital,
protein liosingenteropati (peradangan usus).
b. Pemeriksaan fisik (objektif) dan keluhan (subjektif)
1). Aktivitas / istirahat
Gejala : mudah lelah, intoleransi aktivitas, progresi malaise, perubaha
pola tidur.
Tanda : kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi
aktivitas (perubahan TD, frekuensi jantung dan pernafasan).
2). Sirkulasi
16
Gejala : penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada
cedera.
Tanda : perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer,
pucat/sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
3). Integritas dan ego
Gejala : stress berhubungan dengan kehilangan, mengkhawatirkan
penampilan, mengingkari diagnosa, putus asa dss.
Tanda : mengingkari, semas, depresi, takut, menarik diri, marah.
4). Eliminasi
Gejala : diare intermiten terus-menerus, sering atau tanpa kram
abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi.
Tanda : feses encer atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan
sering, nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal,
perubahan jumlah, warna, dan karakteristik urin.
5). Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, mual muntah, disfalgia.
Tanda : turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi
yang buruk, edema.
6). Hygiene
Gejala : tidak dapat menyelesaikan AKS
Tanda : penampilan tidak rapi, kurang pearwatan diri.
7). Neurosensori
Gejala : pusing, sakit kepala, perubahan status mental, kerusakan
status indra, kelemahan otot, tremor, kejang, hemiparesis, kejang.
8). Nyeri/kenyamanan
Gejala : nyeri umum/lokal, rasa terbakar, sakit kepala, nyeri dada
pleuritis.
Tanda : bengkak sendi, nyeri kelenjar, nyeri tekan, penurunan rentan
gerak, pincang.
9). Pernafasan
17
Gejala : nafas pendek progresif, batuk, sesak pada dada.
Tanda : takipnea, distress pernafasan, perubahan bunyi nafas, adanya
sputum.
10). Keamanan
Gejala : riwayat jatuh, terbakar, pingsan, luka tranfusi darah, penyakit
defisiensi imun, demam berulang, berkeringat dimalam hari.
Tanda : perubahan integritas kulit, luka perianal/abses, timbulnya
nodul, pelebaran kelenjar limfe, menurunnya kekuatan umum,
tekanan umum.
11). Seksualitas
Gejala : riwayat berperilaku seks beresiko tinggi, menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan.
Tanda : kehamilan, herpes genetalia.
12). Interaksi sosial
Gejala : masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian,
adanya trauma AIDS.
Tanda : perubahan interaksi.
13). Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: kegagalan dalam perawatan, perilaku seks beresiko tinggi,
penyalahgunaan obat-obatan IV, merokok, alkoholik.
B. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan integritas kulit b.d manifestasi HIV, ekskoriasi pada kulit.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d peningkatan sekresi bronkus dan
penurunan reflek batuk karena pneumonia.
c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan, hipoksia, malnutrisi, dan mudah
lelah.
d. Diare b.d proses infeksi patogen usus.
e. Nyeri kronis b.d agen cedera sarkoma kaposi, neuropati perifer.
f. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
g. Resiko infeksi b.d immunodefisiensi.
18
h. Isolasi sosial b.d stigma penyakit, ketakutan terhadap menulari orang
lain.
i. Kurang pengetahuan b.d keterbatasan sistem pendukung tentang cara-
cara mencegah penularan HIV dan perawatan mandiri.
C. Intervensi Keperawatan
a. Kerusaan integritas kulit b.d manisfestasi HIV, ekskoriasi pada kulit.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi integritas kulit.
Kriteria hasil :
1. Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka.
2. Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka.
3. Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka.
Intervensi :
1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROOM (range of motion) dan
mobilisasi jika memungkinkan.
2) Rubah posisi setiap 2 jam.
3) Gunakan bantal pengganjal yang lunak dibawah daerah-daerah
yang menonjol.
4) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami
tekanan pada waktu berubah posisi.
5) Observasi terhadap eritema dan kepucatan.

b. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d peningkatan sekresi bronkus


dan penurunan reflek batuk karena pneumonia.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
jalan nafas kembali efektif.

19
Kriteria hasil :
1. Klien tidak sesak nafas.
2. Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas
tambahan.
3. Tidak ada retraksi otot bantu pernafasan.
4. Pernafasan teratur, RR 16-20 x/menit.
Intervensi :
1) Monitor status respiratorius yang meliputi frekuensi,
kedalaman nafas, irama, penggunaan otot bantu nafas, dan
suara nafas.
2) Monitor gejala batuk, dan jumlah serta karakteristik sputum.
3) Berikan terapi pulmoner seperti batuk efektif, latihan nafas
dalam, drainase postural, perkusi dan fibrasi.
4) Berikan posisi semi fowler atau fowler untuk meningkatkan
ekspansi paru.
5) Kolaborasi dalam pemberian oksigen sesuai indikasi.

c. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan, hipoksia, malnutrisi, dan mudah lelah.


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan pasien
dapat beraktivitas.
Kriteria hasil :
1. Kelemahan teratasi
2. Nutrisi tercukupi
3. Tidak ada tanda-tanda hipoksia
intervensi:
1) Kaji kemampuan klien dalam ambulasi dan pemenuhan kebutuhan
sehari-hari
2) Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar dan menyusun
rutinitas kegiatan yang dapat dilakukan oleh klien.
20
3) Motivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap sesuai
dengan kemampuan klien.

d. Diare b.d proses infeksi patogen usus.


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi diare.
Kriteria hasil:
1. Output dan input seimbang.
2. Turgor kulit normal.
3. Tidak ada tanda-tanda kekurangan cairan.
Intervensi :
1) Monitor frekuensi dan konsistensi feses
2) Monitor kuantitas dan volume feses cair untuk mencatat kehilangan
volume cairan.
3) Monitor keluhan klien tentang rasa sakit atau kram pada perut
4) Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil dan sering
5) Anjurkan klien untuk menghindari makanan yang dapat merangsang
usus seperti buah dan sayuran mentah, makanan pedas, asam, minuman
bersoda.
6) Kolaborasi kultur feses untuk mengetahui penyebab diare.
7) Kolaborasi pemberian obat antikolinergik, antispasmodik.
8) Kolaborasi pemberian obat antidiare, antibiotik, dan antifungi.

e. Nyeri kronis b.d agen cedera sarkoma kaposi, neuropati perifer.


Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan rasa
nyeri teratasi.
Kriteria hasil:
1) Monitoe kualitas dan kuantitas nyeri yang dialami klien.
21
2) Ajar klien untuk managemen non farmakologi.
3) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat.

f. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi tercukupi
Kriteria hasil :
1. Berat badan dalam rentan normal sesuai umur.
2. Kebutuhan input dan output seimbang.
Intervensi :
1) Monitor status nutrisi klien yang meliputi berat badan, asupan
makanan, hasil pengukuran antropometri, albumin, BUN, protein, serta
transferin dalam serum.
2) Motivasi klien untuk mempertahankan masukan oral.
3) Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetik untuk mengendalikan
mual dan muntah.
4) Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil namun sering.

g. Resiko infeksi b.d immunodefisiensi


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
ada tanda-tanda infeksi.
Kriteria hasil :
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2. Leukosit dalam jumlah normal.
Intervensi :
1) Monitor tanda dan gejala infeksi seperti demam, menggigil,
berkeringat dimalam hari, batuk dengan atau tanpa sputum, nafas
pendek, kesulitan menelan, bercak putih pada rongga mulut, penurunan
22
berat badan tanpa penyebab, kelenjar limfe membengkak, mual
muntah, diare persisten, sering berkemih, sulit dan nyeri saat berkemih,
sakit kepala, perubahan visual dan daya ingat, pembengkakan dan
pengeluaran sekret dari luka dan kulit.
2) Monitor hasil laboratorium yang menunjukkan tanda infeksi.
3) Motivasi klien untuk melakukan personal hygiene secara rutin.
4) Terapkan teknik aseptik pada semua tindakan terhadap klien.

D. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sesuai
dengan yang telah direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi.
Rencana tindakan tersebut diterapkan dalam situasi yang nyata untuk
mencapai tujuan yang ditetapkan dan hasil yang diharapkan. Tindakan
keperawatan harus mendetail. Agar semua tenaga keperawatan dapat
menjalankan tugasnya dengan baik dalam jangka waktu yang telah ditetapkan
dan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien.
E. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan,
rencanatindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai kemungkinan
terjadi pada tahap evaluasi proses dan evaluasi hasil. Evaluasi berfokus pada
ketepatan keperawatan yang diberikan dan kemajuan pasien atau kemunduran
pasien terhadap hasil yang diharapkan. Evaluasi merupakan proses interaktif
dan kontinu karena setiap tindakan keperawatan dilakukan, respon klien
dicatat dan dievaluasi dalam hubungannya dengan hasil yang diharapkan.
Kemudian berdasarkan respon klien, direvisi intervensi keperawatan atau
hasil yang diperlukan ada 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan
keperawatan yaitu :
a) Proses (sumatif)

23
Fokus tipe ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dari hasil kualitas
pelayanan tindakan keperawatan. Evauasi proses harus dilaksanakan
sesudah perencanaan keperawatan., dilaksanakan untuk membantu
keefektifan terhadap tindakan.
b) Hasil (formatif)
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atau status kesehatan
klien pada akhir tindakan keperawatan klien.

24
DAFTAR PUSTAKA

Hanim, Diffah, dkk, 2013, Penyuluhan Kesehatan: Penyakit Menular Seksual,


Fakultas Kedokteran UNS, Solo
Kandal, B.K. Dkk., 2018, Penyakit Infeksi Edisi Ke-6, Erlangga, Jakarta.
Pusat Data Dan Informasi. 2019. Situasi Dan Analisis HIV AIDS. Kementrian
Kesehatan Ri. Jakarta
Widoyono, 2008, Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, &
Pemberantasan, Erlangga, Jakarta
Anderson Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.
Volume 1. Jakarta: EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 2006. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC

Doengoes, Marilynn, dkk. 2018. Rencana Asuhan Keperawatan ; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. edisi 3. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif . 2020 . Kapita Selekta Kedokteran . Jakarta : Media Sculapius

Marilyn , Doenges , dkk . 2018 . Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien . Jakarta : EGC

Price , Sylvia A dan Lorraine M.Wilson. 2005. Patofissiologis Konsep Klinis Proses
– Proses Penyakit . Jakarta : EGC

25
LAMPIRAN

A. TELAAH JURNAL
a. Fokus Penelitian
Dalam Jurnal penelitian yang berjudul “Pengelolaan Pasien
HIV/AIDS, fokus penelitian dalam jurnal tersebut yaitu bagaimana seorang
perawat dalam mengelola pasien HIV/AIDS. Seperti yang diketahui
bersama perawat sebagai petugas paling banyak berinteraksi dan kontak
langsung dengan pasien memiliki resiko terjadinya penularan penyakit
lebih tinggi dibandingkan petugas kesehatan yang lainnya. Penggunaan alat
pelindung diri yang baik merupakan salah satu upaya pencegahan
penularan penyakit menular. Penyakit menular adalah penyakit infeksi
yang didapat dari orang atau hewan sakit, dari benda-benda yang
mengandung bibit penyakit lainnya ke manusia yang sehat. Salah satu jenis
penyakit menular diantaranya adalah HIV/AIDS.
Berdasarkan data Kemenkes tentang angka kejadian HIV/AIDS, dari
bulan Januari sampai September 2014 kasus HIV di Indonesia terdapat
22.869 orang, sedangkan kasus AIDS sebanyak 1876 orang. Data statistik
yang ada dari tahun sebelumnya menunjukkan kenaikan jumlah penderita
HIV di mana pada tahun 2013 kasus HIV sebanyak 21.511 orang.
Penderita yanng dilakukan perawatan di pelayanan kesehatan seperti
Rumah Sakit atau Puskesmas pada tahun 2014 terdapat 12.527 orang.
Jumlah kasus HIV di Jawa Tengah dari bulan Januari sampai September
2014 terdapat 2.069 orang, sedangkan penderita AIDS terdapat 428 orang.
Risiko penularan HIV/AIDS terhadap tenaga kesehatan khususnya
perawat sangat besar. Penelitian yang dilakukan di RS Mumbai India
melaporkan bahwa 32,75% tenaga kesehatan terpapar HIV melalui darah
dan cairan tubuh pasien, dan presentase terbesar (92,21%) adalah perawat.

26
Risiko penularan HIV/AIDS terhadap perawat dapat dicegah dengan
memperluas pengetahuan dan perilaku yang baik bagi pasien yang
terinfeksi HIV/AIDS dapat memberikan arti yang cukup besar bagi
kesembuhan pasien (Nursalam dan Ninuk, 2018). Pelayanan asuhan
keperawatan yang diberikan kepada pasien merupakan bentuk pelayanan
profesional yang bertujuan untuk memulihkan dan meningkatkan
kemampuan diri pasien.
b. Gaya dan Sistematika Penulisan
Gaya penulisan dan sistematika hasil penelitian merupakan hal terakhir
yang harus dilakukan oleh peneliti. Pada umumnya peneliti telah belajar
secara intuitif cara-cara penulisan dalam bentuk makalah untuk jurnal
penelitian. Yang perlu diperhatikan dalam sistematika penulisan antara lain
:
1. Untuk siapa laporan penelitian ditujukan
Jurnal yang ditelaah dalam laporan ini ditujukan untuk pasie penderita
HIV/AIDS yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan diri
pasien dalam mengelola kesehatannya.

Gaya penulisan hasil merupakan bagian yang sentral pada laporan


penelitian. Dalam penulisan hasil tidak perlu diberikan ulasan, komentar
dan lain-lain, kecuali pada karangan pendek yang menggabungkan
komponen hasil dan pembahasan. Meskipun demikian kalimat pengantar
mutlak diperlukan. Dalam jurnal ini gaya sudah bagus.

c. Penulis
Dalam jurnal penelitian yang dilakukan oleh Yulia Ardiyanti dan
Livana PH. Terkadang penelitian tanpa penulis atau nama penulis tertera
kurang dapat terbaca membuat pembaca lebih mudah untuk menjiplak.
Umumnya penulis menuliskan nama di cover halaman depan dengan font
12. Adapula nama dengan huruf cetak tebal. Pada jurnal ini penulis sudah

27
menuliskan nama dengan jelas dan hurufnya juga sudah ditebalkan agar
terlihat lebih jelas.

d. Judul Penelitian
Dalam jurnal penelitian yang telah ditelaah berjudul “Pengelolaan
Pasien HIV/AIDS”. Judul penelitian harusnya jelas dan menarik sehingga
membuat pembaca tertarik untuk membacanya dan tidak adanya kesalahan
dalam menafsirkan judul dari jurnal tersebut. Dalam jurnal ini judul dan
isinya sudah saling berkaitan atau sinkron. Namun Judul jurnal tidak
memenuhi prinsip 5 W 1 H yaitu peneliti tidak mencantumkan dimana dan
kapan penelitian tersebut diadakan. Bila judul yang kurang sinkron dengan
content membuat pembaca bingung. Selain itu jenis, tebal, ukuran huruf,
serta panjang dan pendeknya judul juga harus diperhatikan.
e. Abstrak
Perawat pelaksana merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan
pasien HIV/AIDS untuk mewujudkan pelayanan keperawatan yang
bermutu dan profesional. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran pengelolaan pasien HIV/AIDS di RSUD dr. H. Soewondo
Kendal. Penelitian dengan sampel 58 orang ini menggunakan rancangan
deskriptif dengan pendekatan cross sectional dan uji normalitas data hasil
penelitian menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Hasil penellitian
menunjukkan bahwa Pengelolaan pasien HIV/AIDS oleh Perawat
pelaksana di RSUD dr. H. Soewondo Kendal sebagian besar berada pada
kriteria baik yaitu sebanyak 53,4%. Perlu ditingkatkan pengetahuan
perawat tentang Universal Precaution dan pengendalian penyakit infeksi
serta lebih meningkatkan rasa caring pada pasien dari HIV/AIDS.
Dari abstrak diatas telah memenuhi kaidah penulisan dimana jumlah
kata tidak boleh lebih dari 200 – 250 kata.
f. Masalah dan Tujuan Penelitian

28
Dalam suatu penelitian biasanya penulis menggunakan kalimat tanya
untuk rumusan masalah. Tujuan penelitian di rincikan dalam tujuan umum
dan tujuan khusus. Reviewer melihat belum terdapat tujuan khusus dan
rumusan masalah dari penelitian ini.
g. Literatur dan Tinjauan Pustaka
Dalam tinjauan pustaka harus diuraikan dengan mendalam berbagai
aspek teoritis yang mendasari penelitian. Hal yang disinggung dalam latar
belakang masalah perlu dirinci dan hubungan antar variabel dibahas.
Sumber pustaka diharapkan yang terbaru agar informasi yang dikemukakan
tidak kadaluwarsa. Masalah penulisan harus diperhatikan dengan benar.
Kalimat terlalu panjang, kalimat tidak bersubyek, ataupun ejaan yang
kurang benar harus dihindarkan. Penulisan rujukan harus diperhatikan
dengan baik karena hal itu merupakan salah satu kriteria tinjauan pustaka
yang baik. Penulisan jurnal sudah menggunakan analitis kritis berdasarkan
literatur yang ada. Namun memiliki kendala yaitu daftar pustaka masih
terlalu sedikit dan perlu diperbanyak lagi sumber dalam menambah
pengetahuan
h. Hipotesis / Pertanyaan Penelitian
Tidak semua penelitian memerlukan hipotesis. Survai atau studi
eksploratif yang tidak mencari hubungan antar variabel, jadi hanya bersifat
deskriptif, tidak memerlukan hipotesis. Syarat hipotesis yang baik adalah :
1. Dinyatakan dalam kalimat deklaratif yang jelas dan sederhana
2. Mempunyai landasan teori yang kuat
3. Menyatakan hubungan antara satu variabel tergantung dari satu atau
lebih variabel bebas
4. Memungkinkan diuji secara empiris
5. Rumusan harus khas dan menggambarkan variabel-variabel yang
diukur.
6. Dikemukakan atas prioritas
i. Populasi dan Sampel
29
Populasi dalam jurnal tersebut yaitu pasien HIV/AIDS di RSUD dr. H.
Soewondo Kendal. Kemudian sampel yang digunakan sebanyak 58 orang.
Dengan menggunakan rancangan deskriptif dengan pendekatan cross
sectional dan uji normalitas data hasil penlitian menggunakan uji
Kolmogorov Smirnov.
j. Data dan Analisis data
Jenis analisa statistik yang akan digunakan dijabarkan set variabel
yang akan dianalisis, dirinci cara analisis yang akan dipakai untuk tiap set
variabel tersebut. Ditentukan batas kemaknaan yang akan dipakai serta
interval kepercayaan akan disertakan dan tingkat kemaknaan statistika
yang dipilih.
k. Hasil Penelitian
Hasil penelitian merupakan kesimpulan penelitian tersebut. Pada jurnal
ini reviwer dapat menilai kesimpulannya sudah bagus, dalam
penyampaiannya dikemas secara ringkas menjelaskan bahwa pengelolaan
pasien HIV/AIDS oleh perawat pelaksana di RSUD dr. H. Soewondo
Kendal sebagian besar berada pada kriteria baik yaitu sebanyak 53,4%.
Perlu ditingkatkan pengetahuan perawat tentang Universal Precaution dan
pengendalian penyakit infeksi serta lebih meningkatkan rasa caring pada
pasien dari pasien HIV/AIDS.

30

Anda mungkin juga menyukai