Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN VEKTOR DAN TIKUS

“Identifikasi Pinjal dan Tikus & Fogging IRS (Indoor Residual Spraying)”

Dosen Pembimbing :
Wahyu Darmawan, SKM. MAP.

Disusun Oleh :

Kelompok 3

Putri Nur Maniyah (P21345120050)

Rahmat Khairullah (P21345120051)

Nyimas Sendy Sekar Kinanti (P21345120066)

Salsa Nabila Putri (P21345120060)

Salsabila Zahra (P21345120061)

Silmi Eryoni Kaf'ah (P21345120066)

POLITEKNIK KEMESNKES JAKARTA II

PROGRAM STUDI DIII KESEHATAN LINGKUNGAN

Jl. Hang Jebat III No.4 No.8, RT.4/RW.8, Gunung, Kec. Kby.Baru, Kota Jakarta
Selatan, Daerah Khusus Ibu kota Jakarta 12120

2021/2022
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas limpahan
rahmat, petunjuk dan karunia-Nya, laporan praktium dengan judul Identifikasi Pinjal Pada
Tikus ini telah selesai disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengendalian Vektor dan
Tikus.

Tak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam menyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan, untuk itu kami meminta maaf dan tentunya juga mengharapkan
kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri maupun bagi para pembaca. Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan kami terima
demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 30 Oktober 2021

Kelompok 3
Daftar Isi
Kata Pengantar.......................................................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................................................. ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keberadaan tikus harus diwaspadai karena dapat membahayakan kesehatan manusia.
Tikus sebagai hospes dari pinjal Xenopsylla cheopis yang menyebabkan penyakit PES. Pada
praktikum ini akan mengidentifikasi tikus dan pinjalnya (bila ada). Identifikasi tikus akan
dilakukan dengan mengukur berat badan, panjang kepala + badan (mm), panjang ekor (mm),
lebar daun telinga (mm), panjang telapak kaki belakang (mm) dan jumlah putting susu.

1.2. Tujuan Praktikum


Untuk mengetahui cara mengidentifikasi tikus dan mengetahui cara pengambilan
pinjal pada tikus.

1.3. Manfaat Praktikum


Sebagai data atau wawasan baru dalam mengidentifikasi tikus dan pinjal serta sebagai
cara menemukan pengendalian yang tepat untuk mengendalikan suatu vektor penyakit yaitu
tikus.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. IDENTIFIKASI TIKUS DAN


EKTOPARASIT
Tikus adalah binatang yang termasuk dalam ordo rodentia, sub ordo Myormorpha,
family muridae. Family muridae ini merupakan family yang dominan dari ordo rodentia
karena mempunyai daya reproduksi yang tinggi, pemakan segala macam makanan
(omnivorous) dan mudah beradaptasi dengan lingkungan yang diciptakan manusia.

Tikus merupakan hama penting di Asia Tenggara yang dapat menyebabkan


kehilangan ekonomi dan dapat menularkan penyakit pada manusia. Spesies tikus tersebut
antara lain Rattus norvegicus (tikus riul), R. tanezumi (tikus rumah), R. argentiventer
(tikus sawah), R. exulans (tikus ladang), R. tiomanicus (tikus pohon) dan Bandicota
indica (tikus wirok).

Tikus dan mencit adalah hewan mengerat (rodensia) yang lebih dikenal sebagai
hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang, dan hewan pengganggu yang
menjijikkan di perumahan. Rodensia komensal yaitu rodensia yang hidup di dekat tempat
hidup atau kegiatan manusia dan perlu diperhatikan dalam penularan penyakit. Penyakit
yang ditularkan dapat disebabkan oleh infeksi berbagai agent penyakit dari kelompok
virus, rickettsia, bakteri, protozoa, dan cacing. Penyakit tersebut dapat ditularkan manusia
secara langsung oleh ludah, urin dan fesesnya atau melalui gigitan ektoparasitnya. Tikus
berperan sabagai hama kosmopolit yang dapat merusak tanaman padi.

Selain sebagai hama, tikus juga dikenal sebagai sumber sekaligus penyebar
penyakit zoonosis seperti pes, leptospirosis, salmonellosis, radang otak, radang paru,
diare darah, luar.dan gastritis akibat parasit. Identifikasi spesies tikus hanya dilakukan
dengan melakukan pengamatan morfologi luar. Dari beberapa jenis spesies tikus, hanya
empat spesies yang menjadi hama penting bagi pemukiman, yaitu Rattus norvegicus,
Rattus-rattus diardii, Mus musculus, dan Bandicota bengalensis. Untuk perbedaan
morfologi keempat spesies tersebut, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
2.2. PERCOBAAN

Alat dan Bahan, yaitu :

1. Tikus

2. Trap

3. Kloroform

4. Alkohol 70%

5. Kapas

6. Sarung tangan

7. Timbangan

8. Penggaris

9. Serit

10. Mikroskop

11. Kaca

12. Trash bag

Cara Kerja

1. Gunakan sarung tangan saat melakukan praktikum.

2. Trap yang berisi tikus dimasukkan ke dalam trash bag. Basahkan kapad dengan
kloroform, lalu masukkan kapas ke dalam trash bag. Tunggu ± 60 menit hingga tikus
mati.

3. Setelah tikus mati, maka kita dapat mengidentifikasi tikus tersebut. Identifikasi warna
badan bagian atas, warna badan bagian bawah, dan jumlah puting susu.

4. Kemudian lakukan identifikasi bobot tubuh tikus dengan menggunakan timbangan.

5. Lakukan pula identifikasi panjang kepala hingga badan, panjang ekor, lebar daun
telinga, dan panjang kaki belakang tikus dengan menggunakan penggaris.

6. Catat semua hasil pengukuran.


7. Kemudian oleskan kaca dengan alkohol 70%

8. Taruh tikus di atas kaca dan lakukan penyisiran bulu tikus dengan menggunakan sisir
serit untuk mengetahui apakah terdapat ektoparasit pada tikus.

9. Jika terdapat ektoparasit maka langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi


ektoparasit tersebut dengan menggunakan mikroskop.

10. Apabila tidak terdapat ektoparasit, maka dapat melakukan tahapan selanjutnya yaitu
mengidentifikasi jenis tikus dengan data yang sudah diperoleh.

Hasil Kerja dan Kesimpulan


2.3. Landasan Teori

Fogging merupakan salah satu kegiatan penanggulangan DBD (Demam Berdarah


Dengue) yang dilaksanakan pada saat terjadi penularan DBD melalui penyemprotan
insektisida daerah sekitar kasus DBD yang bertujuan memutus rantai penularan penyakit.
Sasaran fogging adalah rumah serta bangunan dipinggir jalan yang dapat dilalui mobil di
desa endemis tinggi. Cara ini dapat dilakukan untuk membunuh nyamuk dewasa maupun
larva. Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan
pada dinding (resisual spraying) karena nyamuk Aedes aegypti tidak suka hinggap pada
dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu pada kain
tergantung.

Fogging dilaksanakan dalam bentuk yaitu :

a) Fogging Fokus Adalah pemberantasan nyamuk DBD dengan cara pengasapan terfokus
pada daerah tempat ditemukannya tersangka / penderita DBD.

b) Fogging Massal Adalah kegiatan pengasapan secara serentak dan menyeluruh pada
saat terjadi KLB DBD.

Tata Laksana Fogging

a) Fogging dilaksanakan sebanyak 2 putaran dengan interval minggu oleh petugas dalam
radius 200 meter untuk penanggulangan fokus dan untuk penanggulangan fokus untuk
KLB meliputi wilayah yang dinyatakan sebahai tempat KLB DBD.

b) Fogging dilaksanakan oleh petugas kesehatan atai pihak swasta yang telah menjadi
anggota IPPHAMI (Ikatan Perusahaan Pengendalian Hama Indonesia) dan harus
mendapat rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota. Selain itu khusus untuk
fogging fokus dapat dilakukan oleh masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah
pengawasan Puskesmas yang telah memperoleh izin dari Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota.

Peralatan dan Bahan Fogging

a) Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin ULV (Ultra Low
Volume) untuk perumahan.
b) Malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96% technical
grade/ha). Malathion adalah bahan teknis pestisida yang dapat diemulsikan untuk
mengendalikan nyamuk Aedes Aegypti, culex, dan anopheles di dalam dan diluar
ruangan. Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatometik, yang berkaitan
irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf serangga. Akibatnya otot tubuh
serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh dan akhirnya mati. Malathion digunakan
dengan cara pengasapan.

c) Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang


disemprotkan ke dalam kamar atau ruangan misalnya, golongan Organofosfat adalah
insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan
keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan
kematian, tetapi diperlukan beberapa milligram untuk dapat menyebabkan kematian pada
orang dewasa. Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
sel darah merah dan pada sinapsisnya. Insektisida dari kelompok piretroid merupakan
insektisida sintetik yang merupakan tiruan (analog) dari piretrium. Insektisida piretroid
merupakan racun yang mempengaruhi syaraf serangga (racun syaraf) dengan berbagai
macam cara kerja pada susunan syaraf sentral. Piretroid adalah racun syaraf yang bekerja
dengan cepat dan menimbulkan paralis yang bersifat sementara. Efek piretroid sama
dengan DDT tetapi piretroid memiliki efek tidak persisten.

Persyaratan Penggunaan Fogging Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging, yaitu :

a) Adanya pasien yang meninggal disuatu daerah akibat DBD.

b) Tercatat dua orang yang positif yang terkena DBD di daerah tersebut.

c) Lebih dari tiga orang di daerah yang sama mengalami demam dan adanya jentik-jentik
nyamuk Aedes Aegypti. Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau Puskesmas di
suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam,
setelah itu akan diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.

Hal Yang Perlu Dipertimbangkan Dalam Melakukan Fogging

a) Konsentrasi bahan fogging

Konsentasi bahan yang digunakan harus mengacu pada label, karena bila dosis
yang digunakan tidak tepat akan menimbulkan kerugian, tidak hanya dari segi biaya dan
efikasi pengendalian tetapi juga berpengaruh terhadap keamanan manusia itu sendiri serta
lingkungannya.

b) Arah dan kecepatan angin

Dalam melakukan fogging, arah angin harus diperhatikan. Kecepatan akan


berpengaruh terhadap pengasapan di luar ruangan. Untuk diluar ruangan space spray
berkisar 1-4 m/detik atau sekitar 3,6-15 km/jam. Angin diperlukan untuk membawa asap
masuk kedalam celah-celah bangunan, namun jika terlalu 8 kencang maka asap akan
cepat hilang terbawa angin. Pengasapan harus berjalan mundur melawan arah angin
sehingga asap tidak menganai petugas fogging.

c) Suhu

Suhu adalah keadaan udara yang akan mempengaruhi pengasapan. Pengasapan


diluar ruangan pada waktu tengah hari atau pada suhu tinggi akan sia-sia karena asap
akan menyebar keatas, bukan kesamping sehingga pengasapan tidak maksimal. Oleh
sebab itu fogging sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sore hari.

d) Waktu

Waktu fogging harus disesuaikan dengan puncak aktivitas nyamuk Aedes aegypti
yang aktif mencari mangsa pada pagi hari sekitar pukul 07.00-10.00, dan sore hari sekitar
pukul 14.00- 17.00.

Dampak Pelaksanaan Fogging

Bahan yang digunakan dalam fogging merupakan jenis insektisida untuk


membunuh serangga dalam hal ini adalah nyamuk. Insektisida tersebut merupakan racun
yang dapat mematikan jasad hidup, maka dalam penggunaannya harus lebih bersikap
hati-hati. Fogging tidak hanya memberikan dampak positif dalam pengendalian nyamuk
Aedes aegypti namun disisi lain juga menghasilkan dampak negatif terhadap lingkungan
dan kesehatan masyarakat, misalnya pencemaran air, tanah, udara, terbunuhnya
organisme non target, dan resiko bagi orang, hewan dan tumbuhan.

Dampak kesehatan
a) Iritasi pada kulit Tidak menimbulkan iritasi pada kulit tikus setelah 3 kali aplikasi 500
mg/kg yang dibalut rapat dan yang dilakukan secara bergantian.

b) Sensitisasi Metil Pirimiphos tidak menimbulkan sensitiser kulit dan dibuktikan dengan
uji Stevens pada marmut.

c) Inhalasi Tikus dapat terpengaruh terhadap uap Metil Pirimiphos selama 6 jam sehari, 5
hari seminggu selama 3 minggu.

Dampak terhadap tanah

Metil Pirimiphos tidak terikat pada tanah. Dalam berbagai jenis tanah, akan terurai
dalam waktu kurang dari sebulan. Metil Pirimiphos memiliki mobilitas terbatas dalam
tanah.

Dampak terhadap air

Metil Pirimiphos cepat terdegradasi dalam air, terutama oleh hydrolisis dengan
hilangnya rantai samping gugus phosphorothioate ester. Proses ini akan lebih cepat 50%
dibawah cahaya matahari selama sehari.

https://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-735-bab%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai