Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PRAKTIKUM KERACUNAN AKUT DAN ANTIDOTUM


BISA ULAR

Oleh:
Kelompok 4B
Ahmad Hanif Fadhillah NIM. 1710911210003
Almira Nur Sadrina NIM. 1710911220006
Amiratun Naillah NIM. 1710911220008
Nabila Qathroh Nada NIM. 1710911220038
Ahmad Danial Rizkillah Az Zamzami NIM. 1710911310003
Meilina Nur Hafizah NIM. 1710911320030

Dosen pembimbing:
dr. H M Bakhriansyah, M.Kes, M.Med.Ed, M. Sc, Ph.D
Asisten dosen:
Hendri Kusuma S. Ked

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2020
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN .................................................................................................

METODE ...............................................................................................................

ISI

A. ETIOLOGI........................................................................................................

B. PATOFISIOLOGI ...........................................................................................

C. GEJALA DAN TANDA KLINIS....................................................................

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG ....................................................................

E. DIAGNOSIS ....................................................................................................

F. TERAPI FARMAKOLOGIS DAN NON-FARMAKOLOGIS ......................

G. PROGNOSIS ...................................................................................................

H. PENCEGAHAN...............................................................................................

KESIMPULAN .....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................

LAMPIRAN...........................................................................................................
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ular berbisa dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada beberapa pulau,
lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut. Gigitan ular berbisa dan
kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan publik yang penting pada daerah
pedesaan. Populasi pada daerah ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena
akses pelayanan kesehatan yang buruk, yang seringkali suboptimal dan pada beberapa
keadaan, kelangkaan antivenom, yang merupakan satu-satunya pengobatan spesifik.
Korban gigitan yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan
lokal, dan sekuele psikologis. Karena kebanyakan korban gigitan ular masih muda, maka
pengaruh terhadap ekonomi karena disabilitas mereka perlu dipertimbangkan. Disamping
besarnya efek terhadap populasi, gigitan ular tidak mendapat perhatian yang cukup dari
pelayanan kesehatan nasional dan internasional, dan dapat dikategorisasi sebagai penyakit
tropikal yang terabaikan.1
Lebih dari 5 juta kasus gigitan ular berbisa menyebabkan 100.000 angka kematian di
seluruh dunia setiap tahunnya, hal ini berdasarkan laporan yang diperoleh dari berbagai
daerah. Daerah tropis yang memiliki daerah agraris dan suhu udara yang tidak ekstrem
merupakan tempat paling dominan terjadinya kasus gigitan ular. Ditemukan 8000 kasus
gigitan ular berbisa tiap tahunnya. Di Indonesia belum banyak data yang menyampaikan
berapa angka kejadian kasus gigitan ular, saat ini data dari UGD ESUP dr. Hasan Sadikin
Bandung melaporkan 180 kasus gigitan ular berbisa dalam kurun waktu 1996 – 1998.
Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar Malang dilaporkan 36 kasus gigitan ular berbisa
pada tahun 2004. Semua kasus gigitan ular berbisa diberikan terapi antivenom dan
menunjukan hasil. Tetapi terdapat satu pasien dalam keadaan koma dan apnoe.2
Klasifikasi dapat dibagi berdasarkan derajat gejala dan tanda yang muncul. Umunya,
derajat berat kasus gigitan ular berbisa dibagi dalam 4 skala, yaitu derajat 1 (minor) = tidak
ada gejala, derajat 2 (moderate) = gejala lokal, derajat 3 (severe) = gejala berkembang ke
daerah regional, derajat 4 (major) = gejala sistemik.. 3 Bisa ular dapat dikelompokkan
berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbulkannya, seperti neurotoksik, hemoragik,
trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin, antikoagulan, kardiotoksik, dan gangguan
vaskular (merusak tunika intima). Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang
ditimbulkannya yang banyak ditemukan di Indonesia adalah jenis ular: Hematotoksik:
Trimesurus albolaris (ular hijau), Ankistrodon rhodostoma (ular tanah). Neurotoksik:
Bungarusfasciatus (ular welang), Naya sputatrix (ular sendok), ular kobra, ular laut.2
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kondisi baik buruknya
seseorang yang mengalami gigitan ular diantaranya: Jenis ular seperti apa yang ada di
sekitar tempat tinggal, tempat-tempat biasa ular keluar, waktu dan jenis ular biasa keluar,
dan cuaca seperti apa biasa ular keluar. hal-hal diatas perlu diperhatikan sehingga
kewaspadaan dan kehati-hatian meningkat. Ular cenderung menghindari konfrontasi
dengan hewan besar seperti manusia sehingga hindari memojokkan ular dan beri
kesempatan ular untuk kabur. Apabila berada di dalam rumah, dimana ular kemungkinan
masuk untuk mencari makan atau bersembunyi, jangan menyimpan hewan hidup, terutama
ayam dan tikus, yang kemungkinan besar menjadi mangsa ular. Periksa rumah dari ular
secara berkala hindari tempat-tempat yang memungkinkan ular bersembunyi seperti langit-
langit atap yang bolong, lubang di dinding atau lantai yang tidak ditutup rapat. Hindari
tidur di lantai, jika terpaksa harus tidur di lantai gunakan kasur yang agak tinggi dan beri
insektisida nyamuk di bawah kasur untuk mencegah hewan-hewan yang dapat menggigit
seperti nyamuk, kalajengking, dan ular. Di pekarangan rumah atau kebun, hindari tempat-
tempat kemungkinan ular bersembunyi, bersihkan lumpur, sampah, tumpukan material dan
lain-lain dari sekitar rumah. Jangan memiliki pohon dengan dahan menyentuh rumah. Jaga
rumput tetap pendek atau bersih dari tanah sekitar rumah. Buat lumbung jauh dari rumah
karena bisa menjadi sarang tikus dan mengundang ular. Pasang lampu di halaman dan di
pojok-pojok kebun serta selalu membawa senter ketika keluar rumah di malam hari. Di
pedesaan, mengumpulkan kayu bakar di malam hari adalah kegiatan berisiko tinggi.
Waspadalah ketika berjalan, gunakan sepatu tertutup dan celana panjang daripada
menggunakan sandal atau bertelanjang kaki. Gunakan penerangan ketika bekerja di malam
hari di kebun atau sawah seperti senter, lampu kepala, atau obor. Hati-hati berjalan di jalan
raya terutama setelah hujan lebat. Di sungai, danau atau laut, untuk menghindari gigitan
ular, para nelayan harus menghindari menyentuh ular laut yang tertangkap di jala ikan.
Kepala dan ekor ular laut sulit dibedakan. Ular laut bernapas dengan udara dan dapat mati
tenggelam jika jala ikan ditenggelamkan ke air, tapi ular laut dapat bertahan jika di pantai.4
Selain faktor diatas terdapat beberapa dasar pemikiran lain hal hal yang menjadi
faktor resiko seseorang mengalami gigitan ular diantaranya : Usia, kelompok usia 10-19
tahun adalah yang tertinggi untuk kasus gigitan ular, angka pada laki-laki dan perempuan
hampir sama, hal ini dikarenakan kurangnya edukasi yang dilakukan pada individu dalam
rentang usia tersebut. Lokasi gigitan, 67% gigitan terjadi di kaki dan tungkai hal ini
dikarenakan tangan maupun tungkai seringkali digerakan tanpa melihat keadaan pada saat
waktu pencahayaan kurang. Waktu dan tempat, 40% gigitan terjadi di jam 17.00-22.00.
59,2% gigitan terjadi di sekitar rumah. Pencahayaan akan memperjelas visualisasi ular, 8%
gigitan terjadi ketika orang ke kebun untuk defekasi. 10% orang digigit ketika tidur. Tidur
di lantai, meningkatkan risiko gigitan ular 6 kali lipat, tidur di atas kawat/jaring nyamuk
menurunkan risiko gigitan ular sampai 6 kali lipat. Ular tertarik pada tikus yang datang saat
padi ditanam. Menjaga jarak rumah dan sawah mengurangi ular memasuki area rumah.
Keberadaan tikus di tempat yang ada makanan menarik ular. Jika seseorang tidur di tempat
yang jauh dari penyimpanan makanan risiko orang tersebut kontak dengan ular berkurang.5

B. Rumusan Masalah
1. Apa etiologi keracunan bisa ular?
2. Bagaimana patofisiologi / patomkenisme keracunan bisa ular?
3. Bagaimana gejala dan tanda klinis keracunan bisa ular?
4. Bagaimana cara mendiagnosis keracuna bisa ular? Dan apa diagnosis bandingnya?
5. Bagaimana terapi keracunan bisa ular?
6. Bagaimana prognosis keracunan bisa ular?
7. Apa langkah pencegahan keracunan bisa ular?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat menyebutkan etilogi keracunan bisa ular.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi / patomkenisme keracunan bisa ular.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan gejala dan tanda klinis keracunan bisa ular.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan cara mendiagnosis keracuna bisa ular dan diagnosis
bandingnya.
5. Mahasiswa dapat menjelaskan terapi keracunan bisa ular.
6. Mahasiswa dapat menjelaskan prognosis keracunan bisa ular.
7. Mahasiswa dapat menyebutkan langkah pencegahan keracunan bisa ular.
METODE

A. Sumber dan Jenis Data


Sumber data berasal dari literatur berupa buku, jurnal dan artikel ilmiah. Literatur
merupakan literatur dari sumber yang valid dan ilmiah yang diambil tidak lebih dari 10 tahun
kebelakang. Data epidemiologi didapatkan dari pusat data dan informasi kementrian
kesehatan dan lembaga pemerintahan lainnya.

B. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan literatur berupa buku, jurnal dan
artikel ilmiah yang disundur dari internet.

C. Analisis Data
Teknik analisis data berupa deskriptif sesuai permasalahan yang dijabarkan pada rumusan
masalah.

D. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menganalisis tinjauan pustaka dan
menghubungkannya dengan permasalahan yang ada pada scenario tutorial.
ISI

1. Etiologi
Gigitan ular berbisa adalah penyakit tropis yang terabaikan akibat suntikan sekresi
racun yang sangat khusus - bisa - oleh ular berbisa ke manusia, biasanya dalam keadaan
tidak disengaja. Racun disuntikkan melalui taring ular, yang merupakan gigi modifikasi
yang dihubungkan melalui saluran ke kelenjar racun.6

2. Patofisiologi
Umumnya racun pada ular bersifat menggumpalkan dan menyebar dalam pembuluh
darah mengakibatkan disseminated intravascular coagulation (DIC), paralysis, dan
turunnya tekanan pada sistem kardiovaskuler (cardiovascular depressio). Selain itu juga
terdapat gangguan penghantaran (konduksi), trombositopenia, gagal ginjal dan perdarahan
di dalam tengkorak (intra kranial). koagulopati ditandai dengan defibrinasi yang berkaitan
dengan jumlah trombosit, dalam rentang waktu yang ada. Racun juga dapat mengubah
protrombin menjadi trombin dan mengurangi faktor V, VII, protein C dan plasminogen.
Tekanan di sistem kardiovaskuler menyebabkan DIC atau tekanan di otot jantung.7
Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya L-arginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin. sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta
seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim
protease akan menimbulkan berbagai variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A
menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat
menyebabkan kerusakan dari jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi
KID.8
Nerotoksin menyebabkan gejala saraf setelah keracunan, gejala yang ditunjukkan
antara lain adanya paralisis, pernapasan oleh hambatan acetylcholine receptor di ujung
saraf motor pascasinaptik (postsynaptic motor nerve ending). Kemungkinan terjadi kejang
gagau (konvulsi) disertai ada atau tidaknya keracunan otot (myotoxicity).7

3. Gejala dan tanda klinis


Gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan
memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut:9
1) Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit-24 jam)
2) Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan oto, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi,
muntah, nyeri kepala dan pandangan kabur
3) Gejala khusus untuk gigita ular berbisa:
 Hematotoksik: perdarahan di tempat igigtan, paru, jantung, ginjal, peritoneum, otak,
gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis), hemaptoe,
hematuria, koagulasi intravaskular diseminata (KID)
 Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis, pernafasan, ptosis,
oftamolplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang dan koma.
 Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma
 Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda-tanda 5P (pain, pallor,
parasthesia, paralysis, pulseness).

Pembengkakan, ekimosis, dan nekrosis jaringan lokal adalah manifestasi klinis awal
yang umum dari gigitan ular kobra dan ular berbisa. Pemberian antivenom yang benar dan
spesifik, jika terjadi kebingungan sama sekali, biasanya ditunda. 10 Pada awal manifestasi
ptosis, penglihatan kabur, paresthesia, kesulitan berbicara, kelemahan anggota tubuh dan
gagal napas. Salah satu manifestasi neurologis yang jarang ditemukan setelah gigitan ular
kobra adalah locked-in syndrom.11

4. Pemeriksan penunjang
Dibeberapa daerah di Indonesia pemeriksaan yang juga direkomendasikan adalah
melakukan tes pembekuan darah selama 20 menit, hal ini dilakukan karena beberapa
fasilitas kesehatan pelayanan primer tidak memiliki kemampuan untuk melakukan tes
pembekuan yang ekstesif. tes ini mudah dilakukan dan memberikan hasil yang cepat. Cara
melakukan tes ini dengan menuangkan 2 mL darah vena segar dalam bejana gelas kering
dan didiamkan selama 20 menit, jika darah belum membeku maka pasien kemungkinan
menderita VICC (venom induce consumption coagulopathy). Hal ini dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk gigitan ular berbisa. Tes rutin lain yang dilakukan adalah EKG dan
urinalisis untuk memeriksa glukosuria, proteinuria, dan mioglobinuria.12
5. Diagnosis
Diagnosis dari gigitan ular dapat dipastikan dengan adanya riwayat gigitan pada
anamnesis. Ada 4 pertanyaan yang penting ditanyakan yaitu : lokasi gigitan, waktu digigit,
karakteristik ular dan gejala. Identifikasi spesies ular harus dilakukan. Untuk ciri-ciri ular
yang berbisa biasanya memiliki kepala segitiga, lubang penginderaan panas, pupil elips,
baris tunggal sisik subcaudal, memiliki bekas gigitan hanya 1 atau 2 tusukan taring. Untuk
ciri-ciri ular yang tidak berbisa yaitu kepala bulat, pupil bulat, deretan ganda sisik perut
dan tanda gigitan menunjukkan tusukan kecil berjajar.12
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengecekan tanda vital, manifestasi perdarahan,
tempat gigitan termasuk bekas gigitan, adanya memar, dan kelenjar getah bening yang
keluar. Pada pemeriksaan neuorologi harus dilakukan termasuk pemeriksaan saraf kranial,
motorik, dan sensorik. Pemeriksaan laboratorium yang dilkukan yaitu darah lengkap,
elektrolit, kreatinin, BUN, waktu pembekuan, waktu perdarahan, waktu protrombin, aPTT,
kadar fibrinogen, D-dimer, AST, ALT, keratin kinase dan golongan darah.12
Diagnosis banding pada kasus snake bite ini yaitu :
 Anafilaksis
 Deep vein thrombosis (DVT)
 Gigitan kelajengking
 Syok septik
 Luka terinfeksi

6. Terapi
Hal yang perlu dilakukan jika terkena gigitan ular yaitu :
 Tetap tenang dan usahakan untuk mengingat jenis, warna, serta ukuran ular.
 Kurangi aktifitas dan melakukan imobilisasi area gigitan.
 Posisikan area gigitan lebih rendah dari jantung.
 Tutup dengan kain kering yang bersih.
 Lepaskan cincin atau jam tangan dari anggota tubuh yang digigit
 Longgarkan pakaian yang dipakai.
 Segera dikirim untuk pertolongan medis terdekat.
Yang tidak boleh dilakukan saat terkena gigitan ular :
 Memanipulasi luka, baik dengan cara menyedot bisa ular dari tempat gigitan atau
menyayat kulit agar bisa keluar bersama darah, menggosok dengan zat kimia, atau
mengompres dengan air panas atau es pada luka gigitan.
 Mengikat atau member torniket terlalu keras pada luka gigitan.
 Minum minuman alcohol atau kopi.
 Mencoba mengejar dan menangkap ular.
Prinsip tatalaksana gigitan ular adalah untuk menetralisir toksin, mengurangi angka
kesakitan dan mencegah komplikasi.12

Apabila ular yang menggigit tidak berbisa, maka dokter akan memberikan terapi
antibiotika dan pencegahan tetanus sesuai dengan indikasi, sedangkan pada kasus yang
lebih berat dapat diberikan anti venom. Untuk mengurangi gejala nyeri yang ada, penderita
dapat diberikan anti nyeri seperti Parasetmol.
Di Indonesia, antivenom yang tersedia adalah serum anti bisa ular (SABU) polivalen
yang mengandung bisa dari 3 jenis ular,diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5
mL. Dosis awal anti venom yang disarankan dapat diberikan berdasarkan derajat
venomisasi seperti pada table berikut.
Tabel Pedoman Terapi Antivenom Ular menurut Luck.

Cara pemberian SABU menurut rekomendasi WHO (2016) ada 2 (dua) cara yaitu:13
1) Injeksi “push” intravena: Antivenom cair diberikan dengan injeksi intravena lambat
(tidak lebih dari 2 ml / menit).
2) Infusi ntravena: Antivenom cair dilarutkan dalam sekitar 5 ml cairan isotonik per kg
berat badan (yaitu sekitar 250 ml saline isotonic atau 5% dekstrosa dalam kasus pasien
dewasa) dan diinfuskan pada tingkat konstan selama sekitar 30-60 menit. Jangan lupa
untuk selalu menyediakan adrenalin pada saat pemberian serum anti bisa ular.
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan yaitu :14
 Lakukan pembebatan pada ekstremitas proksimal jejas gigitan untuk mengurangi
penjalaran dan penyerapan bisa. Jika gigitan kemungkinan berasal dari ular dengan
bisa neurotoksik, balut dengan ketat pada ekstremitas yang tergigit dari jari-jari atau
ibu jari hngga proksimal tempat gigitan.
 Bersihkan luka
 Jika terdapat salah satu tanda di atas, bawa anak segera ke rumah sakit yang memiliki
antibisa ular. Jika ular telah dimatikan, bawa bangkai ular tersebut bersama anak ke
rumah sakit tersebut
 Hindari membuat irisan pada luka atau menggunakan torniket.
 Perawatan di rumah sakit
Pengobatan yang dilakukan jika terjadi syok/gagal napas:14
 Atasi syok jika timbul.
 Paralisis otot pernapasan dapat berlangsung beberapa hari dan hal ini memerlukan
intubasi (lihat buku panduan pelatihan APRC/APLS dari UKK PGD-IDAI) dan
ventilasi mekanik (lihat buku panduan pelatihan Ventilasi Mekanik pada Anak dari
UKK PGD IDAI) hingga fungsi pernapasan normal kembali; atau ventilasi manual
(dengan masker atau pipa endotrakeal dan kantung (Jackson Rees) yang dilakukan
oleh staf dan atau keluarga sementara menunggu rujukan ke rumah sakit rujukan yang
lebih tinggi terdekat. Perhatikan keamanan fiksasi pipa endotrakeal. Sebagai alternatif
lain adalah trakeostomi elektif.

Jika didapatkan gejala sistemik atau lokal yang hebat (pembengkakan pada lebih dari
setengah ekstremitas atau nekrosis berat) berikan antibisa jika tersedia. Langkah yang
dapat dilakukan ialah :14
 Siapkan epinefrin SK atau IM bila syok dan difenhidramin IM untuk mengatasi reaksi
alergi yang terjadi setelah pemberian antibisa ular.
 Berikan antibisa polivalen. Ikuti langkah yang diberikan dalam brosur antibisa. Dosis
yang diberikan pada anak sama dengan dosis pada orang dewasa.
 Larutkan antibisa 2-3 kali volume garam normal berikan secara intravena selama 1
jam. Berikan lebih perlahan pada awalnya dan awasi kemung-kinan terjadi reaksi
anafilaksis atau efek samping yang serius
 Jika gatal atau timbul urtikaria, gelisah, demam, batuk atau kesulitan bernapas,
hentikan pemberian antibisa dan berikan epinefrin 0.01 ml/kg larutan 1/1000 atau 0.1
ml/kg 1/10.000 SK. Difenhidramin 1.25 mg/kgBB/kali IM, bisa diberikan sampai 4
kali perhari (maksimal 50 mg/kali atau 300 mg/hari). Bila anak stabil, mulai kembali
berikan antibisa perlahan melalui infus.
 Tambahan antibisa harus diberikan setelah 6 jam jika terjadi gangguan pembekuan
darah berulang, atau setelah 1-2 jam, jika pasien terus mengalami perdarahan atau
menunjukkan tanda yang memburuk dari efek neurotoksik atau kardiovaskular.
 Transfusi darah tidak diperlukan bila antibisa telah diberikan. Fungsi pembekuan
kembali normal setelah faktor pembekuan diproduksi oleh hati. Tanda neurologi yang
disebabkan antibisa bervariasi, tergantung jenis bisa.
 Pemberian antibisa dapat diulangi bila tidak ada respons.
 Antikolinesterase dapat memperbaiki gejala neurologi pada beberapa spesies ular
Pengobatan lain yang dapat dilakukan adalah pembedahan. Mintalah pendapat /
pertimbangan bedah jika terjadi pembengkakan pada ekstremitas, denyut nadi
melemah/tidak teraba atau terjadi nekrosis lokal. Tindakan bedah meliputi:15
 Eksisi jaringan nekrosis
 Insisi selaput otot (fascia) untuk menghilangkan limb compartments, jika perlu
 Skin grafting, jika terjadi nekrosis yang luas
 Trakeostomi (atau intubasi endotrakeal) jika terjadi paralisis otot pernapasan dan
kesulitan menelan.

7. Prognosis
Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang berat,
sehingga perlu pemberian anti bisa yang tepat untuk mengurangi gejala serta pemberian
yang cepat untuk mengurangi risiko kematian. Ekstermitas atau bagian tubuh yang
mengalami nekrosis pada umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya
pada kasus – kasus tertentu memerlukan skin graft.16

8. Pencegahan
Beberapa langkah pencegahan dapat dilakukan untuk menghindari kejadian gigitan ular
berbisa, seperti:17
1. Dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berbahan kulit seminimalnya sebatas paha
sebab lebih dari 50% kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian bawah sampai
dengan kaki. Hal ini sangat dianjurkan pada penduduk di daerah banyak ditemukan ular
berbisa.
2. Menyediakan serum antibisa ular (SABU) pada setiap daerah yang sering terjadi kasus
gigitan ular.
3. Menghindari berjalan di daerah berumpun dan semak-semak terutama pada malam hari.
4. Selalu mengamati sekitar dengan teliti apabila mendaki tebing berbatu.
5. Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak kasus gigitan ular berbisa
disebabkan kejadian semacam ini.
KESIMPULAN

Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan keadaan yang berat hingga kematian,
sehingga perlu penanganan yang tepat untuk mengurangi gejala. Pemeriksaan yang dilakukan
terhadap pasien harus memenuhi algoritma yang ada lengkap mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Penanganan terhadap pasien tergantung waktu tindakan yang
dilakukan semakin cepat penanganan dilakukan maka semakin baik untuk pasien dan semakin
lama penanganan dilakukan terhadap pasien akan memperburuk keadaan pasien sampai
menyebabkan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,


Premaratna R, Savioli L, Lalloo DG, de Silva HJ. The global burden of snakebite: a
literature analysis and modelling based on regional estimates of envenoming and deaths.
PLoS Med. 2008 Nov 4;5(11):e218.

2. Djunaedi D. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Sudoyo, AW., Setiyohadi B.,
Alwi I., Setiati S., editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing;2014. h. 1087 -1091.

3. Niasari N, Latief A. Gigitan ular berbisa. Sari Pediatri. 2003;5(1): 95-96

4. WHO. Guidelines for Management of Snake-bites, 2nd Edition. World Health


Organization, 2016.

5. Mehta CS dan Sashindran WC. Clinical Features and Management of Snake bite. MJAFI
Vol 58 No. 3, 2002; p. 247-9

6. Gutiérrez JM, Calvete JJ, Habib AG, Harrison RA, Williams DJ, Warrell DA. Snakebite
envenoming. Nature reviews Disease primers. 2017 Sep 14;3(1):1-21.

7. Rachman UN. Penyebaran gumpalan dalam pembuluh darah (disseminated intravascular


coagulation) akibat racun gigitan ular. Indonesian Journal of Clinical Pathology and
Medical Laboratory. 2018 Mar 15;14(1):37-41.

8. Niasari N, Latief A. Gigitan ular berbisa. Sari Pediatri. 2016 Dec 6;5(3):92-8.

9. Rochmah W, Demensia HK. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Departemen IPD
FKUI. 4th ed. Jakarta: Departemen IPD FKUI. 2006:1364-8.

10. Lin JH, Sung WC, Liao JW, Hung DZ. A rapid and international applicable diagnostic
device for cobra (genus Naja) snakebites. Toxins. 2020 Sep;12(9):572.

11. AH MF. Locked-in Syndrome Following a King Cobra (Ophiophagus hannah)


Envenomation.

12. Adiwinata R, Nelwan EJ. Snakebite in Indonesia. Acta Medica Indonesiana. 2015;47(4).
13. Sutantoyo FF, Gunawan EJ. Antikolinesterase untuk gigitan ular dengan bisa
neurotoksik. Cermin Dunia Kedokteran. 2016 Jan 1;43(1):14-8.

14. Roespandi, H., Nurhamzah, W., dkk. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah
sakit. Edisi 1. Jakarta: Hospital Care for Children ; 2016.

15. Niasari, N,. Latief, A. Gigitan ular berbisa. Sari Pediatri. 2003;5(3):92-98.

16. Yoghi, G.P., Oktafany. Gigitan ular pada regio manus sisnistra. J Medula Unila.
2017;7(1):33-37.

17. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.

Anda mungkin juga menyukai