Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

Snake Bite

Disusun Oleh:
dr. Yunis Eka Shinta
Pendamping:
dr. NurAisyah, M.Kes

PROGRAM INTERNSIP
PERIODE AGUSTUS 2021-2022
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANGKINANG
KABUPATEN KAMPAR
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan yang
bejudul “Snake Bite”.
Penyusunan laporan kasus ini untuk memenuhi salah satu tugas Program Dokter
Internsip Indonesia di RSUD Bangkinang. Terimakasih saya ucapkan kepada dr. Nur Aisyah,
M. Kes atas bimbingan dan arahannya sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan.
Saya menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian laporan
kasus ini, dikarenakan keterbatasan ilmu dan pengalaman saya. Maka dengan kerendahan
hati, saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dan
pendamping sekaligus untuk menyempurnakan laporan kasus ini ke depannya.

Bangkinang, September 2021

Penulis

2
Berita Acara Laporan Kasus

Pada hari Jumat, tanggal 24 September 2021 telah dipresentasikan laporan kasus oleh:
Nama : dr. Yunis Eka Shinta
Judul/ topik : Snake Bite
Nama Pendamping : dr. Nur Aisyah
Nama Wahana : RSUD Bangkinang

Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan

1. 1.

2. 2.

3. 3.

4. 4.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.

Pendamping

dr. Nur Aisyah, M. Kes

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................... 4
ABSTRAK ...................................................................................................... 5
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 6
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 6
BAB II TINJAUAN KASUS ..................................................................... 7
2.1 Identitas Pasien........................................................................ 7
2.2 Anamnesis................................................................................ 7
2.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................... 8
2.4 Pemeriksaan Penunjang........................................................... 9
2.5 Diagnosa Kerja......................................................................... 9
2.6 Penanganan….......................................................................... 10
BAB III TNJAUAN PUSTAKA ................................................................ 11
3.1 Epidemiologi........................................................................... 11
3.2 Klasifikasi................................................................................11
3.3 Patofisiologi..............................................................................13
3.4 Manifestasi Klinis ...................................................................14
3.5 Pemeriksaan Penunjang...........................................................16
3.6 Penatalaksanaan.......................................................................17
BAB IV PEMBAHASAN............................................................................ 25
BAB V KESIMPULAN.............................................................................28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 29

4
Shinta YE 1)
Aisyah N.2)

1)Dokter Internsip RSUD Bangkinang

Dokter Pendamping
2)

ABSTRAK
Latar Belakang: Gigitan ular merupakan salah satu kegawatdaruratan medis
dan penyakit akibat okupasi yang sering diabaikan oleh tenaga medis,
paramedis maupun pemangku kebijakan kesehatan sehingga sangat terbatas
untuk dipelajari karena sistem pelaporan yang lemah. Ular golongan Elapidae
sering ditemukan di wilayah Asia Tenggara memiliki bisa dengan kandungan
sitotoksin dan neurotoksin dengan artinya kandungan racunnya bisa
menghancurkan sel tubuh dan merusak sistem syaraf.
Laporan Kasus: Dilaporkan pasien digigit ular pada digiti 4 manus dextra.
Tidak dijumpai tanda-tanda syok. Pada pemeriksaan fisik dijumpai edema pada
bekasan gigitan. Pada pemeriksaan laboratorium dijumpai leukosistosis.
Kesimpulan: Manifestasi klinis gigitan ular dapat berefek pada sistem syaraf
terjadi kelumpuhan, kegagalan pernafasan, gagal ginjal dan kematian jika tidak
ditangani dengan tepat.
Kata Kunci: Snake bite

5
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ular berbisa dapat ditemukan hampir di seluruh dunia (termasuk di lautan)kecuali


pada beberapa pulau, lingkungan yang beku dan pada tempat dengan ketinggian ekstrim.
Kasus kematian maupun keracunan akibat gigitan ular, merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting. Di beberapa lokasi, penderita gigitan ular mengalami
morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi karena akses terhadap pelayanan kesehatan
yang buruk, suboptimal dan pada waktu tertentu mengalami kesulitan dalam persediaan
anti-bisa yang merupakan satu-satunya terapi spesifik.1
Ditemukan jumlah yang cukup besar penderita yang selamat setelah gigitan ular
dengan disabilitas secara fisik yang besar karena nekrosis jaringan dan disabilitas secara
psikis juga memperberat keadaaan. Efeknya cukup besar tetapi gigitan ular belum
mendapatkan perhatian oleh tenaga kesehatan maupun pemangku kebijakan kesehatan
sehingga dapat dikategorikan sebagai penyakit tropis yang terabaikan.1

1.2 Tujuan Penulisan

Mengetahui dan Memahami gigitan ular atau snake bite

1.3. Manfaat Penulisan

a. Mengetahui Definisi Snake Bite


b. Mampu Mengetahui Epidemiologi Snake Bite
c. Mampu Mengetahui Etiologi Snake Bite
d. Mampu Mengetahui Patofisiologi Snake Bite
e. Mampu Mengetahui Klasifikasi Snake Bite
f. Mampu Mengetahui Diagnosis Snake Bite
g. Mampu Mengetahui Diagnosis Banding Snake Bite
h. Mampu Mengetahui Komplikasi Snake Bite
i. Mampu Mengetahui Penatalaksanaan Snake Bite

6
BAB II

TINJAUAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


 Nama : Tn. EL
 Usia : 47 tahun
 Agama : Islam
 Alamat : Jl. Batu Belah, Bangkinang
 No. MR : 194811
 Tanggal Masuk : 19 September 2021
 Tanggal Pemeriksaan : 19 September 2021

2.2 Anamnesis
 Keluhan Utama :
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum Bangkinang dengan keluhan nyeri
berdenyut pada jari keempat tangan kanan digigit ular .

 Riwayat Penyakit Sekarang :


Menurut pengakuan pasien, pasien digigit ular saat bekerja membersihkan
tempat acara pernikahan, pada saat itu di lingkungan sekitar masih gelap karena
keadaan dini hari sehingga pasien tidak melihat ada ular di sekitarnya. Pasien
mengetahui pasti jenis ular apa yang menggigit. Setelah tergigit ular >30 menit
kemudian pasien ke Rumah Sakit Umum Bangkinang. Pasien tidak ada mengeluhkan
penurunan kesadaran, pusing, mual, muntah, dan sesak nafas. Demam (+) sejak hari
ini.

 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi, gula darah tinggi
dan sebagainya.
 Riwayat Penyakit Keluarga

7
Tidak ada keluarga yang memiliki riwayat sakit yang sama.

 Riwayat pengobatan
Pasien tidak pernah berobat ke manapun terkait dengan keluhannya saat ini.
 Riwayat pekerjaan, kebiasaan dan sosial ekonomi
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Perkawinan : Menikah
Kebiasaan : Merokok

2.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Lemas
 Status gizi : TB: 158 cm, BB: 52 kg.
 Kesadaran : Komposmentis / GCS 15 E4V5M6
 Tekanan darah : 130/80 mmHg
 Nadi : 110 kali/menit
 Pernapasan : 24 kali/menit
 Suhu : 38,2oC per aksila

 Pemeriksaan Fisik :
1. Kepala dan leher
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
refleks cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
Hidung : deviasi septum (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-)
Leher : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening

2. Thoraks :
a. Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)

8
b. Jantung
inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dekstra
batas jantung kiri : ICS V 1 cm lateral linea midklavikula
sinistra
Auskultasi : S1-S2 normal, gallop (-), murmur (-)

c. Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi tidak ada
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal,, frekuensi 10x/i

3. Ekstremitas
Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema digiti 4 manus dextra.
Status Lokalis : Digiti 4 manus dextra
Inspeksi : tampak bekas gigitan, gigitan berjumlah dua, eritema
Palpasi : edema, nyeri (+)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Rapid Test Covid 19 : IgG dan IgM non reaktif
Darah Rutin :
Hemoglobin : 13,8 g/dL
Hematokrit : 40.2 gr/%
Leukosit : 14.000
Trombosit : 153.000

Hitung jenis leukosit


Eusinofil : 0,1 %
Basofil : 0,1 %
Neutfofil segmen : 76,0 %
Limfosit : 19,3 %
Monosit : 4,5

9
2.5 Diagnosa Kerja
Snake Bite

2.6 Diagnosa Banding


- Syok Septik
- Luka infeksi

2.7 Penanganan
 IVDF D5% + SABU 1 vial
 IVFD Nacl 0.9 % 20 gtt/i
 Inj. Ketorolac 1 amp/ iv
 Inj. Ranitidine 1 amp/ iv
 Inj. Ceftriaxone 1 gr/ iv

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Epidemiologi
Insiden gigitan ular bervariasi bergantung pada musim. Insiden tertinggi terjadi
selama musim bertanam dan musim hujan. WHO (World Health Organitation) menyebutkan
sebanyak 5 juta orang setiap tahun digigit ular berbisa sehingga mengakibatkan sampai 2,5
juta orang keracunan, sedikitnya 100.000 orang meninggal, dan sebanyak tiga kali lipat
amputasi serta cacat permanen lain. Studi nasional di Amerika Serikat melaporkan angka
perbandingan kejadian antara laki-laki dan perempuan adalah 9:1 dan 96% gigitan berlokasi
pada ekstremitas.1,3
Data tentang kejadian gigitan ular berbisa di Indonesia belum diketahui secara pasti,
tetapi pernah dilaporkan dari pulau Komodo di Nusa Tenggara terdapat angka kematian 20
orang per tahun yang disebabkan gigitan ular berbisa.2,3
Masalah mendasar yang dijumpai pada kebanyakan regional Asia adalah pengobatan
gigitan ular masih menganut paham tradisional dan herbal, maka sebagian besar korban
gigitan ular tidak tercatat pada rumah sakit.1,2
Gigitan paling sering pada pekerja pertanian yang bertelanjang kaki yang tergigit saat
berjalan di malam hari atau saat bekerja di ladang dan sawah. Laki-laki lebih sering terkena
dibandingkan perempuan.1,2 Kasus gigitan ular yang bervariasi secara geografik dan musiman
membuat pelaporan dan pendataan masih kurang, dan sifat pengobatan yang masih dibagi
kepada pengobatan tradisional yang kadang lebih dipilih dibandingkan pengobatan Barat,
berkontribusi terhadap kesulitan untuk mempelajari epidemiologi gigitan ular.1

3.2 Klasifikasi
Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan
manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus
dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan
ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar. 4

11
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae, Viperidae,
dan Colubridae) 6:
o Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi
kobra, raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara
relatif merupakan ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan
sisik simetrikal besar halus pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan
bagian depan tubuhnya dari tanah dan melebar dan merata dari leher untuk
membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat meludahkan bisanya hingga 1
meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa memiliki ekor yang lebar
seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang.
o Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara normal
terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang. Ada
dijumpai dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae).
Crotalinae memiliki organ khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang

12
terletak diantara hidung dan mata. Viperidae merupakan ular yang relatif pendek,
bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada puncak kepala dan pola warna yang
khas pada permukaan dorsal tubuh. –
o Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia
Tenggara adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus.
Piton besar (Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan
menyerang dan menelan manusia, yang biasanya petani.

Ciri-Ciri Ular Berbisa

Ular berbisa biasanya memiliki beberapa ciri khusus, antara lain:

 mempunyai gigi taring yang kecil


 ular berbisa memiliki bentuk kepala segitiga
 saat menggigit, maka bekas gigitannya berbekas berupa luka halus berbentuk sebuah
lengkungan
 ular berbisa umumnya berwarna terang dan mencolok
 ular berbisa memiliki mata lonjong
 ular berbisa mempunyai lubang di dekat lubang hidung yang berguna untuk mencari
atau mendeteksi mangsa
 biasanya ular berbisa memiliki satu baris sisik

Ciri-Ciri Ular Tidak Berbisa

Untuk ular yang tidak mempunyai bisa, umumnya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

 ular tidak berbisa memiliki dua gigi taring besar di bagian rahang atas
 jika digigit, maka ada bekas gigitan yang disebabkan oleh gigi taring ular
 ular tanpa bisa mempunyai bentuk dan sisik sederhana
 ular tidak berbisa memiliki mata berbentuk bulat

3.3 Patofisiologi
Komposisi bisa ular 90% adalah protein. Setiap bisa ular dapat mengandung lebih dari
100 protein yang berbeda: enzim (80%-90% pada viperidae dan 25%-70% pada elapidae),
polipeptida toksin non-enzim dan protein non-toksin seperti nerve growth factor. Bisa ular
mengandung enzim hidrolase, hialuronidase dan aktivator maupun penghambat proses
fisiologis seperti kiniogenase.

13
Kebanyakan venom mengandung amino acid oxidase, phosphomono dan diesterases, 5’-
nucleotidase, DNAase, NAD-nucleosidase, phospholipase A2 and peptidases2. Selain
protein, komponen lain yang dapat ditemukan dalam bisa ular adalah lemak, polisakarida,
riboflavin, histamin dan serotonin. 5
1. Zink Metalloproteinase Haemorrhagins: memiliki efek menghancurkan endotel
vaskular, menyebabkan perdarahan.
2. Enzim prokoagulan: Bisa ular Vipiridae dan beberapa Elapidae dan Clubridae
memiliki protease serin dan enzim prokoagulan lain yang memiliki struktur seperti
trombin yang mengaktivasi faktor X, protrombin dan faktor pembekuan lain. Enzim
ini menstimulasi pembekuan darah dengan pembentukan fibrin pada aliran darah.
Secara paradoks, proses ini berujung pada ketidakmampuan darah berkoagulasi
karena banyak fibrin yang dihasilkan langsung diurai oleh plasmin tubuh dan
kadangkadang dalam 30 menit dari gigitan, kadar faktor pembekuan sangat menurun
(koagulopati konsumtif) menyebabkan darah tidak akan membeku. Beberapa bisa ular
juga memiliki faktor antihemostatik. Bisa Ular Viper Russel memiliki toksin yang
mengaktivasi faktor V, X, IX dan XII, fibrinolisi, Protein C, agregasi trombosit,
antikoagulasi dan perdarahan.
3. Phospolipase A2 (lechitinase): merupakan enzim yang banyak dipelajari pada bisa
ular. Enzim ini menghancurkan mitokondria, sel darah merah, leukosit, trombosit,
akhiran serabut saraf, otot lurik, endotel vaskular dan membran lain. Enzim ini
menghasilkan aktivitas neurotoksin presinaptik, efek sedasi seperti opiat yang akan
menyebabkan pelepasan histamin dan zat antikoagulan.
4. Asetilkolinesterase: ditemukan pada bisa Elapidae, enzim ini tidak memberikan efek
neurotoksitas.
5. Hialuronidase: memberikan efek penyebaran bisa pada jaringan. Enzim ini termasuk
enzim proteolitik (metaloproteinase, endopeptidase atau hidrolase) dan sitotoksin
polipeptida (kardiotoksin) yang akan meningkatkan permeabilitas vaskular yang
berakibat edema, pembentukan bula dan nekrosis tempat gigitan.
Bisa ular juga mengandung neurotoksik dengan cara kerja:
(1) Post sinaps; α-bungarotoksin dan cobrotoksin, yang terdiri dari 60 – 74 asam amino,
toksin ini terikat ke reseptor asetilkolin pada motor end-plate.

14
(2) Presinaptik; βbungarotoksin, crotoksin dan taipoksin, mengandung 120 – 140 asam
amino dan subunit fosfolipase A. Toksin ini mengeluarkan asetilkolin pada akhiran
syaraf pada neuromuscular junction dan merusak akhiran saraf dan mencegah
pengeluaran neurotransmitter berikutnya.
Golongan Viperidae terdiri dari beberapa jenis yang hidup di daerah Asia Tenggara
seperti Russell’s viper (Daboia spp), Malayan pit viper (Calloselasma rhodostoma), dan
green pit viper (Cryptelytrops albolabris dan C macrops/ Trimeresurus spp). Golongan ini
dikenal sebagai ular berbisa yang mengandung hematotoksin namun dengan mekanisme
yang berbeda. Bisa Russell’s viper mengaktivasi faktor V dan X serta dapat menyebabkan
disseminated intr-avascular coagulation (DIC). Bisa Calloselasma spp dan Trimeresurus
spp memiliki efek thrombin-like yang menyebabkan hipofibrinogenemia,
trombositopenia, dan hiper-fibrinolisis.

3.4 Manifestasi Klinis


Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami
simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini diakibatkan
dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas
dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas,
spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah
gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan,
dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas bergantung pada umur dan
ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas.7

15
Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila dijumpai
keadaan berikut :7
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem
limfatik.
4. Simptom sistemik awal.
5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.

16
3.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium memiliki nilai yang sangat kecil pada diagnosis
envenomasi ular, tetapi sangat berguna dalam menentukan prognostik dan pengambilan
keputusan untuk intervensi spesifik. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah:
a) Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20 WBCT): 20 WBCT merupakan
pemeriksaan koagulopati sederhana untuk mendiagnosa envenomasi viper dan
menyingkirkan kemungkinan gigitan elapidae. Pemeriksaan ini memerlukan tabung
gelas kering dan bersih serta belum pernah dicuci dengan detergen, kemudian
beberapa milliliter darah segar vena diambil dan diteteskan pada tabung lalu dibiarkan
selama 20 menit; apabila darah tetap cair setelah 20 menit di tabung, menunjukkan
adanya koagulopati dan mengkonfirmasi pasien telah digigit oleh viper. Kobra atau
krait tidak menyebabkan simptom antihemostatik ini. (Ahmed et al. 2008; Warrell
2010). Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat terhadap manfaat pemeriksaan ini
pada beberapa studi. Pada studi oleh Punguyire et al. tahun 2012 menunjukkan 20
WBCT merupakan metode pemeriksaan Gigitan Ular Berbisa 12 sederhana yang
akurat (sensitivitas 83,3% dan spesifitas 90%) untuk membantu memandu pengobatan
setelah envenomasi ular, namun studi oleh Isbister et al. tahun 2013 menunjukkan 20
WBCT memiliki sensitivitas rendah (40%) untuk mendeteksi koagulopati pada
envenomasi ular dan tidak dapat menjadi patokan pemberian antivenom. 7
b) Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA): Pemeriksaan ELISA dapat
mengidentifikasi spesies ular, berdasarkan antigen venom. Nmaun pemeriksaan ini
mahal dan tidak selalu tersedia, maka memiliki keterbatasan pada diagnostik. Saat ini,
ELISA digunakan terutama pada studi epidemiologi.7
c) Konsentrasi hemoglobin/ hematokrit: Peningkatan mengindikasikan hemokonsentrasi
diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler (seperti pada gigitan viper Russell).
Penurunan mengindikasikan kehilangan darah yang diakibatkan hemolisis
intravascular.6,7
d) Hitung leukosit: leukositosis neutrophil merupakan penanda envenomasi sistemik dari
spesies ular. 6
e) Abnormalitas biokimiawi: Aminotransferase dan enzim otot (kreatin kinase, aldolase)
dapat meningkat bila dijumpai kerusakan otot lokal yang berat, atau terutama
kerusakan otot menyeluruh (pada gigitan ular laut, beberapa spesies krait, elapid
Australia, viper Russell Srilanka dan India Selatan). Disfungsi hepar ringan
mencerminkan peningkatan enzim serum lain. Bilirubin meningkat mengikuti

17
ekstravasasi darah masif. Kalium, kreatinin, urea atau nitrogen urea darah meningkat
pada gangguan ginjal akut pada gigitan viper Russell, hidung punuk Viper, dan ular
laut. Hiperkalemia dapat dijumpai pada rhabdomiolisis ekstensif pada gigitan ular
laut. Bikarbonat dapat rendah pada asidosis metabolik. Hiponatremia pernah
dilaporkan pada korban gigitan krait di Vietnam utara.6
f) Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper.
Fibrinogen rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation product) dapat
dijumpai pada gangguan koagulasi akibat venom.7
g) Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan,
dan urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin.
Pemeriksaan mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine.6

3.6 Penatalaksanaan
Permasalahan utama penanganan gigitan ular adalah ketidak tersediaan antivenom
yang spesifik dan ppendukung lainnya seperti faktor pembekuan dan krioprecipitat. Studi
oleh Fadare & Afolabi tahun 2012 selama 18 bulan menunjukkan penanganan gigitan ular di
Nigeria masih kurang dan memerlukan antivenom yang efektif dan aman yang terjangkau
untuk memperbaiki hasil akhir pasien.
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai
berikut2:
o Penanganan bantuan dasar Bantuan dasar diberikan secepatnya setelah gigitan,
sebelum pasien mencapai rumah sakit atau penyedia kesehatan. Hal ini dapat
dilakukan oleh korban gigitan ular sendiri atau orang lain yang ada dan mampu.
Metode bantuan dasar tradisional, popular, yang tersedia dan terjangkau seringkali
tidak bermanfaat atau bahkan membahayakan. Metode-metode tersebut meliputi:
insisi lokal, atau tusukan pada area gigitan, usaha untuk menghisap bisa dari luka,
mengikat erat tourniquet di sekitar gigitan, syok elektrik, penggunaan bahan kimiawi
atau topikal, tanaman atau es batu. Prinsip utama dari bantuan dasar adalah usaha
untuk memperlambat sistemik absorpsi bisa, menyelamatkan hidup dan mencegah
komplikasi sebelum pasien mendapat layanan kesehatan, memantau simptom awal
bisa yang membahayakan, mengatur transportasi pasien ke penyedia kesehatan, dan
diatas semua itu tujuan utama adalah tidak membahayakan/ melukai korban. Studi
oleh Albert set al. tahun 2004 menunjukkan penggunaan pompa untuk ekstraksi darah
dari luka simulasi gigitan ular berhasil membuang cairan darah, tetapi tidak

18
membuang bisa, yang menandakan ekstraksi/ penghisapan tidak menjadi pengobatan
efektif untuk mengurangi bisa dalam tubuh setelah gigitan ular berbisa.
o Transportasi ke rumah sakit Korban harus secepatnya ditransfer ke penyedia
kesehatan/ rumah sakit, tetapi dengan sedapat mungkin aman dan nyaman. Pergerakan
terutama pada daerah gigitan dikurangi hingga seminimal mungkin untuk mencegah
peningkatan absorpsi sistemik bisa. Kontraksi otot dapat meningkatkan penyebaran
bisa dari daerah gigitan. Bila mungkin, pasien ditempatkan pada posisi terlentang,
kecuali kalau muntah.
o Penilaian klinis dan resusitasi segera Resusitasi kardiopulmonari dapat dilakukan,
termasuk penggunaan oksigen dan pemasangan akses intravena. Penanganan klinis
dan resusitasi segera mengikuti pendekatan ABCDE: Airway, Breathing, Circulation,
Disabilitas sistem saraf, Exposure dan kontrol lingkungan.
o Penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies Riwayat gigitan ular dan progresi
simptom dan tanda lokal dan sistemik sangat penting. Petunjuk-petunjuk yang
menandakan pasien dengan envenomasi berat, pemeriksaan fisik di daerah gigitan,
dan secara umum, tanda envenomasi neurotoksik (paralisis bulbar dan pernapasan),
rhabdomiolisis menyeluruh harus diperhatikan pada pasien. Diagnosis terhadap
spesies dapat dilakukan apabila ular dibawa untuk diidentifikasi, misalnya ular yant
telah mati; namun pada kondisi tanpa bukti ular, identifikasi secara tidak langsung
dari deskripsi pasien, bentuk luka gigitan, dan sindrom klinis gejala dan tanda dapat
dilakukan.
o Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat
membantu pada kasus gigitan ular berbisa.
o Pengobatan antivenom Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum
spesifik terhadap bisa ular. Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular
adalah perlu atau tidaknya memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya
diberikan pada pasien dengan mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya,
karena antivenom cukup mahal dan sulit diperoleh dan resiko reaksinya harus turut
dipertimbangkan.
Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti gigitan
ular mengalami satu atau lebih tanda berikut 6:
1. Envenomasi sistemik

19
 Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis); koagulopati
(20 WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000).
 Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis.
 Abnormalitas kardiovaskular : hipotensi, syok aritmia, abnormal EKG.
 Gangguan ginjal akut : oliguria/ anuria, peningkatan kreatinin/ urea darah.
 Hemoglobin/ mioglobulin-uria : urine coklat gelap,test dipstick urine, tanda lain
hemolisis intravascular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri otot,hyperkalemia)
 Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.
2. Envenomasi lokal
 Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa
tourniquet) dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan pada jari-
jari.
 Ekstensi cepat pembengkakan (seperti di bawah pergelangan tangan atau kaki
dalam beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
 Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang
tergigit.
Ada dua metode pemberian antivenom yang direkomendasikan :
1. Injeksi “push” intravena: Antivenom diberikan secara injeksi intravena lambat (tidak
lebih dari 2 mL/menit).
2. Infus intravena: Antivenom dilarutkan sekitar 5 – 10 mL cairan isotonik per kg berat
badan (seperti 250 – 500 mL saline isotonik atau dekstrosa 5% pada orang dewasa)
dan diinfus dengan kecepatan konstan diatas sekitar 1 jam.
Pasien yang diberikan antivenom harus secara ketat dipantau setidaknya selama 1 jam
setelah dimulai pemberian antivenom intravena, sehingga reaksi anafilaksis antivenom dapat
dideteksi dan diobati segera dengan epinefrin (adrenalin).
Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada dewasa dan anak-anak adalah
sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di Indonesia,
antivenom yang tersedia adalah serum antivenom polivalen (Calloselasma rhodostoma, B
fasciatus, Naja sputatrix) yang diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5 mL.
Dosis awal antivenom yang disarankan dapat diberikan berdasarkan spesies ular.
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada Schwartz
dan Way 8:

20
 Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, bila
derajat meningkat maka diberikan antivenom.
 Derajat II: 3 – 4 vial antivenom
 Derajat III: 5 – 15 vial antivenom
 Derajat IV: berikan penambahan 6 – 8 vial antivenom

Tabel Klasifikasi Derajat Parrish


Derajat Ciri
Parrish
0 1. Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam pasca gigitan
2. Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
I 1. Bekas gigitan 2 taring
2. Bengkak dengan diameter 1 –5 cm
II 1. Sama dengan derajat 1
2. Petechie, echimosis
3. Nyeri hebat dalam 12 jam
III 1. Sama dengan derajat I dan II
2. Syok dan distress napas, echimosis seluruh tubuh
IV Sangat cepat memburuk

Pada sebagian proporsi pasien, lebih dari 10% mengalami reaksi terhadap pemberian
antivenom yang timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5 hari atau lebih).
Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:
21
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10–180 menit setelah pemberian antivenom,
pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea, muntah, kolik
abdomen, diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami anafilaksis berat
(hipotensi, bronkospasme, angioedema).
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1–2 jam setelah pengobatan, gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah; reaksi ini
diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi antivenom.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1–12 hari setelah pengobatan,
gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria, atralgia, myalgia,
limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks mononeuritis, proteinuria
dengan nefritis imun kompleks, dan jarang, ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal
dan diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi
terlambat.
Studi oleh Premawardhena tahun 1999 menunjukkan penggunaan 0,25 mL dari 1:1.000
adrenalin yang diberikan secara subkutan segera sebelum pemberian antivenom terhadap
pasien dengan envenomasi setelah gigitan ular mengurangi kejadian reaksi efek samping akut
pada serum. Studi oleh de Silva et al. tahun 2011 menunjukkan pemberian adrenalin dosis
rendah memiliki penurunan resiko reaksi akut berat terhadap antivenom sedangkan
prometazin, dan hidrokortison tidak memberikan efek yang bermakna.
 Pemantauan respons antivenom
Bila dosis antivenom diberikan secara adekuat, maka respons terhadap antivenom
dapat dipantau adalah:
A. Umum: pasien mengalami perbaikan. Nausea, sakit kepala dan nyeri
menyeluruh berkurang secara cepat. Hal ini juga dapat sebagian peran dari
efek plasebo.
B. Perdarahan sistemik spontaneous: biasanya berhenti dalam 15–30 menit.
C. Koagulabilitas darah: biasanya kembali normal dalam 3–9 jam. Perdarahan
dari luka baru dan lama biasanya berhenti lebih cepat.
D. Pada pasien syok: tekanan darah meningkat dalam 30–60 menit pertama dan
aritmia mengalami perbaikan.
E. Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai
perbaikan dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya membutuhkan

22
beberapa jam. Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak
berespons.
F. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan
urine kembali menjadi warna normal.
 Menentukan apakah dosis lanjutan antivenom diperlukan
Kriteria pemberian antivenom dosis lanjutan adalah:
A. Inkoagulabilitas darah menetap atau timbul setelah 6 jam atau perdarahan
setelah 1–2 jam.
B. Perburukan tanda-tanda neurotoksik atau kardiovaskular setelah 1–2 jam.
Apabila darah tetap inkoagulasi (diukur dengan 20 WBCT) 6 jam setelah dosis
awal antivenom, dosis yang sama diulangi. Pasien dengan perdarahan yang
berkelanjutan dan tanda-tanda perburukan neurotoksik dan kardiovaskular
dapat diberikan dosis antivenom ulangan dalam 1–2 jam.
 Penanganan supportif/ tambahan
Antivenom dapat menetralkan bisa yang bersirkulasi bebas, mencegah progresi
envenomasi dan memberikan kesembuhan, Namun, proses ini memerlukan waktu dan
pasien envenomasi berat memerlukan sistem pendukung kehidupan seperti
pengobatan syok, ventilator, dan dialisis ginjal hingga kerusakan berat organ dan
jaringan mendapat waktu untuk penyembuhan.
 Penanganan daerah gigitan
Infeksi bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik berupa antibiotik
spektrum luas (amoksisilin atau sefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin
ditambah metronidazol) dan profilaksis tetanus apabila dijumpai bukti adanya infeksi
sekunder bakteri, namun profilaksis antibiotik tidak terbukti bermanfaat.
Daerah gigitan dapat membengkak dan nyeri, dan harus ditempatkan dengan posisi
nyaman, tetapi tidak dalam kondisi elevasi berlebihan karena dapat mengurangi tekanan
perfusi arteri pada daerah bengkak yang tegang dan meningkatkan resiko iskemia
intrakompartemen. Kondisi tungkai yang tidak bergerak, membengkak tegang, dingin, dan
tanpa denyut dapat merupakan tanda peningkatan tekanan intrakompartemen yang
mengakibatkan iskemia jaringan, yang memerlukan penanganan fasiotomi yang diindikasikan
apabila:
 Abnormalitas hemostatik telah dikoreksi (antivenom dengan atau tanpa faktor
pembekuan).

23
 Bukti klinis adanya sindroma intrakompartemen.
 Tekanan intrakompartemen >40 mmHg (pada dewasa).

Studi oleh Hall tahun 2001 terhadap intervensi bedah pada envenomasi Crotaline
merekomendasikan insisi area gigitan sebagai bantuan dasar, eksisi atau debridemen area
gigitan tidak direkomendasikan, fasiotomi hanya dilakukan pada kondisi sindrom
kompartemen terdokumentasi dengan peningkatan tekanan kompartemen yang gagal respons
terhadap pemberian antivenom adekuat sebelumnya, serta rehabilitasi awal yang agresif
dengan pergerakan pasif dan aktif pada gigitan di tangan dan jari-jari direkomendasikan.
• Rehabilitasi
• Penanganan komplikasi kronik

24
BAB IV

PEMBAHASAN

S : Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Umum Bangkinang dengan keluhan nyeri berdenyut
pada jari keempat tangan kanan digigit ular. Menurut pengakuan pasien, pasien digigit ular
saat bekerja membersihkan tempat acara pernikahan, pada saat itu dilingkungan sekitar masih
gelap karena keadaan dini hari sehingga pasien tidak melihat ada ular di sekitarnya. Pasien
mengetahui pasti jenis ular apa yang menggigit. Setelah tergigit ular >30 menit kemudian
pasien ke Rumah Sakit Umum Bangkinang. Pasien tidak ada mengeluhkan penurunan
kesadaran, pusing, mual, muntah, dan sesak nafas. Demam (+)sejak hari ini.

Penjelasan : Pada pasien ini, derajat envenomasi ringan. Hanya di jumpain tanda gigitan (+)
nyeri di sela jari tangan 4, edema lokal minimal ukuran 1 cm, dan tidak disertai ekimosis
ataupun eritema pada gigitan ular.

O : Kesadaran : Composmentis
Tanda – tanda Vital :
1. Nadi : 110 x/menit
2. Nafas : 24 x/menit
3. Suhu : 38,2 oC per aksila
4. Tekanan Darah : 130/80 mmHg

25
Pemeriksaan Fisik :
1. Kepala dan leher
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor refleks
cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
Hidung : deviasi septum (-), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-)
Leher : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
2. Thoraks :
A. Paru
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (-/-)
B. jantung
inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dekstra
batas jantung kiri : ICS V 1 cm lateral linea midklavikula sinistra
Auskultasi : suara jantung I dan II (N) dan regular
C. Abdomen
Inspeksi : Perut datar, distensi tidak ada
Palpasi : Soepel, nyeri tekan epigastrium (-)
Perkusi : Timpani diseluruh lapangan abdomen
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 10x/menit
D. Ekstremitas
Akral hangat, capillary refill time <2 detik, edema antara digiti 4 manus dextra.
Status Lokalis : Digiti 4 manus dextra
Inspeksi : tampak bekas gigitan, gigitan berjumlah dua, eritema
Palpasi : edema, nyeri (+)

26
Pemeriksaan Penunjang
Rapid Test Covid 19 : IgG dan IgM non reaktif
Darah Rutin :
Hemoglobin : 13,8 g/dL
Hematokrit : 40.2 gr/%
Leukosit : 14.000
Trombosit : 153.000

Hitung jenis leukosit


Eusinofil : 0,1 %
Basofil : 0,1 %
Neutfofil segmen : 76,0 %
Limfosit : 19,3 %
Monosit : 4,5

A: Snake Bite
P:- IVDF D5% + SABU 1 vial
- IVFD Nacl 0.9 % 20 gtt/i
- Inj. Ketorolac 1 amp/ iv
- Inj. Ranitidine 1 amp/ iv
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/ iv

Penjelasan :
Pemberian antibiotik dapat diberikan untuk menangani infeksi lokal. Disini diberikan
antibiotik spektrum luas. Infeksi bakteri dapat ditangani dengan pemberian antibiotik berupa
antibiotik spektrum luas (amoksisilin atau sefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin
ditambah metronidazol) dan profilaksis tetanus apabila dijumpai bukti adanya infeksi
sekunder bakteri, namun profilaksis antibiotik tidak terbukti bermanfaat.

27
BAB V

KESIMPULAN

Pada pasien ini timbul manifestasi nyeri berdenyut pada jari keempat tangan kanan
karena inflamasi pada bekas gigitan ular. Gigitan ular pada pasien ini merupakan jenis gigitan
famili Elapidae yang memiliki gigi taring pendek di depan. Lokasi gigitan ular pada pasien
merupakan lokasi tersering terjadinya gigitan ular.
Pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 47 tahun, jenis kelamin dan usia menjadi
faktor resiko terjadinya penyakit ini pada pasien. Studi nasional di Amerika Serikat
melaporkan angka perbandingan kejadian antara laki-laki dan perempuan 9:1. Usia pada
pasien merupakan usia produktif.
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak lemas, nadi dan tekanan darah meningkat yang
kemungkinan disebabkan oleh nyeri yang dialami pasien, sedangkan suhu meningkat
disebabkan adanya reaksi inflamasi pada pasien. Pada pemeriksaan spesifik ekstremitas
ditemukan edema digiti 4 manus dextra. Pada pemeriksaan labor ditemukan pasien
luekositosis disebabkan karena terjadi infeksi pada pasien ini. Hitung jenis leukosit
menunjukkan kenaikan neutrophil segmen.
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pada pasien
mendukung diagnosis gigitan ular. Pasien mendapatkan penanganan awal di IGD hingga
kondisi pasien stabil dan pasien direncanakan untuk di rawat inap tetapi pasien pulang atas
permintaan sendiri.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasturiratne, A.,Wickrema singhe, A. R., de Silva,N.,et al., The global burden of

snake bite: A literature analysis and modelling based on regional estimates of

envenoming and deaths. PLoS Med. 5, 1591–1604 (2008).

2. WHO. Guidelines for Management of Snake-bites, 2nd Edition. World Health

Organization, 2016.

3. Cholifah, T. A., 2012. Kecepatan Penurunan Pembengkakan Luka Snake Bite

Dengan Insisi Dan Non Insisi. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Jilid 2,

November2012, hlm. 1-94.

4. Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J Med
347(5):347-356.
5. Laraba-Djebari, F. & Fatah, C. Pathophysiological and Pharmacological Effects of
Snake Venom Components: Molecular Targets. J. Clin. Toxicol. 4, 190 (2014).
6. Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World Health
Organization Regional Office for South-East Asia. India. Cited 2013 October 14.
7. Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008)
Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma Shock
1(2):97-105.
8. Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK,

Setiati S. Edisi ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-283s.

29

Anda mungkin juga menyukai