“Identifikasi Pinjal dan Tikus & Fogging IRS (Indoor Residual Spraying)”
Dosen Pembimbing :
Wahyu Darmawan, SKM. MAP.
Disusun Oleh :
Kelompok 3
Jl. Hang Jebat III No.4 No.8, RT.4/RW.8, Gunung, Kec. Kby.Baru, Kota Jakarta
Selatan, Daerah Khusus Ibu kota Jakarta 12120
2021/2022
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat, petunjuk dan karunia-Nya, laporan praktium dengan judul Identifikasi Pinjal Pada
Tikus ini telah selesai disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengendalian Vektor dan
Tikus.
Tak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan, untuk itu kami meminta maaf dan tentunya juga mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri maupun bagi para pembaca. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan kami terima
demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok 3
Daftar Isi
Kata Pengantar.......................................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN
Tikus dan mencit adalah hewan mengerat (rodensia) yang lebih dikenal sebagai
hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang, dan hewan pengganggu yang
menjijikkan di perumahan. Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup di dekat tempat
hidup atau kegiatan manusia dan perlu diperhatikan dalam penularan penyakit. Penyakit
yang ditularkan dapat disebabkan oleh infeksi berbagai agent penyakit dari kelompok
virus, rickettsia, bakteri, protozoa, dan cacing. Penyakit tersebut dapat ditularkan manusia
secara langsung oleh ludah, urin dan fesesnya atau melalui gigitan ektoparasitnya. Tikus
berperan sabagai hama kosmopolit yang dapat merusak tanaman padi.
Selain sebagai hama, tikus juga dikenal sebagai sumber sekaligus penyebar
penyakit zoonosis seperti pes, leptospirosis, salmonellosis, radang otak, radang paru,
diare darah, luar.dan gastritis akibat parasit. Identifikasi spesies tikus hanya dilakukan
dengan melakukan pengamatan morfologi luar. Dari beberapa jenis spesies tikus, hanya
empat spesies yang menjadi hama penting bagi pemukiman, yaitu Rattus norvegicus,
Rattus-rattus diardii, Mus musculus, dan Bandicota bengalensis. Untuk perbedaan
morfologi keempat spesies tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
2.2. PERCOBAAN
1. Tikus
2. Trap
3. Kloroform
4. Alkohol 70%
5. Kapas
6. Sarung tangan
7. Timbangan
8. Penggaris
9. Serit
10. Mikroskop
11. Kaca
Cara Kerja
2. Trap yang berisi tikus dimasukkan ke dalam trash bag. Basahkan kapad dengan
kloroform, lalu masukkan kapas ke dalam trash bag. Tunggu ± 60 menit hingga tikus
mati.
3. Setelah tikus mati, maka kita dapat mengidentifikasi tikus tersebut. Identifikasi warna
badan bagian atas, warna badan bagian bawah, dan jumlah puting susu.
5. Lakukan pula identifikasi panjang kepala hingga badan, panjang ekor, lebar daun
telinga, dan panjang kaki belakang tikus dengan menggunakan penggaris.
8. Taruh tikus di atas kaca dan lakukan penyisiran bulu tikus dengan menggunakan sisir
serit untuk mengetahui apakah terdapat ektoparasit pada tikus.
10. Apabila tidak terdapat ektoparasit, maka dapat melakukan tahapan selanjutnya yaitu
mengidentifikasi jenis tikus dengan data yang sudah diperoleh.
a) Fogging Fokus Adalah pemberantasan nyamuk DBD dengan cara pengasapan terfokus
pada daerah tempat ditemukannya tersangka / penderita DBD.
b) Fogging Massal Adalah kegiatan pengasapan secara serentak dan menyeluruh pada
saat terjadi KLB DBD.
a) Fogging dilaksanakan sebanyak 2 putaran dengan interval minggu oleh petugas dalam
radius 200 meter untuk penanggulangan fokus dan untuk penanggulangan fokus untuk
KLB meliputi wilayah yang dinyatakan sebahai tempat KLB DBD.
b) Fogging dilaksanakan oleh petugas kesehatan atai pihak swasta yang telah menjadi
anggota IPPHAMI (Ikatan Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia) dan harus
mendapat rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota. Selain itu khusus untuk
fogging fokus dapat dilakukan oleh masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah
pengawasan Puskesmas yang telah memperoleh izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota.
a) Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin ULV (Ultra Low
Volume) untuk perumahan.
b) Malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96% technical
grade/ha). Malathion adalah bahan teknis pestisida yang dapat diemulsikan untuk
mengendalikan nyamuk Aedes Aegypti, culex, dan anopheles di dalam dan diluar
ruangan. Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatometik, yang berkaitan
irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf serangga. Akibatnya otot tubuh
serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh dan akhirnya mati. Malathion digunakan
dengan cara pengasapan.
b) Tercatat dua orang yang positif yang terkena DBD di daerah tersebut.
c) Lebih dari tiga orang di daerah yang sama mengalami demam dan adanya jentik-jentik
nyamuk Aedes Aegypti. Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau Puskesmas di
suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam,
setelah itu akan diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.
Konsentasi bahan yang digunakan harus mengacu pada label, karena bila dosis
yang digunakan tidak tepat akan menimbulkan kerugian, tidak hanya dari segi biaya dan
efikasi pengendalian tetapi juga berpengaruh terhadap keamanan manusia itu sendiri serta
lingkungannya.
c) Suhu
d) Waktu
Waktu fogging harus disesuaikan dengan puncak aktivitas nyamuk Aedes aegypti
yang aktif mencari mangsa pada pagi hari sekitar pukul 07.00-10.00, dan sore hari sekitar
pukul 14.00- 17.00.
Dampak kesehatan
a) Iritasi pada kulit Tidak menimbulkan iritasi pada kulit tikus setelah 3 kali aplikasi 500
mg/kg yang dibalut rapat dan yang dilakukan secara bergantian.
b) Sensitisasi Metil Pirimiphos tidak menimbulkan sensitiser kulit dan dibuktikan dengan
uji Stevens pada marmut.
c) Inhalasi Tikus dapat terpengaruh terhadap uap Metil Pirimiphos selama 6 jam sehari, 5
hari seminggu selama 3 minggu.
Metil Pirimiphos tidak terikat pada tanah. Dalam berbagai jenis tanah, akan terurai
dalam waktu kurang dari sebulan. Metil Pirimiphos memiliki mobilitas terbatas dalam
tanah.
Metil Pirimiphos cepat terdegradasi dalam air, terutama oleh hydrolisis dengan
hilangnya rantai samping gugus phosphorothioate ester. Proses ini akan lebih cepat 50%
dibawah cahaya matahari selama sehari.
https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-735-bab%20II.pdf