Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

KASUS BEDAH
SNAKE BITE

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Diajukan Kepada:
dr. Hendryk Kwandang, M.Kes (Pembimbing IGD)
dr. Benidiktus Setyo Untoro (Pembimbing Rawat Inap dan Rawat Jalan)

Disusun oleh:
dr. Maria Griselda Amadea

RSUD KANJURUHAN KEPANJEN


KABUPATEN MALANG
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
KASUS BEDAH
SNAKE BITE

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal:

Oleh :
Dokter Pembimbing Instalasi Gawat Darurat

dr. Hendryk Kwandang, M. Kes

2
HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
KASUS BEDAH
SNAKE BITE

Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip di
RSUD Kanjuruhan, Kepanjen, Malang

Telah diperiksa dan disetujui


pada tanggal:

Oleh :
Dokter Pembimbing Rawat Inap dan Rawat Jalan

dr. Benidiktus Setyo Untoro

3
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas bimbinganNya sehingga penulis
telah berhasil menyelesaikan portofolio laporan kasus yang berjudul “SNAKE BITE”.
Dalam penyelesaian portofolio laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada:
1. dr. Hendryk Kwandang, M. Kes selaku dokter pembimbing instalasi gawat
darurat.
2. dr. Benidiktus Setyo Untoro selaku dokter pembimbing rawat inap dan
rawat jalan.
3. dr. Anita Ikawati, dr. Yudha Pratama, dr. Janny F. D. dan dr. Antarestawati
selaku dokter jaga.
4. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis.
Portofolio laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan
hati penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan kritik
yang membangun. Semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan
bermanfaat bagi semua pihak.

Kepanjen, 2 Februari 2018

Penulis

4
DAFTAR ISI

Judul …………………………………………………………………………………. 1
Halaman Pengesahan ………………………………………………………………… 2
Halaman Pengesahan ………………………………………………………………… 3
Kata Pengantar ……………………………………………………………………….. 4
Daftar Isi ........................................................................................................................5

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………….6
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1 Identitas ……………………………………………………………………………7
2.2 Anamnesa …………………………………………………………………………7
2.3 Pemeriksaan Fisik …………………………………………………………………8
2.4 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………………..10
2.5 Resume ………………………………………………………………………......11
2.6 Diagnosis ………………………………………………………………………...11
2.7 Rencana Terapi …………………………………………………………………..12
2.8 Rencana Edukasi …………………………………………………………............12
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi ………………………………………………………………………......13
3.2 Epidemiologi ……………………..………………………………………………13
3.3 Etiologi ……..…..…………………………………………..................................13
3.4 Bisa Ular……….…………………………………………………………............17
3.5 Tanda dan Gejala Gigitan Ular…..……………………………………….............20
3.6 Derajat Gigitan Ular…………...………………………………………………….21
3.7 Diagnosa…..…..………………………………………………………………….22
3.8 Tatalaksana……………………………………………………………………….25
3.9 Monitoring…………………………………………………………………..........29
BAB 4 PEMBAHASAN …………………………………………………………......31
BAB 5 KESIMPULAN ………………………………………………………………32
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………......33

5
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gigitan ular merupakan salah satu kasus yang sering dijumpai di Instalasi
Gawat Darurat terutama banyak dialami oleh negara di daerah tropis dan subtropis
dimana pekerjaan utamanya adalah agrikultural. Indonesia yang mayoritas
merupakan area persawahan, savanna, hutan, perkebunan, dan rawa merupakan
habitat yang ideal untuk ular.
Tidak ada data yang jelas tentang kasus gigitan ular di Indonesia karena
kurangnya administrasi yang baik. Hal ini juga disebabkan oleh karena kebanyakan
korban gigitan ular hanya dirawat menggunakan obat tradisional, bukan pelayanan
medis. Data yang saat ini terkumpul, terhimpun data selama tahun 2007 didapatkan
bahwa telah terjadi 12.739 kasus dan dua puluh kasus korban meninggal dunia
karena gigitan ular berbisa.
Kesakitan dan kematian gigitan ular bergantung pada macam spesies, keadaan
dapat mematikan (fatal) tergantung dari jumlah racun yang masuk tubuh. Gigitan
ular dapat menyebabkan kematian maupun cacat kronis pada banyak populasi usia
produktif terutama pada populasi di mana mereka terlibat aktif dalam pekerjaan
bidang pertanian dan perkebunan. Gigitan ular dapat menjadi keadaan yang
mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan benar. Korban dapat mengalami reaksi
yang ekstrim terhadap racun (bisa ular) dan hanya dalam hitungan menit saja, dapat
menyebabkan kematian.
Pengobatan korban gigitan ular di Rumah Sakit selalu melibatkan penggunaan
serum anti bisa ular. Serum anti bisa ular atau disebut juga antivenim/antivenom,
dapat bersifat monovalen (satu jenis ular spesifik) ataupun polivalen (antibody
berasal dari beberapa jenis ular). Penggunaan serum anti bisa ular ini dapat
menimbulkan efek samping yag merugikan, namun sampai saat ini, serum anti bisa
ular merupakan terapi yang paling efektif untuk kasus gigitan ular berbisa. Indikasi
pemberian serum anti bisa ular tergantung pada progresi luka, derajat keparahan
lokal dari luka gigitan dan abnormalitas koagulasi sistemik.

6
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn. G
Usia : 42 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama/ Suku : Islam/ Jawa
Pekerjaan : Karyawan swasta
Alamat : Gondanglegi, Malang
Tanggal : 26 Desember 2017
Pemeriksaan
No. RM : 442120

2.2 Anamnesa
Autoanamnesa (26 Desember 2017) pukul 23.40
1. Keluhan Utama
Ibu jari tangan kiri digigit ular
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan keluhan nyeri pada
ibu jari tangan kiri setelah digigit ular sejak setengah jam yang lalu saat sedang
membereskan rumah. Pasien mengatakan ular yang menggigitnya adalah ular
weling, berwarna belang-belang, ukuran ular kecil. Pasien mengikat luka gigitan
ular pada ibu jari tangan kirinya dengan karet. Pasien merasa nyeri seperti
terbakar yang hilang timbul di daerah sekitar gigitan. Keluhan demam, sesak,
mual, muntah, nyeri kepala disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami hal serupa. Riwayat DM (-), tekanan darah
tinggi (-), asma (-).
4. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
5. Riwayat Pengobatan
Pasien belum melakukan pengobatan.

7
6. Riwayat Sosial
Pasien sudah berkeluarga, menikah dan memiliki satu anak. Pendidikan pasien
D3. Pasien tinggal dan bekerja di Semarang. Saat ini sedang pulang kampung ke
Malang.
7. Riwayat Alergi
Pasien tidak memiliki alergi obat dan makanan.

2.3 Pemeriksaan Fisik


26 Desember 2017 23.40 di IGD
1. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, GCS 456
2. Tanda Vital
a. Tekanan darah 120/80 mmHg
b. Nadi 100 x/menit, regular, isi cukup
c. Laju pernapasan 20 x/menit
d. Suhu aksiler 36.50 C
e. SpO2 99%
3. Kepala
a. Bentuk Normosefal
b. Rambut Hitam, terdistribusi merata, tidak mudah dicabut
c. Wajah Simetris, rash (-), sianosis (-), edema (-)
d. Mata
Konjungtiva Anemis (-|-)
Sklera Ikterik (-|-)
Palpebra Edema (-|-)
Reflex cahaya (+|+)
Pupil Bulat, isokor, 3mm|3mm
e. Telinga Bentuk normal, sekret (-)
PCH (-), deviasi septum (-), rhinorrhea (-), epistaksis
f. Hidung
(-)
g. Mulut Mukosa basah, sianosis (-)
4. Leher
a. Inspeksi Massa (-), retraksi supraklavikula (-)

8
b. Palpasi Pembesaran KGB (-|-), JVP R+2cm
5. Thorax
Bentuk dada kesan normal dan simetris, retraksi
a. Inspeksi
dinding dada (-), tidak didapatkan deformitas
b. Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis palpable at ICS V MCL S
Perkusi Batas jantung normal
S1S2 single, regular, ekstrasistol (-), gallop (-),
Auskultasi
murmur (-)
c. Paru
Inspeksi Simetris pada posisi statis dan dinamis, retraksi (-)
Stem fremitus kanan dan kiri normal, tidak teraba
Palpasi
adanya benjolan
Sonor/sonor
Perkusi Sonor/sonor
Sonor/sonor
v | v Rh - | - Wh - | -
Auskultasi v|v -|- -|-
v|v -|- -|-
6. Abdomen
a. Inspeksi Flat, jaringan parut (-)
b. Auskultasi Bising usus (+)
c. Perkusi Timpani, meteorismus (-), shifting dullness (-)
Soefl, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri tekan lepas
d. Palpasi
(-), H/L tidak teraba
Akral hangat kering + | + edema - | -
+|+ -|-
sianosis + | - ptechiae - | - CRT <2 detik
7. Ekstremitas -|- -|-
Ibu jari tangan kiri tampak edem, sianosis dan bercak
darah. Bekas gigitan ular tidak tampak jelas. Jari
terikat karet gelang.

9
Regio digiti 1 manus sinistra: edema (+) sianosis
(+) bercak darah (+) bekas gigitan ular (+). Posisi
jari terikat karet gelang.

8. Status Lokalis

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (26 Desember 2017)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hemoglobin 14,0 11,7 - 15,7
Hematokrit 39,0 35 – 47
Hitung Eritrosit 4,78 3,0 - 6,0
Hitung Leukosit 7.890 4.000 - 11.000
Hitung Trombosit 289.000 150.000 - 450.000
Gula Darah Sewaktu 105 <140
SGOT 17 <36
SGPT 30 <36
Ureum 17 20 – 40
Creatinine 0,88 0,6 – 1,1
PT 9,8 9,7-13,1
aPTT 24,5 22,0-30,0
HbsAg Non reaktif Non reaktif

10
2.5 Resume
Tn. G, usia 42 tahun datang ke IGD RSUD Kanjuruhan Kepanjen dengan
keluhan nyeri pada ibu jari tangan kiri setelah digigit ular sejak setengah jam yang lalu
saat sedang membereskan rumah. Pasien mengatakan ular yang menggigitnya adalah
ular weling, berwarna belang-belang, ukuran ular kecil. Pasien mengikat luka gigitan
ular pada ibu jari tangan kirinya dengan karet. Pasien merasa nyeri seperti terbakar yang
hilang timbul di daerah sekitar gigitan. Keluhan demam, sesak, mual, muntah, nyeri
kepala disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran compos mentis, GCS 456,
tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 100 x/menit, respirasi 20 x/menit, suhu 36,5oC. Pada
ibu jari tangan kiri tampak edema, sianosis dan bercak darah. Bekas gigitan ular tidak
tampak jelas. Ibu jari terikat karet gelang.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Lab
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 14,0 11,7 - 15,7
Hematokrit 39,0 35 - 47
Hitung Eritrosit 4,78 3,0 - 6,0
Hitung Leukosit 7.890 4.000 - 11.000
Hitung Trombosit 289.000 150.000 - 450.000
Gula Darah Sewaktu 105 <140
SGOT 17 <36
SGPT 30 <36
Ureum 17 20 - 40
Creatinine 0,88 0,6 – 1,1
PT 9,8 9,7-13,1
Aptt 24,5 22,0-30,0
HbsAg Non reaktif Non reaktif

2.6 Diagnosis
Snake bite

11
2.7 Rencana Terapi
a. Melepaskan karet di jari
b. Wound toilet
c. ATS 1500 IU 1 amp IM (skin test dahulu)
d. SABU 1 vial IM
e. IVFD RL 30 tpm
f. Ceftriaxone 2 x 1 gram (skin test dahulu)
g. Gentamycin 2 x 80 mg
h. Esomeprazole 1 x 1 amp
i. Antrain 3 x 1 gram
j. Metilprednisolon 2 x 125 mg
k. Foto thorax

2.8 Rencana Edukasi


a. Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang diderita, rencana
pemeriksaan dan rencana terapi yang akan dilakukan.
b. Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien.
c. Menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi jika tidak dilakukan penanganan
dengan segera dan dengan baik.

12
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut dapat menyebabkan
kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
1. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular.
2. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar.
3. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan.
4. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi.

3.2 Epidemiologi
Pria lebih sering digigit dibanding perempuan, kecuali tempat kerja yang lebih
didominasi perempuan. Usia umumnya untuk gigitan adalah anak-anak (WHO
UNICEF, 2008) dan dewasa muda. Ada beberapa bukti bahwa beberapa kasus kematian
pada pada anak-anak dan orang tua. Pada wanita hamil, gigitan ular membawa risiko
untuk ibu dan janin, seperti perdarahan dan aborsi. Kebanyakan gigitan ular terjadi pada
kaki dan pergelangan kaki pada pekerja pertanian.
Di negara-negara Regional SEA, risiko gigitan ular ini sangat terkait dengan
pekerjaan: pertanian (padi), bekerja di perkebunan (karet, kopi), menggiring, berburu,
pemancing dan pertanian, penangkapan dan penanganan ular untuk makanan (di
restoran ular), menampilkan dan tampil dengan ular (ular), kulit manufaktur (terutama
ular laut), dan pembuatan tradisional obat (Cina).

3.3 Etiologi
Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan ular perlu
dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa. Ular berbisa yang
bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar, yaitu taring, pada bagian depan
dari rahang atasnya. Taring-taring ini mengandung saluran bisa (seperti jarum
hipodermik) atau alur, dimana bisa dapat dimasukkan jauh ke dalam jaringan dari
korban. Selain melalui taring, bisa dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra yang
meludah dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk
semprotan yang diarahkan pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat menggigit

13
mangsanya tergantung pada spesies, ukuran ular, jenis kelamin, usia, dan efisiensi
mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua taring menusuk kulit), serta banyaknya
serangan yang terjadi.
Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan dari
golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh dunia dikenal
lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies.
Berdasarkan morfologi, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:
1. Familli Colubridae
Kebanyakan ular berbisa masuk dalam famili ini, misalnya ular pohon, ular sapi
(Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali
(Ptyas korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Pada umumnya bisa
yang dihasilkannya bersifat lemah.

Gambar 1. Contoh jenis ular Famili Colubridae

2. Famili Hydrophidae
Dikenal dengan nama ular laut. Merupakan anak suku dari Elapidae yang
semuanya hidup di dalam laut dengan bisa yang sangat kuat.

Gambar 2. Contoh jenis ular Famili Hydrophidae

14
3. Famili Elapidae
Memiliki taring pendek dan tegak permanen misalnya ular cabai (Maticora
intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja sumatrana),
dan ular king kobra (Ophiophagus hannah).

Gambar 3. Contoh jenis ular Famili Elapidae

4. Familli Crotalidae/ Viperidae


Memiliki taring panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas,
tetapi dapat ditegakkan bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili
pada Viperidae, yaitu Viperinae dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ
untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit organ), yang terletak di antara
lubang hidung dan mata, misalnya ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris).

Gambar 4. Contoh jenis ular Famili Viperidae

Ular tidak berbisa dapat tampak menyerupai ular berbisa. Namun, beberapa ular
berbisa dapat dikenali melalui ukuran, bentuk, warna, kebiasaan dan suara yang

15
dikeluarkan saat merasa terancam. Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kepala
segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas gigitan terdapat bekas taring.

Gambar 5. Perbedaan ular berbisa dan tidak berbisa

Tabel.1 Ciri-ciri dan perbedaan ular berbisa dan tidak berbisa


Ciri-ciri Tidak berbisa Berbisa
Bentuk kepala Bulat Elips, segitiga
Gigi taring Gigi kecil 2 taring besar
Bekas gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Besar ular Sangat bervariasi Sedang
Pupil ular Bulat Elips
Ekor ular Bersisik ganda Bentuk sisik tunggal
Agresifitas Mematuk berulang dan Mematuk 1 atau 2 kali
membelit sampai tidak
berdaya

16
3.4 Bisa Ular
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut
merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar
yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang
terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya
terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama
protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.

Komposisi Bisa Ular


Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah
protein, termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang
memiliki efek klinis:
1. Enzim prokoagulan (Viperidae)
Dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula menyebabkan darah
tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandung beberapa
prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade
pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah.
Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh.
Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan
darah menjadi sangat rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak
dapat membeku.
2. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase)
Dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh darah dan menyebabkan
perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage).
3. Racun sitolitik atau nekrotik
Mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A) racun polipeptida dan
faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas membran sel dan
menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan
membran sel dan jaringan.
4. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik
Enzim ini dapat merusak mitokondria, sel darah merah, leukosit, platelet, saraf
tepi, otot skeletal, endotel vaskuler dan membrane-membran lain.
Menghasilkan aktifitas neurotoksik di presinaps dan memicu pelepasan

17
histamin dan antikoagulan.
5. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae)
Merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
6. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae)
Polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk mendapat reseptor di
neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis
kuraonium.

Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase,


ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-
ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun.

Sifat Bisa Ular


Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek bisa ular
dapat dibedakan menjadi:
1. Bisa hemotoksik
Bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah. Bisa ular yang
bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma
lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur
dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
2. Bisa neurotoksik
Bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak. Yaitu bisa ular yang merusak
dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka gigitan yang
menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit
sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan
selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan
susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular
ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.

18
3. Bisa sitotoksik
Bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.

Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di
bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya.
Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap
gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman
yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi
panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang
dikeluarkan.

Gambar 6. Taring gigi ular berbisa

Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-
bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah
diidentifikasi pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial
untuk kerusakan sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah
perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya,
berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-
paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap
19
perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek
blokade neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal
jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh
myoglobinuria dan gangguan ginjal.

3.5 Tanda Dan Gejala Gigitan Ular Berdasarkan Jenis Ular


1. Gigitan Elapidae
 Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,
kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
 Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
 Setelah digigit ular
 15 menit : Muncul gejala sistemik
 10 jam : Paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan,
sehingga sukar berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit
kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, parestesia di sekitar
mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.
2. Gigitan Viperidae/Crotalidae
Enzim prokoagulan viperidae dapat menstimulasi pembekuan darah namun
menyebabkan penurunan koagulasi darah. Contohnya racun Russell viper
mengandung beberapa prokoagulan yang mengaktifasi kaskade pembekuan
darah. Hasilnya menyebabkan pembentukan fibrin dalam darah. Yang
kemudian didegradasi oleh system fibrinolitik tubuh, sehingga system
fibrinolitik tubuh jumlahnya berkurang karena konsumsi tersebut atau
consumption coagulopathy. Efek racun viper yang lain menyebabkan efek lokal
yang hebat seperti nyeri, bengkak, bula, bengkak, nekrosis dan kecenderungan
perdarahan sistemik.
 Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak
di dekat gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
 Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
 Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut
dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
3. Gigitan Hydropiridae
 Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
 Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri

20
menyeluruh, dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot,
mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna coklat gelap (penting
untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung.

3.6 Derajat gigitan ular


Derajat gigitan ular (Parrish)
1. Derajat 0
- Tidak ada gejala sistemik setelah 12 jam
- Pembengkakan minimal, diameter 1 cm
2. Derajat I
- Bekas gigitan 2 taring
- Bengkak dengan diameter 1 – 5 cm
- Tidak ada tanda-tanda sistemik sampai 12 jam
3. Derajat II
- Sama dengan derajat I
- Petechie, echimosis
- Nyeri hebat dalam 12 jam
4. Derajat III
- Sama dengan derajat I dan II
- Syok dan distres nafas / petechie, echimosis seluruh tubuh
5. Derajat IV
- Sangat cepat memburuk

Derajat gigitan ular (Schwartz)

Gambar 7. Derajat gigitan ular menurut Schwartz

21
3.7 Diagnosa
1. Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda
baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting. Empat pertanyaan
awal yang bermanfaat:
a. Pada bagian tubuh mana Anda terkena gigitan ular? Dokter dapat melihat
secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya bekas
taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
b. Kapan dan pada saat apa Anda terkena gigitan ular? Perkiraan tingkat
keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera
setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala
walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit
ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular
berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau
russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau
(ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra
(air tawar), ular laut (laut atau air payau).
c. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit Anda? Ular yang telah
menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular
tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk
memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila
spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular sama sekali) pasien dapat
segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
d. Apa yang Anda rasakan saat ini? Pertanyaan ini dapat membawa dokter
pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa
terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia
atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan
dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi urin
serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang mengeluhkan
kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda,
kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.

22
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari tanda bekas
gigitas oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak
ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi
cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan
tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan
banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut
antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan
lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).

Gambar 7. Gambaran klinis snakebite

Tanda dan gejala sistemik :


a. Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (Viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)

23
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan
sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism,
berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh
perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria,
perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan
mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid,
ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e. Destruksi otot Skeletal (sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and
B. candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia (pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g. Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut: syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan): kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap, faal
hemostasis, cross match, serum elektrolit, faal ginjal dan urinalisis.

24
b. Pencitraan
Foto rontgen thorax untuk melihat apakah ada edema paru.

3.8 Tatalaksana
1. Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan
racun (bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Hal-hal yang harus dilakukan antara lain:
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap.
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan
kain (untuk memperlambat penyerapan racun).
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun
yang bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang
menyebabkan nekrosis.
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi,
kompres dengan es, ataupun pemberian obat apapun.
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di
proksimal lesi).
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi.

Gambar 8. Cara melakukan pressure immobilitation

25
2. Perawatan Di Rumah Sakit
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain:
a. Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC
(airway, breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda
vital.
b. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan.
c. Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular.
d. Lakukan pemeriksaan fisik:
 Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks),
walaupun terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun
nekrosis.
 Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya
kompartemen sindrom).
 Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan).
 Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis
bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan.
 Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot.
 Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri.
e. Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes
fungsi ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match.
f. Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi.
g. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit
adalah jenis ular yang tidak berbisa).
3. Terapi Dengan Anti Venom
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk
efek lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain:
a. Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000).

26
b. Neurotoksisitas.
c. Gangguan kardiovaskuler (hipotensi atau syok).
d. Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot).
e. Gagal ginjal akut.
f. Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas,
atau bengkak yang membesar dengan cepat.
g. Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis,
peningkatan enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri.

Pilihan Anti Venom:


a. Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b. Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan
untuk memperkirakan jenis ular:
 Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular
kobra/elapidae
 Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
c. Anti venom polivalen jika belum jelas

Dosis Dan Cara Pemberian


Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari
pabrik yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a. Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan
isotonik (5-10 ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa
larutkan dalam 500 ml) dan infus seluruhnya dalam 1 jam
c. Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang
direkomendasikan belum habis
d. Jangan lakukan uji sensitivitas
e. Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f. Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi
jika terjadi reaksi alergi

27
g. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat
diberikan sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu
diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak
berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai
maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan
langsung sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama dengan dosis untuk dewasa. Cara lain adalah dengan
menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan
secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis
yang lebih tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi
anafilaktik.

Reaksi Anti Venom


Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi:
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
 Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
 Gejala meliputi: gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi hingga
reaksi anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan
udema laring
 Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan
adrenalin IM (0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2
mg/kg), dan cairan resusitasi
 Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun
dengan dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
 Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti
venom
 Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
 Tatalaksana seperti pada kasus diatas
 Bila demam dapat diberikan parasetamol
c. Reaksi tipe lambat
 Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
 Gejala serum like illness: demam, atralgia, limfadenopati
 Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2

28
mg/kgBB/hari dibagi dalam 5 dosis)
 Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari

4. Terapi Suportif
a. Bersihkan luka dengan antiseptik
b. Analgesik
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Pemberian Anti Tetanus
e. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
f. Buang jaringan nekrosis

3.9 Monitoring
a. Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan)
dari ular viper, observasi di Instalasi Gawat Darurat selama 8-10 jam,
dilanjutkan observasi di ruangan.
b. Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan
monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
c. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
d. Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen.
e. Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
f. Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut
mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan
level fibrinogen.

29
Gambar 9. Diagram Penanganan Gigitan Ular

30
BAB 4
PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis pada pasien ini didasarkan pada anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Untuk penegakan diagnosis cukup berdasarkan klinis. Pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan untuk melihat komplikasi yang terjadi. Pasien
didiagnosis dengan snake bite.
Dari anamnesa didapatkan data pasien laki-laki, usia 42 tahun dengan keluhan
nyeri pada ibu jari tangan kiri setelah digigit ular sejak setengah jam yang lalu saat
sedang membereskan rumah. Pasien mengatakan ular yang menggigitnya adalah ular
weling, berwarna belang-belang, ukuran ular kecil. Pasien mengikat luka gigitan ular
pada ibu jari tangan kirinya dengan karet. Pasien merasa nyeri seperti terbakar yang
hilang timbul di daerah sekitar gigitan. Keluhan demam, sesak, mual, muntah, nyeri
kepala disangkal. Hal ini sesuai dengan epidemiologi kasus gigitan ular dimana laki-
laki lebih banyak dibanding wanita dan usia muda dikatakan merupakan usia umumnya
yang sering terkena kasus gigitan ular.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi
100x/menit, laju pernapasan 20x/menit, suhu 36,50 C. Pada ibu jari tangan kiri tampak
edema, sianosis dan bercak darah. Bekas gigitan ular tidak tampak jelas. Ibu jari terikat
karet gelang. Hal ini sesuai dengan manifestasi klinis pada gigitan ular berbisa, yaitu
tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal dan inflamasi.
Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan adalah melepaskan karet di jari,
wound toilet, ATS 1500 IU 1amp IM (skin test dahulu), SABU 1 vial IM, IVFD RL
1000cc grojog lalu maintenance 30 tpm, Ceftriaxone 2 x 1 gram (skin test dahulu),
Gentamycin 2 x 80 mg, Esomeprazole 1 x 1 amp, Antrain 3 x 1 gram, Metilprednisolon
2 x 125 mg. Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan sudah sesuai dengan teori.
Pada pasien juga dilakukan edukasi yaitu menjelaskan kepada pasien tentang
penyakit yang diderita, rencana pemeriksaan dan rencana terapi yang akan dilakukan,
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien dan komplikasi yang dapat terjadi jika
tidak dilakukan penanganan dengan segera dan dengan baik.

31
BAB 5
KESIMPULAN

Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa. Gigitan ular dapat menjadi keadaan yang
mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan benar. Korban dapat mengalami reaksi
yang ekstrim terhadap racun (bisa ular) dan hanya dalam hitungan menit saja, dapat
menyebabkan kematian.
Diagnosis gigitan ular dapat ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Akan tetapi tetap dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui komplikasi lain yang terjadi akibat gigitan ular.
Pemberian serum anti bisa ular harus diberikan dengan cepat dan tepat.
Pengobatan serum anti bisa ular merupakan terapi yang paling efektif untuk kasus
gigitan ular berbisa karena penggunaan serum anti bisa ular mampu menurunkan
tingkat mortalitas korban gigitan ular.

32
DAFTAR PUSTAKA

Daley.B.J. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and Critical Care.


USA: University of Tennessee School of Medicine; 2006.

De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 1998.

Depkes. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM Pedoman
pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. Jakarta: Depkes RI; 2001.

Sudoyo, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.

Warrel, David A. Guidelines for the management of snake bites. WHO Regional Office
for South East Asia; 2010.

WHO. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South East Asia
Region; 2008.

33

Anda mungkin juga menyukai